Penyakit udang tetap akan mengintai budidaya udang, perhatikan padat tebar, manajemen tambak, dan tingkatkan biosekuriti cukup mencegah penyakit.
Produksi udang yang berkelanjutan jadi kunci stabilitas dominasi udang asal Indonesia sejauh ini di pasar dunia. Peran komoditas udang kian kentara dengan makin kinclongnya nilai ekspor yang sampai 41 % dari nilai total ekspor produk perikanan nasional pada 2015 lalu.
Anang Noegroho, Direktur Pengembangan Investasi Direktorat Jenderal Penguatan Daya Saing Produk Kelautan dan Perikanan menjabarkan, data Badan Pusat Statistik (BPS) pada 2015 lalu, angka sementara nilai ekspor nasional berkisar US$ 3,95 miliar. “Komoditas udang mampu mendominasi hampir setengah dari nilai ekspor tersebut,” kata Anang kepada Trobos Aqua.
Harga udang yang relatif tinggi sepanjang tahun memicu euforia ramainya usaha pertambakan udang di berbagai daerah. Menurut Ketua AP5I (Pengusaha Pengolahan dan Pemasaran Produk Perikanan Indonesia) Budhi Wibowo, harga yang tinggi tersebut dipicu pasokan udang dunia yang dalam 3 tahun terakhir tertekan akibat serangan penyakit di beberapa negara produsen.
Lebih lanjut ia memaparkan, pasar ekspor menjadi ladang pendapatan utama bagi produsen udang, terutama pasar udangdii Amerika Serikat (AS). “Setidaknya market share Indonesia ke AS sekitar 60 % dari total ekspor udang Indonesia, kita bangga karena AS pasar yang sangat ketat. Namun, disisi lain, kita harus sangat hati-hati agar jangan sampai ada masalah,” ucapnya.
Euforia Bertambak
Berbagai kawasan seperti Pantai Utara (Pantura Jawa, pesisir selatan Jawa, ataupun Lampung yang sempat mati suri, ditinggalkan begitu saja, kini kembali menggerakkan roda perudangannya. Bedanya, petambak di lokasi itu memilih komoditas udang yang sudah menjadi pangsa pasar dunia, yaitu udang vannamei.
Program pemerintah seperti revitalisasi tambak pun terus berjalan untuk mendukung petambak. Direktur Jenderal Perikanan Budidaya, Slamet Soebjakto mengatakan, pihaknya mendorong petambak memanfaatkan lahan yang belum dikelola atau mangkrak. Penyebab ditinggalkan tambak umumnya karena dianggap sudah tidak produktif dan merebaknya penyakit.
Euforia lain adalah pemilihan kawasan baru yang belum tersentuh sebagai tambak-tambak baru, seperti di pesisir barat Sumatera. Terkait hal ini, pemerintah khawatir terjadi euforia seperti masa windu dulu. “Makanya, diimbau jika petambak membuka lahan baru jangan sampai skala intensif tinggi. Karena dikhawatirkan intensitas penyakit akan tinggi,” ucapnya.
Tidak perlu jauh-jauh kembali ke masa lampau, lanjutnya, negara dengan produksi yang sempat menjadi raja pasar internasional saat ini juga mengalami kemunduran. Tengoklah Thailand atau Vietnam. Penyebabnya, penyakit Early Mortality Syndrome (EMS) yang menjadi momok. Produksi kedua negara ini terhitung menurun dan masih berusaha untuk bangkit.
Sementara di Indonesia, ungkap Slamet, bisa berbangga hati untuk saat ini karena dinilai menjadi satu-satunya negara produsen besar yang bisa bertahan dari serbuan EMS. Sejauh ini Vibrio parahaemolyticus yang ditengarai menjadi penyebab penyakit ini tidak ditemukan di kawasan tambak Indonesia. “Tapi petambak udang nasional tetap harus hati-hati dalam mengelola tambaknya,” ungkap Slamet.
Menurut Slamet, pengelolaan budidaya yang sifatnya ramah lingkungan bisa dilakukan dengan closed system (sisitem tertutup). Pola ini memerlukan tambak tandon yang luas untuk pengolahan air, yang otomatis mengurangi jumlah lahan produksi pertambakan. Sayannya, kata Slamet, sistem ini baru diterapkan sekitar 5–10% dari pertambakan nasioanal.
Biosecurity pada budidaya udang adalah serangkaian kegiatan yang dirancang untuk menangkal masuknya penyakit dalam fasilitas budidaya, mulai dari tempat pemeliharaan induk, pembenuran sampai pembesaran, serta mencegah penyebaran penyakit dari tambak yang sudah terinfeksi.
Prosedur biosecurity yang tepat dan sesuai telah tercantum pada SNI 7911 : 2-13 tentang prosedur biosecurity pada pembenihan udang, dan SNI 7923 : 2103 tentang sarana dan prasarana biosecurity pembenihan ikan laut.
Berikut adalah beberapa penerapan biosecurity di tambak :
1. Persiapan tambak
Pemasangan Bird Scaring Device (BSD) yang terbuat dari benang jenis D-9 PE yang diikatkan pada tiang dan pemasangan Crab Protecting Device (CPD) yang terbuat dari plastik.
Pengeringan tambak dengan nilai ORP (Organic Residu Potential) min 50 mV sekitar ± 10 hari.
Sterilisasi untuk meminimalisir hewan maupun organisme bentik yang berpotensi sebagai carrier (pembawa) patogen.
Pengapuran dilakukan untuk menetralisir derajat keasaman atau pH dasar tambak menjadi standar (pH 6,5-7).
Pengecekan level muka air SO harus di bawah pipa elbow, sedangkan untuk saluran SO 50 cm di bawah pipa elbow.
2. Persiapan air
Pemasangan filter saat air dipompa dari main inlet masuk ke reservoir ataupun talang air ke petak pengendapan, dari petak pengendapan di flushing (buang) ke sub inlet, dari sub inlet ke petakan treatment dan dari supply canal ke petakan tambak. Digunakan 2 lapisan filter 300 I dan 1.000 i.
Sterilisasi ganda pada perlakuan desinfektan digunakan pondfos sebanyak 2-3 ppm. Jarak antara perlakuan 1 dan 2 dilakukan dalam jangka waktu 3 hari.
3. Seleksi benur yang mencakup penerapan biosecurity pada seleksi benur yang akan ditebar.
4. Budidaya
Pengadaan alat sanitasi tangan dan kaki, terdiri dari sabun antiseptik dan air bersih untuk tangan, sedangkan alat sanitasi kaki digunakan Kalium Permenganat (KMNO4) dengan dosis 70 ppm.
Perlakuan sanitasi peralatan tambak perlu dilakukan dikarenakan penggunaan peralatan secara bergantian tersebut dapat diindikasikan berperan sebagai carrier (pembawa) patogen.
5. Panen darurat
Pengisolasian tambak bertujuan untuk mencegah menularnya penyakit dari tambak satu ke yang lainnya.
Penggunaan dosing dengan KMN)4 dengan cara menggantungkannya pada pipa flushing dengan dosis 10 ppm.
Perlakuan pada daerah sub road dan sub outlet, dengan memberi KMNO4 sebanyak ± 5 ppm pada daerah sekitar sub road. Setelah proses panen selesai, lakukan pemberian desinfektan dengan tujuan bibit-bibit penyakit tidak mencemari lingkungan terutama pasa saluran sub outlet.
Pembakaran dan penguburan bangkai udang.
Penyakit Selalu Mengintai
Terkait penyakit, petambak udang mengakui adalah hal lumrah karena ibaratnya penyakit itu seperti tamu yang akan selalu datang ke rumah udang. Contohlah saja, penyakit seperti myo atau Infectious Myo Necrosis Virus (IMNV) merupakan penyakit yang ‘rutin’ mendatangi tambak udang.
Menurut petambak udang di daerah Garut Jawa Barat Vivid Avianto, penyakit itu rutin dan tidak bisa dihindari. Dari 100% populasi, pasti ada saja myo yang menyerang. “Cuma, bisa ga kita rem, yakni dengan menciptakan kualitas air yg bagus. Semisal dari kandungan oksigen terlarutnya, pH nya, dan segala macamnya,” terangnya.
Vivid menilai, yang khususnya membedakan ramah tidaknya si tamu ketika mendatangi rumah udang, adalah penanganan dari petambak. Sederhananya perlakuan biosekuriti seperti pengelolaan tambak tandon. “Kita harus sterilkan, seperti dengan triklorin,” ujarnya.
Penyakit, tambah Vivid, akan menyerang tambak setidaknya pada waktu hujan ketika air tawar yang menjadi masukan tambak akan lebih kotor karena berbagai masukan limbah. Ia amati, lingkungan sungai yang juga menjadi tempat keluaran pabrik–pabrik disekitarnya turut memberi peran pada tingginya masukan limbah ini. “Dengan demikian sterilisasi tandon menjadi kewajiban bagi petambak, khususnya pada kondisi seperti itu,” tegas Vivid.
Hal senada diungkapkan Luqman Raya, Marketing Manager PT ISSU Medika Veterindo. Menurutnya, penyakit sebetulnya akan selalu ada di pertambakan. Setidaknya, ucap Luqman, di tempat yang sama, kasus yang sama akan muncul dalam 10 tahun kedepan. Hal ini karena karakter petambak yang umumnya mengejar padat tebar tinggi.
“Di hampir seluruh pertambakan, semakin tinggi padat tebar tambak, semakin banyak limbah organik sehingga otomatis kerusakan lingkungan akan semakin cepat. Kalau lingkungan rusak, penyakit akan bermunculan. Sepuluh tahun itu bisa lebih cepat atau lebih lama,” terangnya.
Produksi udang yang berkelanjutan jadi kunci stabilitas dominasi udang asal Indonesia sejauh ini di pasar dunia. Peran komoditas udang kian kentara dengan makin kinclongnya nilai ekspor yang sampai 41 % dari nilai total ekspor produk perikanan nasional pada 2015 lalu.
Anang Noegroho, Direktur Pengembangan Investasi Direktorat Jenderal Penguatan Daya Saing Produk Kelautan dan Perikanan menjabarkan, data Badan Pusat Statistik (BPS) pada 2015 lalu, angka sementara nilai ekspor nasional berkisar US$ 3,95 miliar. “Komoditas udang mampu mendominasi hampir setengah dari nilai ekspor tersebut,” kata Anang kepada Trobos Aqua.
Harga udang yang relatif tinggi sepanjang tahun memicu euforia ramainya usaha pertambakan udang di berbagai daerah. Menurut Ketua AP5I (Pengusaha Pengolahan dan Pemasaran Produk Perikanan Indonesia) Budhi Wibowo, harga yang tinggi tersebut dipicu pasokan udang dunia yang dalam 3 tahun terakhir tertekan akibat serangan penyakit di beberapa negara produsen.
Lebih lanjut ia memaparkan, pasar ekspor menjadi ladang pendapatan utama bagi produsen udang, terutama pasar udangdii Amerika Serikat (AS). “Setidaknya market share Indonesia ke AS sekitar 60 % dari total ekspor udang Indonesia, kita bangga karena AS pasar yang sangat ketat. Namun, disisi lain, kita harus sangat hati-hati agar jangan sampai ada masalah,” ucapnya.
Euforia Bertambak
Berbagai kawasan seperti Pantai Utara (Pantura Jawa, pesisir selatan Jawa, ataupun Lampung yang sempat mati suri, ditinggalkan begitu saja, kini kembali menggerakkan roda perudangannya. Bedanya, petambak di lokasi itu memilih komoditas udang yang sudah menjadi pangsa pasar dunia, yaitu udang vannamei.
Program pemerintah seperti revitalisasi tambak pun terus berjalan untuk mendukung petambak. Direktur Jenderal Perikanan Budidaya, Slamet Soebjakto mengatakan, pihaknya mendorong petambak memanfaatkan lahan yang belum dikelola atau mangkrak. Penyebab ditinggalkan tambak umumnya karena dianggap sudah tidak produktif dan merebaknya penyakit.
Euforia lain adalah pemilihan kawasan baru yang belum tersentuh sebagai tambak-tambak baru, seperti di pesisir barat Sumatera. Terkait hal ini, pemerintah khawatir terjadi euforia seperti masa windu dulu. “Makanya, diimbau jika petambak membuka lahan baru jangan sampai skala intensif tinggi. Karena dikhawatirkan intensitas penyakit akan tinggi,” ucapnya.
Tidak perlu jauh-jauh kembali ke masa lampau, lanjutnya, negara dengan produksi yang sempat menjadi raja pasar internasional saat ini juga mengalami kemunduran. Tengoklah Thailand atau Vietnam. Penyebabnya, penyakit Early Mortality Syndrome (EMS) yang menjadi momok. Produksi kedua negara ini terhitung menurun dan masih berusaha untuk bangkit.
Sementara di Indonesia, ungkap Slamet, bisa berbangga hati untuk saat ini karena dinilai menjadi satu-satunya negara produsen besar yang bisa bertahan dari serbuan EMS. Sejauh ini Vibrio parahaemolyticus yang ditengarai menjadi penyebab penyakit ini tidak ditemukan di kawasan tambak Indonesia. “Tapi petambak udang nasional tetap harus hati-hati dalam mengelola tambaknya,” ungkap Slamet.
Menurut Slamet, pengelolaan budidaya yang sifatnya ramah lingkungan bisa dilakukan dengan closed system (sisitem tertutup). Pola ini memerlukan tambak tandon yang luas untuk pengolahan air, yang otomatis mengurangi jumlah lahan produksi pertambakan. Sayannya, kata Slamet, sistem ini baru diterapkan sekitar 5–10% dari pertambakan nasioanal.
Biosecurity pada budidaya udang adalah serangkaian kegiatan yang dirancang untuk menangkal masuknya penyakit dalam fasilitas budidaya, mulai dari tempat pemeliharaan induk, pembenuran sampai pembesaran, serta mencegah penyebaran penyakit dari tambak yang sudah terinfeksi.
Prosedur biosecurity yang tepat dan sesuai telah tercantum pada SNI 7911 : 2-13 tentang prosedur biosecurity pada pembenihan udang, dan SNI 7923 : 2103 tentang sarana dan prasarana biosecurity pembenihan ikan laut.
Berikut adalah beberapa penerapan biosecurity di tambak :
1. Persiapan tambak
Pemasangan Bird Scaring Device (BSD) yang terbuat dari benang jenis D-9 PE yang diikatkan pada tiang dan pemasangan Crab Protecting Device (CPD) yang terbuat dari plastik.
Pengeringan tambak dengan nilai ORP (Organic Residu Potential) min 50 mV sekitar ± 10 hari.
Sterilisasi untuk meminimalisir hewan maupun organisme bentik yang berpotensi sebagai carrier (pembawa) patogen.
Pengapuran dilakukan untuk menetralisir derajat keasaman atau pH dasar tambak menjadi standar (pH 6,5-7).
Pengecekan level muka air SO harus di bawah pipa elbow, sedangkan untuk saluran SO 50 cm di bawah pipa elbow.
2. Persiapan air
Pemasangan filter saat air dipompa dari main inlet masuk ke reservoir ataupun talang air ke petak pengendapan, dari petak pengendapan di flushing (buang) ke sub inlet, dari sub inlet ke petakan treatment dan dari supply canal ke petakan tambak. Digunakan 2 lapisan filter 300 I dan 1.000 i.
