Monday, July 13, 2015

DASAR TEORI PANTAI

July 13, 2015 Posted by Media Penyuluhan Perikanan Pati 1 comment
TINJAUAN PUSTAKA
2.1.     Teori Pantai
Pantai adalah jalur yang merupakan batas antara darat dan laut, diukur pada saat pasang tertinggi dan surut terendah, dipengaruhi oleh fisik laut dan sosial ekonomi bahari, sedangkan ke arah darat dibatasi oleh proses alami dan kegiatan manusia di lingkungan darat (Triatmodjo, 1999, hal. 1). Penjelasan
Definisi daerah pantai 
•    Pesisir adalah daerah darat di tepi laut yang masih mendapat pengaruh laut seperti pasang surut, angin laut dan perembesan air laut.
•    Pantai adalah daerah di tepi perairan sebatas antara surut terendah dan pasang tertinggi.
•    Garis pantai adalah garis batas pertemuan antara daratan dan air laut, dimana posisinya tidak tetap dan dapat bergerak sesuai dengan pasang surut air laut dan erosi pantai yang terjadi.
•    Sempadan pantai adalah daerah sepanjang pantai yang diperuntukkan bagi pengamanan dan pelestarian pantai.
•    Perairan pantai adalah daerah yang masih dipengaruhi aktivitas daratan.
Morfologi pantai dan dasar laut dekat pantai akibat pengaruh gelombang dibagi menjadi empat kelompok yang berurutan dari darat ke laut sebagai berikut:
1.    Backshore merupakan bagian dari pantai yang tidak terendam air laut kecuali
bila terjadi gelombang badai 
2.    Foreshore merupakan bagian pantai yang dibatasi oleh beach face atau muka
pantai pada saat surut terendah hingga uprush pada saat air pasang tinggi.
3.    Inshore merupakan daerah dimana terjadinya gelombang pecah, memanjang
dari surut terendah sampai ke garis gelombang pecah.
4.    Offshore yaitu bagian laut yang terjauh dari pantai (lepas pantai), yaitu daerah
dari garis gelombang pecah ke arah laut.
Untuk lebih jelasnya dapat dilihat dari Gambar 2.2 berikut:
Sumber : Triatmodjo, 1999, hal 3
Gambar 2.2. Definisi dan karakteristik gelombang di daerah pantai 
Pantai merupakan gambaran nyata interaksi dinamis antara air, gelombang dan material (tanah). Angin dan air bergerak membawa material tanah dari satu tempat ke tempat lain, mengikis tanah dan kemudian mengendapkannya lagi di daerah lain secara terus-menerus. Dengan kejadian ini menyebabkan terjadinya perubahan garis pantai. Dalam kondisi normal, pantai selalu bisa menahan gelombang dan mempunyai pertahanan alami (sand dune, hutan bakau, terumbu karang) untuk melindungi diri dari serangan arus dan gelombang. 
Jenis-jenis atau tipe pantai berpengaruh pada kemudahan terjadinya erosi pantai. Berikut adalah penggolongan pantai di Indonesia berdasarkan tipe-tipe paparan (shelf) dan perairan (Pratikto, dkk.,hal. 7):
1.    Pantai Paparan
Pantai paparan merupakan pantai dengan proses pengendapan yang lebih dominan dibanding proses erosi/abrasi. Pantai paparan umumnya terdapat di Pantai Utara Jawa, Pantai Timur Sumatera, Pantai Timur dan Selatan Kalimantan dan Pantai Selatan Papua, dan mempunyai karakteristik sebagai berikut:
a.    Muara sungai memiliki delta, airnya keruh mengandung lumpur dan terdapat proses sedimentasi.
b.    Pantainya landai dengan perubahan kemiringan ke arah laut bersifat gradual dan teratur.
c.    Daratan pantainya dapat lebih dari 20 km.
2.    Pantai Samudra
Pantai samudra merupakan pantai dimana proses erosi lebih dominan dibanding proses sedimentasi. Terdapat di Pantai Selatan Jawa, Pantai Barat Sumatera, Pantai Utara dan Timur Sulawesi serta Pantai Utara Papua, dan mempunyai karakteristik sebagai berikut:
a.    Muara sungai berada dalam teluk, delta tidak berkembang baik dan airnya jernih.
b.    Batas antara daratan pantai dan garis pantai (yang umumnya lurus) sempit.
c.    Kedalaman pantai ke arah laut berubah tiba-tiba (curam).
