Penyu
merupakan reptil yang hidup di laut serta mampu
bermigrasi dalam jarak yang jauh di sepanjang kawasan Samudera
Hindia, Samudra Pasifik dan Asia Tenggara. Keberadaannya telah lama terancam, baik dari alam maupun
kegiatan manusia yang membahayakan
populasinya secara langsung maupun tidak
langsung.
Dari
tujuh jenis penyu di dunia, tercatat
enam jenis penyu yang hidup di perairan Indonesia yaitu penyu hijau
(Chelonia mydas), penyu sisik
(Eretmochelys imbricata), penyu abu-abu
(Lepidochelys olivacea), penyu
pipih (Natator depressus), penyu belimbing
(Dermochelys coriacea), serta
penyu tempayan (Caretta caretta). Jumlah ini sebenarnya masih
menjadi perdebatan karena Nuitja (1992)
menyebutkan hanya lima jenis yang ditemukan, dimana Caretta caretta dinyatakan
tidak ada. Namun demikian, beberapa peneliti
mengungkapkan bahwa Caretta
caretta memiliki daerah jelajah yang
meliputi Indonesia (Limpus et al. 1992, Charuchinda et al. 2002).
Pergeseran fungsi
lahan yang menyebabkan
kerusakan habitat pantai
dan ruaya pakan, kematian penyu
akibat kegiatan perikanan,
pengelolaan teknik-teknik konservasi
yang tidak memadai, perubahan
iklim, penyakit, pengambilan penyu
dan telurnya serta
ancaman predator merupakan
faktor-faktor penyebab penurunan
populasi penyu. Selain itu, karakteristik siklus hidup penyu sangat panjang
(terutama penyu hijau, penyu
sisik dan penyu tempayan) dan untuk
mencapai kondisi “stabil” (kelimpahan
populasi konstan selama 5 tahun terakhir) dapat memakan waktu cukup lama sekitar 30–40 tahun,
maka sudah seharusnya pelestarian
terhadap satwa langka ini menjadi hal yang mendesak.
Kondisi
inilah yang menyebabkan semua jenis
penyu di Indonesia diberikan status
dilindungi oleh Negara sebagaimana tertuang dalam PP Nomor 7 tahun 1999 tentang Pengawetan Jenis-jenis Tumbuhan
dan Satwa yang Dilindungi.
Secara
internasional, penyu masuk ke dalam daftar merah (red list) di IUCN dan
Appendix I CITES yang berarti bahwa keberadaannya di alam telah terancam punah
sehingga segala bentuk pemanfaatan dan peredarannya harus mendapat
perhatian secara serius. Konservasi
penyu secara internasional mulai bergaung saat The First World
Conference on the Conservation of Turtles di Washington DC, 26 sampai 30
Nopember 1979. Konferensi tersebut dihadiri sekitar 300 orang ahli ekologi
penyu, biologi satwa, biologi perikanan
dan konservasionis yang membahas
lebih dari 60 paper dan melakukan
analisa dalam menyelamatkan populasi setiap spesies yang hidup di
masing- masing negara (Nuitja, 2006).
Sejauh
ini berbagai kebijakan terkait
pengelolaan penyu sudah cukup banyak dilakukan, baik oleh Departemen Kehutanan,
Kementerian Lingkungan Hidup, maupun
Departemen Kelautan dan Perikanan. Bahkan pemerintah secara terus-menerus
mengembangkan kebijakan-kebijakan yang sesuai dalam upaya pengelolaan
konservasi penyu dengan melakukan
kerjasama regional seperti IOSEA-CMP, SSME dan BSSE. Munculnya UU No. 31
tahun 2004 tentang perikanan dan PP 60 tahun 2007 tentang Konservasi Sumberdaya Ikan membawa nuansa baru dalam pengelolaan
konservasi penyu. Akan tetapi pemberian status perlindungan saja jelas
tidak cukup untuk memulihkan atau setidaknya mempertahankan populasi penyu di
Indonesia. Pengelolaan konservasi yang komprehensif, sistematis dan terukur
mesti segera dilaksanakan, diantaranya dengan cara memberikan pengetahuan
teknis tentang pengelolaan konservasi penyu bagi pihak-pihak terkait khususnya
pelaksana di lapang. Namun sampai saat ini buku lengkap yang memuat informasi tentang pengelolaan konservasi
penyu sangat sedikit yang mudah dipahami oleh semua kalangan.
