Sunday, March 22, 2015

Industri Ikan Cakalang

March 22, 2015 Posted by Media Penyuluhan Perikanan Pati No comments


I. PENDAHULUAN
Industri perikanan berbasis pengolahan ikan cakalang asap merupakan salah satu industri tertua dan masih sangat tradisional dalam proses pengolahannya. Setiap proses pengolahan ikan cakalang asap akan menghasilkan hasil samping berupa kepala, insang, telur dan isi perut. Pires et al. (2012) menyatakan bahwa hasil samping berbasis protein dari industri pengolahan dapat dijadikan pangan dan pakan serta memiliki potensi suplemen bioaktif dan pangan fungsional.
Pemanfaatan hasil samping berbasis protein terus dikembangkan,salah satunya adalah konsentrat protein ikan (KPI). Menurut Ibrahim (2009), konsentrat protein ikan merupakan produk yang dihasilkan dengan cara menghilangkan lemak dan air, sehingga menghasilkan konsentrat protein yang tinggi. Kebanyakan produk ini diaplikasikan ke dalam makanan yang berkarbohidrat tinggi. Pembuatan konsentrat protein ikan merupakan inovasi pengembangan bentuk protein yang mudah untuk diaplikasikan kedalam produk pangan berprotein rendah. 
FAO (1976) mengklasifikasikan KPI menjadi tiga tipe, yaitu (1) Tipe A, merupakan tepung yang tidak berasa ikan, tidak berwarna serta tidak berbau, dengan kadar protein minimal 67,7% dan kandungan lemak maksimal 0,75%. KPI dapat dicampurkan pada hampir semua produk makanan dengan konsentrasi 510%, tanpa mengurangi daya terima konsumen terhadap produk tersebut; (2) KPI Tipe B, yaitu yang diperoleh dengan cara menghilangkan lemaknya melalui proses ekstraksi, sampai diperoleh produk dengan kandungan lemak kurang dari 3%. Flavor ikan masih tampak dalam sebagian besar makanan yang ditambahkan KPI; (3) KPI Tipe C, merupakan tepung ikan yang biasa diproduksi secara higienis, dengan kan-dungan lemak lebih besar dari 10%, serta bau dan flavor ikan yang tajam.
Telur ikan cakalang merupakan hasil samping industri pengolahan ikan asap yang berpotensi sebagai sumber bahan baku pembuatan KPI karena mengandung protein yang tinggi. Kapasitas produksi industri pengolahan ikan asap setiap harinya sekitar 60-80 ekor dan menghasilkan hasil samping sekitar 20-30% berupa jeroan, isi perut dan telur ikan. Menurut Intarasirisawat et al. (2011), telur ikan cakalang mengandung protein yang tinggi, yaitu 21,5%. Beberapa penelitian telah memanfaatkan telur ikan sebagai bahan pembuatan konsentrat protein telur ikan (KPTI) diantaranya: cathfish roe (Sathivel et al., 2009), telur ikan mrigal (Cirrhinus mrigala) (Chalamaiah et al., 2011), Telur ikan Channa striatus dan Labeo rohita (Galla et al., 2012), telur ikan tuna dan  kakap merah (Wiharja et al., 2013). Penelitian ini bertujuan untuk menentukan proses ekstraksi terbaik melalui metode deffating untuk pembuatan konsentrat protein telur ikan dengan memanfaatkan telur ikan cakalang sebagai bahan baku dan menentukan karakterisasi sifat fungsionalnya. 