Sterilisasi ganda pada perlakuan desinfektan digunakan pondfos sebanyak 2-3 ppm. Jarak antara perlakuan 1 dan 2 dilakukan dalam jangka waktu 3 hari.
3. Seleksi benur yang mencakup penerapan biosecurity pada seleksi benur yang akan ditebar.
4. Budidaya
Pengadaan alat sanitasi tangan dan kaki, terdiri dari sabun antiseptik dan air bersih untuk tangan, sedangkan alat sanitasi kaki digunakan Kalium Permenganat (KMNO4) dengan dosis 70 ppm.
Perlakuan sanitasi peralatan tambak perlu dilakukan dikarenakan penggunaan peralatan secara bergantian tersebut dapat diindikasikan berperan sebagai carrier (pembawa) patogen.
5. Panen darurat
Pengisolasian tambak bertujuan untuk mencegah menularnya penyakit dari tambak satu ke yang lainnya.
Penggunaan dosing dengan KMN)4 dengan cara menggantungkannya pada pipa flushing dengan dosis 10 ppm.
Perlakuan pada daerah sub road dan sub outlet, dengan memberi KMNO4 sebanyak ± 5 ppm pada daerah sekitar sub road. Setelah proses panen selesai, lakukan pemberian desinfektan dengan tujuan bibit-bibit penyakit tidak mencemari lingkungan terutama pasa saluran sub outlet.
Pembakaran dan penguburan bangkai udang.
Penyakit Selalu Mengintai
Terkait penyakit, petambak udang mengakui adalah hal lumrah karena ibaratnya penyakit itu seperti tamu yang akan selalu datang ke rumah udang. Contohlah saja, penyakit seperti myo atau Infectious Myo Necrosis Virus (IMNV) merupakan penyakit yang ‘rutin’ mendatangi tambak udang.
Menurut petambak udang di daerah Garut Jawa Barat Vivid Avianto, penyakit itu rutin dan tidak bisa dihindari. Dari 100% populasi, pasti ada saja myo yang menyerang. “Cuma, bisa ga kita rem, yakni dengan menciptakan kualitas air yg bagus. Semisal dari kandungan oksigen terlarutnya, pH nya, dan segala macamnya,” terangnya.
Vivid menilai, yang khususnya membedakan ramah tidaknya si tamu ketika mendatangi rumah udang, adalah penanganan dari petambak. Sederhananya perlakuan biosekuriti seperti pengelolaan tambak tandon. “Kita harus sterilkan, seperti dengan triklorin,” ujarnya.
Penyakit, tambah Vivid, akan menyerang tambak setidaknya pada waktu hujan ketika air tawar yang menjadi masukan tambak akan lebih kotor karena berbagai masukan limbah. Ia amati, lingkungan sungai yang juga menjadi tempat keluaran pabrik–pabrik disekitarnya turut memberi peran pada tingginya masukan limbah ini. “Dengan demikian sterilisasi tandon menjadi kewajiban bagi petambak, khususnya pada kondisi seperti itu,” tegas Vivid.
Hal senada diungkapkan Luqman Raya, Marketing Manager PT ISSU Medika Veterindo. Menurutnya, penyakit sebetulnya akan selalu ada di pertambakan. Setidaknya, ucap Luqman, di tempat yang sama, kasus yang sama akan muncul dalam 10 tahun kedepan. Hal ini karena karakter petambak yang umumnya mengejar padat tebar tinggi.
“Di hampir seluruh pertambakan, semakin tinggi padat tebar tambak, semakin banyak limbah organik sehingga otomatis kerusakan lingkungan akan semakin cepat. Kalau lingkungan rusak, penyakit akan bermunculan. Sepuluh tahun itu bisa lebih cepat atau lebih lama,” terangnya.
0 comments:
Post a Comment