Segera setelah dipanen atau ditangkap, produk perikanan akan mengalami serangkaian proses perombakan yang mengarah ke penurunan mutu. Proses perombakan yang terjadi pada ikan dapat dibagi menjadi tiga tahap, yaitu tahap pre rigor, rigor dan post rigor mortis. Pre rigor adalah tahap dimana mutu dan kesegaran ikan sama seperti ketika masih hidup. Rigor mortis adalah tahap dimana produk perikanan memiliki kesegaran dan mutu seperti ketika masih hidup, namun kondisi tubuhnya secara bertahap menjadi kaku. Hingga tahap rigor mortis, ikan dapat dikatakan masih segar. Namun memasuki tahap post rigor mortis, proses pembusukan daging ikan telah dimulai.
Ada tiga faktor yang mempengaruhi penurunan mutu produk perikanan, yaitu kerusakan fisik, mikrobiologi dan Kimia.
1 Kerusakan Fisik
Kerusakan fisik yang dialami produk perikanan dapat disebabkan oleh perlakuan fisik, seperti terbanting, tergencet, atau terluka. Perlakuan tersebut dapat menyebabkan terjadinya memar, luka, dan adanya benda asing.
a Memar
Memar yang dialami oleh produk perikanan yang disebabkan karena dipukul (Gambar 3.1), terbanting atau tergencet. Ikan yang meronta sesaat sebelum mati atau pedagang yang membanting ikan gurame agar segera mati telah menyebabkan ikan mengalami memar. Semua upaya mematikan ikan dimaksudkan agar ikan menjadi mudah untuk disiangi.
Produk perikanan yang memar akan mudah mengalami proses pembusukan. Rusaknya jaringan di bagian yang memar akan menyebabkan peningkatan aktivitas enzim proteolitik. Pada ikan, bagian yang memar cenderung menjadi lunak dan kemerahan.
Penggunaan alat pemukul untuk mematikan ikan dapat menyebakan terjadinya memar atau luka
b. Luka
Produk perikanan dapat mengalami luka yang diakibatkan tusukan atau sayatan oleh benda tajam. Penggunaan pengait pada saat akan mengangkat ikan hasil tangkapan dapat menyebabkan luka pada ikan (Gambar 3.5). Apabila tidak segera ditangani dengan benar, luka tersebut dapat menjadi jalan bagi mikroba pembusuk untuk memasuki bagian tubuh ikan dan merombak komponen di dalamnya.
c. Adanya Benda Asing
Mungkin diantara kita sudah sering mendengar atau mengalami sendiri adanya helaian rambut, pasir, atau kaki serangga pada makanan yang akan atau sedang dimakan. Kontan saja keberadaan benda tersebut telah membuat selera makan menjadi berkurang atau bahkan hilang sama sekali. Pasir, isi hekter, rambut, kuku, patahan kaki serangga, atau pecahan gelas adalah beberapa contoh benda-benda asing yang sering dijumpai pada saat akan menyantap makanan dibanyak warung makan bahkan restauran sekalipun. Namun respon dari masyarakat yang terkadang acuh tak acuh atas kejadian tersebut membuat tidak adanya data pasti berapa banyak orang yang mengalaminya. Sungguh sangat disayangkan sebab sebenarnya mereka memiliki hak untuk melapor dan mengajukan tuntutan manakala mendapatkan makanan dengan benda yang membahayakan.
Pada produk perikanan, hal tersebut bukan tidak pernah terjadi. Informasi yang dibaca atau didengar mengenai produk perikanan yang mengalami penahanan di pelabuhan masuk negara tujuan karena pada saat pemeriksaan terbukti mengandung benda-benda asing seperti paku, jarum, patahan kaki serangga, pecahan kaca dan masih banyak lagi. Itulah beberapa contoh bahaya fisik (Physical Hazard) tentang bahaya keamanan pangan.
Berdasarkan definisinya, bahaya fisik dapat diartikan sebagai benda-benda asing yang berasaI dari luar dan tidak normal ditemukan dalam produk perikanan yang secara potensial dapat menyebabkan kerugian bagi konsumen yang secara tidak sengaja memakannya. Keberadaan bahaya fisik ini perlu ditelusuri karena dapat menyebabkan bahaya bagi konsumen (Tabel 3.1.).
Upaya untuk menghindari terjadinya bahaya fisik dapat dilakukan mulai dari proses produksi di unit pengolahan hingga preparasi makanan di rumah-rumah. Penggunaan alat metaI detector merupakan salah satu cara yang paling banyak digunakan unit pengolahan ikan untuk mencegah terbawanya material logam di dalam produk ikan.
Upaya penanggulangan bahaya fisik dengan mendekati sumber bahaya juga merupakan langkah yang sangat tepat untuk dilakukan di unit-unit pengolahan. Upaya seperti mengatur para pekerja untuk tidak mengenakan berbagai macam perhiasan (kalung, giwang, cincin), dan melengkapi para pekerja dengan peralatan kerja yang baik, serta memeriksa peralatan agar tetap aman selama proses produksi berIangsung merupakan tindakan preventif yang sangat tepat untuk dilakukan.
DaIam lingkungan keluarga, proses pengolahan masakan yang dilakukan secara hati-hati sangat dianjurkan untuk mengurangi resiko bahaya fisik yang masih mungkin terjadi.
2. Kerusakan Kimiawi
Penurunan kandungan senyawa kimia pada produk perikanan dapat terjadi selama proses pencucian dan pemanasan. Selama berlangsung proses pencucian produk perikanan, banyak komponen senyawa kimia yang akan larut, seperti beberapa protein, vitamin B dan C, serta mineral.
a. Autolisis
Autolisis adalah proses perombakan sendiri, yaitu proses perombakan jaringan oleh enzim yang berasal dari produk perikanan tersebut. Proses autolisis terjadi pada saat produk perikanan memasuki fase post rigor mortis. Ikan yang mengalami autolisis memiliki tekstur tubuh yang tidak elastis, sehingga apabila daging tubuhnya ditekan dengan jari akan membutuhkan waktu relatif lama untuk kembali kekeadaan semula. Bila proses autolisis sudah berlangsung lebih lanjut, maka daging yang ditekan tidak pernah kembali ke posisi semula (Gambar 3.6).
b. Oksidasi
Ikan termasuk salah satu produk perikanan yang banyak mengandung lemak, terutama lemak tidak jenuh. Lemak tidak jenuh adalah lemak yang mengandung ikatan rangkap pada rantai utamanya. Lemak demikian bersifat tidak stabil dan cenderung mudah bereaksi. Lemak pada ikan didominasi oleh lemak tidak jenuh berantai panjang (Polyunsaturated fatty acid / PUFA). Selama penyimpanan, lemak tidak jenuh akan mengalami proses oksidasi sehingga terbentuk senyawa peroksida.
c. Senyawa Kimia
Pengertian pencemaran dengan senyawa kimia pencemar adalah senyawa kimia yang terkandung dalam produk perikanan, baik secara alami maupun sengaja ditambahkan (Tabel 3.2). Senyawa kimia pencemar dapat berupa senyawa alami maupun sintetis.
Keberadaan senyawa kimia pencemar dalam produk perikanan dapat mempengaruhi rasa dan kenampakan. Rasa dari produk perikanan yang tercemar senyawa kimia pencemar terasa agak menyimpang, tergantung dari senyawa kimia yang mencemarinya.
Kenampakan beberapa produk perikanan yang tercemar senyawa kimia dapat dilihat dengan mudah. Kerang-kerangan yang memiliki kemampuan sebagai filter Kimia terhadap logam berat, dagingnya cenderung memiliki kenampakan merah kehitaman dan memiliki tubuh relatif lebih besar.
Nama bakteri pembusuk Shewanella putrifaciens Photobacterium phosphoreum Pseudomonas spp.
Vibrionacaea Aerobacter
Lactobacillus
Moraxella
Acinetobacter
Alcaligenes
Micrococcus
Bacillus
Staphylococcus
Flavobacterium
Mikroba patogen merupakan kelompok mikroba yang dapat menyebabkan penyakit (Tabel 3.4.). Produk perikanan yang mengandung mikroba patogen cenderung menjadi berbahaya bagi manusia yang mengkonsumsinya. Tabel 3.4. Jenis bakteri pathogen
Nama bakteri pathogen
Bacillus cereus Escherichia coli Shigella sp.
Streptococcus pyogenes
Vibrio cholerae
V. parahaemolyticus Salmonella spp.
Clostridium botulinum
C. perfringens
Staphylococcus aureus
Listeria monocytogenes
Senyawa Racun
Produk perikanan sudahberacun Beberapa produk perikanan diketahui sudah mengandung racun secara alami, sehingga bila dikonsumsi dapat menyebakan keracunan.
a.Keracunan Ciguatera
Keracunan ciguatera banyak dialami bila meng-konsumsi ikan karang. Ikan ini beracun apabila mengkonsumsi makanan beracun dan menjadi tidak beracun setelah beberapa saat tidak mengkonsumsi makanan tersebut. Jenis racun yang dikandung oleh ikan karang tersebut antara lain brevetoksin, dinofisis toksin, asam domoik, asam okadaik, pektonotoksin, saksitoksin, dan yessotoksin.
b. Tetrodotoxin
Tetrodotoksin adalah racun yang dikandung oleh ikan dari keluarga Tetraodontidae. Ikan ini diketahui mengandung racun di bagian gonad, hati, usus, dan kulitnya. Sedangkan bagian dagingnya tidak mengandung racun.
Jenis ikan yang dikenal mengandung tetrodotoksin ini adalah ikan buntal. Tetradotoxin juga dapat diisolasi dari spesies lain seperti ikan parrot, kodok dari genus Atelpus, oktopus, dan kepiting xanthid.
c. Keracunan Kerang
Keracunan kerang akan terjadi apabila meng-konsumsi kerang yang mengandung senyawa racun. Kerang bersifat biofilter, sehingga kerang yang hidup di perairan tercemar racun atau logam berat akan berpotensi sebagai penyebab keracunan.
Produk Perikanan Menjadi Beracun
Produk perikanan yang semula tidak beracun dan aman dikonsumsi dapat berubah menjadi beracun karena alasan tertentu. Keracunan ikan tongkol yang sering terjadi banyak disebabkan karena ikan tongkol yang semula segar berubah menjadi beracun karena cara penanganan yang kurang baik. Daging berwarna merah pada ikan tongkol segar mengandung banyak asam amino histidin. Proses penurunan mutu yang dalami ikan tongkol akan merombak histidin menjadi histamin. Senyawa histamin inilah yang dapat menyebabkan timbulnya rasa gatal, keracunan, dan bahkan mengakibatkan kematian.
Berubahnya produk perikanan yang semula aman dikonsumsi menjadi berbahaya bila dikonsumsi dapat dipengaruhi oleh : (1) pemanasan yang kurang sempurna sehingga memungkinkan mikroba merugikan tumbuh dan melaksanakan aktivitasnya; (2) proses pendinginan yang kurang sempurna juga dapat memicu aktivitas mikroba merugikan. Proses pendinginan produk perikanan yang sudah dimasak tidak boleh lebih dari 4 jam. Hindari pula mempertahankan produk perikanan pada suhu danger zone; (3) infeksi pekerja juga dapat memicu perkembangan mikroba merugikan; dan (4) kontaminasi silang yang terjadi antara produk perikanan dengan bahan mentah yang merupakan sumber mikroba.
Mencegah Penurunan Mutu
Beberapa upaya dapat dilakukan untuk menghambat penurunan mutu. Upaya tersebut dapat dilakukan sejak produk perikanan dipanen atau ditangkap, maupun selama pengolahan.
1. Selama Penanganan
Upaya kegiatan untuk menghambat penurunan mutu produk perikanan antara lain :
1) Precooling, yaitu Proses penurunan temperatur produk perikanan dengan tujuan untuk memperkecil perbedaan antara temperatur produk perikanan dan ruang penyimpanan. Makin kecil perbedaan temperatur tersebut, akan mengurangi beban panas yang akan diterima oleh ruang penyimpanan dingin.
2) Penanganan steril, yaitu penanganan yang ditujukan untuk mengurangi kemungkinan terjadinya ontaminasi silang atau kontaminasi ulang
(recontamination). Penanganan steril dicirikan dengan penggunaan peralatan, lingkungan, dan karyawan yang steril.
3) Pencucian produk perikanan ditujukan untuk mengurangi populasi mikroba alami (flora alami) yang terdapat dalam produk perikanan, sehingga populasinya tidak berpengaruh pada proses selanjutnya.
4) Penyiangan, yaitu proses membersihkan. Pada produk perikanan penyiangan berarti pembersihan sisik, pembuangan kepala (headless), pembuangan isi perut (gutting), atau pembuangan kulit (skinning atau skinless).
5) Blansing, yaitu penggunaan suhu tinggi dalam waktu singkat untuk tujuan tertentu. Pada produk perikanan, blansing dilakukan pada bagian yang dipotong untuk menghambat aktivitas mikroba dan enzim proteolitik.
6) Pemiletan (Filleting) yaitu pemotongan daging sedemikian rupa sehingga tidak menyertakan bagian yang keras, seperti duri, tulang, atau kulit.
7) Pemisahan daging dari tulang atau kulit (meat bone separation) banyak dilakukan untuk mempermudah proses penanganan atau pengolahan lebih lanjut. Pemisahan ini dapat dilakukan dengan menggunakan tangan (manual) atau menggunakan mesin pemisah tulang (meat bone separator). Produk yang dihasilkan adalah berupa daging cincang atau surimi. Surimi adalah ikan cincang yang telah ditambah zat antidenaturasi untuk mempertahankan kekenyalannya.
8) Sortasi, yaitu Pemisahan komoditi selama dalam aliran komoditas, misalnya sortasi di lokasi pemanenan yang didasarkan pada jenis, ukuran yang diminta pasar.
9) Grading, yaitu proses pemisahan produk perikanan berdasarkan mutu, misalnya ukuran, bobot,
kualitas
Selama Pengawetan
Upaya yang dapat dilakukan untuk menghambat penurunan mutu selama penanganan produk perikanan adalah :
1) Penggunaan suhu rendah, dalam bentuk pendinghinan dan pembekuan. Pendinginan adalah penggunaan temperatur di bawah temperatur kamar tetapi belum mencapai temperatur beku, biasanya berkisar pada 00-150C.
Pembekuan adalah penggunaan temperatur di bawah temperatur beku, biasanya berkisar pada 00C hingga
-600C.
2) Iradiasi, misalnya sinar gamma, untuk menghambat atau membunuh mikroba sehingga dapat memperpanjang masa simpan produk pangan.
3) Penggunaan bakteri antagonis yang ditujukan untuk menghambat atau membunuh bakteri pembusuk, sehingga masa simpan produk perikanan dapat diperpanjang. Penggunaan
Lactobacillus plantarum dan bakteri lainnya sebagai bakteri antagonis telah terbukti dapat menghambat pertumbuhan bakteri pembusuk sehingga dapat memperpanjang masa simpan produk perikanan.
