I. LATAR
BELAKANG
Pada tanggal 11 Juni 2005,
Presiden RI telah mencanangkan Revitalisasi Pertanian,
Perikanan,
dan Kehutanan (RPPK) sebagai salah satu dari Triple Track Strategy Kabinet Indonesia Bersatu dalam rangka
pengurangan kemiskinan dan pengangguran serta peningkatan daya saing ekonomi
nasional. Arah RPPK dijabarkan di sektor kelautan dan perikanan melalui
revitalisasi perikanan, yang bertujuan untuk meningkatkan kesejahteraan
nelayan, pembudi daya ikan, dan masyarakat pesisir lainnya serta pelaku ekonomi
perikanan/kelautan, menyediakan lapangan kerja, kesempatan berusaha, serta
meningkatkan konsumsi dan menyediakan bahan baku industri di dalam negeri dan
penerimaan devisa, serta meningkatkan penerimaan negara/daerah melalui hasil
perikanan.
Dengan demikian, pembangunan di sektor perikanan memerlukan berbagai
upaya terobosan dan kebijakan yang berpihak kepada industri dalam negeri serta
perencanaan strategik yang tepat, dengan bertumpu kepada tiga pilar pembangunan
nasional, yaitu progrowth strategy
(pertumbuhan ekonomi); pro-job strategy
(penyerapan tenaga kerja); dan pro-poor
strategy (pengentasan kemiskinan). Pencapaian ketiga aspek tersebut dapat
diwujudkan dengan pengembangan industrialisasi perikanan nasional dari tingkat
hulu sampai ke hilir dan dari skala kecil (rumah tangga) sampai ke skala
produksi massal (industri), melalui peningkatan akselerasi pembangunan
perikanan, peningkatan intensitas produksi, dan peningkatan nilai tambah
produk-produk perikanan.
Guna merealisasikan upaya pencapaian tujuan revitalisasi perikanan
diatas, diperlukan dukungan sumber daya manusia yang berkualitas dengan
ciri-ciri profesional, kreatif, inovatif, kredibel, dan berwawasan global untuk
dapat mendukung sistem bisnis perikanan mulai dari pra-produksi, produksi,
pengolahan, dan pemasarannya. Sehubungan dengan itu, perlu dikembangkan sistem
penyuluhan perikanan yang mampu memberdayakan pembudi daya ikan, nelayan, dan
keluarganya, serta pelaku usaha perikanan lainnya. Sistem penyuluhan ini
merupakan proses pembelajaran bagi pelaku utama dan pelaku usaha agar mereka
mau dan mampu menolong serta mengorganisasikan dirinya dalam mengakses
informasi pasar, teknologi, permodalan, dan sumber daya lain, sebagai upaya
untuk meningkatkan produktivitas, efisiensi usaha, pendapatan, dan
kesejahteraannya, serta meningkatkan kesadaran dalam pelestarian fungsi
lingkungan hidup.
Keberadaan penyuluhan
perikanan saat ini masih memerlukan perbaikan dan reformasi. Reformasi
penyuluhan perikanan dimaksudkan untuk mendudukkan dan memberdayakan sekaligus
memperbaharui penyuluhan perikanan sebagai bagian integral dari pembangunan
kelautan dan perikanan. Artinya penyuluhan perikanan yang harus dilakukan
dengan mengubah paradigma penyuluhan masa lalu (menganggap diri satu-satunya agent of change) menjadi lebih pragmatis
dengan lebih mengedepankan pertimbangan responsif dan proaktif terhadap
dinamika lingkungan strategis yang berkembang di masyarakat (clienteles). Untuk itu, sistem
penyuluhan perikanan perlu dikembangkan agar sesuai dengan kebutuhan nelayan,
pembudi daya, dan pengolah ikan dalam meningkatkan kompetensi ilmu dan
teknologi, manajerial, bekerja dalam tim, berorganisasi, bermitra usaha, dan
memiliki integritas moral yang tinggi.
II. KONDISI
PENYULUHAN PERIKANAN
A. Kondisi Saat Ini
Kementerian
Kelautan dan Perikanan menghadapi tantangan dalam menggali potensi sumber daya
perairan (laut dan perairan umum) yang memiliki nilai penting bagi peningkatan
kesejahteraan masyarakat. Berdasarkan visi, misi, dan program KKP, maka
diperlukan sistem dan kelembagaan penyuluhan untuk mengakselerasi perubahan
prilaku baik pengetahuan, sikap, dan keterampilan ke arah yang lebih baik,
khususnya pada pembudi daya ikan ikan, dan nelayan, serta masyarakat perikanan.
Kegiatan perikanan secara on-farm,
memiliki kegiatan perikanan budidaya dan perikanan tangkap. Perikanan budidaya,
khususnya di perairan tawar, memiliki pola aktivitas serupa dengan on-farm/off-farm komoditas pertanian.
