Thursday, October 20, 2016

MENGENAL PEMBEKUAN RAJUNGAN (Portunus pelagicus)

October 20, 2016 Posted by Media Penyuluhan Perikanan Pati 1 comment
1. Pendahuluan
Jenis kepiting yang populer sebagai bahan makanan dan mempunyai harga yang cukup mahal adalah Scylla serrata, dan jenis lain yang tidak kalah penting di pasaran adalah Portunus pelagicus yang biasa disebut rajungan (Bahar 2004).
Rajungan (Portunus pelagicus) merupakan kepiting laut yang banyak terdapat di Perairan Indonesia yang biasa ditangkap di daerah Gilimanuk (pantai utara Bali), Pengambengan (pantai selatan Bali), Muncar (pantai selatan Jawa Timur), Pasuruan (pantai utara Jawa Timur), daerah Lampung, daerah Medan, dan daerah Kalimantan Barat. Rajungan telah lama diminati oleh masyarakat baik di dalam negeri maupun luar negeri, oleh karena itu harganya relatif mahal. Manfaat rajungan sebagai bahan pangan berupa daging rajungan kaleng yang berkualitas tinggi dan memiliki protein cukup tinggi (Suwignyo 1989).
Pengalengan daging rajungan ini menggunakan teknologi pengolahan secara pasteurisasi, yaitu suatu proses pengolahan yang mengoptimalkan proses termal sehingga dapat membunuh sebagian besar mikroba yang bersifat patogen tapi tidak semua mikroba dan biasanya menggunakan suhu di bawah 1000C. Tahapan proses pengalengan rajungan biasanya meliputi penerimaan, sortasi, pengecekan akhir bahan baku, pencampuran, pengisian daging, penimbangan, penutupan kaleng, pengkodean, pasteurisasi, pendinginan, pengemasan atau pengepakan, penyimpanan dingin, dan pengangkutan (Moeljanto 1992).
Pada pengalengan daging rajungan menggunakan kaleng plat timah. Menurut Julianti dan Nurminah (2007), plat timah (tin plate) adalah bahan yang digunakan untuk membuat kemasan kaleng, terdiri dari lembaran baja dengan pelapis timah. Kelebihan dari tin plate adalah mengkilap, kuat, tahan karat dan dapat disolder. Fungsi paling mendasar dari kemasan adalah untuk mewadahi dan melindungi produk dari kerusakan-kerusakan, sehingga lebih mudah disimpan, diangkut dan dipasarkan.
Produk akhir pengalengan daging rajungan pasteurisasi yang telah dikemas membutuhkan ruang penyimpanan yang dilengkapi dengan mesin pendingin untuk mempertahankan mutu produk sebelum produk diekspor. Ikan termasuk rajungan mengalami penurunan mutu dengan cepat dan waktu penyimpanan akan singkat jika ikan tidak ditangani dan disimpan secara tepat (Ranoemiharjo dan Soeyanto 1991). Penerapan teknologi refrigerasi (suhu rendah) pada dunia usaha perikanan atau industri perikanan sangat menguntungkan. Beberapa keuntungan tersebut antara lain: memperpanjang operasi pabrik pengolahan karena dapat menghimpun stok bahan baku pada waktu musim panen raya dan memperpanjang waktu penyimpanan dan memperluas jaringan distribusi (Ilyas 1983). Oleh karena itu perlu adanya pembahasan lebih lanjut mengenai pengemasan dan penyimpanan produk akhir pada pengalengan daging rajungan pasteurisasi.
2. Klasifikasi dan Deskripsi Rajungan (Portunus pelagicus)
Klasifikasi lengkap dari Rajungan menurut Suwignyo (1989) adalah sebagai berikut:
Kingdom : Animalia
Sub Kingdom : Eumetazoa
Grade : Bilateria
Divisi : Eucoelomata
Section : Protostomia
Filum : Arthropoda
    Kelas : Crustacea
    Sub Kelas : Malacostraca
    Ordo : Decapoda
    Sub Ordo : Reptantia
    Seksi : Brachyura
    Sub Seksi : Branchyrhyncha
    Famili : Portunidae
    Sub Famili : Portunninae
    Genus : Portunus
    Spesies : Portunus pelagicus

    Rajungan bisa mencapai panjang 18 cm, capitnya kokoh, panjang dan berduri-duri. Pada hewan ini terlihat menyolok perbedaan antara jantan dan betina. Rajungan jantan mempunyai ukuran tubuh lebih besar dan capitnya lebih panjang daripada betina. Perbedaan lainnya adalah warna dasar, rajungan jantan berwarna kebiru-biruan dengan bercak-bercak putih terang, sedangkan betina berwarna dasar kehijau-hijauan dengan bercak-bercak putih agak suram. Perbedaan warna ini jelas pada individu yang agak besar walaupun belum dewasa (Suwignyo 1989).
    Rajungan mempunyai karapas berbentuk bulat pipih dengan warna yang sangat menarik. Ukuran karapas lebih besar ke arah samping dengan permukaan yang tidak terlalu jelas pembagian daerahnya. Sebelah kiri dan kanan karapasnya terdapat duri besar, jumlah duri sisi belakang matanya sebanyak 9, 6, 5 atau 4 dan antara matanya terdapat 4 buah duri besar. Rajungan mempunyai 5 pasang kaki jalan, yang pertama ukurannya cukup besar dan disebut capit yang berfungsi untuk memegang dan memasukkan makanan kedalam mulutnya. Sepasang kaki terakhir mengalami modifikasi menjadi alat renang yang ujungnya menjadi pipih dan membundar seperti dayung. Oleh sebab itu rajungan digolongkan kedalam kepiting berenang (swimming crab) (Suwignyo 1989).
    Portunus pelagicus adalah kepiting yang berenang dan mempunyai sepasang kaki renang yang dimodifikasi untuk mendayung. Karapasnya bertekstur kasar dan lebar yang mempunyai proyeksi tertinggi di setiap sudutnya. Capitnya panjang dan ramping. Rajungan merupakan binatang aktif, namun ketika sedang tidak aktif atau dalam keadaan tidak melakukan pergerakan, rajungan akan diam di dasar perairan sampai kedalaman 35 meter dan hidup membenamkan diri dalam pasir di daerah pantai berlumpur, hutan bakau, dan batu karang. Akan tetapi sekali-kali rajungan juga dapat terlihat berenang dekat permukaan
(Anonim 2007).
    Di Indonesia, rajungan tersebar hampir di seluruh perairan, khususnya di Perairan Paparan Sunda dan Perairan Laut Arafuru dengan memiliki kecenderungan padat sediaan dan potensi yang tinggi, terutama pada daerah sekitar pantai (Anonim 2007).

3.    Komposisi Kimia Rajungan (Portunus pelagicus)
Muchtadi dan Sugiyono (1992) menyatakan bahwa kandungan karbohidrat, kalsium, besi, phosphor, vitamin A dan vitamin B dari rata-rata kepiting dan rajungan berturut-turut adalah 14,1 %, 210 mg/100 g, 1,1 mg/100 g, 200 SI, dan 0,05 mg/100 g.
Daging kepiting dan rajungan mempunyai nilai gizi yang tinggi. Hasil analisa proksimat daging kepiting dan rajungan antara jantan dan betina (BBPMHP 1995) dapat dilihat pada Tabel 1.