Selama Pengolahan
Upaya yang dapat dilakukan untuk menghambat proses penurunan mutu selama pengolahan antara lain:
1) Suhu tinggi, yaitu penggunaan suhu tinggi untuk menghambat mikroba pembusuk atau mende-naturasi enzim Penggunaan suhu tinggi dalam pengolahan produk perikanan antara lain :
a) Perebusan adalah proses pemanasan hingga suhu ± 100oC pada tekanan 1 atmosfir. Tujuan utama perebusan adalah untuk menurunkan populasi mikroba, mendenaturasi protein, dan menurunkan kadar air;
b) Penguapan adalah penurunan kadar air dengan tujuan untuk mengurangi ketersediaan air di dalam produk perikanan sehingga tidak dapat dimanfaatkan oleh mikroba pembusuk untuk tumbuh dan beraktivitas. Prinsip dasar dari penguapan adalah penurunan kelembaban udara lingkungan sedemikian rupa sehinga akan menyebabkan cairan di dalam produk perikanan akan keluar dalam bentuk uap air. Selain dengan peningkatan suhu lingkungan, proses penguapan juga dapat dilakukan dengan menggerakan udara (angin) atau mengalirkan udara panas ke permukaan produk perikanan;
c) Penggorengan adalah bentuk lain dari penggunaan suhu tinggi untuk mengolah produk perikanan.
2) Penurunan kadar air sehingga mikroba pembusuk akan mengalami kesulitan untuk tumbuh dan berkembang. Penurunan kadar air dapat dilakukan dengan cara :
1) Pengeringan : pengeringan adalah proses menurunkan kadar air dalam produk perikanan berdasarkan perbedaan kelem-baban, sehingga air yang tersedia tidak dapat dimanfaatkan oleh mikroba merugikan untuk tumbuh dan berkembang. Proses pengeringan dapat dilakukan dengan cara penguapan, pemanasan,
penganginan, pengeringan beku
2) Tekanan : pengaturan tekanan dapat menurunkan kandungan air dalam produk perikanan. Bila tekanan lingkungan diturun-kan (hipobarik), maka cairan yang ada di dalam produk akan tertarik ke lingkungan. Bila tekanan lingkungan ditingkatkan hingga 2 atmosfir atau lebih (hiperbarik) maka produk perikanan akan tertekan sehingga cairannya akan keluar.
3) Penambahan senyawa kimia yang ditujukan untuk menghambat aktivitas mikroba pembusuk atau mendenaturasi enzim. Penambahan senyawa kimia dapat dilakukan dengan cara penambahan
a) Asam : Penambahan asam dimaksudkan untuk menurunkan pH sehingga aktivitas mikroba pembusuk menurun. Asam yang digunakan dapat berupa asam benzoat, sorbat, propionat, sulfite, asetat, laktat, nitrat;
b) Garam : Penambahan garam dimaksudkan untuk menciptakan perbedaan tekanan osmotis antara di dalam produk perikanan dengan lingkungannya. Peningkatan tekanan osmotis di luar produk perikanan akan menyebabkan keluarnya cairan dari produk perikanan sehingga cairan di dalam produk perikanan yang dapat dimanfaatkan oleh mikroba pembusuk menurun. Selain itu, terjadi proses masuknya komponen garam ke dalam produk perikanan. Ion Na+ dan Cl- yang bersifat racun akan membunuh mikroba pembusuk dan menyebabkan proses
denaturasi protein, termasuk enzim;
c) Gula : Penambahan gula dimaksudkan untuk menciptakan perbedaan tekanan osmotis antara produk perikanan dan lingkungannya. Perbedaan tekanan osmotis akan menyebabkan pergerakan cairan di dalam produk perikanan. Bila tekanan osmotis di luar lebih tinggi (hipertonis) maka cairan dari dalam produk perikanan akan keluar (plasmolisis), bila lebih rendah cairan akan masuk ke dalam sel mikroba sehingga sel akan pecah
(plas-moptisis);
d) Antibakteri : Senyawa anti bakteri dapat menghambat atau membunuh bakteri. Proses pengasapan akan meningkatkan senyawa fenol yang bersifat anti bakteri. Selain meningkatkan senyawa anti bakteri, proses pengasapan juga akan menurunkan kandungan air produk perikanan, sehingga bakteri pembusuk terhambat
pertumbuhannya;
e) Gas : Penggunaan gas-gas tertentu telah dilakukan untuk meningkatkan penanganan dan pengolahan produk perikanan. Fumigasi merupakan penggunaan gas untuk membunuh mikroba merugikan yang mungkin ada di dalam produk perikanan.
4) Fermentasi adalah proses perombakan senyawa kompleks menjadi senyawa lebih sederhana yang dilakukan oleh enzim dalam lingkungan terkendali.
Enzim yang berperan dalam proses fermentasi dapat berasal dari produk perikanan itu sendiri, mikroba fermentasi, bahan nabati, dan enzim murni. Penggunaan enzim murni untuk proses fermentasi jarang dilakukan mengingat harganya yang mahal. Penggunaan mikroba fermentasi sebagai penghasil enzim mem-butuhkan pengendalian kondisi lingkungan sehingga hanya mikroba fermentasi yang tumbuh, sedangkan mikroba laiinya terhambat atau mati. Pengendalian kondisi lingkungan dapat dilakukan dengan menggunakan senyawa asam, mening-katkan konsentrasi garam, atau meningkatkan populasi bakteri fermentasi. Pemilihan cara pengendalian lingkungan disesuaikan dengan produk perikanan yang akan difermentasi. Beberapa bahan nabati telah digunakan dalam proses fermentasi produk perikanan. Bahan nabati tersebut diketahui mengandung enzim proteolitik. Bahan nabati tersebut misalnya papaya yang mengandung enzim papain, dan nenas yang mengandung enzim bromelain
Ada tiga faktor yang mempengaruhi penurunan mutu produk perikanan, yaitu kerusakan fisik, mikrobiologi dan Kimia.
1 Kerusakan Fisik
Kerusakan fisik yang dialami produk perikanan dapat disebabkan oleh perlakuan fisik, seperti terbanting, tergencet, atau terluka. Perlakuan tersebut dapat menyebabkan terjadinya memar, luka, dan adanya benda asing.
a Memar
Memar yang dialami oleh produk perikanan yang disebabkan karena dipukul (Gambar 3.1), terbanting atau tergencet. Ikan yang meronta sesaat sebelum mati atau pedagang yang membanting ikan gurame agar segera mati telah menyebabkan ikan mengalami memar. Semua upaya mematikan ikan dimaksudkan agar ikan menjadi mudah untuk disiangi.
Produk perikanan yang memar akan mudah mengalami proses pembusukan. Rusaknya jaringan di bagian yang memar akan menyebabkan peningkatan aktivitas enzim proteolitik. Pada ikan, bagian yang memar cenderung menjadi lunak dan kemerahan.
Penggunaan alat pemukul untuk mematikan ikan dapat menyebakan terjadinya memar atau luka
b. Luka
Produk perikanan dapat mengalami luka yang diakibatkan tusukan atau sayatan oleh benda tajam. Penggunaan pengait pada saat akan mengangkat ikan hasil tangkapan dapat menyebabkan luka pada ikan (Gambar 3.5). Apabila tidak segera ditangani dengan benar, luka tersebut dapat menjadi jalan bagi mikroba pembusuk untuk memasuki bagian tubuh ikan dan merombak komponen di dalamnya.
c. Adanya Benda Asing
Mungkin diantara kita sudah sering mendengar atau mengalami sendiri adanya helaian rambut, pasir, atau kaki serangga pada makanan yang akan atau sedang dimakan. Kontan saja keberadaan benda tersebut telah membuat selera makan menjadi berkurang atau bahkan hilang sama sekali. Pasir, isi hekter, rambut, kuku, patahan kaki serangga, atau pecahan gelas adalah beberapa contoh benda-benda asing yang sering dijumpai pada saat akan menyantap makanan dibanyak warung makan bahkan restauran sekalipun. Namun respon dari masyarakat yang terkadang acuh tak acuh atas kejadian tersebut membuat tidak adanya data pasti berapa banyak orang yang mengalaminya. Sungguh sangat disayangkan sebab sebenarnya mereka memiliki hak untuk melapor dan mengajukan tuntutan manakala mendapatkan makanan dengan benda yang membahayakan.
Pada produk perikanan, hal tersebut bukan tidak pernah terjadi. Informasi yang dibaca atau didengar mengenai produk perikanan yang mengalami penahanan di pelabuhan masuk negara tujuan karena pada saat pemeriksaan terbukti mengandung benda-benda asing seperti paku, jarum, patahan kaki serangga, pecahan kaca dan masih banyak lagi. Itulah beberapa contoh bahaya fisik (Physical Hazard) tentang bahaya keamanan pangan.
Berdasarkan definisinya, bahaya fisik dapat diartikan sebagai benda-benda asing yang berasaI dari luar dan tidak normal ditemukan dalam produk perikanan yang secara potensial dapat menyebabkan kerugian bagi konsumen yang secara tidak sengaja memakannya. Keberadaan bahaya fisik ini perlu ditelusuri karena dapat menyebabkan bahaya bagi konsumen (Tabel 3.1.).
Upaya untuk menghindari terjadinya bahaya fisik dapat dilakukan mulai dari proses produksi di unit pengolahan hingga preparasi makanan di rumah-rumah. Penggunaan alat metaI detector merupakan salah satu cara yang paling banyak digunakan unit pengolahan ikan untuk mencegah terbawanya material logam di dalam produk ikan.
Upaya penanggulangan bahaya fisik dengan mendekati sumber bahaya juga merupakan langkah yang sangat tepat untuk dilakukan di unit-unit pengolahan. Upaya seperti mengatur para pekerja untuk tidak mengenakan berbagai macam perhiasan (kalung, giwang, cincin), dan melengkapi para pekerja dengan peralatan kerja yang baik, serta memeriksa peralatan agar tetap aman selama proses produksi berIangsung merupakan tindakan preventif yang sangat tepat untuk dilakukan.
DaIam lingkungan keluarga, proses pengolahan masakan yang dilakukan secara hati-hati sangat dianjurkan untuk mengurangi resiko bahaya fisik yang masih mungkin terjadi.
2. Kerusakan Kimiawi
Penurunan kandungan senyawa kimia pada produk perikanan dapat terjadi selama proses pencucian dan pemanasan. Selama berlangsung proses pencucian produk perikanan, banyak komponen senyawa kimia yang akan larut, seperti beberapa protein, vitamin B dan C, serta mineral.
a. Autolisis
Autolisis adalah proses perombakan sendiri, yaitu proses perombakan jaringan oleh enzim yang berasal dari produk perikanan tersebut. Proses autolisis terjadi pada saat produk perikanan memasuki fase post rigor mortis. Ikan yang mengalami autolisis memiliki tekstur tubuh yang tidak elastis, sehingga apabila daging tubuhnya ditekan dengan jari akan membutuhkan waktu relatif lama untuk kembali kekeadaan semula. Bila proses autolisis sudah berlangsung lebih lanjut, maka daging yang ditekan tidak pernah kembali ke posisi semula (Gambar 3.6).
b. Oksidasi
Ikan termasuk salah satu produk perikanan yang banyak mengandung lemak, terutama lemak tidak jenuh. Lemak tidak jenuh adalah lemak yang mengandung ikatan rangkap pada rantai utamanya. Lemak demikian bersifat tidak stabil dan cenderung mudah bereaksi. Lemak pada ikan didominasi oleh lemak tidak jenuh berantai panjang (Polyunsaturated fatty acid / PUFA). Selama penyimpanan, lemak tidak jenuh akan mengalami proses oksidasi sehingga terbentuk senyawa peroksida.
c. Senyawa Kimia
Pengertian pencemaran dengan senyawa kimia pencemar adalah senyawa kimia yang terkandung dalam produk perikanan, baik secara alami maupun sengaja ditambahkan (Tabel 3.2). Senyawa kimia pencemar dapat berupa senyawa alami maupun sintetis.
Keberadaan senyawa kimia pencemar dalam produk perikanan dapat mempengaruhi rasa dan kenampakan. Rasa dari produk perikanan yang tercemar senyawa kimia pencemar terasa agak menyimpang, tergantung dari senyawa kimia yang mencemarinya.
Kenampakan beberapa produk perikanan yang tercemar senyawa kimia dapat dilihat dengan mudah. Kerang-kerangan yang memiliki kemampuan sebagai filter Kimia terhadap logam berat, dagingnya cenderung memiliki kenampakan merah kehitaman dan memiliki tubuh relatif lebih besar.
Nama bakteri pembusuk Shewanella putrifaciens Photobacterium phosphoreum Pseudomonas spp.
Vibrionacaea Aerobacter
Lactobacillus
Moraxella
Acinetobacter
Alcaligenes
Micrococcus
Bacillus
Staphylococcus
Flavobacterium
Mikroba patogen merupakan kelompok mikroba yang dapat menyebabkan penyakit (Tabel 3.4.). Produk perikanan yang mengandung mikroba patogen cenderung menjadi berbahaya bagi manusia yang mengkonsumsinya. Tabel 3.4. Jenis bakteri pathogen
Nama bakteri pathogen
Bacillus cereus Escherichia coli Shigella sp.
Streptococcus pyogenes
Vibrio cholerae
V. parahaemolyticus Salmonella spp.
Clostridium botulinum
C. perfringens
Staphylococcus aureus
Listeria monocytogenes
Senyawa Racun
Produk perikanan sudahberacun Beberapa produk perikanan diketahui sudah mengandung racun secara alami, sehingga bila dikonsumsi dapat menyebakan keracunan.
a.Keracunan Ciguatera
Keracunan ciguatera banyak dialami bila meng-konsumsi ikan karang. Ikan ini beracun apabila mengkonsumsi makanan beracun dan menjadi tidak beracun setelah beberapa saat tidak mengkonsumsi makanan tersebut. Jenis racun yang dikandung oleh ikan karang tersebut antara lain brevetoksin, dinofisis toksin, asam domoik, asam okadaik, pektonotoksin, saksitoksin, dan yessotoksin.
b. Tetrodotoxin
Tetrodotoksin adalah racun yang dikandung oleh ikan dari keluarga Tetraodontidae. Ikan ini diketahui mengandung racun di bagian gonad, hati, usus, dan kulitnya. Sedangkan bagian dagingnya tidak mengandung racun.
Jenis ikan yang dikenal mengandung tetrodotoksin ini adalah ikan buntal. Tetradotoxin juga dapat diisolasi dari spesies lain seperti ikan parrot, kodok dari genus Atelpus, oktopus, dan kepiting xanthid.
c. Keracunan Kerang
Keracunan kerang akan terjadi apabila meng-konsumsi kerang yang mengandung senyawa racun. Kerang bersifat biofilter, sehingga kerang yang hidup di perairan tercemar racun atau logam berat akan berpotensi sebagai penyebab keracunan.
Produk Perikanan Menjadi Beracun
Produk perikanan yang semula tidak beracun dan aman dikonsumsi dapat berubah menjadi beracun karena alasan tertentu. Keracunan ikan tongkol yang sering terjadi banyak disebabkan karena ikan tongkol yang semula segar berubah menjadi beracun karena cara penanganan yang kurang baik. Daging berwarna merah pada ikan tongkol segar mengandung banyak asam amino histidin. Proses penurunan mutu yang dalami ikan tongkol akan merombak histidin menjadi histamin. Senyawa histamin inilah yang dapat menyebabkan timbulnya rasa gatal, keracunan, dan bahkan mengakibatkan kematian.