Oleh
karena itu sejalan dengan upaya
pengelolaan konservasi penyu di
Indonesia, maka buku pedoman teknis bagi para pelaku pengelolaan konservasi
penyu di lapangan sangat diperlukan.
Identifikasi
Jenis
Pengenalan
terhadap bagian-bagian tubuh penyu beserta fungsinya sangat diperlukan agar
dapat melakukan identifikasi dengan baik. Tubuh penyu terdiri dari
bagian-bagian:
1) Karapas,
yaitu bagian tubuh yang dilapisi zat tanduk, terdapat di bagian punggung dan
berfungsi sebagai pelindung.
2) Plastron,
yaitu penutup pada bagian dada dan perut.
3) Infra
Marginal, yaitu keping penghubung antara bagian pinggir karapas dengan
plastrón. Bagian ini dapat digunakan sebagai alat identifikasi.
4) Tungkai
depan, yaitu kaki berenang di dalam air, berfungsi sebagai alat dayung.
5) Tungkai
belakang, yaitu kaki bagian belakang (pore fliffer), berfungsi sebagai alat
penggali
Menurut
Carr (1972), penyu termasuk ke dalam phylum Chordata yang memiliki 2 (dua)
famili, yaitu :
A. Family : Cheloniidae, meliputi : Species :
1)
Chelonia mydas (penyu hijau)
2) Natator depressus (penyu pipih)
3) Lepidochelys olivacea (penyu abu)
4) Lepidochelys kempi (penyu kempi)
5) Eretmochelys imbricata (penyu sisik)
6) Caretta caretta (penyu karet atau penyu
tempayan)
B. Family : Dermochelyidae, meliputi : Species :
7)
Dermochelys coriacea (penyu belimbing)
Dari
7 spesies penyu di atas, penyu jenis Lepidochelys kempi (penyu kempi) tidak
berada di Indonesia, tapi berada di Ameraka Latin. Oleh karena itu pada Pedoman
ini tidak diikutkan pembahasan tentang Penyu Kempi.
Nama
daerah (Indonesia) dan nama internasional
6 (enam) jenis
Identifikasi
jenis penyu dapat dilakukan berdasarkan
pada hal-hal berikut:
a. Bentuk luar (morfologi)
b. Tanda-tanda khusus pada karapas
c. Jejak dan ukuran sarang (diameter dan
kedalaman sarang) serta kebiasaan bertelur d.
Pilihan habitat peneluran
Bentuk
luar penyu
Identifikasi
penyu berdasarkan bentuk luar
(morfologi) setiap jenis dapat dilihat pada Tabel 2. Tata cara atau kunci
identifikasi jenis penyu
Secara
taksonomik, dikenal 7 jenis penyu di dunia, dimana 6 (enam) diantaranya hidup
di perairan Indonesia, yaitu penyu hijau
(Chelonia mydas), penyu
pipih (Natator depressus),
penyu abu-abu (Lepidochelys olivacea),
penyu sisik (Eretmochelys imbricata), penyu belimbing (Dermochelys coriacea)
dan penyu tempayan (Caretta caretta). Jumlah ini sebenarnya masih menjadi
perdebatan karena Nuitja (1992) menyebutkan hanya lima jenis yang
ditemukan, dimana Caretta caretta
dinyatakan tidak ada. Namun demikian, beberapa peneliti mengungkapkan bahwa
Caretta caretta memiliki daerah jelajah yang meliputi Indonesia (Limpus et al.,
1992, Charuchinda et al., 2002).
Namun
dengan teknik genetik telah
diketahui bahwa setiap jenis terdiri dari berbagai populasi atau stok. Penelitian yang dilakukan
oleh NOAA (Dutton, unpublished) menunjukkan bahwa populasi penyu belimbing yang
bertelur di pantai Jamursba Medi sejenis dengan penyu-penyu belimbing yang
bertelur di Papua New Guinea dan Kepulauan Solomon. Populasi penyu ini kemudian
disebut sebagai kelompok Pasifik Barat yang memiliki keragaman genetik
berbeda dengan kelompok lainnya, yaitu kelompok Pasifik Timur (Mexico,
Costa Rica, dan Amerika Tengah) serta Kelompok Peninsula Malaysia yang kini
dinyatakan telah punah. Data genetik yang dikombinasikan dengan temuan penanda
metal (metal tag) maupun penelusuran telemetri
mengindikasikan bahwa penyu-penyu belimbing yang berkembang biak (kawin dan bertelur) di
Pasifik Barat (termasuk populasi Papua) memiliki ruaya pakan dan berkembang di
Pasifik Utara. Sementara itu, stok populasi di Pasifik Timur diketahui beruaya
pakan di belahan Selatan (southern hemisphere) yang meliputi perairan dekat
Peru dan Chile
.
Studi
keragaman genetik dengan teknik DNA mitokondrial pada penyu-penyu hijau
menunjukkan bahwa populasi yang bertelur di tujuh pantai peneluran yaitu pantai
Sukamade (Jawa Timur), pantai Pangumbahan (Jawa Barat), pulau Sangalaki
(Kalimantan Timur), pulau Derawan (Kalimantan Timur), pulau Piai (Raja Ampat),
pulau Enu (Aru), serta pantai Paloh (Kalimantan Barat) berbeda satu dengan yang
lainnya dan dinyatakan sebagai stok populasi atau unit pengelolaan
(management unit) yang masing-masing berdiri sendiri (Purwanasari dan Adnyana,
2009; Wahidah, 2008; Mahardika et al, 2007; Moritz et al, 2002). Hanya populasi
penyu yang di pantai Paloh dinyatakan memiliki keragaman yang sama dengan populasi penyu di Sarawak
(Moritz et al, 2002).
Secara
teoritis, terjadinya pertukaran individu
petelur (dari lokasi peneluran satu dengan lainnya) pada populasi
dengan stok genetik yang berbeda
hampir tidak terjadi, dan setiap
populasi akan memberikan respon
terpisah terhadap adanya suatu
ancaman maupun pengelolaan konservasi
(Moritz, 1994). Dengan ilustrasi lain, keberhasilan proteksi penyu yang
bertelur di pulau Sangalaki tak akan memberikan
efek positif bagi populasi penyu
yang bertelur di pulau
didekatnya, yaitu pulau Derawan
(keduanya memiliki keragaman genetik
yang berbeda). Dengan demikian, fokus konservasi mesti dilakukan pada kedua populasi tersebut. Sementara itu, karena memiliki keragaman genetik yang sama, maka masih eksisnya
penyu-penyu hijau di pantai Paloh (Kalimantan Barat) sedikit banyak adalah
akibat dari upaya proteksi yang dilakukan di pantai di dekatnya (Sarawak -
Malaysia), demikian pula sebaliknya.
Selain
identifikasi terhadap keragaman
genetik populasi penyu
yang bertelur, kajian terhadap keragaman
populasi penyu di dua ruaya pakan (perairan Aru Tenggara dan perairan di
dekat Pulau Panjang, Kalimantan Timur) juga
telah dilakukan. Telaah stok campuran
(mixed stock assessment) yang
dilakukan di ruaya
pakan perairan Aru Tenggara menunjukkan adanya
agregasi populasi penyu yang
tidak saja berasal dari pulau-pulau
peneluran di dekatnya, namun juga
dari Papua New Guinea dan Great Barrier
Reef Utara, Australia (Moritz et al, 2002). Sementara, penyu-penyu yang ada di ruaya pakan pulau
Panjang diketahui berasal dari populasi yang bertelur di pulau Derawan, Sangalaki, kepulauan penyu yang ada di Malaysia-Philippines, serta
Micronesia (Cahyani et al, 2007). Ini menegaskan pentingnya kolaborasi internasional dalam pengelolaan suatu ruaya pakan dengan
stok populasi penyu yang majemuk.
Bio-Ekologi
Penyu
Reproduksi
Reproduksi
penyu adalah proses
regenerasi yang dilakukan penyu dewasa
jantan dan betina melalui tahapan
perkawinan, peneluran sampai
menghasilkan generasi baru
(tukik). Tahapan reproduksi penyu dapat dijelaskan sebagai berikut:
a.
Perkawinan
Penyu
melakukan perkawinan dengan cara penyu jantan
bertengger di atas punggung penyu betina
(Gambar 13). Tidak banyak regenerasi
yang dihasilkan seekor penyu, dari ratusan butir telur yang dikeluarkan oleh seekor
penyu betina, paling banyak 1–3% yang berhasil mencapai dewasa.
Penyu melakukan
perkawinan di dalam air laut, terkecuali pada kasus penyu tempayan yang akan
melakukan perkawinan meski dalam
penangkaran apabila telah tiba masa kawin. Pada waktu akan kawin, alat kelamin
penyu jantan yang berbentuk ekor akan memanjang ke belakang sambil berenang
mengikuti
kemana penyu betina berenang. Penyu
jantan kemudian naik ke punggung betina untuk melakukan perkawinan.
Selama perkawinan berlangsung,
penyu jantan menggunakan kuku kaki depan untuk menjepit
tubuh penyu betina agar tidak mudah lepas. Kedua penyu yang sedang kawin
tersebut timbul tenggelam di permukaan air dalam waktu cukup lama, bisa
mencapai 6 jam lebih.
b.
Perilaku Peneluran
Ketika
akan bertelur penyu akan naik ke pantai. Hanya penyu
betina yang datang ke daerah peneluran, sedangkan penyu jantan berada di daerah sub-tidal. Penyu bertelur dengan
tingkah laku yang berbeda sesuai dengan spesies masing-masing. Setiap spesies
penyu memiliki waktu (timing) peneluran yang
berbeda satu sama lain,
Lama
antara peneluran yang satu dengan peneluran berikutnya (interval
peneluran) dipengaruhi oleh suhu air
laut. Semakin tinggi suhu air laut, maka interval peneluran cenderung makin
pendek. Sebaliknya semakin rendah suhu air laut, maka interval peneluran
cenderung makin panjang.
Tahapan
bertelur pada berbagai
jenis penyu umumnya berpola
sama. Tahapan yang dilakukan dalam proses betelur adalah sebagai
berikut:
•
Penyu menuju pantai, muncul dari
hempasan ombak
•
Naik ke pantai, diam sebentar
dan melihat sekelilingnya, bergerak melacak pasir yang cocok untuk membuat
sarang. Jika tidak cocok, penyu akan
mencari tempat lain.
•
Menggali kubangan untuk tumpuan
tubuhnya (body pit), dilanjutkan
menggali sarang telur di dalam body pit.
•
Penyu mengeluarkan telurnya satu per satu, kadangkala serentak
dua sampai tiga telur. Ekor
penyu melengkung ketika bertelur.
•
Umumnya penyu membutuhkan waktu
masing-masing 45 menit untuk menggali sarang dan 10– 20 menit untuk meletakkan
telurnya.
•
Sarang telur ditimbun dengan pasir menggunakan sirip belakang, lalu menimbun kubangan (body pit) dengan ke
empat kakinya.
•
Membuat penyamaran jejak untuk
menghilangkan lokasi bertelurnya.
•
Kembali ke laut, menuju
deburan ombak dan menghilang diantara gelombang.
Pergerakan Menuju ke pantai Menutup
lubang tubuh dan telur
Pengeraman
telur penyu ketika kembali ke laut ada yang bergerak lurus atau melalui jalan
berkelok-kelok.
•
Penyu betina akan kembali ke
ruaya pakannya setelah musim peneluran berakhir, dan tidak akan bertelur lagi
untuk 2 – 8 tahun mendatang
Siklus
Hidup Penyu
Seluruh
spesies penyu memiliki siklus hidup yang
sama. Penyu mempunyai pertumbuhan yang
sangat lambat dan memerlukan berpuluh-puluh tahun untuk mencapai usia
reproduksi. Penyu dewasa hidup bertahun-tahun di satu tempat sebelum bermigrasi
untuk kawin dengan menempuh jarak yang jauh (hingga 3000 km) dari ruaya pakan
ke pantai peneluran. Pada umur yang
belum terlalu diketahui (sekitar 20-50 tahun)
penyu jantan dan
betina bermigrasi ke daerah
peneluran di sekitar daerah kelahirannya. Perkawinan penyu dewasa
terjadi di lepas pantai satu atau dua bulan sebelum peneluran pertama di musim tersebut. Baik penyu jantan maupun
betina memiliki beberapa pasangan kawin. Penyu betina menyimpan sperma penyu
jantan di dalam tubuhnya untuk membuahi tiga hingga tujuh kumpulan telur
(nantinya menjadi 3-7 sarang) yang akan ditelurkan pada musim tersebut.
Penyu
jantan biasanya kembali ke ruaya pakannya sesudah penyu betina menyelesaikan
kegiatan bertelur dua mingguan di pantai.
Penyu betina akan keluar dari laut jika
telah siap untuk bertelur, dengan
menggunakan sirip depannya menyeret
tubuhnya ke pantai peneluran.
Penyu betina membuat kubangan
atau lubang badan (body pit) dengan sirip depannya lalu menggali lubang untuk
sarang sedalam 30-60 cm dengan sirip belakang. jika pasirnya terlalu kering dan
tidak cocok untuk bertelur, si penyu akan berpindah ke lokasi lain.
Penyu
mempunyai sifat kembali ke rumah (”Strong homing instinct”) yang kuat (Clark, 1967, Mc Connaughey, 1974; Mortimer
dan Carr, 1987; Nuitja, 1991), yaitu migrasi antara lokasi mencari makan
(Feeding grounds) dengan lokasi bertelur (breeding ground). Migrasi ini dapat berubah akibat berbagai
alasan, misalnya perubahan iklim, kelangkaan pakan di alam, banyaknya predator
termasuk gangguan manusia, dan terjadi bencana alam yang hebat di daerah
peneluran, misalnya tsunami.
Upaya
konservasi penyu tak akan pernah cukup jika hanya dilakukan di lokasi peneluran
saja, karena penyu adalah satwa
bermigrasi. Penyu yang telah mencapai usia
dewasa di suatu ruaya peneluran (foraging ground) akan
bermigrasi ke lokasi perkawinan dan
pantai peneluran (breeding and nesting migration). Setelah mengeluarkan
semua telurnya, penyu betina
akan kembali bermigrasi ke ruaya pakannya masing-masing (post-nesting
migration). Demikian pula halnya dengan penyu jantan, yang akan bermigrasi kembali ke ruaya pakannya setelah
selesai melakukan
perkawinan. Pengetahuan tentang
jalur migrasi penyu diperoleh dengan
penerapan teknik penelusuran menggunakan satelit telemetri. Di Indonesia,
studi ini dilakukan secara
intensif pada jenis penyu
hijau, abu-abu dan belimbing.
Studi pada penyu sisik juga pernah dilakukan di Pulau Segamat (Halim et al, 2002) dan Maluk-Sumbawa
(Adnyana, 2008), namun dengan jumlah penyu yang sangat sedikit (2 ekor penyu di
Segamat dan seekor penyu di Sumbawa).
Studi dengan ukuran sampel kecil tersebut menunjukkan bahwa Pergerakan penyu
Sisik di kedua wilayah peneluran ini hanya bersifat lokal, artinya tidak
terlalu jauh dari lokasi penelurannya.
a.
Jalur Migrasi Penyu Hijau
Studi
tentang migrasi pasca bertelur penyu hijau di Indonesia telah dilakukan di
beberapa lokasi peneluran, yaitu Kepulauan
Raja Ampat–Papua (Gearheart et al, 2005), Pulau Misol–Papua (Jayaratha& Adnyana, 2009), Berau - Kalimantan Timur
(Adnyana et al, 2007)) serta
Sukamade-Jawa Timur (Jayaratha
& Adnyana, 2009). Studi-studi tersebut menunjukkan bahwa hanya sebagian kecil penyu ber-ruaya pakan di area yang
dekat dengan area perkawinan maupun bertelurnya. Ini ditemukan pada sebagian
penyu yang di tag di Raja Ampat dan di Pulau Misol–Papua. Sebagian besar
lainnya bermigrasi ke area yang berjarak hingga ribuan kilometer dari lokasi
bertelur dan menunjukkan jalur maupun
tujuan yang relatif konsisten.
Pola
pergerakan migrasi penyu hijau cenderung
bergerak melalui pesisir.
Pergerakan lintas samudera ditemukan
pada penyu Hijau yang di tag di pantai Sukamade–Jawa Timur. Penyu hijau di Raja Ampat sebagian besar
bermigrasi turun ke arah Laut Arafura, dan sebagian lainnya ke Laut Sulu-
Sulawesi dan Laut Jawa (Kalimantan Selatan). Penyu hijau di Sukamade
sebagian besar bermigrasi ke Western
Australia dan sebagian lagi ke Kepulauan
Tengah (antara Dompu–Sulawesi Selatan). Penyu hijau di Berau semuanya bermigrasi
ke Laut Sulu; sebagian ke wilayah perairan Philipina dan sebagian lagi ke
wilayah perairan Sabah – Malaysia.
0 comments:
Post a Comment