3.    Pantai Pulau
Pantai pulau merupakan pantai yang mengelilingi pulau kecil. Pantai ini dibentuk oleh endapan sungai, batu gamping, endapan gunung berapi atau endapan lainnya. Pantai pulau umumnya terdapat di Kepulauan Riau, Kepulauan Seribu, dan Kepulauan Nias.
2.2.     Kerusakan Pantai
Proses kerusakan pantai yang berupa abrasi/erosi pantai dapat terjadi karena sebab alami dan buatan. Pemahaman akan sebab abrasi/erosi merupakan dasar yang penting dalam perencanaan perlindungan pantai. Perlindungan pantai yang baik seharusnya bersifat komprehensif dan efektif untuk menanggulangi permasalahan kerusakan yang ada. Hal itu akan dapat tercapai apabila penyebab kerusakan pantai dapat diketahui, yaitu :
a.    Kerusakan pantai secara alami :
ƒ    Sifat dataran pantai yang masih muda dan belum berimbang, dimana sumber sedimen (source) lebih kecil dari kehilangan sedimen (sink).
ƒ    Naiknya ketinggian gelombang.
ƒ    Hilangnya perlindungan pantai (bakau, terumbu karang, sand dune).
ƒ    Naiknya muka air karena pengaruh global warming.
b.    Kerusakan pantai karena sebab buatan :
ƒ    Perusakan perlindungan pantai alami, seperti kegiatan penebangan bakau, perusakan terumbu karang, pengambilan pasir di pantai, dan lain-lain.
ƒ    Perubahan imbangan transportasi sedimen sejajar pantai akibat pembuatan bangunan pantai, seperti: jetty, pemecah gelombang, pelabuhan, dan lainlain.
ƒ    Perubahan suplai sedimen dari daratan, contohnya: perubahan aliran sungai atau sudetan sungai, pembuatan bendungan di hulu sungai, dan lain-lain.
ƒ    Pengembangan pantai yang tidak sesuai dengan proses pantai.
Pada umumnya sebab-sebab kerusakan pantai merupakan gabungan dari beberapa faktor diatas. Agar penanganan masalah abrasi/erosi pantai dapat dilakukan dengan baik, maka penyebabnya harus diidentifikasi terlebih dahulu. Secara umum, gaya yang menyebabkan terjadinya kerusakan pantai adalah gelombang angin.
Gelombang angin adalah gelombang yang dibangkitkan oleh tiupan angin di permukaan laut. Gelombang angin merupakan faktor paling dominan dalam analisis gelombang. Dalam penjalaran ke pantai, gelombang mengalami proses shoaling refraksi dan difraksi yang menyebabkan gelombang selalu berusaha tegak lurus garis pantai. Gerakan osilasi partikel air berperan penting dalam transportasi sedimen pantai. Pada zona surf zone turbulensi yang dibangkitkan oleh gelombang pecah mendominasi proses pantai. Selain ombak di surf zone menimbulkan kemungkinan arus sejajar pantai (longshore current) dan arus tegak lurus pantai (ripp current) serta arus sirkulasi yang sangat berperan dalam pembentukan garis pantai.
Dengan adanya pengembangan pantai untuk berbagai kepentingan, maka perimbangan dan perlindungan alami pantai yang ada dapat terusik ataupun rusak. Hal ini menyebebkan pantai menjadi terbuka dan rentan terhadap erosi atau abrasi. Maka dalam hal ini perlu dilakukan penanganan terhadap masalah tersebut.
2.3.     Gelombang
Gelombang merupakan faktor penting dalam perencanaan pelabuhan dan bangunan pantai lainnya. Gelombang di laut dapat dibedakan menjadi beberapa macam tergantung pada daya pembangkitnya. Gelombang tersebut adalah gelombang angin yang dibangkitkan oleh tiupan angin di permukaan laut, gelombang pasang surut dibangkitkan oleh gaya tarik benda-benda langit terutama matahari dan bulan terhadap bumi, gelombang tsunami terjadi karena letusan gunung berapi atau gempa di laut, gelombang yang dibangkitkan oleh kapal yang bergerak. 