Untuk itu, konsep dasar penyuluhan perikanan budidaya hampir sama dengan konsep
pertanian. Namun demikian, kegiatan penyuluhan perikanan untuk nelayan,
pengolah hasil perikanan, dan masyarakat pesisir lainnya, memiliki
karakteristik yang khas, sehingga membutuhkan implementasi di tingkat lapangan
dengan penekanan metodologi dan peran penyuluh yang berbeda pendekatannya.
Sedangkan untuk transfer teknologi sebaiknya ditumbuhkan penyuluh perikanan
swadaya yang berasal dari kalangan nelayan sendiri.
Di samping itu, peranan ”Penyuluh Swasta” juga telah terbukti berhasil
mewujudkan kesuksesan industri budi daya udang di seluruh Indonesia pada tahun
1980-an. Dengan demikian, pemerintah mengharapkan agar dalam Rancangan
Undang-Undang Sistem Penyuluhan, disamping harus memuat prinsip-prinsip dasar
penyuluhan yang bercirikan kebersamaan dengan sektor lain, juga diperlukan
keluwesan untuk memberi peluang antisipasi jika terdapat kondisi yang berbeda,
termasuk menoleh kepada potensi penyuluh swasta dan penyuluh swadaya.
Untuk mencapai tujuan pembangunan kelautan dan perikanan, maka pengembangan
sumber daya manusia merupakan faktor kunci yang harus diperhatikan. Salah satu
upaya dalam mewujudkan hal tersebut adalah melalui reformasi dan revitalisasi
sistem penyuluhan perikanan yang komprehensif. Di sisi lain, selama ini
penyuluhan perikanan merupakan bagian dari penyuluhan pertanian. Oleh karena
sifat dan bentuk kegiatan perikanan sangat spesifik, maka diperlukan
penyelenggarakan penyuluhan perikanan tersendiri untuk meningkatkan efektivitas
dan efisiensi. Reformasi dan revitalisasi penyuluhan perikanan tersebut sangat
diperlukan, karena pertimbangan berikut:
1.
Wawasan, pengetahuan, dan kesadaran sumber daya
manusia perikanan masih perlu ditingkatkan. Di sisi lain, kesadaran kritis (critical awareness) masyarakat semakin
meningkat di era reformasi sedangkan tingkat kepercayaan pada sistem birokrasi
yang ada menurun, sehingga mereka berupaya mencari penyelesaian masalahnya dari
berbagai sumber alternatif yang belum tentu dapat dipertanggungjawabkan
keberadaannya. Masyarakat dari berbagai lapisan tersebut dalam mengakses
informasi lokal, nasional, dan global makin mudah dan intensif, serta secara
utuh/tanpa saringan; namun di sisi lain tingkat kedewasaan/kematangan
masyarakat sangat beragam dalam mensikapinya, sehingga rentan terhadap konflik;
2.
Selama ini sistem penyuluhan yang ada bersifat
polivalen sedangkan substansi perikanan bersifat khas, sebagaimana kita ketahui
kondisi teknis, lingkungan, ekologis, dan sosial perikanan sangat spesifik;
sehingga perlu tersedia kelembagaan, fasilitas, tenaga penyuluh, yang secara
khusus menangani perikanan dan dapat dilaksanakan secara tersendiri;
3.
Keadaan saat ini, nelayan, pembudi daya ikan,
dan pengolah ikan belum memanfaatkan teknologi terapan secara optimal untuk
meningkatkan produktivitas dan kesejahteraannya; sehingga pengetahuan,
keterampilan, sikap, dan motivasi mereka masih perlu ditingkatkan melalui
penyuluhan. Di sisi lain, sistem penyuluhan perikanan baku yang disepakati
belum efektif implementasinya, sehingga dalam pelaksanaanya belum diselenggarakan
dalam konteks jejaring kerja.
4.
Saat ini terdapat perubahan sosial yang lebih
demokratis dan tata pemerintahan yang lebih banyak melimpahkan kewenangan
kepada daerah (prinsip otonomi daerah), sehingga memerlukan perubahan paradigma
di kalangan pejabat, aparat, dan masyarakat. Namun demikian, implementasi
otonomi daerah, berimplikasi pada penempatan kegiatan dan kelembagaan
penyuluhan (termasuk perikanan) bukan sebagai prioritas penanganan, karena
dianggap sebagai overhead cost daerah
(kata lain dari menjadi beban daerah dan bukan pemasok PAD). Secara
pemerintahan, maka keberadaan kelembagaan penyuluhan perikanan sebagai
administrasi pangkal di daerah menjadi beragam.
5.
Tuntutan masyarakat terhadap sistem pemerintahan
dan ketatanegaraan yang lebih demokratis, seiring dengan kesadaran untuk keluar
dari keterpurukan ekonomi yang membebani dan fungsi birokrasi yang selama ini
dianggap kurang berpihak pada rakyat. Adanya semangat dan kesadaran membangun
masyarakat setempat serta akses informasi yang mudah didapat, juga gencarnya
agen pemasaran swasta dan institusi pendidikan dan penelitian di sektor
perikanan, telah menempatkan penyuluh fungsional PNS bukan satusatunya “Agent of Change”.
B. Kondisi Yang Diinginkan
Atas dasar perbedaan: fungsi produksi pada proses budidaya, penangkapan,
dan pengolahan hasil ikan; karakteristik yang khas dari nelayan dan masyarakat
pesisir, terutama sikap dan perilakunya; tingkat mobilitas yang tinggi para
nelayan; keterbatasan kuantitas dan
kualitas aparat perikanan di berbagai daerah; dan potensi unsur swasta untuk
berperan dalam penyuluhan; maka diperlukan Sistem Penyuluhan Perikanan yang
spesifik.
Untuk itu, karakteristik sistem penyuluhan perikanan yang produktif,
efektif, efisien, dinamis dan profesional dalam sektor kelautan dan perikanan
itu antara lain:
1.
Sistem
yang digerakkan oleh kepemimpinan nelayan, pembudi daya ikan, dan pengolah
ikan. Semua keputusan program dan kegiatan menyelenggarakan penyuluhan
perikanan dimulai dari nelayan, pembudi daya ikan, dan pengolah ikan, yang pada
akhirnya dilaksanakan sendiri oleh, dari, dan untuk mereka sendiri. Para kontak
tani/nelayan dan KTNA diberdayakan agar mampu bertindak sebagai penyuluh
perikanan swadaya. Penyelenggaraan penyuluhan perikanan tersebut diarahkan agar
mampu mendorong kemampuan nelayan, pembudi daya ikan, dan pengolah ikan
membangun kerjasama dengan Perguruan Tinggi, Balai Penelitian, LSM, dan
organisasi lain dalam kemitraan usaha sistem bisnis perikanan.
2.
Sistem
yang bertumpu pada otonomi daerah. Sistem otonomi daerah, memungkinkan
penyuluhan perikanan diarahkan untuk terselenggara melalui pendekatan spesifik
lokalita dan keunggulan kompetitif wilayah, sehingga efisien dan efektif dalam
penggunaan sumberdaya serta demokratisasi pembangunan perikanan dapat tercapai.
Dengan demikian, hal yang paling penting justru terjadinya perubahan paradigma
para aparatur di daerah untuk lebih banyak melayani masyarakat.
3.
Sistem
yang diwadahi oleh kekuatan kelembagaan. Sistem penyuluhan perikanan perlu
diwadahi oleh suatu kelembagaan penyuluhan yang berfungsi sebagai unit
pelayanan pendidikan/pembelajaran oleh penyuluh pemerintah, yang bekerjasama
dengan penyuluh perikanan swadaya dan atau penyuluh perikanan swasta. Hal ini
untuk memudahkan pembinan dan pengembangan profesionalisme penyuluh untuk
pengembangan kepemimpinan nelayan, pembudi daya ikan, dan pengolah ikan.
4.
Sistem
yang didukung oleh profesionalisme penyuluh perikanan. Sistem penyuluhan
perikanan diarahkan untuk mengembangkan profesionalisme penyuluh sebagai
profesi yang mandiri, melalui pengembangan keahlian dan keberpihakan kepada
nelayan, pembudi daya ikan, dan pengolah ikan, serta meningkatkan citra
penyuluhan. Dengan demikian, maka sangat diperlukan keberadaan penyuluh fungsional
yang berkualitas dibidangnya, dengan jumlah yang proporsional dan tidak
berlebihan, sehingga efisien dan efektif dalam memberikan pelayanan.
III. PERMASALAHAN DAN TANTANGAN
Kementerian Kelautan dan Perikanan selama ini telah melaksanakan program-program
pemberdayaan sumber daya manusia yang bersifat partisipatif dan demokratis.
Namun demikian, masih terdapat beberapa permasalahan utama yang masih perlu
diatasi antara lain berupa paradigma
yang konservatif, ketenagaan,
kelembagaan, penyelenggaraan, dan sumber daya penyuluhan perikanan.
Paradigma konservatif penyuluhan
yang masih berorientasi pada masa lalu, dan masih sering penanganan masalah
penyuluhan dengan stigmatisasi rutinitas yang mengabaikan perubahan atau
dinamika lingkungan strategis yang berkembang di masyarakat pada globalisasi.
Permasalahan di bidangketenagaan,
antara lain: (1) penyebaran dan kompetensi tenaga penyuluh perikanan belum
teridentifikasi dengan baik; (2) banyak alih tugas penyuluh perikanan ke
jabatan lain yang tidak sesuai dengan kompetensi penyuluh perikanan; (3)
rendahnya kemampuan dan kinerja penyuluh perikanan dalam menjalankan tugas dan
menurunkan kredibilitas mereka di mata nelayan, pembudi daya ikan, pengolah
ikan, dan pelaku usaha lainnya; (4) usia penyuluh fungsional perikanan sebagian
besar diatas 45 tahun sehingga kurang dinamis kinerjanya; serta (5) rendahnya
frekuensi/intensitas kunjungan penyuluh perikanan ke masyarakat karena dukungan
biaya operasional untuk penyuluhan perikanan tidak memadai dan kurangnya
kompetensi.