II. METODE PENELITIAN
2.1. Bahan Baku
Bahan utama yang digunakan dalam penelitian ini adalah telur ikan cakalang yang diperoleh dari hasil samping industri pengolahan ikan cakalang asap di Desa Galala Kota Ambon, Provinsi Maluku. Pelarut yang digunakan dalam proses ekstraksi adalah isopropil alkohol (IPA) dan etanol.
 Telur ikan cakalang segar diuji proksimat (AOAC, 2005) awal untuk mengetahui komposisi kimianya. Telur ikan kemudian dicuci hingga bersih dengan air dingin ( suhu 10 oC), setelah itu diblender hingga lumat. Telur ikan lumat siap diekstrak menjadi konsentrat protein.
2.2.  Ekstraksi Konsentrat Protein Telur Ikan Cakalang (KPTI)
Proses ekstraksi KPTI berdasarkan metode Sikorski dan Nazck (1981) yang dimodifikasi. Telur ikan  lumat diekstrak dengan metode deffating menggunakan pelarut IPA dan etanol dengan perbandingan telur ikan lumat dan pelarut adalah 1:3 (b/v) untuk menghilangkan lemak dan air. Ekstraksi dilakukan dengan lama ekstraksi selama 1, 2 dan 3 jam, kemudian disaring menggunakan kertas saring. Endapan hasil penyaringan dikeringkan dengan menggunakan cabinet dry pada suhu 45±2oC selama 4 jam. Hasil pengeringan ditepungkan dengan menggunakan dishmill dan diayak dengan saringan ukuran 60 mesh.
2.3. Uji Organoleptik (Soekarto dan Hubies, 1982)
Pengujian organoleptik untuk sampel konsentrat protein telur ikan menggunakan uji skoring terhadap bau. Skor yang diberikan sebagai berikut: 1=bau ikan sangat kuat, 2=bau ikan kuat, 3=bau ikan lemah, 4=bau ikan sangat lemah dan 5=tidak berbau ikan. Sampel disajikan secara acak dengan memberikan kode angka pada sampel. Para panelis berasal dari mahasiswa Teknologi Hasil Perikanan, berjumlah 30 penelis. 
2.4.  Derajat Putih (Faridah et al., 2006)
Alat yang digunakan untuk mengukur derajat putih adalah whiteness meter. Contoh sebanyak 3 g ditempatkan dalam satu wadah.suhu sampel diseimbangkan dengan meletakkan wadah sampel diatas tester, kemudian wadah berisi sampel beserta cawan berisi standar (berupa serbuk BaSO4) dimasukkan ke dalam tempat pengukuran dan alat akan menampilkan nilai derajat putih dan nomor urutan pengukuran. 
2.5.  Proksimat (AOAC, 2005)
Pengujian komposisi kimia bahan baku telur ikan cakalang dan KPTI menggunakan metode AOAC (2005) yang terdiri dari kadar protein, kadar lemak, kadar air, kadar abu dan karbohidrat (by difference).
2.6.  Densitas kamba (Wirakartakusumah et al., 1992) 
Sebanyak 10 g sampel diukur volumenya dengan gelas ukur 50 ml.
Densitas kamba dinyatakan dalam g/ml.
 Densitas kamba (g/ml) = berat bahan (g) / volume bahan (ml)
 2.7. Kapasitas Emulsi (Yatsumatsu et al., 1972)
