Teknologi
bioflok (BFT) merupakan salah satu teknologi yang saat ini sedang dikembangkan
dalam akuakultur yang bertujuan untuk memperbaiki kualilas air dan meningkatkan
efisiensi pemanfaatan nutrient. Teknologi ini didasarkan pada konversi nitrogen
anorganik terutama ammonia oleh bakteri heterotrof menjadi biomassa mikroba
yang kemudian dapat dikonsumsi oleh organisme budidaya.
Intensifikasi
membutuhkan lebih banyak input produksi terutama benih dan pakan serta sistem
manajemen yang lebih baik. Pada sistem budidaya intensif, keberadaan dan
ketergantungan terhadap pakan alami sangat dibatasi, sehingga pakan buatan
menjadi satu-satunya sumber makanan bagi organisme yang dipelihara (Tacon,
1987). Organisme akuatik umumnya membutuhkan protein yang cukup tinggi dalam
pakannya. Namun demikian organism akuatik hanya dapat meretensi protein sekitar
20 - 25% dan selebihnya akan terakumulasi dalam air (Stickney, 2005).
Metabolisme protein oleh organisme akuatik umumnya menghasilkan ammonia sebagai
hasil ekskresi. Pada saat yang sama protein dalam feses dan pakan yang tidak
termakan akan diuraikan oleh bakteri menjadi produk yang sama. Dengan demikian
semakin intensif suatu kegiatan budidaya akan diikuti dengan semakin tingginya
konsentrasi senyawa nitrogen terutama ammonia dalam air (Avnimelech, 2007).
Agar
tidak membahayakan organisme yang dibudidayakan, maka konsentrasi ammonia dalam
media budidaya harus dibatasi. Pergantian air merupakan metoda yang paling umum
dalam membatasi konsentrasi ammonia dalam air. Namun demikian metoda ini
membutuhkan air dalam jumlah besar serta dapat mencemari lingkungan pcrairan
sekitar jika air yang dibuang tidak diberi perlakuan lebih lanjut. Seiiring
dengan berkembangnya akuakultur sistem intensif berbagai teknik pengolahan air
untuk mengurangi konsentrasi ammonia dalam media budidaya telah dikembangkan
salah satunya adalah teknologi bioflok.
Nitrogen
dalam sistem akuakultur
Nitrogen
dalam sistem akuakultur terutama berasal dari pakan buatan yang biasanya
mengandung protein dengan kisaran 13 - 60% (2 - 10% N) tergantung pada
kebutuhan dan stadia organisme yang dikultur (Avnimeleeh & Ritvo, 2003;
Gross & Boyd 2000; Stickney, 2005). Dari total protein yang masuk ke dalam
sistem budidaya, sebagian akan dikonsumsi oleh organisme budidaya dan sisanya
terbuang ke dalam air. Proses metabolisme pakan yang dikonsumsi dalam tubuh
organisme budidaya kemudian akan menghasilkan biomasa dan sisa metabolisme
berupa urine dan feses. Protein dalam pakan akan dicerna namun hanya 20 - 30%
dari total nitrogen dalam pakan dimanfaatkan menjadi biomasa ikan (Brune et
al., 2003). Katabolisme protein dalam tubuh organisme akuatik menghasilkan
ammonia sebagai hasil akhir dan diekskresikan dalam bentuk ammonia (NH3) tidak
terionisasi melalui insang (Ebeling et al., 2006; Hargreaves, 1998). Pada saat
yang sama, bakteri memineralisasi nitrogen organik dalam pakan yang tidak
termakan dan feses menjadi ammonia (Gross and Boyd, 2000). Sebagai akibat dari
berlangsungnya kedua proses ini, aplikasi pakan berprotein tinggi dalam sistem
budidaya akan menghasilkan akumulasi ammonia baik sebagai hasil ekskresi dari
organisme yang dikultur maupun hasil mineralisasi bakteri. Dalam air, ammonia
berada dalam dua bentuk yaitu ammonia tidak terionisasi (NH3) dan ammonia
terionisasi (NH4+). Jumlah total kedua bentuk ammonia ini disebut juga dengan
total ammonia nitrogen atau TAN (Ebeling et al., 2006). Konsentrasi relatif
dari kedua bentuk ammonia terutama tergantung pada pH, temperatur dan
salinitas. Keberadaan ammonia tidak terionisasi di dalam media budidaya sangat
dihindari karena bersifat toksik bagi organisme akuatik bahkan pada konsentrasi
yang rendah. Stickney (2005) menyatakan bahwa konsentrasi ammonia dalam media
budidaya harus lebih rendah dari 0,8 mg/L.
