Sunday, December 28, 2014

PENGGUNAAN PUPUK UREA UNTUK MENCUKUPI NUTRISI IKAN MAS

December 28, 2014 Posted by Media Penyuluhan Perikanan Pati 1 comment


Budidaya ikan Mas aatu tombro di desa Talun, kecamatan Kayen, Kabupaten Pati, dilakukan secara polikultur dengan bandeng air tawar bersama ikan nila juga Patin. Untuk budidaya yang dilakukan mempergunakan pupuk Urea dan pupuk SP-36 dengan dosis per Ha kisaran 750 Kg s/d 1000 Kg.
Pemupukan dengan Urea yang kandunganya N cukup tinggi merupakan unsur pembentuk protein. Penyusunan pakan ikan yang dapat memenuhi kebutuhan standar maupun produksi didukung oleh pemenuhan sumber protein dan energinya. Kandungan risi ikan mas yang baik untuk protein adalah 30 - 38%, kandungan lemak 4 -%, dan karbohidrat 30-40 %.
Protein merupakan sumber energi yang paling ktif dan efisien yang digunakan untuk pertumbuhan dibandingkan karbohidrat akeuchi  et  al.  2002).  Menurut  Furuichi  (1988)  dari  beberapa  studi  kadar timum karbohidrat pakan untuk golongan ikan karnivora adalah 10-20% dan longan omnivore adalah 30-40%. Karbohidrat dalam pakan digunakan sebagai tein sparring effet untuk memenuhi kebutuhan energi metabolisme basal dan intenance. Sedangkan, protein pakan dapat dipergunakan sepenuhnya untuk pertumbuhan.
Pengetahuan kebutuhan ikan budidaya sangat diperlukan guna mencapai rtumbuhan yang optimal dan keberlangsungan sebagai industri. Protein adalah ah satu nutrien yang sangat diperlukan oleh ikan. Menurut Webster & Lim 2002) menyatakan bahwa kebutuhan protein harian untuk maintanance ikan mas alah 1g/ kg berat badan, sedangkan untuk memperoleh retensi protein optimal da  tubuhnya   membutuhkan  protein  12  g/kg  berat   badan.   Protein  yang butuhkan proses pertumbuhan adalah 7-8 g protein per berat badan per hari. butuhan ikan akan protein dipengaruhi oleh berbagai faktor antara lain jenis n,  umur  ikan,  ukuran  ikan,  kualitas  protein,  pakan,  kecernaan  pakan,  dan ndisi lingkungan. Asam amino esensial yang wajib ada pada komposisi pakan n adalah lisin (Furuichi 1988).
Kebutuhan energi ikan mas dalam pakan lebih rendah daripada hewan rat.   Ikan   mempunyai   kebutuhan   energi   lebih   rendah   sebab   ikan   tidak mpertahankan suhu tubuh secara tetap, juga ikan relatif memerlukan energi yang  kurang  untuk  mempertahankan posisi dan bergerak dalam air  dibanding mamalia dan burung. Pakan yang dikonsumsi ikan akan menyediakan energi yang bagian besar digunakan untuk metabolisme yang meliputi energi untuk hidup kok, energi untuk aktivitas, energi untuk pencernaan makanan dan energi untuk rtumbuhan, sedangkan sebagian yang lainnya dikeluarkan dalam bentuk feses n bahan ekskresi lainnya (Webster & Lim 2002). Sumber energi lain  yang peran sebagai protein sparring effect selain karbohidrat adalah lemak. Lemak mpunyai peranan penting bagi ikan karena berfungsi sebagai sumber energi dan asam lemak esensial, memelihara bentuk dan fungsi membran atau jaringan ng penting bagi organ tubuh tertentu, membantu dalam penyerapan vitamin ng  larut  dalam lemak dan untuk  mempertahankan daya apung tubuh (NRC 93).  Ikan  mas  dapat  secara  efektif  memanfaatkan  lemak  dan  karbohidrat agai  sumber  energi  non-protein.  Energi  untuk  seluruh  aktivitas  tersebut harapkan   sebagian   besar   berasal   dari   nutrien   non   protein   (lemak   dan rbohidrat). Apabila sumbangan energi dari bahan non protein tersebut rendah, ka  protein  akan  didegradasi  untuk  menghasilkan  energi,  sehingga  fungsi tein sebagai nutrien pembangun jaringan tubuh akan berkurang. Menurut Shiau Huang (1990); Peres & Teles (1999), menyatakan bahwa, protein sparing effect h  karbohidrat  dan  lemak  dapat  menurunkan  biaya  produksi  (pakan)  dan ngurangi pengeluaran limbah nitrogen ke lingkungan.
Kebutuhan vitamin dan mineral pada pakan ikan mas, dipengaruhi oleh bagai  faktor  seperti  ukuran   ikan,   temperatur   media  pemeliharaan,   dan mposisi  pakan.  Pada  pembuatan  pakan  komersial  pemberian  vitamin  dan neral dapat dilebihkan menjadi dua hingga lima kali dari kebutuhan dasar. Hal dikarenakan pada proses pembuatan pellet, mengalami tekhnik extrution yang nggunakan suhu tinggi, sehingga memungkinkan vitamin dan mineral rusak n larut, (Takeuchi et al. 2002).
Mikroflora Saluran Pencernaan Ikan