Sedangkan permasalahan di bidang
kelembagaan, antara lain: (1) fungsi penyuluhan perikanan di daerah belum
berjalan optimal karena mandat untuk melaksanakan penyuluhan perikanan kurang
tegas; (2) tidak ada kepastian bentuk kelembagaannya; (3) belum semua kecamatan
memiliki Pos Pelayanan Penyuluhan Perikanan, dan beberapa bergabung di BPP,
namun dengan tugas yang masih polivalen; (4) pimpinan/pengelola kelembagaan
penyuluhan (termasuk perikanan) di kabupaten/kota banyak yang tidak memiliki
latar belakang penyuluhan perikanan, sehingga kurang memahami pengelolaan
kelembagaan dan penyelenggaraan penyuluhan; serta (5) sistem penyuluhan
perikanan yang dimiliki dan dioperasionalkan baik oleh nelayan, pembudi daya
ikan, pengolah ikan, maupun oleh swasta, belum dimanfaatkan secara optimal oleh
Pemerintah sebagai mitra kerja sejajar untuk melayani nelayan, pembudi daya
ikan, dan pengolah ikan. Namun seutuhnya, kita masih menunggu tindak lanjut
keberadaan perpres tentang kelembagaan yang digodog MenPAN dan RB beserta
timnya.
Permasalahan
di bidang penyelenggaraan penyuluhan,antara
lain:(1) penyelenggaraan penyuluhan perikanan masih bersifat parsial; (2)
penyusunan program penyuluhan perikanan belum tersedia dan belum sesuai dengan
kebutuhan lapangan serta belum didasarkan pada prinsip-prinsip penyusunannya;
(3) belum mendorong kemitraan dengan nelayan, pembudi daya ikan, dan pengolah
ikan, swasta, peneliti, dan Lembaga Swadaya Masyarakat (LSM) sebagai bagian
dari jaringan penyuluhan perikanan; serta (4) materi dan metode penyuluhan
perikanan belum sepenuhnya mendukung pengembangan perikanan sebagai komoditas
unggulan di daerah, karena kurangnya dukungan informasi dan keterbatasan
sumberdaya.
Permasalahan di bidangsumberdaya
penyuluhan perikanan, antara lain: (1) terdapat kesenjangan antara kemajuan
teknologi dengan aksesibilitas penyuluh untuk menguasainya; (2) terbatasnya
sarana dan prasarana yang dimiliki penyuluh perikanan dalam melaksanakan tugas
dan fungsinya; (3) terbatasnya dukungan penyuluhan perikanan yang bersumber
baik dari pemerintah, propinsi dan kabupaten/kota maupun kontribusi dari
nelayan, pembudi daya ikan, dan pengolah ikan dan swasta.
Dengan adanya kompleksitas permasalahan dalam
penyuluhan perikanan, maka situasi yang kita hadapi dalam memperbaiki carut
marutnya penyuluhan tersebut seperti “fenomena mengisi
air dalam wadah ember yang bocor”. Artinya, kita harus punya pilihan
untuk mengganti, atau kita menggunakan ember yang ada dengan cara menambal dari
kebocoran pada tingkat elevasi yang rendah ke paling tinggi sehingga permukaan
air akan mencapai ketinggian optimal, dan bukan mengabaikannya.
Senada dengan itu, maka tantangan kita untuk
memperbaiki penyuluhan perikanan perlu mengidentifikasi permasalahan yang
paling mendasar dan paling mungkin segera ditangani, sambil terus membenahi
kepada permasalahan berikutnya. Dengan kata lain penanganan penyuluhan
perikanan harus banyak melakukan berbagai terobosan (break through) dan bukan menanganinya seperti kegiatan rutin atau business as usual.
Menyoroti kelembagaan dan ketenagaan penyuluhan, sampai saat ini, secara
resmi dipersepsikan bahwa yang melakukan penyuluhan hanyalah instansi
pemerintah. Dengan adanya berbagai kendala yang melilit tubuh lembaga
penyuluhan, seperti terbatasnya dana anggaran, rendahnya gaji petugas
pemerintah, dan terbatasnya kemampuan merekrut jumlah tenaga penyuluh sesuai
kebutuhan, maka tuntutan akan adanya peyuluhan yang lebih intensif dan efektif
guna menunjang sasaran penyuluhan yang lebih maju dalam kenyataannya sulit
untuk dipenuhi. Di masa yang akan datang kendala tersebut sangat berpotensi
terus terjadi, mengingat dana yang dikuasai oleh pemerintah harus dapat
digunakan juga untuk membangun sektor-sektor lain secara proporsional dan
pragmatis.