Pada umumnya gelombang terjadi karena hembusan angin di permukaan air laut. Daerah di mana gelombang itu dibentuk disebut daerah pembangkitan gelombang (wave generating area). Gelombang yang terjadi di daerah pembangkitan disebut sea, sedangkan gelombang yang terbentuk di luar daerah pembangkitan disebut swell. Ketika gelombang menjalar, partikel air di permukaan bergerak dalam suatu lingkaran besar membentuk puncak gelombang pada puncak lingkarannya dan lembah pada lintasan terendah. Di bawah permukaan, air bergerak dalam lingkaran-lingkaran yang makin kecil. Saat gelombang mendekati pantai, bagian bawah gelombang akan mulai bergesekan dengan dasar laut yang menyebabkan pecahnya gelombang dan terjadi putaran pada dasar laut yang dapat membawa material dari dasar pantai serta menyebabkan perubahan profil pantai.
Pada umumnya bentuk gelombang sangat kompleks dan sulit digambarkan secara matematis karena ketidaklinieran, tiga dimensi dan bentuknya acak (random). Ada beberapa teori yang menggambarkan bentuk gelombang yang sederhana dan merupakan pendekatan dari alam. Teori yang sederhana adalah teori gelombang linier. Menurut teori gelombang linier, gelombang berdasarkan kedalaman relatifnya dibagi menjadi tiga yaitu deep water (gelombang di laut dangkal), transitional water (gelombang laut transisi), shallow water (gelombang di laut dalam). Klasifikasi dari gelombang ditunjukkan dalam Tabel 2.1 berikut:
Tabel 2.1. Klasifikasi gelombang menurut teori gelombang linier.
Klasifikasi     d/L     2 d/L     tan h (2 d/L)
Gelombang Laut Dalam     >1/2     >     ≈ 1
Gelombang Laut Transisi     1/25 s/d ½     ¼ s/d      tan h (2 d/L)
Gelombang Laut Dangkal     <1 2="" br="" d="" nbsp="">Sumber : Yuwono, 1982, hal 5 2.4.     Deformasi Gelombang
Gelombang merambat dari laut dalam ke laut dangkal. Selama penjalaran tersebut, gelombang mengalami perubahan-perubahan atau disebut deformasi gelombang. Deformasi gelombang dapat disebabkan karena variasi kedalaman air laut dan juga karena terdapatnya rintangan (pantai atau bangunan pantai). 
Apabila suatu gelombang bergerak menuju pantai, gelombang tersebut akan mengalami perubahan bentuk yang disebabkan oleh proses refraksi, pendangkalan gelombang, difraksi, dan refleksi. (Triatmodjo, 1999, hal. 65)
Refraksi, pendangkalan gelombang, difraksi, dan refleksi akan menentukan tinggi gelombang dan pola (bentuk) garis puncak gelombang di suatu tempat di daerah pantai.
2.4.1 Gelombang Laut Dalam Ekivalen
Analisis deformasi gelombang sering dilakukan dengan konsep gelombang laut dalam ekivalen, yaitu tinggi gelombang di laut dalam apabila gelombang tidak mengalami refraksi. Tinggi gelombang laut dalam ekivalen diberikan dalam persamaan:
H’o = K’  Kr  Ho                                        (2.1)
Dimana :
H’o : tinggi gelombang laut dalam ekivalen (m)
Ho   : tinggi gelombang laut dalam (m)
K’    : koefisien difraksi
Kr    : koefisien refraksi
(Triatmodjo,1999 hal. 66)
2.4.2 Refraksi Gelombang dan Wave Shoaling
Refraksi terjadi dikarenakan adanya pengaruh perubahan kedalaman laut. Refraksi dan pendangkalan gelombang (Wave Shoaling) dapat menentukan tinggi gelombang di suatu tempat berdasarkan karakteristik gelombang datang. Refraksi mempunyai pengaruh yang cukup besar terhadap tinggi dan arah gelombang serta distribusi energi gelombang di sepanjang pantai. (Triatmodjo, 1999).