Dalam
sistem akuakultur, secara alami terjadi siklus nitrogen dalam air (Gambar 1)
dengan input nitrogen paling utama berasal dari pakan
buaian (Crab et al., 2007). Dari sejumlah pakan yang dimasukkan kc kolam,
sebagian tidak termakan oleh ikan, sementara pakan yang dikonsumsi sebagian
dikonversi mcnjadi biomasa ikan dan sebagian lagi diekskresikan sebagai ammonia
atau dikeluarkan sebagai feses. Pakan yang tidak termakan dan feses akan
tcrdckomposisi oleh bakteri yang diikuti dengan pelepasan ammonia yang kemudian
terakumulasi dalam air bersaraa dengan hasil ekskresi ikan. Melalui peranan
bakteri nitrifikasi dan denitrifikasi yang terdapat dalam air dan sedimcn, TAN
dalam air kemudian dapat ditransformasi menjadi nitrit, nitrat dan gas nitrogen
(Ebeling et al., 2006; Hargreaves, 1998). Selain itu TAN dan nitrat dapat
diasimilasi oleh fitoplankton atau tanaman yang terdapat dalam air yang
kemudian dapat dimanfaatkan oleh organisme budidaya yang memang dapat
memanfaatkannya. Secara garis besar ketiga proses alami konversi N tersebut
dikelompokkan menjadi tiga yaitu konversi secara fotoautotrofik oleh alga dan
tanaman air, secara kemoautotrofik melalui oksidasi oleh bakteri nitrifikasi
dan immobilisasi secara heterotrofik oleh bakteri heterotrof (Ebeling et al.,
2006).
Crab
et at. (2007) menyatakan bahwa eliminasi kelebihan N terutama ammonia, nitrit
dan nitrat dalam sistem budidaya dapat dikelompokkan menjadi dua, yaitu
eliminasi N di luar wadah budidaya dan di dalam wadah budidaya. Eliminasi N di
luar wadah budidaya dibedakan menjadi beberapa jenis seperti kolam perlakuan
(atau reservoir) dan kombinasi bak sedimentasi dan bak nitrifikasi (biofilter).
Sementara eliminasi N dalam wadah budidaya dilakukan dengan prinsip utama
konversi N oleh bakteri heterotrof dan fitoplankton. Dua metoda eliminasi N
dalam media budidaya yang sedang berkembang adalah sistem perifiton dan
teknologi bioflok
Teknologi
Bioflok
Teknologi
bioflok merupakan salah satu alternatif baru dalam mengalasi masalah kualitas
air dalam akuakultur yang diadaptasi dari teknik pcngolahan limbah domestik
secara konvensional (Avnimelech, 2006; de Schryver et al., 2008). Prinsip utama
yang diterapkan dalam teknologi ini adalah manajemen kualitas air yang
didasarkan pada kemampuan bakteri heterotrof untuk memanfaatkan N organik dan
anorganik yang terdapat di dalam air.
Pada
kondisi C dan N yang seimbang dalam air, bakteri heterotrof yang merupakan akan
memanfaatkan N, baik dalam bentuk organik maupun anorganik, yang terdapat dalam
air untuk pembentukan biomasa sehingga konsentrasi N dalam air menjadi
berkurang (de Schryver et al., 2008). Secara teoritis, pemanfaatan N oleh
bakteri heterotrof dalam sistem akuakultur disajikan dalam reaksi kimia berikut
(Ebeling et al., 2006):
NH4+
+ 1.18C6H12O6 + HC03- + 2.06O2 C5H7O2N
+ 6.06H2O + 3.07CO2
Dari
persamaan tersebut maka dapat diketahui bahwa secara teoritis untuk
mengkonversi setiap gram N dalam bentuk ammonia, diperlukan 6,07 g karbon
organik dalam bentuk karbohidrat, 0,86 karbon anorganik dalam bentuk
alkalinitas dan 4,71 g oksigen terlarut. Dari persamaan ini juga diperoleh
bahwa rasio C/N yang diperlukan oleh bakteri heterotrof adalah sekitar 6.
Goldman (1987) menyatakan bahwa pada substrat dengan rasio C/N sama dengan atau
lebih dari 10, bakteri heterotrof tidak akan meregenerasi ammonia dari hasil
kalabolisme bahan organik (asam amino) dan sebaliknya akan memanfaatkannya
untuk membentuk sel baru. Sebaliknya, pada rasio C/N yang rendah (<1 10="" 2006="" akan="" ammonia="" aplikasi="" argreaves="" atau="" avnimelech="" bahwa="" bakteri="" bioflok="" c="" diupayakan="" heterotrof="" ke="" lebih.="" lingkungannya="" maka="" melepaskan="" mencapai="" menyatakan="" rasio="" span="" teknologi="" untuk="">1>
Teknologi
bioflok, sering disebut juga dengan teknik suspensi aktif (activated suspension
technique, AST), menggunakan aerasi konstan untuk memungkinkan terjadinya
proses dekomposisi secara aerobik dan menjaga flok bakteri berada dalam
suspensi (Azim et al., 2007). Dalam sistem ini, bakteri heterotrof yang tumbuh
dengan kepadatan yang tinggi berfungsi
sebagai bioreaktor yang mengontrol kualitas air terutama konsentrasi N
serta sebagai sumber protein bagi organisme yang dipelihara.
Pembentukan
bioflok oleh bakteri terutama bakteri heterotrof secara umum bertujuan untuk
meningkatkan pemanfaatan nutrien. menghindari stress lingkungan dan predasi
(Bossier & Verstraete, 1996; de Schryver et al., 2008). Flok bakteri
tersusun atas campuran berbagai jenis mikro-organisme (bakteri pembentuk flok,
bakteri filamen, fungi), partikel-partikel tersuspensi, berbagai koloid dan
polimer organik, berbagai kation dan sel-sel mati (Jorand et al., 1995,
Verstraete, et al., 2007; de Schryver et al., 2008) dengan ukuran bervariasi
dengan kisaran 100 - 1000 µm (Azim et al., 2007; de Schryver et al., 2008). Selain
flok bakteri, berbagai jenis organisme lain juga ditemukan dalam bioflok
scperti protozoa, rotifer dan oligochaeta (Azim et al., 2007; Ekasari, 2008).
Komposisi
organisme dalam flok akan mempengaruhi struktur bioflok dan kandungan nutrisi
bioflok (Izquierdo, et al., 2006; Ju et al., 2008). Ju et al. (2008) melaporkan
bahwa bioflok yang didominasi oleh bakteri dan mikroalga hijau mengandung
protein yang lebih tinggi (38 dan 42% protein) daripada bioflok yang didominasi
oleh diatom (26%).
Kondisi
lingkungan abiotik juga berpengaruh terhadap pembentukan bioflok seperti rasio
C/N, pH, temperatur dan kecepatan pcngadukan (de Scryver et al., 2008; Van Wyk
& Avnimeleeh, 2007).
Sementara
menurut de Schryver et al. (2008), mekanisme pembentukan flok oleh komunitas
bakteri merupakan proses yang kompleks yang merupakan kombinasi berbagai
fenomena fisika, kimia dan biologis seperti interaksi permukaan bakteri secara
fisik dan kimiawi, dan quorum sensing sebagai kontrol biologis.
Aplikasi
teknologi bioflok dalam akuakultur
Hingga
saat ini teknologi bioflok telah diaplikasikan pada budidaya ikan dan udang
seperti nila, sturgeon, snook, udang putih dan udang windu (Arnold et al.,
2009;
Avnimeleeh,
2005, 2007; Burford et al., 2003,
2004; Hari et al.,
2004; Serfling, 2006).
Beberapa
penelitian menunjukkan bahwa aplikasi teknologi bioflok berperan dalam
perbaikan kualitas air, peningkatan biosekuriti, peningkatan produktivitas.
peningkatan efisiensi pakan serta penurunan biaya produksi melalui penurunan
biaya pakan (Avnimelech, 2007; Crab et al., 2008, 2009; Ekasari, 2008; Hari et
al., 2006, Kuhn et al., 2009; Taw, 2005).
Kemampuan
bioflok dalam mengontrol konsentrasi ammonia dalam sistem akuakultur secara
teoritis maupun aplikasi telah terbukti sangat tinggi. Secara teoritis Ebeling
et al. (2006) dan Mara (2004) menyatakan bahwa immobilisasi ammonia oleh
bakteri heterotrof 40 kali lebih cepat daripada oleh bakteri nitrifikasi.