    Tabel 1. Hasil analisa kimia daging kepiting dan rajungan
Jenis Komoditi    Protein (%)    Lemak (%)    Air (%)    Abu (%)
Kepiting    Betina    11.45    0.04    80.68    2.45
    Jantan    11.90    0.28    82.85    1.08
Rajungan    Betina    16.85    0.10    78.78    2.04
    Jantan    16.17    0.35    81.27    1.85
    Sumber : Laboratorium Kimia BBPMHP (1995) (Balai Bimbingan dan Pengujian
    Mutu Hasil Perikanan)
4. Proses Pengalengan Rajungan
Menurut Philips Seafood (2005) dalam Akhmadi (2006), daging rajungan dapat digolongkan menjadi lima jenis daging (Gambar 2), yaitu:
a. Jumbo lump atau kolosal (daging putih) yang merupakan jaringan terbesar yang berhubungan dengan kaki renang.
b. Backfin (daging putih) yang merupakan jumbo kecil dan pecahan dari daging jumbo.
c. Special (daging putih) yang merupakan daging yang berada disekitar badan yang berupa serpihan-serpihan.
d. Clawmeat (daging merah) yang merupakan daging dari bagian kaki sampai capit dari rajungan.
e. Claw Finger (daging merah) yang merupakan bagian dari capit rajungan bersama dengan bagian shell yang dapat digerakkan.
Menurut BBPMHP (1995) daging rajungan yang diperoleh biasanya digolongkan menjadi tiga tingkatan mutu, yaitu:
a. Mutu 1 (daging super/jumbo), yaitu daging badan yang terletak di bagian bawah (berhubungan dengan kaki renang) berbentuk gumpalan besar berwarna putih.
b. Mutu 2 (daging reguler), yaitu daging badan yang berupa serpihan-serpihan, terletak disekat-sekat rongga badan berwarna putih.
c. Mutu 3 (daging merah/clawmeat), yaitu daging rajungan yang berada di kaki dan capit, berwarna putih kemerahan.
5. Proses Pengalengan Daging Rajungan
    Secara umum tahap-tahap pengalengan dapat dikelompokkan dalam beberapa bagian meskipun untuk jenis ikan tertentu kemungkinan ada perbedaan atau variasi proses pengalengannya. Adapun tahap-tahap pengalengan ikan meliputi penyediaan dan pemilihan bahan baku, pengawetan sementara bahan mentah, penyiangan dan pencucian, pemasakan pendahuluan (precooking), pengisian dalam kaleng (filling), penghampaan udara (exhausting), penutupan kaleng, sterilisasi, dan pendinginan (Moeljanto 1992).
Pasteurisasi adalah pengolahan panas yang dirancang untuk menginaktifkan sebagian saja mikroorganisme vegetatif yang terdapat dalam pangan. Makanan yang tidak steril, dengan pasteurisasi sebagaimana pengukusan, harus juga digunakan bersamaan dengan cara pengawetan lainnya (Moeljanto 1992). Setelah pasteurisasi selesai, kaleng-kaleng dikeluarkan dari retort dan segera didinginkan. Apabila tidak didinginkan kemungkinan besar akan terjadi over cooking yang menyebabkan hangusnya daging. Tujuan lainnya adalah untuk memperoleh keseragaman (waktu dan suhu) dalam proses dan untuk mempertahankan mutu produk akhir, karena apabila pendinginan terlalu lambat, pertumbuhan spora bakteri tahan panas akan distimulir (Moeljanto 1992).
Penyimpanan suatu produk pada tingkat suhu rendah tujuannya adalah untuk mempertahankan semua faktor mutu dengan daya awet selama mungkin dalam batas daya awet dan biaya yang masih menguntungkan dan sesuai dengan yang diinginkan. Sistem penyimpanan pada cold storage yang paling baik adalah dengan sistem tiupan udara (air blast freezing), kelembaban relatifnya harus tetap dipertahankan antara 80-90%.
6. Penyimpanan Dingin (Chill Storage)
Pendinginan adalah penyimpanan bahan pangan di atas suhu pembekuan yaitu -2 sampai 100C. Meskipun air murni membeku pada suhu 00C, tetapi beberapa ada yang tidak membeku sampai -20C atau di bawahnya (Winarno dan Fardiaz 1973). Suhu pendinginan yang dapat memperlambat pertumbuhan atau aktivitas mikroorganisme atau mungkin membunuh beberapa bakteri, tetapi pendinginan maupun pembekuan tidak dapat digunakan untuk membunuh semua bakteri. Penyimpanan bahan makanan pada suhu rendah dapat mengakibatkan perubahan mutu. Pendinginan dapat berpengaruh terhadap rasa, tekstur, dan nilai gizi serta sifat-sifat lainnya (Winarno dan Fardiaz 1973).
Penggunaan blast freezer sebagai penyimpanan dingin pada ruang penyimpanan produk akhir tergantung pada tipe dan volume produk yang disimpan sebagai kunci utama untuk menentukan kecepatan pendinginan yang dibutuhkan selama penyimpanan. Suhu rendah yang diperlukan pada blast freezer dimana infiltrasi panas harus terjaga pada level yang sangat rendah dengan tujuan mengurangi kristal es yang terbentuk. Oleh karena itu, digunakan pintu ruangan pendingin berinsulator yang dirancang dengan baik untuk mencegah terjadinya kebocoran suhu yang dikombinasikan dengan konstruksi ruangan berinsulator yang sesuai agar aplikasi mesin blast freezer dapat efektif (Anonim 2008).
Pola penyusunan penyimpanan produk akhir dapat dengan menggunakan Pallet Racking System, yang digunakan agar produk disusun dan disimpan secara sistematis sehingga memudahkan ketika pembongkaran ataupun ketika pengambilan sampel. Pallet racking system ini disesuaikan dengan tipe dan volume produk, kapasitas ruangan, bagaimana produk disimpan, dan frekuensi penyusunan secara perputaran ataupun urutan untuk akses penyimpanan produk (Anonim 2008). Penggunaan fasilitas ruang pendingin sebagai gudang penyimpanan produk akhir harus memperhatikan tipe produk dan toleransinya terhadap perubahan suhu secara fluktuatif yang mungkin terjadi selama penyimpanan dalam chill storage. Penentuan penggunaan pintu berinsulator berdasarkan tipe, ukuran, lokasi ruang pendingin juga dapat menambah efisiensi operasi ruang pendingin (Anonim 2008).
Sumber : Suhirman dan berbagai sumber

1 comment:

  1. Apabila Anda mempunyai kesulitan dalam pemakaian / penggunaan chemical , atau yang berhubungan dengan chemical, jangan sungkan untuk menghubungi, kami akan memberikan konsultasi kepada Anda mengenai masalah yang berhubungan dengan chemical.

    Salam,

    (Tommy.k)

    WA:081310849918
    Email: Tommy.transcal@gmail.com

    Management

    OUR SERVICE
    Boiler Chemical Cleaning
    Cooling tower Chemical Cleaning
    Chiller Chemical Cleaning
    AHU, Condensor Chemical Cleaning
    Chemical Maintenance
    Waste Water Treatment Plant Industrial & Domestic (WTP/WWTP/STP)
    Degreaser & Floor Cleaner Plant
    Oli industri

    ReplyDelete