Para peneliti di ARC Pusat Penelitian Bidang Studi Terumbu Karang atau Centre of Excellence for Coral Reef Studies (CoECRS) baru-baru ini dalam sebuah laporan yang dimuat dalam Nature Climate Change menemukan bahwa beberapa jenis ikan tidak rentan dengan meningkatnya kandungan karbondioksida dan keasaman air laut, seperti yang dikhawatirkan sebelumnya.
“Selama ini seluruh dunia khawatir terkait temuan bahwa anak-anak ikan adalah mahluk yang sangat rentan dengan meningkatnya keasaman di laut, seiring dengan banyaknya emisi karbon akibat aktivitas manusia yang mempengaruhi lautan,” ungkap Dr Gabi Miller dari CoECRS dan Universitas James Cook.
“Hasil penelitian kami dengan sejumlah ikan anemon menunjukkan bahwa anak-anak mereka bisa menyesuaikan diri dengan perubahan yang kami prediksikan akan muncul di laut di tahun 2100. Induk ikan membiasakan anak-anak ini dan membesarkan mereka di air dengan keasaman lebih tinggi.”
“Aktivitas manusia diperkirakan akan meningkatkan keasaman air laut antara 0.3 hingga 0.4 hingga akhir abad ini, berdasar analisis emisi karbon kami,” ungkap peneliti lain, Prof. Philip Munday.
“Dalam penelitian sebelumnya dan penelitian kami sendiri, hasilnya menunjukkan bahwa tingkat kemampuan bertahan anak-anak ikan anemon akan terpengaruh secara serius saat anak ikan tersebut terkena dampak peningkatan karbondioksida dan keasaman pada level tersebut,” tambahnya.
“Namun saat kami bawa kedua induk ikan dan anak-anak ini di dalam air yang lebih asam kami menemukan bahwa, mereka setidaknya bisa mentolerir perubahan kadar keasaman tersebut,” tambah Dr. Miller. “Namun apakah dampak ini bertahan hingga akhir hidup mereka, masih harus dilihat lebih lanjut,” tambahnya.
Bagaimana induk ikan bisa melampaui dan beradaptasi dengan tingkat keasaman air ini, masih merupakan sebuah misteri, ungkap Prof. Munday. “Interval waktu yang tersedia terlalu pendek untuk memungkinkan terjadinya sebuah adaptasi genetik dalam pemikiran yang normal. Namun, ini adalah sebuah efek keberadaan induk yang sangat penting, yang kami butuhkan untuk mengatasi kerentanan jumlah ikan dunia akibat perubahan-perubahan yang disebabkan oleh aktivitas manusia.”
Peningkatan keasaman laut lebih mempengaruhi terumbu karang dibanding ikan, namun harus diingat, bahwa terumbu karang adalah sumber pangan dan kehidupan ikan yang saling mempengaruhi. Foto: The Nature Conservancy Indonesia
Berdasar dari bukti kepunahan-kepinahan yang terjadi sebelumnya, para peneliti sejak lama mengkhawatirkan bahwa pelepasan karbon dalam jumlah besar ke laut akan menyebabkan malapetaka bagi kehidupan di laut, terutama untuk spesies yang bergantung pada kalsium untuk membentuk tulang dan cangkang mereka. Penelitian baru lainnya menyebutkan bahwa kadar karbon (CO2) yang tinggi akan menyebabkan sistem saraf dari beberapa mahluk laut tidak berfungsi.
Kenaikan tingkat keasaman di laut terkait aktivitas manusia yang melepas karbon ke perairan diperkirakan antara 0.1 pH unit dalam 50 tahun terakhir, dianggap jauh lebih tinggi dibanding kenaikan tingkat keasaman yang pernah menyebabkan punahnya beberapa spesies di lautan, yang telah mengeliminasi sekitar 70 hingga 90% spesies lautan. “Apa yang ditunjukkan dalam penelitian ini adalah, beberapa spesies setidaknya memiliki kapasitas untuk menyesuaikan diri dibanding yang kita bayangkan. Dan ini bisa memberi kesempatan kepada manusia untuk mengontrol kadar emis karbon mereka di lautan,” sambung Prof Munday.
Namun Dr Miller memperingatkan bahwa ikan anemon sangat kuat akibat bentukan alam, dan mungkin tidak seperti kebanyakan ikan yang ada di laut. “Mereka yang pasti bukan ikan yang lemah, karena mereka memiliki kemampuan cukup besar untuk mengatasi kondisi berubah kok,” katanya. “Kita perlu memperluas penelitian untuk jenis ikan lain, terutama mereka yang diandalkan manusia sebagai makanan.”
Kedua ilmuwan memperingatkan bahwa dampak besar pada pengasaman laut akan cenderung pada karang sendiri, dan terumbu karang yang mereka bentuk, yang pada gilirannya menyediakan habitat untuk ikan kecil seperti ikan anemon. Nasib terumbu karang dunia di bawah rezim emisi karbon buangan manusia masih sangat tidak pasti, mereka mengingatkan.Para peneliti di ARC Pusat Penelitian Bidang Studi Terumbu Karang atau Centre of Excellence for Coral Reef Studies (CoECRS) baru-baru ini dalam sebuah laporan yang dimuat dalam Nature Climate Change menemukan bahwa beberapa jenis ikan tidak rentan dengan meningkatnya kandungan karbondioksida dan keasaman air laut, seperti yang dikhawatirkan sebelumnya.
“Selama ini seluruh dunia khawatir terkait temuan bahwa anak-anak ikan adalah mahluk yang sangat rentan dengan meningkatnya keasaman di laut, seiring dengan banyaknya emisi karbon akibat aktivitas manusia yang mempengaruhi lautan,” ungkap Dr Gabi Miller dari CoECRS dan Universitas James Cook.
“Hasil penelitian kami dengan sejumlah ikan anemon menunjukkan bahwa anak-anak mereka bisa menyesuaikan diri dengan perubahan yang kami prediksikan akan muncul di laut di tahun 2100. Induk ikan membiasakan anak-anak ini dan membesarkan mereka di air dengan keasaman lebih tinggi.”
“Aktivitas manusia diperkirakan akan meningkatkan keasaman air laut antara 0.3 hingga 0.4 hingga akhir abad ini, berdasar analisis emisi karbon kami,” ungkap peneliti lain, Prof. Philip Munday.
“Dalam penelitian sebelumnya dan penelitian kami sendiri, hasilnya menunjukkan bahwa tingkat kemampuan bertahan anak-anak ikan anemon akan terpengaruh secara serius saat anak ikan tersebut terkena dampak peningkatan karbondioksida dan keasaman pada level tersebut,” tambahnya.
“Namun saat kami bawa kedua induk ikan dan anak-anak ini di dalam air yang lebih asam kami menemukan bahwa, mereka setidaknya bisa mentolerir perubahan kadar keasaman tersebut,” tambah Dr. Miller. “Namun apakah dampak ini bertahan hingga akhir hidup mereka, masih harus dilihat lebih lanjut,” tambahnya.
Bagaimana induk ikan bisa melampaui dan beradaptasi dengan tingkat keasaman air ini, masih merupakan sebuah misteri, ungkap Prof. Munday. “Interval waktu yang tersedia terlalu pendek untuk memungkinkan terjadinya sebuah adaptasi genetik dalam pemikiran yang normal. Namun, ini adalah sebuah efek keberadaan induk yang sangat penting, yang kami butuhkan untuk mengatasi kerentanan jumlah ikan dunia akibat perubahan-perubahan yang disebabkan oleh aktivitas manusia.”
Peningkatan keasaman laut lebih mempengaruhi terumbu karang dibanding ikan, namun harus diingat, bahwa terumbu karang adalah sumber pangan dan kehidupan ikan yang saling mempengaruhi. Foto: The Nature Conservancy Indonesia
Berdasar dari bukti kepunahan-kepinahan yang terjadi sebelumnya, para peneliti sejak lama mengkhawatirkan bahwa pelepasan karbon dalam jumlah besar ke laut akan menyebabkan malapetaka bagi kehidupan di laut, terutama untuk spesies yang bergantung pada kalsium untuk membentuk tulang dan cangkang mereka. Penelitian baru lainnya menyebutkan bahwa kadar karbon (CO2) yang tinggi akan menyebabkan sistem saraf dari beberapa mahluk laut tidak berfungsi.
Kenaikan tingkat keasaman di laut terkait aktivitas manusia yang melepas karbon ke perairan diperkirakan antara 0.1 pH unit dalam 50 tahun terakhir, dianggap jauh lebih tinggi dibanding kenaikan tingkat keasaman yang pernah menyebabkan punahnya beberapa spesies di lautan, yang telah mengeliminasi sekitar 70 hingga 90% spesies lautan. “Apa yang ditunjukkan dalam penelitian ini adalah, beberapa spesies setidaknya memiliki kapasitas untuk menyesuaikan diri dibanding yang kita bayangkan. Dan ini bisa memberi kesempatan kepada manusia untuk mengontrol kadar emis karbon mereka di lautan,” sambung Prof Munday.
Namun Dr Miller memperingatkan bahwa ikan anemon sangat kuat akibat bentukan alam, dan mungkin tidak seperti kebanyakan ikan yang ada di laut. “Mereka yang pasti bukan ikan yang lemah, karena mereka memiliki kemampuan cukup besar untuk mengatasi kondisi berubah kok,” katanya. “Kita perlu memperluas penelitian untuk jenis ikan lain, terutama mereka yang diandalkan manusia sebagai makanan.”
Kedua ilmuwan memperingatkan bahwa dampak besar pada pengasaman laut akan cenderung pada karang sendiri, dan terumbu karang yang mereka bentuk, yang pada gilirannya menyediakan habitat untuk ikan kecil seperti ikan anemon. Nasib terumbu karang dunia di bawah rezim emisi karbon buangan manusia masih sangat tidak pasti, mereka mengingatkan.
Ben I. McNeil, Tristan P. Sasse. Future ocean hypercapnia driven by anthropogenic amplification of the natural CO2 cycle. Nature, 2016; 529 (7586): 383 DOI: 10.1038/nature16156.
“Selama ini seluruh dunia khawatir terkait temuan bahwa anak-anak ikan adalah mahluk yang sangat rentan dengan meningkatnya keasaman di laut, seiring dengan banyaknya emisi karbon akibat aktivitas manusia yang mempengaruhi lautan,” ungkap Dr Gabi Miller dari CoECRS dan Universitas James Cook.
“Hasil penelitian kami dengan sejumlah ikan anemon menunjukkan bahwa anak-anak mereka bisa menyesuaikan diri dengan perubahan yang kami prediksikan akan muncul di laut di tahun 2100. Induk ikan membiasakan anak-anak ini dan membesarkan mereka di air dengan keasaman lebih tinggi.”
“Aktivitas manusia diperkirakan akan meningkatkan keasaman air laut antara 0.3 hingga 0.4 hingga akhir abad ini, berdasar analisis emisi karbon kami,” ungkap peneliti lain, Prof. Philip Munday.
“Dalam penelitian sebelumnya dan penelitian kami sendiri, hasilnya menunjukkan bahwa tingkat kemampuan bertahan anak-anak ikan anemon akan terpengaruh secara serius saat anak ikan tersebut terkena dampak peningkatan karbondioksida dan keasaman pada level tersebut,” tambahnya.
“Namun saat kami bawa kedua induk ikan dan anak-anak ini di dalam air yang lebih asam kami menemukan bahwa, mereka setidaknya bisa mentolerir perubahan kadar keasaman tersebut,” tambah Dr. Miller. “Namun apakah dampak ini bertahan hingga akhir hidup mereka, masih harus dilihat lebih lanjut,” tambahnya.
