Ikan
kerapu sunu (Plectropomus leopardus) yang dikenal dengan kerapu bintang
termasuk satu diantara komoditas ekspor unggulan Indonesia dari budidaya laut
(marine fin-fish culture). Warna merah pada kerapu sunu merupakan daya tarik
tersendiri bagi beberapa negara importir seperti Hongkong dan China, yang
sebagian besar masyarakatnya masih meyakini bahwa warna merah identik dengan
keberuntungan, sehingga pangsa pasar kerapu sunu di kedua negara tersebut
sangat tinggi dan merupakan negara tujuan ekspor yang potensial (Sidik, 2002;
Nurjana, 2006).
Kerapu
sunu dalam budidayanya memiliki prospek pengembangan yang sangat baik, karena
tehnik produksi benih secara masal telah dikuasai dan dapat diterapkan di
hatchery skala rumah tangga (Aslianti et al., 2009a). Permintaan pasar terhadap
kerapu sunu terutama dalam keadaan hidup sangat tinggi (Sutarmat et al., 2007)
dan terus meningkat, sementara pemenuhan melalui penangkapan di alam sangat
tidak disarankan, karena memiliki banyak resiko yang merugikan diantaranya adalah
jumlah tidak kontinyu, ukuran tidak seragam, resiko cacat fisik saat
penangkapan dan dampak tertinggi adalah berkurangnya populasi di alam. Hal ini
memberikan peluang cukup besar bagi kegiatan budidaya sekaligus meningkatkan
pasok yuwana yang kontinyu, namun faktor kualitas tetap menjadi prioritas yang
perlu diperhatikan mengingat persaingan pasar yang semakin ketat (Nurjana,
2010).
Dalam
usaha pembesaran kerapu sunu di Keramba Jaring Apung (KJA) hingga mencapai
ukuran konsumsi (300400gr) biasanya memerlukan waktu pemeliharaan yang cukup
lama dan memiliki resiko kematian yang tinggi. Oleh karenanya upaya
penggelondongan perlu dilakukan agar waktu pemeliharaan di KJA dapat
dipersingkat dan diperoleh produksi yang tinggi dengan kualitas dan tampilan yang
proporsional. Langkah awal yang harus dilakukan dalam mempersiapkan yuwana
sebagai benih untuk pembesaran di KJA antara lain ukuran yang seragam, tidak
cacat tubuh dan ikan sudah terbiasa mengkonsumsi pakan buatan (Sutarmat, 2005).
Uji coba pendederan dalam wadah terkontrol dengan berbagai ukuran hingga
pembesarannya di KJA telah dilakukan Sutarmat dan Ismi (2007), namun tingkat
kelangsungan hidup yang dihasilkan belum stabil (Suwirya et al., 2006), dan
masih perlu dilakukan perbaikan yang mengarah pada peningkatan produksi
Dalam
kegiatan budidaya, selain pakan yang memerlukan biaya ±60% dari total biaya
operasional, faktor lingkungan juga merupakan sarana yang tidak kalah
pentingnya, mengingat air sebagai media tempat ikan dipelihara juga merupakan
media tumbuh bagi berbagai macam mikroorganisme baik yang pathogen maupun
nonpathogen. Sedangkan di alam, golongan ikan kerapu umumnya hidup di perairan
karang, bersifat menyendiri dan lebih menyukai habitat yang bersih dengan
kondisi perairan yang stabil (Aslianti et al., 1998). Mengantisipasi sifat
alami ikan kerapu tersebut, pergantian air merupakan faktor penting dalam
menjaga kestabilan kualitas air selama pemeliharaan dalam wadah terkontrol.
Oleh karenanya pengelolaan lingkungan pemeliharaan kerapu sunu melalui
pergantian air yang kontinyu dengan prosentase yang optimal diharapkan dapat
mengurangi kendalakendala ekstrim yang terjadi.
Dengan
melihat permasalahan yang cukup konkrit dan tuntutan peluang pasar yang
memerlukan solusi secara cepat, maka perlu dilakukan penelitian penggelondongan
kerapu sunu dalam wadah terkontrol melalui perbaikan lingkungan sampai mencapai
ukuran siap tebar (± 150gr) sehingga masa pemeliharaan di KJA dapat
dipersingkat. Penelitian bertujuan untuk mendapatkan informasi pemeliharaan
gelondongan kerapu sunu dalam wadah terkontrol, serta kendala yang dihadapi
selama pemeliharaan sehingga resiko yang mungkin terjadi pada budidaya
pembesaran di KJA dapat diperkecil.
