Thursday, April 24, 2014

LARANGAN PENGGUNAAN FORMALIN PADA PRODUK-PRODUK PERIKANAN

April 24, 2014 Posted by Media Penyuluhan Perikanan Pati 1 comment


Maraknya penyalahgunaan bahan kimia formalin sebagai pengawet makanan dewasa ini bukanlah merupakan hal yang baru lagi. Penggunaan formalin (dalam bahasa kimianya disebut juga formaldehide) tersebut terbukti berdampak buruk bagi kesehatan konsumen, mulai dari iritasi ringan sampai dengan gangguan kesehatan yang mengakibatkan kematian.
Tentunya hal ini tidak boleh dibiarkan terus berlanjut, melihat telah menyebar dan maraknya penyalahgunaan bahan kimia tersebut ditanah air. Untuk itu penulis mencoba melakukan penelitian dalam hal ini. Penulisan ini dibuat dengan menggunakan metode penelitian hukum yuridis normatif, yaitu suatu penelitian terhadap norma atau hukum, antara lain peraturan perundangundang yang terkait maupun putusan-putusan pengadilan. Data yang diperlukan dalam penelitian ini mencakup; Peraturan perundangundangan terkait, Putusan-putusan pengadilan, serta pendapat para ahli hukum. Cara pengumpulan data yaitu-dengan menggunakan metode studi pustaka, dan menggunakan metode analisis data secara Kualitatif
Larangan terhadap penggunaan formalin sebagai pengawet makanan sebenarnya sudah lama diterapkan, yaitu dalam Permenkes No. 722 1 MENKES 1 PER I IX l 1988 tentang Bahan Tambahan Makanan sebagaimana telah diubah dengan Permenkes No. 1168 / MENKES 1 PER 1 X I 1999, namun penyalahgunaan bahan kimia tersebut dewasa ini masih banyak ditemukan. Hal ini membuktikan bahwa tidak efektifnya peraturan perundang-undangan tersebut, dan penegakan hukumnya pun masih dipertanyakan. Pelaku usaha yang memasarkan makanan dengan menggunakan formalin sebagai bahan pengawet makanannya tentunya melanggar ketentuan UUPK, UU Pangan, dan UU Kesehatan, untuk itu kepada pelaku usaha dapat dikenakan sanksi yang seberat-beratnya. Selain mengeluarkan regulasi baru dan mengenakan sanksi yang berat kepada pelaku usaha yang rela meracuni konsumen untuk memperoleh keuntungan semata, kondisi ini tentunya harus juga diantisipasi dengan pembinaan dan pengawasan yang ketat, serta memberikan alternatif lain pengganti formalin yang lebih baik bagi pelaku usaha dalam mengawetkan makanannya.
Belakangan, masyarakat kembali dikisruhkan dengan larangan Badan Pengawas Obat dan Makanan (BPOM) soal produk makanan impor asal Cina yang mengandung zat kimia berbahaya formalin dan zat dietilenglikol. Larangan BPOM tanggal 27 July 2007 lalu itu bukan yang pertama dikeluarkan terhadap penggunaan formalin di makanan.
Formalin sendiri sebenarnya merupakan salah satu zat disinfektan efektif yang digunakan produsen obat serangga untuk membunuh kuman dan bakteri. Karena kekhasannya itu, bahkan dipergunakan kepada mayat untuk tujuan mengawetkan oleh kebanyakan manusia.
Formalin berasal dari larutan formaldehid (Nama dagang formalin) yang dicampur air dengan perbandingan kadar 30-40 persen. Di pasaran, formalin dapat diperoleh dalam bentuk sudah diencerkan, yaitu dengan kadar formaldehidnya 40, 30, 20 dan 10 persen serta dalam bentuk tablet yang beratnya masing-masing sekitar 5 gram.
Metanol yang yang terkandung, berfungsi sebagai stabilisator, mempunyai cara yang unik dalam sifatnya sebagai isinfektan. Formaldehida membunuh bakteri dengan membuat jaringan dalam bakteri dehidrasi (kekurangan air), sehingga sel bakteri akan ke-ring dan membentuk lapisan baru di permukaan.
Itu artinya, tidak saja membunuh bakteri, formalin juga membentuk lapisan baru yang melindungi lapisan di bawahnya, supaya tahan terhadap serangan bakteri lain. Bila disinfektan lainnya, seperti tetracycline, amikacin, baytril, mendeaktifasikan serangan bakteri dengan cara membunuh dan tidak bereaksi dengan bahan yang dilindungi, maka formaldehida akan bereaksi secara kimiawi dan tetap ada di dalam materi tersebut untuk melindungi dari serangan berikutnya.
Produk Berformalin
Keberadaan formaldehida sendiri kemudian di ditemukan dalam berbagai macam produk. Formaldehida juga ditemukan pada asap rokok dan udara yang tercemar asap kendaraan bermotor. Selain itu bisa didapat juga pada produk-produk termasuk antiseptik, obat, cairan pencuci piring, pelembut cucian, perawatan sepatu, pembersih karpet, dan bahan adhesif. Formaldehida juga ada dalam kayu lapis terutama bila masih baru. Kadar formaldehida akan turun seiring berjalannya waktu.
Secara natural formaldehida sudah terkandung dalam bahan makanan mentah dalam kisaran 1 mg per kg hingga 90 mg per kg. Selain dikenal sebagai formalin, nama dagang formaldehida sendiri sangat beragam, di antaranya ivalon, quaternium-15, lysoform, formalith, BVF, metylene oxide, morbicid, formol, superlsoform dan lain-lain. Sementara quaternium-15 bisa ditemukan di hampir semua jenis produk perawatan.
Suatu bahan kimia dikatakan beracun bila berada di atas ambang batas yang diperbolehkan. American Conference of Governmental and Industrial Hygienists (ACGIH) menetapkan ambang batas (Threshold Limit Value/TLV) untuk formaldehida adalah 0,4 ppm. Sementara National Institute for Occupational Safety and Health (NIOSH) merekomendasikan paparan limit untuk para pekerja adalah 0,016 ppm selama periode 8 jam, sedangkan untuk 15 menit 0,1 ppm.
Dalam International Programme on Chemical Safety (IPCS) disebutkan bahwa batas toleransi formaldehida yang dapat diterima tubuh dalam bentuk air minum adalah 0,1 mg per liter atau dalam satu hari asupan yang dibolehkan adalah 0,2 mg.
Sementara formalin yang boleh masuk ke tubuh dalam bentuk makanan untuk orang dewasa hanya 1,5 mg hingga 14 mg per hari.
Hampir semua jaringan di tubuh mempunyai kemampuan untuk memecah dan memetabolisme formaldehida. Salah satunya membentuk asam format dan dikeluarkan melalui urine. Formaldehida dapat dikeluarkan sebagai CO2 dari dalam tubuh. Tubuh juga diperkirakan bisa memetabolisme formaldehida bereaksi dengan DNA atau protein untuk membentuk molekul yang lebih besar sebagai bahan tambahan DNA atau protein tubuh.
Formaldehida tidak disimpan dalam jaringan lemak. NIOSH menyatakan formaldehida berbahaya bagi kesehatan jika kadarnya mencapai 20 ppm. Sedangkan dalam Material Safety Data Sheet (MSDS), formaldehida dicurigai memiliki sifat menjurus kepada pembentukan sel kanker.
Di antara zat berbahaya yang paling banyak digunakan adalah formalin. Sudah jadi rahasia umum tentang banyak oknum pedagang maupun nelayan yang menggunakan bahan pengawet berbahaya itu. Makanya, menyusul kondisi yang kian mengerikan, baru-baru ini Direktorat Jenderal Pengolahan dan Pemasaran Hasil Perikanan (P2HP), Kementerian Kelautan dan Perikanan (KKP) bersama Komisi Fatwa Majelis Ulama Indonesia (MUI) melakukan kajian soal kian parahnya tingkat penggunaan zat-zat berbahaya dalam makanan yang dipasarkan kepada masyarakat.
