Pengertian Pembangunan Perikanan Berkelanjutan
Dalam dua dekade terakhir ini, istilah berkelanjutan menjadi isu utama dalam melaksanakan pembangunan, yang kemudian dirumuskan kedalam konsep pembangunan berkelanjutan. Pembangunan berkelanjutan didefinisikan sebagai pembangunan yang dapat memenuhi kebutuhan generasi saat ini tanpa mengurangi kemampuan generasi yang akan datang. Kebutuhan yang dimaksud disini adalah kebutuhan untuk kelangsungan hidup hayati dan kebutuhan untuk kehidupan manusia. Dengan demikian, pada prinsipnya konsep pembangunan berkelanjutan adalah pembangunan yang mengintegrasikan masalah ekologi, ekonomi, dan sosial.7
Konsep pembangunan berkelanjutan muncul dari kesadaran lingkungan dan kecemasan akan makin merosotnya kemampuan bumi untuk menyangga kehidupan. Tekait dengan isu pembangunan berkelanjutan ini, pada tahun 1992 PBB mengadakan Earth Summit (Konferensi Tingkat Tinggi/KTT Bumi) di Rio Janeiro, Brasil, dan 178 pemimpin negara di dunia termasuk Indonesia berhasil menyepakati program aksi untuk pembangunan berkelanjutan (sustainable development). Dokumen tersebut merupakan tindak lanjut laporan The World Commission on Environment and Development (WCED) atau Komisi Dunia tentang Lingkungan dan Pembangunan yang berjudul Masa Depan Kita Bersama (Our Common Future) pada sidang umum PBB pada tahun 1987.8 Selanjutnya, pada tahun 2002 di Johannesburg, Afrika Selatan, diadakan the Word Submit on Sustainable Development (WSSD) untuk lebih melengkapi lagi konsep pembangunan berkelanjutan dengan memuat prinsip-prinsip utama pembangunan berkelanjutan yang harus dipedomani setiap negara dalam 3 Munasinghe, M. 2002. Analysing the nexus of sustainable and climate change: An overview. France: OECD. 53 p
8[WCED] the World Commission on Environment and Development. 1987. Our Common Future (Document A/42/427). New York
mengimplementasikannya berdasarkan pertimbangan keterkaitan dan kesalingtergantungan pembangunan ekonomi, pembangunan sosial dan pembangunan lingkungan.
Pembangunan berkelanjutan ini tentunya mencakup semua sektor pembangunan, termasuk didalamnya adalah sektor perikanan. Istilah perikanan berkelanjutan (sustainable fisheries) mulai dijadikan agenda dunia pada tahun 1995 dengan merumuskan konsep pembangunan perikanan berkelanjutan oleh FAO dengan menyusun dokumen Kode Etik Perikanan yang Bertanggung Jawab atau Code of Conduct for Responsible Fisheries (CCRF). Selanjutnya, dilakukan perumusan definisi terkait dengan perikanan berkelanjutan, baik oleh lembaga-lembaga yang berkompeten maupun para ahli.
Salah satu lembaga yang terkait dengan pelaksanaan perikanan berkelanjutan, yakni Marine Stewardship Council (MSC), mendefinisikan perikanan berkelanjutan sebagai salah satu cara memproduksi ikan yang dilakukan sedemikian rupa sehingga dapat berlangsung terus menerus pada tingkat yang wajar dengan mempertimbangkan kesehatan ekologi, meminimalkan efek samping yang mengganggu keanekaragaman, struktur, dan fungsi ekosistem, serta dikelola dan dioperasikan secara adil dan bertanggung jawab, sesuai dengan hukum dan peraturan lokal, nasional dan internasional untuk memenuhi kebutuhan generasi sekarang dan generasi masa depan.10 Sementara, salah satu ahli perikanan dunia, yaitu Hilborn (2005) dari University of Washington, menyatakan bahwa definisi perikanan berkelanjutan adalah: aktivitas perikanan yang dapat mempertahankan keberlangsungan hasil produksi dalam jangka panjang, menjaga keseimbangan ekosistem antar generasi, dan memelihara sistem biologi, sosial, dan ekonomi guna menjaga kesehatan ekosistem manusia dan ekosistem laut.
Dengan demikian, dalam melaksanakan pembangunan perikanan berkelanjutan tidak lepas dari memadukan tujuan dari tiga unsur utamanya, yakni dimensi ekonomi, ekologi dan sosial. Pertama, tujuan pembangunan perikanan secara ekonomis dianggap berkelanjutan, jika sektor perikanan tersebut mampu menghasilkan produk ikan secara berkesinambungan (on continuing basis), memberikan kesejahteraan finansial bagi para pelakunya, dan memberikan sumbangan devisa serta pajak yang signifikan bagi negara. Kedua, tujuan pembangunan perikanan dikatakan secara ekologis berkelanjutan, manakala basis ketersediaan stok atau sumber daya ikannya dapat dipelihara secara stabil, tidak terjadi eksploitasi berlebihan, dan tidak terjadi pembuangan limbah melampaui kapasitas asimilasi lingkungan yang dapat mengakibatkan kondisi tercemar. Dan Ketiga, tujuan pembangunan perikanan dianggap secara sosial berkelanjutan, apabila kebutuhan dasar (pangan, sandang, kesehatan, dan pendidikan) seluruh penduduknya terpenuhi; terjadi distribusi pendapatan dan kesempatan berusaha secara adil; ada kesetaraan gender (gender equity), dan minim atau tidak ada konflik sosial.