II. BAHAN
DAN METODE
2.1. Persiapan wadah
Kegiatan
penelitian diawali dengan pencucian wadah penelitian berupa tiga (3) unit bak
fiber kapasitas 4 m3 berbentuk segi empat berukuran 2x2x1m, dengan cara
menyikat dan menyemprot dengan air tawar, kemudian dikeringkan selama satu
hari. Hal ini untuk menghindari kemungkinan kontaminasi parasit. Selanjutnya
wadah diisi air laut bersalinitas 30-33 ppt sampai ketinggian air 75 cm.
Pengaturan pipa dan batu aerasi disesuaikan dengan kebutuhan dan diatur
sedemikian rupa sehingga pasok oksigen yang mengalir dalam bak diharapkan dapat
memenuhi kebutuhan ikan. Demikian juga pengaturan debit air masuk (inlet) dan
keluar (outlet) disesuaikan dengan perlakuan dengan cara terlebih dahulu
memposisikan stop kran yang disesuaikan dengan jumlah air masuk per menit,
sehingga dalam waktu 24 jam (sehari semalam) diharapkan air dapat terganti
sesuai perlakuan.
2.2. Hewan
uji.
Hewan
uji (kerapu sunu) yang telah melalui seleksi (keseragaman ukuran dan kondisi
fisik) dimasukkan kedalam masing-masing bak dengan kepadatan 200 ekor. Rata-rata
panjang total (TL) dan berat tubuh (BW) awal adalah 16.6±0.5cm dan 72.2±7.6g.
Selama pemeliharaan, ikan diberi pakan komersial berbentuk pellet berdiameter
±5 mm dengan kandungan protein 42%, lemak 10%, abu 13%, dan kadar air 10%
(Aslianti et al., 2009b). Pakan diberikan dua kali sehari sebanyak 3-5% dari
bobot biomasa (±500 gr) dengan cara menebar hingga ikan tidak merespon
(ad-libitum). Sisa pakan ditimbang untuk mengetahui jumlah pakan yang
terkonsumsi setiap hari serta dilakukan penghitugan pada akhir penelitian untuk
mengetahui nilai rasio konversi pakannya. Penelitian dilakukan selama 2 bulan
dengan menggunakan sistim air mengalir dan persentase pergantian air merupakan
perlakuan yaitu A (200%/hari); B (300%/hari) dan C(400%/hari).
Penyiponan
dasar bak dilakukan setiap 2 hari untuk membersihkan sisa metabolisme berupa
faeses ataupun sisa pakan yang tidak terkonsumsi oleh ikan.
2.3. Parameter
yang diamati
Pengamatan
pertumbuhan dilakukan setiap bulan melalui pengukuran panjang total dan berat
tubuh terhadap 20 ekor sampel (10% dari jumlah biomas) yang diambil secara acak
dari masingmasing perlakuan. Untuk mengetahui efektifitas pakan terhadap
pertumbuhan dilakukan dengan cara menghitung rasio konversi pakan (FCR),
sedangkan kualitas air diamati secara kontinyu setiap minggu sebagai data
pendukung meliputi oksigen terlarut (DO), ammonia (NH3-N), nitrit (NO2-N) dan
pH.
2.4. Analisa
data
Semua
data yang diperoleh dihimpun secara tabulasi dan dianalisis secara diskriptif
serta diolah dengan menggunakan program microsoft Excel.
III. HASIL
DAN PEMBAHASAN
Hasil
pengamatan terhadap pertumbuhan panjang dan berat mutlak, kelangsungan hidup
dan rasio konversi pakan gelondongan kerapu sunu dari masing-masing perlakuan
tertera pada Tabel 1.