Hasilnya, MUI mengeluarkan Fatwa bernomor 43 Tahun 2012 tentang Penyalahgunaan Formalin dan Bahan Berbahaya Lainnya dalam Penanganan dan Pengolahan Ikan. Inti dari fatwa itu penggunaan formalin dan bahan berbahaya untuk pengolahan ikan basah maupun ikan kering diharamkan. “Penggunaan formalin dan bahan berbahaya lainnya dalam penanganan dan pengolahan ikan yang membahayakan kesehatan dan jiwa hukumnya haram.”
Lembaran Fatwa MUI itupun menjelaskan ketentuan haram ini juga berlaku bagi orang yang melakukan kegiatan penggunaan formalin dan zat berbahaya lainnya untuk ikan maupun pangan lainnya. “Memproduksi dan memperdagangkan ikan dan produk perikanan yang menggunakan formalin dan bahan berbahaya lainnya yang membahayakan kesehatan dan jiwa hukumnya haram.”
Dalam fatwanya, MUI juga meminta pemerintah menyediakan sarana dan prasarana pengganti bahan-bahan berbahaya kimia berbahaya untuk produk perikanan, seperti pabrik es yang bersubsidi agar harga es balok bisa terjangkau pedagang dan nelayan. MUI juga merekomendasikan agar pemerintah melakukan tata niaga produk formalin agar tak dijual secara bebas, dan mengawasi peredarannya agar tak disalahgunakan.
Formalin adalah larutan yang tidak berwarna dan baunya sangat menusuk. Formalin dikenal sebagai bahan pembunuh hama dan banyak digunakan dalam industri. Formalin sangat berbahaya bila masuk dalam tubuh manusia. Akibatnya bisa menimbulkan penyakit kanker dan penyakit-penyakit berbahaya lainnya.
Kita berharap fatwa MUI ini benar-benar dapat menyadarkan orang-orang yang selama ini menggunakan formalin dalam produk-produk makanan yang dijualnya ke konsumen. Selain itu, masyarakatpun harus proaktif mencari tahu tanda-tanda makanan yang sudah menggunakan zat-zat berbahaya. Ini semua agar terhindar dari ancaman yang mematikan.Ambang Batas
Merujuk kepada peraturan menteri kesehatan no 722/Menkes /IX/1988 tanggal 22 September 1998, yang menyebut formalin termasuk bahan pengawet yang dilarang. Suatu bahan kimia dikatakan beracun bila berada di atas ambang batas yang diperbolehkan.
American Conference of Governmental and Industrial Hygienists (ACGIH) menetapkan ambang batas untuk formalin adalah 0,4 ppm. Sementara National Institute for Occupational Safety and Health (NIOSH) merekomendasikan paparan limit untuk para pekerja adalah 0,016 ppm selama periode delapan jam, sedangkan untuk 15 menit adalah 0,1 ppm.
Dalam International Programme on Chemical Safety (IPCS) disebutkan bahwa batas toleransi formalin yang dapat diterima tubuh dalam bentuk air minum adalah 0,1 mg per liter atau dalam satu hari asupan yang dibolehkan adalah 0,2 mg.
Berdasarkan informasi ini, sebaiknya Badan Pengawasan Obat dan Makanan menetapkan nilai ambang batas yang jelas, dan menjelaskan ke masyarakat mengenai kandungan formalin yang berbahaya bagi kesehatan. Bukan menarik barang dari perederan untuk muncul di kemudian hari.
Selain itu, perlu cara mendidik produsen atau pedagang mengenai tingkat bahaya dan risiko yang dihadapi. Dengan demikian masyarakat tidak panik dan menolak semua bahan yang diperkirakan mengandung formalin.
Sebab formalin secara alamiah sudah ada di alam. Dan formalin menjadi berbahaya tidak saja ketika bercampur makanan, tetapi juga dalam udara dan masuk melalui pernapasan maupun kulit manusia.(Bagus Herawan/Ijs)

1 comment:

  1. Informatif dan bermanfaat...., bravo penyuluh..
    Websitenya sangat aktif...

    ReplyDelete