Komoditas terpenting usaha budidaya perikanan adalah ikan, udang, kekerangan dan
rumput laut. Budidaya rumput laut di
Indonesia menjadi
bagian sangat penting karena
menpunyai potensi yang sangat tinggi. Perairan laut yang sesuai untuk budidaya rumput laut lebih dari 1,1 juta hektar, kalau dengan asumsi produksi rata-rata 10 ton/ha/thn saja maka produksi dapat mencapai 11 juta ton/thn. Di laut budidaya rumput laut bisa dipolikultur dengan budidaya mutiara seperti yang dilakukan di Buton Sulawesi Tenggara.
Disamping itu rumput
laut juga bisa dibudidayakan di
tambak, baik secara monokultur maupun
polikultur (terutama dengan bandeng dan udang). Saat ini Indonesia telah menjadi
produsen terbesar dunia, Kementerian
Kelautan dan Perikanan menargetkan produksi 10
juta/ton pada tahun 2014 atau meningkat 389 % dari tahun 2009
Tabel 1. Target Produksi Perikanan Budidaya Indonesia 2009-2014 (Ton).
No
|
Komoditas
|
2009
|
2014
|
%
Peningkatan
|
1
2
3
4
|
Rumput Laut
Ikan
Udang
Lain-lain
|
2.574.000
1.305.000
348.100
553.000
|
10.000.000
5. 153.000
699.000
1. 038.700
|
389
395
200
188
|
TOTAL
|
4.780.100
|
16. 891.000
|
353
|
(Sumantadinata, 2011)
Usaha pengembangan budidaya rumput laut secara luas sangat layak dilakukan, karena usaha ini memiliki keunggulan antara lain :
Budidaya sederhana (relatif mudah)
Masa pemeliharaan singkat
Biaya usaha tidak terlalu besar (relatif murah)
Tidak merusak lingkungan
Masyarakat sekitar mau menerima
Mudah untuk dipasarkan
Keberhasilan usaha budidaya rumput laut sangat tergantung pada berbagai hal yang saling
terkait antara lain :
Pemilihan lokasi yang sesuai
Penyediaan bibit yang berkualitas
Penanaman bibit yang tepat
Pemilihan cara budidaya yang cocok
Perawatan yang rutin
Pengendalian hama dan penyakit yang akurat
Pemanenan dan penanganan pasca panen yang benar
B.
Deskripsi Singkat
Materi penyuluhan budidaya rumput laut ini menjelaskan tentang budidaya rumput laut di
laut, budidaya rumput laut di tambak, panen dan penanganan pasca panen.
Rumput laut yang sangat
populer dibudidayakan di laut saat ini adalah kelompok penghasil karaginan
(karagenofit) yaitu Eucheuma cottonii dan Eucheuma spinosum ( ilmuwan lebih
banyak menyebut Kappaphycus alvarezii dan E. denticulatum). Eucheuma cottonii
lebih dikenal dengan rumput laut kotoni mempunyai dua varietas coklat dan
hijau, sedangkan E. spinosum di berbagai daerah disebut beda-beda antara lain :
Agar-agar geser (Seram), agar-agar kasar (Makasar), agar-agar patah tulang
(Kep. Seribu), agar-agar kembang (Sulawesi Tengah).
A. Pra Produksi
1. Pemilihan Lokasi
Langkah pertama sebagai
kunci utama keberhasilan usaha budidaya rumput adalah pemilihan lokasi yang
tepat, hal ini dapat dimengerti karena pertumbuhan rumput laut ditentukan oleh
kondisi perairan yang sesuai.
Persyaratan umum lokasi
:
a. Relatif jauh dari muara sungai.
b. Perairan tidak tercemar.
c. Secara alami terdapat pertumbuhan rumput
laut atau lamun.
d. Dasar perairan sebaiknya pasir berbatu
karang.
e. Peruntukan lokasi diatur oleh Rencana Umum
Tata Ruang Daerah/wilayah.
f. Fluktuasi tahunan
kualitas air,
No
|
Parameter
|
Satuan
|
Kisaran
|
1
|
Suhu
|
oC
|
26-32
|
2
|
Salinitas
|
g/liter
|
28-34
|
3
|
pH
|
-
|
7-8,5
|
(SNI 7579.1:2010)
2. Penyediaan Bibit
Penyediaan bibit yang
baik merupakan salah satu kegiatan yang sangat menentukan keberhasilan usaha.
Bibit yang tersedia dalam jumlah yang memadai, berkualitas dan berkesinambungan
merupakan salah satu kunci sukses usaha. Penyediaan bibit bisa berasal dari alam,
budidaya atau kebun bibit. Disamping itu pemerintah (KKP) juga telah
menyediakan Pusat Pengembangan Bibit Rumput Laut (Pusrumla).
Untuk mendapatkan
pertumbuhan rumput yang optimal bibit yang digunakan harus berkualitas oleh
karena itu perlu dilakukan seleksi bibit dengan kriteria sebagai berikut :
a. Umur bibit antara 25-30 hari.
b. Bobot 50-100 g setiap titik ikat.
c. Bercabang banyak, rimbun dan runcing.
d. Tidak terdapat bercak-bercak dan terkelupas.
e. Warna spesifik (cerah) khas rumput
laut.
f. Tidak terkena
penyakit.
3. Pengikatan Bibit
Pengikatan bibit
sebaiknya dilakukan cepat setelah bibit tersedia. Pengikatan bibit dikenal ada
tiga cara yaitu :
a. Cara simpul pita
b. Cara loop pendek
c. Cara loop panjang
Masing-masing cara
mempunyai kelemahan dan kelebihan
• Cara simpul pita biasanya menggunakan
tali rafia mudah dikerjakan tetapi tali raffia tidak tahan lama sehingga harus
sering diganti.
• Cara loop pendek pengikatan bibit
lebih kaku tetapi cara pemasangan lebih cepat dan lebih kuat.
• Cara loop panjang pengikatan bibit
lebih mudah tetapi mudah terbelit bila arus relatif besar
Cara pengikatan bibit dilakukan
sebagai berikut :
a. Bibit diikatkan pada tali titik berjarak 25
cm – 30 cm dengan berat 50 – 100 gr setiap tiik ikat
b. Pengikatan dengan simpul pita pengikatan
dilakukan sedikit longgar.
c. Pengikatan bibit dilakukan didarat, tempat
yang teduh dan bersih atau langsung di laut pada metode lepas dasar
d. Bibit dijaga dalam keadaan basah atau lembab.
B. Produksi
1. Metode Lepas Dasar
Metode lepas dasar
adalah cara menumbuhkan rumput laut diatas dasar perairan (10-50 cm) dengan
menggunakan tali yang diikatkan pada patok yang dipasang secara teratur.
Areal yang digunakan
untuk metode ini sebaiknya diatas lahan yang relatif datar agar dapat dipasang
patok yang berbentuk segi empat, jarak antara patok 25-30 cm, tinggi patok
diatas permukaan dasar perairan, 40% dari panjang patok dan yang tertamam
didasar perairan 60%, jarak tali utama dari dasar perairan minimal 10 cm.
1) Peralatan
a. Tali utama yang menghubungkan patok dengan
patok adalah multifilament polyethilene (PE) ukuran 6 mm.
b. Tali ris utama dan tali ris bentang
multifilament polythilene (PE) 4 mm. c.
Patok kayu atau bambu berdiameter minimal 5 cm.
d. Patok besi berdiameter minimal 2 cm. e. Keranjang.
f. Tali rafia.
2) Penanaman
Bibit yang telah diikat
pada tali titik segera diikatkan pada tali ris yang telah disediakan dengan
jarak 15 cm sampai 30 cm dipasang pada saat surut.
3) Pemeliharaan
a. Kontrol secara rutin
dilakukan untuk memantau
perkembangan bibit yang ditanam dan hama penyakit.
b. Penyulaman
dilakukan pada minggu
pertama jika ada
bibit yang rontok ataupun lepas.
c. Penyiangan setiap minggu jika ada gulma.
d. Membersihkan benda asing yang menempel pada
rumput laut.
e. Pemeliharaan dilakukan minimal 45 hari.
(SNI 7579.1:2010)
2. Metode Long-line
Metode long-line adalah
cara membudidayakan rumput laut dikolom air (eupotik) dekat permukaan perairan
dengan menggunakan tali yang dibentangkan dari satu titik ke titik yang lain
dengan panjang 25-50 m, dapat dalam bentuk lajur lepas atau terangkai dalam
bentuk segiempat dengan bantuan pelampung dan jangkar (Gambar 3,4 dan 5).
- Konstruksi
1) Bentuk Konstruksi
• Konstruksi Berbingkai
a. Konstruksi terbuat dari tali utama yang
disusun membentuk segiempat berukuran minimal 25x100 meter, maximal 50x100
meter dan pada setiap sudut dipasang pelampung utama.
b. Setiap 25 meter pada sisi 100 meter diberi
tali pembantu dan pelampung pembantu yang berfungsi mempertahankan ukuran
konstruksi.
c. Tali ris bentang dengan panjang 25x50 meter
diikatkan pada tali utama
berjumlah 99 tali ris
bentang dengan jaral 100 cm.
d. Pada setaiap tali ris bentang dipasang
minimal 125 titik, maksimal 250 titik dengan jarak antara titik minimal 20 cm.
e. Konstruksi tersebut diapungkan dipermukaan
air dan ditambatkan dilokasi
menggunakan pemberat
jangkar disetiap ujung
sudut dan pelampung pembantu.
f. Pelampung ris bentang diikat pada tali
ris bentang masing-masing 5-10 buah.
a. Konstruksi tali ris bentang dengan panjang
50-100 meter yang kedua ujungnya diberi pelampung.
b. Konstruksi tersebut diikat dengan tali
jangkar atau tali pancang dengan panjang tali jangkat 3kali kedalaman perairan.
c. Pada tali ris bentang dipasang pelampung
berjarak 2-3 meter.
2) Kriteria Bahan Konstruksi
a. Tali jangkar :
polyethylene (PE) diameter minimal10 mm. b.
Tali utama : polyethylene (PE)
diameter minimal10 mm. c. Tali pembantu : polyethylene (PE) diameter minimal
6 mm. d. Tali ris bentang : polyethylene (PE) diameter 4-5 mm.
e. Tali titik :
polyethylene (PE) 1-1,5 mm, tali rafia 40 cm.
f. Jangkar : beton,
besi, batu, karung
pasir dengan berat minimal 50 kg/ buah atau pancang
(bambu, kayu dan besi).
g. Pelampung utama : jerigen pelastik
minimal 25 liter
atau bahan pelampung lain.
h. Pelampung pembantu : jerigen plastik minimal
20 liter atau
bahan
pelampung lain yang tidak mencemari
lingkungan.
i. Pelampung ris bentang : botol plastik
bervolume 600 ml
atau bahan
pelampung lain yang tidak mencemari
lingkungan.
3) Pemeliharaan
Pemeliharaan dilakukan
minimal 45 hari. Selama masa pemeliharaan dilakukan pengontrolan minimal 3 kali
seminggu untuk :
a. Mengetahui perkembangan kondisi bibit yang
ditanam, hama dan penyakit.
b. Mengetahui perlu tidaknya dilakukan
penyulaman pada minggu pertama, jika ada bibit yang rontok atau lepas.
c. Penyiangan gulma dan pembersihan sampah yang
menempel pada rumput laut.
2. Metode Rakit Bambu Apung
Metode rakit bambu
apung adalah cara membudidayakan rumput laut dikolom air (eupotik) dekat dengan
permukaan perairan dengan menggunakan tali yang diikatkan pada konstruksi rakit
bambu apung (Gambar 6,7,8 dan 9).
1) Konstruksi
Konstruksi terdiri dari
:
a. Bambu :
Berumur tua diameter 8-10 cm, lurus dan tidak
pecah.
b. Tali jangkar :
Tali polyethylene (PE) minimal 4 mm.
c. Tali ris bentang : Tali polyethylene (PE)
2 mm atau
tali raffia panjang minimal 40 cm.
d. Jangkar :
Beton, besi, batu,
karung berisi pasir
dengan berat
minimal 50 kg /buah
atau pancang minimal 2 buah.
2) Pemeliharaan
Pemeliharaan dilakukan
minimal 45 hari. Selama masa pemeliharaan dilakukan pengontrolan minimal 3 kali
seminggu untuk :
a) Mengetahui
perkembangan kondisi bibit
yang ditanam, hama
dan penyakit.
b) Mengetahui perlu tidaknya dilakukan
penyulaman pada minggu pertama, jika ada bibit yang rontok atau terlepa.
c) Penyiangan
gulma dan pembersihan
sampah yang menempel
pada rumput laut.
C. Monitoring dan Pengendalian Hama Penyakit
1). Monitoring rumput
laut
a. Parameter
kualitas air sesuai
dengan Tabel 3
dan kesehatan minimal
satu minggu sekali.
b. Data hasil monitoring dicatat secara baik dan
disimpan secara baik untuk di
analisis dan digunakan
sebagai dasar untuk rencana penanaman selanjutnya. Adapun cara pengukurannya :
• Suhu
Dilakukan dengan
menggunakan termometer pada badan air.
• pH
Dilakukan dengan
menggunakan pH meter atau pH indikator (kertas lakmus).
• Salinitas
Dilakukan dengan
menggunakan salinometer atau refraktometer.
2). Pengendalian Hama
dan Penyakit a. Hama
Usaha pengembangan
rumput laut sering dihadapkan pada masalah keberadaan hama dilokasi budidaya.