Dari Tabel 1. diketahui bahwa persentase
kenaikan pertumbuhan perlakuan C baik terhadap panjang total (30.18%) maupun
berat tubuh (117.23%) terlihat lebih tinggi dari pada perlakuan
Tabel
1. Pertumbuhan panjang dan berat mutlak, kelangsungan hidup dan rasio
konfersi pakan kerapu sunu dari masing-masing perlakuan
Parameter
A (200%/day)
B
(300%/day) C (400%/day)
Panjang
total awal/Initial length (cm) 16.60
16.60 16.60
Panjang
total akhir/Final length (cm 19.08 19.51 21.61
Pertambahan
panjang/TL gain (%) 14.94
17.53 30.18
Berat
tubuh awal/Initial weight (g) 72.20 72.20 72.20
Berat
tubuh akhir/Final weight (g) 132.20
140.96 156.84
Pertambahan
berat/BW gain (%) 83.10
95.24 117.23
Kelangsungan
hidup/SR (%) 93 95.5 97
Rasio
konfersi pakan/FCR 1.05 1.21 1.34
Tabel 2. Hasil rata-rata pengamatan kualitas
air yang dilakukan setiap tiga hari dari
masing-masing
perlakuan
Parameter
A (200%/day)
B
(300%/day) C (400%/day)
Suhu
maximum/Temp. max (o C) 28.50 ± 0.16 28.28
± 0.19 27.96
± 0.23
Suhu
minimum/Temp. min (oC) 26.64 ± 0.21 26.98
± 0.45 27.30
± 0.42
Salinitas/Salinity
(ppt) 32.4
± 1.61 32.4
± 1.61 32.40
± 1.61
pH 7.78
± 0.30 7.51
± 0.23 7.05
± 0.10
DO/Disolve
Oksigen (mg/L) 6.39 ± 0.13 6.72 ±0.31
7.10 ± 0.29
NO2/Nitrite
(mg/L) 1.50
± 0.25 1.26
± 0.04 0.69
± 0.13
NH3/Amonium
(mg/L) 1.83
± 0.06 1.57
± 0.08 0.98
± 0.05
Jurnal Ilmu dan Teknologi Kelautan Tropis,
Vol. 2, No. 2, Desember 2010
A
(14.94% dan 83.10%) maupun B (17.53% dan 95.24%). Demikian juga tingkat
kelangsungan hidup yang dicapai perlakuan C lebih tinggi (97%) dari pada
perlakuan A (93%) ataupun B (95,5%). Hal ini menunjukkan bahwa pergantian air
sebesar 400% setiap hari terbukti sangat mendukung pertumbuhan maupun
kelangsungan hidup kerapu sunu. Makin tinggi persentase pergantian air dalam
penelitian ini mempunyai dampak yang positip terhadap kestabilan kualitas air
pemeliharaan. Kondisi air yang kotor akibat terakumulasinya sisa metabolisme
ataupun kotoran lain yang terdapat dalam bak, akan terganti secara cepat jika
persentase pergantian air cukup tinggi, sehingga diprediksi dapat menghambat
tumbuhnya parasit (jamur ataupun bakteri). Kondisi ini didukung dari hasil
pengamatan kualitas air yang dilakukan setiap tiga hari yang menunjukkan bahwa
kandungan nitrit dan ammonia cenderung menurun dengan meningkatnya persentase
pergantian air (Tabel 2).
Tingginya
kandungan nitrit dan ammonia pada perlakuan A dan B diduga sebagai akibat
adanya proses pembusukkan serta penguraian sisa metabolisme yang mengendap di
dasar bak. Pengendapan terjadi akibat jumlah pergantian air yang kurang
mencukupi sehingga badan air tidak cukup mampu mendorong sisa metabolisme
ke-arah saluran pembuangan. Kondisi ini akan semakin buruk apabila air laut
yang mengalir saat itu dalam keadaan keruh yang biasa terjadi akibat adanya
hujan. Mekanisme toksisitas dari nitrit dapat berpengaruh terhadap transportasi
oksigen dalam darah dan kerusakan jaringan tubuh ikan. Sesuai pendapat Boyd
(1990) yang menyatakan bahwa kandungan ammonia dalam media pemeliharaan
merupakan hasil metabolisme ikan, pembusukan senyawa organik dan bakteri.
Amonia adalah hasil utama penguraian protein dan merupakan racun bagi ikan,
karenanya kandungan ammonia dianjurkan tidak lebih dari 1 mg/L (Pescod, 1973
dalam Aslianti , et al. 1998). Tingginya kandungan nitrit dan ammonia pada
perlakuan A dan B diduga berpengaruh terhadap kelangsungan hidup ikan sehingga
lebih rendah dari pada C. Namun demikian kondisi suhu, salinitas, pH dan DO
nampak masih mendukung kehidupan ikan. Kualitas air yang baik dan stabil sangat
berpengaruh terhadap kesehatan ikan yang pada gilirannya dapat meningkatkan
kelangsungan hidupnya.
Ditinjau
dari hubungan partumbuhan panjang dan berat tubuh secara linier (Gambar 1) pada
perlakuan C (pergantian air 400%/hari) diperoleh persamaan regresi
Y=1.6972X+120.24 dengan R2 = 0.9354. Hal ini menunjukkan bahwa antara
pertumbuhan panjang dan berat tubuh kerapu sunu pada perlakuan C terdapat
korelasi yang positif, yang berarti bahwa pergantian air sebesar 400%/hari
tidak saja berpengaruh terhadap pertumbuhan panjang tetapi juga berpengaruh
terhadap pertumbuhan berat dengan tingkat korelasi sebesar 93.54%.
Dari hasil pengamatan selama pemeliharaan
gelondongan kerapu sunu dalam wadah terkontrol terdapat beberapa ekor ikan yang
mengalami kematian. Hingga akhir penelitian kematian paling banyak terjadi pada
perlakuan A (14 ekor), sedangkan B (9 ekor) dan C (6 ekor). Dari hasil deteksi
laboratorium diketahui bahwa kematian umumnya disebabkan oleh penyakit infeksi
bakteri gram negatif yang merupakan penyakit utama kerapu sunu.
Gejala kematian ditandai dengan ikan tidak
nafsu makan dan berenang lemah, cenderung sering berada di permukaan air,
menyendiri, dan terdapat luka pada permukaan kulit (Gambar 2a). Infeksi bakteri
diduga berasal dari lingkungan pemeliharaan (air) yang juga merupakan media
hidup bagi semua mikroorganisme baik yang patogen maupun nonpatogen. Semakin
tinggi persentase pergantian air terlihat semakin sedikit jumlah ikan yang mati
karena dengan semakin cepat air media terganti maka kemungkinan ikan terinfeksi
parasit yang ada dalam air media semakin kecil. Penanggulangan pertama yang
dilakukan adalah dengan merendam ikan yang sakit dengan 100 ppm formalin selama
1 jam atau dalam larutan streptomysin 1 gram dalam 100 liter air laut selama 1
jam serta memisahkan ikan yang sakit dari yang lainnya (Sutarmat et al.,
2007).
Selain
itu pada akhir penelitian juga ditemukan beberapa ekor ikan dengan performansi
mulut yang abnormal (deformity) yaitu antara mulut bagian atas dan bawah tidak
simetris (Gambar 2b). Kondisi ini dapat menyebabkan ikan tidak bisa merespon
pakan dengan sempurna yang pada gilirannya dapat mengakibatkan kematian. Sesuai
pendapat Kordi (2004), yang menyatakan bahwa ikan yang cacat akan mengalami
kesulitan dalam mendapatkan makanannya, sehingga ikan akan mengalami
keterlambatan pertumbuhan (kerdil), memiliki daya tahan tubuh yang rendah dan
akan sangat mudah diserang penyakit.
Terjadinya
performansi yang abnormal belum diketahui penyebabnya secara pasti, namun
diduga adanya faktor genetis dari induk sebagai penghasil telur. Oleh karenanya
dalam proses pembenihan, tahap seleksi telur sangat penting sebelum dilakukan
penebaran dalam wadah pemeliharaan larva. Tingkat pembuahan telur yang optimal
dengan daya tetas mencapai 90% umumnya menghasilkan benih yang normal. Namun
demikian deformity pada mulut biasanya ditemukan justru setelah ikan bertumbuh
menjadi gelondongan. Diduga selain faktor genetis, juga faktor nutrisi pakan
selama pemeliharaan kurang mendukung (malnutrition), sehingga dapat memicu
terjadinya ketidaknormalan pada mulut. Dengan demikian pemeliharaan gelondongan
kerapu sunu dalam wadah terkontrol hingga mencapai ukuran ± 150 gram memberikan
dampak positif terhadap tingkat selektifitas performansi ikan sebelum ditebar
di KJA. Selain waktu pemeliharaan di KJA hingga mencapai ukuran konsumsi dapat
dipersingkat, juga performansi yang dihasilkan sesuai dengan selera pasar.
Gambar 2. Penyakit bakteri gram negatif yang
menimbulkan luka pada permukaan tubuh
kerapu sunu (a), dan kerapu sunu yang mengalami deformity pada mulut unsimetris (b)
Jurnal
Ilmu dan Teknologi Kelautan Tropis, Vol. 2, No. 2, Desember 2010
IV. KESIMPULAN
Pergantian air dalam pemeliharaan gelondongan
kerapu sunu secara terkontrol merupakan faktor penting yang mendukung
kelangsungan hidup maupun pertumbuhannya.
