Thursday, August 27, 2015

MENGENAL ALAT TANGKAP IKAN BARONANG

August 27, 2015 Posted by Media Penyuluhan Perikanan Pati No comments
Alat Tangkap Ikan Baronang
Alat  penangkapan ikan di Indonesia dibagi atas sepuluh jenis alat tangkap yaitu trawl, pukat kantong, pukat cincin, jaring insang, jaring angkat, pancing, perangkap, alat pengumpul kerang dan rumput laut, muroami, dan alat tangkap lainnya (Sudirman dan Mallawa 2004). Alat tangkap yang banyak digunakan nelayan di perairan Kepulauan Seribu khususnya dalam penangkapan ikan baronang yaitu, menggunakan alat tangkap perangkap (bubu dasar) dan jaring.
Bubu adalah alat tangkap yang sudah lama dikenal oleh nelayan, terutama untuk menangkap sumber daya ikan di perairan. Bubu dibuat dari anyaman bambu, anyaman rotan, dan anyaman kawat. Bentuknya ada yang seperti silinder, setengah lingkaran, empat persegi panjang atau segitiga memanjang. Bubu termasuk alat tangkap yang pasif, biaya pembuatannya relatif murah dan mudah dalam pengoperasian (Subani dan Barus 1989).
Dalam pengoperasiannya dapat memakai umpan atau tanpa umpan, selain itu alat tangkap bubu biasanya digunakan pada daerah karang. Umumnya bubu yang digunakan terdiri dari tiga bagian yaitu badan atau tubuh bubu, lubang tempat mengeluarkan hasil tangkapan, dan mulut bubu (Sudirman dan Mallawa 2004).
Alat tangkap selain bubu yang digunakan nelayan untuk menangkap ikan baronang di perairan Kepulauan Seribu adalah jaring lingkar (Surrounding Gill Net). Alat tangkap jaring lingkar biasanya digunakan untuk menangkap ikan di daerah lamun, pengoperasiannya dengan cara melingkari gerombolan ikan dengan jaring, antara lain untuk menghadang arah lari ikan. Agar gerombolan ikan dapat dilingkari atau ditangkap dengan sempurna, maka bentuk jaring sewaktu operasi dapat membentuk lingkaran, setengah lingkaran, bentuk huruf V atau U, bengkok seperti alur gerombolan ikan (Sudirman dan Mallawa 2004).
Pertumbuhan
Pertumbuhan pada tingkat individu dapat diartikan sebagai pertambahan ukuran panjang atau bobot dari suatu organisme selama waktu tertentu, sedangkan pertumbuhan populasi sebagai pertambahan jumlah individu. Pertumbuhan merupakan proses biologis yang kompleks, sangat dipengaruhi oleh faktor luar dan dalam. Faktor luar seperti jumlah pakan yang tersedia, jumlah ikan-ikan lain yang memanfaatkan sumber-sumber pakan yang sama dan kualitas air. Faktor dalam seperti umur, ukuran dan jenis ikan itu sendiri. Faktor yang umumnya sukar dikontrol adalah keturunan, seks, umur, parasit dan penyakit.
Ricker (1975) menyatakan bahwa terdapat dua macam pola pertumbuhan ikan yaitu pola pertumbuhan isometrik dan allometrik. Isometrik apabila pertumbuhan bobot seimbang dengan pertambahan panjang ikan dan pola pertumbuhan allometrik apabila pertumbuhan bobot tidak seimbang dengan pertambahan panjang ikan.
Studi tentang pertumbuhan pada dasarnya ditujukan untuk menentukan ukuran badan ikan sebagai fungsi dan waktu. Untuk menghitung pertumbuhan ikan dapat dilakukan dengan menggunakan ukuran panjang tubuh atau bobot tubuh. Di daerah tropis, aspek pertumbuhan ikan yang dipelajari paling banyak mempergunakan pendekatan frekuensi panjang. Analisa frekuensi panjang ini akan mendistribusikan jumlah ikan dalam setiap kelompok panjang. Tahap-tahap dalam menganalisis data ukuran panjang meliputi penentuan selang kelas ukuran panjang dari ikan, menentukan frekuensi panjang masing-masing kelas ukuran dan menentukan nilai tengah dari kelas ukuran panjang (Walpole 1992). Sebaran data frekuensi panjang yang diperoleh selanjutnya digunakan untuk  pendugaan umur ikan. Berdasarkan data panjang dapat ditentukan panjang ikan maksimum (L∞) dan koefisien pertumbuhan (K). Hubungan umur dengan panjang ikan dapat dikonversi untuk mendapatkan data komposisi umur. Kemudian data komposisi umur digunakan dalam pendugaan parameter pertumbuhan ikan (Sparre dan Venema 1999).
Hubungan Panjang Bobot
Hubungan panjang bobot ikan bertujuan untuk melihat pola pertumbuhan ikan dengan parameter panjang dan bobot. Bobot dapat dianggap sebagai suatu fungsi dari panjang. Hubungan panjang bobot hampir mengikuti hukum kubik yaitu bahwa bobot ikan sebagai pangkat tiga dari panjangnya, dengan kata lain hubungan ini dapat dimanfaatkan untuk menduga bobot melalui panjang atau sebaliknya. Selain itu, dapat diketahui juga pola pertumbuhan, kemontokan, dan pengaruh perubahan lingkungan terhadap pertumbuhan ikan (Effendie 2002).
Pengukuran panjang tubuh ikan memberikan bukti langsung terhadap pertumbuhan. Peningkatan ukuran panjang umumnya tetap berlangsung walaupun ikan mungkin dalam keadaan kekurangan makanan. Panjang tubuh ikan dapat diukur dengan cara mengamati panjang total, panjang cagak, dan panjang baku. Panjang total adalah panjang ikan yang diukur mulai dari ujung terdepan bagian kepala sampai ujung terakhir bagian ekornya. Panjang cagak adalah panjang ikan yang diukur dari ujung terdepan sampai ujung bagian luar lekukan sirip ekor, sedangkan panjang baku adalah panjang ikan yang diukur dari ujung terdepan dari kepala sampai ujung terakhir dari tulang punggungnya atau pangkal sirip ekor (Effendie 2002).
Effendie (2002) menyatakan bahwa jika panjang dan bobot diplotkan dalam suatu gambar maka akan didapatkan persamaan W = aLb(W=berat, L=panjang, a dan b adalah suatu konstanta). Nilai b berfluktuasi antara 2,5 dan 4 tetapi kebanyakan mendekati 3 karena pertumbuhan mewakili peningkatan dalam tiga dimensi, sedangkan pengukuran panjang diambil dari satu dimensi. Nilai b yang merupakan konstanta adalah nilai pangkat yang menunjukkan pola pertumbuhan ikan.
Nilai b=3 menggambarkan pertumbuhan isometrik, yang akan mencirikan ikan mempunyai bentuk tubuh yang tidak berubah atau pertambahan panjang ikan seimbang dengan pertambahan bobot. Nilai b ≠ 3 menggambarkan pertumbuhan allometrik. Jika b<3 b="" bobot.="" cepat="" dari="" ikan="" jika="" lebih="" menunjukkan="" panjang="" pertambahan="">3 menunjukkan pertambahan bobot ikan lebih cepat dari pertambahan panjang ikan (Effendie 2002). 
Ekologi Ikan Karang Secara Umum
Setiap spesies ikan karang memiliki habitat yang berbeda-beda tergantung ketersediaan makanan dan beberapa parameter fisika seperti kedalaman, kejernihan air, arus dan gelombang. Besarnya spesies yang ditemukan di karang mencermikan habitat tersebut mempunyai kondisi habitat yang mendukung bagi pertumbuhan ikan. Di perairan karang terdapat banyak habitat yang bisa didiami oleh ikan-ikan dibandingkan perairan yang lebih dalam karena tidak terdapat barier untuk berlindung dari arus dan predasi (Allen 1999).
Kedalaman perairan untuk ikan karang terbagi menjadi 3 bagian, yaitu: perairan dangkal (0-4 m), intermedit (5-19 m), dan perairan dalam (20 m). batas kedalaman tersebut dapat berbeda tergantung dari jenis habitat dan kondisi perairan laut. Lingkungan dangkal dicirikan dengan adanya gelombang yang rendah di area yang terlindungi atau tertutup seperti pesisir dan laguna. Sebaliknya di luar struktur karang gelombang permukaan terkadang dapat mencapai sekitar 10 m. Jenis ikan karang dan terumbu karang yang baik tersedia pada zona perairan intermedit, karena pada daerah tersebut sinar matahari optimal bagi pertumbuhan karang, gelombang relatif kecil meskipun arus biasanya kencang (Allen 1999).
Parameter Lingkungan Perairan
1. Suhu
Suhu mempengaruhi kecepatan metabolisme, reproduksi dan perubahan bentuk luar dari karang. Menurut Wells (1954) dalam Supriharyono (2000), suhu yang baik untuk pertumbuhan karang adalah berkisar antara 25-290C. Keanekaragaman jenis dan keadaan seluruh kehidupan pantai cenderung bervariasi dengan berubahnya suhu. Distribusi suhu di perairan estuari sebagian besar dipengaruhi oleh kedalaman yang merupakan efek masukan air dari sungai dan pengaruh perubahan pasang surut. 