Kapasitas emulsi diukur dengan cara 5 g konsentrat protein telur ikan ditambah-kan 20 ml air dan 20 ml minyak jagung, kemudian dihomogenisasi selama 1 menit dan disentrifus pada 7500 rpm selama 5 menit. Kapasitas  emulsi dihitung dengan menggunakan rumus:
 Kapasitas Emulsi = (volume emulsi
setelah disentrifus/volume awal) x 100
2.8.  Daya Buih (Huda et al., 2012)
Tepung KPTI 1 g ditambahkan ke dalam 10 ml air dan dihomogenisasi selama satu menit. Campuran larutan KPTI dipindahkan ke dalam 25 ml beaker glass. Kapasitas busa dilihat dari busa yang terbentuk dibandingkan dengan kapasitas volume awal. Stabilitas busa merupakan rasio dari kapasitas busa selama waktu observasi dibandingkan dengan kapasitas busa awal.
2.9.  Daya Serap Air (Beuchat, 1977)
Derajat putih (%) = (derajat putih/110 x                dengan  spatula dan didiamkan pada suhu
                                100) kamar selama 30 menit. Setelah itu            disentrifus pada 3.000 rpm selama 30
Jurnal Ilmu dan Teknologi Kelautan Tropis, Vol. 5, No. 2,                
Sampel sebanyak 1g dimasukkan ke dalam tabung sentrifus lalu ditambah dengan 10 ml akuades, kemudian diaduk menit. Volume air bebas atau yang tidak terserap oleh sampel diukur dengan gelas ukur. Perhitungannya sebagai berikut:
 Daya serat air (ml/g) = (berat awal+air terserap) – (berat akhir+air tak terserap)
2.10.   Daya Serap Lemak (Beuchat,1977)
Sampel sebanyak 1 g dimasukkan kedalam tabung sentrifus lalu ditambahkan dengan 10 ml minyak nabati, kemudian diaduk dengan spatula dan didiamkan pada suhu kamar selama 30 menit. Setelah itu disentrifus pada 3.000 rpm selama 30 menit.  Volume minyak yang bebas atau tidak terserap oleh sampel, diukur dengan gelas ukur.
Perhitungannya sebagai berikut:
Daya serap minyak (g/g) = (volume awal – volume akhir) / berat sampel
 2.11.  Komposisi Asam Amino (AOAC, 1995)
Sampel            sebanyak         0,5       g dimasukkan ke dalam gelas piala 25 ml kemudian ditambahkan HCl 6 N sebanyak 10 ml. Gelas piala dipanaskan selama 24 jam pada suhu 100oC. Sampel disaring dan diambil filtratnya. Filtrat ditambahkan
5 ml larutan pengering (metanol, picolotiocianat, tri-etilamin) kemudian dikeringkan. Larutan derivatisasi (metanol, Na-asetat, dan trietilamin) ditambahkan dan sampel didiamkan selama 20 menit. Larutan asetat 1 M sebanyak 200 ml ditambahkan dan sampel siap diinjeksikan ke HPLC. 
Kondisi alat HPLC sebagai berikut : temperatur pada suhu ruang, kolom yang digunakan adalah pico tag 3,9 x 150 mm, kecepatan aliran 1,5 ml/menit, batas tekanan 3000 psi, program gradien, fase gerak asetonitril 60% dan buffer natrium asetat 1 M, dan detektor sinar UV dengan panjang gelombang 254 nm.
 Asam amino(%) = (luas area sample/luas area standar) x (konsentrasi standar/bobot
sample) x BM x FK X 100
 Asam Amino (mg/g protein) = (1000 x kadar asam amino (%)) / kadar protein(%)
 Dimana: FK = faktor koreksi, BM = berat molekul.