Berubahnya produk perikanan yang semula aman dikonsumsi menjadi berbahaya bila dikonsumsi dapat dipengaruhi oleh : (1) pemanasan yang kurang sempurna sehingga memungkinkan mikroba merugikan tumbuh dan melaksanakan aktivitasnya; (2) proses pendinginan yang kurang sempurna juga dapat memicu aktivitas mikroba merugikan. Proses pendinginan produk perikanan yang sudah dimasak tidak boleh lebih dari 4 jam. Hindari pula mempertahankan produk perikanan pada suhu danger zone; (3) infeksi pekerja juga dapat memicu perkembangan mikroba merugikan; dan (4) kontaminasi silang yang terjadi antara produk perikanan dengan bahan mentah yang merupakan sumber mikroba.
Mencegah Penurunan Mutu
Beberapa upaya dapat dilakukan untuk menghambat penurunan mutu. Upaya tersebut dapat dilakukan sejak produk perikanan dipanen atau ditangkap, maupun selama pengolahan.
1. Selama Penanganan
Upaya kegiatan untuk menghambat penurunan mutu produk perikanan antara lain :
1) Precooling, yaitu Proses penurunan temperatur produk perikanan dengan tujuan untuk memperkecil perbedaan antara temperatur produk perikanan dan ruang penyimpanan. Makin kecil perbedaan temperatur tersebut, akan mengurangi beban panas yang akan diterima oleh ruang penyimpanan dingin.
2) Penanganan steril, yaitu penanganan yang ditujukan untuk mengurangi kemungkinan terjadinya ontaminasi silang atau kontaminasi ulang
(recontamination). Penanganan steril dicirikan dengan penggunaan peralatan, lingkungan, dan karyawan yang steril.
3) Pencucian produk perikanan ditujukan untuk mengurangi populasi mikroba alami (flora alami) yang terdapat dalam produk perikanan, sehingga populasinya tidak berpengaruh pada proses selanjutnya.
4) Penyiangan, yaitu proses membersihkan. Pada produk perikanan penyiangan berarti pembersihan sisik, pembuangan kepala (headless), pembuangan isi perut (gutting), atau pembuangan kulit (skinning atau skinless).
5) Blansing, yaitu penggunaan suhu tinggi dalam waktu singkat untuk tujuan tertentu. Pada produk perikanan, blansing dilakukan pada bagian yang dipotong untuk menghambat aktivitas mikroba dan enzim proteolitik.
6) Pemiletan (Filleting) yaitu pemotongan daging sedemikian rupa sehingga tidak menyertakan bagian yang keras, seperti duri, tulang, atau kulit.
7) Pemisahan daging dari tulang atau kulit (meat bone separation) banyak dilakukan untuk mempermudah proses penanganan atau pengolahan lebih lanjut. Pemisahan ini dapat dilakukan dengan menggunakan tangan (manual) atau menggunakan mesin pemisah tulang (meat bone separator). Produk yang dihasilkan adalah berupa daging cincang atau surimi. Surimi adalah ikan cincang yang telah ditambah zat antidenaturasi untuk mempertahankan kekenyalannya.
8) Sortasi, yaitu Pemisahan komoditi selama dalam aliran komoditas, misalnya sortasi di lokasi pemanenan yang didasarkan pada jenis, ukuran yang diminta pasar.
9) Grading, yaitu proses pemisahan produk perikanan berdasarkan mutu, misalnya ukuran, bobot,
kualitas
Selama Pengawetan
Upaya yang dapat dilakukan untuk menghambat penurunan mutu selama penanganan produk perikanan adalah :
1) Penggunaan suhu rendah, dalam bentuk pendinghinan dan pembekuan. Pendinginan adalah penggunaan temperatur di bawah temperatur kamar tetapi belum mencapai temperatur beku, biasanya berkisar pada 00-150C.
Pembekuan adalah penggunaan temperatur di bawah temperatur beku, biasanya berkisar pada 00C hingga
-600C.
2) Iradiasi, misalnya sinar gamma, untuk menghambat atau membunuh mikroba sehingga dapat memperpanjang masa simpan produk pangan.
3) Penggunaan bakteri antagonis yang ditujukan untuk menghambat atau membunuh bakteri pembusuk, sehingga masa simpan produk perikanan dapat diperpanjang. Penggunaan
Lactobacillus plantarum dan bakteri lainnya sebagai bakteri antagonis telah terbukti dapat menghambat pertumbuhan bakteri pembusuk sehingga dapat memperpanjang masa simpan produk perikanan.
Selama Pengolahan
Upaya yang dapat dilakukan untuk menghambat proses penurunan mutu selama pengolahan antara lain:
1) Suhu tinggi, yaitu penggunaan suhu tinggi untuk menghambat mikroba pembusuk atau mende-naturasi enzim Penggunaan suhu tinggi dalam pengolahan produk perikanan antara lain :
a) Perebusan adalah proses pemanasan hingga suhu ± 100oC pada tekanan 1 atmosfir. Tujuan utama perebusan adalah untuk menurunkan populasi mikroba, mendenaturasi protein, dan menurunkan kadar air;
b) Penguapan adalah penurunan kadar air dengan tujuan untuk mengurangi ketersediaan air di dalam produk perikanan sehingga tidak dapat dimanfaatkan oleh mikroba pembusuk untuk tumbuh dan beraktivitas. Prinsip dasar dari penguapan adalah penurunan kelembaban udara lingkungan sedemikian rupa sehinga akan menyebabkan cairan di dalam produk perikanan akan keluar dalam bentuk uap air. Selain dengan peningkatan suhu lingkungan, proses penguapan juga dapat dilakukan dengan menggerakan udara (angin) atau mengalirkan udara panas ke permukaan produk perikanan;
c) Penggorengan adalah bentuk lain dari penggunaan suhu tinggi untuk mengolah produk perikanan.
2) Penurunan kadar air sehingga mikroba pembusuk akan mengalami kesulitan untuk tumbuh dan berkembang. Penurunan kadar air dapat dilakukan dengan cara :
1) Pengeringan : pengeringan adalah proses menurunkan kadar air dalam produk perikanan berdasarkan perbedaan kelem-baban, sehingga air yang tersedia tidak dapat dimanfaatkan oleh mikroba merugikan untuk tumbuh dan berkembang. Proses pengeringan dapat dilakukan dengan cara penguapan, pemanasan,
penganginan, pengeringan beku
2) Tekanan : pengaturan tekanan dapat menurunkan kandungan air dalam produk perikanan. Bila tekanan lingkungan diturun-kan (hipobarik), maka cairan yang ada di dalam produk akan tertarik ke lingkungan. Bila tekanan lingkungan ditingkatkan hingga 2 atmosfir atau lebih (hiperbarik) maka produk perikanan akan tertekan sehingga cairannya akan keluar.
3) Penambahan senyawa kimia yang ditujukan untuk menghambat aktivitas mikroba pembusuk atau mendenaturasi enzim. Penambahan senyawa kimia dapat dilakukan dengan cara penambahan
a) Asam : Penambahan asam dimaksudkan untuk menurunkan pH sehingga aktivitas mikroba pembusuk menurun. Asam yang digunakan dapat berupa asam benzoat, sorbat, propionat, sulfite, asetat, laktat, nitrat;
b) Garam : Penambahan garam dimaksudkan untuk menciptakan perbedaan tekanan osmotis antara di dalam produk perikanan dengan lingkungannya. Peningkatan tekanan osmotis di luar produk perikanan akan menyebabkan keluarnya cairan dari produk perikanan sehingga cairan di dalam produk perikanan yang dapat dimanfaatkan oleh mikroba pembusuk menurun. Selain itu, terjadi proses masuknya komponen garam ke dalam produk perikanan. Ion Na+ dan Cl- yang bersifat racun akan membunuh mikroba pembusuk dan menyebabkan proses
denaturasi protein, termasuk enzim;
c) Gula : Penambahan gula dimaksudkan untuk menciptakan perbedaan tekanan osmotis antara produk perikanan dan lingkungannya. Perbedaan tekanan osmotis akan menyebabkan pergerakan cairan di dalam produk perikanan. Bila tekanan osmotis di luar lebih tinggi (hipertonis) maka cairan dari dalam produk perikanan akan keluar (plasmolisis), bila lebih rendah cairan akan masuk ke dalam sel mikroba sehingga sel akan pecah
(plas-moptisis);
d) Antibakteri : Senyawa anti bakteri dapat menghambat atau membunuh bakteri. Proses pengasapan akan meningkatkan senyawa fenol yang bersifat anti bakteri. Selain meningkatkan senyawa anti bakteri, proses pengasapan juga akan menurunkan kandungan air produk perikanan, sehingga bakteri pembusuk terhambat
pertumbuhannya;
e) Gas : Penggunaan gas-gas tertentu telah dilakukan untuk meningkatkan penanganan dan pengolahan produk perikanan. Fumigasi merupakan penggunaan gas untuk membunuh mikroba merugikan yang mungkin ada di dalam produk perikanan.
4) Fermentasi adalah proses perombakan senyawa kompleks menjadi senyawa lebih sederhana yang dilakukan oleh enzim dalam lingkungan terkendali.
Enzim yang berperan dalam proses fermentasi dapat berasal dari produk perikanan itu sendiri, mikroba fermentasi, bahan nabati, dan enzim murni. Penggunaan enzim murni untuk proses fermentasi jarang dilakukan mengingat harganya yang mahal. Penggunaan mikroba fermentasi sebagai penghasil enzim mem-butuhkan pengendalian kondisi lingkungan sehingga hanya mikroba fermentasi yang tumbuh, sedangkan mikroba laiinya terhambat atau mati. Pengendalian kondisi lingkungan dapat dilakukan dengan menggunakan senyawa asam, mening-katkan konsentrasi garam, atau meningkatkan populasi bakteri fermentasi. Pemilihan cara pengendalian lingkungan disesuaikan dengan produk perikanan yang akan difermentasi. Beberapa bahan nabati telah digunakan dalam proses fermentasi produk perikanan. Bahan nabati tersebut diketahui mengandung enzim proteolitik. Bahan nabati tersebut misalnya papaya yang mengandung enzim papain, dan nenas yang mengandung enzim bromelain
0 comments:
Post a Comment