Dalam kondisi seperti itu, suatu strategi penyuluhan perikanan perlu
dikembangkan, yakni dengan mengajak, memberi kesempatan, bahkan berkolaborasi
(kata lain menugasi) lembagalembaga di luar KKP untuk secara resmi ikut
berpartisipasi aktif dalam penyuluhan perikanan. Sejak beberapa tahun yang
lalu, beberapa pihak diluar KKP sebenarnya telah ikut melakukan penyuluhan
perikanan, Kementerian terkait, perguruan tinggi, nelayan, pembudi daya, dan
pengolah ikan maju, perusahaan-perusahaan yang bergerak di bidang perikanan,
dan lain-lain. Namun pelaksanaanya belum atas dasar pembagian tugas dan
koordinasi yang jelas dan resmi.
Aspek-aspek penting yang perlu dicermati dalam struktur kelembagaan
penyuluhan di Kabupaten/Kota dalam rangka Reformasi dan Revitalisasi Penyuluhan
Perikanan diantaranya, yaitu:
1.
Aspek fungsi manajemen penyelenggaraan
penyuluhan perikanan seharusnya terintegrasi dengan pembangunan kelautan dan
perikanan;
2.
Aspek aset yang dimiliki kelembagaan penyuluhan
perikanan di Kabupaten/Kota harus didukung untuk mengoptimalkan kinerjanya
sebagai penyelenggara penyuluhan perikanan;
3.
Aspek kinerja kelembagaan penyuluhan perikanan
Kabupaten/Kota perlu ditata sehingga pasti tersedia, serta terintegrasi dengan
penyusun dan pelaksana program pembangunan kelautan dan perikanan (Dinas teknis
terkait);
4.
Aspek pembinaan dalam membangun kesatuan korps
sesuai dengan misi penyuluhan perikanan perlu dilaksanakan dengan intensif;
5.
Aspek sumberdaya manusia perlu dikembangkan
secara serius dan berkelanjutan.
Kelima aspek tersebut diatas merupakan pusat
perhatian mengembangkan kelembagaan penyuluhan perikanan yang menempatkan
kembali posisi sentral kelembagaan penyuluhan perikanan sebagai motor penggerak
pembangunan perikanan di bidang pengembangan sumberdaya manusia perikanan.
Untuk itu, agar kelembagaan di Kabupaten/Kota dapat berfungsi sesuai dengan
tuntutan Reformasi dan Revitalisasi Penyuluhan Perikanan, maka diperlukan
adanya standarisasi minimal kelembagaan penyuluhan perikanan di Kabupaten/Kota.
IV. UPAYA
NYATA PENINGKATAN KINERJA PENYULUHAN
Sejalan dengan situasi dan kondisi di atas, salah satu faktor yang sangat
mendukung keberhasilan revitalisasi perikanan ini adalah keberhasilan dalam
membangun dan menggerakkan sumber daya manusia kelautan dan perikanan. Dalam
rangka mendukung keberhasilan pembangunan perikanan khususnya yang berkaitan
dengan pembangunan sumber daya manusia, Pemerintah telah membentuk Badan
Pengembangan Sumber Daya Manusia Kelautan dan Perikanan melalui Peraturan
Presiden Nomor 80 Tahun 2005.
Hal ini merupakan wujud kepedulian terhadap pembangunan kelautan dan
perikanan pada umumnya, yang menempatkan secara khusus penyuluhan menjadi salah
satu unsur kepentingan dari pembentukan Badan tersebut. Dengan demikian,
keberadaan penyuluhan merupakan kegiatan yang paling strategis dalam sistem
pembangunan nasional, terutama dalam mendukung keberhasilan revitalisasi
perikanan yang berorientasi pada pro-poor,
pro-job, dan pro-growth. Secara
eksplisit, keberadaan Badan ini juga dimaksudkan dapat menjadi mediasi dan
memfasilitasi dalam:
1.
Meningkatkan penataan kelembagaan dan tata
penyelenggaraan penyuluhan perikanan, sehingga dapat mempercepat peningkatan
kompetensi tenaga penyuluh, efektif, dan efisien.
2.
Menyiapkan berbagai acuan teknis dan non teknis
dalam melaksanakan penyelenggaraan penyuluhan perikanan, sehingga mampu
menyelaraskan kebijakan penyuluhan perikanan nasional, dengan tidak mengabaikan
adanya kondisi lokal spesifik yang berbeda pada berbagai daerah;
3.
Membantu terselenggaranya berbagai upaya dalam
mewujudkan jejaring kerja penyuluhan perikanan baik nasional, regional, dan
lokal.
Dalam kaitan tersebut,
upaya nyata yang dilakukan guna meningkatkan kinerja penyuluhan dalam mendorong
reformasi dan revitalisasi penyuluhan perikanan antara lain menyangkut aspek
kelembagaan dan ketenagaan.
A. Kelembagaan Penyuluhan Perikanan
Penyelenggaraan
penyuluhan perikanan telah mengalami proses transformasi. Sampai saat ini,
banyak kegiatan yang telah dilaksanakan dalam penyuluhan perikanan. Salah satu
faktor kunci keberhasilan penyuluhan perikanan adalah adanya kelembagaan
penyuluhan perikanan yang tangguh sebagai unsur terdepan dalam meningkatkan
kualitas sumberdaya manusia perikanan (nelayan, penyuluh, dan pelaku usaha
lainnya).
