Komoditas rumput laut merupakan komoditas yang mempunyai nilai startegis ekonomi yang besar baik sebagai penggerak ekonomi masyarakat maupun sebagai penopang perekonomian nasional. Indonesia sebagai bagian dari Coral Three Angel (segitiga karang dunia) disuguhi begitu besar potensi dan ragam jenis sumberdaya rumput laut. Hasil identifikasi menyebutkan bahwa perairan Indonesia mmempunyai lebih dari 550 jenis rumput laut potensial, hanya saja dalam hal pemanfaatan sampai saat ini tidak lebih dari 5 jenis rumput laut bernilai potensial tinggi yang baru mampu dimanfaatkan. Mewaspadai tantangan pada zona hulu
Merujuk pada data statistik, produksi rumput laut selalu mengalami tren positif, dimana produksi rumput laut (untuk Gracilaria dan E. Cottoni) mengalami kenaikan dari tahun ke tahun. Dalam kurun waktu tahun 2010 s/d 2013 misalnya produksi rumput laut nasional untuk kedua jenis tersebut mengalami kenaikan rata-rata per tahun sebesar 27,88%. Namun demikian, kinerja peningkatan produksi tersebut tidak bisa lantas menjadikan semuanya tidak akan mengalami tantangan ke depan. Beragam fenomena permasalahan yang bisa muncul harus sudah menjadi perhatian serius sebagai upaya menjamin usaha budidaya terus berkesinambungan.
Kita bisa lihat misalnya, peningkatan produksi rumput laut saat ini harus dihadapkan pada sebuah tantangan salah satunya adalah fenomena penurunan daya dukung lingkungan perairan dan perubahan iklim global yang secara langsung berdampak pada pertumbuhan rumput laut yang dibudidayakan. Kondisi ini dapat dilihat bahwa pada beberapa lokasi misalnnya telah terjadi pergeseran pola musim tanam yang lebih pendek dari sebelumnya. Berbagai konflik pemanfaatan ruang juga disinyalir menyebabkan usaha rumput laut mulai tereduksi oleh sektor lain semisal parawisata. Kasus ini sudah mulai terjadi di beberapa daerah. Di Karimunjawa misalnya terjadi penurunan aktivitas usaha budidaya rumput laut secara signifikan seiring perkembangan sektor parawisata; di Kutai Kartanegara aktivitas usaha budidaya rumput laut harus berbenturan dengan jalur lintasan kapal pengangkut batu bara; sedangkan di Lombok Barat bagian selatan geliat usaha budidaya rumput laut megalami penurunan akibat perubahan lingkungan yang fluktuatif dan degradasi kualitas bibit. Masih banyak lagi tantangan permasalahan termasuk aspek non teknis yang berkaitan dengan masalah di hilir yang sudah barang tentu berdampak langsung terhadap geliat usaha budidaya di hulu, misalnya posisi tawar dan nilai ttambah yang masih minim dirasakan oleh para pembudidaya.
Ada beberapa hal penting yang harus segera dilakukan sebagai upaya meminimalisir dan mengantisipasi tantangan di zona hulu, yaitu :
Pertama, terkait fenomena produksi yang fluktuatif di beberapa daerah, maka perlu ada upaya :
(1) segera melakukan identifikasi untuk menentukan peta kesesuaian lahan budidaya untuk mengantisipasi penurunan kaualitas lingkungan dan perubahan iklim; (2) mempercepat perekayasaan terkait inovasi bioteknologi rumput laut untuk menghasilkan bibit rumput laut unggul dan adaptif dan melakukan percepatan distribusi bibit hasil kultur jaringan ke sentral-sentral produksi dan kawasan potensial.
Kedua, kaitannya dengan potensi konflik penataan ruang, maka perlu segera untuk mendorong Pemda (sesuai kewennangannya) untuk menyusun dan menetapkan Rencana Zonasi Pemanfaatan Willayah Pesisir, Laut dan Pulau-Pulau Kecil khususnya zonasi kawasan budidaya laut, dimana di dalamnya mencakup zonasi untuk budidaya rumput laut sebagai acuan dalam pemanfaatan ruang di kawasan sentral produksi dan kawasan potensial baru.
Ketiga, dalam upaya meningkatkan nilai tambah dan posisi tawar pembudidaya, maka perlu didorong upaya : (1) memfasilitasi terbangunnya sebuah kemitraan yang efektif dengan industri di setral-sentral produksi, sebagai upaya dalam mengurangi mata rantai distribusi pasar dan mempermudah kontrol terhadap stabilitas harga dan kualitas produk; (2) menyusun standar produk hasil panen budidaya, untuk kemudian disosialisasikan secara massive dan ditetapkan sebagai aturan yang wajib.
Hiilirisasi rumput laut nasional belum optimal
Ada tantangan yang kerap kali menjadi momok dalam mewujudkan kedaulatan industri rumput laut nasional yaitu bahwasannya anugerah sumberdaya rumput laut yang Indonesia miliki pada kenyataannya belum mampu dirasakan dan dimanfaatkan secara optimal, dimana nilai tambah produk rumput laut belum sepenuhnya secara langsung dirasakan di dalam negeri. Hal ini disebabkan karena Indonesia masih sebatas menjadi eksportir raw material, sementara end product lebih banyak dihasilkan oleh negara-negara importir seperti China, sehingga mereka lebih banyak merasakan nilai tambah. Ironisnya lagi setiap tahun Indonesia harus mengimpor produk setengah jadi seperti Refiine Carrageenan dan sudah barang tentu end product, inilah yang menyebabkan Indonesia mempunyai posisi tawar rendah karena pada kenyataannya harga komoditas rumput laut lebih banyak dikendalikan oleh negara-negara importir khususnya China.
Disatu sisi, upaya untuk memperkuat dan mengembangkan industri nasional belum dapat dilakukan secara optimal. Tingginya nilai investasi dalam membangun sebuah industri nasional skala besar menjadi salah satu penghambat pertumbuhan industri rumput laut nasional. Masalah lain adalah belum ada jaminan ketersediaan bahan baku secara kontinyu baik kuantitas maupun kualitas yang dirasakan Industri nasional saat ini. Ketimpangan terjadi manakala di hulu terjadi peningkatan produksi sementara di hilir (industri) kekurangan bahan baku. Apa yang terjadi sesungguhnya?
ika diidentifikasi selain permasalahan di hulu, masalah utama yang mengganggu siklus bisnis rumput laut nasional adalah terkait supply chain dan pola tata niaga rumput laut yang tidak tertata dengan baik. Pada setiap sentral produksi misalnya terdapat begitu banyak pelaku yang melakukan kompetisi dagang yang tidak sehat. Begitu banyak peran tengkulak dan spekulan yang melakukan sistem hit and run. Pada beberapa sentral produksi seperti di Lombok para eksportir cenderung menempatkan pedagang pengumpul di setiap lokasi, diimana pengumpul tersebut menjalin kontrak quota, yang terjadi manakala karena dibebani kewajiban pemenuhan quota banyak diantara pengepul yang melakukan hit and run tanpa mempertimbangkan standar kualitas dengan harga yang sama atau bahkan lebih tinggi (diatas standar pasar yang berlaku). Kondisi ini memicu pembudidaya untuk tidak lagi mempertimbagkan kualitas namun lebih mempertiimbangkan harga. Masalah inilah yang kemudian menjadi salah satu penyebab industri nasional kehilanngan kesempatan untuk mendapatkan produk yang sesuai standar kualitas, disamping para pelaku industri nasional tidak cukup kuat untuk bersaing dengan para eksportir raw material karena harga banyak dikendalikan mereka.
Permasalahan lain adalah hampir disetiap sentral produksi belum terbangun sebuah kelembagaan baik Pokdakan maupun kelembagaan penunjang yang kuat dan mandiri. Yang terjadi adalah pembudidaya berjalan sendiri-sendiri sehingga tidak punya kekuatan posisi tawar. Belum adanya kelembagaan yang kuat juga berpengaruh terhadap pola kemitraan usaha yang rentan pecah kongsi. Padahal sebuah kemmitraan usaha menjadi bagian penting dalam memutus/mengurangi mata rantai distribusi pasar/pola tata niaga dengan begitu akan tercipta efesiensi dan nilai tambah.