2.2.2 Kaidah Internasional untuk Pembangunan Perikanan Berkelanjutan
Sumberdaya ikan tidak mengenal batas administrasi karena sifatnya yang selalu bergerak, bahkan untuk beberapa jenis ikan mampu bermigrasi antar negara, seperti ikan tuna. Inilah yang menjadi salah satu pertimbangan badan pangan dunia FAO (Food and Agriculture Organization) memfasilitasi untuk membentuk sebuah komite yang secara permanen menangani masalah perikanan dunia, yakni the Committee on Fisheries (COFI), pada sidang konferensi FAO ke-13 tahun 1965. COFI merupakan satu-satunya forum global antar-pemerintah yang fokus membahas isu-isu perikanan dunia, baik perikanan tangkap maupun akuakultur, untuk merumuskan rekomendasi solusinya yang nantinya dijadikan acuan atau rujukan oleh pemerintah, badan-badan perikanan regional (regional fisheries management organizations-RFMOs), pelaku usaha perikanan, lembaga swadaya masyarakat-LSM, dan masyarakat perikanan lainnya di seluruh dunia.
Indonesia yang telah bergabung menjadi anggota FAO sejak 28 November 1949, juga turut berpartisipasi dalam keanggotaan dan semua kegiatan COFI yang merupakan bagian dari lembaga FAO tersebut. Oleh karenanya, sudah semestinya dalam menyusun perencanaan dan mengimplementasikan program pembangunan perikanan tangkap nasionalnya, Pemerintah Indonesia perlu mengacu atau merujuk pada kaidah-kaidah internasional yang telah disepakati atau diadopsi dalam sidangsidang COFI. Beberapa kaidah internasional COFI yang penting dan perlu menjadi landasan bagi Pemerintah Indonesia dalam merumuskan strategi dan kebijakan pengelolaan perikanan tangkap berkelanjutan, yakni adalah:
1. “Compliance Agreement” yang telah disepakati dalam sidang the FAO Committee on Fisheries (COFI) ke-20 tahun 1993
Compliance Agreement merupakan kesepakatan internasional yang menyerukan kepada negara-negara di dunia untuk patuh dalam melakukan kegiatan penangkapan ikan di laut lepas sesuai dengan hukum internasional dan peraturan konservasi dan manajemen internasional yang berlaku. Salah satu penekanannya adalah mencegah kapal-kapal ikan suatu negara untuk melakukan reflagging di laut lepas.
2. “United Nation Fish Stock Agreement” yang telah disepakati dalam sidang the FAO Committee on Fisheries (COFI) ke-21 tahun 1995
Kaidah Internasional ini pada intinya mengamanahkan negara pantai dan negara penangkap ikan jarak jauh di laut lepas (high seas) wajib menerapkan pendekatan kehati-hatian, mempelajari akibat dari penangkapan ikan, menggunakan upaya-upaya konservasi dan manajemen, melindungi kategori stok target, melindungi keanekaragaman organisme, menghindari penangkapan ikan, dan kapasitas penangkapan ikan yang berlebih, memperhatikan kepentingan nelayan kecil, melaksanakan upaya konservasi dan manajemen melalui observasi, serta kontrol dan pemantauan yang efektif.
3. “The Code of Conduct for Responsible Fisheries” (CCRF) yang telah disepakati dalam sidang the FAO Committee on Fisheries (COFI) ke-21 tahun 1995
Kode etik pengelolaan perikanan bertanggung jawab ini pada prinsipnya mengamanahkan beberapa hal penting kepada negara pengguna sumberdaya ikan, yakni: harus menjaga sumberdaya ikan dan lingkungannya, hak menangkap ikan harus disertai dengan kewajiban menangkap ikan dengan cara yang bertanggungjawab, negara harus mencegah terjadinya penangkapan yang berlebih, kebijakan pengelolaan sumberdaya ikan harus berdasarkan bukti ilmiah terbaik yang tersedia, pelaksanaan pengeloaan sumberdaya ikan harus menerapkan pendekatan kehati-hatian, pengembangan dan penerapan alat penangkapan ikan yang selektif dan ramah lingkungan, perlu dilakukan perlindungan terhadap habitat perikanan yang kritis, negara menjamin terlaksananya pengawasan dan kepatuhan dalam melaksanakan pengelolaan perikanan. Kode etik ini beserta elaborasinya yang tertuang dalam beberapa guidelines merupakan referensi yang sangat penting bagi negara-negara pengguna sumberdaya ikan di dunia untuk mengimplementasikan pembangunan perikanannya dalam kerangka pembangunan berkelanjutan. Penerapan CCRF dalam pengelolaan dan perencanaan pembangunan perikanan nasional suatu negara, akan memberikan manfaat yang maksimal secara berkelanjutan bagi negara tersebut dalam hal penyediaan pangan bergizi, lapangan pekerjaan, pertumbuhan ekonomi, rekreasi dan kesejahteraan bagi seluruh masyarakatnya, baik untuk generasi kini maupun mendatang.
4. “The International Plan of Action (IPOA) for the Management of Fishing Capacity (IPOA CAPACITY)” yang telah disepakati dalam sidang COFI ke-23 tahun 1999.
