Sunday, November 24, 2013

BAKTERI PENYEBAB PENYAKIT PADA KRUSTASEA

November 24, 2013 Posted by Media Penyuluhan Perikanan Pati No comments


Era kejayaan budidaya udang windu telah berlalu dan sekarang menghadapi masa sulit yang berkepanjangan di wilayah Kabupaten Pati. Berbagai bakteri yang umum yang sering ditemukan sebagai penyebab penyakit pada krustasea, antara lain Vibrio spp., Aeromonas spp., Salmonella spp.
1.         Vibrio spp.
Salah satu spesies dalam kelompok ini yang paling banyak menyebabkan penyakit dan kematian pada budidaya krustasea adalah Vibrio harveyi. Bakteri ini merupakan penyebab penyakit kunang-kunang atau penyakit berpendar, karena krustasea yang terinfeksi akan terlihat terang dalam keadaan gelap (malam hari). Pada dasarnya bakteri ini bersifat oportunistik dan akan menjadi patogen jika pada media pemeliharaannya terjadi goncangan secara drastik, seperti perubahan suhu, pH, salinitas dan faktor lainnya. Menurut ROZA & ZAFRAN (1998) batas aman keberadaan populasi bakteri di dalam bak pemeliharaan adalah 8,35 x 104 koloni/ml. Bakteri ini merupakan penyebab utama terhadap tingginya tingkat kematian pada larva krustasea.
Jenis-jenis bakteri selain Vibrio harveyi yang dapat menyebabkan penyakit pada krustasea, adalah V. carcharial, V. alginolyticus dan V. parahaemolyticus (PANRENRENGI et al, 1993). Patogenesitas ketiga bakteri tersebut terhadap larva krustasea pada stadium zoea msoh lebih rendah dibandingkan V. harveyi. Selain ketiga bakteri Vibrio di atas, Vibrio anguillarum juga dapat menyebabkan timbulnya penyakit yang menyebabkan kerusakan lapisan khitin pada kulit, sehingga terjadi luka-luka di pinggiran kulit pada ruas perut I-III dan uropoda disertai dengan timbulnya bercak-bercak hitam pada luka, karena terjadinya akumulasi pigmen hitam. Kasus ini hampir selalu dijumpai pada stok induk udang yang disimpan dalam bak.
Selain menimbulkan penyakit pada biota budidaya, bakteri dapat pula mengkontaminasi biota budidaya, sehingga ketika biota tersebut dikonsumsi akan menimbulkan penyakit/ keracunan pada konsumen. MOLITORIS et al, dalam INDARYANTI (1999) berhasil mengisolasi 2 jenis Vibrio, yaitu V alginolyticus dan V. parahaemolyticus dari Teluk Jakarta dari berbagai makanan laut, antara lain ikan mackerel, udang dan cumi-cumi. Selanjutnya disimpulkan bahwa kedua jenis Vibrio ini merupakan jenis bakteri laut setempat (autochthonous). Vibrio parahaemolyticus dikenal sebagai penyebab gastroenteritis di hampir seluruh dunia dan dapat diisolasi dari makanan laut serta tempat-tempat perairan estuaria, neritik dan teluk.
Vibrio alginolyticus dan V. parahaemolyticus merupakan agen penyebab septikemia pada udang saat periode larva dan post larva. Penyakit ini timbul sebagai akibat penyebab lain yaitu defisiensi vitamin C, toksin, luka dan karena stres berat (LIGHTNER dalam DARMONO, 1995). Vibrio parahaemolyticus mampu menyebabkan lisis pada sel-sel darah tubuh inang.
Sebagai organisme aquatik, Vibrio spp mempunyai kelimpahan yang tinggi pada lingkungan perairan dan biasanya berhubungan erat dengan organisme laut. Umumnya bakteri ini merupakan patogen oportunistik untuk hewan poikiloterm dan homoioterm di perairan (PARKINS, 1990).
2.         Aeromonas spp
Aeromonas spp, terutama dari jenis Aeromonas hydrophila, merupakan bakteri yang dapat ditemukan secara luas dalam lingkungan perairan dan telah lama diketahui sebagai bakteri patogen bagi biota air tawar maupun air laut, karena bakteri Aeromonas spp ini bersifat saprofitik dan parasit obligat (POST, 1983). Hal ini telah dibuktikan dalam penelitian yang dilakukan oleh penulis, yaitu dari 10 sampel yang berasal dari berbagai lingkungan media pemeliharaan kepiting, hanya satu sampel yang tidak mengandung bakteri Aeromonas spp. Selain itu RUYITNO & HATMANTI (2001) dalam penelitiannya di perairan Kuala Tungkal Jambi, telah menemukan bakteri Aeromonas spp. dan Proteus spp. pada 12 contoh air. Bakteri ini mampu hidup optimal pada kisaran suhu 25 30° C. Kondisi ini memungkinkan Aeromonas spp berpotensi menyebabkan penyakit ikan di Indonesia. Menurut RYANDINI dkk. (1998) keberadaan bakteri Aeromonas spp dan Vibrio spp merupakan indikasi munculnya wabah penyakit biota laut khususnya pada udang.
3.         Salmonella spp
Penyakit yang disebabkan oleh bakteri ini disebut sebagai Salmonellosis. Pada krustasea maupun biota lain yang dikonsumsi oleh manusia, tidak diperbolehkan terdapat bakteri ini, karena dapat mengakibatkan demam enterik, septikemia dan gastroenteritis (WORLD HEALTH ORGANIZATION, 1977). Berkaitan dengan hal tersebut, maka pada lingkungan perairan budidaya biota laut dan kehidupan biota laut harus diupayakan bebas dari bakteri Salmonella spp. (MENKLH, 1988). Jika suatu perairan telah terkontaminasi oleh Salmonella spp., menunjukkan adanya penurunan kualitas air.
4. Bakteri patogen lain.
Bakteri patogen lain yang sering ditemukan pada lingkungan tempat hidup krustasea, terutama rajungan/kepiting dan udang windu adalah Shigella spp., Pseudomonas spp., Citrobacter spp.,
Yersinia spp. dan Proteus spp., Shigella spp. dan Pseudomonas spp. merupakan bakteri patogen bagi biota, sedangkan Citrobacter spp., Yersinia spp. dan Proteus spp. pada awalnya bukan merupakan patogen, namun pada suatu saat apabila kondisi lingkungannya memungkinkan dapat pula menyebabkan penyakit (bersifat oportunis).
Selain bakteri tersebut di atas, pada budidaya udang di tambak ditemukan pula jenis bakteri yang berbentuk benang, yaitu
Leucothrix sp. Bakteri tersebut sering terdapat pada insang, permukaan badan dan kaki-kaki renang udang. Sel-sel benang dari bakteri Leucotrix sp. tersebut membentuk anyaman, menempel pada permukaan insang dan bagianbagian badan lain. Bakteri tersebut tidak merusak jaringan tubuh, tetapi merupakan tempat menempelnya lumut-lumut di air. Insang yang ditumbuhi bakteri Leucothrix sp. warnanya menjadi coklat pucat atau kehijauan, dan semakin penuh dengan kotoran dan jasad penempel, sehingga mengganggu proses pernafasan. Bakteri ini sering tumbuh dari sisasisa makanan, membentuk lapisan putih di atas endapan partikel organik di dasar bak hatchery. Pada infeksi berat mengakibatkan kematian udang terutama terjadi saat berganti kulit atau segera setelah berganti kulit (BALAI PERTANIAN CIAWI, 1990),
CARA PENANGGULANGAN PENYAKTT
BAKTERIAL PADA BUDIDAYA KRUSTASEA
Beberapa cara penanggulangan penyakit bakterial pada budidaya krustasea antara lain adalah secara kimia, fisika, dan biologis, yang akan digambarkan pada tulisan di bawah ini:
1.  Penanggulangan Penyakit Bakterial secara Kimia
Bahan-bahan kimia yang sering digunakan untuk penanggulangan penyakit bakterial adalah antibiotik, yaitu melalui pengrusakan membran sel, sehingga sel menjadi lisis. Penggunaan antibiotik ini dapat dilakukan pada stadium larva maupun dewasa. Namun hasil yang diperoleh kurang memuaskan dan menimbulkan efek samping yang merugikan lingkungan, diantaranya terjadinya keracunan bahkan dapat menimbulkan kematian terhadap biota lain yang menguntungkan (RUKYANI & TAUHID, 1984). Sedangkan biota target dapat mengalami resistensi terhadap bahan kimia tersebut.
Penggunaan antibiotik secara rutin yang banyak diterapkan oleh panti benih komersial di Indonesia, dapat menyebabkan munculnya strain Vibrio yang resisten terhadap antibiotik. Hal ini dibuktikan oleh ZAFRAN dkk. (1997b), pada penelitian tentang resistensi isolat Vibrio dari beberapa panti benih Udang Windu (Peneaus monodon) terhadap antibiotik. Uji antibiotik yang digunakan adalah Kloramfenikol (CP), Oksitetracyclin (OTC), dan Furazolidon (FZ) terhadap 7 jenis bakteri Vibrio yang diperoleh dari panti benih penelitian dan panti benih komersial di Bali dan Jawa Timur. Hasil penelitian menunjukkan bahwa isolat bakteri Vibrio yang disolasi dari panti benih komersial ternyata lebih resisten terhadap 3 jenis antibiotik daripada Vibrio yang diisolasi dari panti benih penelitian, yaitu masing-masing 1,9 ppm; 9,8 ppm dan 15 ppm. Penelitian tersebut menunjukkan bahwa penggunaan antibiotik secara terus menerus akan menimbulkan resistensi bakteri patogen.
Penggunaan antibiotik ini dapat dilakukan pada larva maupun pada induk krustasea. Pengendalian V. harveyi pada larva kepiting bakau (Scylla serrata, Forskal) melalui desinfeksi induk selama pengeraman telur telah dilakukan oleh ROZA & JOHNNY (1999).
CORLIS dalam BALAI PERTANIAN CIAWI (1990) berhasil menekan pertumbuhan V. alginolyticus dengan menggunakan antibiotik yang langsung dilarutkan dalam air atau dicampur dalam makanan. Dosis efektif yang digunakan adalah Terramycin 360-387 mg/kg berat badan per hari selama 14 hari. Selain itu, untuk menekan pertumbuhan V. anguillarum digunakan campuran Malachit Green dan Formalin dengan dosis 0,05 - 0,1 mg/
Selain menggunakan antibiotik, terdapat pula cara lain yang lebih efektif, yaitu menggunakan bahan-bahan kimia yang merupakan ekstrak aktif biota alami laut. Dewasa ini mulai dikembangkan penelitian mengenai kemungkinan penggunaan bioaktif untuk menekan perkembangan bakteri patogen. Penelitian mengenai penggunaan ekstrak spons Auletta sp. untuk menanggulangi pertumbuhan Vibrio spp. pada udang windu (Peneaus monodon) telah dilakukan oleh MULIANI dkk. (1998a). Ekstrak spons tersebut digunakan untuk merendam larva yang telah terinfeksi oleh Vibrio spp. Hasil penelitian menunjukkan bahwa ketiga jenis spons tersebut mampu menekan perkembangan populasi dan menekan patogenitas Vibrio spp sehingga meningkatkan sintasan udang windu (Peneaus monodon). Dosis yang efektif untuk digunakan berkisar antara 200 dan 300 ppm.
EFFENDI & SUHARDI (1998) juga telah meneliti kemungkinan tumbuhan mangrove digunakan sebagai antibakteri pada penyakit udang yaitu Vibrio parahaemolyticus dan V. harveyi. Pada penelitian ini telah digunakan empat jenis tumbuhan yaitu Rhizophora apiculata, Bruguiera gymnorrhiza, Avicennia alba dan Nypa fruticans. Hasil penelitian menunjukkan bahwa V. parahaemolyticus dapat dihambat oleh keempat jenis tumbuhan uji, sedangkan Vibrio harveyi dapat ditekan oleh R. apiculata, B. gymnorrhiza dan N. fruticans. Berdasarkan tingkat daya hambat zat antibakteri yang ditunjukkan oleh terbentuknya zona hambat (inhibition zone) dari keempat jenis tumbuhan uji, diperoleh bahwa N. fruticans (nipah) membentuk zona hambat yang paling luas yang berarti mempunyai daya hambat yang paling baik. Berdasarkan penelitian tersebut, dapat disimpulkan bahwa zat antibakteri yang dikandung mangrove cukup tinggi, sehingga mempunyai potensi untuk dikembangkan dalam penanganan penyakit udang di tambak.
2.         Penanggulangan Penyakit Bakteri secara Fisika
Teknik secara fisika merupakan cara lain di samping penggunaan teknik secara kimia. Secara garis besar, teknik ini ialah dengan pengaturan kondisi lingkungan pemeliharaan krustasea, di antaranya meliputi pengaturan suhu, salinitas, pH, maupun teknis pemberian pakan. Menurut JUWANA (1997) keberadaan bakteri patogen Aeromonas spp. dan Pseudomonas spp. dapat ditanggulangi dengan mengatur salinitas air laut yang digunakan sebagai media pemeliharaan pada kisaran 28 ‰, suhu 30°C dan penggunaan diet semi murni AMZV1L1T, selain nauplii Artemia untuk pemeliharaan larva rajungan. Sebagai antisipasi terdapatnya bakteri patogen pada air pemeliharaan, dilakukan pola penyaringan secara terus menerus atau resirkulasi (HEASMAN & FIELDER, 1983).
3.         Penanggulangan Penyakit Bakteri secara Biologis
Alternatif teknik yang paling efektif untuk mencegah dan menanggulangi terjadinya kontaminasi pada budidaya krustasea adalah secara biologis. Cara ini dilakukan dengan pemberian vaksinasi, baik melalui oral maupun penyuntikan, penggunaan musuh alami atau kompetitor bagi bakteri patogen.
Penggunaan cara vaksinasi untuk menekan pertumbuhan V. harveyi pada budidaya krustasea telah dilakukan oleh ZAFRAN dkk. (1997a), yaitu dengan menggunakan penambahan bakteri ke dalam pakan mikro. Bakteri yang digunakan dalam penelitian tersebut adalah bakteri V. harveyi yang dimatikan (vaksin). Bakteri tersebut kemudian dimasukkan dalam pakan mikro larva udang windu (Peneaus monodon). Pakan mikro diberikan terlebih dahulu selama satu hari kemudian dilakukan uji tantang terhadap V. harveyi hidup. Hasil penelitian menunjukkan bahwa pemberian V. harveyi mati sebagai vaksin ke dalam pakan mikro, dapat meningkatkan ketahanan larva udang windu (Peneaus monodon) terhadap infeksi V. harveyi, sehingga sintasannya dapat lebih tinggi.
Teknik lain secara biologis adalah menggunakan musuh alami atau kompetitor bakteri patogen. Teknik ini menggunakan bakteri maupun organisme lain yang dapat berperan sebagai musuh alami maupun kompetitor bagi bakteri patogen. Penggunaan berbagai jenis bakteri untuk menghambat perkembangan V. harveyi pada pemeliharaan kepiting bakau, telah dilakukan oleh TAUFIQ & ZAFRAN (1997). Penelitian ini dimulai dengan mencari isolat bakteri yang mempunyai daya hambat yang baik terhadap bakteri patogen dimaksud. Pada penelitian TAUFIQ & ZAFRAN (1997) diperoleh 3 jenis bakteri yang merupakan bakteri dari genus Vibrio. Ketiga bakteri tersebut setelah ditambahkan pada air pemeliharaan selama 24 jam dan diujikan, ternyata mempunyai kemampuan menekan perkembangan V. harveyi dan menurunkan patogenitasnya terhadap larva kepiting bakau. Selain menggunakan bakteri lain, musuh alami atau kompetitor dapat berupa fitoplankton. Pemanfaatan fitoplankton untuk menekan perkembangan V. harveyi pada budidaya udang windu telah dilakukan oleh TAUFIQ dkk (1996). Penelitian ini berupa penambahan 3 jenis fitoplankton yaitu Chaetoceros  ceratospora,   Tetraselmis tetrathele dan Thalassiosira spp. pada media pemeliharaan udang windu yang diinfeksi dengan kultur murni V. harveyi. Hasil menunjukkan bahwa setelah inkubasi selama 24 jam pemanfaatan fitoplankton ini dapat meningkatkan perkembangan larva. Chaetoceros ceratospora memperlihatkan kemampuan yang lebih unggul dibandingkan 2 jenis fitoplankton lainnya.
YUNUS dkk. (1998) telah melakukan penelitian mengenai pengaruh pemberian jenis fitoplankton yang berbeda terhadap sintasan larva kepiting bakau (Scylla serata). Penelitian ini bertujuan untuk mendapatkan jenis fitoplankton yang sesuai untuk pemeliharaan larva kepiting bakau pada masa stadia awal. Jenis fitoplankton yang digunakan adalah Nannochloropsis spp., Tetraselmis spp. dan Chaetoceros spp. Hasil yang diperoleh menunjukkan bahwa Chaetoceros spp. dan Nannochloropsis spp. mempunyai kemampuan yang lebih tinggi dibandingkan Tetraselmis spp., yaitu masing-masing 17,67 %, 16,00 % dan 4,00 %. Oleh karena itu Chaetoceros spp. dan Nannochloropsis spp. merupakan jenis fitoplankton yang sesuai untuk pemeliharaan larva kepiting bakau pada stadia awal.
Selain itu, penggunaan kerangkerangan sebagai biofilter terhadap kelimpahan dan komposisi jenis bakteri pada budidaya udang windu (Peneaus monodon) dengan sistem resirkulasi air telah dilakukan oleh MULIANI dkk. (1998b). Penelitian tersebut dimaksudkan untuk melihat pengaruh penggunaan kerang-kerangan terhadap komposisi jenis dan kelimpahan bakteri pada pemeliharaan udang windu (Peneaus monodon) dengan sistem resirkulasi air. Udang windu yang digunakan adalah ukuran pascalarva sebanyak 100 individu / bak, sebagai hewan uji. Kerang yang digunakan adalah kerang hijau (Perna viridis), tiram (Crassostrea iredalei) dan kerang bakau (Geloina coaxan), masing-masing sebanyak 250 gram bobot daging sebagai biofilter. Dari hasil penelitian yang dilakukan memberi gambaran bahwa kandungan jumlah bakteri dalam wadah pemeliharaan terendah adalah pada perlakuan yang menggunakan tiram sebagai biofilter, kemudian kerang bakau, dan yang terakhir adalah kerang hijau dan kontrol (U2 < U3 < U1 < Uk). Kualitas mikrobiologis air laut yang diresirkulasi sama dengan air laut baru yang tidak diresirkulasi. Hasil identifikasi terhadap komposisi jenis bakteri pada semua perlakuan relatif sama yaitu Acinetobacter spp., Aeromonas spp., Bacillus spp., Enterobacteriaceae, Flavobacterium spp., Micrococcus spp., Pseudomonas spp., Staphylococcus spp. dan Vibrio spp.
KESIMPULAN
1.      Bakteri yang dapat menyebabkan penyakit pada budidaya krustasea terdiri dari Vibrio spp., Aeromonas spp., Salmonella spp., dan bakteri lainnya, seperti Shigella spp., Pseudomonas spp., Citrobacter spp., Yersinia spp. dan Proteus spp., termasuk Leucothrix sp.
2.      Penyakit bakterial pada budidaya krustasea dapat dikendalikan/ditanggulangi menggunakan cara kimia, fisika dan biologis.
3.      Pemilihan teknik penanggulangan penyakit tersebut disesuaikan dengan kondisi lingkungan, teknik pemeliharaan dan kemampuan finansial yang ada.

0 comments:

Post a Comment