 Tinggi Gelombang
Tinggi gelombang akibat pengaruh refraksi gelombang dan pendangkalan (wave shoaling ), diberikan oleh rumus :
H = Ks x Kr x Ho                                   (2.2)
Dimana :
H     : Tinggi gelombang akibat pengaruh refraksi
Ho      : Tinggi gelombang laut dalam (m)
Ks     : Koefisien pendangkalan (Shoaling), berdasarkan Tabel L-1
(Triatmodjo, 1999, hal. 377)
Kr     : Koefisien refraksi
(Triatmodjo, hal. 70, 1999)
 Koefisien Refraksi
Cosα o
Kr =                                            (2.3)
Cosα
Dimana pada hukum Snell berlaku apabila ditinjau gelombang di laut
Sumber : Triatmodjo, 1999, hal. 71
Gambar 2.4. Hukum Snell untuk refraksi gelombang
⎛ C ⎞
Sin α = ⎜⎜⎝ C o ⎟⎟⎠ sinαo                                  (2.4)
Dimana :
Kr   : Koefisien refraksi
α    : Sudut antara garis puncak gelombang dan garis kontur dasar laut di titik yang ditinjau
αo   : Sudut antara garis puncak gelombang di laut dalam dan garis pantai
C    : Kecepatan rambat gelombang (m/s)
Co  : Kecepatan rambat gelombang di laut dalam (m/s)
(Triatmodjo, hal. 72, 1999)
2.4.3 Difraksi Gelombang
Sumber : Triatmodjo, 1999, hal. 79 Gambar 2.5. Difraksi gelombang dibelakang rintangan
Difraksi terjadi apabila tinggi gelombang di suatu titik pada garis puncak gelombang lebih besar daripada titik di dekatnya, yang menyebabkan perpindahan energi sepanjang puncak gelombang ke arah tinggi gelombang yang lebih kecil. Difraksi gelombang terjadi apabila gelombang datang terhalang oleh suatu pemecah gelombang atau pulau, maka gelombang tersebut akan membelok di sekitar ujung rintangan dan masuk ke daerah terlindung di belakangnya. Perbandingan antara tinggi gelombang di titik yang terletak di daerah terlindung dan tinggi gelombang datang disebut koefisien difraksi K’, dapat dijelaskan dalam persamaan sebagai berikut:
HA = K’ HP  ;
K’ = f (θ, β, r / L)                                       (2.5)
Dimana :
HA  : Tinggi gelombang di belakang rintangan (m)
HP   : Tinggi gelombang di ujung pemecah gelombang (m)
K’  : Koefisien difraksi  
(Triatmodjo, hal. 80, 1999)
2.4.4 Refleksi Gelombang
Gelombang datang yang mengenai atau membentur suatu rintangan akan dipantulkan sebagian atau seluruhnya. Suatu bangunan yang mempunyai sisi miring dan terbuat dari tumpukan batu akan bisa menyerap energi gelombang yang lebih banyak dibanding dengan bangunan yang tegak dan masif.
Besar kemampuan suatu bangunan memantulkan gelombang diberikan oleh koefisien refleksi, yaitu perbandingan antara tinggi gelombang refleksi Hr dan tinggi gelombang datang Hi adalah: 
X = Hr / Hi                                        (2.6)
Dimana :
X  : Koefisien refleksi
Hr   : Tinggi gelombang refleksi (m)
Hi  : Tinggi gelombang datang (m)
(Triatmodjo,1999, hal. 91)
Koefisien refleksi beberapa tipe bangunan diberikan dalam tabel berikut: 
Tabel 2.2. Koefisien refleksi
Tipe Bangunan     X
Dinding vertikal dengan puncak di atas air     0,7 – 1,0
Dinding vertikal dengan puncak terendam     0,5 – 0,7
Tumpukan batu sisi miring     0,3 - 0,6
Tumpukkan blok beton     0,3 – 0,5
Bangunan vertikal dengan peredam energi (diberi lubang)     0,05 – 0,2
Sumber :Triatmodjo, 1999, hal. 91
2.4.5 Gelombang Pecah
Gelombang yang merambat dari laut dalam menuju pantai mengalami perubahan bentuk karena adanya pengaruh perubahan kedalaman laut. Perubahan tersebut ditandai dengan puncak gelombang semakin tajam sampai akhirnya pecah pada kedalaman tertentu.  Kedalaman gelombang pecah (db) dan tinggi gelombang pecah
(Hb.) dapat dihitung dengan rumus sebagai berikut:
Hb    1
=    1/3                                   (2.7)
Ho'    3,3(Ho'/ Lo)
(Triatmodjo,1999, hal. 94)
Parameter Hb/Ho’ disebut dengan indeks tinggi gelombang pecah. Gambar 2.6 menunjukkan hubungan antara Hb/Ho’ dan Ho/Lo’ untuk berbagai kemiringan dasar laut. Gambar 2.7 menunjukkan hubungan antara db/Hb dan Hb/gT2 untuk berbagai kemiringan dasar. Gambar 2.7 dapat dituliskan dalam bentuk rumus berikut: db    1
=    (    2                                (2.8)
Hb    b − aHb/ gT )
Dimana a dan b merupakan fungsi kemiringan pantai m dan diberikan oleh persamaan berikut:
a    = 43.75(1− e−19m)
1,56
b    =     −19,5m                                         (2.9)
(1+ e    )
(Triatmodjo, 1999 hal. 95)
2.5.     Fluktuasi Muka Air Laut
Elevasi muka air laut merupakan parameter penting dalam perencanaan bangunan pantai. Fluktuasi muka air laut dapat disebabkan oleh kenaikkan muka air karena gelombang (Wave set-up), kenaikkan muka air karena angin (Wind setup) dan pasang surut.
17
Sumber : Triatmodjo, 1999, hal. 96
2.5.1 Kenaikkan Muka Air Karena Gelombang (Wave set-up)
Gelombang yang datang dari laut menuju pantai menyebabkan fluktuasi muka air di daerah pantai terhadap muka air diam. Turunnya muka air dikenal dengan wave set-down, sedang naiknya muka air laut disebut wave set up, seperti diperlihatkan Gambar 2.8 berikut:
Sumber : Triatmodjo, 1999, hal 107
Besar wave set-down di daerah gelombang pecah diberikan oleh persamaan berikut:
0,536Hb2/3
Sb =−      1/2                                     (2.10)
g T
Dimana :
Sb     : set-down didaerah gelombang (m)
T     : periode gelombang (detik)
H’o : tinggi gelombang laut dalam ekivalen (m) db    : kedalaman gelombang pecah (m) g      : percepatan gravitasi (m/s2)
                                      (Triatmodjo, 1999,hal. 107) Wave set-up di pantai dihitung dengan rumus berikut:
⎡    Hb ⎤
Sw= 0,19⎢1−2,82    2 ⎥Hb                           (2.11)
⎣    gT ⎦
Dimana :
Sw     = Wave set-up (m) g     = Percepatan gravitasi (m/s2) T     = Periode gelombang (detik)
Hb     = Tinggi gelombang pecah (m)
Sb     = set-down didaerah gelombang (m)
         (Triatmodjo, 1999, hal. 108)
2.5.2 Kenaikan Muka Air Karena Angin (Wind set-up)
Angin dengan kecepatan besar (badai) yang terjadi di atas permukaan laut bisa membangkitkan fluktuasi muka air laut yang besar di sepanjang pantai jika badai tersebut cukup kuat dan daerah pantai dangkal dan luas. Kenaikan elevasi muka air karena badai dapat dihitung:
Fi
∆ h =   

2
V 2
∆ h = Fc                                      (2.12)

2 gd
Dimana :    
∆h  : Kenaikan elevasi muka air karena badai (m)
F    : Panjang fetch (m) i     : Kemiringan muka air c     : Konstanta = 3,3 x 10-6 V    : Kecepatan angin (m/s) d     : Kedalaman air (m) g     : Percepatan gravitasi (m/s2)
                                (Triatmodjo, 1999, hal. 109)
2.5.3 Pasang Surut
Pasang surut adalah fluktuasi muka air laut karena adanya gaya tarik benda-benda langit, terutama matahari dan bulan terhadap massa air laut di bumi. Elevasi muka air tertinggi (pasang) dan muka air terendah (surut) sangat penting untuk perencanaan bangunan pantai.
Pasang surut mengakibatkan kedalaman air di pantai selalu berubah sepanjang waktu, sehingga diperlukan suatu elevasi yang ditetapkan berdasarkan data pasang surut sebagai berikut: (Triatmodjo, 1999, hal. 115).
a.    Muka air tertinggi (Highest High Water Level, HHWL), adalah air tertinggi pada saat pasang surut purnama atau bulan mati.
b.    Muka air tinggi rata-rata (Mean High Water Level, MHWL) adalah rata-rata muka air tertinggi yang dicapai selama pengukuran minimal
15 hari
c.    Muka air laut rata-rata (Mean Water Level, MWL) adalah muka air rata-rata antara muka air tinggi rata-rata dan muka air rendah ratarata.
d.    Muka air terendah (Lowest Low Water Level, LLWL) adalah air terendah pada saat pasang surut purnama atau bulan mati.
e.    Muka air rendah rata-rata (Mean Low Water Leve,l MLWL) adalah rata-rata muka air terrendah yang dicapai selama pengukuran minimal 15 hari.
Secara umum pasang surut diberbagai daerah di Indonesia dapat dibagi menjadi 4 jenis (Triatmodjo, 1999, hal. 119-121), yaitu:
1.    Pasang surut harian ganda (Semi Diurnal Tide), yaitu pasang yang memiliki sifat dalam satu hari terjadi dua kali pasang dan juga dua kali surut dengan tinggi yang hampir sama dan pasang surut terjadi berurutan secara teratur. 
2.    Pasang surut harian tunggal (Diurnal Tide), yaitu tipe pasang surut yang apabila dalam satu hari terjadi satu kali pasang dan satu kali surut.
3.    Pasang surut campuran condong ke harian ganda (Mixed Tide Prevailling Semidiurnal), yaitu pasang surut yang dalam sehari terjadi dua kali pasang dan dua kali surut, tetapi tinggi dan periodenya berbeda.
4.    Pasang surut campuran condong ke harian tunggal (Mixed Tide Prevealling Diurnal), yaitu dalam satu hari terjadi satu kali air pasang dan satu kali air surut, tetapi kadang untuk sementara waktu terjadi dua kali pasang dan dua kali surut dengan tinggi dan periode yang sangat berbeda.
Pada diurnal tide dan semi diurnal tide, muka air tertinggi harian disebut dengan high water dan muka air terendah disebut dengan low water. Sedangkan pada mixed tide, muka air tertinggi harian disebut dengan higher high water dan muka air tertinggi harian yang lebih rendah disebut dengan lower high water. Dan muka air terendah harian disebut dengan lower low water, sedangkan muka air terendah yang lebih tinggi disebut higher low water. Gambar 2.9 menunjukkan tipe-tipe pasang surut di Indonesia.
2.6.     Design Water Level (DWL)
Elevasi muka air rencana hanya didasarkan pada pasang surut, wave setup dan pemanasan global. (Triatmodjo, 1999, hal.347): 
1.    Pasang surut
Dari data pengukuran pasang surut akan didapat MHWL, MSL dan
MLWL
2.    Wave Setup
Setup gelombang dihitung dengan Rumus 2.11
3.    Kenaikan muka air laut karena pemanasan global
Kenaikan muka air laut karena pemanasan global (Sea Level Rise, SLR) didapat berdasarkan pada Gambar 2.10.
Elevasi muka air rencana (Design Water Level, DWL), ditetapkan berdasarkan ketiga faktor tersebut, sehingga :
a.    Berdasarkan MHWL
DWL = MHWL + Sw + SLR                           (2.13)
b.    Berdasarkan MLWL
DWL = LWL + Sw                                (2.14)
Dimana :
DWL      = Design Water Level
MHWL    = Mean High Water Level
Sw          = Wave Setup
SLR          = Sea Level Rise
LWL          = Low Water Level
                              (Triatmodjo, 1999, hal.347)
2.7.     Pembangkitan Gelombang oleh Angin
Angin merupakan Sirkulasi udara yang kurang lebih sejajar dengan permukaan bumi. Gerakan udara ini disebabkan oleh perubahan temperatur atmosfir. Pada waktu udara dipanasi, rapat massanya berkurang, yang berakibat naiknya udara tersebut yang kemudian digantikan oleh udara yang lebih dingin di sekitarnya  sehingga  terjadi  pergerakan  udara  yang  disebut  angin.  Perubahan   

temperatur di atmosfer disebabkan oleh perbedaan penyerapan panas oleh tanah dan air, atau perbedaan panas di gunung dan lembah, atau perubahan yang disebabkan oleh siang dan malam, atau perbedaan suhu pada belahan bumi utara dan selatan karena adanya perbedaan musim dingin dan musim panas. 