IPOA CAPACITY adalah kaidah internasional sukarela yang berlaku untuk semua negara yang terlibat dalam aktivitas perikanan tangkap dengan mengamanahkan beberapa hal penting, yakni melakukan penilaian dan pemantauan kapasitas penangkapan ikan nasionalnya dan merumuskannya kedalam National Plan of Action (NPOA). Kode Etik Perikanan yang Bertanggungjawab menetapkan bahwa Negara harus mengambil langkahlangkah untuk mencegah atau menghilangkan kapasitas perikanan berlebih dan harus menjamin bahwa tingkat usaha penangkapan ikannya sepadan dengan potensi sumber daya ikan yang tersedia.
5. “The International Plan of Action (IPOA) for the Conservation and Management of Sharks (IPOA SHARKS)” yang telah disepakati dalam sidang COFI ke-23 tahun 1999.
Kaidah internasional ini tujuan utamanya adalah untuk perlindungan hiu dan memberi mandat kepada negara-negara anggotanya agar membuat National Plan of Action (NPOA) untuk pengelolaan hiu, karena FAO menilai hiu sebagai spesies yang memiliki nilai penting dalam ekosistem yang menjadi penentu dan indikator kesehatan dan keseimbangan ekosistem perairan laut, keberadaannya mulai terancam menuju kepunahan.
6. “The International Plan of Action (IPOA) on Illegal, Unreported and Unregulated (IPOA IUU) fishing” yang telah disepakati dalam sidang COFI ke-24 tahun 2001.
Kaidah internasional ini lahir dari keprihatinan beberapa negara terhadap kondisi masih berlangsungnya praktik-praktik perikanan yang tidak sejalan dan bahkan bertentangan dengan konsep-konsep CCRF, seperti: kegiatan penangkapan ikan yang tidak dilengkapi dengan surat izin resmi, melanggar batas kedaulatan suatu negara, tidak melaporkan atau memalsukan data hasil tangkapannya, sea transhipment, melakukan praktek reflagging, dan lain sebagainya. Kegiatan-kegiatan penangkapan ikan yang tidak bertanggung jawab tersebut, kemudian dikenal dengan istilah kegiatan illegal, unreported and unregulated fishing (IUU fishing). IUU fishing tentu sangat mengganggu upaya pengelolaan perikanan, sehingga sangat merugikan niat baik bagi negara dalam melaksanakan pembangunan perikanan yang bertanggungjawab. Kaidah internasional ini pada intinya mengamanatkan kepada setiap negara anggota FAO untuk menyusun National Plan of Action (NPOA) untuk mencegah, menghalangi, dan menghilangkan IUU fishing.
7. “Implementation of Ecosystem Approach to Fisheries Management to Achieve Responsible Fisheries and to Restore Fisheries Resources and Marine Environments” yang telah disepakati dalam sidang COFI ke-25 tahun 2003.
Untuk lebih mengefektifkan pengelolaan perikanan bertanggung jawab (CCRF) secara holistik dan terintegrasi, maka dalam sidang COFI ke-25 tahun 2003 telah diadopsi implementasi pengelolaan perikanan dengan pendekatan ekosistem (Ecosystem Approach to Fisheries Management atau EAFM) guna mencapai terwujudnya perikanan yang bertanggung jawab dan juga sekaligus untuk memulihkan sumber daya ikan serta lingkungan lautnya. Kebutuhan untuk mengadopsi kaidah ini, karena mempertimbangkan isu-isu yang lebih luas yang berdampak pada perikanan, seperti dampak dari polusi dan pembangunan wilayah pesisir, serta mengingat kompleksnya ekosistem di laut dan adanya dampak dari kegiatan penangkapan tidak hanya kepada target ikan tetapi juga terhadap ekosistem. EAFM sebenarnya adalah kelanjutan dalam penyempurnaan praktik manajemen perikanan yang bertanggung jawab (CCRF).
8. “The FAO Model Scheme on Port State Measures (PSM) to Combat Illegal, Unreported and Unregulated (IUU) Fishing (Model Scheme)” yang telah disepakati dalam sidang COFI ke-26 tahun 2005.
Dalam upaya lebih mengefektifkan memerangi IUU fishing yang menjadi ancaman global dalam pengelolaan perikanan berkelanjutan dan konservasi sumberdaya ikan dan keanekaragaman hayati laut, maka dalam sidang COFI ke26 tahun 2005 telah disepakati penyusunan instrument yang secara hukum mengikat (legally-binding Instrument) mengenai Port State Measures (PSM) berbasis Model Scheme dan International Plan of Action on IUU fishing. Kaidah internasional ini merupakan intervensi yang dilakukan oleh negara-negara pelabuhan untuk memerangi IUU fishing dengan menolak pemberian pelayanan terhadap kapal perikanan yang terindikasi melakukan IUU fishing.
9. “The Voluntary Guidelines for Securing Sustainable Small-scale Fisheries in the Context of Food Security and Poverty Eradication (SSF Guidelines)” yang telah disepakati dalam sidang COFI ke-31 tahun 2014.
Instrumen Internasional Perlindungan Nelayan Skala Kecil (Voluntary Guidelines on Small-scale Fisheries/VGSSF) adalah suatu instrumen yang secara khusus memberi kepastian atas kewajiban setiap negara melindungi nelayan kecil, mulai dari kegiatan produksi, pengolahan, hingga pemasaran. Instrumen ini bertujuan mengentaskan kemiskinan dan kelaparan nelayan skala kecil di masing-masing negara.