2. Kedalaman
Kedalaman merupakan faktor fisika yang berhubungan dengan banyaknya volume air yang masuk dalam suatu perairan. Pengaruh kedalaman berhubungan dengan kecerahan dan arus perairan. Padang lamun membutuhkan penetrasi cahaya yang cukup agar dapat melakukan fotosintesis (Merryanto 2000). Perbedaan tekanan pada setiap kedalaman perairan akan berpengaruh terhadap proses osmoregulasi pada tubuh organisme. Dengan demikian organisme akan berusaha agar tekanan osmosis dalam tubuh organisme berjalan dengan baik. 
3. Kecerahan atau Intensitas Cahaya
Kecerahan perairan menunjukkan kemampuan cahaya untuk menembus lapisan air pada kedalaman tertentu. Pada perairan alami, kecerahan sangat penting karena erat kaitannya dengan proses fotosintesis.  Tingkat kecerahan yang tinggi sangat mendukung kehidupan lamun dan vegetasi air lain untuk melangsungkan proses fotosintesis (Merryanto 2000). Tanpa cahaya yang cukup, laju fotosintesis akan berkurang dan bersama dengan itu kemampuan karang untuk menghasilkan kalsium karbonat dan membentuk terumbu akan berkurang juga (Nybakken 1992).
4. Salinitas
Salinitas atau kadar garam yaitu jumlah bobot  semua garam (dalam gram) yang terlarut dalam satu liter air, biasanya dinyatakan dalam satuan °/oo (permil). Sebaran salinitas di laut dipengaruhi oleh beberapa faktor seperti pola sirkulasi air, penguapan, curah hujan dan aliran sungai (Nontji, 1993). Secara fisiologis, salinitas mempengaruhi kehidupan hewan karang karena adanya tekanan osmosis pada jaringan hidup. Salinitas optimal bagi kehidupan karang berkisar 32-35 ‰. Oleh karena itu karang jarang ditemukan hidup di daerah muara sungai besar, bercurah hujan tinggi atau perairan dengan salinitas yang tinggi (Nybakken 1992).
5. Arus
Arus merupakan gerakan mengalir suatu masa air yang dapat disebabkan oleh tiupan angin, perbedaan densitas air laut atau dapat pula disebabkan oleh gerakan periodik jangka panjang. Arus yang disebabkan oleh gerakan periodic jangka panjang antara lain arus yang disebabkan oleh pasang surut (pasut). Arus yang disebabkan oleh pasang surut biasanya banyak diamati diperairan teluk dan pantai. Disamping itu juga, arus dapat membersihkan polip dari  kotoran yang menempel. Oleh karena itu pertumbuhan karang di tempat yang airnya selalu teraduk oleh arus dan ombak, lebih baik daripada di perairan yang tenang dan terlindung (Nontji 1987).
6. Derajat Keasaman
Derajat keasaman menyatakan intensitas keasaman atau kebasaan dari suatu cairan yang mewakili konsentrasi ion hidrogen. Menurut Nybakken (1988), kisaran pH yang optimal untuk air laut berkisar antara 7,5-8,5. Menurut Phillips dan Menez (1988), kisaran pH yang baik untuk lamun adalah pada saat pH air normal, yaitu 7,8-8,5 karena pada saat tersebut ion bikarbonat yang dibutuhkan untuk proses fotosíntesis oleh lamun dalam keadaan melimpah. Menurut Tomascik et al. (1997) habitat yang cocok bagi pertumbuhan karang adalah yang memiliki pH yang bersifat basa (berkisar 8,2 – 8,5).
Strategi Pengelolaan Sumberdaya Perikanan
Pengelolaan perikanan adalah proses yang terintegrasi dalam pengumpulan informasi, analisis, perencanaan, konsultasi, pembuatan keputusan, alokasi sumberdaya dan implementasi dari aturan-aturan main di bidang perikanan dalam rangka menjamin kelangsungan produktivitas sumber, dan pencapaian tujuan perikanan lainnya (FAO 1997 dalam Widodo & Suadi 2006). Pengelolaan sumberdaya perikanan saat ini menuntut perhatian penuh dikarenakan oleh semakin meningkatnya tekanan eksploitasi terhadap berbagai stok ikan (Widodo dan Suadi 2006).
Secara umum tujuan pengelolaan perikanan dapat dibagi ke dalam empat kelompok yaitu biologis, ekologis, ekonomis dan sosial,  tujuan sosial mencakup tujuan politik dan budaya. Beberapa contoh yang termasuk dalam setiap kelompok tujuan tersebut antara lain menjaga spesies target berada pada tingkat yang diperlukan untuk menjamin produktivitas yang berkelanjutan, meminimalkan berbagai dampak penangkapan atas lingkungan fisik dan nontarget (hasil tangkapan sampingan), memaksimumkan pendapatan bersih bagi nelayan yang terlibat dalam perikanan (tujuan ekonomi) dan memaksimumkan kesempatan kerja bagi masyarakat pesisir (tujuan sosial) (Widodo dan Suadi 2006).

0 comments:

Post a Comment