Enzim (biokatalisator) adalah senyawa protein
sederhana maupun protein kompleks yang bertindak sebagai katalisator
spesifik. Enzim yang tersusun dari protein sederhana jika diuraikan
hanya tersusun atas asam amino saja, misalnya pepsin, tripsin, dan
kemotripsin. Sementara itu, enzim yang berupa protein kompleks bila
diuraikan tersusun atas asam amino dan komponen lain. Animasi sederhana untuk menjelaskan enzim dan komponennya
Enzim lengkap atau sering disebut holoenzim,
terdiri atas komponen protein dan nonprotein. Komponen protein yang
menyusun enzim disebut apoenzim. Komponen ini mudah mengalami
denaturasi, misalnya oleh pemanasan dengan suhu tinggi. Adapun penyusun
enzim yang berupa komponen nonprotein dapat berupa komponen organik dan
anorganik. Komponen organik yang terikat kuat oleh protein enzim disebut
gugus prostetik, sedangkan komponen organik yang terikat lemah disebut
koenzim. Beberapa contoh koenzim antara lain:
-
vitamin (vitamin B1, B2, B6, niasin, dan biotin), NAD (nikotinamida adenin dinukleotida), dan koenzim A (turunan asam pentotenat).
-
Komponen anorganik yang terikat lemah pada protein enzim disebut kofaktoratau aktivator, misalnya beberapa ion logam seperti Zn2+, Cu2+, Mn2+, Mg2+, K+, Fe2+, dan Na+ .
Tepung
ikan merupakan sumber protein utama yang digunakan dalam pembuatan pakan ikan,
namun penggunaan tepung ikan akan mengalami masalah terutama pada harga dan
ketersediaannya dalam memenuhi kebutuhan untuk budi daya. Usaha untuk mengatasi
permasalahan tersebut adalah dengan mengurangi penggunaan tepung ikan dan
menggantinya dengan sumber protein dari bahan nabati. Bahan pengganti tepung
ikan umumnya adalah tepung bungkil kedelai karena selain mempunyai protein yang
tinggi, profil asam aminonya relatif mirip dengan profil asam amino dari tepung
ikan (Hertrampf dan Pascual, 2000). Tepung bungkil kedelai mampu mensubstitusi
sebagian tepung ikan dalam pakan rainbow trout (Hardy, 2002), ikan gurami
(Suprayudi et al., 2003). Robinson dan Li (2002) menggunakan berbagai bahan
baku nabati dalam pakan ikan channel catfish yaitu tepung bungkil kedelai,
tepung polard, dan tepung biji kapas.
Penggunaan sumber bahan baku nabati dalam
bahan pakan ikan perlu memperhatikan adanya faktor anti nutrisi yaitu asam
fitat. Asam fitat merupakan bentuk penyimpanan utama fosfor (P) dan dapat
mencapai 80% dari total fosfor yang ada. Asam fitat juga mampu
mengikat mineral-mineral bervalensi 2 atau 3 (kalsium, besi, seng, magnesium)
untuk membentuk kompleks yang sulit diserap usus (Baruah et al., 2004). Fosfor
yang terkandung dalam bahan baku nabati tidak mampu dimanfaatkan oleh ikan
karena keterbatasan enzim pemecah asam fitat yaitu fitase (Masumoto et al.,
2001; Debnath et al., 2005). Asam fitat diekskresikan bersama feses ikan akan
mengalami degradasi oleh mikroba penghasil fitase dalam air, sehingga fosfor
akan dilepaskan ke perairan. Kandungan fosfor yang tinggi di perairan akan
memicu proses eutrofikasi yang akan merugikan bagi kelangsungan proses budi
daya (Baruah et al., 2004). Penambahan
enzim fitase dalam pakan dapat meningkatkan pemanfaatan P dari sumber bahan
baku nabati, sehingga dapat mengurangi pencemaran P ke perairan (Baruah et al.
2004). Fitase adalah enzim yang mampu mengkatalisis hidrolisis asam fitat
(mioinositol heksakisfosfat) menjadi mio-inositol mono, di, tri, tetra dan
pentafosfat, serta fosfat organik (Baruah et al. 2004)
Sejumlah
penelitian sudah dilakukan untuk mengetahui pengaruh enzim fitase terhadap
ketersediaan fosfor dari bahan nabati pakan ikan. Masumoto et al. (2001)
menyatakan bahwa fitase dengan dosis 50 mg/100 g tepung
bungkil kedelai, mampu meningkatkan ketersediaan P pakan ikan Japanese flounder
ukuran 35 g. Yan et al. (2002)
melaporkan bahwa pemberian enzim fitase 1000 unit per kilogram pakan mampu
meningkatkan konsentrasi Ca, P, Mg dalam tulang ikan channel catfish ukuran 12
g. Debnath et al. (2005) melaporkan bahwa penambahan enzim fitase dengan dosis
500 unit per kilogram pakan, mampu meningkatkan pertumbuhan ikan Pangasius
pangasius ukuran fingerling.
Efektivitas
penggunaan enzim fitase terhadap kecernaan nutrien dan kinerja pertumbuhan
sangat dipengaruhi oleh spesies, ukuran, dan bahan baku yang digunakan. Untuk
mendapatkan informasi lebih luas limbah P ke dalam
perairan, sehingga akan tercipta pakan yang ramah lingkungan.
Hasil
pakan uji yang digunakan dalam penelitian terdiri atas empat macam pakan yang
berbeda berdasarkan perlakuan, yaitu: (A) pakan dengan penambahan P anorganik, (B) pakan tanpa P anorganik dengan penambahan
enzim fitase, (C) pakan tanpa P anorganik dengan penambahan enzim fitase dan
asam sitrat, dan (D) pakan tanpa P anorganik dan tanpa pemberian enzim fitase. Pakan uji untuk setiap perlakuan
adalah isoprotein dan isokalori. Enzim
fitase yang digunakan adalah enzim fitase merek Natuphos 5000®. Jumlah enzim
fitase yang ditambahkan adalah 50 mg/100 g bahan nabati (bungkil kedelai dan
polard), 50 mg enzim fitase setara dengan 250 unit enzim fitase. Asam sitrat digunakan untuk membuat kondisi pH
pakan 5,5. Komposisi pakan uji berdasarkan hasil penelitian Mayasari (2005)
yang dimodifikasi, tertera pada Tabel 1. Proses pembuatan pakan dari 1 kg bahan
baku menggunakan metode Cheng dan Hardy (2002) dan Masumoto et al, (2001).
Pembahasan
hasil uji penelitian
Penambahan
enzim fitase dengan atau tanpa asam sitrat mampu meningkatkan nilai kecernaan P
pakan. Ikan yang diberi pakan dengan
penambahan enzim fitase, kecernaan P (86,10%) lebih tinggi dibanding pakan yang
tidak diberi penambahan enzim fitase (68,55%).
Hal ini membuktikan bahwa enzim fitase mampu membebaskan P yang terikat
dalam asam fitat yang terdapat pada bungkil kedelai dan polard, sehingga dapat
meningkatkan kecernaan P. Hasil yang sama diperoleh Tales et al. (1998)
melaporkan bahwa penambahan enzim fitase dalam pakan yang mengandung bahan
nabati dapat meningkatkan kecernaan P dari 63% menjadi 79,8% pada ikan seabass
(Dicentracus labraks) ukuran juvenile, Papatryphon dan Soares (2001) pada ikan
striped bass (Morone saxatilis) dari 59% menjadi 87%, Cheng dan Hardy (2004)
pada ikan rainbow trout ukuran 20 g dari 80% menjadi 89,1%, Sajjadi dan Carter
(2004) pada ikan Atlantik salmon (Salmo salar) ukuran 100 g dari 63, 84%
menjadi 74, 06%, dan Yulisman (2006) pada ikan baung (Hemibagrus nemurus)
ukuran 6,9 g dari 64,5% menjadi 87,0%. Ketiadaan enzim fitase dalam pakan D
menyebabkan P yang terdapat dalam bahan nabati masih terikat dalam asam fitat,
sehingga kecernaan P menjadi rendah.
Kecernaan
P pakan yang diberi penambahan enzim fitase dengan atau tanpa asam sitrat
ternyata sama, keduanya mempunyai kecernaan P yang tinggi. Penambahan asam sitrat bertujuan untuk
membuat kondisi pH pakan sebesar 5,5.
Pada pH tersebut enzim fitase akan bekerja dengan optimal, sehingga
proses pelepasan P dari asam fitat akan maksimal. Masumoto et al. (2001)
menyatakan bahwa umumnya pH pakan yang menggunakan bahan nabati bungkil kedelai
berada pada kisaran 6,5, dimana pada pH tersebut aktivitas enzim fitase sudah
mulai menurun, sehingga perlu ditambahkan asam sitrat untuk
membuat kondisi pH berada pada kisaran 5,5.
