I.
PENDAHULUAN
Industri
perikanan berbasis pengolahan ikan cakalang asap merupakan salah satu industri
tertua dan masih sangat tradisional dalam proses pengolahannya. Setiap proses
pengolahan ikan cakalang asap akan menghasilkan hasil samping berupa kepala,
insang, telur dan isi perut. Pires et al. (2012) menyatakan bahwa hasil samping
berbasis protein dari industri pengolahan dapat dijadikan pangan dan pakan
serta memiliki potensi suplemen bioaktif dan pangan fungsional.
Pemanfaatan
hasil samping berbasis protein terus dikembangkan,salah satunya adalah
konsentrat protein ikan (KPI). Menurut Ibrahim (2009), konsentrat protein ikan
merupakan produk yang dihasilkan dengan cara menghilangkan lemak dan air,
sehingga menghasilkan konsentrat protein yang tinggi. Kebanyakan produk ini
diaplikasikan ke dalam makanan yang berkarbohidrat tinggi. Pembuatan konsentrat
protein ikan merupakan inovasi pengembangan bentuk protein yang mudah untuk
diaplikasikan kedalam produk pangan berprotein rendah.
FAO
(1976) mengklasifikasikan KPI menjadi tiga tipe, yaitu (1) Tipe A, merupakan
tepung yang tidak berasa ikan, tidak berwarna serta tidak berbau, dengan kadar
protein minimal 67,7% dan kandungan lemak maksimal 0,75%. KPI dapat dicampurkan
pada hampir semua produk makanan dengan konsentrasi 510%, tanpa mengurangi daya
terima konsumen terhadap produk tersebut; (2) KPI Tipe B, yaitu yang diperoleh
dengan cara menghilangkan lemaknya melalui proses ekstraksi, sampai diperoleh
produk dengan kandungan lemak kurang dari 3%. Flavor ikan masih tampak dalam
sebagian besar makanan yang ditambahkan KPI; (3) KPI Tipe C, merupakan tepung
ikan yang biasa diproduksi secara higienis, dengan kan-dungan lemak lebih besar
dari 10%, serta bau dan flavor ikan yang tajam.
Telur
ikan cakalang merupakan hasil samping industri pengolahan ikan asap yang
berpotensi sebagai sumber bahan baku pembuatan KPI karena mengandung protein
yang tinggi. Kapasitas produksi industri pengolahan ikan asap setiap harinya
sekitar 60-80 ekor dan menghasilkan hasil samping sekitar 20-30% berupa jeroan,
isi perut dan telur ikan. Menurut Intarasirisawat et al. (2011), telur ikan
cakalang mengandung protein yang tinggi, yaitu 21,5%. Beberapa penelitian telah
memanfaatkan telur ikan sebagai bahan pembuatan konsentrat protein telur ikan
(KPTI) diantaranya: cathfish roe (Sathivel et al., 2009), telur ikan mrigal
(Cirrhinus mrigala) (Chalamaiah et al., 2011), Telur ikan Channa striatus dan
Labeo rohita (Galla et al., 2012), telur ikan tuna dan kakap merah (Wiharja et al., 2013).
Penelitian ini bertujuan untuk menentukan proses ekstraksi terbaik melalui
metode deffating untuk pembuatan konsentrat protein telur ikan dengan
memanfaatkan telur ikan cakalang sebagai bahan baku dan menentukan
karakterisasi sifat fungsionalnya.
II.
METODE PENELITIAN
2.1.
Bahan Baku
Bahan
utama yang digunakan dalam penelitian ini adalah telur ikan cakalang yang
diperoleh dari hasil samping industri pengolahan ikan cakalang asap di Desa
Galala Kota Ambon, Provinsi Maluku. Pelarut yang digunakan dalam proses
ekstraksi adalah isopropil alkohol (IPA) dan etanol.
Telur ikan cakalang segar diuji proksimat
(AOAC, 2005) awal untuk mengetahui komposisi kimianya. Telur ikan kemudian
dicuci hingga bersih dengan air dingin ( suhu 10 oC), setelah itu diblender
hingga lumat. Telur ikan lumat siap diekstrak menjadi konsentrat protein.
2.2. Ekstraksi Konsentrat Protein Telur Ikan
Cakalang (KPTI)
Proses
ekstraksi KPTI berdasarkan metode Sikorski dan Nazck (1981) yang dimodifikasi.
Telur ikan lumat diekstrak dengan metode
deffating menggunakan pelarut IPA dan etanol dengan perbandingan telur ikan
lumat dan pelarut adalah 1:3 (b/v) untuk menghilangkan lemak dan air. Ekstraksi
dilakukan dengan lama ekstraksi selama 1, 2 dan 3 jam, kemudian disaring
menggunakan kertas saring. Endapan hasil penyaringan dikeringkan dengan
menggunakan cabinet dry pada suhu 45±2oC selama 4 jam. Hasil pengeringan
ditepungkan dengan menggunakan dishmill dan diayak dengan saringan ukuran 60
mesh.
2.3.
Uji Organoleptik (Soekarto dan Hubies, 1982)
Pengujian
organoleptik untuk sampel konsentrat protein telur ikan menggunakan uji skoring
terhadap bau. Skor yang diberikan sebagai berikut: 1=bau ikan sangat kuat,
2=bau ikan kuat, 3=bau ikan lemah, 4=bau ikan sangat lemah dan 5=tidak berbau
ikan. Sampel disajikan secara acak dengan memberikan kode angka pada sampel.
Para panelis berasal dari mahasiswa Teknologi Hasil Perikanan, berjumlah 30
penelis.
2.4. Derajat Putih (Faridah et al., 2006)
Alat
yang digunakan untuk mengukur derajat putih adalah whiteness meter. Contoh
sebanyak 3 g ditempatkan dalam satu wadah.suhu sampel diseimbangkan dengan
meletakkan wadah sampel diatas tester, kemudian wadah berisi sampel beserta
cawan berisi standar (berupa serbuk BaSO4) dimasukkan ke dalam tempat
pengukuran dan alat akan menampilkan nilai derajat putih dan nomor urutan
pengukuran.
2.5. Proksimat (AOAC, 2005)
Pengujian
komposisi kimia bahan baku telur ikan cakalang dan KPTI menggunakan metode AOAC
(2005) yang terdiri dari kadar protein, kadar lemak, kadar air, kadar abu dan
karbohidrat (by difference).
2.6. Densitas kamba (Wirakartakusumah et al.,
1992)
Sebanyak
10 g sampel diukur volumenya dengan gelas ukur 50 ml.
Densitas
kamba dinyatakan dalam g/ml.
Densitas kamba (g/ml) = berat bahan (g) /
volume bahan (ml)
2.7. Kapasitas Emulsi (Yatsumatsu et al.,
1972)
Kapasitas
emulsi diukur dengan cara 5 g konsentrat protein telur ikan ditambah-kan 20 ml
air dan 20 ml minyak jagung, kemudian dihomogenisasi selama 1 menit dan
disentrifus pada 7500 rpm selama 5 menit. Kapasitas emulsi dihitung dengan menggunakan rumus:
Kapasitas Emulsi = (volume emulsi
setelah
disentrifus/volume awal) x 100
2.8. Daya Buih (Huda et al., 2012)
Tepung
KPTI 1 g ditambahkan ke dalam 10 ml air dan dihomogenisasi selama satu menit.
Campuran larutan KPTI dipindahkan ke dalam 25 ml beaker glass. Kapasitas busa
dilihat dari busa yang terbentuk dibandingkan dengan kapasitas volume awal.
Stabilitas busa merupakan rasio dari kapasitas busa selama waktu observasi
dibandingkan dengan kapasitas busa awal.
2.9. Daya Serap Air (Beuchat, 1977)
Derajat
putih (%) = (derajat putih/110 x
dengan spatula dan didiamkan pada
suhu
100) kamar
selama 30 menit. Setelah itu disentrifus pada 3.000 rpm selama 30
Jurnal
Ilmu dan Teknologi Kelautan Tropis, Vol. 5, No. 2,
Sampel
sebanyak 1g dimasukkan ke dalam tabung sentrifus lalu ditambah dengan 10 ml
akuades, kemudian diaduk menit. Volume air bebas atau yang tidak terserap oleh
sampel diukur dengan gelas ukur. Perhitungannya sebagai berikut:
Daya serat air (ml/g) = (berat awal+air terserap)
– (berat akhir+air tak terserap)
2.10. Daya Serap Lemak (Beuchat,1977)
Sampel
sebanyak 1 g dimasukkan kedalam tabung sentrifus lalu ditambahkan dengan 10 ml
minyak nabati, kemudian diaduk dengan spatula dan didiamkan pada suhu kamar
selama 30 menit. Setelah itu disentrifus pada 3.000 rpm selama 30 menit. Volume minyak yang bebas atau tidak terserap
oleh sampel, diukur dengan gelas ukur.
Perhitungannya
sebagai berikut:
Daya
serap minyak (g/g) = (volume awal – volume akhir) / berat sampel
2.11.
Komposisi Asam Amino (AOAC, 1995)
Sampel
sebanyak 0,5 g
dimasukkan ke dalam gelas piala 25 ml kemudian ditambahkan HCl 6 N sebanyak 10
ml. Gelas piala dipanaskan selama 24 jam pada suhu 100oC. Sampel disaring dan
diambil filtratnya. Filtrat ditambahkan
5
ml larutan pengering (metanol, picolotiocianat, tri-etilamin) kemudian
dikeringkan. Larutan derivatisasi (metanol, Na-asetat, dan trietilamin)
ditambahkan dan sampel didiamkan selama 20 menit. Larutan asetat 1 M sebanyak
200 ml ditambahkan dan sampel siap diinjeksikan ke HPLC.
Kondisi
alat HPLC sebagai berikut : temperatur pada suhu ruang, kolom yang digunakan
adalah pico tag 3,9 x 150 mm, kecepatan aliran 1,5 ml/menit, batas tekanan 3000
psi, program gradien, fase gerak asetonitril 60% dan buffer natrium asetat 1 M,
dan detektor sinar UV dengan panjang gelombang 254 nm.
Asam amino(%) = (luas area sample/luas area
standar) x (konsentrasi standar/bobot
sample)
x BM x FK X 100
Asam Amino (mg/g protein) = (1000 x kadar asam
amino (%)) / kadar protein(%)
Dimana: FK = faktor koreksi, BM = berat
molekul.
2.12.
Analisis Data
Rancangan
percobaan yang digunakan adalah rancangan acak lengkap faktorial (RAL) menurut
Steel and Torrie (1993) dengan 2 taraf dan 2 ulangan. Jika terdapat pengaruh
(p<0 13.="" 14="" dan="" data="" dengan="" dianalisis="" dilakukan="" duncan.="" lanjut="" maka="" menggunakan="" minitab="" semua="" span="" spss="" style="mso-spacerun: yes;" uji=""> 0>
III.
HASIL DAN PEMBAHASAN
3.1. Komposisi Proksimat Telur Ikan Cakalang
Bahan
baku yang digunakan untuk membuat konsentrat protein adalah hasil samping telur
ikan cakalang (Katsuwonus pelamis) disajikan pada Tabel 1.
Tabel
1. Komposisi proksimat telur ikan Cakalang
Komposisi
Persentase (%bb)
Protein
19,81 ± 0,54
Lemak
3,41 ± 0,22
Air
71,32 + 0,16
Abu
2,04 + 0,70
KH
(by difference) 1,53 + 0,53
Komposisi
proksimat telur ikan cakalang menunjukkan bahwa telur cakalang tergolong
memiliki kandungan protein yang tinggi yaitu 19,81%. Hasil penelitian ini tidak
jauh berbeda dengan hasil penelitian Intarasirisawat et al. (2011) yang juga
menkaji komposisi gizi telur ikan cakalang meliputi kandungan protein 20,15%,
lemak 3,39%, abu 1,94%, air 72,17% dan KH 2,35%. Ditambahkan pula bahwa telur
ikan cakalang memiliki kandungan protein yang lebih tinggi dan lemak yang
rendah dibandingkan dengan jenis tuna lain seperti tongol (Thunnus tonggol) dan
bonito (Euthynnus affinis).
Variasi
komposisi kimia telur ikan dipengaruhi oleh faktor biologi mencakup jenis
spesies, kematangan gonad, makanan, musim, lokasi memijah dan kondisi
pengolahan (Mohmoud et al., 2008). Sahena et al., (2009) mengatakan bahwa
kuantiti dan komposisi lemak ikan berbeda pada spesies dan habitat. Menurut
Venugoval (2008) bahwa ikan yang tergolong berlemak rendah mempunyai kadar
lemak kurang dari 3%, berlemak sedang memiliki kadar lemak 3-5% dan berlemak
tinggi mempunyai kadar lemak lebih dari 7%.
3.2. Penentuan Konsentrat Protein Telur Ikan Cakalang Terbaik
Penentuan
mutu KPI dilakukan berdasarkan syarat FAO (1976) yang meliputi kadar protein,
kadar lemak, nilai bau dan derajat putih. Hasil penelitian menunjukkan bahwa
jenis pelarut dan lama ekstraksi berpengaruh secara nyata (p<0 kadar="" kandungan="" protein="" span="" style="mso-spacerun: yes;" terhadap=""> 0>lemak dan
derajat putih yang dihasilkan sedangkan untuk nilai bau tidak berpengaruh
secara nyata (p>0,05).
Syarat
mutu KPI ialah memiliki kadar protein minimal 67,5%, lemak maksimal 0,75%, tidak berbau amis dan memiliki warna
yang baik. Kadar protein tertinggi yang diperoleh pada perlakuan IPA dengan
lama ekstraksi 2 jam yaitu 72,47% dan tidak berbeda nyata dengan perlakuan IPA
dengan lama ekstraksi 3 jam. Hasil yang diperoleh lebih rendah dibandingkan
hasil penelitian Galla et al. (2012) dan Chamalaiah et al. (2011) dengan nilai
protein 75-90%. Balaswamy et al. (2007) menyatakan bahwa persentase protein
dari beberapa konsentrat protein telur ikan menunjukkan kandungan protein yang
tinggi. Selain itu, kandungan kadar protein yang berbedabeda pada beberapa
konsentrat protein dipengaruhi oleh beberapa faktor diantaranya jenis ikan,
cara ekstraksi, jenis pelarut, lama ekstraksi dan cara pengeringan (Gambar
1).
Kadar
lemak terendah diperoleh pada perlakuan IPA lama ekstraksi 3 jam yaitu 2,78%
lebih rendah dibanding Chamalaiah et al. (2011) dengan kadar lemak 8,8% pada
konsentrat protein telur ikan mgiral. Hal ini dikarenakan proses ekstraksi
berulang yang mampu mendegradasi lemak, semakin lama ekstraksi akan
menghasilkan kadar lemak yang rendah. Menurut Tirtajaya et al. (2008),
kemampuan masing-masing pelarut untuk mengagregasi protein serta mengekstraksi
lemak dan air berbeda sehingga akan mempengaruhi kadar protein dan lemak
konsentrat protein yang dihasilkan. Pelarut alkohol merupakan pelarut organik
bersifat polar yang memiliki kemampuan untuk memisahkan fraksi gula larut air
dan lemak tanpa melarutkan proteinnya (Amoo et al., 2006) (Gambar 2).
Derajat putih adalah analisis yang menentukan
keputihan suatu bahan yang sangat erat dengan daya terima konsumen. Nilai
derajat putih tertinggi diperoleh pada perlakuan IPA lama ekstraksi 3 jam. Peningkatan warna putih disebabkan oleh
berkurangnya kadar lemak setelah di-ekstrak. Semakin lama ekstraksi dapat
memberikan warna yang lebih baik. Nilai derajat putih yang dihasilkan lebih
rendah dibandingkan dengan hasil penelitian Wiharja et al. (2013) untuk telur
ikan tuna dan kakap merah yang menghasilkan nilai derajat putih 64,34% dan
65,42%. Windsor (2001) menerangkan bahwa kandungan lemak pada ikan dan
by-product perikanan cenderung berwarna kuning, sehingga dilakukan ekstraksi
untuk menghasilkan konsentrat protein dengan kecerahan yang baik. Ditambahkan
pula bahwa terlarutnya
Jurnal
Ilmu dan Teknologi Kelautan Tropis, Vol. 5, No. 2,
menunjukkan
berbeda nyata (p<0 span="">0>
menunjukkan
berbeda nyata (p<0 span="">0>
pigmen
carotenoid pada lemak yang terdapat
dalam telur ikan terekstrak selama proses ekstraksi. Hasil analisis derajat
putih KPTI cakalang disajikan pada Gambar 3.
Nilai
bau ditentukan secara organoleptik dengan menggunakan uji skoring. Skala yang
digunakan adalah 1-5, semakin kecil nilai maka semakin berbau ikan dan
sebaliknya semakin besar nilai maka semakin tidak berbau ikan. Nilai tertinggi
bau diperoleh ada perlakuan IPA lama ekstraksi 3 jam. Tujuan lain proses
ekstraksi adalah menghilangkan bau amis. Menurut Rawdkuen et al. (2009) bahwa
proses ekstraksi tidak hanya mampu menghilangkan lemak akan tetapi juga
menghilangkan material-material lain seperti darah, pigmen dan bahan penyusun
bau. Hasil analisis skoring bau KPTI
cakalang dapat dilihat pada Gambar 4.
Berdasarkan
hasil uji parameter KPI maka perlakuan IPA dengan lama ekstraksi 3 jam
merupakan perlakuan terpilih yang menghasilkan KPTI dengan mutu yang baik yang
nantinya akan dikarakterisasi sifat fungsionalnya. KPTI yang dihasilkan
merupakan KPI tipe B karena masih memiliki kadar lemak dibawah 3%.
Gambar
3. Hasil analisis kadar derajat putih KPTI Cakalang ( : Etanol, : isopropil alkohol). Angka-angka yang
dikuti huruf superskrip berbeda (a,b) menunjukkan berbeda nyata (p<0 span="">0>
nyata
(p>0,05)
urnal Ilmu dan Teknologi Kelautan Tropis,
Vol. 5, No. 2,
Karakterisasi
3.3. Karakterisasi Konsentrat
Protein Telur Ikan cakalang
Setelah
diperoleh perlakuan terbaik dalam ekstraksi KPTI cakalang, maka pada tahap selanjutnya
dilakukan karakterisasi sifat fungsionalnya (Tabel 2).
Daya
serap air didefinisikan sebagai kemampuan pangan untuk menahan air yang
ditambahkan dan yang ada dalam bahan pangan itu sendiri selama proses yang
dilakukan terhadap pangan. Hasil penelitian menunjukkan daya serap air KPTI
cakalang adalah 1,53 g/ml (setiap 1,53 g KPTI cakalang mampu menyerap 1 ml
air). Wiharja et al. (2013) melaporkan daya serap air pada konsentrat protein
telur ikan tuna dan kakap merah adalah 5,38 g/ml dan 6,25 g/ml. Hal ini
memperlihatkan bahwa KPTI cakalang memiliki daya serap air yang sangat lebih
baik dibandingkan dengan KPTI tuna dan kakap merah. Pengikatan air oleh KPTI
disebabkan karena adanya asam amino yang bersifat polar yang mampu mengikat
molekul air.
Tabel
2. Karakterisasi sifat fungsional
KPTI Cakalang
Sifat
fungsional Nilai
Daya
serap air (ml/g) 1,57±0,01
Daya
serap minyak (g/g) 1,82±0,01
Kapasitas
emulsi (%) 81,65±0,24
Densitas
kamba (g/ml) 0,51±0,00
Kapasitas
buih (ml) 1,90±0,21
Stabilitas
buih (10 menit) 0,22±1,06
Daya
serap minyak adalah sifat yang dapat menunjukkan adanya interaksi suatu bahan
terhadap minyak (Santoso et al., 2009). Hasil penelitian menunjukkan bahwa daya
serap minyak KPTI cakalang adalah 1,82 (g/g), ini berarti setiap 1,82 g KPTI
mampu menyerap 1 g minyak. Hal ini lebih kecil dibandingkan dengan hasil
penelitian Pires et al. (2012) yang menghasilkan daya serap minyak 4,67 g/g
pada tepung hidrolisis protein ikan Hake dan tidak jauh berbeda dengan hasil
penelitian Wiharja et al. (2013) yang menghasilkan KPTI tuna dan kakap merah
dengan daya serap minyak 1,77 g/g dan
1,89
g/g.
Kapasitas
emulsi yang baik bila bahan dapat menyerap air dan minyak secara seimbang.
Chalamaiah et al. (2011) menyatakan bahwa kapasitas emulsi protein bergantung
pada keseimbangan ikatan hidrofilik dan lipofilik. Kapasitas emulsi konsentrat
protein telur yang rendah disebabkan karena pada titik isoelektrik terjadi
dispersi pada air. Hasil penelitian menunjukkan bahwa kapasitas emulsi KPTI
cakalang adalah 81,65%.
Densitas
kamba merupakan perbandingan antara berat bahan dengan volume ruang yang
ditempati dan dinyatakan dalam satuan g/ml. Suatu bahan dinyatakan kamba
(bulky) bila nilai densitas kambanya kecil (Rieuwpassa 2005). Hasil penelitian
menunjukkan bahwa nilai densitas kamba KPTI cakalang adalah 0,51 g/ml lebih
kecil bila dibandingkan dengan hasil penelitian Chamalaiah et al. (2011) yaitu
0,77 g/ml untuk KPTI mragal (Cirrhinus mrigala).
Kekuatan
protein dalam memerangkap gas merupakan faktor utama yang menentukan
karakteristik dari buih protein. Chamalaiah et al. (2011) menyatakan bahwa
kapasitas buih bergantung pada fleksibilias molekul dan sifat fisiko kimia
protein. Hasil penelitian menunjukkan bahwa kapasitas buih KPTI cakalang adalah
1,90 ml dan stabilitas buihnya pada menit ke 10 adalah 0,22.
3.4. Komposisi Asam Amino KPTI
Cakalang
http://itk.fpik.ipb.ac.id/ej_itkt52
Protein
merupakan molekul yang terbentuk dari asam-asam amino pada bahan pangan. Menurut
Vaclavik dan Christian (2008) protein terdiri atas asam amino yang tergabung
melalui ikatan peptida. Asam-asam amino pembentuk protein terdiri dari asam
amino esensial, asam amino non esensial dan asam amino semi esensial. Jumlah
asam amino yang terdapat dalam KPTI cakalang adalah 849,70 g/g protein.
Komposisi asam amino KPTI cakalang terpilih dapat dilihat pada Tabel 3.
Tabel
3. Komposisi asam amino KPTI
Cakalang.
Asam
amino
mg/g Protein
Treonin 44,30
Metionin 22,29
Valin 48,47
Asam
amino Phenilalanin 38,31
esensial Isoleusin 36,63
Tirosin 37,05
Lisin 70,76
-------------------------------
Total
362,72
Asam
aspartat 77,59 Asam glutamat 118,54
Asam
amino Serin 51,26
Non
esensial
Glisin 41,79
Alanin 54,88
--------------------------------
Total 344,06
Asam
amino Histidin 30,06
Semi
esensial Arginin 112,27
--------------------------------
Total 142,92
Total asam amino 849,70
Komposisi
asam amino menentukan kualitas protein terutama asam amino esensial. Lisin
merupakan asam amino esensial dengan jumlah tertinggi yaitu 70,76 mg/g protein
dibandingkan dengan asam amino lain. Hussain et al. (2007) menyatakan bahwa
ikan mengandung asam amino lisin dalam jumlah yang tinggi tetapi memiliki asam
amino metionin yang rendah jika dibandingkan dengan beras dan bahan pangan
sereal lainnya. Lisin merupakan salah satu asam amino yang memiliki kelebihan
diantaranya perbaikan otot, penyerapan kalsium, sebagai antibodi, enzim dan
hormon. Asam glutamat merupakan asam amino esensial dengan jumlah tertinggi
yaitu 118,54 mg/g protein. Penelitian Galla et al. (2012) juga menemukan asam
glutamat dalam jumlah tinggi pada KPTI Channa striatus dan Lates carcarifer
masing-masing 113,4 mg/g protein dan 153,8 mg/g protein. Selain asam amino
esensial dan non-esensial, asam amino lain yang terdapat pada KPTI cakalang
adalah asam amino semi-esensial yang terdiri dari arginin (112,27 mg/g protein)
dan histidin (30,64 mg/g protein).
IV.
KESIMPULAN
Penggunaan
isopropil alkohol sebagai pelarut dengan lama ekstraksi 3 jam pada proses
deffating menghasilkan KPTI cakalang dengan kadar protein 71,79%, lemak 2,78%,
nilai bau yang mendekati netral dan derajat putih yang baik. KPTI yang
dihasilkan tergolong KPI tipe B. Secara fungsional KPTI yang dihasilkan
memiliki kemampuan daya serap minyak, daya serap air, kapasitas emulsi dan
densitas kamba yang baik untuk dijadikan bahan tambahan, substitusi dan bahan
pengikat untuk aplikasi produk berbasis protein tinggi. KPTI memiliki 8 asam
amino esensial, 5 asam amino non esensial dan 2 asam amino semi esensial yang
sangat dibutuhkan oleh tubuh manusia.
DAFTAR
PUSTAKA
[AOAC]
Association of Official Analitical Chemist. 2005. Official methods of analysis
of the association of official analytical chemist 18th edition. Gaithersburg, AOAC
International,
USA.
Jurnal Ilmu dan Teknologi Kelautan Tropis,
Vol. 5, No. 2,
Karakterisasi
[AOAC]
Association of Official Analytical Chemists.
1995. Official methods of analysis the the
association of official analytical chemist 16th edition. VirginiaArlington,
USA.
Amoo,
I. A., O.O. Adebayo, and A.O. Oyeleye. 2006. Chemical evaluation of winged
beans (Psophocarous tetragonolabus), Pitanga cherries (Eugenia uniflora) and
Orchid fruit (Orchid fruit myristica) African. J. Food Agricultural Nutrition
Development, 2:1-12.
Balaswamy,
K., T. Jyothirmayi, and D. G. Galla. 2007. Chemical composition and some
functional properties of fish egg (roes) protein concentrate of rohu (Labeo
rohita). J. Food Sciences Technology, 44:293–296.
Beuchat,
L.R. 1977. Functional and electrophoretic characteristics of succinylated
peanut flour protein. J. Agricultural Food Chemistry, 25(6):258-261.
Chalamaiah,
M., K. Balaswamy, G. N. Galla,P. G. Prabhakara Galla, and T. Jyothirmayi. 2011.
Chemical composition and functional properties of Mrigal (Cirrhinus mrigala)
egg protein concentrates and their application in pasta. J. Food
Sciences
Technology. DOI
10.1007/s13197-011-0357-5.
Faridah,
D.N., H.D. Kusumaningrum, N. Wulandari, D.
Indrasti. 2006. Modul praktikum analisis pangan. Departemen Ilmu dan
Teknologi Pangan. Fakultas Teknologi Pertanian. Institut
Pertanian Bogor.
Bogor.
47hlm.
Galla,
N.R., K. Balaswamy, A. Satyanarayana, and P.P. Galla. 2012. Physico-chemical, amino acid
composition, functional and antioxi-dant properties of roe
protein
concentrates obtained from channa striatus and lates calcarifer. Food Chemistry,
132:1171–1176.
Hussain,
N., N. Akhtar, and S. Hussain. 2007. Evaluation of weaning food khitchri
incorporated with different levels of fish protein concentrate. Animal Plant
Sciences, 17(1-2):1217.
Huda,
N., P. Santana, R. Abdullah, and T.A. Yang.
2012. Effect
of
different
dryoprotectant on funtional properties of thredfin bream surimi powder. J.
Fisheries
Aquatic
Sciences, 7(3):215-223.
Ibrahim,
M.S. 2009. Evaluation of production and quality of saltbiscuits
supplemented with fish protein concentrate. World J. Dairy Food
Sciences,4(1):28-31.
Intarasirisawat,
R., S. Benjakul, and W. Visessanguan. 2011.
Chemical compositions of the roes from
Skipjack, Tongol, and Bonito. Food Chemistry, 124:1328–1334.
Mahmoud, K.A., M. Linder, J. Fanni, and M. Parmentier.
2008. Characterisation of the liid fractions obtained by proteolytic and
chemical extractions from rainbow trout (Oncorchynchus mykiss). Procces
Biochemistry, 43(4):276-383.
Pires,C.,
S. Costa, A.P. Batista, M.C. Nunes, A. Raymundo, and I.
Batista.
2012. Properties of protein powder prepared from Cape hake by-products. J. Food
Enginering, 108:268–275.
Rawdkuen,
S., S.U. Samart, S. Khamsorn, M. Chaijan, and S. Benjakul. 2009. Biochemical
and gelling properties of Tilapia Surimi and protein recovered using an
acid-alkaline process. Food Chemistry, 112:
112–119.
http://itk.fpik.ipb.ac.id/ej_itkt52
Rieuwpassa,
F. 2005. Biskuit konsentrat protein ikan dan probiotik sebagai makanan tambahan
untuk meningkatkan antibodi IgA dan status gizi balita. Disertasi. Sekolah
Pascasarjana IPB. Bogor. 73hlm.
Sathivel,
S., H. Yin, P.J. Bechtel, and J.M. King. 2009. Physical and nutritional
properties of Catfish roe spray dried protein
powder and its application in
an emulsion system. J. Food Enginering, 95:76–81.
Soekarto,
T. dan M.S. Hubies. 1982. Metodologi penelitian organoleptik. Institut Pertanian
Bogor. Bogor. 56hlm.
Santoso,
J., E. Hendra, dan T.M. Siregar. 2009. Pengaruh substitusi susu skim dengan
konsentrat protein ikan nila hitam (Oreochromis niloticus) terhadap
karekteristik fisiko-kimia makanan bayi. J. Ilmu Teknologi Pangan, 7(1):87-107.
Sikorski,
Z.E. and M. Naczk. 1981. Modification of
technological properties of fish
protein concentrates. Food Sciences Nutrition, 14:201–230.
Sahena.
F., I.S.M. Zaidul, S. Jinap, N. Saari, H. Jahurul, and K.A. Abbas. 2009. PUFAs
in fish: extraction, fractionation, importance in health. Comprehensive Reviews
in Food
Sciencesand
Food Safety, 8(2):59– 74.
Tirtajaya,
I., J. Santoso, dan K. Dewi. 2008. Pemanfaatan
konsentrat protein ikan patin
(Pangasius pangasius) pada pembuatan
cookies coklat. J. Ilmu Teknologi Pangan, 6 (2):87-103.
Venugoval,
V. 2008. Seafood processing; adding value
through quick freezing retortable packaging and cook chilling. New
York.
Vaclavik,
V.A., and E. W. Christian. 2008. Essential of food science (3rd ed.). New
york.
Wiharja,
S. Y., J. Santoso, and L.A. Yakhin. 2013. Utilization of tuna and Red Snapper
roe protein concentrate as emulsifier in mayonnaise. 13th ASEAN food
conference, 9-13 September. Meeting future food demand: securrity and
suctanaibillity. Singapore. 1-10pp.
Windsor,
M.L. 2001. Fish protein concentrate. FAO online. http://www.
FAO.org. [2 Febuari 2013].
Wirakartakusumah,
M. A., K. Abdullah, and A.M. Syarif. 1992. Sifat fisik pangan. Institut
Pertanian Bogor. Bogor. 34hlm.
Yasumatsu,
K., K. Sawada, S. Moritaka,
M.
Misaki, J. Toda, T. Wada, and K. Ishi. 1972. Whipping and emulsifying
properties of soybean products. J. Agriculture Bio Chemistry, 36:719-727.
0 comments:
Post a Comment