Mikroflora  merupakan  mikroorganisme  yang  umum  ditemukan  pada uran pencernaan hewan terrestrial pemakan tumbuhan. Jenis mikroflora yang ing ditemukan adalah bakteri, fungi, protozoa dan flagelata. Mulai dari hewan ng berukuran kecil seperti rayap, hingga hewan vertebrata tingkat tinggi seperti sapi,  domba,  dan  kuda.  Pada  hewan air,  tipe  fermentasi  mikroba  yang  mirip ngan hewan darat tidak dikenal kecuali hanya pada ikan herbivore yaitu dari mily  Kyposidae.  Jenis  ikan  ini  merupakan  ikan pemakan rumput  (Browser) ng  tidak  memiliki suatu  mekanisme penumbukan atau penghancuran secara kanik pada bahan makanan  yang dikonsumsi. Mekanismenya adalah potongan makanan yang tercabik akan ditelannya, proses        pencernaan selanjutnya rlangsung  dikantung-kantung  caeca  pada  usus  bagian  belakang.  Di  tempat ebut fermentasi secara mikroba berlangsung secara intensif yang melibatkan bagai jenis bakteri, flagelata dan protozoa bersilia, (Affandi dkk. 2009).
Komponen sel tumbuhan yang relatif sulit untuk dicerna adalah dinding, hal ini dikarenakan dinding sel tumbuhan tersusun oleh komponen selulosa n lignin (polisakarida). Komponen tersebut di dalam saluran pencernaan hanya pat   dihidrolisis   oleh   enzim   selulase.   Pada   umumnya   ikan   tidak   dapat mproduksi selulase.  Enzim  selulase  biasa  diproduksi oleh  mikroflora  yang up bersimbiosis di dalam saluran pencernaan, sebagaimana yang ditemukan da ikan mas koki, Carasius auratus, (Migita & Hashimoto 1995) dan ikan mas, prinus carpio (Scherbina & Kazlaushene 1994). Menurut Clarke & Bouchop 977)   menyimpulkan   bahwa   aktivitas   selulase   ada   hubungannya   dengan biasaan ikan mengkonsumsi detritus.
Pada saluran pencernaan, mikroflora yang berkembang biak bukan saja kretor enzim selulase, tetapi juga dapat menghasilkan berbagai jenis enzim dari lompok enzim protease, lipase dan amylase. Berbagai enzim yang dihasilkan anjutnya akan berperan dalam pencernaan ekstraseluler pada  lumen saluran ncernaan. Jenis mikroflora pada saluran pencernaan sangat beragam, sebagai ntoh  mikroflora  dari  kelompok  bakteri dapat  terdiri dari:  Lactobacillus  sp, brio sp, Pseudomonas sp, Aeromonas sp, Bacillus sp, Flavobacterium sp, dan trobacter sp. Mikroflora berperan dalam proses pencernaan (penghasil berbagai is enzim), juga berperan sebagai penghambat pertumbuhan mikroba pathogen ik yang hidup di saluran pencernaan maupun di media hidup biota air tersebut.
Faktor  yang  sangat  berpengaruh  pada  pertumbuhan  mikroorganisme alah suhu. Pencernaan ikan memiliki sifat efisiensi pencernaan 5 sampai 10 kali ih tinggi pada suhu 250C di  bandingkan pada suhu 500C. Dengan demikian, pada berapa isolasi mikrob saluran pencernaan ikan digunakan suhu 250C, (Clarke n Bouchop, 1977).
Pertumbuhan  mikroba  pada  media  kultur  menurut  Gurmmings  (2004), pat dibedakan menjadi 4 model pertumbuhan; (a) Fase lag, selama tahap ini kteri beradaptasi dengan lingkungan pertumbuhan. Periode ini merupakan tahap matangan bakteri dan belum dapat membelah diri. Pada siklus pertumbuhan lag ase, sintesis RNA, enzyme dan molekul lain terjadi, (b) Fase Log (eksponential ase), pada fase ini dicirikan dengan terjadinya penggandaan sel, jumlah dari kteri yang baru bermunculan per unit waktu yang proporsional dengan populasi al. Jika pertumbuhan tidak dibatasi , maka penggandaan sel akan terus terjadi gga lajunya konstan, sehingga perbanyakan sel dan populasinya menjadi dua kali lipat seiring berurutan waktu. Pada fase ini merupakan fase pertumbuhan esifik, pertambahan sel per unit waktu. Fase ini tidak dapat terjadi secara terus nerus, karena lama-kelamaan nutrien media akan berkurang dan terjadi numpukan         sisa      metabolism,     (c)        Fase            stationer, pada fase ini terjadi rtumbuhan yang lamban karena kekurangan nutrien pada media dan akumulasi oduk  toksik.  Fase  ini  dicapai  ketika  bakteri  sudah  kehabisan  energi  untuk menuhi nutrisi dari media hidupnya. Fase ini memiliki nilai yang konstan, laju rtumbuhan bakteri sama dengan tingkat kematian bakteri, pada fase ini mikroba nderung  memproduksi senyawa  metabolit  sekunder seperti enzim, antibiotik n lain sebagainya dan (d) Fase kematian (death phase), pada fase ini, bakteri habisan nutrien dan mati.