Secara aplikasi de Schryver et al. (2009) menemukan bahwa bioflok yang
ditumbuhkan dalam bioreaktor dapat mengkonversi N dengan konsentrasi 110 mg
NH4/L hingga 98% dalam sehari. Penelitian ini menunjukkan bahwa bioflok
memiliki kapasitas yang besar dalam mengkonversi nitrogen anorganik dalam air,
sehingga dapat memperbaiki kualitas air dengan lebih cepat. Hasil-hasil
penelitian mengenai aplikasi bioflok dalam kegiatan akuakultur secara langsung
juga menunjukkan bahwa kualitas media pemcliharaan, pertumbuhan dan efisiensi
pakan udang windu yang dipelihara dengan peningkatan rasio C/N secara
signifikan lebih baik daripada kontrol (Hari et al. 2004,2006; Samocha et al.,
2007). Peningkatan efisiensi pakan juga ditunjukkan oleh beberapa penelitian
aplikasi bioflok (Azim & Little, 2008; Hari et al., 2004, 2006). Hal ini
menunjukkan bahwa keberadaan bioflok sebagai suplemen pakan telah meningkatkan
efisiensi pemanfaatan nutrien pakan secara keseluruhan, Beberapa penelitian
menunjukkan bahwa bioflok dapat dimanfaatkan, baik secara langsung maupun
sebagai tepung untuk bahan baku pakan (Azim & Little, 2008; Ekasari, 2008;
Kuhn et al., 2008; 2009). Adapun kandungan nutrisi bioflok umumnya beragam pada
setiap penelitian (Tabel 1) namun dapat mememuhi kebutuhan organisme akuatik
pada umumnya, Craig & Helfrich (2002) menyatakan bahwa pakan ikan sebaiknya mengandung 18 - 50% protein, 10 -
25% lemak, 15 - 20% karbohidrat, <8 1="" 2009="" 20="" 240="" 25="" abu="" aerasi="" al.="" amp="" aplikasi="" atau="" avnimelech="" bahwa="" baik="" biaya="" bioflok="" budidaya="" dalam="" dan="" dapat="" dari="" data="" dengan="" di="" diberi="" digunakan="" dikembangkan="" dikombinasikan="" dikurangi="" dilakukannya="" diperlukan="" diperoleh="" ditambahkan="" diujicobakan="" energi="" et="" fcr="" hingga="" ikan="" indonesia="" ini="" isotop="" juga="" kepadatan="" kg="" kochba="" kontrol.="" kurang="" lebih="" melaporkan="" memanfaatkan="" menggunakan="" menunjukkan="" menurunkan="" mg="" mineral.="" n="" nila="" nitrogen="" oleh="" pada="" pakan.="" panen="" parsial.="" parsial="" pemanenan="" pemanfaatan="" pembuatan="" penelitian="" pertumbuhan="" produksi="" protein="" putih="" secara="" sejumlah="" setara="" sistem="" span="" substitusi="" tambak="" taw="" teknologi="" telah="" tepung="" tinggi="" udang="" uhn="" untuk="" vitamin="" yang="">8>
Pertumbuhan
bioflok dalam sistem akuakultur dipcngaruhi oleh fakior kimia, fisika dan
biologis dalam air. Beberapa faktor yang perlu diperhatikan untuk mendorong
pembentukan bioflok dalam sistem budidaya diantaranya adalah pcrgantian air
seminimal mungkin hingga mendekati nol, aerasi kuat serta peningkatan rasio C/N
(Van Wyk & Avnimelech, 2007). Menurut Van Wyk & Avnimelech (2007)
karakteristik sistem bioflok adalah kebutuhan oksigen yang tinggi dan laju produksi
biomas bakteri yang tinggi. Oleh karena itu dalam sistem ini diperlukan aerasi
dan pengadukan yang kuat untuk menjamin kebutuhan oksigen baik dari organisme
budidaya maupun biomas bakteri serta untuk memastikan bahwa bioflok tetap
tersuspensi dalam air dan tidak mengendap. intensitas pengadukan dan kandungan
oksigen juga mempengaruhi struktur dan komposisi bioflok (de Schryver et al.,
2008). Intensitas pengadukan yang terlalu tinggi dapat mempengaruhi ukuran
bioflok sedangkan kandungan oksigen yang terlalu rendah dapat menyebabkan
dominasi bakteri filamen pada bioflok
yang akan menyebabkan bioflok cenderung terapung.
Pakan
buatan yang digunakan dalam kegiatan akuakultur umumnya mengandung protein yang
cukup tinggi dengan kisaran 18 - 50% (Craig & Helfrich, 2002) dengan rasio
C/N kurang dari 10 (Azim et al., 2007). Hal ini tentunya berdampak pada
keseimbangan rasio C/N dalam media budidaya, sehingga untuk penerapan teknologi
bioflok, rasio C/N perlu ditingkatkan lagi. Peningkatan rasio C/N dalam air
untuk menstimulasi pertumbuhan bakteri heterotrof dapat dilakukan dengan
mengurangi kandungan protein dan meningkatkan kandungan karbohidrat dalam pakan
(Azim et al., 2007; Tacon et al., 2004) atau dengan menambahkan sumber
karbohidrat secara langsung ke dalam air (Avnimelech, 2007: Samocha et al.,
2007). Sumber karbohidrat dapat berupa gula sederhana seperti gula pasir atau
molase (Ekasari, 2008; Kuhn et al., 2008, 2009; Samocha et al., 2007), atau
bahan-bahan pati seperti tepung tapioka, tepung jagung, tepung terigu dan
sorgum (Avnimelech, 1999; Hari et al., 2004; Van Wyk & Avnimelech, 2007).
Penambahan
kandungan karbohidrat dalam pakan tentunya akan merubah komposisi pakan secara
keseluruhan sehingga diperlukan adanya penyesuaian bahan-bahan tertentu dalam
pakan seperti peningkatan kadar vitamin dan mineral. Menurut Avnimelech (1999)
jumlah karbohidrat yang ditambahkan untuk mendorong pembentukan bioflok dapat
dihitung dengan menggunakan rumus
berikut:
Karbohidrat
(kg)= Pakan (kg) x % N dalam pakan x % ekskresi N/0,05
Penggunaan
sumber karbon juga perlu memperhatikan beberapa faktor diantaranya kecepatan
pemanfaatan karbohidrat oleh bakteri, kandungan protein dalam sumber
karbohidrat itu sendiri, kecernaan karbohidrat oleh organisme budidaya, serta
harga per unit karbohidrat. Sumber karbon juga dapat mempengaruhi kandungan
nutrisi bioflok seperti yang ditunjukkan dalam Tabel 1 (Crab et al., 2009; de
Schryver et al., 2008; Ekasari, 2008). Selain aerasi dan pengadukan, dan penambahan karbon,
pembentukan dan struktur bioflok juga dipengaruhi oleh faktor
kimia, fisika dan biologis lain scpcrti laju akumulasi bahan organik,
temperatur dan pH (de Schryver et a/., 2008).
Selain
melalui pengamatan visual dan mikroskopik (Gambar 2), pembentukan dan
keberadaan bioflok dalam sistem akuakultur dapat diketahui melalui pengukuran
beberapa parameter kimia dan fisika air. Parameter kimia yang sering digunakan
sebagai indikator utama keberadaan bioflok meliputi chemical oxygen demand
(COD), atau jumlah oksigen yang diperlukan untuk mengoksidasi seluruh bahan
organik dalam sampel secara kimiawi, dan biological oxygen demand (BOD) atau
jumlah oksigen yang diperlukan oleh mikroorganisme untuk mengkonversi bahan
organik melalui proses biokimia. Pada akuakutur dengan sistem bioflok,
kebutuhan akan oksigen akan meningkat terutama disebabkan oleh tingginya
kepadatan bakteri heterotrof di dalam air dan tentunya berpengaruh pada nilai
COD maupun BOD. Parameter fisika yang dapat digunakan untuk mendetcksi
keberadaan bioflok adalah suspended solids (SS)f volatile suspended solids
(VSS), floc volume index (FVI). Salah satu karakter utama sistem bioflok adalah
tingginya padatan tersuspensi terutama VSS yang merupakan indikator tingginya
bahan organik tersuspensi dalam air.
Teknologi
bioflok di masa depan
Dengan
berbagai kelebihan yang telah dijelaskan di atas maka jelaslah bahwa teknologi
bioflok merupakan salah satu alteraatif teknologi untuk kegiatan akuakultur
yang ramah lingkungan dan berkesinambungan. Namun demikian dalam aplikasi
langsung pada akuakultur sistem intensif masih ditemukan beberapa permasalahan
dan aspek kajian yang membutuhkan penelitian lebih lanjut seperti kebutuhan
energi untuk aerasi dan pengadukan, kestabilan sistem, kandungan nutrisi
bioflok serta pengaruh bioflok terhadap transmisi dan infeksi penyakit.
Kepadatan
bakteri yang tinggi dalam air akan menyebabkan kebutuhan oksigen yang lebih
tinggi sehingga aerasi untuk penyediaan oksigen dalam penerapan teknologi
bioflok merupakan salah satu kunci keberhasilan. Selain berperan dalam
penyediaan oksigen, aerasi juga berfungsi untuk mengaduk (mixing) air agar
bioflok yang tersuspensi dalam kolom air tidak mengendap.
Pengendapan
bioflok di dasar wadah harus dihindari selain untuk mencegah terjadinya kondisi
anaerobik di dasar wadah akibat akumulasi bioflok, juga untuk memastikan bahwa
bioflok tetap dapat dikonsumsi oleh organisme budidaya. Untuk tercapainya
tujuan aerasi ini, maka metoda aerasi yang paling tepat untuk sistem bioflok
perlu dikaji lebih dalam lagi baik dari segi teknis maupun ekonomis.
Seperti
yang dijelaskan pada uraian di atas bahwa pembentukan bioflok merupakan
mekanisme yang kompleks yang melibatkan berbagai aspek fisika, kimia dan
biologis, sehingga pembahan pada salah satu parameter akan mempengaruhi
parameter lain. Azim & Little (2008) menemukan bahwa kualitas air di wadah
pemeliharaan dengan perlakuan teknologi bioflok pada pemeliharaan ikan nila
cenderung tidak stabil. Tingginya aktivitas respirasi mikroba dalam sistem
bioflok juga menyebabkan terjadinya fluktuasi pada pH dan alkalinitas (Azim et
al., 2007). Meningkatnya kekeruhan akibat tingginya padatan tersuspensi juga
dapat berpengaruh pada kemampuan melihat beberapa jenis ikan sehingga
berpengaruh pada jumlah pakan yang dimakan. Laju akumulasi bahan organik, laju
konsumsi bioflok oleh organisme budidaya serta laju peningkatan biomas bakteri
merupakan faktor-faktor yang harus diketahui untuk mengontrol konsentrasi flok
yang optimum dalam air. Jika laju akumulasi bahan organik tinggi maka laju
peningkatan biomas bakteri akan tinggi pula. Jika hal ini tidak diikuti dengan
laju konsumsi bioflok oleh organisme budidaya maka akan terjadi akumulasi
bioflok yang berlebihan yang akhirnya justru akan membuat sistem budidaya
menjadi tidak stabil.
Salah
satu solusi alternatif dari dua permasalahan di atas adalah dengan memisahkan
reaktor bioflok dengan wadah
pemeliharaan
(Azim & Little, 2008). Dengan cara tersebut, bioflok dapat berfungsi
sebagai biofilter scperti halnya dalam sistem resirkulasi. Bioflok yang
dihasilkan dari reaktor ini kemudian dapat dimanfaatkan langsung sebagai pakan
untuk organisme budidaya atau dibuat menjadi tepung untuk bahan baku pakan (Kuhn
et at., 2008,2009). Tabel 1 menunjukkan bahwa kandungan nutrisi bioflok
cenderung tidak stabil dan dipengaruhi oleh berbagai faktor seperti sumber
karbon dan komposisi biologisnya. Informasi mengenai kandungan nutrisi bioflok
juga masih terbatas pada kandungan nutrisi ulama seperti protein kasar, lemak
kasar, kadar abu dan karbohidrat.
Dengan
demikian penelitian lanjutan aspck nutrisi bioflok masih perlu dilakukan.
Penelitian oleh de Schryver et al. (2009) menunjukkan bahwa bioflok mengandung
poly-b-hydroxybutyrate (PHB) berkisar antara 0,9 hingga 16% yang cukup memadai
untuk memenuhi kebutuhan ikan akan PHB yang tidak lebih dari 1%. PHB merupakan
produk polimer intraselular yang dihasilkan oleh berbagai jenis mikroorganisme
sebagai bentuk simpanan energi dan karbon (Defoirdt et al., 2007). Polimer ini
diduga mempunyai efek pencegahan dan pengobatan terhadap infeksi Vibrio serta
manfaat prebiotik dalam akuakultur (Defoirdt et at., 2007; de Schryver et al.,
2008).
KESIMPULAN
Secara
teoritis maupun aplikasi, penerapan teknologi bioflok dapat meningkatkan
kualitas air melalui pengontrolan konsentrasi ammonia dalam air dan
meningkatkan efisiensi pemanfaatan nutrien melalui pemanfaatan bioflok scbagai
sumber pakan bagi organisme yang dibudidayakan.
Assalamualaikum...
ReplyDeletePak ada tidak keterkaitan atau hubungan antara sistem bioflok dan biosecurity