Kelembagaan penyuluhan perikanan yang menjadi fokus dalam hal ini di
tingkat Kabupaten/Kota, mengingat secara yuridis penyelenggaraan penyuluhan
adalah dalam kewenangan kabupaten/kota. Disamping itu, menjadi suatu kepastian
bahwa kabupaten/ kota lebih menguasai/mengerti permasalahan daerah dibanding
Pusat/Daerah.
Sampai saat ini, KKP telah menerima berbagai pemikiran yang terkait
dengan penyempurnaan Rancangan Undang-Undang tentang Sistem Penyuluhan, yang
mempertimbangkan berbagai perubahan dinamika lingkungan strategis. Pada masa
ini terjadi perubahan mendasar dalam ketatanegaraan dan kondisi masyarakat
yakni berkembangnya prinsip otonomi daerah, meningkatnya kesadaran masyarakat
untuk berpartisipasi dalam pembangunan, serta kemajuan penguasaan teknologi
informasi. Sejalan dengan pengajuan RUU tersebut, KKP juga melakukan berbagai
forum pertemuan yang memberikan ruang gerak dalam menampung aspirasi dan
inspirasi aparatur di daerah dan masyarakat, khususnya nelayan, pembudi daya ikan,
pelaku usaha perikanan, akademisi, dan tentunya para penyuluh perikanan itu
sendiri. Workshop sosialisasi RUU tersebut, telah diselenggarakan 20 kali di
tingkat propinsi, 33 kali di tingkat kabupaten, dan 2 kali untuk tingkat
nasional.
Guna
mengakomodasikan pemikiran empirik di atas, dan setelah mendapatkan berbagai
aspirasi dari aparatur di daerah dan masyarakat, maka dipandang perlu untuk menyempurnakan hal
berikut:
1.
Pada bagian penjelasan untuk pasal 10 ayat 2
tentang Kelembagaan Penyuluhan di tingkat Pusat berbentuk Badan yang
bertanggung jawab kepada Menteri. Di propinsi berbentuk Badan yang bertanggung
jawab kepada Gubernur. Di kabupaten/kota berbentuk Badan yang bertanggung jawab
kepada Bupati/Walikota. Di kecamatan berbentuk Balai yang bertanggung jawab
kepada kelembagaan penyuluhan di tingkat kabupaten/kota. Usul
perbaikan agar di kabupaten/kota
ditambah kata dapatberbentuk Badan yang bertanggung jawab kepada
Bupati/Walikota. Bahkan bagi sektor kelautan dan perikanan akan lebih baik
terintegrasi dalam Dinas Kelautan dan Perikanan.
2.
Usulan ini dimaksudkan agar memberikan ruang
gerak kabupaten/kota menata kelembagaan penyuluhan sesuai kemampuan sumberdaya
yang dimilikinya dan kondisi daerah masingmasing, khususnya menjawab tantangan
di sektor perikanan yang khas dan spesifik.
3.
Dalam usulan perbaikan tersebut, KKP menganggap
perlu adanya kelembagaan penyuluhan di kabupaten/kota, akan tetapi tidak harus
berbentuk Badan. Kelembagaan tersebut dapat pula berupa kelembagaan yang
merupakan unsur dari Dinas di kabupaten/kota (misalnya: Sub Dinas Penyuluhan
atau Unit Pelaksana Teknis Daerah pada Dinas Kelautan dan Perikanan). Di
samping itu, di tingkat Kabupaten/ Propinsi/Pusat dapat dibentuk Forum Penyuluhan, sebagai wadah koordinasi.
4.
Terintegrasinya kelembagaan penyuluhan tersebut
pada Dinas Kabupaten/ Kota memberikan keuntungan sebagai berikut:
a.
Dapat menghindari miskoordinasi antara kegiatan
sektor oleh Dinas dengan kegiatan penyuluhan.
b. Mengurangi
permasalahan keterbatasan sumber daya (khususnya sumberdaya manusia dan dana)
pada kabupaten/kota tertentu, yang banyak terdapat pada sektor perikanan.
B. Ketenagaan Penyuluhan Perikanan
Tujuan
penyuluhan perikanan adalah meningkatnya pengetahuan, keterampilan, sikap dan
motivasi masyarakat, khususnya nelayan, pembudi daya, pengolah ikan dan
keluarganya, terutama dalam rangka meningkatkan pendapatan dan
kesejahteraannya. Dari definisi itu terlihat bahwa khalayak yang disuluh
meliputi seluruh lapisan masyarakat yang dapat dikelompokan sebagai berikut:
nelayan, pembudi daya ikan, pengolah ikan, pedagang ikan, pengusaha perikanan,
generasi muda, tokoh adat dan masyarakat, pemuka agama, aparatur pemerintah,
dan kelompok masyarakat lainnya yang berkaitan secara langsung atau tidak
dengan perikanan. Artinya sasaran/clienteles
dari penyuluh begitu beragam dengan latar belakang yang berbeda pula.
Saat
ini, keberadaan penyuluh perikanan berdasarkan data tahun 2014 sebanyak 3.200
orang, yang tersebar di Sumatera sebanyak 691 orang, Jawa 765 orang, Bali Nusa
Tenggara 290 orang, Kalimantan 300 orang, Sulawesi 707 orang, dan Maluku-Maluku
Utara-Papua 376 orang. Jika dilihat berdasarkan wilayah, maka jumlah penyuluh
di wilayah Barat (SumateraJawa-Kalimantan) sebanyak 1.456 orang dan wilayah
Timur (Sulawesi-Bali Nusa TenggaraPapua Maluku) 1.323 orang. Di samping jumlah
yang terbatas, juga terjadi ketimpangan ratio jumlah penyuluh untuk daerah yang
berpotensi besar tetapi ratio penyuluh kecil, sedangkan daerah yang sudah
berpotensi biasa dengan ratio penyuluh besar. Tentu ratio ini perlu dikaji
lebih jauh bi dai aspek kualiats`maupun kuantitas.
Pertanyaannya
ketenagaan penyuluh perikanan seperti apa yang seharusnya kita miliki atau
dengan kompetensi seperti apa? Perubahan cara pandang masyarakat yang semakin
kritis, dan sistem pemerintahan yang bergeser dari sentralistik ke arah
desentralistik yang lebih mengedepankan prinsip-prinsip otonomi daerah. Artinya
permasalahan yang tingkat akar rumput menjadi kewenangan Bupati/Walikota yang
tentu lebih paham perilaku masyarakat di kampungnya, dari pada Pemerintah Pusat
di Jakarta.
Senada
dengan itu, dalam membangun sistem penyuluhan perikanan akan menjadi lebih
kompleks di tingkat implementasinya di lapangan karena lebih merupakan
kewenangan daerah. Pemerintah Pusat menyediakan pedoman, norma, dan standar
penyuluhan perikanan, yang didukung dengan pembinaan sedangkan pelaksanaannya
harus bersifat lokal spesifik dan sesuai permasalahan yang dihadapi.
Pada
saat ini, para pelaku penyuluh perikanan yang dikenal meliputi:
1.
Penyuluh
Fungsional adalah Pegawai Negeri Sipil yang diangkat oleh pejabat yang
berwenang dalam jabatan fungsional penyuluh.
2.
Penyuluh
Swasta adalah seseorang yang diberi tugas oleh perusahaan yang terkait
dengan usaha perikanan, baik secara langsung atau tidak langsung, melaksanakan
tugas penyuluhan perikanan.
3.
Penyuluh
Mandiri/Swadaya adalah seseorang yang atas kemauan sendiri melaksanakan
penyuluhan perikanan.
Pemerintah
Kabupaten/Kota harus lebih menyentuh akar permasalahan ketenagaan penyuluhan
perikanan di wilayahnya, termasuk dalam memilih tenaga penyuluh perikanan yang
bagaimana harus tersedia (out-sourcing
atau in-sourcing) dalam jangka
pendek, jangka menengah, dan jangka panjang. Walaupun pada hakekatnya setiap
orang yang mempunyai pengetahuan tentang perikanan dan mampu berkomunikasi
dapat menjadi penyuluh perikanan. Namun untuk rekruitmen dan mendanai
opersionalisasinya harus menjadi tugas kolektif, yang ditanggung bersama antara
Pemerintah Pusat, Pemerintah Daerah, dan masyarakat/swasta.
Saat ini, penyuluhan telah menjadi bidang kajian ilmiah. Wajarlah bila
profesionalisme para penyuluh perlu dikembangkan, mengingat tugas penyuluhan di
masa datang akan semakin luas, intensif, kompleks, sedangkan di lain pihak para
nelayan, pembudi daya, dan pengolah ikan semakin pandai, maju, dan kritis.
Pertanyaannya
dalam menangani masalah ketenagaan penyuluhan perikanan, bukan hanya dapat
melakukan rekruitmen dan menjadikannya terampil, tetapi mampukah kita membangun
integritas dan profesionalisme para penyuluh yang ada, dan menjadikannya
sebagai teladan bagi penyuluh juniornya.
Di sisi lain, dalam kenyataannya usaha perikanan pada saat ini didominasi
oleh usaha perikanan kecil dengan tingkat pendidikan yang relatif rendah,
sehingga untuk mengembangkan hal-hal yang bersifat inovatif menjadi kurang
efisien dan berdampak pada rendahnya kualitas produk yang dihasilkan. Kondisi
demikan berbanding lurus dengan peranan penyelenggaraan penyuluhan yang
berkualitas dan dalam kuantitas yang proporsional, menjadi sangat diperlukan
agar produksi yang dihasilkan oleh nelayan kecil dan pembudi daya-ikan kecil
dapat ditingkatkan mutunya. Selanjutnya, pada gilirannya hasil tersebut dapat
bersaing pada pasar yang lebih luas baik secara regional maupun internasional.
Cakupan tugas penyuluhan perikanan mengalami perubahan, dalam arti
bertambah luas dan berat, yang tidak terbatas pada peningkatan produksi, tetapi
juga usaha tani, pemasaran, pengolahan hasil perikanan, bisnis perikanan, dan
lain sebagainya. Untuk melaksanakan tugas yang semakin luas, kiranya sangat
wajar bila pihak pengusaha swasta dan BUMN yang bergerak dalam bisnis
perikanan, produsen dan distributor sarana produksi perikanan, bertanggung
jawab memberikan penyuluhan terkait dengan produk yang dijualnya.
Instansi-instansi,
lembaga-lembaga dan organisasi-organisasi bidang perikanan yang memiliki potensi
besar terlibat dalam penyuluhan perlu didekati secara resmi untuk berkolaborasi
melaksanakan fungsi penyuluhan perikanan, seperti perguruan tinggi perikanan,
lembaga perbankan, LSM, asosiasi komoditi perikanan, MPN, HNSI, berbagai media
masa, Kementerian /LPND terkait. Di sisi lain, mediasi penyuluhan perikanan
dapat dilakukan dengan memanfaatkan kelembagaan pendidikan dan sosial
keagamaan, seperti sekolah, pondok pesantren, seminari, pasraman, dll. Lagi
pula, segala ilmu dan teknologi perikanan bukanlah monopoli pihak tertentu
saja, demikian pula pengetahuan dan tugas penyuluhan.
Adanya hal tersebut diatas, tidaklah berarti KKP akan kekurangan tugas
untuk ditangani, namun sinergitas tugas pengemasan teknologi dan penyuntingan
informasi perikanan atas dasar kondisi lokal yang selama ini agak terabaikan
nantinya akan dapat ditangani dengan lebih tuntas.
Eksistensi sekolah tinggi/fakultas ilmu perikanan yang tersebar diseluruh
nusantara amat perlu dimungkinkan kontribusi secara resmi dan legal dalam mengemban
fungsi penyuluhan perikanan.
Untuk mendayagunakan potensi sumber daya perikanan serta menggerakkan
seluruh potensi bangsa diperlukan upaya percepatan dan berbagai terobosan yang
integratif sebagai suatu program nasional revitalisasi perikanan. Pelaksanaan
program ini: (1) merupakan wujud dukungan politik, ekonomi dan sosial untuk
menjadikan sektor perikanan sebagai salah satu prime mover pembangunan ekonomi nasional; (2) merupakan upaya untuk
memacu pemanfaatan potensi sumber daya perikanan yang berwawasan lingkungan
guna peningkatan kesejahteraan rakyat; serta (3) memacu meningkatnya sumbangan
terhadap pertumbuhan ekonomi nasional. Sebagai sebuah gerakan nasional, yang
menempatkan reformasi penyuluhan perikanan sebagai bagian inheren di dalamnya,
maka program ini akan menjadi salah satu lokomotif bagi pengembangan ekonomi
rakyat, oleh karena itu secara langsung maupun tidak langsung diperlukan adanya
dukungan sektor lainnya.
Selama
tahun 2014-2019, beberapa langkah operasional yang telah dilakukan KKP dalam
meningkatkan kinerja penyuluhan perikanan, yaitu:
1.
Menerbitkan konsep penyelenggaraan penyuluhan
perikanan berupa turunan atau derivasi UU no.16/2006 berupa 1 buah peraturan
pemerintah dan 15 Peraturan Presiden RI, dan Keputusan Menteri KP/Peraturan
Menteri KP;
2.
Sosialisasi Penyuluhan Perikanan Tingkat
Nasional di berbagai propinsi dan kabupaten/kota pada tahun 2014-2019;
3.
Mengalokasikan sepeda motor bagi penyuluh
perikanan sebanyak 919 unit dan 2.000 unit HP di Kabupaten/Kota dan UPT lingkup
Badan Pengembangan SDM Kelautan dan Perikanan (2014-2019);
4.
Mengalokasikan bantuan tenaga penyuluh PNS
(fungsional) 108 orang di Kabupaten/Kota dan UPT Badan Pengembangan SDM KP
(2014-2019);
5.
Rekrutmen penyuluh perikanan tenaga kontrak
sebanyak 2.000 orang di Kabupaten/Kota dan UPT secara progresif sejak tahun
2014-2019, diharapkan proses moratorium tidak menghambat ;
6.
Pembinaan Desa Mitra di setiap UPT lingkup Badan
Pengembangan SDM Kelautan dan Perikanan sejak tahun 2014-2019;
7.
Bantuan Operasional Penyuluhan di lebih 360
Kabupaten/Kota bagi sekitar 3.200 penyuluh PNS dengan besaran bragam, yakni:
Rp.340.000 per orang per bulan di Wilayah Barat, Rp.400.000 di Wilayah Tengah,
dan Rp.480.000 di Wilayah Timur dapat disesuaikan (20142019); dan
8.
Penerbitan media penyuluhan berupa poster dan
media cetak lainnya.
0 comments:
Post a Comment