Pakan B yang hanya ditambahkan enzim fitase tanpa pemberian asam sitrat,
ternyata memberikan hasil yang sama terhadap kecernaan P. Proses hidrolisis
asam fitat dimulai pada saat seluruh bahan baku pakan sudah tercampur. Pada
penelitian ini diperoleh bahwa pH pakan yang menggunakan bahan nabati bungkil
kedelai dan polard pH pakannya sebesar 6,1. Pada pH tersebut enzim fitase
ternyata mampu bekerja dengan baik sehingga proses pelepasan P dari asam fitat
juga dapat maksimal dilakukan. Sheuermann et al. (1988) dalam Beruah et al.
(2004) menyatakan bahwa enzim fitase aktif bekerja pada rentang pH 4-6,9.
Adanya
perbedaan nilai rasio P terlarut/P total
Bahwa
enzim fitase melepaskan P dari bahan nabati terjadi melalui dua tahap. Pertama
pada saat pembuatan pakan: pada saat pakan diinkubasi pada suhu 37 oC,
maka proses pelepasan P dari asam fitat terjadi. Hal ini terlihat dari nilai
rasio P terlarut/P total dari pakan tanpa penambahan enzim fitase sebesar 19,5%
menjadi 44,1% pada pakan dengan penambahan enzim fitase. Tahap kedua dapat
dijelaskan dengan melihat adanya perbedaan nilai rasio P terlarut/P total dari
pakan dengan penambahan enzim fitase dengan nilai kecernaannya. Nilai rasio P terlarut/P total yaitu 39,7% pada
pakan B dan 44,1% pada pakan C, tetapi nilai kecernaan P meningkat menjadi
86,1% untuk pakan B dan 85,05% untuk pakan C. Hal ini menjelaskan bahwa pada
saat makanan masuk dalam saluran pencernaan, enzim fitase masih aktif bekerja.
Hal ini senada dengan pendapat Masumoto et al. (2001) bahwa melalui proses
inkubasi, pakan yang diberi penambahan enzim fitase 50 mg/100 g bahan nabati
pada suhu 37 oC selama 2 jam memberikan nilai P terlarut/P total sebesar 58,7%
dan nilai kecernaan P nya 95,4%.
Kecernaan
P akan berpengaruh pada nilai P absolut yang dicerna akibat dari jumlah P yang
dikonsumsi yang berbeda sehingga P yang tersedia dalam tubuh juga berbeda. Nilai konsumsi P yang tinggi dan didukung
kecernaan yang tinggi menyebabkan nilai P yang dicerna juga tinggi, sehingga
konsentrasi P dalam serum darah akan tinggi. Konsentrasi P dalam serum darah
menggambarkan hasil absorbsi P yang ditransport. Djodjosubagio (1990)
menyatakan bahwa penyebaran fosfor dalam tubuh melalui peredaran darah dan
cairan antar sel. Material pakan yang tidak dapat dicerna oleh ikan akan
dikeluarkan melalui feses. Pemberian enzim fitase dalam pakan mampu mengurangi
ekskresi P yang terbuang melalui feses. Ikan yang diberikan pakan dengan
penambahan enzim fitase, jumlah limbah fosfor yang dihasilkan lebih rendah
dibanding dengan perlakuan tanpa pemberian enzim fitase. Ini membuktikan bahwa
dengan penambahan enzim fitase fosfor yang terikat dalam asam fitat mampu
diuraikan sehingga dapat dimanfaatkan oleh ikan. Hasil berbeda pada perlakuan D
dan A dimana fosfor yang terikat dalam asam fitat tidak dapat cerna oleh ikan
sehingga limbah fosfornya tinggi. Hewan–hewan monogastrik seperti ikan tidak
mampu mencerna asam fitat oleh karenanya akan dilepas ke perairan. Asam fitat yang diekskresikan ini selanjutnya
akan mengalami degradasi oleh mikroba penghasil fitase dan melepaskan
fosfor. Fosfor dalam jumlah yang besar
masuk ke perairan akan memicu timbulnya eutrofikasi di perairan (Baruah et al.
2004).
Penurunan
limbah P yang dihasilkan karena penambahan enzim fitase dalam pakan, dapat
lebih jelas jika kita mengitungnya berdasarkan 1 kg produksi ikan. Untuk
memperoleh 1 kg ikan lele, maka dengan penambahan enzim fitase dalam pakan,
limbah P yang dihasilkan hanya 1,7 g, atau lebih rendah sekitar 58 % dari pakan
kontrol (pakan A). Hasil yang sama
diperoleh Teles et al. (1998) pada ikan sea bass (Dicentrachus labrax) mampu
mengurangi limbah P sebesar 58%, Sajjadi dan Carter (2004) pada ikan Atlantic
salmon (Salmo salar) mampu menurunkan limbah P sebesar 52%, Vielma et al.
(2000) pada ikan rainbow trout (Oncorhynchus myksis) sebesar 47%, dan Yulisman
(2006) pada ikan baung (Hemibagrus nemurus) menurunkan limbah P sebesar 80%
Komposisi
mineral P dalam serum darah menunjukkan bahwa pemberian enzim fitase mampu
meningkatkan kadar P dalam serum darah. Mineral P yang mempunyai kecernaan
tinggi tentunya akan lebih mudah diserap oleh usus dan selanjutnya oleh darah
ditransport ke seluruh tubuh. Hal ini dibuktikan ikan yang diberikan pakan
dengan penambahan enzim fitase yang memiliki kecernaan P tinggi, kandungan
mineral dalam serum darah juga lebih tinggi dibanding perlakuan yang tanpa
pemberian enzim fitase. Masumoto et al. (2001) melaporkan pemberian enzim
fitase pada pakan ikan Japanese flounder, konsentrasi P dalam serum darah lebih
tinggi (8,1 mg/100 ml) dibanding pada ikan yang tanpa diberi tambahan enzim
fitase (5,9 mg/100 ml).
Meningkatnya
mineral P yang terserap akan dapat meningkatkan aktivitas metabolisme, yang
pada gilirannya akan meningkatkan pertumbuhan. Hal ini berkaitan dengan fungsi
P yang sangat besar peranannya dalam berbagai proses metabolisme dalam tubuh.
Mineral P diperlukan pada saat proses fosforilasi dalam pembentukan
Adenosintrifosfot (ATP). ATP merupakan
senyawa fosfor berenergi tinggi yang diperlukan untuk semua aktivitas tubuh
(Page 1989). Meningkatnya ketersediaan P dalam tubuh, tentunya akan lebih
banyak menyediakan P untuk sintesis protein. Hal ini berkaitan dengan
penggunaan P untuk proses sintesis protein, dimana dalam proses sintesis
protein sangat diperlukan mineral P. Proses sintesis protein sedikitnya membutuhkan
empat ATP yaitu: 1 ATP dalam proses pengikatan aminoasil t-RNA dalam daur
perpanjangan, 1 ATP untuk kerja mekanik translokasi ribosom, dan 2 ATP untuk
pembentukan aminoasil t-RNA dan asam amino (Page 1989). Ikan yang diberi pakan
B dan C ternyata memanfaatkan mineral P lebih banyak dibanding pakan A dan D.
Meningkatnya penggunaan mineral P oleh tubuh tentunya akan meningkatkan proses
sintesis protein. Efek ini terlihat pada retensi protein, dimana pada pakan B
dan C retensi proteinnya lebih tinggi dibanding pakan A dan D, walupun laju
pertumbuhan harian antara ikan yang diberi pakan B dan C sama dengan pada pakan
kontrol (pakan A).
Selain
untuk proses sintesis protein mineral P juga sangat berperan dalam pembentukan
tulang. Hal ini terlihat pada kandungan
mineral P dalam tulang, ikan yang menggunakan mineral P lebih banyak (B dan C)
kandungan mineral P dalam tulang lebih tinggi. Hasil ini sesuai dengan Li et
al. (2004) dimana pemberian enzim fitase 500 unit per kilogram pakan ikan
channel catfish dapat meningkatkan mineral P pada tulang dari 7,4 % menjadi
9,8%, Hughes dan Soares (1998) pada ikan
striped bass (Monorene saxatilis) dari 59,2 mg/g menjadi 78,1 mg/g. Kekurangan
fosfor mengakibatkan rendahnya kandungan fosfor dalam tulang, hal ini disebabkan
fosfor yang ada, sebagian besar digunakan untuk kebutuhan maintence tubuh
sehingga fosfor yang dideposisi pada tulang menjadi rendah. Distribusi mineral
P dalam tubuh tubuh sebagian besar berada di tulang sebanyak 85%, dan sebagian kecil dalam
jaringan tubuh sebanyak 15% (Georgievskii 1982). Meningkatnya laju pertumbuhan,
tentunya akan meningkatkan konsentrasi P dalam tubuh, hal ini terlihat pada
kandungan mineral P dalam tubuh dimana ikan yang diberi pakan B dan C kandungan
mineral dalam tubuh lebih tinggi dibanding dengan pakan D, karena laju
pertumbuhan antara B dan C sama dengan pakan A, maka kandungan mineral P dalam
tubuh juga sama.
Komposisi
mineral lain seperti Ca dan Zn tidak menunjukkan perbedaan, baik dalam tubuh,
tulang maupun serum darah. Hasil yang sama dilaporkan oleh Masumoto et al.
(2001) penambahan enzim fitase dalam ikan Japanese flounder tidak memberikan
dampak terhadap kandungan Ca dan Zn dalam serum darah. Hal ini mungkin
disebabkan karena ikan mempunyai kemampuan menyerap mineral Ca dari
lingkungannya, sehingga dampak pemberian enzim fitase dalam pakan tidak
terlihat. Pakan yang tanpa penambahan enzim fitase mungkin kekurangan Ca dalam
pakannya, tetapi bisa dipenuhi dengan cara mengambilnya dari lingkungan,
sehingga konsentrasi Ca dalam dalam tubuh, tulang maupun serum darah darah
tidak menunjukkan perbedaan. Hasil
berbeda dilaporkan oleh Hughes dan Soares (1998) pemberian enzim fitase pada
ikan striped bass ukuran 160 g mampu meningkatkan konsentrasi Ca dari 88,2 mg/g
menjadi 101,3 mg/g dalam tulang. Perbedaan ini mungkin disebabkan perbedaan
bahan baku pakan dan spesies ikan yang digunakan. Untuk mineral Zn, penambahan
enzim fitase tidak memberikan peningkatan konsentrasi Zn baik di tubuh, tulang
maupun serum darah. Hasil yang sama diperoleh Masumoto et al. (2001) menyatakan
bahwa penambahan enzim fitase 50 mg/100 g bungkil
kedelai tidak mempengaruhi konsentrasi Zn dalam serum darah.
Meningkatnya
proses metabolisme dalam tubuh akan memacu ikan untuk mengkonsumsi pakan lebih
banyak. Semakin banyak pakan yang dikonsumsi dan penggunaan pakan yang efisien,
sehingga pertumbuhan akan meningkat. Hal ini dapat dilihat pada ikan yang
diberi pakan B, C dan A, dimana kebutuhan fosfor mencukupi, maka semua proses
metabolisme berjalan dengan lancar. Pada keadaan ini ikan akan memanfaatkan
pakan dengan efisien, sehingga akan meningkatkan laju pertumbuhannya. Di sisi lain ikan yang diberikan pakan D,
diduga kekurangan P akibatnya penggunaan pakan tidak efisien, sehingga
memberikan nilai laju pertumbuhan yang rendah juga. Lall (2002) menyatakan
bahwa kekurangan fosfor akan menyebabkan rendahnya efisiensi pakan dan menurunkan
laju pertumbuhan. Hasil ini sesuai dengan penelitian dari Li et al (2004)
pada pemberian enzim fitase 500 unit per
kg pakan mampu mengganti pemberian dicalsium fosfat dalam pakan dan
mempengaruhi pertumbuhan ikan channel catfish, Debnath et al. (2005), pada ikan Pangasius
pangasius. Keceranaan P yang rendah pada
pakan yang tidak diberikan enzim fitase menyebabkan mineral P yang tersedia
tidak mencukupi kebutuhan tubuh, sehingga
proses metabolisme dalam tubuh terganggu dan menyebabkan pertumbuhanya
lebih rendah.
Nilai
konversi pakan berhubungan erat dengan laju pertumbuhan dan konsumsi
pakan. Ketersedian P dalam tubuh yang
cukup membuat ikan lebih efisien dalam memanfaatkan pakan, sehingga memberikan
nilai konversi pakan yang kecil, ini terlihat pada pakan B dan C dan A. Di sisi
lain pada pakan tanpa penambahan enzim fitase nilai konversi
pakan paling besar (pakan D). Sesuai dengan penelitian Debnath et al. (2005)
penambahan enzim fitase mampu menghasilkan nilai konversi pakan yang lebih baik
dibandingkan pada pakan yang tidak diberikan enzim fitase pada ikan Pangasius
pangasius, Yulisman (2006) pada ikan baung (Hemibagrus nemurus).
Enzim
fitase dengan dosis 50 mg/100 g bahan nabati dapat digunakan dalam formulasi
pakan ikan lele untuk mengganti penambahan fosfor anorganik, dan mengurangi
limbah fosfor.
0 comments:
Post a Comment