Dewasa ini permintaan
komoditas perikanan baik pasar domestic maupun ekspor cenderung meningkat. Namun
pola permintaan konsumen akan produk perikanan cenderung bergeser pula dari
ikan bentuk beku ke bentuk segar, kemudian ke bentuk hidup. Pergeseran pola permintaan ini tampaknya
seiring dengan peningkatan kesejahteraan, pendidikan dan kesadaran akan hidup
sehat. Peluang pasar tersebut di atas
perlu dimanfaatkan sehingga upaya-upaya untuk mendorong pemanfaatan peluang ini
perlu mendapatkan prioritas, diantaranya adalah dukungan berupa teknologi
penanganan dan transportasi ikan hidup yang ekonomis, efektif dan efisien.
Secara umum
transportasi ikan hidup dilakukan dengan transportasi secara terbuka maupun
tertutup (Praseno, 1990). Transportasi
ikan hidup pada dasarnya selalu menggunakan metode imotilisasi. Imotilisasi dapat dilakukan dengan
menggunakan suhu rendah atau senyawa metabolik kimia maupun alami. Senyawa kimia yang biasanya digunakan antara
lain yaitu MS222 (Browser, 2001; Wagner et al, 2003; Pirhonen and Schreck,
2003; Small, 2003), Quinaldine (Browser, 2001; Small, 2003), Eugenol (Browser,
2001), Clove Oil (Walsh and Pease, 2002; Small, 2003). Sedangkan senyawa atau
bahan alami yang biasa digunakan adalah
biji karet, buah pala dan rumput laut (Wibowo, 1993).
Namun demikian,
imotilisasi dengan suhu rendah dirasakan paling aman, ekonomis dan
efektif. Imotilisasi dengan suhu rendah
dilakukan dengan cara menurunkan suhu media hingga suhu tertentu saat tingkat
aktifitas, respirasi dan metabolisme sangat rendah atau pada kondisi
basal. Hal ini diharapkan ikan dapat
ditransportasikan dalam waktu yang lama dengan sintasan yang tinggi.
Informasi mengenai
pengaruh suhu rendah terhadap aktifitas, respirasi dan metabolisme ikan bawal
sejauh ini masih belum tersedia sehingga tidak mudah untuk menentukan kondisi
yang sesuai untuk transportasi hidup ikan tersebut. Penelitian ini bertujuan untuk mempelajari
sifat fisiobilogis ikan bawal yang hasilnya dapat digunakan sebagai informasi
dasar untuk transportasi hidup.
Penelitian ditekankan untuk mempelajari pola respirasi dan metabolisme
ikan bawal pada berbagai suhu. Berdasarkan pola ini diharapkan dapat diambil
indikasi adanya titik-titik suhu krusial yang berkaitan dengan respirasi dan
metabolisme ikan yang dapat digunakan untuk keperluan transportasi ikan bawal
hidup dengan sistem basah.
MATERI DAN METODE
Bahan dan Alat
Bahan utama yang
digunakan dalam penelitian ini adalah ikan bawal (Colosoma sp) yang berasal dari daerah
Purbalingga. Ikan yang digunakan dipilih
yang dalam kondisi sehat, tidak cacat dan berukuran sekitar 3 ekor per kilogram
(bobot rata-rata 335,03±20,12 g/ekor).
Bahan pendukung yang digunakan adalah es dan kemikalia untuk analisis
mutu air. Peralatan yang digunakan dalam penelitian ini meliputi akuarium
plastik, timbangan (Lion Star 2 Kg), termometer, dan pencatat waktu (timer)
Metode Penelitian
Ikan bawal yang
diperoleh dibugarkan terlebih dahulu dalam wadah tanki fiber dan dipuasakan
sebelum digunakan untuk penelitian.
Tingkat respirasi ikan bawal pada berbagai suhu diamati berdasarkan
tingkat penurunan oksigen terlarut di dalam air dalam wadah akuarium per satuan
waktu. Sedangkan tingkat metabolisme
dilihat dari peningkatan kandungan metabolit air dalam wadah akuarium per
satuan waktu. Percobaan dilakukan dengan
cara memasukan 3 ekor ikan bawal ke dalam akuarium yang telah diisi air hingga penuh dan kemudian pompa
sirkulator dan aerator dioperasikan dengan kecepatan kuat.
Suhu air diturunkan
secara bertahap dengan mengalirkan air dingin ke dalam akuarium. Aliran air dingin diatur sedemikian rupa
sehingga terjadi penurunan suhu dengan kecepatan 50C/jam. Pengamatan terhadap
respirasi, metabolime dan aktifitas ikan bawal diamati setiap 30 menit.
Pengamatan respirasi
dan metabolisme ikan bawal dilakukan sebagai berikut: setelah suhu air diturunkan perlahan dalam
waktu 30 menit. Suhu, oksigen dan
kandungan metabolit di dalam air diamati selama 15 menit. Disamping itu juga diamati aktifitas ikan
bawal dengan mencatat gerakan-gerakan yang terjadi selama pengamatan.
Perlakuan dilakukan
demikian seterusnya hingga ikan pingsan. Tingkat respirasi ikan dihitung dari
selisih antara tingkat kelarutan oksigen pada saat aerasi dihentikan dengan
kelarutan oksigen setelah 15 menit, dibagi berat ikan per satuan waktu. Sedangkan
metabolit ikan yang diamati adalah kadar CO2 dari contoh air yang terdapat dalam
akuarium. Percobaan dilakukan dengan dua
kali ulangan.
HASIL DAN PEMBAHASAN
Pengaruh Suhu rendah
Terhadap Aktifitas Ikan
Aktifitas ikan bawal
pada berbagai suhu secara umum memberikan respon yang terdiri dalam beberapa
fase (Tabel 1). Pada suhu sampai 210C
aktifitas ikan terlihat masih normal. Pada
suhu 230C-180C ikan mulai memasuki fase kedua yaitu fase
tenang. Pada suhu 180C-130C
ikan telah memasuki fase aktifasi yang telah menjadi fase awal
kegelisahan. Fase berikutnya adalah fase
panik dan pingsan dimana ikan mulai mengalami kepanikan, kehilangan
keseimbangan dan terjadi disorientasi sehingga ikan roboh.
Dari hasil tersebut di
atas tampak bahwa terdapat titik-titik krusial yaitu pada suhu sekitar 230C,
180C dan 130C yang muncul pada respon ikan bawal akibat
turunnya suhu lingkungan. Pada titik-titik
krusial ini terjadi perubahan aktifitas dan respon ikan bawal yang nyata, yang
diharapkan merupakan momen yang tepat saat ikan menunjukkan kemampuan yang
tinggi dalam mempertahankan hidupnya.
Karena pada dasarnya, dalam kondisi krusial mahluk hidup cenderung
menunjukkan kemampuan yang tinggi dalam mempertahankan kelangsungan hidupnya.
Hasil pengamatan
karakteristik aktifitas ikan bawal menunjukkan bahwa suhu imotil dalam
transportasi ikan hidup adalah antara suhu 230C-130C. Di
atas atau di bawah suhu tersebut resiko kematian selama transportasi
dikhawatirkan masih cukup tinggi. Makin
rendah suhu tentu membutuhkan energi yang cukup besar baik untuk mencapai
maupun untuk mempertahankan suhu tersebut dan yang berarti juga membutuhkan
biaya besar. Sementara itu, untuk
transportai ikan hidup dengan sistem basah menggunakan media air dapat
menggunakan suhu lebih tinggi, karena transprtasi sistem basah dapat dilakukan
pada saat ikan berada pada fase tenang.
Hal ini lebih menguntungkan jika dilihat dari segi teknis dan
ekonomisnya.
Tabel 1. Pola aktifitas
ikan bawal pada berbagai suhu (kecepatan penurunan suhu 50C/jam)
No
|
SUHU
|
AKTIFITAS
|
KRITERIA
|
1.
|
280C
|
Ikan
tenang di dasar, sesekali berenang perlahan, tubuh tegak, gerakan katup
insang perlahan dan teratur, responsif terhadap gerakan di luar akuarium,
sangat responsif terhadap sentuhan perlahan
|
Normal (Normal)
|
2.
|
230C
|
Aktifitas
ikan mulai berkurang dan cenderung dan cenderung diam di dasar. Respon
terhadap gerakan di luar mulai berkurang, ikan mulai mudah dipegang
|
Mulai
Tenang (Calm)
|
3.
|
180C
|
Aktifitas
ikan tidak banyak berubah, tubuh mulai miring saat berenang dan sirip
punggung mulai meregang. Respon terhadap gerakan di luar melemah dan
lebih tenang saat dipegang
|
Fase awal kegelisahan
(uncontrolable)
|
4.
|
130C
|
Gerakan
ikan mengarah kegelisahan, tubuh ikan mulai kaku, berlendir, tdak ada
gerakan, tidak merespon terhadap sentuhan, hanya terdapat gerakan sangat
lemah pada katup insang
|
Fase panik
dan pingsan (panic and unconcious)
|
Pengaruh Suhu Rendah
Terhadap Respirasi Ikan
Pola respirasi ikan
bawal pada berbagai suhu rendah cenderung berfluktuasi dengan makin turunnya
suhu (Gambar 1). Pada awal penurunan suhu terjadi peningkatan konsumsi oksigen
hingga suhu mencapai 180C, kemudian konsumsi oksigen terlarut mulai
menurun kembali saat penurunan suhu dari
180C hingga mencapai 130C. Secara teoritis menurut Berka (1986),
menyatakan bahwa pola konsumsi oksigen yang berfluktuasi ini juga akan
menyebabkan berfluktuasinya pula senyawa hasil respirasi, yaitu CO2. Namun dalam penelitian ini tidak dilakukan
Pada awal terjadinya
penurunan suhu (280C-230C) terjadi peningkatan kecepatan
respirasi ikan bawal yang mencapai titik tertinggi (1,733 mg O2/Kg berat
ikan/jam) pada suhu 230C. Hingga pada suhu tersebut masih dalam kategori
normal (Tabel 1). Penurunan suhu yang
dapat menekan respirasi pada tahap ini masih belum terjadi. Penurunan suhu sampai 230C ternyata masih
belum mempengaruhi respirasi maupun aktifitas ikan bawal.
Penurunan suhu
berikutnya yaitu antara suhu 230C-180C terlihat bahwa
penurunan suhu tidak menyebabkan penurunan respirasi tetapi justru menyebabkan
peningkatan respirasi. Peningkatan
respirasi ini disebabkan karena ikan bawal mulai masuk pada fase awal
kegelisahan, berenang relatif cepat yang bahkan hampir memasuki fase panik.
Kemampuan penurunan
suhu dalam menekan respirasi dan aktifitas ikan bawal mulai tampak setelah suhu
dibawah 180C, yaitu respirasi turun tajam hingga mencapai titik
terendah pada suhu 130C (1,339 mg O2/Kg berat ikan/jam). Penurunan respirasi ini tampaknya disebabkan
sebagian ikan sudah melewati fase panik dan bahkan mulai ada yang roboh
sehingga kebutuhan oksigen pun merosot tajam.
Jika diamati hasil
tersebut di atas, dapat diambil beberapa titik suhu yang berpeluang untuk
keperluan transportasi ikan bawal hidup.
Kisaran suhu 180C-130C tampaknya memiliki peluang besar untuk digunakan
dalam transportasi ikan bawal hidup dengan sistem basah terutama pada
transportasi jarak jauh. Pada kisaran suhu tersebut ikan sudah cukup tenang dan
mudah ditangani untuk dikemas, sementara respirasinya cukup rendah. Untuk
transportasi sistem kering, karena ikan ditempatkan di luar habitat hidupnya, diperlukan
kondisi ikan yang jauh lebih tenang dan respirasi rendah, yaitu setelah ikan
melewati fase panik.
KESIMPULAN
Respon fisik yang
terjadi meliputi fase normal (terjadi pada suhu 280C), fase tenang
(230C), fase awal kegelisahan (180C) dan fase panik dan pingsan (130C). Pola respirasi cenderung meningkat pada awal
penurunan suhu dan kemudian menurun tajam bersamaan dengan berlangsungnya fase
awal kegelisahan.
0 comments:
Post a Comment