Daratan lebih cepat menerima panas daripada laut dan sebaliknya daratan juga lebih cepat melepaskan panas. Oleh karena itu pada waktu siang hari daratan lebih panas dari pada laut. Udara di atas daratan akan naik dan diganti oleh udara dari laut, sehingga terjadi angin laut. Sebaliknya, pada waktu malam hari daratan lebih dingin daripada laut, udara di atas laut akan naik dan diganti oleh udara dari daratan sehingga terjadi angin darat.
Data angin yang didapat biasanya diolah dan disajikan dalam bentuk tabel atau diagram yang disebut diagram mawar angin (wind rose).
Kecepatan angin dinyatakan dalam satuan knot. Satu knot adalah panjang satu menit garis bujur melalui khatulistiwa yang ditempuh dalam satu jam, atau 1knot = 1,852 km/jam = 0,5 m/d. 
Untuk memperkirakan pengaruh kecepatan angin terhadap pembangkitan gelombang maka kecepatan angin harus diukur pada ketinggian 10 m diatas permukaan air. Apabila angin tidak diukur pada elevasi 10 m, maka kecepatan angin harus dikonversi pada elevasi tersebut dengan menggunakan rumus berikut:
1/ 7
⎛10 ⎞
U (10) = U (y) ⎜⎜⎝   y ⎟⎟⎠           (2.15)
Dimana :
U (10) : Kecepatan angin pada elevasi 10 m (m/s) U (y)     : Kecepatan angin pada elevasi (y) m (m/s) y     : Elevasi terhadap permukaan air (m)
(Triatmodjo, 1999, hal 151)
Pada umumnya pengukuran angin dilakukan di daratan, sedangkan di dalam rumus-rumus pembangkitan gelombang data angin yang digunakan adalah yang ada di atas permukaan laut. Oleh karena itu diperlukan transformasi data angin di atas daratan yang terdekat dengan lokasi studi ke data angin di atas permukaan laut. Hubungan antara angin di atas laut dan angin di atas daratan terdekat diberikan oleh persamaan dan Gambar 2.12 berikut ini:
RL = UW / UL           (2.16)
Dimana :
UL  : Kecepatan angin yang diukur di darat (m/s)
UW : Kecepatan angin di laut (m/s)
RL  : Tabel koreksi hubungan kecepatan angin di darat dan di laut.
         (Triatmodjo, 1999, hal. 154)
Dari kecepatan angin yang didapat, dicari faktor tegangan angin (wind stress factor) dengan persamaan sebagai berikut:
UA = 0,71 Uw1,23          (2.17)
Dimana U adalah kecepatan angin (m/dt)
(Triatmodjo, 1999, hal. 155)
2.8.     Fetch
Fetch adalah panjang daerah dimana angin dapat berhembus dengan kecepatan dan arah konstan. Di dalam tinjauan pembangkitan gelombang di laut, fetch dibatasi oleh daratan yang mengelilingi laut. Di dalam pembentukan gelombang, gelombang tidak hanya dibangkitkan dalam arah yang sama dengan arah angin tetapi juga dalam berbagai sudut terhadap arah angin. Fetch rerata efektif diberikan oleh persamaan berikut:
Feff            (2.18)
Dimana :
Feff      : Fetch rerata efektif (m)
Xi : Panjang segmen fetch yang diukur dari titik observasi gelombang ke ujung akhir fetch (m)
a     :Deviasi pada kedua sisi dari arah angin, dengan menggunakan pertambahan 60 sampai 420 pada kedua sisi dari arah angin.
(Triatmodjo, 1999, hal. 155)

1 comment: