Tuesday, November 14, 2017

MENGENAL AEROMONAS HYDROPHYLA DALAM BUDIDAYA IKAN

November 14, 2017 Posted by Media Penyuluhan Perikanan Pati 1 comment
Keberhasilan budidaya ikan terkait dengan pemeliharaan lingkungan dan daya tahan organisme budidaya terhadap serangan bakteri patogen. Salah satu bakteri yang umum dijumpai pada ekosistem perairan dan mempunyai peranan sebagai microbial flora bagi organisme air pada kondisi lingkungan yang stabil yaitu bakteri Aeromonas hydrophila.
Bakteri tersebut bersifat patogen pada ikan air tawar seperti ikan nila pada kondisi kualitas air yang buruk. Selain itu bakteri Aeromonas hydrophila memiliki kemampuan osmoregulasi yang tinggi dimana mampu bertahan hidup pada perairan tawar, perairan payau dan laut yang memiliki kadar garam tinggi dengan penyebaran melalui air, kotoran burung, saluran pencernaan hewan darat dan hewan amfibi serta reptil (Mangunwardoyo et al., 2010).
Salah satu kendala yang dihadapi dalam budidaya intensif adalah penyakit ikan. Dimana menimbulkan kerugian ekonomi bagi para pembudidaya ikan. Salah satu jenis penyakit yang sering dijumpai pada organisme budidaya adalah penyakit bakterial yang disebabkan oleh bakteri Aeromonas hydrophilla, dimana merupakan bakteri patogen penyebab penyakit “Motil Aeromonas Septicemia” (MAS), terutama untuk spesies ikan air tawar di perairan tropis (Rahmaningsih, 2012).
Bakteri Aeromonas hydrophila  merupakan salah satu bakteri penyebab penyakit yang berbahaya pada budidaya ikan air tawar. Bakteri tersebut banyak menyerang ikan mas yang merupakan salah satu komoditas unggulan air tawar dan dapat menginfeksi ikan pada semua ukuran yang dapat menyebabkan kematian hingga mencapai 80%, sehingga mengakibatkan kerugian yang sangat besar baik dalam usaha budidaya ikan air tawar (Sanoesi, 2008).
1.      Epidemilogi
Penyakit yang disebabkan oleh infeksi bakteri pada ikan khususnya yang disebabkan oleh A. hydrophila mulai dikenal di Indonesia sekitar tahun 1980, dimana bakteri ini menyebabkan wabah penyakit pada ikan karper di wilayah Jawa Barat dan menyebabkan kematian sebanyak 125 ton. Di tahun yang sama kejadian serupa juga terjadi dan menyerang spesies ikan mas, penyakit tersebut dikenal dengan penyakit `Ulcerative disease` atau penyakit borok/penyakit merah yang mengakibatkan kematian sekitar kurang lebih173 ton jenis ikan mas termasuk didalamnya 30 % ikan-ikan kecil/benih mati disebabkan oleh bakteri Aeromonas sp dan Pseudomonas sp, mengakibatkan kerugian sekitar Rp. 126 juta.  Penyakit ini dapat menyebabkan sistemik yang menimbulkan kematian ikan yang tinggi,  menyerang ikan-ikan budidaya dan dalam waktu singkat menyebar kedaerah lain (Lukistyowati dan Kurniasih, 2011).
Bakteri Aeromonas hydrophila termasuk bakteri gram negatif, dimana mempunyai karakteristik berbentuk batang pendek, bersifat aerob dan fakultatif anaerob, tidak berspora, motil,  mempunyai satu flagel, hidup pada kisaran suhu 25-300C.  Jika organisme terkena serangan bakteri maka akan mengakibatkan gejala penyakit hemorhagi septicaemia yang mempunyai ciri-ciri sebagai berikut: terdapat luka dipermukaan tubuh, insang, ulser, abses, dan perut gembung. Tidak hanya menyerang organisme budidaya seperti ikan, tetapi penyakit ini juga menyerang manusia dimana menyebabkan infeksi pada gastroenteristis, diare dan extra intestinal pada manusia. Bakteri Aeromonas hydrophyla sangat mempengaruhi usaha budidaya ikan air tawar dan seringkali menimbulkan wabah penyakit dengan tingkat kematian yang  tinggi (80 – 100 %) dalam kurun waktu yang singkat (1 – 2 minggu). Sehingga sangat merugikan petani ikan dalam usaha budidaya ikan. Tingkat virulensi dari bakteri A. hydrophila  dapat  menyebabkan kematian ikan  tergantung dari racun  yang dihasilkan. Didalam tubuh bakteri Aeromonas hidrophyla terdapat Gen Aero dan hlyA yang bertanggung jawab dalam memproduksi racun aerolysin dan hemolysin dimana Aerolisin merupakan protein extraseluler yang diproduksi oleh beberapa strain  A. hydrophila yang bisa larut, bersifat hydrofilik dan mempunyai sifat hemolitik serta sitolitik.  Mekanisme racun Aerolysin pada bakteri Aeromonas hidrophyla  dalam menyerang dan menginfeksi racun pada ikan yaitu dengan mengikat reseptor glikoprotein spesifik pada permukaan sel eukariot sebelum masuk ke dalam lapisan lemak dan membentuk lubang. Racun aerolysin yang membentuk lubang melintas masuk ke dalam membran bakteri sebagai  suatu preprotoksin yang mengandung peptida. Racun tersebut dapat menyerang sel-sel epithelia dan  menyebabkan gastroenteristis (Lukistyowati dan Kurniasih, 2012).
Proses invasi bakteri patogen Aeromonas hydrophila  kedalam tubuh host adalah diawali dengan melekatnya bakteri pada permukaan kulit dengan memanfaatkan pili, flagela dan kait untuk bergerak dan melekat kuat pada lapisan terluar tubuh ikan yaitu sisik yang dilindungi oleh zat kitin. Selama proses berlangsung bakteri Aeromonas hydrophila  memproduksi enzim kitinase  yang berperan dalam mendegradasi lapisan kitin sehingga bakteri dapat dengan mudah masuk kedalam host. Selain memanfaatkan kitinase bakteri Aeromonas hydrophila  juga mengeluarkan enzim lainnya seperti lesitinase dalam upaya  masuk kedalam aliran darah (Mangunwardoyo et al., 2010).
Bakteri Aeromonas hidrophyla termasuk patogen oportunistik yang hampir selalu terdapat di air dan seringkali menimbulkan penyakit apabila ikan dalam kondisi yang kurang baik. Penyakit yang disebabkan oleh Aeromonas hydrophilla ditandai dengan adanya bercak merah pada ikan dan menimbulkan kerusakan pada kulit, insang dan organ dalam. Penyebaran penyakit bakterial pada ikan umumnya sangat cepat serta dapat menyebabkan kematian yang sangat tinggi pada ikan-ikan yang diserangnya. Gejala klinis yang timbul pada ikan yang terserang infeksi bakteri Aeromonas hidrophyla adalah gerakan ikan menjadi lamban, ikan cenderung diam di dasar akuarium; luka/borok pada daerah yang terinfeksi; perdarahan pada bagian pangkal sirip ekor dan sirip punggung, dan pada perut bagian bawah terlihat buncit dan terjadi pembengkakan. Ikan sebelum mati naik ke permukaan air dengan sikap berenang yang labil (Rahmaningsih, 2012).
Menurut (Tanjung et al., 2011), tanda-tanda  sekunder  serangan bakteri Aeromonas hydrophila terlihat dengan tumbuhnya jamur berwarna putih pada bagian ujung sirip ikan dan pada bagian tubuh yang mengalami luka memar. Sekresi lendir tampak berlebihan menyeliputi tubuh ikan, dengan warna tubuh yang memucat. Nafsu makan berkurang mulai pada hari ke dua. Indikasi ikan mendapat serangan bakteri dari mata pucat umumnya tampak setelah hari ke lima, sedangkan kerusakan sisik dan tumbuhnya jamur sudah muncul mulai dari hari pertama. Warna tubuh pucat umumnya tampak setelah hari ke tiga. Adapun beberapa analisis yang digunakan untuk mengetahui serangan dari bakteri Aeromonas hydrophila  antara lain:
A.    Analisis morfologis
Indikasi-indikasi serangan bakteri terhadap berbagai strain ikan Gurami cukup beragam, baik ciri maupun waktunya. Serangan bakteri tersebut dicirikan oleh perubahan warna mata menjadi abu-abu dan terjadi  penonjolan  bola  mata  atau exophthalmia, luka memar yang bisa meliputi sekujur tubuh, warna tubuh menjadi pucat, dan sirip rusak, dengan waktu (hari) serangan yang bervariasi. Tanda-tanda yang paling peka terhadap serangan bakteri, ditandai     waktu      munculnya serangan umumnya sudah tampak pada hari pertama. Jenis yang paling tahan adalah strain Padang dengan indikasi serangan umumnya setelah dua hari. Hal ini sesuai dengan tingkat ketahanan hidupnya yang paling tinggi (8-10 hari). Indikasi kerusakan pada sirip tidak selalu muncul, dalam hal ini ikan yang tidak menunjukkan sisik atau sirip rusak (ta), boleh jadi ikan tersebut sudah terserang bakteri.
B.     Analisis histologis intestin dan hati
Pada ikan yang sehat irisan hati berwarna cerah serta sel-sel hepatosit   mengandung nukleus dan heterokromatin. Ikan yang terkena serangan A. hydrophila menunjukkan kondisi sel hati yang rusak karena mengalami infeksi, tetapi tidak mengeluarkan nanah (non purulent multifocal hepatitis). Kantung empedu dan sel hati mengalami peradangan atau infeksi (cholangiohepatitis), yang pada kondisi parah infeksi ini dapat mencapai jaringan parenkim hati. Ditemukan juga vakuola dan sel-sel darah karena terjadi pendarahan dalam (internal haemoragy). Kematian sel-sel  hati  (focal  nekrosis)  merupakan manifestasi yang umum terjadi pada ikan yang terserang  A. hydrophila. Intestin ikan Gurami yang terpapar A. hydrophila menunjukkan kondisi yang mengalami deplesi pada sel lamina intestin tersebut sehingga terkikis habis. Mukosa intestin juga mengalami kematian sel (nekrosis) yang disebabkan oleh degradasi enzimatik yang dikeluarkan oleh  A. hydrophila .
2.      Habitat
Bakteri aeromonas hydrophila memiliki kemampuan osmoregulasi yang tinggi dimana mampu bertahan hidup pada perairan tawar, perairan payau dan laut yang memiliki kadar garam tingg dengan penyebaran melalui air, kotoran burung, saluran pencernaan hewan darat dan hewan amfibi serta reptil (Mangunwardoyo et al., 2010).
Lingkungan dengan yang mempunyai konsentrasi kadar garam tertentu memiliki kerapatan A. hydrophila yang jauh lebih tinggi dibandingkan lingkungan air tawar, meskipun variasi dalam kepadatan antara habitat dengan kadar garam tertentu jauh lebih besar daripada habitat air tawar,  umumnya, A. hydrophila tidak dianggap sebagai bakteri laut, namun, studi ini menunjukkan bahwa itu ditemukan secara alami bakteri Aeromonas hydrophila hidup dilingkungan yang mempunyai kadar garam air laut, air payau sampai dengan air tawar dan dapat ditemukan di semua salinitas, kecuali (paling ekstrim> 100%o).
Baru-baru ini, bakteri A. hydrophila menyebabkan penyakit borok pada ikan cod (Gadus morhua), dan ikan laut lainnya. A. hydrophila dapat diisolasi dari perairan yang memiliki kekeruhan 0-395 unit turbidity Jackson. Suhu yang optimum untuk pertumbuhan bakteri A. hydrophila adalah 35°C, dan suhu maksimum yaitu mendekati suhu 450C. Dalam studi ini, A. hydrophila diisolasi dari air yang memiliki suhu antara 40 dan 450C. A. Hydrophila  tidak dapat diisolasi pada suhu lebih besar dari 450C, kepadatan tertinggi terjadi pada 350C, sepanjang gradien termal mulai dari 200 sampai 720C. PH air tampaknya tidak memainkan peran penting dalam distribusi A. hydrophila, karena bakteri dapat diisolasi selama rentang pH seluruh sampel (5,2-9,8). Bakteri Aeromonas hydrophila tidak mampu tumbuh pada pH lebih rendah dari 4 atau lebih tinggi dari 10 (Hazen et al., 2011).
Bakteri Aeromonashydrophila, merupakan bakteri negatif, dianggap sebagai salah satu bakteri patogen yang paling penting pada hewan air di daerah beriklim sedang, seperti ikan yang sakit, belut, katak, dan kura-kura. Selain itu bakteri A.hydrophila dilaporkan sebagai salah satu spesies Aeromonas paling umum yang terkait dengan penyakit usus pada manusia (Esteve et al.,  2004).
3.      Ikan atau udang yang diserang
Ikan nila (Oreochromis niloticus) merupakan salah satu jenis ikan budidaya air tawar yang mempunyai nilai ekonomis penting dan telah dibudidayakan secara intensif. Salah satu kendala yang dihadapi dalam budidaya intensif ikan nila adalah penyakit ikan. Salah satu jenis penyakit ikan yang sering dijumpai adalah penyakit bakterial yang disebabkan oleh bakteri Aeromonas hydrophilla, yang menyerang spesies ikan air tawar di perairan tropis (Rahmaningsih, 2012).
Bakteri Aeromonas hidrophyla merupakan bakteri patogen yang menyerang ikan lele, dimana menyebabkan penyakit MAS (Motile Aeromonas Septicemia). Bakteri ini dapat menyebabkan kematian pada ikan lele mencapai 80% bahkan dapat mencapai 100% dalam kurun waktu 1 minggu (Mulia, 2012).
Ikan  Gurami  (Osphronemus gouramy) telah umum dibudidayakan dan menjadi andalan sebagai salah satu sumber protein hewani. Kawasan pengembangan budidaya ikan Gurami juga sudah terbentuk di beberapa daerah, seperti di Jawa Barat (Bogor, Tasikmalaya, Ciamis, Garut), Jawa Tengah (Cilacap, Banyumas, Banjarnegara, Purbalingga), Walaupun ikan Gurami sudah lama dibudidayakan secara komersial namun masih menghadapi kendala dalam hal pertumbuhan yang lambat dan ketahanan hidup yang rendah. Salah satu penyebabnya adalah serangan penyakit oleh bakteri Aeromonas hydrophila. Selain  ikan,  berbagai  spesies Aeromonas juga dapat menyerang amfibi dan hewan reptil. Pada amfibi, bakteri ini dapat menyebabkan pendarahan dalam yang bisa berakibat fatal.  Pada manusia, bakteri ini dapat menyebabkan infeksi pada saluran pencernaan, septisemia (keracunan darah), infeksi pada luka dan pembengkakan pada lambung dan usus yang disertai muntah dan diare atau gastroenteritis (Tanjung et al., 2011).
Bakteri Aeromonashydrophila diketahui sebagai patogen pada amfibi, reptil, ikan, siput, sapi dan, baru-baru ini, bakteri Aeromonas hydrophila  menyerang manusia. Beberapa kasus penyakit septicemias yang menyerang manusia yang dapat berakibat fatal yang disebabkan oleh bakteri A.hydrophila, tetapi penyakit tersebut menyerang pada manusia yang mempunyai daya tahan tubuh yang lemah dan terpapar oleh penyakit laiinya, misalnya leukemia. hanya A.hydrophila dilaporkan menyerang dan menjadi patogen pada manusia ketika terdapat luka dan kontak langsung dengan air dimana air tersebut mengandung strain bakteri A.hydrophila. Bakteri Aeromonas hydrophila menyebabakan kerugian yang besar dibidang perikanan, misalnya, pada tahun 1973, 37.500 ekor ikan mati selama dalam kurun waktu 13 hari dalam satu periode di Danau North Carolina (Hazen et al., 1978).
4.      Cara pencegahan dan pengobatan
Usaha yang telah dilakukan untuk mengatasi baik pencegahan maupun pengobatan penyakit yang disebabkan bakteri  A. hydrophila  adalah dengan pemberian bahan-bahan kimia maupun pemberian antibiotik sintetis seperti tetracycline.   Pemberian bahan kimia ini memang dapat mencegah maupun mengobati penyakit pada ikan bila digunakan dengan dosis yang tepat, akan tetapi bila digunakan tidak terkontrol maka dapat menimbulkan  beberapa efek negatif. Residu antibiotik dapat mencemari lingkungan dan juga dapat dijumpai di tubuh ikan, sehingga ikan tidak aman untuk dikonsumsi oleh manusia (Lukistyowati dan Kurniasih, 2011).
Salah satu alternatif dalam mengobati  penyakit bakterial pada ikan adalah menggunakan bahan-bahan alami yang mempunyai kemampuan anti bakteri antara lain ekstrak bawang putih untuk mengobati benih ikan lele yang terinfeksi A.hydrophilla; ekstrak air kunyit untuk mengobati Pseudomonas aeruginosa pada ikan gurame (Rahmaningsih, 2012).
Vaksinasi merupakan suatu metode alternatif yang efektid dan efisien untuk mencegah penyakit yangn disebabkan oleh bakteri Aeromonas hydrophila. Vaksinasi dilakukan dengan merangsang kekebalan spesifik ikan terhadap penyakit tersebut. Metode vaksinasi tidak menimbulkan dampak negatif, baik pada ikan, lingkungan maupun konsumen. Tingkat perlindungan dari metode  vaksinasi terhadap serangan bakteri bakteri Aeromonas hydrophila tergantung pada jenis dan kualitas vaksin, cara vaksinasi, kondisi ikan dan lingkungan hiidupnya. Dari hasil penelitian pemberian vaksin dari debris sel Aeromonas hydrophila  pada ikan lele menunjukkan peningkatan produksi titer antibodi dimana dapat meningkatkan produksi antibodi ikan lele dumbo. Perlakuan vaksinasi, baik yang dibooster maupun yang tidak meningkatkan titer antibodi ikan lele setelah ikan divaksinasi (Mulia, 2012).
Upaya penanganan pencegahan penyakit yang disebabkan oleh A. hydrophila  adalah dengan menggunakan ektraks tumbuhan alami seperti ekstrak daun pepaya. Sebagai tanaman obat, pepaya (C. Papaya L) juga mengandung zat atau senyawa bioaktif yang  yang dapat meningkatkan  ketahanan dan tanggap kebal ikan. Zat aktif yang terdapat pada daun pepaya antara lain alkaloid, flavonoid, dan saponin, selain zat bioaktif daun pepaya juga memiliki kemampuan antagonis dalam melawan bakteri patogen sehingga mempunyai sifat imunostimulan. Semakin banyak kosentrasi ekstrak daun pepaya yang diberikan pada ikan seraca oral jumlah sel macrofagh pada ikan mas meningkat, dimana dosis pemberian ekstrak daun pepaya pada konsentrasi 65% (Sanoesi, 2008).
5.        Kesimpulan
a.       Bakteri Aeromonas hydrophila termasuk bakteri gram negatif, berbentuk batang pendek, bersifat aerob dan fakultatif anaerob, tidak berspora, motil,  mempunyai satu flagel, hidup pada kisaran suhu 25-300C.
b.      Mengakibatkan penyakit hemorhagi septicaemia pada ikan dan menyebabkan infeksi pada gastroenteristis, diare dan extra intestinal pada manusia.
c.       Bakteri Aeromonas hydrophyla sangat mempengaruhi usaha budidaya ikan air tawar dengan tingkat kematian yang  tinggi (80 – 100 %) dalam waktu yang singkat (1 – 2 minggu).
d.      Penyebaran bakteri Aeromonas hydrophila melalui air, kotoran burung, saluran pencernaan hewan darat dan hewan amfibi serta reptil
e.       Bakteri Aeromonas hydrophila  banyak menyerang spesies ikan air tawar seperti, ikan mas, ikan gurami, ikan lele dan juga menyerang ikan air laut seperti ikan cod serta amfibi dan reptil. Selain ikan bakteri  ini juga menyerang manusia
f.       Usaha yang telah dilakukan untuk mengatasi baik pencegahan maupun pengobatan penyakit yang disebabkan bakteriA. hydrophila  adalah dengan pemberian bahan-bahan kimia maupun pemberian antibiotik sintetis seperti tetracycline), menggunakan bahan-bahan alami yang mempunyai kemampuan anti bakteri antara lain ekstrak bawang putih; ekstrak air kunyit, ekstrak daun pepaya dan juga dapat dilakukan dengan vaksinasi
Daftar pustaka

Esteve, C., E. Alcaide., R, Canals., S. Merino., D, Blasco., M.J Figueras., J.M Tomas. 2004. Pathogenic Aeromonas hydrophila iSerogroup ):14 and O:81 Strains with an S Layer.  Appl. Environ. Microbiol. 2004, 70(10): 5898.

Hazen, T.C., C.B.Fliermans., R.P. Hirsch., G.W. Esch. 1978. Prevalence and Distribution of Aeromonas hydrophila  in the United Stated. Apliied aand Environmental Microbiology, Nov. 1978, p. 731-738.

Mulia, D.S. 2012. Penggunaan Vaksin Debris Sel Aeromonas hydrophila dengan Interval Waktu Booster Berbeda terhadap Respons Imun Lele Dumbo (Clarias gariepinus Burchell). Sains Aquatic 10 (2): 86-95.

Lukistyowati, I dan Kurniasih. 2011. Kelangsungan Hidup Ikan Mas (Cyprinus carpio L) yang diberi Pakan Ekstrak Bawang Putih (Allium sativum) dan di Infeksi Aeromonas hydrophila. Jurnal Perikanan dan Kelautan, 16,1 (2011) : 144-160.

Lukistyowati, I dan Kurniasih. 2012. Pelacakan Gen Aerolysisn dari Aeromonas hidrophyla  pada Ikan Mas yang diberi Pakan Ekstrak Bawang Putih. Jurnal Veteriner, Vol. 13 No. 1 : 43-50.

Mangunwardoyo, W., R. Ismayasari., E. Riani. 2010. Uji Patogenisitas dan Virulensi Aeromonas hydrophila Stanier pada Ikan Nila (Oreochromis niloticus Lin.) melalui Postulat Koch. J. Ris. Akuakultur Vol. 5 Tahun 2010: 245-255.

Rahmaningsih, S. 2012. Penagruh Ekstrak Sidawayah dengan Konsentrasi yang Berbeda untuk Mengatasi Infeksi Bakteri Aeromonas hydrophyla  pada Ikan Nila (Oreochromis niloticus). Jurnal Ilmu Perikanan dan Sumberdaya Perairan.

Sanoesi, E. 2008. Penggunaan Ekstrak Daun Pepaya (Carica papaya Linn) terhadap Jumlah Sel Makrofag pada Ikan Mas (Cyprinus carpio L) yang Terinfeksi Bakteri Aeromonas hydrophila. Jurnal Penelitian Perikanan, Vol 11, No. 2, Desember 2008.

Tanjung, L. R., Triyanto., N. H. Sadi., G. D. Haryani., D. S. Said. 2011. Uji Ketahanan Beberapa Strain Ikan terhadap Penyakit Aeromonas. Lomnotek (2011) 18(1) : 58-71