2.12. Analisis Data
Rancangan percobaan yang digunakan adalah rancangan acak lengkap faktorial (RAL) menurut Steel and Torrie (1993) dengan 2 taraf dan 2 ulangan. Jika terdapat pengaruh (p<0 13.="" 14="" dan="" data="" dengan="" dianalisis="" dilakukan="" duncan.="" lanjut="" maka="" menggunakan="" minitab="" semua="" span="" spss="" style="mso-spacerun: yes;" uji=""> 
III. HASIL DAN PEMBAHASAN

3.1.  Komposisi Proksimat Telur Ikan            Cakalang
Bahan baku yang digunakan untuk membuat konsentrat protein adalah hasil samping telur ikan cakalang (Katsuwonus pelamis) disajikan pada Tabel 1. 
Tabel 1. Komposisi proksimat telur ikan           Cakalang
Komposisi       Persentase (%bb)
Protein             19,81 ± 0,54
Lemak             3,41 ± 0,22
Air       71,32 + 0,16
Abu     2,04 + 0,70
KH (by difference)     1,53 + 0,53

Komposisi proksimat telur ikan cakalang menunjukkan bahwa telur cakalang tergolong memiliki kandungan protein yang tinggi yaitu 19,81%. Hasil penelitian ini tidak jauh berbeda dengan hasil penelitian Intarasirisawat et al. (2011) yang juga menkaji komposisi gizi telur ikan cakalang meliputi kandungan protein 20,15%, lemak 3,39%, abu 1,94%, air 72,17% dan KH 2,35%. Ditambahkan pula bahwa telur ikan cakalang memiliki kandungan protein yang lebih tinggi dan lemak yang rendah dibandingkan dengan jenis tuna lain seperti tongol (Thunnus tonggol) dan bonito (Euthynnus affinis). 
Variasi komposisi kimia telur ikan dipengaruhi oleh faktor biologi mencakup jenis spesies, kematangan gonad, makanan, musim, lokasi memijah dan kondisi pengolahan (Mohmoud et al., 2008). Sahena et al., (2009) mengatakan bahwa kuantiti dan komposisi lemak ikan berbeda pada spesies dan habitat. Menurut Venugoval (2008) bahwa ikan yang tergolong berlemak rendah mempunyai kadar lemak kurang dari 3%, berlemak sedang memiliki kadar lemak 3-5% dan berlemak tinggi mempunyai kadar lemak lebih dari 7%.

3.2.  Penentuan Konsentrat Protein            Telur Ikan Cakalang Terbaik
Penentuan mutu KPI dilakukan berdasarkan syarat FAO (1976) yang meliputi kadar protein, kadar lemak, nilai bau dan derajat putih. Hasil penelitian menunjukkan bahwa jenis pelarut dan lama ekstraksi berpengaruh secara nyata (p<0 kadar="" kandungan="" protein="" span="" style="mso-spacerun: yes;" terhadap="">  lemak dan derajat putih yang dihasilkan sedangkan untuk nilai bau tidak berpengaruh secara nyata (p>0,05). 
Syarat mutu KPI ialah memiliki kadar protein minimal 67,5%, lemak maksimal  0,75%, tidak berbau amis dan memiliki warna yang baik. Kadar protein tertinggi yang diperoleh pada perlakuan IPA dengan lama ekstraksi 2 jam yaitu 72,47% dan tidak berbeda nyata dengan perlakuan IPA dengan lama ekstraksi 3 jam. Hasil yang diperoleh lebih rendah dibandingkan hasil penelitian Galla et al. (2012) dan Chamalaiah et al. (2011) dengan nilai protein 75-90%. Balaswamy et al. (2007) menyatakan bahwa persentase protein dari beberapa konsentrat protein telur ikan menunjukkan kandungan protein yang tinggi. Selain itu, kandungan kadar protein yang berbedabeda pada beberapa konsentrat protein dipengaruhi oleh beberapa faktor diantaranya jenis ikan, cara ekstraksi, jenis pelarut, lama ekstraksi dan cara pengeringan (Gambar 1). 
Kadar lemak terendah diperoleh pada perlakuan IPA lama ekstraksi 3 jam yaitu 2,78% lebih rendah dibanding Chamalaiah et al. (2011) dengan kadar lemak 8,8% pada konsentrat protein telur ikan mgiral. Hal ini dikarenakan proses ekstraksi berulang yang mampu mendegradasi lemak, semakin lama ekstraksi akan menghasilkan kadar lemak yang rendah. Menurut Tirtajaya et al. (2008), kemampuan masing-masing pelarut untuk mengagregasi protein serta mengekstraksi lemak dan air berbeda sehingga akan mempengaruhi kadar protein dan lemak konsentrat protein yang dihasilkan. Pelarut alkohol merupakan pelarut organik bersifat polar yang memiliki kemampuan untuk memisahkan fraksi gula larut air dan lemak tanpa melarutkan proteinnya (Amoo et al., 2006) (Gambar 2). 
 Derajat putih adalah analisis yang menentukan keputihan suatu bahan yang sangat erat dengan daya terima konsumen. Nilai derajat putih tertinggi diperoleh pada perlakuan IPA lama ekstraksi 3 jam.  Peningkatan warna putih disebabkan oleh berkurangnya kadar lemak setelah di-ekstrak. Semakin lama ekstraksi dapat memberikan warna yang lebih baik. Nilai derajat putih yang dihasilkan lebih rendah dibandingkan dengan hasil penelitian Wiharja et al. (2013) untuk telur ikan tuna dan kakap merah yang menghasilkan nilai derajat putih 64,34% dan 65,42%. Windsor (2001) menerangkan bahwa kandungan lemak pada ikan dan by-product perikanan cenderung berwarna kuning, sehingga dilakukan ekstraksi untuk menghasilkan konsentrat protein dengan kecerahan yang baik. Ditambahkan pula bahwa terlarutnya

Jurnal Ilmu dan Teknologi Kelautan Tropis, Vol. 5, No. 2,             
menunjukkan berbeda nyata (p<0 span="">
menunjukkan berbeda nyata (p<0 span="">

pigmen carotenoid  pada lemak yang terdapat dalam telur ikan terekstrak selama proses ekstraksi. Hasil analisis derajat putih  KPTI  cakalang disajikan pada Gambar 3.
Nilai bau ditentukan secara organoleptik dengan menggunakan uji skoring. Skala yang digunakan adalah 1-5, semakin kecil nilai maka semakin berbau ikan dan sebaliknya semakin besar nilai maka semakin tidak berbau ikan. Nilai tertinggi bau diperoleh ada perlakuan IPA lama ekstraksi 3 jam. Tujuan lain proses ekstraksi adalah menghilangkan bau amis. Menurut Rawdkuen et al. (2009) bahwa proses ekstraksi tidak hanya mampu menghilangkan lemak akan tetapi juga menghilangkan material-material lain seperti darah, pigmen dan bahan penyusun bau. Hasil analisis skoring bau  KPTI cakalang dapat dilihat pada Gambar 4.
Berdasarkan hasil uji parameter KPI maka perlakuan IPA dengan lama ekstraksi 3 jam merupakan perlakuan terpilih yang menghasilkan KPTI dengan mutu yang baik yang nantinya akan dikarakterisasi sifat fungsionalnya. KPTI yang dihasilkan merupakan KPI tipe B karena masih memiliki kadar lemak dibawah 3%. 



Gambar 3. Hasil analisis kadar derajat putih KPTI Cakalang (     : Etanol,      : isopropil alkohol). Angka-angka yang dikuti huruf superskrip berbeda (a,b) menunjukkan berbeda nyata (p<0 span="">

nyata (p>0,05)

                  urnal Ilmu dan Teknologi Kelautan Tropis, Vol. 5, No. 2,                       

Karakterisasi
3.3.  Karakterisasi Konsentrat  
        Protein Telur Ikan cakalang
Setelah diperoleh perlakuan terbaik dalam ekstraksi KPTI cakalang, maka pada tahap selanjutnya dilakukan karakterisasi sifat fungsionalnya (Tabel 2).
Daya serap air didefinisikan sebagai kemampuan pangan untuk menahan air yang ditambahkan dan yang ada dalam bahan pangan itu sendiri selama proses yang dilakukan terhadap pangan. Hasil penelitian menunjukkan daya serap air KPTI cakalang adalah 1,53 g/ml (setiap 1,53 g KPTI cakalang mampu menyerap 1 ml air). Wiharja et al. (2013) melaporkan daya serap air pada konsentrat protein telur ikan tuna dan kakap merah adalah 5,38 g/ml dan 6,25 g/ml. Hal ini memperlihatkan bahwa KPTI cakalang memiliki daya serap air yang sangat lebih baik dibandingkan dengan KPTI tuna dan kakap merah. Pengikatan air oleh KPTI disebabkan karena adanya asam amino yang bersifat polar yang mampu mengikat molekul air.

Tabel 2.  Karakterisasi sifat fungsional 
               KPTI Cakalang

Sifat fungsional           Nilai
Daya serap air (ml/g)   1,57±0,01
Daya serap minyak (g/g)         1,82±0,01
Kapasitas emulsi (%)   81,65±0,24
Densitas kamba (g/ml)            0,51±0,00
Kapasitas buih (ml)     1,90±0,21
Stabilitas buih (10 menit)        0,22±1,06 

Daya serap minyak adalah sifat yang dapat menunjukkan adanya interaksi suatu bahan terhadap minyak (Santoso et al., 2009). Hasil penelitian menunjukkan bahwa daya serap minyak KPTI cakalang adalah 1,82 (g/g), ini berarti setiap 1,82 g KPTI mampu menyerap 1 g minyak. Hal ini lebih kecil dibandingkan dengan hasil penelitian Pires et al. (2012) yang menghasilkan daya serap minyak 4,67 g/g pada tepung hidrolisis protein ikan Hake dan tidak jauh berbeda dengan hasil penelitian Wiharja et al. (2013) yang menghasilkan KPTI tuna dan kakap merah dengan daya serap minyak 1,77 g/g dan
1,89 g/g. 
Kapasitas emulsi yang baik bila bahan dapat menyerap air dan minyak secara seimbang. Chalamaiah et al. (2011) menyatakan bahwa kapasitas emulsi protein bergantung pada keseimbangan ikatan hidrofilik dan lipofilik. Kapasitas emulsi konsentrat protein telur yang rendah disebabkan karena pada titik isoelektrik terjadi dispersi pada air. Hasil penelitian menunjukkan bahwa kapasitas emulsi KPTI cakalang adalah 81,65%.
Densitas kamba merupakan perbandingan antara berat bahan dengan volume ruang yang ditempati dan dinyatakan dalam satuan g/ml. Suatu bahan dinyatakan kamba (bulky) bila nilai densitas kambanya kecil (Rieuwpassa 2005). Hasil penelitian menunjukkan bahwa nilai densitas kamba KPTI cakalang adalah 0,51 g/ml lebih kecil bila dibandingkan dengan hasil penelitian Chamalaiah et al. (2011) yaitu 0,77 g/ml untuk KPTI mragal (Cirrhinus mrigala).
Kekuatan protein dalam memerangkap gas merupakan faktor utama yang menentukan karakteristik dari buih protein. Chamalaiah et al. (2011) menyatakan bahwa kapasitas buih bergantung pada fleksibilias molekul dan sifat fisiko kimia protein. Hasil penelitian menunjukkan bahwa kapasitas buih KPTI cakalang adalah 1,90 ml dan stabilitas buihnya pada menit ke 10 adalah 0,22. 
3.4.  Komposisi Asam Amino KPTI 
        Cakalang
http://itk.fpik.ipb.ac.id/ej_itkt52
Protein merupakan molekul yang terbentuk dari asam-asam amino pada bahan pangan. Menurut Vaclavik dan Christian (2008) protein terdiri atas asam amino yang tergabung melalui ikatan peptida. Asam-asam amino pembentuk protein terdiri dari asam amino esensial, asam amino non esensial dan asam amino semi esensial. Jumlah asam amino yang terdapat dalam KPTI cakalang adalah 849,70 g/g protein. Komposisi asam amino KPTI cakalang terpilih dapat dilihat pada Tabel 3.

Tabel 3.  Komposisi asam amino KPTI 
               Cakalang.

            Asam amino
                         
                               mg/g         Protein 
                        Treonin            44,30 
                        Metionin          22,29 
                        Valin   48,47 
Asam amino    Phenilalanin     38,31 
esensial            Isoleusin          36,63 
                        Tirosin             37,05 
             
                       
                       Lisin   70,76 
-------------------------------
   Total             362,72 
             
                        Asam aspartat 77,59  Asam glutamat 118,54 
Asam amino    Serin    51,26 
Non esensial 
             
                       
                        Glisin  41,79 
Alanin             54,88 
--------------------------------
  Total              344,06 
Asam amino  Histidin             30,06 
Semi esensial Arginin 112,27 
                        --------------------------------
                          Total              142,92 
    Total asam amino                849,70 

Komposisi asam amino menentukan kualitas protein terutama asam amino esensial. Lisin merupakan asam amino esensial dengan jumlah tertinggi yaitu 70,76 mg/g protein dibandingkan dengan asam amino lain. Hussain et al. (2007) menyatakan bahwa ikan mengandung asam amino lisin dalam jumlah yang tinggi tetapi memiliki asam amino metionin yang rendah jika dibandingkan dengan beras dan bahan pangan sereal lainnya. Lisin merupakan salah satu asam amino yang memiliki kelebihan diantaranya perbaikan otot, penyerapan kalsium, sebagai antibodi, enzim dan hormon. Asam glutamat merupakan asam amino esensial dengan jumlah tertinggi yaitu 118,54 mg/g protein. Penelitian Galla et al. (2012) juga menemukan asam glutamat dalam jumlah tinggi pada KPTI Channa striatus dan Lates carcarifer masing-masing 113,4 mg/g protein dan 153,8 mg/g protein. Selain asam amino esensial dan non-esensial, asam amino lain yang terdapat pada KPTI cakalang adalah asam amino semi-esensial yang terdiri dari arginin (112,27 mg/g protein) dan histidin (30,64 mg/g protein).

IV. KESIMPULAN

Penggunaan isopropil alkohol sebagai pelarut dengan lama ekstraksi 3 jam pada proses deffating menghasilkan KPTI cakalang dengan kadar protein 71,79%, lemak 2,78%, nilai bau yang mendekati netral dan derajat putih yang baik. KPTI yang dihasilkan tergolong KPI tipe B. Secara fungsional KPTI yang dihasilkan memiliki kemampuan daya serap minyak, daya serap air, kapasitas emulsi dan densitas kamba yang baik untuk dijadikan bahan tambahan, substitusi dan bahan pengikat untuk aplikasi produk berbasis protein tinggi. KPTI memiliki 8 asam amino esensial, 5 asam amino non esensial dan 2 asam amino semi esensial yang sangat dibutuhkan oleh tubuh manusia.
DAFTAR PUSTAKA
[AOAC] Association of Official Analitical Chemist. 2005. Official methods of analysis of the association of official analytical chemist 18th edition.          Gaithersburg, AOAC
International, USA.
    Jurnal Ilmu dan Teknologi Kelautan Tropis, Vol. 5, No. 2,             
Karakterisasi
[AOAC] Association of Official Analytical   Chemists.        1995.   Official methods         of         analysis             the       the association of official analytical chemist 16th edition. VirginiaArlington, USA.
Amoo, I. A., O.O. Adebayo, and A.O. Oyeleye. 2006. Chemical evaluation of winged beans (Psophocarous tetragonolabus), Pitanga cherries (Eugenia uniflora) and Orchid fruit (Orchid fruit myristica) African. J. Food Agricultural Nutrition Development, 2:1-12.
Balaswamy, K., T. Jyothirmayi, and D. G. Galla. 2007. Chemical composition and some functional properties of fish egg (roes) protein concentrate of rohu (Labeo rohita). J. Food Sciences Technology, 44:293–296.
Beuchat, L.R. 1977. Functional and electrophoretic characteristics of succinylated peanut flour protein. J. Agricultural Food Chemistry, 25(6):258-261.
Chalamaiah, M., K. Balaswamy, G. N. Galla,P. G. Prabhakara Galla, and T. Jyothirmayi. 2011. Chemical composition and functional properties of Mrigal (Cirrhinus mrigala) egg protein concentrates and their application in pasta. J. Food
Sciences          Technology.    DOI
10.1007/s13197-011-0357-5.
Faridah, D.N., H.D. Kusumaningrum, N. Wulandari,            D.        Indrasti.           2006. Modul praktikum analisis pangan. Departemen Ilmu dan Teknologi Pangan.    Fakultas           Teknologi Pertanian. Institut Pertanian Bogor.
Bogor. 47hlm.
Galla, N.R., K. Balaswamy, A. Satyanarayana, and P.P. Galla. 2012. Physico-chemical,    amino acid composition,    functional        and antioxi-dant          properties        of         roe
protein concentrates obtained from channa striatus and lates calcarifer. Food Chemistry, 132:1171–1176.
Hussain, N., N. Akhtar, and S. Hussain. 2007. Evaluation of weaning food khitchri incorporated with different levels of fish protein concentrate. Animal Plant Sciences, 17(1-2):1217.
Huda, N., P. Santana, R. Abdullah, and T.A.            Yang. 2012.   Effect of
different dryoprotectant on funtional properties of thredfin bream surimi powder. J. Fisheries
Aquatic Sciences, 7(3):215-223.
Ibrahim,           M.S.    2009.   Evaluation       of production and quality of saltbiscuits supplemented with fish protein concentrate. World J. Dairy Food Sciences,4(1):28-31.
Intarasirisawat, R., S. Benjakul, and W. Visessanguan.         2011.   Chemical compositions of the roes from Skipjack, Tongol, and Bonito. Food Chemistry, 124:1328–1334.
Mahmoud,  K.A., M. Linder, J. Fanni, and M. Parmentier. 2008. Characterisation of the liid fractions obtained by proteolytic and chemical extractions from rainbow trout (Oncorchynchus mykiss). Procces Biochemistry, 43(4):276-383.
Pires,C., S. Costa, A.P. Batista, M.C. Nunes, A. Raymundo, and I.
Batista. 2012. Properties of protein powder prepared from Cape hake by-products. J. Food Enginering, 108:268–275.
Rawdkuen, S., S.U. Samart, S. Khamsorn, M. Chaijan, and S. Benjakul. 2009. Biochemical and gelling properties of Tilapia Surimi and protein recovered using an acid-alkaline process. Food Chemistry, 112:
112–119.
http://itk.fpik.ipb.ac.id/ej_itkt52
Rieuwpassa, F. 2005. Biskuit konsentrat protein ikan dan probiotik sebagai makanan tambahan untuk meningkatkan antibodi IgA dan status gizi balita. Disertasi. Sekolah Pascasarjana IPB. Bogor. 73hlm.
Sathivel, S., H. Yin, P.J. Bechtel, and J.M. King. 2009. Physical and nutritional properties of Catfish roe spray dried    protein             powder and its application in an emulsion system. J. Food Enginering, 95:76–81.
Soekarto, T. dan M.S. Hubies. 1982. Metodologi penelitian organoleptik.   Institut            Pertanian             Bogor. Bogor. 56hlm.
Santoso, J., E. Hendra, dan T.M. Siregar. 2009. Pengaruh substitusi susu skim dengan konsentrat protein ikan nila hitam (Oreochromis niloticus) terhadap karekteristik fisiko-kimia makanan bayi. J. Ilmu Teknologi Pangan, 7(1):87-107.
Sikorski, Z.E. and M. Naczk. 1981. Modification     of         technological properties of fish protein concentrates. Food Sciences Nutrition, 14:201–230.
Sahena. F., I.S.M. Zaidul, S. Jinap, N. Saari, H. Jahurul, and K.A. Abbas. 2009. PUFAs in fish: extraction, fractionation, importance in health. Comprehensive Reviews in Food
Sciencesand Food Safety, 8(2):59– 74. 
Tirtajaya, I., J. Santoso, dan K. Dewi. 2008. Pemanfaatan   konsentrat protein       ikan     patin    (Pangasius pangasius)       pada    pembuatan cookies coklat. J. Ilmu Teknologi Pangan, 6 (2):87-103.
Venugoval, V. 2008. Seafood processing; adding     value    through            quick freezing retortable packaging and cook chilling. New York.
Vaclavik, V.A., and E. W. Christian. 2008. Essential of food science (3rd ed.). New york. 
Wiharja, S. Y., J. Santoso, and L.A. Yakhin. 2013. Utilization of tuna and Red Snapper roe protein concentrate as emulsifier in mayonnaise. 13th ASEAN food conference, 9-13 September. Meeting future food demand: securrity and suctanaibillity. Singapore. 1-10pp.
Windsor,         M.L.    2001.   Fish     protein concentrate.    FAO    online. http://www. FAO.org. [2 Febuari 2013].
Wirakartakusumah, M. A., K. Abdullah, and A.M. Syarif. 1992. Sifat fisik pangan. Institut Pertanian Bogor. Bogor. 34hlm.
Yasumatsu, K., K. Sawada, S. Moritaka,
M. Misaki, J. Toda, T. Wada, and K. Ishi. 1972. Whipping and emulsifying properties of soybean products. J. Agriculture Bio Chemistry, 36:719-727.

0 comments:

Post a Comment