Upaya menciptakan nilai tambah dengan membangun unit-unit pengolahan produk setengah jadi seperti chips yang mulai gencar dilakukan di sentral produksi pada kenyataannya tdak berjalan secara optimal. Jika kita analisa, ada beberapa kekurangan yang mestinya dijadikan pertimbangan utama, yaitu :
(1) kapasitas sdm penggelola yang tidak disiapkan dengan baik;
(2) SOP teknologi yang tidak dikuasai oleh pengelola sehingga kualitas produk yang dihasilkan rendah;
(3) jaminan pasar hasil produk yang tidak terkoneksi secara pasti dengan industri nasional; dan
(4) pola kemitraan yang tidak dibangun secara kuat.
Ironisnya masalah rantai pasok dan hilirisasi rumput laut sampai saat ini masih urung terselesaikan dengan baik, mungkin secara tidak sadar kita masih menganggapnya sebagai micro problem, padahal semuanya masalah bisnis rumput laut berawal dari sini. Ada beberapa hal terkait upaya pengembangan hilirisasi rumput laut nasional yang perlu segera ditindaklanjuti, yaitu :
Pertama, terkait jaminan kualitas produk raw material, maka harus ada upaya : (a) membangun kelembagaan dan kemitraan usaha, sehingga industri dapat secara langsung melakukan kontrol kualitas, disamping itu akan mempermudah dalam melakukan pembinaan secara langsung; (b) mendorong pemda bekerjasama dengan industri untuk membangun sisitem pergudangan dengan tata kelola yang efektif. Penerapan resi gudang (gudang serah) menjadi salah satu upaya yang dinilai efektif dalam memperbaiki rantai tata niaga rumput laut; (c) optimalisasi unit pengolahan yang telah ada dengan meperbaiki tata kelola dan membuka akses konektivitas produk yang dihasilkan dengan industri nasional.
Kedua, kaitannya dengan masalah rantai pasok, maka perlu ada upaya ; (a) pemerintah pusat menyusun pedoman teknis terkait model tata kelola usaha rumput laut yang efektif dan berkelanjutan; (b) mendorong pemda untuk menyusun sebuah aturan terkait tata kelola usaha rumput laut yang efektif. Aturan mengacu pada model yang ada dalam pedoman teknis dan atau bisa mencontoh pada model yang telah diterapkkan di daerah lain dan berjalan efektif; (c) Pemerintah bersama Asosiasi segera melakukan pendataan (licensi) terhadap pengepul/middle man di masing-masing sentral produksi sebagai upaya kontrol dan treacibility dalam penataan rantai tata niaga rumput laut; (e) pemda perlu mengeluarkan regulasi dalam upaya memperpendek rantai distribusi pasar dengan membangun kelembagaan yang kuat untuk kemudian memfasilitasi terwujudnya pola kemitraan yangg kuat dan berkesinambungan di setiap sentral produksi; dan (f) meng-counter peran spekulan melalui kontrol dan pengaturan tata kelola usaha rumput laut yang efektif
Ketiga, polemik tentang ketimpangan terkait supply and demand, maka harus ada upaya : (a) Pemerintah, Pemda dan Asosiasi secara bersama-sama melakukan pemetaan terkait kapsitas produksi, kapasitas terpasang yang mampu diserap industri nasional, kapsitas terpasang untuk ekspor raw material, dan kapsitas terpasang untuk msing-masing segmen pasar berdasarkan tipe produk; (b) Pemerintah melakukan pendataan terhadap pengumpul, para eksportir dan industri nasional beserta kapasitas produksi; dan (c) bersama-sama secara tranasparan menyusun peta realisasi dan kebutuhan rumput laut nasional
Keempat, kaitannya dengan pengembangan industri rumput laut nasional, maka perlu ada upaya-upaya yaitu : (a) memperkuat industri nasional melalui fasilitasi akses terhadap pembiayaan dan pemberian insentif serta penciptaan ikllim usaha dan investasi yang kondusif; dan (b) memfasilitasi kemitraan usaha langsung dengan industri nasional dan melakukan pengaturan pola tata niaga sebagai upaya dalam menjamin ketersediaan bahan baku baik kualitas maupun kuantitas.
Perlu action plan yang konkrit dan implementatif
Pada era Pemerintahan yang lalu mantan Wakil Presiden Boediono telah mengamanatkan untuk secara fokus menggarap bisnis rumput laut sebagai salah satu potensi strategis ekonomi nasional. Hasilnnya telah terbentuk Kelompok Kerja (Pokja) rumput laut nasional yang melibatkan lintas sektoral terkait. Harus diakui kemudian kinerja Pokja inipun tidak berjalan optimal sebagaimana yang diharapkan, ini bisa kita lihat dari tidak adanya sinergi dalam implementasi program yang ada, kegiatan yang masih bersifat parsial menjadi penyebab program tidak fokus pada upaya-upaya penyelesiaian masalah secara komprehensif, namun yang terjadi justru adanya tumpang tindih kewenangan. Begitupula peran Komisi Rumput Laut Indonesia masih belum optimal, perannya yang masih terbatas pada level dalam memberikan masukan dan rekomendasi dirasa masih kurang kuat karena masih bersifat normatif.
Seiring dengan misi besar kabinet kinerja yaitu dalam mewujudkan Indonesia sebagai poros maritim dunia, maka komoditas rumput laut menjadi sangat startegis sebagai bagian dalam pengembangan ekonomi maritim. Oleh karena itu, masalah perumput-lautan nasional harus mendapat porsi perhatian yang lebih besar. Pembentukan semacam Satuan Tugas (Satgas) Percepatan Pengembangan Bisnis Rumput Laut Nasional yang langsung dibawah kendali Presiden, mungkin menjadi hal yang bisa dilakukan, sebagai upaya dalam memperkuat dan mempercepat proses industrialisasi rumput laut nasional. Keberadaan Kemenko Kemaritiman harus dijadikan wadah dalam mengkonsolidasikan semua lintas sektoral terkait untuk fokus bersama-sama secara sinergi dalam pengembangan industri rumput laut nasional. Penyusunan dan implementasi road map dan action plan rumput laut skala nasional yang mengakomodir kepentingan stakeholders pada seluruh level secara konkrit (tidak normatif) menjadi hal mutlak yang harus segera dilakukan.
Merujuk pada data statistik, produksi rumput laut selalu mengalami tren positif, dimana produksi rumput laut (untuk Gracilaria dan E. Cottoni) mengalami kenaikan dari tahun ke tahun. Dalam kurun waktu tahun 2010 s/d 2013 misalnya produksi rumput laut nasional untuk kedua jenis tersebut mengalami kenaikan rata-rata per tahun sebesar 27,88%. Namun demikian, kinerja peningkatan produksi tersebut tidak bisa lantas menjadikan semuanya tidak akan mengalami tantangan ke depan. Beragam fenomena permasalahan yang bisa muncul harus sudah menjadi perhatian serius sebagai upaya menjamin usaha budidaya terus berkesinambungan.
Kita bisa lihat misalnya, peningkatan produksi rumput laut saat ini harus dihadapkan pada sebuah tantangan salah satunya adalah fenomena penurunan daya dukung lingkungan perairan dan perubahan iklim global yang secara langsung berdampak pada pertumbuhan rumput laut yang dibudidayakan. Kondisi ini dapat dilihat bahwa pada beberapa lokasi misalnnya telah terjadi pergeseran pola musim tanam yang lebih pendek dari sebelumnya. Berbagai konflik pemanfaatan ruang juga disinyalir menyebabkan usaha rumput laut mulai tereduksi oleh sektor lain semisal parawisata. Kasus ini sudah mulai terjadi di beberapa daerah. Di Karimunjawa misalnya terjadi penurunan aktivitas usaha budidaya rumput laut secara signifikan seiring perkembangan sektor parawisata; di Kutai Kartanegara aktivitas usaha budidaya rumput laut harus berbenturan dengan jalur lintasan kapal pengangkut batu bara; sedangkan di Lombok Barat bagian selatan geliat usaha budidaya rumput laut megalami penurunan akibat perubahan lingkungan yang fluktuatif dan degradasi kualitas bibit. Masih banyak lagi tantangan permasalahan termasuk aspek non teknis yang berkaitan dengan masalah di hilir yang sudah barang tentu berdampak langsung terhadap geliat usaha budidaya di hulu, misalnya posisi tawar dan nilai ttambah yang masih minim dirasakan oleh para pembudidaya.
Ada beberapa hal penting yang harus segera dilakukan sebagai upaya meminimalisir dan mengantisipasi tantangan di zona hulu, yaitu :
Pertama, terkait fenomena produksi yang fluktuatif di beberapa daerah, maka perlu ada upaya :
(1) segera melakukan identifikasi untuk menentukan peta kesesuaian lahan budidaya untuk mengantisipasi penurunan kaualitas lingkungan dan perubahan iklim; (2) mempercepat perekayasaan terkait inovasi bioteknologi rumput laut untuk menghasilkan bibit rumput laut unggul dan adaptif dan melakukan percepatan distribusi bibit hasil kultur jaringan ke sentral-sentral produksi dan kawasan potensial.
Kedua, kaitannya dengan potensi konflik penataan ruang, maka perlu segera untuk mendorong Pemda (sesuai kewennangannya) untuk menyusun dan menetapkan Rencana Zonasi Pemanfaatan Willayah Pesisir, Laut dan Pulau-Pulau Kecil khususnya zonasi kawasan budidaya laut, dimana di dalamnya mencakup zonasi untuk budidaya rumput laut sebagai acuan dalam pemanfaatan ruang di kawasan sentral produksi dan kawasan potensial baru.
Ketiga, dalam upaya meningkatkan nilai tambah dan posisi tawar pembudidaya, maka perlu didorong upaya : (1) memfasilitasi terbangunnya sebuah kemitraan yang efektif dengan industri di setral-sentral produksi, sebagai upaya dalam mengurangi mata rantai distribusi pasar dan mempermudah kontrol terhadap stabilitas harga dan kualitas produk; (2) menyusun standar produk hasil panen budidaya, untuk kemudian disosialisasikan secara massive dan ditetapkan sebagai aturan yang wajib.
Hiilirisasi rumput laut nasional belum optimal
Ada tantangan yang kerap kali menjadi momok dalam mewujudkan kedaulatan industri rumput laut nasional yaitu bahwasannya anugerah sumberdaya rumput laut yang Indonesia miliki pada kenyataannya belum mampu dirasakan dan dimanfaatkan secara optimal, dimana nilai tambah produk rumput laut belum sepenuhnya secara langsung dirasakan di dalam negeri. Hal ini disebabkan karena Indonesia masih sebatas menjadi eksportir raw material, sementara end product lebih banyak dihasilkan oleh negara-negara importir seperti China, sehingga mereka lebih banyak merasakan nilai tambah. Ironisnya lagi setiap tahun Indonesia harus mengimpor produk setengah jadi seperti Refiine Carrageenan dan sudah barang tentu end product, inilah yang menyebabkan Indonesia mempunyai posisi tawar rendah karena pada kenyataannya harga komoditas rumput laut lebih banyak dikendalikan oleh negara-negara importir khususnya China.
Disatu sisi, upaya untuk memperkuat dan mengembangkan industri nasional belum dapat dilakukan secara optimal. Tingginya nilai investasi dalam membangun sebuah industri nasional skala besar menjadi salah satu penghambat pertumbuhan industri rumput laut nasional. Masalah lain adalah belum ada jaminan ketersediaan bahan baku secara kontinyu baik kuantitas maupun kualitas yang dirasakan Industri nasional saat ini. Ketimpangan terjadi manakala di hulu terjadi peningkatan produksi sementara di hilir (industri) kekurangan bahan baku. Apa yang terjadi sesungguhnya?
ika diidentifikasi selain permasalahan di hulu, masalah utama yang mengganggu siklus bisnis rumput laut nasional adalah terkait supply chain dan pola tata niaga rumput laut yang tidak tertata dengan baik. Pada setiap sentral produksi misalnya terdapat begitu banyak pelaku yang melakukan kompetisi dagang yang tidak sehat. Begitu banyak peran tengkulak dan spekulan yang melakukan sistem hit and run. Pada beberapa sentral produksi seperti di Lombok para eksportir cenderung menempatkan pedagang pengumpul di setiap lokasi, diimana pengumpul tersebut menjalin kontrak quota, yang terjadi manakala karena dibebani kewajiban pemenuhan quota banyak diantara pengepul yang melakukan hit and run tanpa mempertimbangkan standar kualitas dengan harga yang sama atau bahkan lebih tinggi (diatas standar pasar yang berlaku). Kondisi ini memicu pembudidaya untuk tidak lagi mempertimbagkan kualitas namun lebih mempertiimbangkan harga. Masalah inilah yang kemudian menjadi salah satu penyebab industri nasional kehilanngan kesempatan untuk mendapatkan produk yang sesuai standar kualitas, disamping para pelaku industri nasional tidak cukup kuat untuk bersaing dengan para eksportir raw material karena harga banyak dikendalikan mereka.
Permasalahan lain adalah hampir disetiap sentral produksi belum terbangun sebuah kelembagaan baik Pokdakan maupun kelembagaan penunjang yang kuat dan mandiri. Yang terjadi adalah pembudidaya berjalan sendiri-sendiri sehingga tidak punya kekuatan posisi tawar. Belum adanya kelembagaan yang kuat juga berpengaruh terhadap pola kemitraan usaha yang rentan pecah kongsi. Padahal sebuah kemmitraan usaha menjadi bagian penting dalam memutus/mengurangi mata rantai distribusi pasar/pola tata niaga dengan begitu akan tercipta efesiensi dan nilai tambah.
Upaya menciptakan nilai tambah dengan membangun unit-unit pengolahan produk setengah jadi seperti chips yang mulai gencar dilakukan di sentral produksi pada kenyataannya tdak berjalan secara optimal. Jika kita analisa, ada beberapa kekurangan yang mestinya dijadikan pertimbangan utama, yaitu :
(1) kapasitas sdm penggelola yang tidak disiapkan dengan baik;
(2) SOP teknologi yang tidak dikuasai oleh pengelola sehingga kualitas produk yang dihasilkan rendah;
(3) jaminan pasar hasil produk yang tidak terkoneksi secara pasti dengan industri nasional; dan
(4) pola kemitraan yang tidak dibangun secara kuat.
Ironisnya masalah rantai pasok dan hilirisasi rumput laut sampai saat ini masih urung terselesaikan dengan baik, mungkin secara tidak sadar kita masih menganggapnya sebagai micro problem, padahal semuanya masalah bisnis rumput laut berawal dari sini. Ada beberapa hal terkait upaya pengembangan hilirisasi rumput laut nasional yang perlu segera ditindaklanjuti, yaitu :
Pertama, terkait jaminan kualitas produk raw material, maka harus ada upaya : (a) membangun kelembagaan dan kemitraan usaha, sehingga industri dapat secara langsung melakukan kontrol kualitas, disamping itu akan mempermudah dalam melakukan pembinaan secara langsung; (b) mendorong pemda bekerjasama dengan industri untuk membangun sisitem pergudangan dengan tata kelola yang efektif. Penerapan resi gudang (gudang serah) menjadi salah satu upaya yang dinilai efektif dalam memperbaiki rantai tata niaga rumput laut; (c) optimalisasi unit pengolahan yang telah ada dengan meperbaiki tata kelola dan membuka akses konektivitas produk yang dihasilkan dengan industri nasional.
Kedua, kaitannya dengan masalah rantai pasok, maka perlu ada upaya ; (a) pemerintah pusat menyusun pedoman teknis terkait model tata kelola usaha rumput laut yang efektif dan berkelanjutan; (b) mendorong pemda untuk menyusun sebuah aturan terkait tata kelola usaha rumput laut yang efektif. Aturan mengacu pada model yang ada dalam pedoman teknis dan atau bisa mencontoh pada model yang telah diterapkkan di daerah lain dan berjalan efektif; (c) Pemerintah bersama Asosiasi segera melakukan pendataan (licensi) terhadap pengepul/middle man di masing-masing sentral produksi sebagai upaya kontrol dan treacibility dalam penataan rantai tata niaga rumput laut; (e) pemda perlu mengeluarkan regulasi dalam upaya memperpendek rantai distribusi pasar dengan membangun kelembagaan yang kuat untuk kemudian memfasilitasi terwujudnya pola kemitraan yangg kuat dan berkesinambungan di setiap sentral produksi; dan (f) meng-counter peran spekulan melalui kontrol dan pengaturan tata kelola usaha rumput laut yang efektif
Ketiga, polemik tentang ketimpangan terkait supply and demand, maka harus ada upaya : (a) Pemerintah, Pemda dan Asosiasi secara bersama-sama melakukan pemetaan terkait kapsitas produksi, kapasitas terpasang yang mampu diserap industri nasional, kapsitas terpasang untuk ekspor raw material, dan kapsitas terpasang untuk msing-masing segmen pasar berdasarkan tipe produk; (b) Pemerintah melakukan pendataan terhadap pengumpul, para eksportir dan industri nasional beserta kapasitas produksi; dan (c) bersama-sama secara tranasparan menyusun peta realisasi dan kebutuhan rumput laut nasional
Keempat, kaitannya dengan pengembangan industri rumput laut nasional, maka perlu ada upaya-upaya yaitu : (a) memperkuat industri nasional melalui fasilitasi akses terhadap pembiayaan dan pemberian insentif serta penciptaan ikllim usaha dan investasi yang kondusif; dan (b) memfasilitasi kemitraan usaha langsung dengan industri nasional dan melakukan pengaturan pola tata niaga sebagai upaya dalam menjamin ketersediaan bahan baku baik kualitas maupun kuantitas.
Perlu action plan yang konkrit dan implementatif
Pada era Pemerintahan yang lalu mantan Wakil Presiden Boediono telah mengamanatkan untuk secara fokus menggarap bisnis rumput laut sebagai salah satu potensi strategis ekonomi nasional. Hasilnnya telah terbentuk Kelompok Kerja (Pokja) rumput laut nasional yang melibatkan lintas sektoral terkait. Harus diakui kemudian kinerja Pokja inipun tidak berjalan optimal sebagaimana yang diharapkan, ini bisa kita lihat dari tidak adanya sinergi dalam implementasi program yang ada, kegiatan yang masih bersifat parsial menjadi penyebab program tidak fokus pada upaya-upaya penyelesiaian masalah secara komprehensif, namun yang terjadi justru adanya tumpang tindih kewenangan. Begitupula peran Komisi Rumput Laut Indonesia masih belum optimal, perannya yang masih terbatas pada level dalam memberikan masukan dan rekomendasi dirasa masih kurang kuat karena masih bersifat normatif.
Seiring dengan misi besar kabinet kinerja yaitu dalam mewujudkan Indonesia sebagai poros maritim dunia, maka komoditas rumput laut menjadi sangat startegis sebagai bagian dalam pengembangan ekonomi maritim. Oleh karena itu, masalah perumput-lautan nasional harus mendapat porsi perhatian yang lebih besar. Pembentukan semacam Satuan Tugas (Satgas) Percepatan Pengembangan Bisnis Rumput Laut Nasional yang langsung dibawah kendali Presiden, mungkin menjadi hal yang bisa dilakukan, sebagai upaya dalam memperkuat dan mempercepat proses industrialisasi rumput laut nasional. Keberadaan Kemenko Kemaritiman harus dijadikan wadah dalam mengkonsolidasikan semua lintas sektoral terkait untuk fokus bersama-sama secara sinergi dalam pengembangan industri rumput laut nasional. Penyusunan dan implementasi road map dan action plan rumput laut skala nasional yang mengakomodir kepentingan stakeholders pada seluruh level secara konkrit (tidak normatif) menjadi hal mutlak yang harus segera dilakukan.
0 comments:
Post a Comment