Sunday, November 12, 2017

PENGAPURAN KOLAM BUDIDAYA IKAN

November 12, 2017 Posted by Media Penyuluhan Perikanan Pati 3 comments
Latar belakang
Menurut Kordi et.al. (2010), Lahan hutan mangrove yang baru dibuka untuk tambak umumnya memiliki keadaan tanah asam. tanah-tanah yang asam di daerah payau muncul karena beberapa hal. biasanya pada tanah-tanah pantai yang baru terbentuk seringkali ion-ion pyrit terakumulasi. Selama tanah yang mengandung pyrit ini muncul, tanah demikian sangat peka terhadap perubahan yang kecil sekalipun. Bila lahan tambak diairi, pyrit akan teroksidasi dan menghasilkan asam sulfurik atau asam sulfat yang menyebabkan keasaman tanah menjadi sangat rendah. Keasaman tanah yang rendah dapat berasal dari keasaman air tambak yang sangat rendah karena pencucian dasar tambak atau oleh aliran air hujan dari tanggul selama badai.
Tanah-tanah asam dapat pula menyebabkan rendahnya produktivitas tambak. asam sulfurik yang terbentuk karena teroksidasinya pyrit akan mempengaruhi mineral-mineral tanah. Pembebasan besi dan aluminium akan mengikat fosfat dan hara alga esensial lainnya yang akan menyebabkan rendahnya produktivitas alami tambak. Akibatnya, pemupukan tidak berdaya guna. Kekurangan makanan alami demikian menyebabkan pertumbuhan alga melambat.
Akibat lain kehadiran asam sulfat menyebabkan lambatnya pertumbuhan tanaman penutup pematang sehingga pematang mudah tererosi. Oleh karena itu, kita perlu memperbaiki pematang agar tanah-tanah pematang tidak jatuh ke dalam tambak. Tanah-tanah pematang yang mengandung asam sulfat, aluminium aktif, dan besi bila tercuci lewat erosi dan masuk ke dalam tambak dapat memperburuk kondisi kualitas air.
Tanah asam sulfat tidak baik untuk lokasi tambak. Namun, untuk menjadikannya produktif dan dapat digunakan, kita perlu melakukan pengapuran. Dengan pengapuran, sifat keasaman tanah akan rusak sehingga pH tanah naik menjadi netral atau basa. oleh karena itu, makalah ini akan membahas tentang pengapuran tambak yang baik sehingga tambak menjadi produktif.
1    Pengertian Pengapuran
Pengapuran adalah pemberian kapur ke dalam tanah pada umumnya bukan karena tanah kekurangan unsur Ca tetapi karena tanah terlalu masam. Oleh karena itu pH tanah perlu dinaikkan agar unsur-unur hara seperti P mudah diserap tanaman dan keracunan Al dapat dihindarkan (Hardjowigeno, 1992).
Menurut Ratnawati (2008), Pengapuran adalah salah satu bentuk dari remediasi selain pengoksidasian dan pembìlasan tanah Untuk mengatasi Permasalahan utama pada tambak tanah sulfat masam antara lain: pH rendah (S 3,5); kurang tersedia fosfor (P), kalsium (Ca), dan magnesium kandungan unsur molibdium (Mo) dan besi (Fe) serìng berlébihan sehingga dapat meracuni organisme; serta kelarutan aluminium (Al) sering tinggi sehingga merupakan penghambat ketersediaan P. Penambahan pupuk, terutama yang mengandung P sering tidak bermanfaat pada tanah masam ini bila unsur-unsur toksìk sepertì AI, Fe, dan Mn thdak diatasi.
2    Fungsi Pengapuran
Pengapuran berguna untuk memperbaiki keasaman (pH) dasar tambak. dasar tambak yang ber-pH rendah dapat menyebabkan rendahnya pH air tambak. oleh karena itu, perbaikan pH air tambak harus dimulai dari perbaikan pH tanah dasar tambak. selain untuk memperbaiki keasaman dasar tambak, kapur juga berfungsi sebagai desinfektan dan penyedia unsur hara (fosfor) yang dibutuhkan plankton. tanah dasar tambak yang mengandung pirit harus direklamasi terlabih dahulu selama kurang lebih 4 bulan sebelum diberi kapur sejumlah 2-2,5 ton/ha (Suyanto et.al 2009).
Kapur yang digunakan di tambak berfungsi untuk meningkatkan kesadahan dan alkalinitas air membentuk sistem penyangga (buffer) yang kuat, meningkatkan pH, desinfektan, mempercepat dekomposisi bahan organik, mengendapkan besi, menambah ketersediaan unsur P, dan merangsang pertumbuhan plankton serta benthos (Chanratchakool, 1995).
Menurut kordi et al (2010), fungsi pengapuran antara lain:
1) Meningkatkan pH tanah dan air
2) Membakar jasad jasad renik penyebab penyakit dan hewan liar
3) Mengikat dan mengendapkan butiran lumpur halus
4) Memperbaiki kualitas tanah
5) Kapur yang berlebihan dapat mengikat fosfat yang sangat dibutuhkan untuk pertumbuhan plankton
Manfaat pengapuran menurut murtidjo (1988) diantaranya:
1) menormalkan asam-asam bebas dalam air, sehingga pH meningkat
2) mencegah kemungkinan terjadinya perubahan pH air atau tanah yang mencolok
3) mendukung kegiatan bakteri pengurai bahan organik sehingga garam dan zat hara akan terbebas.
4) mengendapkan koloid yang melayang layang dalam air tambak
2.3    Teknik-Teknik Pengapuran
Menurut Mahyudin (2008), Pemberian kapur dilakukan dengan cara disebar merata di permukaan tanah dasar kolam. setelah pengapuran selesai, tanah dasar kolam dibalik dengan cangkul sehingga kapur bisa lebih masuk ke dalam lapisan tanah dasar. pengapuran untuk kolam semen dan terpal dilakukan dengan cara dinding kolam dan dasar terpal dikuas dengan kapur yang telah dicampuri air .
Menurut kordi et al (2010). Sebelum mengapurnya, kita harus mengeringkan tambak terlebih dahulu. Tebarkan kapur secara merata di permukaan tambak dengan jumlah yang disesuaikan dengan luas tambak dan tekstur tanah. Kapur yang diperlukan adalah kapur pertanian atau kapur lain dengan takaran disesuaikan dengan pH tanah.
Menurut Ratnawati (2008), Pengapuran yang dilakukan dìbagi atas 2 tahap yaitu pengapuran dasar dan pengapuran susulan. Pengapuran dasar dìlakukan setelah pengerìngan tambak dengan dosis 1.000--1.875 kg/ha yang ditebaÅ• secara merata ke permukaan tanah dasar tambak,‘tergantung pH tanah dasar tambak.
Adapun cara-cara pengapuran t`mbak agar memperoleh hasil yang baik, menurut murtidjo (1988) diantaranya:
1. Tanah dasar tambak setelah pengeringan digali dengan kedalaman sekitar 0,1 meter, selanjutnya dicampur dengan kapur dan diaduk
2. Pengadukan harus baik dan benar hingga merupakan adonan yang homogen serta sempurna
3. setelah adonan sempurna, bisa dikembalikan dan diratakan pada dasar tambak
4. pengapuran dilakukan setiap musim penebaran benur atau nener
Menurut Kholis  (2010), Pemberian kapur dilakukan dengan cara disebar merata dipermukaan tanah dasar kolam. setelah pengapuran selesai, tanah dasar kolam dibalik dengan menggunakan cangkul sehingga kapur bisa lebih masuk ke dalam lapisan tanah dasar, pengapuran untuk kolam semen dan terpal dilakukan dengan cara dinding kolam dan terpal dikuas dengan kapur yang telah dicampur air.
Cara Pengapuran Tambak menurut Tim Perikanan WWF Indonesia (2011) yaitu periksa pH tanah pada beberapa titik yang berbeda pada dasar tambak dengan menggunakan alat pengukur pH hingga sesuai dengan yang diharapkan.
pH 4-5 digunakan kapur 500 - 1000 kg/ha.
pH 5-6 digunakan kapur
250 - 500 kg/ha.
pH > 6 digunakan dolomit 100 – 250 kg/ha.
Pemberian kapur harus disesuaikan dengan tekstur dan pH tanah. Kemudian dolomit/kapur ditebarkan ke seluruh dasar dan pematang tambak dan tambak siap diisi sampai ketinggian yang dinginkan.
2.4    Jenis-Jenis Kapur Yang Biasa Dipakai Dalam Pengapuran Tambak
Menurut Ratnawati (2008), jenis kapur yang digunakan pada kegiatan budidaya udang tradisional plus ini adalah kapur dolomite (Ca Mg(CO3)2, karena kapur ini memiliki pengaruh yang lebih lama, mudah diperoleh, meninggalkan residu dan kecepatan reaksìnya lebih lambat, sertajuga mengandung Mg selaìn Ca.
Menurut Kholis  (2010), Jenis kapur yang biasa digunakan untuk pengapuran kolam adalah kapur aktif atau kapur tohor (CaO) dan kapur pertanian (CaCO3) atau CaMg(CO3)2. Kapur tohor atau kapur sirih adalah kapur yang pembuatannya melaluin proses pembakaran. bahan penyusunnya berupa batuan tohor gunung dan kulit kerang. Kapur pertanian adalah kapur karbonat yang bahan penyusunnya berupa batuan kapur tanpa melaluin proses pembakaran, tetapi langsung digiling. terdapat dua macam kapur pertanian, yaitu kalit dan dolomit. kalsit bahan bakunya didominasi oleh kandungan karbonat dan sedikit magnesium (CaCO3), sementara dolomit bahan bakunya didominaso oleh kalsium karbonat dan magnesium karbonat (CaMg(CO3)2).
Menurut Rezqi (2009), Bentuk kapur yang paling tepat digunakan pada air payau atau salin (air laut) adalah kapur bakar CaO atau kapur hidrat Ca(OH)2, karena kalsium karbonat CaCO3 kurang larut dalam air laut.Sumber : Chanratchakool, (1995) dalam Rezqi (2009)
Jenis kapur yang dapat diaplikasikan di tambak TSM menurut Sammut et.al. (2011) yaitu kapur karbonat, kapur oksida dan kapur hidrat.
· Kapur karbonat : kapur karbonat diperoleh dengan menggiling batu kapur tanpa pemanasan. yang tergolong kapur karbonat adalah:Kalsit (CaCO3) dan dolomit (CaMg(CO3)2)
· Kapur oksida : kapur ini diproduksi setelah pemanasan kapur karbonat. kapur oksida dikenal pula sebagai kapur bakar atau kapur tohor (CaO)
· Kapur hidrat : kapur ini diperoleh dengan menambahkan air pada kapur oksida. kapur hidrat dikenal pula dengan nama kapur bangunan atau kapur tembok Ca(OH)2
Kesesuaian jenis kapur untuk digunakan sebagai material penertal tergantung pada beberapa faktor antara lain kekuatan menetralisir, harga, tingkat reaksi dengan tanah, tingkat kehalusan butir, dan kemudahan untuk digunakan/tidak beresiko. Biasanya dolomit dan kalsit yang lebih umum digunakan oleh para petani tambak dengan alasan tersebut di atas. Kapur dolomit memiliki pengaruh lebih lama, mudah diperoleh, tidak meninggalkan residu dan kecepatan reaksi lebih lambat.
2.5    Dosis Kapur Dalam Pengapuran Tambak
Sebelum menentukan dosis kapur pada persiapan tambak, maka perlu diketahui cara pengukuran pH menggunakan pH meter. Setelah nilai pH tanah diketahui maka dosis kapur yang digunakan disesuaikan dengan tingkat keasaman tanah. Sumber: Amrullah (1997) dalam Enny et.al. (2009)
Menurut Amri (2002), kebutuhan kapur per hektar tambak tergantung dari derajat keasaman tanah tambak (pH). Umumnya, tambak yang sudah beberapa kali digunakan untuk pemeliharaan udang akan ber-pH rendah karena telah terjadi proses pembusukan bahan organik berupa sisa pakan dan kotoran udang sehhngga menghasilkan asam dari proses oksidasi. semakin rendah pH tanah, jumlah kapur yang diperlukan juga semakin banyak. tabel berikut menunjukkan keperluan kapur berdasarkan jenis tanah untuk meningkatkan pH tanah dasar tambak sehingga menjadi normal.
Sumber: Pedoman budidaya tambak, deptan dalam Amri (2002)
2.6    Metode Penentuan Dosis Kapur
Istilah kebutuhan kapur digunakan untuk menyatakan jumlah kapur yang harus diberikan pada tanah untuk pertanaman tertentu. Kebutuhan kapur juga digunakan untuk menyatakan jumlah kapur atau kesetaraannya yang harus diberikan pada tanah untuk menaikan pH tanah menjadi pH 5,5 dari pH 3,75. Angka-angka yang diperoleh dari suatu carapenentuan kebutuhan kapur harus dikalikan dengan indeks netralisasi, tergantung pada susunan serta kehalusan bahan yang digunakan dalam pengapuran dan jumlah yang mungkin dapat tercuci.(Kaderi,2001)
Penentuan kebutuhan kapur menurut Kaderi et. al. (2001),
a. Penentuan Kebutuhan Kapur Dengan Penambahan Larutan NaOH 0,05 N.
Peralatan dan bahan yang digunakan:
Timbagan dengan ketelitian 10 mg; mesin pengocok ; pH-meter dengan gelas elektrode; pipet dan botol kocok; botol semprot plastik; larutan NaOH 0,05 N. NaOH sebanyak 2,0 g dilarutkan dengan air destilasi kedalam labu ukur 1 liter sampai tanda garis.
Cara kerja:
1) Timbang contoh tanah dengan berat 10 g sebanyak 6 contoh kemudian dimasukkan masing-masing ke dalam 6 buah botol kocok.
2) Ke dalam 6 botol yang telah berisi contoh tanah diberi larutan NaOH 0.05 N masing-masing 0, 4, 8, 12, 16, dan 20 ml.
3) Ditambahkan air destilasi 25, 21, 17 . 13, 9, 5 ml sehingga jumlah menjadi 25 ml, yaitu setara dengan 0, 2, 4, 6, 8 dan pengekstrak dalam botol 10 ton kapur per hektar .
4) Botol dikocok selama 1 jam dengan mesin pengocok.
5) pH ditetapkan dengan pH-meter
6) Dibuat kurva pH dan jumlah penambahan larutan NaOH 0,05 N (ml). SUPING (1998), menyatakan kebutuhan kapur dapat dihitung berdasarkan hasil penambahan NaOH:
Berdasarkan kurva ph yang dubuat dari data tabel3 dengan penambahan naoh 0,05n dapat dihitung jumlah kapur yang diperlukan untuk mencapai ph yang diinginkan
b. Penentuan Kebutuhan Kapur Dengan Inkubasi
Peralatan dan bahan yang digunakan:
Timbagan dengan ketelitian 10 mg; gelas erlenmeyer dengan tutup karet; mesin pengocok; pH-meter dengan gelas elektrode ; pipet dan botol kocok; botol semprot plastik ; kapur pertanian .
Cara kerja:
1  1)    Contoh tanah basah 100 g dimasukkan ke dalam erlenmeyer, 7 gelas per contoh.
2  2)    Ke dalam gelas erlenmeyer yang telah berisi contoh tanah diberi kapur pertanian 0; 0,1 ; 0,2 ; 0,4; 0,6; 0,8 dan 1,0 g ke dalam gelas erlenleyer, yang setara dengan 0, 2, 4, 8, 12, 16 dan 20 ton kapur pertanian per hektar (dengan perhitungan lapisan olah 20 cm dan bobot isi (BD = bulk density) 1g/cm3.
3  3) Tanah dan kapur pertanian diaduk, kemudian diberi air sampai mencapai kapasitas lapang, keadaan air yang optimum untuk pertumbuhan jasad hidup dalam tanah.
4  4)  Gelas ditutup dan ditempatkan di ruangan yang teduh.
5  5)  Setelah 2 minggu inkubasi, diambil sebanyak 3 g tanah untuk penetapan pH-nya.
6  6)  Tanah dimasukan 3 g ke dalam botol kocok.
7  7)  Ditambahkan 3 ml air aquadest/air hujan.
8  8)  Botol dikocok .
9  9)  pH ditetapkan dengan pH meter .
1  10)  Berdasarkan data di atas dibuat kurva pH.
Kebutuhan kapur dapat dilihat dari kurva yang mencerminkan hubungan antara pH dan jumlah kapur yang dibutuhkan untuk mencapai pH yang dikehendaki (WIDJAYA, 1996) .
sumber : Kaderi et al. (2010)
Berdasarkan kurva pH yang dibuat dari data Tabel 2 dengan masa inkubasi selama 2 minggu dapat dihitung jumlah kapur yang diperlukan untuk mendapatkan pH 5.5 dari pH awal 3,75 pada lokasi Belawang sebanyak 16,6 ton/ha kapur.
2.7    Faktor-Faktor Yang Perlu Diperhatikan Dalam Pengapuran Tambak
Kolam hendaknya dicangkul terlebih dahulu agar proses pengapuran menjadi lebih sempurna. yanah yang dicangkul kurang lebih mencapai kedalaman 20cm dan diberi air sehingga menjadi macak-macak (becek). selanjutnya kapur ditebarkan secara merata  (Afrianto 1992).
Menurut Murtidjo (2002), agar dapat diperoleh manfaat pengapuran yang sempurna, perlakuan yang diperlukan adalah sebagai berikut
Tanah dasar tambak digali sedalam kurang lebih 0,10m, kemudian dicampur dengan kapur dan diaduk
Pengadukan harus dilakukan secara merata, sehingga didapat adonan yang homogen dan sempurna
Adonan yang sudah sempurna dapat dikembalikan dan diratakan pada pelataran tambak
Untuk tambak yang bertanah asam, pengapuran tambak harus dilakukan setiap musim tanam. dengan demikian, produktivitas tambak tetap terjamin
Beberapa hal yang perlu diperhatikan menurut Soemarno 2012 :
1. Idealnya paling lambat pengapuran dilakukan 2 minggu sebelum tanam, karena bahan kapur termasuk bahan yang lambat bereaksi dengan tanah.
2. Setelah pengapuran sebaiknya tanah dicangkul (dibajak) agar kapur bisa merata masuk dekat zona perakaran.
3. Pengairan setelah pengapuran sangat diperlukan.
4. Peningkatan pH tidak bisa terjadi seketika, melainkan pelan dan bertahap.
5. Dosis kapur disesuaikan pH tanahnya, tetapi sebagai pedoman praktis dosis berkisar 500 kg/Ha 2 ton/Ha.
Catatan :
Dolomit juga harus secara rutin digunakan pada tanah pH normal, karena unsur Ca dan Mg pada dolomit sangat dibutuhkan tanaman.
Beberapa kriteria yang perlu dijadikan patokan sebelum melaksanakan pengapuran menurut Sualia et.al (2010), adalah :
Pemberian kapur dilakukan saat dasar tambak kering, setelah pembilasan. Jenis dan Jumlah Kapur Dasar yang Dibutuhkan berdasarkan pH Tanah di Daerah Mangrove.
Pemberian kapur disarankan pada waktu dimana angin tidak berhembus kencang untuk mencegah kapur beterbangan keluar tambak. Tempatkan posisi tubuh yang membelakangi arah angin agar kapur tidak mengenai tubuh saat pemberian kapur.
Sebarkan kapur semerata mungkin di dasar tambak dan pematang bagian dalam, terutama pada bagian caren atau bagian yang masih tergenang.
Diamkan tambak selama beberapa hari setelah pengapuran, kemudian isi dengan air laut dan, jika memungkinkan, dilakukan pemeriksaan pH air. Diharapkan pH air telah mencapai 7,5-8,5 yang menunjukkan bahwa proses pengapuran telah berhasil.
3.1 Kesimpulan
Berdasarkan pembahasan dari Bab II dapat disimpulkan sebagai berikut :
Pengapuran adalah pemberian kapur ke dalam tanah pada umumnya bukan karena tanah kekurangan unsur Ca tetapi karena tanah terlalu masam
Kapur yang digunakan di tambak berfungsi untuk meningkatkan kesadahan dan alkalinitas air membentuk sistem penyangga (buffer) yang kuat, meningkatkan pH, desinfektan, mempercepat dekomposisi bahan organik, mengendapkan besi, menambah ketersediaan unsur P, dan merangsang pertumbuhan plankton serta benthos
Pemberian kapur dilakukan dengan cara disebar merata di permukaan tanah dasar kolam.
Sebelum mengapurnya, kita harus mengeringkan tambak terlebih dahulu.
jenis kapur yang digunakan pada kegiatan budidaya udang tradisional plus ini adalah kapur dolomite (Ca Mg(CO3)2
Jenis kapur yang dapat diaplikasikan di tambak TSM menurut Sammut et.al. (2011) yaitu kapur karbonat, kapur oksida dan kapur hidrat.
kebutuhan kapur per hektar tambak tergantung dari derajat keasaman tanah tambak (pH)
Penentuan kebutuhan kapur menurut Kaderi et. al. (2001) adalah Dengan Penambahan Larutan NaOH 0,05 N dan Dengan Inkubasi.
3.2    Saran
Untuk menetralkan pH serta menambah produktivitas tambak, disarankan melakukan pengapuran secara rutin dengan jenis dan dosis sesuai dengan kebutuhan.
Daftar Pustaka
Afrianto E. Ir. dan Evi L. Ir. (1992). Pemeliharaan Kepiting. Penerbit Kanisius.Yogyakarta
Amri K, Ir. M.Si. (2002). Budi Daya Udang Windu secara Intensif. Agromedia pustaka.
Hardjowigeno, S. 1992. Ilmu Tanah. Mediyatama Sarana Perkasa. Jakarta
Kholis M, S.Pi, MM 2010. Agribisnis Patin. Penebar Swadaya. Jakarta
Kordi K, M. Ghufran H. (2010), Nikmat Rasanya, Nikmat Untungnya - Pintar Budidaya Ikan di    Tambak Secara intensif. Lily publisher. Yogyakarta
Murtidjo B. A. (2002) Budi Daya Dan Pembenihan Bandeng.Penerbit Kanisius.Yogyakarta
Mustafa A, Rachmansyah dan Anugriati (2010). Distribusi Kebutuhan Kapur Berdasarkan Nilai Spos Tanah Untuk Tambak Tanah Sulfat Masam Di Kabupaten Mamuju Provinsi Sulawesi Barat. Balai Riset Perikanan Budidaya Air Payau.
Ratnawati E. (2008). Budidaya Udang Windu (Penaeus Monodon) Sistem Seml­Intenslf Pada Tambak Tanah Sulfat Masam. Peneliti pada Balai Riset Perikanan Budidaya Air Payau. Maros. http://isjd.pdii.lipi.go.id/admin/jurnal/3108610.pdf . Diakses pada 8 Mei 2012 pukul 01.07 WIB
Rezqi V. S. K. (2009).Pengaruh Tiga Cara Pengolahan Tanah Tambak Terhadap Pertumbuhan Udang Vaname Litopenaeus vannamei. Program Studi Teknologi Dan Manajemen Akuakultur Departemen Budidaya Perairan Fakultas Perikanan Dan Ilmu Kelautan Institut Pertanian Bogor.
http://repository.ipb.ac.id/bitstream/handle/123456789/19449/C09rvs.pdf. Diakses pada 8 Mei 2012 pukul 20.04 WIB
Saefulhakim S,(1985). Efek Pengapuran Terhadap Fosfor Tersedia Pada Tanah. Fakultas Pertanian. IPB. http://repository.ipb.ac.id/bitstream/handle/123456789/36951/Kongres%20Nasional%204_sunsun%20Saefulhakim.pdf. Diakses pada 7 Mei 2012 pukul 21.24 WIB.
Sammut J Dr.,dan Mustafa A Ir., MS.(2011) Teknik Pengapuran Pada Pematang Tambak Tanah Sulfat Masam. Balai Riset Perikanan Budidaya Air Payau.Maros
Soemarno (2012), Kemasaman Tanah Dan Pengapuran.
http://marno.lecture.ub.ac.id/files/2012/02/MAES-PENGELOLAAN-kemasaman-tanah-dan-PENGAPURAN.ppt. Diakses pada 7 Mei 2012 pukul 21.40 WIB.
Sualia, I, Eko B.P., dan I N.N. Suryadiputra. (2010). Panduan Pengelolaan Budidaya Tambak Ramah Lingkungan di Daerah Mangrove. Wetlands International – Indonesia Programme. Bogor.
Suyanto R  Dra. Ny. S ,dan Takarina E. P., Ir. Msi. (2009). Panduan Budidaya Udang Windu
. Penebar Swadaya. Yogyakata.
Tim Perikanan WWF Indonesia (2011), Budidaya Udang Windu - Dengan Pemberian pakan dan Tanpa Aerasi.WWF-Indonesia.  http://awsassets.wwf.or.id/downloads/3_bmp_budidaya_udang_windu___dengan_pakan_tanpa_aerasi.pdf. diakses pada 7 Mei 2012 pukul 21.03

Saturday, November 11, 2017

MANFAAT IKAN GABUS YANG CKUP BANYAK

November 11, 2017 Posted by Media Penyuluhan Perikanan Pati 1 comment
Ikan gabus merupakan ikan carnivora yang menjadi hama pada kolam budidaya, tetapi ikan ini mahal dan banyak manfaatnya bagi kesehatan manusia. Hampir semua orang tahu. Karena mereka sudah merasakan kelezatannya. Ikan inipun mudah sekali didapat, bisa dibeli di pasar, bahkan di warung-warung sekitar tempat tinggalnya. Namun apakah mereka tahu asal-usul ikan tersebut. Tentu saja tidak semua orang tahu, termasuk cara budidayanya. Inilah yang akan dikupas dalam artikel ini.
Soal asal usul. Ternyata ikan gabus adalah ikan asli Indonesia. Hidup di perairan sekitar kita, di rawa, di waduk dan di sungai-sungai yang airnya tenang. Namun ikan gabus yang bisa dibeli di pasar-pasar dan warung-warung, kemungkinan besar dari Kalimantan. Karena pulau itulah yang kini menjadi pemasok terbesar untuk pasar-pasar seluruh Indonesia. Namun sayang, populasi ikan gabus di alam sudah mulai berkurang, sehingga budiadaya ikan ini perlu dikembangkan.
Lalu soal cara budidaya ikan gabus. Ternyata ikan inipun tidak susah. Tidak perlu dengan pemijahan buatan, cukup dengan pemijahan alami. Tentu saja hal ini disebabkan karena ikan gabus sudah akrab dengan perairan kita. Salah satu instansi perikanan yang sudah berhasil adalah Balai Budidaya Air Tawar Mandiangin, Kalimantan Selatan. Artikel inipun diambil dari salah satu leafletnya.
Namun sebelum mengupas tentang cara budidayanya, alangkah lebih baiknya kita tahu dulu tentang biologinya, terutama habitat, kebiasaan hidup, kebiasaan makan dan sistematikanya. Di Kalimantan, ikan gabus banyak ditemukan di rawa-rawa daerah pedalaman, hidup di dasar perairan yang dangkal, bersifat carnivor atau pemakan daging, terutama ikan-ikan kecil yang mendekatinya. Ikan gabus bersifat musiman, memijah pada musim hujan dari Bulan Oktober hingga Desember.
Ikan darat yang cukup besar, dapat tumbuh hingga mencapai panjang 1 m. Berkepala besar agak gepeng mirip kepala ular (sehingga dinamai snakehead), dengan sisik-sisik besar di atas kepala. Tubuh bulat gilig memanjang, seperti peluru kendali. Sirip punggung memanjang dan sirip ekor membulat di ujungnya.
Sisi atas tubuh—dari kepala hingga ke ekor—berwarna gelap, hitam kecoklatan atau kehijauan. Sisi bawah tubuh putih, mulai dagu ke belakang. Sisi samping bercoret-coret tebal (striata, bercoret-coret) yang agak kabur. Warna ini seringkali menyerupai lingkungan sekitarnya. Mulut besar, dengan gigi-gigi besar dan tajam.
Kebiasaan
Ikan gabus biasa didapati di danau, rawa, sungai, dan saluran-saluran air hingga ke sawah-sawah. Ikan ini memangsa aneka ikan kecil-kecil, serangga, dan berbagai hewan air lain termasuk berudu dan kodok.
Seringkali ikan gabus terbawa banjir ke parit-parit di sekitar rumah, atau memasuki kolam-kolam pemeliharaan ikan dan menjadi hama yang memangsa ikan-ikan peliharaan di sana. Jika sawah, kolam atau parit mengering, ikan ini akan berupaya pindah ke tempat lain, atau bila terpaksa, akan mengubur diri di dalam lumpur hingga tempat itu kembali berair. Oleh sebab itu ikan ini acap kali ditemui ‘berjalan’ di daratan, khususnya di malam hari di musim kemarau, mencari tempat lain yang masih berair. Fenomena ini adalah karena gabus memiliki kemampuan bernapas langsung dari udara, dengan menggunakan semacam organ labirin (seperti pada ikan lele atau betok) namun lebih primitif.
Pada musim kawin, ikan jantan dan betina bekerjasama menyiapkan sarang di antara tumbuhan dekat tepi air. Anak-anak ikan berwarna jingga merah bergaris hitam, berenang dalam kelompok yang bergerak bersama-sama kian kemari untuk mencari makanan. Kelompok muda ini dijagai oleh induknya.
Penyebaran
Ikan gabus menyebar luas mulai dari Pakistan di barat, Nepal bagian selatan, kebanyakan wilayah di India, Bangladesh, Sri Lanka, Tiongkok bagian selatan, dan sebagian besar wilayah di Asia Tenggara termasuk Indonesia.
Keragaman Jenis
Gabus dan kerabatnya termasuk hewan Dunia Lama, yakni dari Asia (genus Channa) dan Afrika (genus Parachanna). Seluruhnya kurang lebih terdapat 30 spesies dari kedua genus tersebut.
Di Indonesia terdapat beberapa spesies Channa; yang secara alami semuanya menyebar di sebelah barat Garis Wallace. Namun kini gabus sudah diintroduksikan ke bagian timur pula.
Salah satu kerabat dekat gabus adalah ikan toman (Channa micropeltes), yang panjang tubuhnya dapat melebihi 1 m dan beratnya lebih dari 5 kg.Secara sistematika, seorang ahli perikanan, Kottelat (1993) memasukan kedalam : Kelas : Pisces; Ordo : Labyrinthycy; Famili : Chanidae; Genus : Channa; Spesies : Channa striata; sinonim dengan Ophiochephalus striatus. Ikan gabus memiliki nama lain, yaitu gabus isilah Indonesia, Haruan merupakan nama daerah Kalimantan. Sedangkan dalam Bahasa Inggeri disebut Snaka Head Fish.
Beda jantan dan betina
Jantan dan betina ikan gabus bisa dibedakan dengan mudah. Caranya dengan melihat tanda-tanda pada tubuh. Jantan ditandai dengan kepala lonjong, warna tubuh lebih gelap, lubang kelamin memerah dan apabila diurut keluar cairan putih bening. Betina ditandai dengan kepala membulat, warna tubuh lebih terang, perut membesar dan lembek, bila diurut keluar telur. Induk jantan dan harus sudah mencapai 1 kg.
Pemijahan
Pemijahan dilakukan dalam bak beton atau fibreglass. Caranya, siapkan sebuah bak beton ukuran panjang 5 m, lebar 3 m dan tinggi 1 m; keringkan selama 3 – 4 hari; masukan air setinggi 50 cm dan biarkan mengalir selama pemijahan; sebagai perangsang pemijahan, masukan eceng gondok hingga menutupi sebagian permukaan bak; masukan masukan 30 ekor induk betina; masukan pula 30 ekor induk jantan; biarkan memijah; ambil telur dengan sekupnet halus; telur siap untuk ditetaskan.
Untuk mengetahui terjadinya pemijahan dilakukan pengontrolan setiap hari. Telur bersifat mengapung di permukaan air. Satu ekor induk betina bisa menghasilkan telur sebanyak 10.000 – 11.000 butir.
Penetasan telur
Penetasan telur dilakukan di akuarium. Caranya : siapkan sebuah akuarium ukuran panjang 60 cm, lebar 40 cm dan tinggi 40 cm; keringkan selama 2 hari; isi air bersih setinggi 40 cm; pasang dua buah titik aerasi dan hidupkan selama penetasan; pasang pula pemanas air hingga bersuhu 28 O C; masukan telur dengan kepadatan 4 – 6 butir/cm2; biarkan menetas. Telur akan menetas dalam waktu 24 jam. Sampai dua hari, larva tidak perlu diberi pakan, karena masih menyimpan makanan cadangan.
Pemeliharaan larva
Pemeliharaan larva dilakukan setelah 2 hari menetas hingga berumur 15 hari, dalam akuarium yang sama dengan kepadatan 5 ekor/liter. Kelebihan larva bisa dipelihara dalam akuarium lain. Pada umur 2 hari, larva diberi pakan berupa naupli artemia dengan frekwensi 3 kali sehari. Dari umur 5 hari, larva diberi pakan tambahan berupa daphnia 3 kali sehari, secukupnya. Untuk menjaga kualitas air, dilakukan penyiponan, dengan membuang kotoran dan sisa pakan dan mengganti dengan air baru sebanyak 50 persen. Penyiponan dilakukan 3 hari sekali, tergantung kualitas air.
Pendederan
Pendederan I ikan gabus dilakukan di kolam tanah. Caranya : siapkan kolam ukuran 200 m2; keringkan selama 4 – 5 hari; perbaiki seluruh bagiannya; buatkan kemalir dengan lebar 40 cm dan tinggi 10 cm; ratakan tanah dasarnya; tebarkan 5 - 7 karung kotoran ayam atau puyuh; isi air setinggi 40 cm dan rendam selama 5 hari (air tidak dialirkan); tebar 4.000 ekor larva pada pagi hari; setelah 2 hari, beri 1 – 2 kg tepung pelet atau pelet yang telah direndam setiap hari; panen benih dilakukan setelah berumur 3 minggu.
SUMBER:
http://bdp-unhalu.blogspot.coM
http://agusrochdianto.wordpress.com
http://ebookbrowsee.net

Friday, November 10, 2017

MENGEMBANGKAN BUDIDAYA LAUT DENGAN IKAN KERAPU

November 10, 2017 Posted by Media Penyuluhan Perikanan Pati 1 comment
Di sisi lain laju pertumbuhan ikan kerapu yang dibudidaya sangat lambat, seperti yang dilaporkan oleh Soni (2002)  ikan kerapu macan laju pertumbuhannya 0,45 g/hari dan sebesar 0,60 g/hari, sedangkan kerapu lumpur sebesar 0,61 g/hari. Laju pertumbuhan tersebut dapat menyebabkan biaya operasional menjadi tinggi sehingga kurang menguntungkan secara ekonomis. Namun demikian sebagian pertumbuhan ikan kerapu akhir-akhir ini sudah menunjukkan peningkatan. Akbar dan Sudaryanto (2001) melaporkan bahwa ikan kerapu macan laju pertumbuhannya 2,30 g/hari, sedangkan laju pertumbuhan ikan kerapu lumpur 3,59 g/hari.
Menurut Chua dan Teng  (1978), kualitas perairan yang optimal  untuk  pertumbuhan ikan kerapu, seperti suhu berkisar antara 24 - 31ºC, salinitas antara 30-33 ppt, oksigen terlarut > 3,5 ppm dan pH berkisar antara 7,8 - 8,0. Sementara itu Suprakto dan Fahlivi (2007) melaporkan kualitas air pada lokasi bdidaya, yaitu kecepatan arus 15 - 30 cm/s, suhu 27 - 29ºC, salinitas  30 - 33 ppt, pH 8,0 - 8,2, oksigen >5 ppm dan kedalaman > 5 m. Kualitas perairan pada lokasi penangkapan di Tanimbar Utara, yaitu suhu 27,00 - 29,62 ºC, salinitas 34,259 - 34,351 ppt, oksigen terlarut 3,95 - 4,28 ml/l, nitrat  1,00 - 6,00 µg.at/l  dan fosfat berkisar  0,80 - 1,40 µg.at/l (Langkosono dan Wenno, 2003). Informasi mengenai pertumbuhan dan kondisi perairan pada lokasi budidaya ikan kerapu masih kurang dipublikasikan sehingga pengembangannya banyak menemui kendala. Hal ini terutama para nelayan di Desa Malaka Lombok Barat selalu mengandalkan penangkapan ikan di alam, sedangkan budidaya masih sangat kurang dilakukan.
Berdasarkan permasalahan tersebut di atas maka penelitian pertumbuhan ikan kerapu dan kualitas perairan dilakukan di perairan pantai Teluk  Kodek, Desa Malaka pada keramba jaring apung. Penelitian ini bertujuan untuk   mengetahui kecepatan pertumbuhan ikan kerapu macan, kerapu lumpur dan kualitas perairan, seperti suhu, salinitas, oksigen terlarut (DO), pH, kecepatan arus, kecerahan, fosfat dan nitrit.   Hasil penelitian ini diharapkan dapat menjadi langkah awal untuk  menarik  minat  para  nelayan  maupun  pengusaha  untuk  mengembangkan  budidaya ikan kerapu. Di samping itu sebagai masukan bagi pemerintah daerah Lombok Barat untuk mengembangkan sektor perikanan dalam rangka meningkatkan pendapatan nelayan, pendapatan daerah serta meningkatkan ketahanan pangan dan gizi.
Perkembangan kehidupan kerapu tikus sangat dipengaruhi oleh faktor lingkungan tempat hidupnya. Faktor lingkungan tersebut antara lain : suhu, cahaya, salinitas, arus. Fluktuasi kedaan lingkungan mempunyai pengaruh yang besar terhadap periode, migrasi musiman serta terdapatnya ikan. Keadaan perairan serta perubahannya juga mempengaruhi kehidupan dan pertumbuhan ikan (Baskoro, et al. 2010).
Komarova (1939) dalam Baskoro.  et al (2010) menerangkan bahwa suhu yang terlalu tinggi, tidak normal dan tidak stabil ternyata akan mengurangi kecepatan makan ikan. Ada kalanya ikan yang berukuran besar akan mencari  daerah makanan yang bersuhu lebih rendah daripada ikan-ikan yang berukuran lebih kecil dari jenisnya, hal tersebut mungkin disesuaikan dengan kebutuhan fisiologisnya.
Menurut Weber and Beofort (1940) dalam Evalawati et al (2001) taksonomi ikan kerapu tikus adalah sebagai berikut            :
Phylum         : Chordata
Subphylum      : Vertebrata
Class          : Osteichthyes
Sub Class      : Actinopterigi
Ordo           : Percomorphi
Sub Ordo       : Percoidea
Famili         : Serranidae
Genus          : Cromileptes
Spesies        : Cromileptes altivelis
Ikan kerapu tikus ini bertubuh agak pipih dan warna dasar kulit tubuhnya abu-abu dengan bintik-bintik hitam diseluruh permukaan tubuh. Kepala berukuran kecil dengan moncong agak meruncing. Karena kepala yang kecil mirip bebek, maka jenis ini popular sebagai kerapu bebek. Namun, ada pula yang menyebutnya sebagai kerapu tikus karena bentuk moncongnya yang meruncing menyerupai moncong tikus. Ikan kerapu tikus digolongkan sebagai ikan konsumsi bila bobot tubuhnya telah mencapai 0.5 – 2 kg/ekor (Kordi, 2001).
Menurut Subyakto dan Cahyaningasih (2003), kerapu bersifat hermaprodit protogini, yakni pada tahap perkembangan mencapai dewasa (matang gonad) berjenis kelamin betina kemudian berubah menjadi jantan setelah tumbuh besar atau ketika umurnya bertambah tua.
Menurut Kordi (2001) ikan kerapu memijah sepanjang tahun. Untuk melakukan pemijahan, ikan kerapu membutuhan salinitas antara 28-32 ppt, dengan suhu antara 27°C - 30°C. Ikan kerapu tikus memijah disaat gelap, yaitu ketika bulan tidak bersinar terang. Biasanya berlangsung antara tanggal 25 hingga tanggal 5 berikutnya (bulan arab).
Habitat favorit larva kerapu tikus muda adalah perairan pantai yang pasirnya berkarang dan banyak ditumbuhi padang lamun (ladang terumbu karang). Pada siang hari, larva kerapu biasanya tidak muncul ke permukaan air, sebaliknya pada malam hari, larva kerapu banyak muncul ke permukaan air. Hal ini sesuai dengan sifat kerapu sebagai organisme nocturnal, yakni pada siang hari lebih banyak bersembunyi di liang-liang karang dan pada malam hari aktif bergerak di kolom air untuk mencari makanan. (Subyakto, et. al. 2003).
Kebiasan makan ikan kerapu tikus, menurut Iskandar dan Mawardi (1996) dalam Risamasu (2008) ikan kerapu tikus yang termasuk dalam  keluarga serranidae merupakan ikan nokturnal dimana ikan ini mencari makan pada malam hari.  Aktivitas ikan nokturnal mencari makan dimulai saat hari mulai gelap. Ikan-ikan tersebut digolongkan sebagai ikan soliter di mana aktivitas makan dilakukan secara individu, gerakannya lambat cenderung diam dan arah gerakannya tidak begitu luas serta lebih banyak menggunakan indera perasa dan indera penciuman. Setianto (2011) melaporkan dalam siklus hidupnya, pada umumnya kerapu tikus muda hidup di perairan karang pantai dengan kedalaman 0,5-3 meter selanjutnya menginjak masa dewasa beruaya ke perairan yang lebih dalam antara 7-40 meter, biasanya perpindahan ini berlangsung pada siang hari dan senja hari, telur dan larva bersifat pelagis sedangkan kerapu muda hinggga dewasa bersifat demersal. Ikan kerapu merupakan jenis ikan bertipe hermaprodit protogini, dimana proses diferensiasi gonadnya berjalan dari fase betina ke fase jantan. Pemijahan Ikan Kerapu Tikus
Jumlah induk 49 ekor dengan perbandingan jantan dan betina 1:2.  Ikan memijah pada bulan gelap antara pukul 22.00-02.00 WIB dengan suhu 29 oC. Ikan kerapu memijah pada malam hari disebabkan ikan tersebut merupakan ikan demersal dan bersifat fototaksis negatif (-) yaitu cenderung menjauhi cahaya. Ciri induk yang siap memijah yaitu ikan menjadi lebih sensitif terhadap suara atau cahaya Pada induk betina perutnya terlihat buncit, warna tubuhnya cerah dan pergerakannya lambat.
Sedangkan induk kerapu tikus jantan pergerakannya lebih agresif daripada induk betina. Kemudian
induk kerapu jantan akan bergerak mengikuti induk betina dan berenang bersama.
Pada pengamatan tingkah laku pemijahan ikan kerapu tikus di BBAP Situbondo dan tingkah laku pemijahan ikan kerapu tikus pada beberapa literatur menunjukkan bahwa tidak ada perbedaan antara keduanya, karena lingkungan pada pemijahan di BBAP Situbondo dibuat sedemikian rupa hingga sesuai dengan di alam dan akhirnya ikan dapat memijah dengan alami dan menghasilkan telur dengan kualitas yang bagus.
Suhu yang sesuai untuk ikan kerapu tikus yaitu 29 oC-32 oC dengan salinitas 33 ppt. Rangsangan dari lingkungan yang dilakukan yaitu dengan menurunkan ketinggian air pada pagi hari hingga sore  dan menaikkan air kembali pada sore  hari.  Pada saat  pemijahan, juga  dibutuhkan suasana yang tidak berisik dan tenang. Selain itu, saat musim hujan juga mempengaruhi pemijahan
ikan, karena seringnya terjadi hujan yang deras maka pemijahan ikan kerapu tikus yang berlangsung
alami dapat terganggu namun pada umumnya Ikan kerapu tikus akan memijah sepanjang tahun.
Pembenihan Ikan Kerapu Tikus
Telur yang dihasilkan berkisar antara 100.000-300.000 butir dan akan menetas setelah 18-20 jam pada suhu 29 °C-31 °C dengan tingkat penetasan 80%. Larva kerapu tikus bersifat pelagis, pakan yang diberikan disesuaikan dengan bukaan mulut larva. Pakan yang diberikan berupa zooplankton jenis artemia pada D15-D40,  fitoplankton jenis rotifera pada D15-35, pelet pada D17-D50 dan rebon pada D40-D50, pada D1-D14 larva diberi minyak cumi (minyak ikan). Pada D35 dilakukan penyeragaman ukuran untuk menghindari ikan kerapu tikus saling memangsa karena ikan  bersifat
kanibal. Survival rate ikan kerapu tikus sebesar 5%. Suhu pada pembenihan berkisar 29 ⁰C dengan
salinitas 30 ppt.
Survival rate pada benih ikan kerapu tikus yakni 5%.  Penyebab kematian larva bisa terjadi
karena masa kritis yang terjadi saat kuning telur habis dan larva harus mengambil makanan dari luar. Selain itu, pengelolaan kualitas air juga mempengaruhi angka kematian larva. Sehingga dilakukan uji kualitas  air  setiap  pekan  yang  menjadi  bahan  pertimbangan untuk  mengurangi kematian  larva. Tingkah laku ikan kerapu tikus muda berenang mengikuti gerak air dan lebih banyak berdiam diri didasar kolam pada pagi hari. Pada D35 sifat kanibal mulai nampak, hal ini bisa diakibatkan karena kurangnya pakan yang diberikan. Begitu juga dengan apa yang ada di literatur. Dan apabila penanganan pada bak pemeliharaan kurang hati-hati atau tidak menjaga kebersihan kolam maka akan mengubah lingkungan yang ada disekitar ikan dan bisa membuat ikan stress karena hal ini tentu berada dengan ikan kerapu tikus muda yang berada di alam, mempunyai ruang gerak yang lebih luas. Ikan kerapu yang berada dihabitat asli, mampu untuk menghasilkan telur yang lebih banyak yakni
700.000 butir. Hal ini bisa terjadi karena pengaruh dari kondisi lingkungan pada budidaya ikan kerapu. Ikan mempunyai sifat poikilotermis yaitu suhu tubuh ikan dipengaruhi oleh suhu air disekitarnya sehingga mengakibatkan rendahnya tingkat metabolisme setelah air mengalami penurunan suhu. Pada kolam budidaya, suhu dapat berubah karena pengaruh lingkungan seperti hujan maupun cuaca yang panas.
Pembesaran Ikan Kerapu Tikus di Karamba Jaring Apung
Pada pembesaran di karamba jaring apung, ikan yang ditebar berukuran mulai 10 cm (D70) dengan masa pemeliharaan 15 bulan Pemberian pakan dilakukan 1 kali sehari   berupa ikan selar kuning dengan total  konsumsi mencapai 2,5 kw serta pemberian vitamin C yang dilakukan seminggu sekali. Ikan kerapu tikus makan dengan menyergap pakannya sebelum sampai ke dasar jaring. Suhu di karamba berkisar 29-31 ⁰C dengan salinitas 33 ppt. Jenis penyakit yang potensial mengganggu disebabkan oleh parasit.
Pergerakan ikan kerapu tikus pada keramba terbatas hanya mengelilingi kolam saja dan berdiam di dasar kolam, peningkatan gerakan terjadi saat pemberian pakan. Ikan kerapu tikus makan dengan menyambar ikan segar yang diberikan.  Lingkungan ikan yang ada di karamba jaring apung (KJA) lebih menguntungkan baik bagi ikan itu sendiri maupun bagi pemilik karamba karena penempatannya di laut sesuai dengan habitat ikan kerapu tikus.
Jadi, tingkah laku  ikan kerapu tikus  pada pemeliharaan di  budidaya tidak  jauh  berbeda dengan habitat aslinya. Balai Budidaya Air Payau membuat manipulasi lingkungan yang benar-benar sesuai dengan habitat asli ikan kerapu tikus. Pada pembenihan, larva bersifat pelagis. Seiring dengan pertumbuhannya, ikan kerapu tikus hidup di dasar permukaan dimana pada habitat aslinya, daerah terumbu karang merupakan tempat tinggal bagi ikan sehingga ikan kerapu tikus mencari mangsa disekitar terumbu karang.

Thursday, November 9, 2017

PENDEKATAN PENGOLAHAN RUMPUT LAUT

November 09, 2017 Posted by Media Penyuluhan Perikanan Pati 1 comment
Lebih dari 80% rumputlaut Indonesia hanya diekspor dalam bentuk bahan baku primer (rawmaterial) dengan harga relatif rendah, hanya 20% saja yang diolahdi dalam negeri. Melihatfenomena di atas, sudah saatnya orientasi pengembangan mulai melirik pada industry hilir sebagai upaya dalam menigkatkan nilai tambah produk. Akselerasi industri hulu harus diimbangi dengan industri hilir sehingga merubah orientasi pemasaran dalam bentuk bahan mentah menjadi bahan jadi atau setengah jadi.
Fenomena lain adalah dimana hampir keseluruhan Industri rumput laut nasional terkonsentrasi pada kota-kota besar seperti Jakarta dan Surabaya, dilain pihak konsentrasi industri hulu tersebar di Indonesia bagian timur (mulai dari Sulawesi, NTT, NTB, dan Maluku). Kondisi inilah saat ini yang menuai permasalahan khususnya rantai pasok (supllychain). Pola rantai distribusi pasar yang melelahkan sangat mempengaruhi posisi tawar produk yang dihasilkan pembudidaya, sehingga nilai tambah produk belum mampu dirasakan oleh produsen di hulu. Dengan adanya konsentrasi industri rumput laut di sentral-sentral produksi melalui pendekatan nilai tambah (addingvalue) produk, diharapkan akan mampu menciptakan pergerakan ekonomi lokal, regional dan nasional.
FAKTOR-FAKTOR PENDUKUNG
Aspek Budidaya
Kondisi budidaya di hulu mutlak menjadi pertimbangan utama sebelum menetapkan pembangunan industri rumput laut. Kegiatan budidaya rumput laut yang dilakukan harus senantiasa sesuai dengan teknologi anjuran pada setiap rangkaian proses produksi. Pola produksi budidaya harus mampu menjamin kontinyuitas produksi yang berkualitas. Analisis kelayakan budidaya meliputi penerapan teknologi anjuran, profil usaha budidaya, tingkat pendapatan dan margin pemasaran.
Aspek pasar dan pemasaran
Segementasi dan deskripsi produk
Produk intermediate olahan rumput laut memiliki banyak ragam, namun umumnya yang beredar di pasaran meliputi 3 (tiga) produk utama yaitu :
a). ATC (AlkaliTreatedChips)
Produk ini sering pula disebut chip rumput laut. Didapatkan melalui proses pengolahan yang relatif sederhana, dimulai dari pencucian dan pemasakan rumput laut dengan menggunakan larutan alkali (NaOH, KOH, KCl) pada suhu < 80oC selama 2 (dua) jam. Kemudian dicuci dengan air tawar dan dipotong dengan ukuran sekitar 3 – 5 cm.
b). SRC (SemiRefineCarrageenan)
Produk ini sering pula disebut karaginan setengah murni, dikodekan dengan EU407/a. Dikatakan demikian karena pada proses pengolahannya, karaginan di dalam rumput laut diupayakan tidak larut, melalui manipulasi pH dan suhu. Sedangkan komponen yang diupayakan larut adalah selulosa, yang notabene merupakan lapisan luar. Kendati demikian, kandungan selulosa pada produk akhir, umumnya masih tinggi. Hal ini yang menyebabkan produk SRC lebih banyak dipergunakan pada produk non-pangan seperti cat tembok, kosmetik, pengharum ruangan, pelapis keramik, hingga makanan hewan.
c). RC (RefineCarrageenan)
Produk ini sering pula disebut karaginan murni, dikodekan dengan EU407. Perbedaan utama dengan SRC adalah karaginan dan selulosa rumput laut, diproses dalam suhu tinggi sehingga larut dalam larutan alkali, untuk kemudian dipisahkan melalui proses penyaringan. Karena tidak mengandung selulosa, produk RC banyak dipergunakan pada produk pangan seperti susu kental manis, jelly, pasta ikan, kecap, saus dan lain sebagainya.
Nilai Tambah (addingvalue) Produk
Nilai tambah (adding value) dari rumput laut justru berada pada industri hilir (pengolahan). Estimasi nilai tambah produk pada masing-masing segmentasi usaha, sbb :
Produk    Rendemen (%)    Harga (Rp/kg)    Nilai Tambah (%)
Rumput Laut Kering     12% dari rumput laut basah      7.000    -
ATC Chips (IndustrialGrade)    31,5% dari rumput laut kering     60.000    270%
SRC (FoodGrade)    25% dari rumput laut kering     80.000    285%
RC (FoodGrade)    23,6% dari rumput laut kering    200.000    674%
Karaginan kertas    25% dari rumput laut kering     95.000    339%
Aspek Teknis Produksi
Penentuan Lokasi
Faktor Primer
A.     Ketersediaan bahan baku
Bahan baku harus terjamin ketersediaannya secara tepat waktu, jumlah dan kualitas. Ketersediaan bahan baku disini merupakan kemampuan suplly harian dari hulu bagi industri pengolah secara kontinyu.
Estimasi kebutuhan bahan baku, masing-masing menurut segmentasi usaha pengolahan :
  Industri ATC chips skala menengah/besar mampu menghasilkan produk ATC Chips ≥ 5 ton/hari dengan estimasi kebutuhan bahan baku ≥ 15 ton/hr.
  Industri SRC skala menengah/besar mampu menghasilkan produk SRC ≥ 5 ton/hr dengan estimasi kebutuhan bahan baku rumput laut kering ≥ 20 ton/hr.
  Industri RC skala menengah/besar mampu menghasilkan produk RC ≥ 1 ton/hr dengan estimasi kebutuhan bahan baku rumput laut kering ≥ 5 ton/hr.
Jika kemungkinan pada sentral produksi kebutuhan bahan baku berkurang pada kondisi tertentu, maka alternatif suplly bahan baku harus mampu disediakan dari daerah lain disekitar.
B.     Aksesibilitas
Konsumen/pasar produk ATC Chips, SRC dan RC karaginan secara umum merupakan industri hilir yang ada di pulau Jawa (Jakarta dan Surabaya), sehingga kedekatan akses dengan infrastruktur transportasi baik darat, laut maupun udara keberdadaanya menjadi sangat vital. Industri yang letaknya dekat dengan pasar, relatif lebih cepat dalam hal pelayanan konsumen, biaya pengangkutan lebih rendah serta terkait dengan pemantauan perubahan keinginan pasar. Hasil akhir produk karaginan dapat dipasarkan langsung ke pulau Jawa. Disamping itu akses ke lokasi sentral produksi harus terjamin kemudahannya guna mempermudah fungsi pengangkutan dan distribusi hasil produksi.
C.     Sarana dan prasarana penunjang
Dalam menjamin kualitas baha baku hasil produksi budidaya, pada sentra produksi harus tersedia sarana penjemuran dan depo/gudang penampungan yang memadai.
D.    Fasilitas Pengangkutan
Ketersediaan fasilitas pengangkutan baik untuk bahan baku maupun produk akhir, dapat dilakukan dengan menggunakan angkutan darat (truk), angkutan laut maupun udara.
E.  Ketersediaan SDM tenaga kerja
Pengolahan rumput laut lebih banyak membutuhkan tenaga kerja tidak terdidik (unskilled labour) dibandingkan tenaga kerja terdidik (skilled labour). Dalam konteks diatas, penempatan industri pengolahan rumput laut sebaiknya memperhitungkan ketersediaan tenaga kerja produktif, dalam artian turut memperhitungkan karakteristik budaya, mata pencaharian pokok serta kebiasaan hidup masyarakat sekitar yang heterogen sehingga dapat mengeliminir terjadinya inefisiensi yang dapat mempengaruhi kelancaran proses produksi.
F.  Infrastruktur penunjang
Infrastruktur penunjang meliputi jaringan listrik dan jaringan telepon. Kebutuhan listrik yang tinggi dapat dipenuhi dari PLN maupun generator diesel (untuk mengantisipasi kondisi pemadaman), sehingga kedekatan dengan sumber bahan bakar (SPBU) menjadi vital. Selain itu, akses informasi (telepon/internet) patut diperhitungkan terutama dalam akses komunikasi dan pemantauan pasar.
G. Aspek kelembagaan dan kemitraan
Kelembagaan kelompok maupun penunjang menjadi sangat penting sebagai faktor utama dalam menjamin siklus bisnis yang positif. Keberadaan kelembagaan yang kuat secara langsung akan mampu meningkatkan efektifitas rantai pasok dankualitas hasil produksi di hulu, sehinggka kondisi ini akan memberikan dampak positif bagi keberlangsungan industri pengolah.
Keberadaan spekulan harus diiupayakan untuk ditekan karena secara langsung akan mempengaruhi rantai pasok, stabiltas harga dan jaminan kualitas hasil produksi. Keberadaan industri pengolah, diupayakan harus mampu membangun kemitraan yang positif secara langsung dengan pembudidaya/kelompok.
Faktor sekunder
A.     Dukungan/regulasi Pemerintah Daerah
Peraturan Daerah baik di tingkat Provinsi maupun Kabupaten, harus mendukung perkembangan industri dilihat dari aspek kebijakan, hukum, teknis maupun kemudahan permodalan.
B.     Respon masyarakat
Respon masyarakat turut menentukan keberlanjutan pabrik kedepan terkait keselamatan dan keamanan produksi, potensi konflik menyangkut rekruitment tenaga kerja hingga social cost yang kerap muncul terutama pada era otonomi daerah seperti saat ini. Respon masyarakat turut menentukan keberlanjutan pabrik kedepan terkait keselamatan dan keamanan produksi, potensi konflik menyangkut rekruitment tenaga kerja hingga social cost yang kerap muncul terutama pada era otonomi daerah seperti saat ini.
C.     Kemudahan lainnya
Meliputi harga tanah dan gedung, kemungkinan perluasan, fasiltas servis, fasilitas finansial, ketersediaan air, iklim lokasi dll.

Wednesday, November 8, 2017

TEKNIK PENANGKAPAN IKAN TONGKOL DENGAN MEMAKAI ALAT TANGKAP TRADISIONAL

November 08, 2017 Posted by Media Penyuluhan Perikanan Pati 1 comment
Latar belakang
Terjadinya fenomena tangkap lebih akibat dari persepsi yang keliru tentang sumberdaya ikan laut, yang mana selama ini dimiliki oleh kebanyakan para nelayan, pengusaha perikanan, dan pejabat pemerintah. Kekeliruan pertama adalah mereka menganggap ikan adalah sumberdaya dapat pulih (sustaineutable resourcesl) sehingga dapat dieksploitasi secara tak terbatas (infinite) (Dahuri, 2003).
Aspek BIologi IKan Tongkol
Ikan tongkol terklasifikasi dalam ordo Goboioida, family Scombridae, genus Auxis, spesies Auxis thazard. Ikan tongkol masih tergolong pada ikan Scombridae, bentuk tubuh seperti betuto, dengan kulit yang licin . Sirip dada melengkung, ujungnya lurus dan pangkalnya sangat kecil. Ikan tongkol merupakan perenang yang tercepat diantara ikan-ikan laut yang berangka tulang. Sirip-sirip punggung, dubur, perut, dan dada pada pangkalnya mempunyai lekukan pada tubuh, sehingga sirip-sirip ini dapat dilipat masuk kedalam lekukan tersebut, sehingga dapat memperkecil daya gesekan dari air pada waktu ikan tersebut berenang cepat. Dan dibelakang sirip punggung dan sirip dubur terdapat sirip-sirip tambahan yang kecil-kecil yang disebut finlet (Nainggolan E, 2009).
Ikan tongkol dapat mencapai ukuran panjang 60 65 cm dengan berat 1.720 gr pada umur 5 tahun. Panjang pertama kali matang gonad ialah 29 30 cm. Ikan tongkol temasuk ikan pelagis yang hidup pada kedalaman hingga 50 m di daerah tropis dengan kisaran suhu 27 28oC. Ikan tongkol merupakan jenis ikan migratory yang tersebar disekitar perairan samudera atlantik, hindia dan pasifik..
Ikan tongkol memiliki 10 12 jari-jari sirip punggung, 10 13 jari-jari halus sirip punggung, 10 14 jari-jari halus sirip dubur, dengan warna punggung kebiru-biruan, ungu tua bahkan berwarna hitam pada bagian kepala. Sebuah pola 15 garis-garis halus, miring hampir horisontal, garis bergelombang gelap di daerah scaleless diatas gurat sisi (linea lateralis). Bagian bawah agak putih (cerah). Dada dan sirip perut ungu, sisi bagian dalam mereka hitam. Badan kuat, memanjang dan bulat. Gigi kecil dan berbentuk kerucut, dalam rangkaian tunggal. Sirip dada pendek, tapi mencapai garis vertikal melewati batas anterior dari daerah scaleless atas corselet. Sebuah flap tunggal besar (proses interpelvic) antara sirip perut. Tubuh telanjang kecuali untuk corselet, yang dikembangkan dengan baik dan sempit di bagian posterior (tidak lebih dari 5 skala yang luas di bawah asal-sirip punggung kedua). Sebuah keel pusat yang kuat pada setiap sisi dasar sirip ekor-kecil antara 2 keel.
Klasifikasi Ikan Tongkol.
Phylum            : Chordata
Sub phylum     : Vertebrata
Class                : Pisces
Sub class         : Teleostei
Ordo                : Percomorphi
Sub ordo         : Scromboidea
Family             : Scromboidae
Genus              : Auxis
Species            : Auxis thazard
Bersifat epipelagic di perairan neretik dan samudra. Makanannya berupa ikan kecil, cumi-cumi, krustasea planktonik (megalops), dan larva stomatopod. Karena kelimpahan mereka, mereka dianggap sebagai elemen penting dari rantai makanan, khususnya sebagai hijauan untuk spesies lain bagi kepentingan komersial. Diincar oleh ikan yang lebih besar, termasuk tuna lainnya. Dipasarkan segar dan beku juga digunakan kering atau asin, asap, dan kaleng. (Bussines Center 2010).
Adapun jenis alat tangkap tersebut antara lain :
1. Payang
Menurut Monintja (1991), jaring pada payang terdiri atas kantong, dua buah sayap, dua tali ris, tali selembar, serta pelampung dan pemberat. Kantong merupakan satu kesatuan yang berbentuk kerucut terpancung, semakin ke arah ujung kantong jumlah mata jaring semakin berkurang dan ukuran mata jaringnya semakin kecil. Ikan hasil tangkapan akan berkumpul di bagian kantong ini, semakin kecil ukuran mata jaaringmaka semakin kecil kemungkinan ikan meloloskan diri..
Keterangan:
1. Tali selembar kanan
2. Tali selembar kiri
3. Pelampung bulat
4. Sayap kanan
5. Sayap kiri
6. Pemberat
7. pelampung
8. Buntut
9. Tal iris atas
10.Tal iris bawah
Sayap merupakan lembaran jaring yang disatukan dan berfungsi sebagai penggiring dan pengejut bagi ikan sehingga ikan mengarah ke mulut jaring. Sayap terdiri atas sayap kiri dan sayap kanan, memiliki ukuran mata jaring yang lebih besar dari bagian lainnya (Monintja, 1991).
Tali ris ada dua bagian, yaitu tali ris atas dan tali ris bawah. Tali ris atas lebih panjang dan tali ris bawah yang menyebabkan bibir jaring bagian atas lebih menjorok ke dalam. Hal ini dimaksudkan untuk menghindari ikan meloloskan diri ke bagian bawah perairan. Tali ris berfungsi untuk merentangkan jaring dan merupakan tempat tali pelampung (floats) dan pemberat (sinker). Tali selembar adalah tali yang mengikat ujung sayap kiri dan kanan jaring, berfungsi menghubungkan antara jaring dan kapal/perahu (Subani dan Barus, 1989).
Pelampung dan pemberat berfungsi untuk membantu bukaan mulut jaring. Pelampung juga berfungsi untuk mempertahankan bentuk jaring sesuai dengan yang diinginkan dan menjaga bukaan mulut jaring dari pengaruh angin dan arus saat dioperasikan. Pemberat berfungsi agar bagian bawah jaring terendam sempurna sehingga membentuk bukaan mulut jaring yang maksimal (Monintja, 1991).
2. Pukat Cincin (Purse Seine)
Pukat cincin atau jaring lingkar (purse seine) merupakan jenis jaring penangkap ikan berbentuk empat persegi panjang atau trapesium, dilengkapi dengan tali kolor yang dilewatkan melalui cincin yang diikatkan pada bagian bawah jaring (tali ris bawah), sehingga dengan menarik tali kolor bagian bawah jaring dapat dikuncupkan sehingga gerombolan ikan
Pukat cincin atau purse seine adalah sejenis jaring yang di bagian bawahnya dipasang sejumlah cincin atau gelang besi. Dewasa ini tidak terlalu banyak dilakukan penangkapan tuna menggunakan pukat cincin, kalau pun ada hanya berskala kecil. Pukat cincin dioperasikan dengan cara melingkarkan jaring terhadap gerombolan ikan. Pelingkaran dilakukan dengan cepat, kemudian secepatnya menarik purse line di antara cincin-cincin yang ada, sehingga jaring akan membentuk seperti mangkuk. Kecepatan tinggi diperlukan agar ikan tidak dapat meloloskan diri.
Setelah ikan berada di dalam mangkuk jaring, lalu dilakukan pengambilan hasil tangkapan menggunakan serok atau penciduk. Pukat cincin dapat dioperasikan siang atau malam hari. Pengoperasian pada siang hari sering menggunakan rumpon atau payaos sebagai alat bantu pengumpul ikan. Sedangkan alat bantu pengumpul yang sering digunakan di malam hari adalah lampu, umumnya menggunakan lampu petromaks. Rumpon selain berfungsi sebagai alat pengumpul ikan juga berfungsi sebagai penghambat pergerakan atau ruaya ikan, sehingga ikan akan berada lebih lama di sekitar payaos. Rumpon dapat menjaga atau membantu cakalang tetap berada d lokasi pemasangannya selama 340 hari.
3. Jaring Insang
Jaring insang adalah alat penangkapan ikan berbentuk lembaran jaring empat persegi panjang, yang mempunyai ukuran mata jaring merata. Lembaran jaring dilengkapi dengan sejumlah pelampung pada tali ris atas dan sejumlah pemberat pada tali ris bawah. Ada beberapa gill net yang mempunyai penguat bawah (srampat/selvedge) terbuat dari saran sebagai pengganti pemberat.
Tinggi jaring insang permukaan 5 - 15 meter dan bentuk gill net empat persegi panjang atau trapesium terbalik, tinggi jaring insang pertengahan 5 - 10 meter dan bentuk gill net empat persegi panjang serta tinggi jaring insang dasar 1 - 3 meter dan bentuk gill net empat persegi panjang atau trapesium. Bentuk gill net tergantung dari panjang tali ris atas dan bawah..
Pengoperasiannya dipasang tegak lurus di dalam perairan dan menghadang arah gerakan ikan. Ikan tertangkap dengan cara terjerat insangnya pada mata jaring atau dengan cara terpuntal pada tubuh jaring. Satuan jaring insang menggunakan satuan pis jaring (piece). Satu unit gill net terdiri dari beberapa pis jaring (SISKA, 2010).
Dilihat dari cara pengoperasiannya, alat tangkap ini biasa dihanyutkan (drift gill-net), dilabuh (set gill-net), dilingkarkan (encircling gill-net). Jaring insang termasuk alat tangkap potensial terlebih setelah adanya Keppres 29/80 khususnya jaring insang dasar (bottom set gill-net) atau yang lebih dikenal dengan nama Jaring klitik (Genisa. A. S, 1998).
a. Jaring insang hanyut
Jaring insang hanyut adalah jenis gill net yang berbentuk empat persegi panjang. Jaring insang hanyut termasuk dalam klasifikasi jaring insang hanyut di permukaan air (surface drift gill net) atau jaring insang hanyut di pertengahan air (midwater drift gill net) dengan panjang tali ris bawah sama dengan atau lebih kecil daripada panjang tali ris atas. Pengoperasiannya dipasang tegak lurus dan dihanyutkan di dalam perairan mengikuti gerakan arus selama jangka waktu tertentu, salah satu ujung unit gill net diikatkan pada perahu/kapal atau kedua ujung gill net dihanyutkan di perairan. Pada perairan umum, jaring insang hanyut digunakan
Hasil tangkapan antara lain baung, kepiting, sepat siam, gabus, koan, lukas, mas, mujair, botia, berukung, benteur, bilih, tawes, depik, hampal, jelawat, kendia, lalawak, sili, nilem, parang, repang, salab, semah, seren, betutu, patin jambal, tempe dan lempuk (SISKA, 2010).
b. Jaring insang tetap
Jaring insang tetap adalah jaring insang berbentuk empat persegi panjang. Jaring insang tetap dapat dikategorikan dalam klasifikasi jaring insang tetap di dasar air (bottom set gill net), jaring insang tetap di pertengahan air (midwater set gill net) tergantung pada pemasangan gill net di dalam perairan. Tali ris bawah sama dengan atau lebih panjang daripada tali ris atas. Pengoperasiannya dipasang menetap di perairan dengan menggunakan pemberat selama jangka waktu tertentu. Pada perairan umum, jaring insang hanyut digunakan di danau atau waduk (SISKA, 2010).
Dalam pengoperasiannya jaring ini bisa dilabuh (diset), lapisan tengah maupun dibawah lapisan atas, tergantung dari panjang tali yang menghubungkan pelampung dengan pemberat (jangkar). Jaring insang labuh ini sama dengan jaring klitik yaitu jaring insang dasar menetap yang sasaran utama penangkapannya adalah udang dan ikan-ikan dasar. Cara pengoperasian jaring insang labuh ini disamping didirikan secara tegak lurus, dapat juga diatur sedemikian rupa yang seakan-akan menutup permukaan dasar atsau dihamparan tepat di atas karang-karang (Genisa. A. S, 1998).
c. Jaring Lingkar
Jaring insang lingkar adalah jaring insang yang dalam pengoperasiannya dengan cara melingkarkan ke sasaran tertentu yaitu kawanan ikan yang sebelumnya dikumpulkan melalui alat bantu sinar lampu. Setelah kawanan ikan terkurung kemudian dikejutkan dengan suara dengan cara memukul-mukul bagian perahu, karena terkejut ikan-ikan tersebut akan bercerai-berai dan akhirnya tersangkut karena melanggar mata jaring (Genisa. A. S, 1998).

Tuesday, November 7, 2017

MANFAAT FITOPLANKTON DI DALAM PROSES NITRIFIKASI DI PERAIRAN

November 07, 2017 Posted by Media Penyuluhan Perikanan Pati 1 comment
Budidaya ikan bandeng air tawar sistem polikultur dengan ikan nila, ikan Karper, ikan patin, yang di lakukan di Desa Talun, Kecamatan Kayen, Kabupaten Pati sampai sekarang masih mengandalkan pemberian pupuk Urea dan SP-36. Proses pemupukan Urea dan SP-36 yang di lakukan sebagai bahan untuk menghidupkan plankton yang di pergunakan makan ikan.
Plankton yang ada di perairan berupa fitoplankton dan zooplankton, pada saat ini yang kita bahas berupa fitoplanton. Apakah Fitoplankton yang dimaksud disini, jadi fitoplanton adalah komponen autotrof plankton, yang mampu mensintesis makanan sendiri yang berupa bahan organik dari bahan anorganik dengan bantuan energi. Komponen autotrof ini berfungsi sebagai produsen (Anonim, 2008b: 1). Sebagaimana dikemukakan pula oleh Fachrul (2007: 92) bahwa fitoplankton berperan sebagai produsen dalam ekosistem perairan yang merupakan salah satu komponen utama dalam suatu sistem rantai makanan atau jaring makanan, karena fitoplankton adalah mikroorganisme yang mampu melakukan fotosintesis.
Pada ekosistem danau fitoplankton jauh lebih penting daripada vegetasi berakar di dalam memproduksi makanan pokok untuk kehidupan ekosistem (Odum, 1996: 386). Hal ini terjadi karena tanaman berakar hanya terdapat di daerah litoral, sedangkan fitoplankton terdapat di daerah limnetik yang lebih luas. Kemampuan fitoplankton untuk mensintesis sendiri bahan organiknya menjadikan mereka sebagai dasar dari sebagian besar rantai makanan di ekosistem lautan dan di ekosistem air tawar. (Anonim, 2008b: 1). Dalam struktur piramida makanan, fitoplankton sangatlah penting karena menempati posisi sebagai produksi primer. Fitoplankton yang berperan sebagai produsen, peranan produsen dalam suatu ekosistem adalah sebagai pengubah energi cahaya matahari menjadi energi kimia melalui proses fotosintesis (Odum, 1996: 376). Energi kimia disini merupakan senyawa organik karbon yang bemanfaat bagi organisme heterotrof yang hidup di ekosistem tersebut. Maka, produktivitas perairan sangat ditentukan dengan adanya fitoplankton. Suatu perairan cenderung memiliki produktivitas primer tinggi apabila ketersediaan fitoplanktonnya tinggi (Nontji, 1984 dalam Nahib, 2007: 73). Keberadaan fitoplankton disuatu perairan sangat dipengaruhi oleh faktor biologi, fisik dan kimiawi lingkungan diperairan tersebut (Fachrul, 2007: 91). Beberapa faktor fisik dan kimiawi lingkungan yang mempengaruhi keberadaan fitoplankton diantaranya intesitas cahaya, kedalaman perairan, unsur hara (Fachrul, 2007: 90-91).
Proses asal usul fitoplankton
Unsur nitrogen (N) dan fosfor (P) merupakan unsur hara (nutrisi) yang diperlukan oleh flora (tumbuhan laut) untuk pertumbuhan dan perkembangan hidupnya. Unsur-unsur tersebut ada dalam bentuk nitrat (NO3) dan fosfat (PO4). Unsur-unsur kimia ini bersama-sama dengan unsur-unsur lainnya seperti belerang (S), kalium (K) dan karbon (C).Disebut juga unsur hara (nutrien).
Nitrogen merupakan salah satu unsur penting bagi pertumbuhan organisme dan proses pembentukan protoplasma, serta merupakan salah satu unsur utama pembentukan protein. Diperairan nitrogen biasanya ditemukan dalam bentuk amonia, amonium, nitrit dan nitrat serta beberapa senyawa nitrogen organik lainnya. Pada umumnya nitrogen diabsorbsi oleh fitoplankton dalam bentuk nitrat (NO3 – N) dan ammonia (NH3 – N). Fitoplankton lebih banyak menyerap NH3 – N dibandingkan dengan NO3 – N. karena lebih banyak dijumpai diperairan baik dalam kondisi aerobik maupun anaerobik.
Senyawa-senyawa nitrogen ini sangat dipengaruhi oleh kandungan oksigen dalam air, pada saat kandungan oksigen rendah nitrogen berubah menjadi amoniak (NH3) dan saat kandungan oksigen tinggi nitrogen berubah menjadi nitrat (NO3-).
Senyawa ammonia, nitrit, nitrat dan bentuk senyawa lainnya berasal dari limbah pertanian, pemukiman dan industri. Secara alami senyawa ammonia di perairan berasal dari hasil metabolisme hewan dan hasil proses dekomposisi bahan organik oleh bakteri
Sumber ammonia di perairan adalah hasil pemecahan nitrogen organic (protein dan urea) dan nitrogen anorganik yang terdapat dalam tanah dan air, juga berasal dari dekomposisi bahan organik (tumbuhan dan biota akuatik yang telah mati) yang dilakukan oleh mikroba dan jamur yang dikenal dengan istilah ammonifikasi.
Nitrat (NO3) adalah bentuk nitrogen utama di perairan alami. Nitrat merupakan salah satu nutrien senyawa yang penting dalam sintesa protein hewan dan tumbuhan. Konsentrasi nitrat yang tinggi di perairan dapat menstimulasi pertumbuhan dan perkembangan organisme perairan apabila didukung oleh ketersediaan nutrient. Konsentrasi ammonia untuk keperluan budidaya laut adalah ” 0,3 mg/l (KLH,2004). Sedangkan untuk nitrat adalah berkisar antara 0,9 – 3,2 mg/l (KLH, 2004; DKP,2002).
Zat-zat hara ini dibutuhkan oleh fitoplankton maupun tanaman yang hidup di laut untuk pertumbuhannya. Fitoplankton selanjutnya akan dimakan oleh zooplankton (fauna kecil yang hidup di permukaan air), zooplankton dan tanaman akan dimakan oleh ikan-ikan kecil, ikan-ikan kecil akan dimakan oleh ikan besar dan demikian seterusnya. Tanaman dan binatang yang hidup di laut akan mati dan tenggelam ke dasar perairan, selanjutnya akan membusuk dan nutrien yang ada di tubuhnya akan kembali ke dalam air, sehingga dasar perairan lebih kaya akan nutrien dibandingkan dengan permukaan.
Upwelling adalah gerakan vertikal/ hampir vertical atau penaikan massa air di bawah permukaan ke permukaan. Upwelling merupakan proses yang penting untuk mengembalikan zat-zat hara dari lapisan air dekat dasar ke daerah permukaan, oleh karena itu daerah di mana terjadi proses upwelling akan sangat kaya akan nutrien, sehingga plankton melimpah, dan ikan-ikan akan berkumpul di daerah itu, sehingga daerah upwelling merupakan daerah yang sangat baik untuk usaha penangkapan ikan. Tapi ada dampak buruk dari upwelling adalah kematian yang mendadak ikan yang di budidaya, biasanya pada waduk atau danau.
Sumber Oksigen Terlarut
Oksigen terlarut adalah salah satu parameter paling mendasar di perairan karena mempengaruhi kehidupan organisme akuatik. Umumnya konsentrasi oksigen saat permulaan fajar rendah, lalu tinggi pada siang hari kemudian secara kontinu berkurang sepanjang malam karena kebutuhan respirasi komunitas.
Penguraian Bahan Organik Wetzel dan Likens (1991) menyatakan bahan organik di ekosistem perairan berada dalam bentuk senyawa organik terlarut sampai bahan organik partikulat (POM) dalam agregat besar, serta dari organisme hidup yang mati.
Siklus biogeokimia mempengaruhi laju dekomposisi C, N, P, S dan oksigen. Proses dekomposisi adalah proses yang kontinu, tetapi lajunya bervariasi tergantung jumlah subtrat dan variabel lingkungan.
Dekomposisi Aerobik
Gunnison et.al., (1985) menyatakan pada dekomposisi aerobik,mikroorganisme aerobik, mengkonversi bahan organik yang tersedia menjadi komponen inorganik, karbondioksida, nitrat, sulfat, dan fosfat, dan mengurangi oksigen di perairan.
Dekomposisi Anaerobik.
Respirasi anaerobik dapat didefinisikan sebagai reaksi biologi dimana oksidasi senyawa anorganik sebagai akseptor electron. Pada kondisi tidak ada oksigen bakteri anaerob mengoksidasi bahan organik dengan menggunakan berbagai agen oksidasi : manganase, nitrat, besi, sulfat dan bikarbonat.
Reduksi nitrat (denitrifikasi) umumnya dengan cepat diikuti deplesi oksigen dan hasilnya yaitu : CO2, air dan nitrogen (melalui nitrit). Pereduksi nitrat (Pseudomonas, Bacillus, Micrococcus, Thiobacillus denitrificans) adalah anaerobik fakultatif dan menggunakan oksigen jika suplainya cukup.
Eutrofikasi
Eutrofikasi adalah istilah yang menggambarkan penuaan danau. Eutrofikasi secara alami terjadi dalam waktu yang panjang. Pengkayaan nutrien yang dikuti oleh kemunduran kualitas air. Pengertian pengkayaan badan air dengan nutrien inorganik, khususnya nitrogen dan fosfor.
Istilah plankton pertama kali digunakan oleh Victor Hensen pada tahun 1887,dan disempurnakan oleh Haeckel tahun 1890.Kata plankton berasal dari bahasa Yunani yang berarti  mengembara.dan dapat diartikan sebagai seluruh kumpulan organisme baik hewan maupun tumbuhan yang hidup terapung atau melayang didalam air,tidak dapat bergerak atau dapat bergerak sedikit dan tidak dapat melawan arus.
Plankton dapat dikelompkan menjadi beberapa kelompok berdasarkan cara makan, keberadaan/dominansi,asal usul,ukuran, bentuk dan koloni sel,serta alat penangkap.pengelompokan plankton yang paling umum  didasarkan pada cara makanannya.berdasarkan cara makanannya plankton dapat dikelompokkan kedalam bakterioplankton (saproplankton),fitoplankton,dan zooplankton.
Bakterioplankton merupakan kelompok plankter yang terdiri atas organisme yang tidak berklorofil, meliputi bakteri (Micrococcus,Sarcina,Vibrio,Bacillus,Dll). Fitoplankton merupakan tumbuhan planktonic berklorofil yang umumnya terdiri atas (Bacillariphyceae, Chlorophyceae, Dinophyceae).
Selaian berklorofil fitoplankton juga memiliki bahan makanan cadangan yang umumnya berupa pati atau lemak,dinding sel yang tersusun dari selulosa,serta bentuk flagel yang beragam.zooplankton merupakan kelompok plankter yang mempunyai cara makan holozik.Anggota kelompok Ini meliputi hewan–hewan dari kelompokb protozoa,coelenterate,ctenopora,amelina,dan beberapa larva hewn-hewan vertebrata.kelompok zooplankton hamper seluruhnya didominasi oleh copepod dengan nilai sebesar 50-80%.
Kesimpulan
            Fitoplankton di dalam perairan memiliki kedudukan yang sangat penting, selain kedudukannya sebagai produsen di dalam rantai makanan. Fitoplankton juga berperan penting di dalam proses nitrifikasi. Oksigen yang dihasilkan oleh fitoplankton akan digunakan untuk merubah amoniak menjadi nitrat melalui proses nitrifikasi. Nitrat merupakan nutrient yang penting di dalam perairan karena berperan dalam proses pembentukan protoplasma dan juga sintesa protein. Fitoplankton juga membutuhkan nitrat di dalam proses pertumbuhannya.
Keberadaan nitrat di dalam perairan dipengaruhi oleh jumlah amoniak dan oksigen. Amoniak terdapat di dalam perairan selain terdpat secara alami juga cukup banyak yang berasal dari limbah domestik.