Kelangsungan
hidup dan pertumbuhan ikan yang dipelihara dengan pergantian air 400%/hari
lebih tinggi (SR 97%; TL 21.61±0,54 cm, BW 156.84±1.05g) dari pada pergantian
air 300% (SR 95.5%; TL 19.51±0.52 cm;
BW
140.96±0.08 g) ataupun 200% (SR
93%;
TL 19.08±0.30 cm; BW
132.2±2.65
g).
Pergantian
air hingga 400%/hari dapat menghindarkan ikan dari serangan parasit sehingga
ikan bertumbuh normal dan memperkecil jumlah ikan yang cacat tubuh
(deformity).
DAFTAR PUSTAKA
Aslianti, T.,
K.M. Setiawati dan
Wardoyo. 1998. Pengaruh
Peningkatan
Pergantian Air terhdap Pertumbuhan dan Sintasan Larva Kerapu Bebek, Cromileptes
altivelis. Prosiding Seminar Teknologi Perikanan Pantai. Denpasar-Bali, 6-7
Agustus 1998.
hal
173-177.
Aslianti,
T., P.T. Imanto, dan M. Suastika. 2009a. Dampak Minyak
Buah
Merah, Pandanus conoideus Lam pada Performansi Yuwana Kerapu Sunu, Plectropomus
leopardus. Jurnal Perikanan,
XI(1):1-8.
Aslianti
T, Afifah dan M. Suastika. 2009b. Pemanfaatan Minyak Buah Merah, Pandanus
conoideus Lam dan Carophyll Pink dalam Ransum Pakan Yuwana Ikan Kakap Merah,
Lutjanus sebae. Jurnal Riset Akuakultur, 4(2):191-200.
Boyd,
C.E. 1990. Water Quality in Ponds for Aquaculture. Alabama : Auburn University.
482p.
Kordi,
M.G.H. 2004. Penanggulangan Hama dan Penyakit Ikan. Jakarta. PT Rineka Cipta
dan PT Bina
Adikarsa.
Hal 68.
Nurjana,
M.L. 2006. Indonesian Aquaculture Development. Innovative and Eco-friendly
Technologies for the Production of Safe
Aquaculture
Food. Food
&
Fertilizer
Technology Center For The Asian and Pacific Region (FFTC-ASPAC)/RCA.
International
Workshop. Den-pasar Bali, Indonesia. December 4-8, 2006. pp 81-100.
Nurjana,
M. L. 2010. Proyeksi produksi perikanan budidaya menurut komoditas utama 2009 s/d
2014. Materi presentasi pada acara Forum
Inovasi dan Teknologi Akuakultur. Puriskan Budidaya. Bandar Lampung, 20-24
April
2010.
Sidik.
2002. Alternatif Kebijakan Budidaya Ikan Kerapu Masya-rakat Nelayan dalam
Pengem-bangan Industri Perikanan Kerapu. Majalah Ilmiah Analisis Sistem,
4(IX):104-109
Sutarmat,
T. 2005. Analisis Finansial Produksi Yuwana Kerapu Macan (Epinephelus
fuscoguttatus) dengan Pakan Pelet Komersial dan Ikan Rucah dalam Keramba Jaring
Apung. Jurnal Perikanan,
VII(2):144-150.
Sutarmat,
T. dan S. Ismi. 2007. Variasi ukuran tubuh benih pada pendederan ikan kerapu
sunu (Plectropomus leopardus). Buku Pengembangan Teknologi Budidaya Perikanan.
Balai Besar Riset Perikanan Budidaya Laut. Badan Riset Kelautan dan Perikanan.
hal 59-63.
Sutarmat,
T., K. Suwirya, dan N. A. Giri. 2007. Penelitian
pendahuluan pembesaran kerapu sunu
(Plectropomus
leopardus) dalam Keramba Jaring Apung. Buku Pengembangan Teknologi Budidaya
Perikanan. Balai Besar Riset Perikanan Budidaya Laut.
BRKP.
Hal 438-445.
Suwirya, K., A. Priyono, A. Hanafi, R.
Andamari, R. Melianawati, M. Marzuqi, K. Sugama dan N.A. Giri. 2006. Pedoman
Teknis Pembenihan Ikan Kerapu Sunu (Plectropomus leopardus). Pusat Riset
Perikanan Budidaya. Badan Riset Kelautan dan Perikanan. 18 hal.
Jurnal Ilmu dan Teknologi Kelautan Tropis,
Vol. 2, No. 2, Desember 2010
0 comments:
Post a Comment