Sementara kaidah internasional yang penting dan perlu menjadi landasan bagi Pemerintah Indonesia dalam merumuskan strategi dan kebijakan pengelolaan perikanan budidaya berkelanjutan, diantaranya adalah:
1. “Responsible development of aquaculture, including culture-based fisheries, in areas under national jurisdiction” Kode Etik ini pada prinsipnya mengamanahkan beberapa hal penting seperti:
(a) Negara harus menetapkan, mempertahankan dan mengembangkan kerangka hukum dan administrasi yang tepat yang memfasilitasi pengembangan akuakultur yang bertanggung jawab;
(b) Negara harus mempromosikan pembangunan yang bertanggung jawab dan pengelolaan budidaya, termasuk evaluasi sebelum efek pembangunan akuakultur pada keragaman genetik dan integritas ekosistem, berdasarkan informasi ilmiah terbaik yang tersedia;
(c) Negara harus memproduksi dan secara teratur memperbarui strategi pembangunan perikanan dan rencana, seperti yang diperlukan, untuk memastikan bahwa pembangunan akuakultur berkelanjutan secara ekologis dan untuk memungkinkan pemanfaatan sumber daya bersama oleh budidaya dan kegiatan lainnya;
(d) Negara harus memastikan bahwa mata pencaharian masyarakat setempat, dan akses mereka ke lahan perikanan, tidak terkena dampak negatif perkembangan budidaya
(e) Negara harus menetapkan prosedur yang efektif khusus untuk budidaya untuk melakukan penilaian yang tepat lingkungan dan pemantauan dengan tujuan meminimalkan perubahan ekologis yang merugikan dan konsekuensi ekonomi dan sosial terkait yang dihasilkan dari ekstraksi air, penggunaan lahan, pembuangan limbah, penggunaan obat-obatan dan bahan kimia, dan budidaya lainnya kegiatan.
2. “Responsible development of aquaculture including culture-based fisheries within transboundary aquatic ecosystems”. Kode Etik ini pada prinsipnya mengamanahkan beberapa hal penting seperti:
(a) Negara harus melindungi ekosistem perairan lintas batas dengan mendukung praktek-praktek budidaya yang bertanggung jawab dalam yurisdiksi nasional mereka dan dengan kerjasama dalam mempromosikan praktek budidaya yang berkelanjutan;
(b) Negara harus, dengan hormat kepada Negara tetangga mereka, dan sesuai dengan hukum internasional, pastikan pilihan yang bertanggung jawab spesies, tapak dan pengelolaan kegiatan budidaya yang dapat mempengaruhi ekosistem perairan lintas batas;
(c) Negara harus berkonsultasi dengan Negara tetangga mereka, sebagaimana mestinya, sebelum memperkenalkan spesies non-pribumi ke dalam ekosistem perairan lintas batas;
(d) Negara harus membentuk mekanisme yang tepat, seperti database dan jaringan informasi untuk mengumpulkan, berbagi dan menyebarkan data yang terkait dengan kegiatan budidaya mereka untuk memfasilitasi kerjasama perencanaan untuk pengembangan budidaya di tingkat nasional, subregional, regional dan global;
(f) Negara-negara harus bekerja sama dalam pengembangan mekanisme yang sesuai, jika diperlukan, untuk memantau dampak dari input yang digunakan dalam budidaya.
3. “Use of aquatic genetic resources for the purposes of aquaculture including culture-based fisheries”. Kode Etik ini pada prinsipnya mengamanahkan beberapa hal penting seperti:
(a) Negara harus melindungi keanekaragaman genetik dan menjaga integritas komunitas perairan dan ekosistem oleh manajemen yang tepat. Secara khusus, upaya harus dilakukan untuk meminimalkan efek berbahaya dari memperkenalkan spesies non-pribumi atau genetik saham diubah digunakan untuk budidaya perikanan termasuk berbasis budaya ke perairan, terutama di mana ada potensi yang signifikan untuk penyebaran spesies non-pribumi tersebut atau diubah secara genetik saham ke perairan di bawah yurisdiksi negara lain serta perairan di bawah yurisdiksi Negara asal. Negara harus, bila memungkinkan, mempromosikan langkah-langkah untuk meminimalkan merugikan genetik, penyakit dan efek lainnya lolos ikan budidaya pada saham liar;
(b) Negara-negara harus bekerjasama dalam elaborasi, adopsi dan pelaksanaan kode internasional praktek dan prosedur untuk perkenalan dan transfer organisme akuatik;
(c) Negara harus, untuk meminimalkan risiko penularan penyakit dan efek samping lainnya pada saham liar dan berbudaya, mendorong adopsi praktek yang tepat dalam perbaikan genetik induk yang, pengenalan spesies nonpribumi, dan dalam produksi, penjualan dan pengangkutan telur, larva atau goreng, induk atau bahan hidup lainnya. Negara harus memfasilitasi persiapan dan pelaksanaan kode nasional sesuai praktek dan prosedur untuk efek ini;
(d) Negara harus mempromosikan penggunaan prosedur yang tepat untuk pemilihan induk dan produksi telur, larva dan goring; (5) Negara harus, bila sesuai, mempromosikan penelitian dan, jika memungkinkan, pengembangan
Dalam dua dekade terakhir ini, istilah berkelanjutan menjadi isu utama dalam melaksanakan pembangunan, yang kemudian dirumuskan kedalam konsep pembangunan berkelanjutan. Pembangunan berkelanjutan didefinisikan sebagai pembangunan yang dapat memenuhi kebutuhan generasi saat ini tanpa mengurangi kemampuan generasi yang akan datang. Kebutuhan yang dimaksud disini adalah kebutuhan untuk kelangsungan hidup hayati dan kebutuhan untuk kehidupan manusia. Dengan demikian, pada prinsipnya konsep pembangunan berkelanjutan adalah pembangunan yang mengintegrasikan masalah ekologi, ekonomi, dan sosial.7
Konsep pembangunan berkelanjutan muncul dari kesadaran lingkungan dan kecemasan akan makin merosotnya kemampuan bumi untuk menyangga kehidupan. Tekait dengan isu pembangunan berkelanjutan ini, pada tahun 1992 PBB mengadakan Earth Summit (Konferensi Tingkat Tinggi/KTT Bumi) di Rio Janeiro, Brasil, dan 178 pemimpin negara di dunia termasuk Indonesia berhasil menyepakati program aksi untuk pembangunan berkelanjutan (sustainable development). Dokumen tersebut merupakan tindak lanjut laporan The World Commission on Environment and Development (WCED) atau Komisi Dunia tentang Lingkungan dan Pembangunan yang berjudul Masa Depan Kita Bersama (Our Common Future) pada sidang umum PBB pada tahun 1987.8 Selanjutnya, pada tahun 2002 di Johannesburg, Afrika Selatan, diadakan the Word Submit on Sustainable Development (WSSD) untuk lebih melengkapi lagi konsep pembangunan berkelanjutan dengan memuat prinsip-prinsip utama pembangunan berkelanjutan yang harus dipedomani setiap negara dalam 3 Munasinghe, M. 2002. Analysing the nexus of sustainable and climate change: An overview. France: OECD. 53 p
8[WCED] the World Commission on Environment and Development. 1987. Our Common Future (Document A/42/427). New York
mengimplementasikannya berdasarkan pertimbangan keterkaitan dan kesalingtergantungan pembangunan ekonomi, pembangunan sosial dan pembangunan lingkungan.
Pembangunan berkelanjutan ini tentunya mencakup semua sektor pembangunan, termasuk didalamnya adalah sektor perikanan. Istilah perikanan berkelanjutan (sustainable fisheries) mulai dijadikan agenda dunia pada tahun 1995 dengan merumuskan konsep pembangunan perikanan berkelanjutan oleh FAO dengan menyusun dokumen Kode Etik Perikanan yang Bertanggung Jawab atau Code of Conduct for Responsible Fisheries (CCRF). Selanjutnya, dilakukan perumusan definisi terkait dengan perikanan berkelanjutan, baik oleh lembaga-lembaga yang berkompeten maupun para ahli.
Salah satu lembaga yang terkait dengan pelaksanaan perikanan berkelanjutan, yakni Marine Stewardship Council (MSC), mendefinisikan perikanan berkelanjutan sebagai salah satu cara memproduksi ikan yang dilakukan sedemikian rupa sehingga dapat berlangsung terus menerus pada tingkat yang wajar dengan mempertimbangkan kesehatan ekologi, meminimalkan efek samping yang mengganggu keanekaragaman, struktur, dan fungsi ekosistem, serta dikelola dan dioperasikan secara adil dan bertanggung jawab, sesuai dengan hukum dan peraturan lokal, nasional dan internasional untuk memenuhi kebutuhan generasi sekarang dan generasi masa depan.10 Sementara, salah satu ahli perikanan dunia, yaitu Hilborn (2005) dari University of Washington, menyatakan bahwa definisi perikanan berkelanjutan adalah: aktivitas perikanan yang dapat mempertahankan keberlangsungan hasil produksi dalam jangka panjang, menjaga keseimbangan ekosistem antar generasi, dan memelihara sistem biologi, sosial, dan ekonomi guna menjaga kesehatan ekosistem manusia dan ekosistem laut.
Dengan demikian, dalam melaksanakan pembangunan perikanan berkelanjutan tidak lepas dari memadukan tujuan dari tiga unsur utamanya, yakni dimensi ekonomi, ekologi dan sosial. Pertama, tujuan pembangunan perikanan secara ekonomis dianggap berkelanjutan, jika sektor perikanan tersebut mampu menghasilkan produk ikan secara berkesinambungan (on continuing basis), memberikan kesejahteraan finansial bagi para pelakunya, dan memberikan sumbangan devisa serta pajak yang signifikan bagi negara. Kedua, tujuan pembangunan perikanan dikatakan secara ekologis berkelanjutan, manakala basis ketersediaan stok atau sumber daya ikannya dapat dipelihara secara stabil, tidak terjadi eksploitasi berlebihan, dan tidak terjadi pembuangan limbah melampaui kapasitas asimilasi lingkungan yang dapat mengakibatkan kondisi tercemar. Dan Ketiga, tujuan pembangunan perikanan dianggap secara sosial berkelanjutan, apabila kebutuhan dasar (pangan, sandang, kesehatan, dan pendidikan) seluruh penduduknya terpenuhi; terjadi distribusi pendapatan dan kesempatan berusaha secara adil; ada kesetaraan gender (gender equity), dan minim atau tidak ada konflik sosial.
2.2.2 Kaidah Internasional untuk Pembangunan Perikanan Berkelanjutan
Sumberdaya ikan tidak mengenal batas administrasi karena sifatnya yang selalu bergerak, bahkan untuk beberapa jenis ikan mampu bermigrasi antar negara, seperti ikan tuna. Inilah yang menjadi salah satu pertimbangan badan pangan dunia FAO (Food and Agriculture Organization) memfasilitasi untuk membentuk sebuah komite yang secara permanen menangani masalah perikanan dunia, yakni the Committee on Fisheries (COFI), pada sidang konferensi FAO ke-13 tahun 1965. COFI merupakan satu-satunya forum global antar-pemerintah yang fokus membahas isu-isu perikanan dunia, baik perikanan tangkap maupun akuakultur, untuk merumuskan rekomendasi solusinya yang nantinya dijadikan acuan atau rujukan oleh pemerintah, badan-badan perikanan regional (regional fisheries management organizations-RFMOs), pelaku usaha perikanan, lembaga swadaya masyarakat-LSM, dan masyarakat perikanan lainnya di seluruh dunia.
Indonesia yang telah bergabung menjadi anggota FAO sejak 28 November 1949, juga turut berpartisipasi dalam keanggotaan dan semua kegiatan COFI yang merupakan bagian dari lembaga FAO tersebut. Oleh karenanya, sudah semestinya dalam menyusun perencanaan dan mengimplementasikan program pembangunan perikanan tangkap nasionalnya, Pemerintah Indonesia perlu mengacu atau merujuk pada kaidah-kaidah internasional yang telah disepakati atau diadopsi dalam sidangsidang COFI. Beberapa kaidah internasional COFI yang penting dan perlu menjadi landasan bagi Pemerintah Indonesia dalam merumuskan strategi dan kebijakan pengelolaan perikanan tangkap berkelanjutan, yakni adalah:
1. “Compliance Agreement” yang telah disepakati dalam sidang the FAO Committee on Fisheries (COFI) ke-20 tahun 1993
Compliance Agreement merupakan kesepakatan internasional yang menyerukan kepada negara-negara di dunia untuk patuh dalam melakukan kegiatan penangkapan ikan di laut lepas sesuai dengan hukum internasional dan peraturan konservasi dan manajemen internasional yang berlaku. Salah satu penekanannya adalah mencegah kapal-kapal ikan suatu negara untuk melakukan reflagging di laut lepas.
2. “United Nation Fish Stock Agreement” yang telah disepakati dalam sidang the FAO Committee on Fisheries (COFI) ke-21 tahun 1995
Kaidah Internasional ini pada intinya mengamanahkan negara pantai dan negara penangkap ikan jarak jauh di laut lepas (high seas) wajib menerapkan pendekatan kehati-hatian, mempelajari akibat dari penangkapan ikan, menggunakan upaya-upaya konservasi dan manajemen, melindungi kategori stok target, melindungi keanekaragaman organisme, menghindari penangkapan ikan, dan kapasitas penangkapan ikan yang berlebih, memperhatikan kepentingan nelayan kecil, melaksanakan upaya konservasi dan manajemen melalui observasi, serta kontrol dan pemantauan yang efektif.
3. “The Code of Conduct for Responsible Fisheries” (CCRF) yang telah disepakati dalam sidang the FAO Committee on Fisheries (COFI) ke-21 tahun 1995
Kode etik pengelolaan perikanan bertanggung jawab ini pada prinsipnya mengamanahkan beberapa hal penting kepada negara pengguna sumberdaya ikan, yakni: harus menjaga sumberdaya ikan dan lingkungannya, hak menangkap ikan harus disertai dengan kewajiban menangkap ikan dengan cara yang bertanggungjawab, negara harus mencegah terjadinya penangkapan yang berlebih, kebijakan pengelolaan sumberdaya ikan harus berdasarkan bukti ilmiah terbaik yang tersedia, pelaksanaan pengeloaan sumberdaya ikan harus menerapkan pendekatan kehati-hatian, pengembangan dan penerapan alat penangkapan ikan yang selektif dan ramah lingkungan, perlu dilakukan perlindungan terhadap habitat perikanan yang kritis, negara menjamin terlaksananya pengawasan dan kepatuhan dalam melaksanakan pengelolaan perikanan. Kode etik ini beserta elaborasinya yang tertuang dalam beberapa guidelines merupakan referensi yang sangat penting bagi negara-negara pengguna sumberdaya ikan di dunia untuk mengimplementasikan pembangunan perikanannya dalam kerangka pembangunan berkelanjutan. Penerapan CCRF dalam pengelolaan dan perencanaan pembangunan perikanan nasional suatu negara, akan memberikan manfaat yang maksimal secara berkelanjutan bagi negara tersebut dalam hal penyediaan pangan bergizi, lapangan pekerjaan, pertumbuhan ekonomi, rekreasi dan kesejahteraan bagi seluruh masyarakatnya, baik untuk generasi kini maupun mendatang.
4. “The International Plan of Action (IPOA) for the Management of Fishing Capacity (IPOA CAPACITY)” yang telah disepakati dalam sidang COFI ke-23 tahun 1999.
IPOA CAPACITY adalah kaidah internasional sukarela yang berlaku untuk semua negara yang terlibat dalam aktivitas perikanan tangkap dengan mengamanahkan beberapa hal penting, yakni melakukan penilaian dan pemantauan kapasitas penangkapan ikan nasionalnya dan merumuskannya kedalam National Plan of Action (NPOA). Kode Etik Perikanan yang Bertanggungjawab menetapkan bahwa Negara harus mengambil langkahlangkah untuk mencegah atau menghilangkan kapasitas perikanan berlebih dan harus menjamin bahwa tingkat usaha penangkapan ikannya sepadan dengan potensi sumber daya ikan yang tersedia.
5. “The International Plan of Action (IPOA) for the Conservation and Management of Sharks (IPOA SHARKS)” yang telah disepakati dalam sidang COFI ke-23 tahun 1999.
Kaidah internasional ini tujuan utamanya adalah untuk perlindungan hiu dan memberi mandat kepada negara-negara anggotanya agar membuat National Plan of Action (NPOA) untuk pengelolaan hiu, karena FAO menilai hiu sebagai spesies yang memiliki nilai penting dalam ekosistem yang menjadi penentu dan indikator kesehatan dan keseimbangan ekosistem perairan laut, keberadaannya mulai terancam menuju kepunahan.
6. “The International Plan of Action (IPOA) on Illegal, Unreported and Unregulated (IPOA IUU) fishing” yang telah disepakati dalam sidang COFI ke-24 tahun 2001.
Kaidah internasional ini lahir dari keprihatinan beberapa negara terhadap kondisi masih berlangsungnya praktik-praktik perikanan yang tidak sejalan dan bahkan bertentangan dengan konsep-konsep CCRF, seperti: kegiatan penangkapan ikan yang tidak dilengkapi dengan surat izin resmi, melanggar batas kedaulatan suatu negara, tidak melaporkan atau memalsukan data hasil tangkapannya, sea transhipment, melakukan praktek reflagging, dan lain sebagainya. Kegiatan-kegiatan penangkapan ikan yang tidak bertanggung jawab tersebut, kemudian dikenal dengan istilah kegiatan illegal, unreported and unregulated fishing (IUU fishing). IUU fishing tentu sangat mengganggu upaya pengelolaan perikanan, sehingga sangat merugikan niat baik bagi negara dalam melaksanakan pembangunan perikanan yang bertanggungjawab. Kaidah internasional ini pada intinya mengamanatkan kepada setiap negara anggota FAO untuk menyusun National Plan of Action (NPOA) untuk mencegah, menghalangi, dan menghilangkan IUU fishing.
7. “Implementation of Ecosystem Approach to Fisheries Management to Achieve Responsible Fisheries and to Restore Fisheries Resources and Marine Environments” yang telah disepakati dalam sidang COFI ke-25 tahun 2003.
Untuk lebih mengefektifkan pengelolaan perikanan bertanggung jawab (CCRF) secara holistik dan terintegrasi, maka dalam sidang COFI ke-25 tahun 2003 telah diadopsi implementasi pengelolaan perikanan dengan pendekatan ekosistem (Ecosystem Approach to Fisheries Management atau EAFM) guna mencapai terwujudnya perikanan yang bertanggung jawab dan juga sekaligus untuk memulihkan sumber daya ikan serta lingkungan lautnya. Kebutuhan untuk mengadopsi kaidah ini, karena mempertimbangkan isu-isu yang lebih luas yang berdampak pada perikanan, seperti dampak dari polusi dan pembangunan wilayah pesisir, serta mengingat kompleksnya ekosistem di laut dan adanya dampak dari kegiatan penangkapan tidak hanya kepada target ikan tetapi juga terhadap ekosistem. EAFM sebenarnya adalah kelanjutan dalam penyempurnaan praktik manajemen perikanan yang bertanggung jawab (CCRF).
8. “The FAO Model Scheme on Port State Measures (PSM) to Combat Illegal, Unreported and Unregulated (IUU) Fishing (Model Scheme)” yang telah disepakati dalam sidang COFI ke-26 tahun 2005.
Dalam upaya lebih mengefektifkan memerangi IUU fishing yang menjadi ancaman global dalam pengelolaan perikanan berkelanjutan dan konservasi sumberdaya ikan dan keanekaragaman hayati laut, maka dalam sidang COFI ke26 tahun 2005 telah disepakati penyusunan instrument yang secara hukum mengikat (legally-binding Instrument) mengenai Port State Measures (PSM) berbasis Model Scheme dan International Plan of Action on IUU fishing. Kaidah internasional ini merupakan intervensi yang dilakukan oleh negara-negara pelabuhan untuk memerangi IUU fishing dengan menolak pemberian pelayanan terhadap kapal perikanan yang terindikasi melakukan IUU fishing.
9. “The Voluntary Guidelines for Securing Sustainable Small-scale Fisheries in the Context of Food Security and Poverty Eradication (SSF Guidelines)” yang telah disepakati dalam sidang COFI ke-31 tahun 2014.
Instrumen Internasional Perlindungan Nelayan Skala Kecil (Voluntary Guidelines on Small-scale Fisheries/VGSSF) adalah suatu instrumen yang secara khusus memberi kepastian atas kewajiban setiap negara melindungi nelayan kecil, mulai dari kegiatan produksi, pengolahan, hingga pemasaran. Instrumen ini bertujuan mengentaskan kemiskinan dan kelaparan nelayan skala kecil di masing-masing negara.
