Sunday, December 1, 2013

PENGARUH PROSES PENCUCIAN GARAM TERHADAP KOMPOSISI DAN STABILITAS YODIUM GARAM KONSUMSI

December 01, 2013 Posted by Media Penyuluhan Perikanan Pati No comments


Gangguan  akibat kekurangan Iodium (GAKI) dapat mengakibatkan gondok, kretin , menurunnya kecerdasan dan untuk tingkat yang lebih  berat dapat mengakibatkan gangguan otak dan pendengaran serta kematian bayi.
Biro Pusat Statistik (BPS) dan UNICEF [2] pada tahun 1995 telah melakukan survai nasional tentang GAKI. Data yang diperoleh menunjukkan bahwa semua propinsi di Indonesia kecuali Kalimantan Timur, ratarata penduduknya mengalami  kekurangan iodium.
Hal tersebut  disebabkan oleh kualitas garam (kandungan NaCl) yang dihasilkan oleh petani garam sangat rendah ,  sedangkan industri garam yang mengolah garam bahan baku tersebut tidak cukup memadai dalam meningkatkan kualitas garam sehingga  iodium yang ditambahkan pada garam tersebut mudah menghilang atau berkurang.
Hal ini dapat dipahami karena sebagian besar Industri pengolahan garam rakyat adalah berskala kecil dan menengah, dimana modal dan sumber daya manusianya sangat terbatas. Ditambah lagi harga garam yang sangat murah.
Proses pengolahan garam pada industri kecil dan menengah umumnya menggunakan proses pencucian dan pengeringan. Pencucian garam dilakukan dengan memakai larutan jenuh garam (brine) yang digunakan berulang kali, tujuannya untuk menghilangkan kotoran dari permukaan garam. Sedangkan proses pengeringan bertujuan untuk mengurangi kadar air.
Berdasarkan penelitian yang telah dilakukan menunjukkan bahwa zat  yang bersifat pereduksi dan higroskopis pada garam adalah yang  paling bertanggung jawab terhadap hilangnya Iodium pada garam melalui proses redoks dalam suasana asam. Zat tersebut terbentuk bersamaan dengan pembentukan garam.
Proses pencucian dan pengeringan yang dilakukan di industri garam  yang ada di Indonesia saat ini ternyata belum cukup mampu menghasilkan garam dengan kualitas yang baik sehingga stabilitas Iodiumnya rendah. Hal ini disebabkan pencucian dan pengeringan yang dilakukan hanya bertujuan meningkatkan tampilan fi sik garam (bersih dan kering), dan belum sampai pada cara menghilangkan zat pengotor higroskopis (senyawasenyawa  Ca dan Mg) dan zat-zat pereduksi pada garam, sehingga berdasarkan survai  yang telah dilakukan, lebih dari 50 % produk garam konsumsi yang dihasilkan Industri garam memiliki stabilitas  iodium yang rendah.
Untuk itu perlu dilakukan studi untuk mendapatkan proses pencucian dan pengeringan yang paling optimum, agar pengaruh zat pereduksi pada garam dapat dikurangi atau dihilangkan, sehingga kualitas garam terutama yang dihasilkan oleh industri garam rakyat  memiliki stabilitas iodium yang tinggi, yang pada akhirnya dapat membantu menekan timbulnya penderita GAKI di masyarakat.
Metode Penelitian
Beberapa variabel proses pencucian seperti komposisi air pencuci dan ukuran partikel garam yang akan dicuci akan divariasikan untuk mendapatkan kondisi proses pencucian yang optimum. Hasil pencucian garam yang diinginkan adalah :
           Kandungan zat pengotor (Ca dan Mg) yang rendah
           Garam yang hilang karena proses pencucian kecil dan
           Kandungan zat pereduksi  kecil
Dalam penelitian ini juga akan diamati mekanisme dekomposisi KIO3 dari masing-masing sampel garam hasil pencucian dengan mengamati kandungan air , pH dan kandungan KIO3 sebagai fungsi waktu (0, 1, 3, dan 6 bulan). Hasil pengamatan ini diharapkan dapat menjelaskan efek senyawa Ca ,Mg, dan kandungan zat pereduksi dalam garam  terhadap stabilitas KIO3- nya
Diagram alir penelitian dapat dilihat.
Analisa kandungan Iodium dan zat Pereduksi dilakukan dengan metode Titrasi Yodometri Standar Nasional Indonesia. {(SNI) No. 01-3556}. Sedangkan kandungan senyawa Mg dan Ca dilakukan dengan menggunakan Atomic Absorption Spektroscopy (AAS). 
Kandungan air pada garam diukur dengan timbangan berat dengan ketelitian tinggi (0,001 gr) menggunakan metode bobot tetap. 
Analisa pH dilakukan dengan menggunakan pH meter pada larutan sampel garam.
Hasil dan Pembahasan
Ada sembilan jenis sampel garam yaitu garam acuan (garam tanpa perlakuan pencucian),  garam yang dicuci dengan larutan garam masing-masing dengan konsentrasi 20% (R-20%), 27%(R-27%) dan 34% (R-34%), serta garam yang dicuci dengan air bersih dengan perbandingan garam dan air 1:1 (R-1:1), 2 :1 (R-2:1) dan 3:1 (R:1). Sedangkan untuk garam yang dihaluskan pencucian dilakukan dengan air pencuci larutan garam 27% (RF-27%) dan air bersih 3:1 (RF-3:1).
Hasil analisis kandungan logam Ca dan Mg, serta reduktor dan jumlah garam yang hilang dapat dilihat  pada tabel 1.
Pengaruh air pencuci terhadap kandungan Ca dan Mg dalam garam
Hasil analisis pada Tabel 1. menunjukkan  bahwa pencucian, baik dengan menggunakan larutan garam ataupun air bersih dapat menghilangkan Ca dan Mg yang terkandung dalam garam. Jumlah Mg yang hilang akibat pencucian akan lebih besar dibandingkan dengan Ca. Hasil tersebut sesuai dengan kelarutan senyawa Mg yang lebih besar dibandingkan senyawa-senyawa Ca [7].
Untuk pencucian dengan larutan garam, semakin rendah konsentrasi larutan garam, maka semakin efektif dalam menghilangkan senyawa Mg dalam garam.
Gambar 1.   Diagram rancangan penelitian Tabel 1.  Hasil analisis Ca, Mg , reduktor dan jumlah garam yang hilang
Hal ini disebabkan karena semakin pekat konsentrasi larutan pencuci, maka kemampuan untuk melarutkan Mg dari garam akan semakin berkurang. Namun demikian dari segi kehilangan garam , untuk pencucian dengan larutan garam 34% hanya 1,5% (paling sedikit dibandingkan bila menggunakan larutan pencuci lainnya).
Untuk larutan pencuci dengan menggunakan air bersih, maka pencucian dengan menggunakan rasio air dan garam 1:1 paling efektif untuk menghilangkan Mg. Hal ini dikarenakan pada larutan 1:1, konsentrasi NaCl dalam air pencuci paling sedikit sehingga semakin efektif untuk menghilangkan Mg dalam garam. Namun dari segi kehilangan garamnyapun paling besar (39,4%), dibandingkan pencucian dengan air bersih lainnya. Hal ini bisa dipahami karena sifat dari pada NaCl yang mudah larut dalam air, sehingga semakin banyak volume air pencuci, akan semakin banyak pula NaCl yang larut terbawa larutan pencuci.
Untuk senyawa-senyawa Ca, kelarutannya jauh lebih rendah dibandingkan senyawa Na dan Mg, sehingga pencucian baik dengan air bersih maupun larutan garam tidak berpengaruh banyak. Hal ini bisa dilihat dari tabel dimana tidak terlihat adanya suatu pola yang jelas.
Secara umum pencucian dengan air bersih dan larutan garam tidak menunjukkan perbedaan yang signifi kan terhadap kandungan Ca dan Mg, akan tetapi dari segi kehilangan garam pencucian dengan larutan garam jauh lebih baik dibandingkan pencucian dengan menggunakan air bersih.
Pengaruh ukuran partikel terhadap pencucian
Dari Tabel 1 juga terlihat bahwa pencucian akan efektif untuk menghilangkan Mg dalam garam apabila ukuran partikel garamnya lebih kecil. Hal ini disebabkan karena luas kontak permukaan garam akan semakin besar, sehingga senyawa-senyawa Mg yang mulanya terperangkap dalam kristal garam, setelah dihaluskan , posisinya menjadi di permukaan garam. Dengan demikian air pencuci akan dapat melarutkan lebih banyak senyawa-senyawa Mg. Sementara itu pencucian tidak akan berpengaruh banyak terhadap pengurangan Ca meskipun ukuran partikelnya diperkecil. Hal tersebut dikarenakan kelarutan senyawa Ca yang jauh lebih rendah dibanding senyawa Na dan Mg.
Ukuran partikel tidak berpengaruh pada jumlah garam yang hilang. Hasil pengamatan untuk sampel R-27% dan R-3:1 tidak berbeda jauh dengan hasil dari sampel RF-27% dan RF-3:1. Jumlah NaCl yang hilang akan tergantung pada jumlah air dalam volume pencuci. Semakin banyak kandungan air semakin banyak NaCl yang terlarut dan terbuang.
Pengaruh pencucian terhadap kandungan reduktor
Secara umum proses pencucian dapat mengurangi kandungan  zat pereduksi . Pencucian menggunakan air bersih menunjukkan kandungan zat pereduksi yang lebih rendah dibanding pencucian menggunakan larutan garam. Hal ini disebabkan karena semakin tinggi jumlah garam (NaCl) dalam larutan pencuci semakin kecil efek solvasi air. Bila senyawa pereduksi dalam garam adalah suatu senyawa polar, maka akan semakin banyak zat pereduksi tersebut tersolvasi oleh larutan air bersih dibandingkan larutan garam. Akibatnya pencucian dengan menggunakan air bersih akan lebih efektif untuk mengurangi kandungan zat pereduksi dalam garam. Akan tetapi pengaruh peningkatan jumlah garam dalam air bersih terhadap jumlah zat pereduksi yang hilang tidak begitu nampak.
Tabel 1. menunjukkan bahwa pencucian akan efektif untuk menghilangkan zat pereduksi  dalam garam apabila ukuran partikel garamnya diperkecil. Hal ini dapat dimengerti bahwa pada garam dengan ukuran partikel yang besar, terdapat banyak zat-zat pereduksi terperangkap dalam kristal, dan sama  sekali tidak tersentuh oleh proses pencucian. Oleh sebab itu kandungan zat pereduksi pada garam kasar jumlahnya lebih besar dibandingkan dengan garam yang telah dihaluskan.
Pengaruh Kandungan Ca dan Mg Terhadap Kandungan Air
Hasil pengamatan pengaruh kenaikan kandungan air terhadap Ca dapat dilihat pada Gambar 2. Dari gambar tersebut dapat dilihat bahwa tidak adanya  suatu pola yang jelas antara kenaikan kandungan air dengan kandungan Kalsium dalam garam. Walaupun menurut literatur senyawa-senyawa Ca lebih bersifat higroskopis dibandingkan dengan senyawa  Mg, akan tetapi karena jumlahnya relatif tidak jauh berbeda sehingga pengaruhnya tidak begitu jelas terlihat. Kenaikan kandungan air tertinggi dicapai pada bulan ke-1. Hal ini disebabkan karena kandungan air pada garam saat itu relatif masih rendah, sehingga laju penyerapan air paling tinggi. Selanjutnya akan terjadi penurunan kenaikan kandungan air sampai bulan ke-6, ini disebabkan karena kondisi garam yang sudah jenuh di samping adanya pengaruh dari kelembaban lingkungan.
Sedangkan pada Gambar 3. jelas terlihat bahwa dengan semakin banyaknya kandungan Mg , maka akan terjadi peningkatan kandungan air pada garam. Pada gambar terlihat terjadi kenaikan kandungan air setiap bulannya dengan  penyerapan air maksimum dicapai pada bulan ke-6. Hal ini disebabkan karena senyawa-senyawa Mg, seperti MgCl2 dan MgSO4 [8] yang terdapat dalam garam mempunyai kemampuan menyerap air sangat besar, sehingga jika garam berada di udara dengan kelembaban tinggi akan mampu mengabsorb air dalam jumlah besar dan pada akhirnya akan meningkatkan jumlah kandungan air pada garam. Dengan semakin bertambahnya jumlah senyawa Mg dalam garam , maka akan semakin bertambah pula kemampuannya untuk mengabsorb uap air dari udara, sehingga akan meningkatkan jumlah kandungan air dalam garam.
Kadar air dari setiap sampel menunjukkan bahwa pada bulan ke-6 terjadi penurunan kadar air . Hal ini mungkin disebabkan karena sampel diperlakukan dalam kondisi terbuka, sehingga sangat dipengaruhi oleh kondisi lingkungan sekitarnya. Dengan adanya perubahan kondisi lingkungan yang berubah menjadi lebih kering, akibatnya sejumlah air yang mulanya terikat pada garam akan terlepas kembali ke udara.
Pengaruh Kandungan Zat Pereduksi terhadap Retensi KIO3
Secara teoritis telah diketahui bahwa penurunan pH (suasana asam) akan mendorong terjadinya reduksi iodat oleh senyawa reduktor. Begitu pula sebaliknya, sesuai dengan reaksi pembentukan iodat maka peningkatan pH akan semakin mendorong terbentuknya iodat.     Dengan demikian pH memegang peranan penting  dalam mempertahankan retensi iodat dalam garam.
Dari Gambar 4 terlihat bahwa  untuk bulan yang sama, dengan semakin banyaknya kandungan zat pereduksi maka akan semakin menurun pula retensi KIO3. Hal ini disebabkan karena senyawa-senyawa pereduksi seperti Fe2+ dan Cu+ ( yang terdapat pada  garam) dalam suasana asam mampu untuk mendekomposisi KIO3 dalam garam menjadi I2.  Dengan demikian, banyak jumlah zat pereduksi yang terdapat dalam garam akan semakin besar pula jumlah KIO3 yang akan terdekomposisi dan hilang sebagai I2 (g).
Akan tetapi terdapat pengecualian, yaitu untuk garam yang memiliki kandungan zat pereduksi yang paling tinggi, dalam hal ini adalah yaitu garam acuan ( R-acuan ). Pada garam acuan (R-acuan), meskipun terjadi penurunan retensi KIO3 terhadap waktu, tetapi penurunan tersebut tidaklah terlalu tajam. Hal ini terutama disebabkan oleh karena adanya proses kesetimbangan iodat yang senantiasa mengikuti perubahan di lingkungan sekitarnya.
Dalam proses kesetimbangan tersebut terdapat reaksireaksi lain yang membentuk iodat  dan bersifat lebih dominan dibandingkan dengan reaksi reduksi iodat . Salah satu reaksi yang membentuk ion iodat tersebut ialah :
  3 I2  +  6 OH-         5 I-  +  IO3-                                 (1)
Berdasarkan persamaan Nernst, Go = -162,12 kJ/mol dengan n = 6. Dengan demikian reaksi ini dapat berlangsung secara spontan apabila tersedia sejumlah I2 dan ditunjang oleh suasana yang cukup basa. Hipotesa ini didukung oleh data pH garam yang bersangkutan yang menunjukkan adanya kestabilan pH selama rentang waktu tersebut seperti tampak pada Gambar 5. Sehingga dengan demikian walaupun kandungan zat pereduksinya tinggi, tetapi suasananya tidak menunjang untuk memungkinkan terjadinya  reduksi iodat menjadi I2  (g) . 
Pengaruh Ca dan Mg terhadap Retensi KIO3
Pada  Gambar 6 tidak terdapat suatu hubungan yang jelas antara % retensi KIO3 terhadap kandungan Ca. Untuk kandungan kalsium sebesar 0,24 % terdapat penurunan retensi yang sangat tajam pada bulan ke-3, 6 dan mencapai penurunan maksimum pada bulan ke-10. Untuk kandungan kalsium di atas 0.24 %, terlihat kenaikan % retensi yang fl uktuatif.
Gambar 7 memperlihatkan adanya penurunan % retensi yang tajam untuk kandungan Mg sebesar 0,022%. Hal ini terutama disebabkan oleh adanya hidrolisis dari senyawa Mg sehingga menghasilkan ion H+, akibatnya akan terjadi penurunan pH garam. Penurunan pH ini diikuti oleh penurunan retensi iodat. Reaksinya adalah sebagai berikut  
Adanya perbedaan dalam jumlah kandungan senyawa Mg yang terdapat dalam garam  tidak memberikan perbedaan pengaruh yang signifi kan terhadap retensi iodat di dalamnya.
Sedangkan adanya fl uktuasi pada retensi KIO3 dapat disebabkan karena adanya reaksi setimbang dari hidrolisis I2 yang terbentuk dari reduksi IO3- menjadi iodida dan asam hipoiodous [9].
I2   +   H2O  I-   +   H+   +   HOI                                
    (3)
Adanya cahaya akan mempercepat terjadinya reaksi hidrolisis dari iodin. Hal ini disebabkan karena adanya dekomposisi dari asam hipoiodous.
3 HOI  3 I-   +    3 H+   +      IO3-                              
    (4)
Reaksi ini berlangsung cukup lama dan tergantung pada pH, temperatur, konsentrasi dan molekul terlarut lainnya. Reaksi selengkapnya adalah sebagai berikut :
3 I2  +  3 H2O   5 I-  +   IO3-  +  6 H+
 (5)                                     
Menurut Rahn, reaksi di atas berlangsung dalam suasana basa. Kenaikan pH dari 8 menjadi 10 membuat reaksi tersebut menjadi 4 -5 kali lebih cepat. Selain itu I- dapat teroksidasi menjadi IO3- dengan reaksi sebagai berikut :
I-  +  6 OH-      IO3-   +   3 H2O   +   6 e
Apabila didalam garam terdapat oksidator yang memiliki Eo lebih besar dari  -0,26 V seperti Fe3+ menjadi Fe2+ atau Fe(CN)63- menjadi Fe(CN)64- dan ion OH-, reaksi diatas dapat terjadi.
Dalam titrasi iodometri, KIO3 yang terdapat dalam garam diubah menjadi I2 dengan bantuan reduktor I-. Selanjutnya I2 yang dilepaskan inilah yang akan dititasi dengan larutan tiosulfat. Apabila I2 yang dilepaskan tadi larut dalam air dan membentuk kesetimbangan membentuk ion-ion atau senyawa iodium lain selain I2. Maka spesi-spesi tersebut tidak akan dapat terdeteksi.  Selain daripada itu, adanya ion-ion tertentu yang mempercepat oksidasi atmosferik dari ion iodida. Sebagai contoh senyawa nitrit akan memberikan reaksi sebagai berikut [8] :
2 HNO2 + 2I- + 2 H+ 2 NO + I2 + 2 H2O                   
Selain daripada itu ion-ion logam tertentu, seperti Cu2+ juga dapat mempercepat oksidasi dengan reaksi berikut ini  :
4 I-    +    2 Cu2+  2 CuI    +    I2                               
Hal- hal inilah yang menyebabkan adanya fl uktuasi pada retensi KIO3.
Persen Retensi KIO3 terhadap Waktu
Data pengamatan menunjukkan bahwa telah terjadi penurunan retensi KIO3 terhadap waktu. Hasil analisis kandungan KIO3  selama 6 bulan dapat dilihat pada Tabel 2.
Dari tabel tersebut jelas terlihat bahwa untuk sampel garam acuan (R-acuan) , sampel garam dengan perlakuan pencucian dengan air ( kecuali garam yang dihaluskan), menunjukkan tidak adanya penurunan retensi KIO3.
Malah kebalikannya terjadi kenaikan retensi dari KIO3 . Hal ini bisa dijelaskan dengan mengamati data pH dari sampel-sampel tersebut. Pada bulan ke-6 terjadi kenaikan pH dari sampel-sampel garam. Adanya kenaikan tersebut disebabkan karena adanya kesetimbangan dari iodat yang menghasilkan ion OH-, dengan reaksi sbb :
I-   +   6 OH-    IO3-   +  3 H2O  +  6 e Sedangkan untuk garam dengan perlakuan pencucian dengan larutan brine, termasuk sampel yang dihaluskan, terjadi penurunan retensi KIO3. Hal ini bisa disebabkan karena setelah 6 bulan terjadi penurunan pH dari sampel garam tersebut. Karena adanya perubahan suasana menjadi lebih asam, di samping kandungan reduktornya yang masih tinggi,  memungkinkan terjadinya reduksi KIO3 menjadi I2 dalam bentuk gas.
Untuk sampel garam yang dihaluskan ( baik yang dicuci dengan air bersih ataupun larutan brine ) penurunan retensinya hanya sedikit, hal ini disebabkan karena kandungan reduktor dari garam ini relatif kecil dibandingkan garam lainnya.
Data dalam tabel memperlihatkan bahwa untuk garam dengan perlakuan pencucian dengan air bersih mempunyai tingkat kestabilan KIO3  yang lebih baik dibandingkan garam dengan perlakuan pencucian dengan larutan brine. Hal ini bisa dijelaskan dengan memperhatikan data kandungan reduktornya. Data yang diperoleh memperlihatkan bahwa pada 2 jenis pencucian   (air bersih dan larutan brine), kandungan  Ca dan Mg tidak menunjukkan perbedaan yang cukup berarti, sedangkan pada pencucian dengan air bersih kandungan reduktornya lebih rendah dibandingkan pencucian dengan menggunakan larutan brine.
Sementara data pH menunjukkan bahwa garam dengan pencucian air bersih memperlihatkan pH yang cenderung lebih asam dibandingkan pH garam yang dicuci dengan larutan brine. Sehingga walaupun pH nya lebih asam, akan tetapi karena kandungan reduktornya rendah , akibatnya jumlah KIO3 yang dapat direduksi menjadi I2 oleh reduktor dalam suasana asam menjadi lebih sedikit. Hal inilah yang menyebabkan retensi KIO3 turun tidak terlampau tajam. Dari sampel yang mengalami pencucian dengan air bersih, ternyata sampel dengan perlakuan  air bersih ( R-1:1) mempunyai tingkat kestabilan KIO3 yang paling tinggi dari garam lainnya.  Meskipun demikian ditinjau dari segi kehilangan garam, sampel ini ( R-1:1 ) sangatlah besar persen kehilangan garamnya ( mencapai 39,40 % ).
Sedangkan pada garam dengan perlakuan pencucian dengan larutan brine, masih mengandung senyawa reduktor yang cukup besar, sehingga senyawa reduktor tersebut dalam suasana asam akan mampu mereduksi KIO3 dalam garam menjadi I2, akibatnya kandungan KIO3 dalam garam akan berkurang dalam jumlah yang cukup besar pula.
Secara umum, proses pencucian tidak cukup signifi kan dalam mempengaruhi stabilitas KIO3 dalam garam, akan tetapi walau bagaimanapun proses pencucian ini masih relevan dikaitkan dengan tampilan fi sik dan komposisi dari garam. Garam yang mengalami proses pencucian akan lebih bersih dan putih dibandingkan dengan garam yang tanpa proses pencucian. Garam yang mengalami proses pencucian dengan air bersih relatif akan lebih putih dibandingkan dengan garam dengan perlakuan pencucian dengan brine.
Sementara dari segi menghilangkan kandungan impuriti (Ca dan Mg) relatif tidak jauh berbeda dibandingkan garam dengan perlakuan pencucian dengan larutan brine. Akan tetapi jumlah garam yang hilang akibat proses pencucian sangatlah besar.  Selain daripada itu, dengan adanya proses pencucian akan mengurangi rasa pahit karena akan berkurangnya kandungan Ca dan Mg, di samping itu proses pencucian juga akan meningkatkan kemurnian dari garam itu sendiri.
Kesimpulan
Dari  hasil percobaan dan pembahasan serta analisis yang telah dilakukan , maka dapat ditarik beberapa kesimpulan sebagai berikut :
Proses pencucian dapat mempengaruhi komposisi garam. Persen Mg yang hilang akibat pencucian akan lebih besar dibandingkan dengan Ca.
Ukuran partikel garam yang dicuci juga mempengaruhi efektifi tas penghilangan kandungan Ca, Mg dan zat-zat pereduksi. Hal ini disebabkan karena bertambahnya luas permukaan kontak air pencuci dengan permukaan garam.
Pencucian dengan air bersih dan larutan garam tidak menunjukkan perbedaan yang signifikan terhadap kandungan Ca dan Mg, Sedangkan untuk kandungan zat pereduksi , pencucian dengan menggunakan air bersih lebih baik dibanding larutan garam, namun hal tersebut akan mengakibatkan kehilangan garam yg cukup besar selama proses pencucian.
Pencucian dengan menggunakan larutan garam, menunjukkan bahwa semakin rendah konsentrasi larutan garam, maka semakin efektif dalam menghilangkan senyawa Mg dalam garam. Namun kehilangan garam juga semakin besar (18.6 %). Sedangkan untuk larutan pencuci dengan menggunakan air bersih, maka semakin tinggi rasio volume air dan garam akan semakin efektif untuk menghilangkan Mg. Namun dari segi kehilangan garamnyapun paling besar (39,4%), dibandingkan pencucian dengan air bersih lainnya.
Semakin tinggi kandungan Ca dan Mg dalam garam, maka terdapat kecenderungan semakin tinggi pula kemampuan garam tersebut menyerap air. Namun untuk penurunan pH, kecenderungan tersebut tidak cukup jelas.
Tingkat stabilitas KIO3 dari sampel garam yang dihaluskan, baik garam dengan perlakuan pencucian air bersih ataupun larutan brine tidak menunjukkan perbedaan yang nyata untuk kurun waktu  6 bulan.  Oleh sebab itu disarankan untuk meneruskan penelitian ini  hingga 12 bulan.

0 comments:

Post a Comment