Gangguan akibat kekurangan Iodium (GAKI) dapat
mengakibatkan gondok, kretin , menurunnya kecerdasan dan untuk tingkat yang
lebih berat dapat mengakibatkan gangguan
otak dan pendengaran serta kematian bayi.
Biro Pusat Statistik
(BPS) dan UNICEF [2] pada tahun 1995 telah melakukan survai nasional tentang
GAKI. Data yang diperoleh menunjukkan bahwa semua propinsi di Indonesia kecuali
Kalimantan Timur, ratarata penduduknya mengalami kekurangan iodium.
Hal tersebut disebabkan oleh kualitas garam (kandungan
NaCl) yang dihasilkan oleh petani garam sangat rendah , sedangkan industri garam yang mengolah garam
bahan baku tersebut tidak cukup memadai dalam meningkatkan kualitas garam
sehingga iodium yang ditambahkan pada
garam tersebut mudah menghilang atau berkurang.
Hal ini dapat dipahami
karena sebagian besar Industri pengolahan garam rakyat adalah berskala kecil
dan menengah, dimana modal dan sumber daya manusianya sangat terbatas. Ditambah
lagi harga garam yang sangat murah.
Proses pengolahan garam
pada industri kecil dan menengah umumnya menggunakan proses pencucian dan
pengeringan. Pencucian garam dilakukan dengan memakai larutan jenuh garam
(brine) yang digunakan berulang kali, tujuannya untuk menghilangkan kotoran
dari permukaan garam. Sedangkan proses pengeringan bertujuan untuk mengurangi
kadar air.
Berdasarkan penelitian
yang telah dilakukan menunjukkan bahwa zat
yang bersifat pereduksi dan higroskopis pada garam adalah yang paling bertanggung jawab terhadap hilangnya
Iodium pada garam melalui proses redoks dalam suasana asam. Zat tersebut
terbentuk bersamaan dengan pembentukan garam.
Proses pencucian dan
pengeringan yang dilakukan di industri garam
yang ada di Indonesia saat ini ternyata belum cukup mampu menghasilkan
garam dengan kualitas yang baik sehingga stabilitas Iodiumnya rendah. Hal ini
disebabkan pencucian dan pengeringan yang dilakukan hanya bertujuan
meningkatkan tampilan fi sik garam (bersih dan kering), dan belum sampai pada
cara menghilangkan zat pengotor higroskopis (senyawasenyawa Ca dan Mg) dan zat-zat pereduksi pada garam,
sehingga berdasarkan survai yang telah
dilakukan, lebih dari 50 % produk garam konsumsi yang dihasilkan Industri garam
memiliki stabilitas iodium yang rendah.
Untuk itu perlu
dilakukan studi untuk mendapatkan proses pencucian dan pengeringan yang paling
optimum, agar pengaruh zat pereduksi pada garam dapat dikurangi atau
dihilangkan, sehingga kualitas garam terutama yang dihasilkan oleh industri
garam rakyat memiliki stabilitas iodium
yang tinggi, yang pada akhirnya dapat membantu menekan timbulnya penderita GAKI
di masyarakat.
Metode Penelitian
Beberapa variabel
proses pencucian seperti komposisi air pencuci dan ukuran partikel garam yang
akan dicuci akan divariasikan untuk mendapatkan kondisi proses pencucian yang
optimum. Hasil pencucian garam yang diinginkan adalah :
• Kandungan zat pengotor (Ca dan Mg)
yang rendah
• Garam yang hilang karena proses
pencucian kecil dan
• Kandungan zat pereduksi kecil
Dalam penelitian ini
juga akan diamati mekanisme dekomposisi KIO3 dari masing-masing sampel garam
hasil pencucian dengan mengamati kandungan air , pH dan kandungan KIO3 sebagai
fungsi waktu (0, 1, 3, dan 6 bulan). Hasil pengamatan ini diharapkan dapat menjelaskan
efek senyawa Ca ,Mg, dan kandungan zat pereduksi dalam garam terhadap stabilitas KIO3- nya
Diagram alir penelitian
dapat dilihat.
Analisa kandungan
Iodium dan zat Pereduksi dilakukan dengan metode Titrasi Yodometri Standar
Nasional Indonesia. {(SNI) No. 01-3556}. Sedangkan kandungan senyawa Mg dan Ca
dilakukan dengan menggunakan Atomic Absorption Spektroscopy (AAS).
Kandungan air pada
garam diukur dengan timbangan berat dengan ketelitian tinggi (0,001 gr)
menggunakan metode bobot tetap.
Analisa pH dilakukan
dengan menggunakan pH meter pada larutan sampel garam.
Hasil dan Pembahasan
Ada sembilan jenis
sampel garam yaitu garam acuan (garam tanpa perlakuan pencucian), garam yang dicuci dengan larutan garam
masing-masing dengan konsentrasi 20% (R-20%), 27%(R-27%) dan 34% (R-34%), serta
garam yang dicuci dengan air bersih dengan perbandingan garam dan air 1:1
(R-1:1), 2 :1 (R-2:1) dan 3:1 (R:1). Sedangkan untuk garam yang dihaluskan
pencucian dilakukan dengan air pencuci larutan garam 27% (RF-27%) dan air
bersih 3:1 (RF-3:1).
Hasil analisis
kandungan logam Ca dan Mg, serta reduktor dan jumlah garam yang hilang dapat
dilihat pada tabel 1.
Pengaruh air pencuci
terhadap kandungan Ca dan Mg dalam garam
Hasil analisis pada
Tabel 1. menunjukkan bahwa pencucian,
baik dengan menggunakan larutan garam ataupun air bersih dapat menghilangkan Ca
dan Mg yang terkandung dalam garam. Jumlah Mg yang hilang akibat pencucian akan
lebih besar dibandingkan dengan Ca. Hasil tersebut sesuai dengan kelarutan
senyawa Mg yang lebih besar dibandingkan senyawa-senyawa Ca [7].
Untuk pencucian dengan
larutan garam, semakin rendah konsentrasi larutan garam, maka semakin efektif
dalam menghilangkan senyawa Mg dalam garam.
Gambar 1. Diagram rancangan penelitian Tabel 1. Hasil analisis Ca, Mg , reduktor dan jumlah
garam yang hilang
Hal ini disebabkan
karena semakin pekat konsentrasi larutan pencuci, maka kemampuan untuk
melarutkan Mg dari garam akan semakin berkurang. Namun demikian dari segi
kehilangan garam , untuk pencucian dengan larutan garam 34% hanya 1,5% (paling
sedikit dibandingkan bila menggunakan larutan pencuci lainnya).
Untuk larutan pencuci
dengan menggunakan air bersih, maka pencucian dengan menggunakan rasio air dan
garam 1:1 paling efektif untuk menghilangkan Mg. Hal ini dikarenakan pada
larutan 1:1, konsentrasi NaCl dalam air pencuci paling sedikit sehingga semakin
efektif untuk menghilangkan Mg dalam garam. Namun dari segi kehilangan
garamnyapun paling besar (39,4%), dibandingkan pencucian dengan air bersih
lainnya. Hal ini bisa dipahami karena sifat dari pada NaCl yang mudah larut
dalam air, sehingga semakin banyak volume air pencuci, akan semakin banyak pula
NaCl yang larut terbawa larutan pencuci.
Untuk senyawa-senyawa
Ca, kelarutannya jauh lebih rendah dibandingkan senyawa Na dan Mg, sehingga
pencucian baik dengan air bersih maupun larutan garam tidak berpengaruh banyak.
Hal ini bisa dilihat dari tabel dimana tidak terlihat adanya suatu pola yang
jelas.
Secara umum pencucian
dengan air bersih dan larutan garam tidak menunjukkan perbedaan yang signifi
kan terhadap kandungan Ca dan Mg, akan tetapi dari segi kehilangan garam
pencucian dengan larutan garam jauh lebih baik dibandingkan pencucian dengan
menggunakan air bersih.
Pengaruh ukuran partikel
terhadap pencucian
Dari Tabel 1 juga
terlihat bahwa pencucian akan efektif untuk menghilangkan Mg dalam garam
apabila ukuran partikel garamnya lebih kecil. Hal ini disebabkan karena luas
kontak permukaan garam akan semakin besar, sehingga senyawa-senyawa Mg yang
mulanya terperangkap dalam kristal garam, setelah dihaluskan , posisinya
menjadi di permukaan garam. Dengan demikian air pencuci akan dapat melarutkan
lebih banyak senyawa-senyawa Mg. Sementara itu pencucian tidak akan berpengaruh
banyak terhadap pengurangan Ca meskipun ukuran partikelnya diperkecil. Hal
tersebut dikarenakan kelarutan senyawa Ca yang jauh lebih rendah dibanding
senyawa Na dan Mg.
Ukuran partikel tidak
berpengaruh pada jumlah garam yang hilang. Hasil pengamatan untuk sampel R-27%
dan R-3:1 tidak berbeda jauh dengan hasil dari sampel RF-27% dan RF-3:1. Jumlah
NaCl yang hilang akan tergantung pada jumlah air dalam volume pencuci. Semakin
banyak kandungan air semakin banyak NaCl yang terlarut dan terbuang.
Pengaruh pencucian terhadap
kandungan reduktor
Secara umum proses
pencucian dapat mengurangi kandungan zat
pereduksi . Pencucian menggunakan air bersih menunjukkan kandungan zat
pereduksi yang lebih rendah dibanding pencucian menggunakan larutan garam. Hal
ini disebabkan karena semakin tinggi jumlah garam (NaCl) dalam larutan pencuci
semakin kecil efek solvasi air. Bila senyawa pereduksi dalam garam adalah suatu
senyawa polar, maka akan semakin banyak zat pereduksi tersebut tersolvasi oleh
larutan air bersih dibandingkan larutan garam. Akibatnya pencucian dengan
menggunakan air bersih akan lebih efektif untuk mengurangi kandungan zat
pereduksi dalam garam. Akan tetapi pengaruh peningkatan jumlah garam dalam air
bersih terhadap jumlah zat pereduksi yang hilang tidak begitu nampak.
Tabel 1. menunjukkan
bahwa pencucian akan efektif untuk menghilangkan zat pereduksi dalam garam apabila ukuran partikel garamnya
diperkecil. Hal ini dapat dimengerti bahwa pada garam dengan ukuran partikel
yang besar, terdapat banyak zat-zat pereduksi terperangkap dalam kristal, dan
sama sekali tidak tersentuh oleh proses
pencucian. Oleh sebab itu kandungan zat pereduksi pada garam kasar jumlahnya
lebih besar dibandingkan dengan garam yang telah dihaluskan.
Pengaruh Kandungan Ca
dan Mg Terhadap Kandungan Air
Hasil pengamatan
pengaruh kenaikan kandungan air terhadap Ca dapat dilihat pada Gambar 2. Dari
gambar tersebut dapat dilihat bahwa tidak adanya suatu pola yang jelas antara kenaikan
kandungan air dengan kandungan Kalsium dalam garam. Walaupun menurut literatur
senyawa-senyawa Ca lebih bersifat higroskopis dibandingkan dengan senyawa Mg, akan tetapi karena jumlahnya relatif
tidak jauh berbeda sehingga pengaruhnya tidak begitu jelas terlihat. Kenaikan
kandungan air tertinggi dicapai pada bulan ke-1. Hal ini disebabkan karena
kandungan air pada garam saat itu relatif masih rendah, sehingga laju
penyerapan air paling tinggi. Selanjutnya akan terjadi penurunan kenaikan
kandungan air sampai bulan ke-6, ini disebabkan karena kondisi garam yang sudah
jenuh di samping adanya pengaruh dari kelembaban lingkungan.
Sedangkan pada Gambar
3. jelas terlihat bahwa dengan semakin banyaknya kandungan Mg , maka akan
terjadi peningkatan kandungan air pada garam. Pada gambar terlihat terjadi
kenaikan kandungan air setiap bulannya dengan
penyerapan air maksimum dicapai pada bulan ke-6. Hal ini disebabkan
karena senyawa-senyawa Mg, seperti MgCl2 dan MgSO4 [8] yang terdapat dalam
garam mempunyai kemampuan menyerap air sangat besar, sehingga jika garam berada
di udara dengan kelembaban tinggi akan mampu mengabsorb air dalam jumlah besar
dan pada akhirnya akan meningkatkan jumlah kandungan air pada garam. Dengan
semakin bertambahnya jumlah senyawa Mg dalam garam , maka akan semakin
bertambah pula kemampuannya untuk mengabsorb uap air dari udara, sehingga akan
meningkatkan jumlah kandungan air dalam garam.
Kadar air dari setiap
sampel menunjukkan bahwa pada bulan ke-6 terjadi penurunan kadar air . Hal ini
mungkin disebabkan karena sampel diperlakukan dalam kondisi terbuka, sehingga
sangat dipengaruhi oleh kondisi lingkungan sekitarnya. Dengan adanya perubahan
kondisi lingkungan yang berubah menjadi lebih kering, akibatnya sejumlah air
yang mulanya terikat pada garam akan terlepas kembali ke udara.
Pengaruh Kandungan Zat
Pereduksi terhadap Retensi KIO3
Secara teoritis telah
diketahui bahwa penurunan pH (suasana asam) akan mendorong terjadinya reduksi
iodat oleh senyawa reduktor. Begitu pula sebaliknya, sesuai dengan reaksi
pembentukan iodat maka peningkatan pH akan semakin mendorong terbentuknya
iodat. Dengan demikian pH memegang
peranan penting dalam mempertahankan
retensi iodat dalam garam.
Dari Gambar 4 terlihat
bahwa untuk bulan yang sama, dengan
semakin banyaknya kandungan zat pereduksi maka akan semakin menurun pula
retensi KIO3. Hal ini disebabkan karena senyawa-senyawa pereduksi seperti Fe2+
dan Cu+ ( yang terdapat pada garam)
dalam suasana asam mampu untuk mendekomposisi KIO3 dalam garam menjadi I2. Dengan demikian, banyak jumlah zat pereduksi
yang terdapat dalam garam akan semakin besar pula jumlah KIO3 yang akan
terdekomposisi dan hilang sebagai I2 (g).
Akan tetapi terdapat
pengecualian, yaitu untuk garam yang memiliki kandungan zat pereduksi yang
paling tinggi, dalam hal ini adalah yaitu garam acuan ( R-acuan ). Pada garam
acuan (R-acuan), meskipun terjadi penurunan retensi KIO3 terhadap waktu, tetapi
penurunan tersebut tidaklah terlalu tajam. Hal ini terutama disebabkan oleh
karena adanya proses kesetimbangan iodat yang senantiasa mengikuti perubahan di
lingkungan sekitarnya.
Dalam proses
kesetimbangan tersebut terdapat reaksireaksi lain yang membentuk iodat dan bersifat lebih dominan dibandingkan
dengan reaksi reduksi iodat . Salah satu reaksi yang membentuk ion iodat
tersebut ialah :
3 I2
+ 6 OH- ⇔ 5 I-
+ IO3- (1)
Berdasarkan persamaan
Nernst, Go = -162,12 kJ/mol dengan n = 6. Dengan demikian reaksi ini dapat
berlangsung secara spontan apabila tersedia sejumlah I2 dan ditunjang oleh
suasana yang cukup basa. Hipotesa ini didukung oleh data pH garam yang
bersangkutan yang menunjukkan adanya kestabilan pH selama rentang waktu
tersebut seperti tampak pada Gambar 5. Sehingga dengan demikian walaupun
kandungan zat pereduksinya tinggi, tetapi suasananya tidak menunjang untuk memungkinkan
terjadinya reduksi iodat menjadi I2 (g) .
Pengaruh Ca dan Mg
terhadap Retensi KIO3
Pada Gambar 6 tidak terdapat suatu hubungan yang
jelas antara % retensi KIO3 terhadap kandungan Ca. Untuk kandungan kalsium
sebesar 0,24 % terdapat penurunan retensi yang sangat tajam pada bulan ke-3, 6
dan mencapai penurunan maksimum pada bulan ke-10. Untuk kandungan kalsium di
atas 0.24 %, terlihat kenaikan % retensi yang fl uktuatif.
Gambar 7 memperlihatkan
adanya penurunan % retensi yang tajam untuk kandungan Mg sebesar 0,022%. Hal
ini terutama disebabkan oleh adanya hidrolisis dari senyawa Mg sehingga
menghasilkan ion H+, akibatnya akan terjadi penurunan pH garam. Penurunan pH
ini diikuti oleh penurunan retensi iodat. Reaksinya adalah sebagai berikut
Adanya perbedaan dalam
jumlah kandungan senyawa Mg yang terdapat dalam garam tidak memberikan perbedaan pengaruh yang
signifi kan terhadap retensi iodat di dalamnya.
Sedangkan adanya fl
uktuasi pada retensi KIO3 dapat disebabkan karena adanya reaksi setimbang dari
hidrolisis I2 yang terbentuk dari reduksi IO3- menjadi iodida dan asam
hipoiodous [9].
I2 +
H2O ⇔ I- +
H+ + HOI
(3)
Adanya cahaya akan
mempercepat terjadinya reaksi hidrolisis dari iodin. Hal ini disebabkan karena
adanya dekomposisi dari asam hipoiodous.
3 HOI ⇔
3 I- + 3 H+
+ IO3-
(4)
Reaksi ini berlangsung
cukup lama dan tergantung pada pH, temperatur, konsentrasi dan molekul terlarut
lainnya. Reaksi selengkapnya adalah sebagai berikut :
3 I2 + 3
H2O ⇔
5 I- +
IO3- + 6 H+
(5)
Menurut Rahn, reaksi di
atas berlangsung dalam suasana basa. Kenaikan pH dari 8 menjadi 10 membuat
reaksi tersebut menjadi 4 -5 kali lebih cepat. Selain itu I- dapat teroksidasi
menjadi IO3- dengan reaksi sebagai berikut :
I- + 6
OH- ⇔ IO3-
+ 3 H2O + 6
e
Apabila didalam garam
terdapat oksidator yang memiliki Eo lebih besar dari -0,26 V seperti Fe3+ menjadi Fe2+ atau
Fe(CN)63- menjadi Fe(CN)64- dan ion OH-, reaksi diatas dapat terjadi.
Dalam titrasi
iodometri, KIO3 yang terdapat dalam garam diubah menjadi I2 dengan bantuan
reduktor I-. Selanjutnya I2 yang dilepaskan inilah yang akan dititasi dengan
larutan tiosulfat. Apabila I2 yang dilepaskan tadi larut dalam air dan
membentuk kesetimbangan membentuk ion-ion atau senyawa iodium lain selain I2.
Maka spesi-spesi tersebut tidak akan dapat terdeteksi. Selain daripada itu, adanya ion-ion tertentu
yang mempercepat oksidasi atmosferik dari ion iodida. Sebagai contoh senyawa
nitrit akan memberikan reaksi sebagai berikut [8] :
2 HNO2 + 2I- + 2 H+ ⇔ 2 NO + I2 + 2 H2O
Selain daripada itu
ion-ion logam tertentu, seperti Cu2+ juga dapat mempercepat oksidasi dengan
reaksi berikut ini :
4 I- +
2 Cu2+ ⇔ 2 CuI +
I2
Hal- hal inilah yang
menyebabkan adanya fl uktuasi pada retensi KIO3.
Persen Retensi KIO3
terhadap Waktu
Data pengamatan
menunjukkan bahwa telah terjadi penurunan retensi KIO3 terhadap waktu. Hasil
analisis kandungan KIO3 selama 6 bulan
dapat dilihat pada Tabel 2.
Dari tabel tersebut
jelas terlihat bahwa untuk sampel garam acuan (R-acuan) , sampel garam dengan
perlakuan pencucian dengan air ( kecuali garam yang dihaluskan), menunjukkan
tidak adanya penurunan retensi KIO3.
Malah kebalikannya
terjadi kenaikan retensi dari KIO3 . Hal ini bisa dijelaskan dengan mengamati
data pH dari sampel-sampel tersebut. Pada bulan ke-6 terjadi kenaikan pH dari
sampel-sampel garam. Adanya kenaikan tersebut disebabkan karena adanya
kesetimbangan dari iodat yang menghasilkan ion OH-, dengan reaksi sbb :
I- + 6
OH- ⇔ IO3-
+ 3 H2O + 6 e
Sedangkan untuk garam dengan perlakuan pencucian dengan larutan brine, termasuk
sampel yang dihaluskan, terjadi penurunan retensi KIO3. Hal ini bisa disebabkan
karena setelah 6 bulan terjadi penurunan pH dari sampel garam tersebut. Karena
adanya perubahan suasana menjadi lebih asam, di samping kandungan reduktornya
yang masih tinggi, memungkinkan
terjadinya reduksi KIO3 menjadi I2 dalam bentuk gas.
Untuk sampel garam yang
dihaluskan ( baik yang dicuci dengan air bersih ataupun larutan brine ) penurunan
retensinya hanya sedikit, hal ini disebabkan karena kandungan reduktor dari
garam ini relatif kecil dibandingkan garam lainnya.
Data dalam tabel
memperlihatkan bahwa untuk garam dengan perlakuan pencucian dengan air bersih
mempunyai tingkat kestabilan KIO3 yang
lebih baik dibandingkan garam dengan perlakuan pencucian dengan larutan brine.
Hal ini bisa dijelaskan dengan memperhatikan data kandungan reduktornya. Data
yang diperoleh memperlihatkan bahwa pada 2 jenis pencucian (air bersih dan larutan brine),
kandungan Ca dan Mg tidak menunjukkan
perbedaan yang cukup berarti, sedangkan pada pencucian dengan air bersih
kandungan reduktornya lebih rendah dibandingkan pencucian dengan menggunakan
larutan brine.
Sementara data pH
menunjukkan bahwa garam dengan pencucian air bersih memperlihatkan pH yang
cenderung lebih asam dibandingkan pH garam yang dicuci dengan larutan brine.
Sehingga walaupun pH nya lebih asam, akan tetapi karena kandungan reduktornya
rendah , akibatnya jumlah KIO3 yang dapat direduksi menjadi I2 oleh reduktor
dalam suasana asam menjadi lebih sedikit. Hal inilah yang menyebabkan retensi
KIO3 turun tidak terlampau tajam. Dari sampel yang mengalami pencucian dengan
air bersih, ternyata sampel dengan perlakuan
air bersih ( R-1:1) mempunyai tingkat kestabilan KIO3 yang paling tinggi
dari garam lainnya. Meskipun demikian
ditinjau dari segi kehilangan garam, sampel ini ( R-1:1 ) sangatlah besar
persen kehilangan garamnya ( mencapai 39,40 % ).
Sedangkan pada garam
dengan perlakuan pencucian dengan larutan brine, masih mengandung senyawa
reduktor yang cukup besar, sehingga senyawa reduktor tersebut dalam suasana
asam akan mampu mereduksi KIO3 dalam garam menjadi I2, akibatnya kandungan KIO3
dalam garam akan berkurang dalam jumlah yang cukup besar pula.
Secara umum, proses
pencucian tidak cukup signifi kan dalam mempengaruhi stabilitas KIO3 dalam
garam, akan tetapi walau bagaimanapun proses pencucian ini masih relevan
dikaitkan dengan tampilan fi sik dan komposisi dari garam. Garam yang mengalami
proses pencucian akan lebih bersih dan putih dibandingkan dengan garam yang
tanpa proses pencucian. Garam yang mengalami proses pencucian dengan air bersih
relatif akan lebih putih dibandingkan dengan garam dengan perlakuan pencucian
dengan brine.
Sementara dari segi
menghilangkan kandungan impuriti (Ca dan Mg) relatif tidak jauh berbeda
dibandingkan garam dengan perlakuan pencucian dengan larutan brine. Akan tetapi
jumlah garam yang hilang akibat proses pencucian sangatlah besar. Selain daripada itu, dengan adanya proses
pencucian akan mengurangi rasa pahit karena akan berkurangnya kandungan Ca dan
Mg, di samping itu proses pencucian juga akan meningkatkan kemurnian dari garam
itu sendiri.
Kesimpulan
Dari hasil percobaan dan pembahasan serta analisis
yang telah dilakukan , maka dapat ditarik beberapa kesimpulan sebagai berikut :
Proses pencucian dapat
mempengaruhi komposisi garam. Persen Mg yang hilang akibat pencucian akan lebih
besar dibandingkan dengan Ca.
Ukuran partikel garam
yang dicuci juga mempengaruhi efektifi tas penghilangan kandungan Ca, Mg dan
zat-zat pereduksi. Hal ini disebabkan karena bertambahnya luas permukaan kontak
air pencuci dengan permukaan garam.
Pencucian dengan air
bersih dan larutan garam tidak menunjukkan perbedaan yang signifikan terhadap
kandungan Ca dan Mg, Sedangkan untuk kandungan zat pereduksi , pencucian dengan
menggunakan air bersih lebih baik dibanding larutan garam, namun hal tersebut
akan mengakibatkan kehilangan garam yg cukup besar selama proses pencucian.
Pencucian dengan
menggunakan larutan garam, menunjukkan bahwa semakin rendah konsentrasi larutan
garam, maka semakin efektif dalam menghilangkan senyawa Mg dalam garam. Namun
kehilangan garam juga semakin besar (18.6 %). Sedangkan untuk larutan pencuci
dengan menggunakan air bersih, maka semakin tinggi rasio volume air dan garam
akan semakin efektif untuk menghilangkan Mg. Namun dari segi kehilangan
garamnyapun paling besar (39,4%), dibandingkan pencucian dengan air bersih
lainnya.
Semakin tinggi
kandungan Ca dan Mg dalam garam, maka terdapat kecenderungan semakin tinggi
pula kemampuan garam tersebut menyerap air. Namun untuk penurunan pH,
kecenderungan tersebut tidak cukup jelas.
Tingkat stabilitas KIO3
dari sampel garam yang dihaluskan, baik garam dengan perlakuan pencucian air
bersih ataupun larutan brine tidak menunjukkan perbedaan yang nyata untuk kurun
waktu 6 bulan. Oleh sebab itu disarankan untuk meneruskan
penelitian ini hingga 12 bulan.
0 comments:
Post a Comment