Mikroba  yang  mengalami  fase  lethal,  akan  lisis  dan  dapat  dijadikan mber protein bagi inang. Model pertumbuhan mikroba pada media kultur dapat mati pada Gambar 1. Berdasarkan kebutuhan akan oksigen, mikroorganisme pat  dibedakan  menjadi       tiga  kelompok  yaitu  aerob,  anaerob dan  fakultatif. ikroba aerob adalah, mikroorganisme yang dapat tumbuh jika terdapat oksigen lingkungannya.  Oksigen  diperlukan  karena  energi  hanya  dapat  diperoleh lalui respirasi aerobik, seperti halnya hewan dan manusia. Kelompok kedua alah mikroba anaerob, yaitu mikroorganisme yang tidak membutuhkan oksigen tuk pertumbuhannya, pertumbuhannya akan terhambat dengan adanya oksigen hkan diantaranya ada yang sangat sensitive dan akan mati. Mikroorganisme ini ndapat energi dengan respirasi anaerobik. Kelompok ketiga adalah mikroba ultatif, yaitu mikroorganisme yang dapat tumbuh tanpa atau dengan adanya sigen. Kebutuhan energi dapat dipenuhi dengan bergantung pada kondisi gkungan sekitar, (Waluyo 2008).

Daya Kerja Antibiotik
Salah  satu  jenis  zat  antimikroba  disebut  dengan  antibiotik.  Antibiotik alah  suatu  substansi  (zat  kimia)  yang  diperoleh  dari  atau  dibentuk  dan hasilkan  oleh  mikroorganisme.  Kelebihan  dari  antibiotik  adalah,  meskipun lam jumlah yang sedikit  mempunyai daya hambat kegiatan mikroorganisme n.   Antibiotika memiliki beberapa sifat antara lain; menghambat atau membunuh bakteri pathogen, dapat  bersifat  bakterisidal  dan  bakteriostatik, rspektrum luas, tetap aktif dalam plasma, cairan badan atau eksudat, dan larut alam air. Ada  beberapa mekanisme kerja antibiotik antara lain; (1) mpengaruhi  dinding  sel  seperti;  amphisilin,  sikloserin  dan  vankomisin, (2) mpengaruhi fungsi membran sel seperti; polimiksin, kolistin dan nistatin, (3) nghambat sintesis protein seperti; streptomisin, tetrasiklin dan kloramphenikol, menghambat  sintesis  asam  nukleat  seperti;  novobiosin,  sulfonamide  dan metoprim (Waluyo 2008).
Penelitian  lain  menyebutkan  bahwa  penggunaan  jenis  antibiotik  tertentu mpu menurunkan populasi mikroba serta aktivitas enzim selulase dan protease. tivitas selulase berhubungan dengan kebiasaan makanan pada ikan, termasuk ikan  mas  sebagai  ikan  omnivora  yang  memiliki  kecenderungan ke  herbivora. lulase diproduksi oleh mikroflora usus. Selulase mikroflora pada usus ikan mas ah ditemukan oleh Scherbina & Kazlauskene (1971). Das & Tripatih (1991) laporkan aktivitas enzim selulase pada ikan grass carp (Cyprinus sp) menurun tika diberi pakan yang mengandung tetrasiklin. Jenis ikan Cherac adricarinatus yang diberi pakan mengandung 100 IU/mL penicilin dan 100 /L streptomycin per kg pakan selama 8 hari, menunjukkan penurunan aktivitas zim selulase pada saluran pencernaan sebanyak 40% dan populasi mikroflora % lebih rendah dibandingkan kontrol.
Penggunaan senyawa antibiotik untuk sub terapeutik (prophylactic) seperti ncegahan penyakit  dan  memacu  pertumbuhan  ternak  terrestrial  dan  akuatik us  meningkat  menyebabkan  tekanan  selektif  pada  mikroba  serta  memacu nculnya  resistensi  pada  berbagai  bakteri,  sehingga  untuk  sejumlah  kasus nyakit            pengendaliannya menjadi lebih sulit (WHO   1998). Penggunaan tibiotik pada panti pembenihan Pecten maximus berhasil menurunkan populasi kteri Vibrio  sp  secara  signifikan,  tetapi 1  dari 21  strain  yang  ada  terbukti njadi  resisten  terhadap  khloramfenikol  (Irianto  2003).  Permasalahan  tidak nya  karena  terbentuknya  dan  berkembangnya  bakteri-bakteri  yang  resisten elah terpapar antibiotik tersebut, tetapi juga terjadinya transfer gen-gen resisten bakteri  lainnya  yang  sebelumnya  tidak  pernah  terpapar  antibiotik  tersebut hite et al, 1999). Berdasarkan kekahwatiran tersebut, alternative pengendalian nyakti telah dilakukan, antara lain penggunaan vaksin dan immunostimulan n-spesifik (WHO 1998).

1 comment: