Monday, January 10, 2011

TEKNIS PENGELOLAAN KONSERVASI PENYU

January 10, 2011 Posted by Media Penyuluhan Perikanan Pati No comments


Penyu merupakan reptil yang hidup di laut serta mampu  bermigrasi  dalam  jarak yang jauh di sepanjang kawasan Samudera Hindia, Samudra Pasifik dan Asia Tenggara. Keberadaannya  telah lama terancam, baik dari alam maupun kegiatan  manusia yang membahayakan populasinya  secara langsung maupun tidak langsung.

Dari tujuh jenis penyu di dunia, tercatat  enam jenis penyu yang hidup di perairan Indonesia yaitu penyu  hijau  (Chelonia mydas), penyu  sisik (Eretmochelys  imbricata), penyu  abu-abu  (Lepidochelys olivacea), penyu  pipih  (Natator depressus), penyu  belimbing  (Dermochelys coriacea), serta  penyu tempayan (Caretta caretta). Jumlah ini sebenarnya masih menjadi  perdebatan karena Nuitja (1992) menyebutkan hanya lima jenis yang ditemukan, dimana Caretta caretta dinyatakan tidak ada. Namun demikian, beberapa peneliti  mengungkapkan bahwa  Caretta caretta memiliki daerah  jelajah yang meliputi Indonesia (Limpus et al. 1992, Charuchinda et al. 2002).
Pergeseran   fungsi  lahan  yang  menyebabkan  kerusakan  habitat   pantai   dan  ruaya  pakan, kematian   penyu  akibat  kegiatan   perikanan,  pengelolaan  teknik-teknik  konservasi  yang  tidak memadai, perubahan iklim, penyakit, pengambilan penyu  dan  telurnya  serta  ancaman  predator merupakan faktor-faktor  penyebab penurunan populasi  penyu.   Selain itu, karakteristik  siklus hidup penyu sangat  panjang  (terutama  penyu hijau, penyu sisik dan penyu tempayan)  dan untuk mencapai  kondisi “stabil” (kelimpahan populasi konstan  selama 5 tahun  terakhir) dapat  memakan waktu cukup lama sekitar 30–40 tahun, maka sudah seharusnya pelestarian  terhadap satwa langka ini menjadi hal yang mendesak.
Kondisi inilah yang menyebabkan semua  jenis penyu  di Indonesia diberikan  status  dilindungi oleh Negara sebagaimana tertuang dalam PP Nomor 7 tahun  1999 tentang Pengawetan Jenis-jenis Tumbuhan dan Satwa yang Dilindungi.
Secara internasional, penyu masuk ke dalam daftar merah (red list) di IUCN dan Appendix I CITES yang berarti bahwa keberadaannya di alam telah terancam punah sehingga segala bentuk pemanfaatan dan peredarannya harus mendapat perhatian  secara serius. Konservasi penyu  secara internasional  mulai bergaung saat The First World Conference on the Conservation of Turtles di Washington DC, 26 sampai 30 Nopember 1979. Konferensi tersebut dihadiri sekitar 300 orang ahli ekologi penyu, biologi satwa, biologi perikanan  dan  konservasionis yang membahas lebih dari 60 paper dan melakukan  analisa dalam menyelamatkan populasi setiap spesies yang hidup di masing- masing negara (Nuitja, 2006).
Sejauh ini berbagai  kebijakan terkait pengelolaan penyu sudah cukup banyak dilakukan, baik oleh Departemen Kehutanan, Kementerian Lingkungan Hidup,  maupun Departemen Kelautan dan Perikanan. Bahkan pemerintah secara terus-menerus mengembangkan kebijakan-kebijakan yang sesuai dalam upaya pengelolaan konservasi penyu  dengan melakukan kerjasama regional seperti IOSEA-CMP, SSME dan BSSE. Munculnya UU No. 31 tahun  2004 tentang perikanan  dan PP 60 tahun  2007 tentang Konservasi Sumberdaya  Ikan membawa nuansa baru dalam pengelolaan konservasi penyu. Akan tetapi  pemberian status perlindungan saja jelas tidak cukup untuk memulihkan atau setidaknya mempertahankan populasi penyu di Indonesia. Pengelolaan konservasi yang komprehensif, sistematis dan terukur mesti segera dilaksanakan, diantaranya dengan cara memberikan pengetahuan teknis tentang pengelolaan konservasi penyu bagi pihak-pihak terkait khususnya pelaksana di lapang. Namun sampai saat ini buku lengkap yang memuat  informasi tentang pengelolaan konservasi penyu sangat sedikit yang mudah dipahami oleh semua kalangan.
Oleh karena itu sejalan dengan upaya  pengelolaan konservasi penyu  di Indonesia, maka buku pedoman teknis bagi para pelaku pengelolaan konservasi penyu di lapangan sangat diperlukan.
Identifikasi Jenis
Pengenalan terhadap bagian-bagian tubuh penyu beserta fungsinya sangat diperlukan agar dapat melakukan identifikasi dengan baik. Tubuh penyu terdiri dari bagian-bagian:
1)      Karapas, yaitu bagian tubuh yang dilapisi zat tanduk, terdapat di bagian punggung dan berfungsi sebagai pelindung.
2)      Plastron, yaitu penutup pada bagian dada dan perut.
3)      Infra Marginal, yaitu keping penghubung antara bagian pinggir karapas dengan plastrón. Bagian ini dapat digunakan sebagai alat identifikasi.
4)      Tungkai depan, yaitu kaki berenang di dalam air, berfungsi sebagai alat dayung.
5)      Tungkai belakang, yaitu kaki bagian belakang (pore fliffer), berfungsi sebagai alat penggali
Menurut Carr (1972), penyu termasuk ke dalam phylum Chordata yang memiliki 2 (dua) famili, yaitu :
A.  Family       :  Cheloniidae, meliputi : Species        : 
1) Chelonia mydas (penyu hijau)
2)         Natator depressus (penyu pipih)
3)         Lepidochelys olivacea (penyu abu)
4)         Lepidochelys kempi (penyu kempi)
5)         Eretmochelys imbricata (penyu sisik)
6)         Caretta caretta (penyu karet atau penyu tempayan)
B.  Family       :  Dermochelyidae, meliputi : Species             :  
7) Dermochelys coriacea (penyu belimbing)
Dari 7 spesies penyu di atas, penyu jenis Lepidochelys kempi (penyu kempi) tidak berada di Indonesia, tapi berada di Ameraka Latin. Oleh karena itu pada Pedoman ini tidak diikutkan pembahasan tentang Penyu Kempi.
Nama daerah  (Indonesia) dan nama  internasional  6 (enam) jenis
Identifikasi jenis penyu dapat dilakukan berdasarkan  pada hal-hal berikut:
a.  Bentuk luar (morfologi)
b.   Tanda-tanda khusus pada karapas
c.   Jejak dan ukuran sarang (diameter dan kedalaman sarang) serta kebiasaan bertelur d.   Pilihan habitat peneluran
Bentuk luar penyu
Identifikasi penyu berdasarkan  bentuk luar (morfologi) setiap jenis dapat dilihat pada Tabel 2. Tata cara atau kunci identifikasi jenis penyu
Secara taksonomik, dikenal 7 jenis penyu di dunia, dimana 6 (enam) diantaranya hidup di perairan Indonesia, yaitu  penyu  hijau  (Chelonia mydas), penyu  pipih  (Natator depressus), penyu  abu-abu (Lepidochelys olivacea), penyu sisik (Eretmochelys imbricata), penyu belimbing (Dermochelys coriacea) dan penyu tempayan (Caretta caretta). Jumlah ini sebenarnya masih menjadi perdebatan karena Nuitja (1992) menyebutkan hanya lima jenis yang ditemukan,  dimana Caretta caretta dinyatakan tidak ada. Namun demikian, beberapa peneliti mengungkapkan bahwa Caretta caretta memiliki daerah jelajah yang meliputi Indonesia (Limpus et al., 1992, Charuchinda et al., 2002).
Namun dengan teknik genetik  telah diketahui  bahwa  setiap jenis terdiri dari berbagai  populasi atau stok. Penelitian yang dilakukan oleh NOAA (Dutton, unpublished) menunjukkan bahwa populasi penyu belimbing yang bertelur di pantai Jamursba Medi sejenis dengan penyu-penyu belimbing yang bertelur di Papua New Guinea dan Kepulauan Solomon. Populasi penyu ini kemudian disebut sebagai kelompok Pasifik Barat yang memiliki keragaman  genetik  berbeda dengan kelompok lainnya, yaitu kelompok Pasifik Timur (Mexico, Costa Rica, dan Amerika Tengah) serta Kelompok Peninsula Malaysia yang kini dinyatakan telah punah. Data genetik yang dikombinasikan dengan temuan penanda metal (metal tag) maupun penelusuran telemetri  mengindikasikan  bahwa  penyu-penyu belimbing  yang berkembang biak (kawin dan bertelur) di Pasifik Barat (termasuk populasi Papua) memiliki ruaya pakan dan berkembang di Pasifik Utara. Sementara itu, stok populasi di Pasifik Timur diketahui beruaya pakan di belahan Selatan (southern hemisphere) yang meliputi perairan dekat Peru dan Chile
. Studi keragaman genetik dengan teknik DNA mitokondrial pada penyu-penyu hijau menunjukkan bahwa populasi yang bertelur di tujuh pantai peneluran yaitu pantai Sukamade (Jawa Timur), pantai Pangumbahan (Jawa Barat), pulau Sangalaki (Kalimantan Timur), pulau Derawan (Kalimantan Timur), pulau Piai (Raja Ampat), pulau Enu (Aru), serta pantai Paloh (Kalimantan Barat) berbeda satu dengan yang lainnya dan dinyatakan  sebagai  stok populasi atau unit pengelolaan (management unit) yang masing-masing berdiri sendiri (Purwanasari dan Adnyana, 2009; Wahidah, 2008; Mahardika et al, 2007; Moritz et al, 2002). Hanya populasi penyu yang di pantai Paloh dinyatakan memiliki keragaman  yang sama dengan populasi penyu di Sarawak (Moritz et al, 2002).
Secara teoritis, terjadinya pertukaran  individu petelur (dari lokasi peneluran satu dengan lainnya) pada  populasi  dengan stok genetik  yang berbeda hampir  tidak terjadi, dan  setiap  populasi  akan memberikan  respon  terpisah  terhadap adanya  suatu  ancaman  maupun pengelolaan konservasi (Moritz, 1994). Dengan ilustrasi lain, keberhasilan proteksi penyu yang bertelur di pulau Sangalaki tak akan memberikan  efek positif bagi populasi penyu  yang bertelur  di pulau didekatnya,  yaitu pulau Derawan (keduanya memiliki keragaman  genetik yang berbeda). Dengan demikian, fokus konservasi mesti dilakukan pada  kedua populasi tersebut. Sementara  itu, karena memiliki keragaman  genetik yang sama, maka masih eksisnya penyu-penyu hijau di pantai Paloh (Kalimantan Barat) sedikit banyak adalah akibat dari upaya proteksi yang dilakukan di pantai di dekatnya (Sarawak - Malaysia), demikian pula sebaliknya.
Selain identifikasi terhadap keragaman  genetik  populasi  penyu  yang bertelur, kajian terhadap keragaman  populasi penyu di dua ruaya pakan (perairan Aru Tenggara dan perairan di dekat Pulau Panjang,  Kalimantan  Timur) juga  telah  dilakukan. Telaah  stok campuran  (mixed stock assessment) yang  dilakukan  di  ruaya  pakan  perairan  Aru Tenggara menunjukkan   adanya  agregasi  populasi penyu yang tidak saja berasal dari pulau-pulau  peneluran di dekatnya, namun  juga dari Papua New Guinea dan  Great Barrier Reef Utara, Australia (Moritz et al, 2002). Sementara,  penyu-penyu yang ada di ruaya pakan pulau Panjang diketahui berasal dari populasi yang bertelur  di pulau Derawan, Sangalaki, kepulauan  penyu yang ada di Malaysia-Philippines, serta Micronesia (Cahyani et al, 2007). Ini menegaskan pentingnya kolaborasi internasional  dalam pengelolaan suatu ruaya pakan dengan stok populasi penyu yang majemuk.
Bio-Ekologi Penyu
Reproduksi
Reproduksi penyu  adalah  proses  regenerasi  yang  dilakukan penyu  dewasa  jantan  dan  betina melalui  tahapan  perkawinan,   peneluran  sampai  menghasilkan   generasi   baru  (tukik). Tahapan reproduksi penyu dapat dijelaskan sebagai berikut:
a. Perkawinan
Penyu melakukan  perkawinan  dengan cara penyu  jantan  bertengger di atas punggung penyu betina  (Gambar 13). Tidak banyak regenerasi  yang dihasilkan seekor penyu, dari ratusan  butir telur yang dikeluarkan oleh seekor penyu betina, paling banyak 1–3% yang berhasil mencapai dewasa.
Penyu melakukan perkawinan di dalam air laut, terkecuali pada kasus penyu tempayan yang akan melakukan perkawinan  meski dalam penangkaran apabila telah tiba masa kawin. Pada waktu akan kawin, alat kelamin penyu jantan yang berbentuk ekor akan memanjang ke belakang sambil berenang mengikuti kemana penyu betina berenang.  Penyu jantan kemudian naik ke punggung betina untuk melakukan  perkawinan.  Selama perkawinan  berlangsung, penyu  jantan  menggunakan kuku kaki depan untuk menjepit tubuh penyu betina agar tidak mudah lepas. Kedua penyu yang sedang kawin tersebut timbul tenggelam di permukaan air dalam waktu cukup lama, bisa mencapai 6 jam lebih.
b. Perilaku Peneluran
Ketika akan bertelur  penyu  akan naik ke pantai.  Hanya penyu  betina  yang  datang ke daerah peneluran,  sedangkan penyu jantan berada  di daerah sub-tidal. Penyu bertelur dengan tingkah laku yang berbeda sesuai dengan spesies masing-masing. Setiap spesies penyu memiliki waktu (timing) peneluran yang  berbeda satu sama lain,
Lama antara peneluran yang satu dengan peneluran berikutnya (interval peneluran)  dipengaruhi oleh suhu air laut. Semakin tinggi suhu air laut, maka interval peneluran cenderung makin pendek. Sebaliknya semakin rendah suhu air laut, maka interval peneluran cenderung makin panjang.
Tahapan bertelur  pada  berbagai  jenis penyu  umumnya  berpola  sama. Tahapan yang dilakukan dalam proses betelur adalah sebagai berikut:
          Penyu menuju pantai, muncul dari hempasan ombak
          Naik ke pantai, diam sebentar dan melihat sekelilingnya, bergerak melacak pasir yang cocok untuk membuat sarang.  Jika tidak cocok, penyu akan mencari tempat lain.
          Menggali kubangan untuk tumpuan tubuhnya (body pit), dilanjutkan  menggali  sarang  telur di dalam body pit.
          Penyu mengeluarkan telurnya  satu per satu, kadangkala  serentak  dua sampai tiga telur.   Ekor penyu melengkung ketika bertelur.
          Umumnya penyu membutuhkan waktu masing-masing 45 menit untuk menggali sarang dan 10– 20 menit untuk meletakkan telurnya.
          Sarang telur ditimbun  dengan pasir menggunakan sirip belakang,  lalu menimbun kubangan (body pit) dengan ke empat kakinya.
          Membuat penyamaran jejak untuk menghilangkan lokasi bertelurnya.
          Kembali ke laut,  menuju  deburan ombak  dan  menghilang diantara  gelombang.   Pergerakan Menuju ke pantai Menutup lubang tubuh dan telur
Pengeraman telur penyu ketika kembali ke laut ada yang bergerak lurus atau melalui jalan berkelok-kelok.
          Penyu betina akan kembali ke ruaya pakannya setelah musim peneluran berakhir, dan tidak akan bertelur lagi untuk 2 – 8 tahun mendatang
Siklus Hidup Penyu
Seluruh spesies penyu  memiliki siklus hidup yang sama. Penyu mempunyai  pertumbuhan yang sangat lambat dan memerlukan berpuluh-puluh tahun untuk mencapai usia reproduksi. Penyu dewasa hidup bertahun-tahun di satu tempat sebelum bermigrasi untuk kawin dengan menempuh jarak yang jauh (hingga 3000 km) dari ruaya pakan ke pantai peneluran.  Pada umur yang belum terlalu diketahui (sekitar 20-50 tahun)  penyu  jantan  dan  betina  bermigrasi  ke daerah  peneluran di sekitar daerah kelahirannya. Perkawinan penyu dewasa terjadi di lepas pantai satu atau dua bulan sebelum peneluran pertama  di musim tersebut. Baik penyu jantan maupun betina memiliki beberapa pasangan kawin. Penyu betina menyimpan sperma penyu jantan di dalam tubuhnya untuk membuahi tiga hingga tujuh kumpulan telur (nantinya menjadi 3-7 sarang) yang akan ditelurkan pada musim tersebut.