Sementara kaidah internasional yang penting dan perlu menjadi landasan bagi Pemerintah Indonesia dalam merumuskan strategi dan kebijakan pengelolaan perikanan budidaya berkelanjutan, diantaranya adalah:
1. “Responsible development of aquaculture, including culture-based fisheries, in areas under national jurisdiction” Kode Etik ini pada prinsipnya mengamanahkan beberapa hal penting seperti:
(a) Negara harus menetapkan, mempertahankan dan mengembangkan kerangka hukum dan administrasi yang tepat yang memfasilitasi pengembangan akuakultur yang bertanggung jawab;
(b) Negara harus mempromosikan pembangunan yang bertanggung jawab dan pengelolaan budidaya, termasuk evaluasi sebelum efek pembangunan akuakultur pada keragaman genetik dan integritas ekosistem, berdasarkan informasi ilmiah terbaik yang tersedia;
(c) Negara harus memproduksi dan secara teratur memperbarui strategi pembangunan perikanan dan rencana, seperti yang diperlukan, untuk memastikan bahwa pembangunan akuakultur berkelanjutan secara ekologis dan untuk memungkinkan pemanfaatan sumber daya bersama oleh budidaya dan kegiatan lainnya;
(d) Negara harus memastikan bahwa mata pencaharian masyarakat setempat, dan akses mereka ke lahan perikanan, tidak terkena dampak negatif perkembangan budidaya
(e) Negara harus menetapkan prosedur yang efektif khusus untuk budidaya untuk melakukan penilaian yang tepat lingkungan dan pemantauan dengan tujuan meminimalkan perubahan ekologis yang merugikan dan konsekuensi ekonomi dan sosial terkait yang dihasilkan dari ekstraksi air, penggunaan lahan, pembuangan limbah, penggunaan obat-obatan dan bahan kimia, dan budidaya lainnya kegiatan.
2. “Responsible development of aquaculture including culture-based fisheries within transboundary aquatic ecosystems”. Kode Etik ini pada prinsipnya mengamanahkan beberapa hal penting seperti:
(a) Negara harus melindungi ekosistem perairan lintas batas dengan mendukung praktek-praktek budidaya yang bertanggung jawab dalam yurisdiksi nasional mereka dan dengan kerjasama dalam mempromosikan praktek budidaya yang berkelanjutan;
(b) Negara harus, dengan hormat kepada Negara tetangga mereka, dan sesuai dengan hukum internasional, pastikan pilihan yang bertanggung jawab spesies, tapak dan pengelolaan kegiatan budidaya yang dapat mempengaruhi ekosistem perairan lintas batas;
(c) Negara harus berkonsultasi dengan Negara tetangga mereka, sebagaimana mestinya, sebelum memperkenalkan spesies non-pribumi ke dalam ekosistem perairan lintas batas;
(d) Negara harus membentuk mekanisme yang tepat, seperti database dan jaringan informasi untuk mengumpulkan, berbagi dan menyebarkan data yang terkait dengan kegiatan budidaya mereka untuk memfasilitasi kerjasama perencanaan untuk pengembangan budidaya di tingkat nasional, subregional, regional dan global;
(f) Negara-negara harus bekerja sama dalam pengembangan mekanisme yang sesuai, jika diperlukan, untuk memantau dampak dari input yang digunakan dalam budidaya.
3. “Use of aquatic genetic resources for the purposes of aquaculture including culture-based fisheries”. Kode Etik ini pada prinsipnya mengamanahkan beberapa hal penting seperti:
(a) Negara harus melindungi keanekaragaman genetik dan menjaga integritas komunitas perairan dan ekosistem oleh manajemen yang tepat. Secara khusus, upaya harus dilakukan untuk meminimalkan efek berbahaya dari memperkenalkan spesies non-pribumi atau genetik saham diubah digunakan untuk budidaya perikanan termasuk berbasis budaya ke perairan, terutama di mana ada potensi yang signifikan untuk penyebaran spesies non-pribumi tersebut atau diubah secara genetik saham ke perairan di bawah yurisdiksi negara lain serta perairan di bawah yurisdiksi Negara asal. Negara harus, bila memungkinkan, mempromosikan langkah-langkah untuk meminimalkan merugikan genetik, penyakit dan efek lainnya lolos ikan budidaya pada saham liar;
(b) Negara-negara harus bekerjasama dalam elaborasi, adopsi dan pelaksanaan kode internasional praktek dan prosedur untuk perkenalan dan transfer organisme akuatik;
(c) Negara harus, untuk meminimalkan risiko penularan penyakit dan efek samping lainnya pada saham liar dan berbudaya, mendorong adopsi praktek yang tepat dalam perbaikan genetik induk yang, pengenalan spesies nonpribumi, dan dalam produksi, penjualan dan pengangkutan telur, larva atau goreng, induk atau bahan hidup lainnya. Negara harus memfasilitasi persiapan dan pelaksanaan kode nasional sesuai praktek dan prosedur untuk efek ini;
(d) Negara harus mempromosikan penggunaan prosedur yang tepat untuk pemilihan induk dan produksi telur, larva dan goring; (5) Negara harus, bila sesuai, mempromosikan penelitian dan, jika memungkinkan, pengembangan
0 comments:
Post a Comment