Bagaimana induk ikan bisa melampaui dan beradaptasi dengan tingkat keasaman air ini, masih merupakan sebuah misteri, ungkap Prof. Munday. “Interval waktu yang tersedia terlalu pendek untuk memungkinkan terjadinya sebuah adaptasi genetik dalam pemikiran yang normal. Namun, ini adalah sebuah efek keberadaan induk yang sangat penting, yang kami butuhkan untuk mengatasi kerentanan jumlah ikan dunia akibat perubahan-perubahan yang disebabkan oleh aktivitas manusia.”
Peningkatan keasaman laut lebih mempengaruhi terumbu karang dibanding ikan, namun harus diingat, bahwa terumbu karang adalah sumber pangan dan kehidupan ikan yang saling mempengaruhi. Foto: The Nature Conservancy Indonesia
Berdasar dari bukti kepunahan-kepinahan yang terjadi sebelumnya, para peneliti sejak lama mengkhawatirkan bahwa pelepasan karbon dalam jumlah besar ke laut akan menyebabkan malapetaka bagi kehidupan di laut, terutama untuk spesies yang bergantung pada kalsium untuk membentuk tulang dan cangkang mereka. Penelitian baru lainnya menyebutkan bahwa kadar karbon (CO2) yang tinggi akan menyebabkan sistem saraf dari beberapa mahluk laut tidak berfungsi.
Kenaikan tingkat keasaman di laut terkait aktivitas manusia yang melepas karbon ke perairan diperkirakan antara 0.1 pH unit dalam 50 tahun terakhir, dianggap jauh lebih tinggi dibanding kenaikan tingkat keasaman yang pernah menyebabkan punahnya beberapa spesies di lautan, yang telah mengeliminasi sekitar 70 hingga 90% spesies lautan. “Apa yang ditunjukkan dalam penelitian ini adalah, beberapa spesies setidaknya memiliki kapasitas untuk menyesuaikan diri dibanding yang kita bayangkan. Dan ini bisa memberi kesempatan kepada manusia untuk mengontrol kadar emis karbon mereka di lautan,” sambung Prof Munday.
Namun Dr Miller memperingatkan bahwa ikan anemon sangat kuat akibat bentukan alam, dan mungkin tidak seperti kebanyakan ikan yang ada di laut. “Mereka yang pasti bukan ikan yang lemah, karena mereka memiliki kemampuan cukup besar untuk mengatasi kondisi berubah kok,” katanya. “Kita perlu memperluas penelitian untuk jenis ikan lain, terutama mereka yang diandalkan manusia sebagai makanan.”
Kedua ilmuwan memperingatkan bahwa dampak besar pada pengasaman laut akan cenderung pada karang sendiri, dan terumbu karang yang mereka bentuk, yang pada gilirannya menyediakan habitat untuk ikan kecil seperti ikan anemon. Nasib terumbu karang dunia di bawah rezim emisi karbon buangan manusia masih sangat tidak pasti, mereka mengingatkan.Para peneliti di ARC Pusat Penelitian Bidang Studi Terumbu Karang atau Centre of Excellence for Coral Reef Studies (CoECRS) baru-baru ini dalam sebuah laporan yang dimuat dalam Nature Climate Change menemukan bahwa beberapa jenis ikan tidak rentan dengan meningkatnya kandungan karbondioksida dan keasaman air laut, seperti yang dikhawatirkan sebelumnya.
“Selama ini seluruh dunia khawatir terkait temuan bahwa anak-anak ikan adalah mahluk yang sangat rentan dengan meningkatnya keasaman di laut, seiring dengan banyaknya emisi karbon akibat aktivitas manusia yang mempengaruhi lautan,” ungkap Dr Gabi Miller dari CoECRS dan Universitas James Cook.
“Hasil penelitian kami dengan sejumlah ikan anemon menunjukkan bahwa anak-anak mereka bisa menyesuaikan diri dengan perubahan yang kami prediksikan akan muncul di laut di tahun 2100. Induk ikan membiasakan anak-anak ini dan membesarkan mereka di air dengan keasaman lebih tinggi.”
“Aktivitas manusia diperkirakan akan meningkatkan keasaman air laut antara 0.3 hingga 0.4 hingga akhir abad ini, berdasar analisis emisi karbon kami,” ungkap peneliti lain, Prof. Philip Munday.
“Dalam penelitian sebelumnya dan penelitian kami sendiri, hasilnya menunjukkan bahwa tingkat kemampuan bertahan anak-anak ikan anemon akan terpengaruh secara serius saat anak ikan tersebut terkena dampak peningkatan karbondioksida dan keasaman pada level tersebut,” tambahnya.
“Namun saat kami bawa kedua induk ikan dan anak-anak ini di dalam air yang lebih asam kami menemukan bahwa, mereka setidaknya bisa mentolerir perubahan kadar keasaman tersebut,” tambah Dr. Miller. “Namun apakah dampak ini bertahan hingga akhir hidup mereka, masih harus dilihat lebih lanjut,” tambahnya.
Bagaimana induk ikan bisa melampaui dan beradaptasi dengan tingkat keasaman air ini, masih merupakan sebuah misteri, ungkap Prof. Munday. “Interval waktu yang tersedia terlalu pendek untuk memungkinkan terjadinya sebuah adaptasi genetik dalam pemikiran yang normal. Namun, ini adalah sebuah efek keberadaan induk yang sangat penting, yang kami butuhkan untuk mengatasi kerentanan jumlah ikan dunia akibat perubahan-perubahan yang disebabkan oleh aktivitas manusia.”
Peningkatan keasaman laut lebih mempengaruhi terumbu karang dibanding ikan, namun harus diingat, bahwa terumbu karang adalah sumber pangan dan kehidupan ikan yang saling mempengaruhi. Foto: The Nature Conservancy Indonesia
Berdasar dari bukti kepunahan-kepinahan yang terjadi sebelumnya, para peneliti sejak lama mengkhawatirkan bahwa pelepasan karbon dalam jumlah besar ke laut akan menyebabkan malapetaka bagi kehidupan di laut, terutama untuk spesies yang bergantung pada kalsium untuk membentuk tulang dan cangkang mereka. Penelitian baru lainnya menyebutkan bahwa kadar karbon (CO2) yang tinggi akan menyebabkan sistem saraf dari beberapa mahluk laut tidak berfungsi.
Kenaikan tingkat keasaman di laut terkait aktivitas manusia yang melepas karbon ke perairan diperkirakan antara 0.1 pH unit dalam 50 tahun terakhir, dianggap jauh lebih tinggi dibanding kenaikan tingkat keasaman yang pernah menyebabkan punahnya beberapa spesies di lautan, yang telah mengeliminasi sekitar 70 hingga 90% spesies lautan. “Apa yang ditunjukkan dalam penelitian ini adalah, beberapa spesies setidaknya memiliki kapasitas untuk menyesuaikan diri dibanding yang kita bayangkan. Dan ini bisa memberi kesempatan kepada manusia untuk mengontrol kadar emis karbon mereka di lautan,” sambung Prof Munday.
Namun Dr Miller memperingatkan bahwa ikan anemon sangat kuat akibat bentukan alam, dan mungkin tidak seperti kebanyakan ikan yang ada di laut. “Mereka yang pasti bukan ikan yang lemah, karena mereka memiliki kemampuan cukup besar untuk mengatasi kondisi berubah kok,” katanya. “Kita perlu memperluas penelitian untuk jenis ikan lain, terutama mereka yang diandalkan manusia sebagai makanan.”
Kedua ilmuwan memperingatkan bahwa dampak besar pada pengasaman laut akan cenderung pada karang sendiri, dan terumbu karang yang mereka bentuk, yang pada gilirannya menyediakan habitat untuk ikan kecil seperti ikan anemon. Nasib terumbu karang dunia di bawah rezim emisi karbon buangan manusia masih sangat tidak pasti, mereka mengingatkan.
Ben I. McNeil, Tristan P. Sasse. Future ocean hypercapnia driven by anthropogenic amplification of the natural CO2 cycle. Nature, 2016; 529 (7586): 383 DOI: 10.1038/nature16156.
0 comments:
Post a Comment