Penyu jantan biasanya kembali ke ruaya pakannya sesudah penyu betina menyelesaikan kegiatan bertelur  dua mingguan di pantai. Penyu betina  akan keluar dari laut jika telah siap untuk bertelur, dengan  menggunakan sirip  depannya  menyeret   tubuhnya ke  pantai  peneluran.   Penyu  betina membuat kubangan atau lubang badan (body pit) dengan sirip depannya lalu menggali lubang untuk sarang sedalam 30-60 cm dengan sirip belakang. jika pasirnya terlalu kering dan tidak cocok untuk bertelur, si penyu akan berpindah ke lokasi lain.
Penyu mempunyai  sifat kembali ke rumah  (”Strong homing instinct”) yang kuat   (Clark, 1967, Mc Connaughey, 1974; Mortimer dan Carr, 1987; Nuitja, 1991), yaitu migrasi antara lokasi mencari makan (Feeding grounds) dengan lokasi bertelur (breeding ground).  Migrasi ini dapat berubah akibat berbagai alasan, misalnya perubahan iklim, kelangkaan pakan di alam, banyaknya predator termasuk gangguan manusia, dan terjadi bencana alam yang hebat  di daerah  peneluran, misalnya tsunami.
Upaya konservasi penyu tak akan pernah cukup jika hanya dilakukan di lokasi peneluran saja, karena penyu  adalah satwa bermigrasi. Penyu yang telah mencapai  usia dewasa  di suatu  ruaya peneluran (foraging ground) akan bermigrasi ke lokasi perkawinan  dan pantai peneluran (breeding and nesting migration). Setelah mengeluarkan semua  telurnya, penyu  betina  akan kembali bermigrasi ke ruaya pakannya masing-masing (post-nesting migration). Demikian pula halnya dengan penyu jantan, yang akan bermigrasi  kembali ke ruaya pakannya  setelah  selesai melakukan  perkawinan.  Pengetahuan tentang jalur migrasi penyu diperoleh  dengan penerapan teknik penelusuran menggunakan satelit telemetri. Di Indonesia, studi  ini dilakukan  secara  intensif  pada  jenis penyu  hijau, abu-abu  dan belimbing. Studi pada  penyu  sisik juga pernah  dilakukan di Pulau Segamat  (Halim et al, 2002) dan Maluk-Sumbawa (Adnyana, 2008), namun dengan jumlah penyu yang sangat sedikit (2 ekor penyu di Segamat  dan seekor penyu di Sumbawa). Studi dengan ukuran sampel kecil tersebut menunjukkan bahwa Pergerakan penyu Sisik di kedua wilayah peneluran ini hanya bersifat lokal, artinya tidak terlalu jauh dari lokasi penelurannya.
a. Jalur Migrasi Penyu Hijau
Studi tentang migrasi pasca bertelur penyu hijau di Indonesia telah dilakukan di beberapa lokasi peneluran,  yaitu Kepulauan Raja Ampat–Papua (Gearheart et al, 2005), Pulau Misol–Papua (Jayaratha&  Adnyana, 2009), Berau - Kalimantan Timur (Adnyana et al, 2007)) serta  Sukamade-Jawa  Timur (Jayaratha & Adnyana, 2009). Studi-studi tersebut menunjukkan  bahwa hanya sebagian  kecil penyu ber-ruaya pakan di area yang dekat  dengan area perkawinan  maupun bertelurnya.   Ini ditemukan pada  sebagian  penyu yang di tag di Raja Ampat dan di Pulau Misol–Papua. Sebagian besar lainnya bermigrasi ke area yang berjarak hingga ribuan kilometer dari lokasi bertelur dan menunjukkan  jalur maupun tujuan yang relatif konsisten.
Pola pergerakan migrasi penyu  hijau cenderung bergerak  melalui pesisir. Pergerakan  lintas samudera  ditemukan  pada penyu Hijau yang di tag di pantai Sukamade–Jawa Timur.  Penyu hijau di Raja Ampat sebagian besar bermigrasi turun ke arah Laut Arafura, dan sebagian lainnya ke Laut Sulu- Sulawesi dan Laut Jawa (Kalimantan Selatan). Penyu hijau di Sukamade sebagian  besar bermigrasi ke Western Australia dan sebagian  lagi ke Kepulauan Tengah (antara Dompu–Sulawesi Selatan). Penyu hijau di Berau semuanya bermigrasi ke Laut Sulu; sebagian ke wilayah perairan Philipina dan sebagian lagi ke wilayah perairan Sabah – Malaysia.



0 comments:

Post a Comment