Hama rumput laut dapat dikelompokan menjadi dua kelompok yakni hama mikro
(micro grazer) dan hama makro (macro grazer).
Hama mikro merupakan
organisme yang berukuran kurang dari 2 cm dan hidup menempel pada thalus rumput
laut seperti larva bulu babi (Tripneustes) dan larva teripang (Holothuria sp).
Larva bulu babi melayang-layang di air dan kemudian menempel pada tanaman
rumput laut sehingga dapat menutupi permukaan thalus yang menyebabkan thalus
warna kuning. Seperti halnya dengan larva bulu babi, larva teripang juga akan
menempel pada thalus kemudian setelah membesar akan memakan langsung rumput
laut sehingga thalus rusak, terkelupas bahkan patah.
Hama makro : hama makro
merupakan hama dengan ukuran relatif besar yang di jumpai pada tanaman rumput
laut antara lain ikan baronang (Siganus sp), bintang laut (Protoneutes
nodulus), bulu babi (Diadema dan Trineustes sp) dan penyu hijau
(Cheloniamidas). Serangan ikan baronang umumnya musiman sehingga setiap daerah
memiliki waktu serangan yang beebeda. Upaya yang di lakukan untuk
menanggulangi hama tersebuta
adalah dengan cara
memperbaiki/memodifikasi teknik budidaya, sehingga tanaman budidaya
berada pada posisi permukaan air dan diharapkan serangan dapat dikurangi.
Selain itu sebaiknya diterapkan pola tanam yang
serentak pada lokasi
yang luas serta
melindungi areal budidaya
dengan
memasang pagar dari
jaring. Epifit sejati : hama tersebut dikenal dengan alga penempel yang dapat
menyebabkan kronis, misalnya ganggang suari dapat menempel pada lapisan
kortikal sehingga dapat merusak thalus rumput laut.
Beberapa tindakan yang
mungkin dapat dilakukan dalam upaya pengendalian hama rumput lain antara lain :
a. Lokasi yang dipilih adalah habitat yang tidak
terdapat populasi endemic hama, atau dapat juga menggunakan metode penanaman
rumput laut dipermukaan atau beberapa meter diatas dasar perairan.
b. Upayakan melakukan penanaman secara serentak
dan meluas sampai titik jenuh dimana hama tidak sebanding biomasa dari produksi
total, dimana cara tersebut merupakan paling popular dilakukan.
c. Gunakan jaring sebagai pagar atau pembungkus
pada daerah-daerah tertentu misalnya pada produksi benih (kebun bibit) agar
hama besar misalnya penyu tidak masuk.
d. Tangkap hama ikan
yang sering mengganggu, dimana ikan herbivora (baronang) sebagai hama rumput
laut dapat dimanfaatkan sebagai iakn konsumsi.
e. Langkah terakhir, apabila hama telah
merajalela dan tidak dapat diatasi maka
rumput laut sebaiknya
di panen atau dipindahkan/atau menggantinya dengan bibit yang sehat pada musim
hama telah berlalu.
Penyakit ice-ice
(sebagian orang menyebutnya penyakit white spot) merupakan kendala utama
budidaya rumput laut Kappachicus atau
Eucheuma. Gejala yang diperlihatkan pada rumput laut yang terserang penyakit
tersebut antara lain : pertumbuhan yang lambat, terjadinya perubahan warna
thalus menjadi pucaat atau warna tidak cerah, dan sebagian atau seluruh thalus
pada beberapa cabang menjadi putih dan membusuk. Penyakit tersebut terutama
disebabkan oleh perubahan lingkungan seperti arus, suhu, dan kecerahan.
Kecerahan air yang sangat tinggi dan rendahnya kelarutan unsur hara nitrat
dalam periran juga merupakan penyebab munculnya penyakit tersebut. Beberapa
faktor abiotik yang dilaporkan dapat menjadi penyebab munculnya penyakit
ice-ice pada budidaya rumput laut adalah kurangnya densitas cahaya, salinitas
kurang dari 20 ppt, dan temperature mencapai 33-35oC. beberapa jenis
bakteri telah diisolasi dari thalus
yang terkena penyakit
tersebut namun bakteri tersebut
diduga hanya merupakan
penyebab kedua (secondary impact) penyakit ini dapat di
tanggulangi dengan cara menurunkan pososisi tanaman lebih dalam dari posisi
semula untuk mengurangi penetrasi sinar matahari atau memindahkan pada
tempat yang lebih
aman dengan kondisi
lingkungan yang mendukung.
0 comments:
Post a Comment