Akuakultur merupakan
sektor perikanan yang paling cepat berkembang secara global dan memantapkan
dirinya sebagai sumber protein yang tinggi untuk memenuhi kebutuhan pangan
karena sumber daya alam menunjukkan lebih dari eksploitasi. Tapi, saat ini,
masalah terbesar yang dihadapi oleh industri akuakultur di seluruh dunia adalah
penyakit yang disebabkan karena berbagai agen hayati dan non-hayati. Di antara
kelompok mikroorganisme yang menyebabkan kerugian serius dalam budidaya udang,
yang paling dikenal adalah bakteri karena efek kehancuran ekonomi yang mereka
miliki di peternakan yang terkena dampak. Penyakit bakteri, terutama disebabkan
Vibrio
Vibriosis adalah salah
satu penyakit pada udang dan ikan yang bersifat endemis hampir di semua
perairan ditemui di daerah beriklim tropis termasuk Indonesia. Vibriosis
merupakan suatu penyakit pada ikan dan udang yang disebabkan oleh kelompok
bakteri Vibrio sp. yang banyak terdistribusi di air bersih, air terpolusi, air
laut kecuali yang salinitasnya tinggi, mikroflora dalam usus, ginjal dan darah
ikan. Penyakit ini sering menyerang pada budidaya ikan air laut, air payau dan
air tawar.
Jenis Vibrio sp.
merupakan bakteri gram negatif berbentuk batang panjang atau lengkung,
berukuran 0,5-2,0 µm dapat bergerak karena mempunyai 2-3 flagela polar pada
spesies tertentu (Duijn, 1973). Strain virulen biasanya menyebabkan wabah
penyakit yang berhubungan dengan perubahan lingkungan, stres, perubahan suhu
yang mendadak, handling yang kasar, penurunan oksigen, umur ikan, suhu tinggi,
kandungan oksigen yang rendah dan kepadatan populasi (Roberts, 1989; Bowser,
1999).
Pada ikan Kerapu,
rahmat Cally (Cromileptes altivelis) merupakan salah satu komoditas perikanan
yang keuntungan ekonomis penting baik sebagai ikan konsumsi dan sebagai ikan
hias. Sejauh ini masalah penyakit ini, masih menjadi penyebab kematian massal
hingga mencapai 100%. Infeksi bakteri yang dicurigai sebagai penyebab yang kematian
masal. Ikan yang terserang penyakit ini biasanya memiliki tanda-tanda kotor
seperti mulut merah, warna kemerahan dari tubuh, busuk sirip dan perut bengkak
diikuti oleh kematian mendadak.
Sebuah penelitian dilakukan
untuk menentukan penyebabkan utama penyakit. Bakteri yang penyeranganya terjadi
sariawan, hati, ginjal dan usus. Hasil identifikasi ada 7 bakteri yang menyebabkan
dengan penyakit ini, empat dari mereka milik marga Vibrio. Dua spesies Vibrio
yang V. alginolyticus dan V. anguillarum kemudian terinfeksi intraperitoneal
(IP). Hasil percobaan untuk uji patogenisitas menunjukkan bahwa V.
alginolyticus lebih patogen daripada V. anguillarum. Pada kepadatan 108'88 CFU
/ ikan, LD50 sebuah hasil dari 96 jam paparan V. alginolyticus untuk ikan,
sementara hingga 108 CFU / ikan V. anguillarum hanya menyebabkan kematian 20%.
Gejala klinis penyakit
Vibriosis bentuk akut pada ikan dewasa ditandai dengan warna kulit kusam
disertai hilang nafsu makan, letargi dengan hemoragi dipangkal sirip dengan fin
rot yaitu kerusakan kulit dengan tepi merah atau putih karena infeksi sekunder
jamur. Pada dinding abdomen, organ viseral, jantung, dan kulit terjadi hemoragi
difus, membengkak, distensi abdomen dengan asites. Penyebaran penyakit cepat
dan ikan mati dalam 2-3 hari dengan mortalitas tinggi (Austin dan Austin, 1987;
Prescott, 2001). Biasanya dalam keadaan stres ikan tampak berwarna kusam
(gelap) dengan hemoragi kutan pada sirip dan ekor, insang pucat (Prescott,
2001), hemoragi tersebut memborok sampai terjadi lesi di kulit (Browser, 2002).
Saat nekropsi terlihat kongesti dengan hemoragi diseluruh permukaan organ
internal dan cairan serosanguinus pada ginjal dan limpa yang membengkak
(Roberts, 1989).
Patogenesis dari
penyakit ini, bakteri masuk lewat darah dan ke sirkulasi jaringan menyebabkan
kerusakan dan radang pada pembuluh darah kulit dan pangkal sirip, diikuti
hemoragi pada jantung dan akumulasi cairan di abdomen yang menyebabkan dropsi
(Prescott, 2001). Bakteri yang masuk ketubuh ikan melalui epihel dari traktus
interstinalis menyebabkan septikemia hemoragi (Bullock dkk., 1971). Selain itu
bakteri dapat juga menginfeksi ikan melalui insang (Roberts, 1989). Bakteri ini
memperbanyak diri pada daerah usus dan menginduksikan toksin sehingga
menimbulkan toksemia pada hewan yang diserangnya. Hemoragi kapiler terjadi pada
bagian luar insang dan lapisan submukosa abdomen, sedangkan sel hepar dan
tubulus renalis menunjukkan adanya degenerasi (Miyazaki dan Jo, 1985). Toksin
yang dihasilkan oleh bakteri tersebut menyebabkan anemia hemolitik yang
mengakibatkan peningkatan hemosiderin pada pusat melanomakrofag pada jaringan
hemapoietik limpa dan ginjal (Roberts, 1989).
Gambaran mikroskopik
terlihat hemoragi dan foki bakteri di jaringan otot jantung, hemapoetik dan
insang. Adanya infiltrasi sel leukosit pada foci berkaitan dengan eksotoksin
yang dihasilkan oleh Vibrio sp. Foki nekrotik bakterial terlokalisir pada
dermis dan epidermis, diawali dengan hiperemi dan edema fibrin, infiltrasi
makrofag dan polimorfonuklear leukosit yang menyebar rata. Nekrosis pada pusat
lesi dengan deposit fibrin, banyak sel radang mengandung granula melanin
(Roberts, 1989).
Sel epitel usus
nekrosis dan mengelupas ke lumen, pada organ jantung, hati dan pankreas
ditemukan nekrosis fokal likuifaktif. Sel hati dan epitel tubulus ginjal
mengalami degenerasi, sel glomerulus rusak, hemoragi jaringan interstitial
dengan eksudat serum berfibrin (Miyazaki dan Jo,1985).
Bentuk Vibriosis kronis
yang dapat diamati adalah letargi, eksoptalmia, lesi nekrosis, pembengkakan
hipodermal, perdarahan di sirip, hidung, ventrikulus, otot dan jaringan, limpa
dan ginjal bengkak dan lunak, ginjal sering mengalami nekrosis pada glomerulus,
tubulus dan dearah interstitial, fokal nekrosis pada hati dan ikan dapat
bertahan meskipun adanya jaringan parut (Roberts, 1989). Selain itu pada
infeksi bakterial yang kronis terlihat adanya perubahan cara berenang yaitu
berenang miring dan bergerak lamban, lesu dan hilang nafsu makan (Khairuman dan
Amri, 2003).
Infeksi yang sering
terjadi biasanya pada komoditas ikan payau, ikan laut bahkan juga terjadi pada komoditas
ikan air tawar. Pada udang sering di kenal oleh pembudidaya windu penyakit “udang menyala” atau kunang-kunang. Cara penanggulanganya pengelolaan limbah budidaya
udang dengan membuat tandon sebagai cara salah satunya mencegah Vibriosis (Atmomarsono
et al., 1995). Penggunaan 30% dari luas areal untuk tandon dengan biofilter
kerang-kerangan dan kerang bakau. Cara lain adalah dengan pemberian vaksin,
inostimulan dan antibiotik. Penggunaan bakteri yang diisolasi dari V harveyi.
Menurut Suwanto (1994)
kegunaan menggunakan biokontrol antara lain :
1.
Organisme yang dipergunakan dipertimbangkan
lebih aman dari pada bahan kimia proteksi yang sekarang digunakan.
2.
Tidak terakumalasi dalam makanan.
3.
Adanya proses reproduksi tidak bisa
digunakan berulang.
4.
Organisme sasaran jarang menjadi
resisten terhadap biokotrol dari pada terhadap bahan kimia.
5.
Dapat digunakan secara bersama-sama
terhadap cara proteksi yang ada sampai hari ini.
Berdasarkan hal
tersebut diatas maka perlu adanya upaya pencarian agen-agen biokontrol yang
berpotensi untuk penanggulangan penyakit udang. Salah satu sumber bakteri biokontrol
airtambak dari air laut (Tjahjadi et al., 1994; dan Haryanti et al.,2000).
Sumber daya laut yang
lainnya yang diduga menyimpan potensi sebagai sunber plasma nutfah untuk
bakteri sebagai biokontrol yang sampai saat ini belum di pelajari adalah
sedimen dan terumbu karang. Berdasarkan hal tersebut diatas maka perlu dicari
kandidat bakteri bikotrol dari laut.
0 comments:
Post a Comment