Friday, May 17, 2013

PEMELIHARAAN GELONDONGAN KERAPU SUNU (Plectropomus leopardus) DENGAN PERSENTASE PERGANTIAN AIR YANG BERBEDA

May 17, 2013 Posted by Media Penyuluhan Perikanan Pati No comments


Ikan kerapu sunu (Plectropomus leopardus) yang dikenal dengan kerapu bintang termasuk satu diantara komoditas ekspor unggulan Indonesia dari budidaya laut (marine fin-fish culture). Warna merah pada kerapu sunu merupakan daya tarik tersendiri bagi beberapa negara importir seperti Hongkong dan China, yang sebagian besar masyarakatnya masih meyakini bahwa warna merah identik dengan keberuntungan, sehingga pangsa pasar kerapu sunu di kedua negara tersebut sangat tinggi dan merupakan negara tujuan ekspor yang potensial (Sidik, 2002; Nurjana, 2006). 
Kerapu sunu dalam budidayanya memiliki prospek pengembangan yang sangat baik, karena tehnik produksi benih secara masal telah dikuasai dan dapat diterapkan di hatchery skala rumah tangga (Aslianti et al., 2009a). Permintaan pasar terhadap kerapu sunu terutama dalam keadaan hidup sangat tinggi (Sutarmat et al., 2007) dan terus meningkat, sementara pemenuhan melalui penangkapan di alam sangat tidak disarankan, karena memiliki banyak resiko yang merugikan diantaranya adalah jumlah tidak kontinyu, ukuran tidak seragam, resiko cacat fisik saat penangkapan dan dampak tertinggi adalah berkurangnya populasi di alam. Hal ini memberikan peluang cukup besar bagi kegiatan budidaya sekaligus meningkatkan pasok yuwana yang kontinyu, namun faktor kualitas tetap menjadi prioritas yang perlu diperhatikan mengingat persaingan pasar yang semakin ketat (Nurjana, 2010).
Dalam usaha pembesaran kerapu sunu di Keramba Jaring Apung (KJA) hingga mencapai ukuran konsumsi (300400gr) biasanya memerlukan waktu pemeliharaan yang cukup lama dan memiliki resiko kematian yang tinggi. Oleh karenanya upaya penggelondongan perlu dilakukan agar waktu pemeliharaan di KJA dapat dipersingkat dan diperoleh produksi yang tinggi dengan kualitas dan tampilan yang proporsional. Langkah awal yang harus dilakukan dalam mempersiapkan yuwana sebagai benih untuk pembesaran di KJA antara lain ukuran yang seragam, tidak cacat tubuh dan ikan sudah terbiasa mengkonsumsi pakan buatan (Sutarmat, 2005). Uji coba pendederan dalam wadah terkontrol dengan berbagai ukuran hingga pembesarannya di KJA telah dilakukan Sutarmat dan Ismi (2007), namun tingkat kelangsungan hidup yang dihasilkan belum stabil (Suwirya et al., 2006), dan masih perlu dilakukan perbaikan yang mengarah pada peningkatan produksi 
Dalam kegiatan budidaya, selain pakan yang memerlukan biaya ±60% dari total biaya operasional, faktor lingkungan juga merupakan sarana yang tidak kalah pentingnya, mengingat air sebagai media tempat ikan dipelihara juga merupakan media tumbuh bagi berbagai macam mikroorganisme baik yang pathogen maupun nonpathogen. Sedangkan di alam, golongan ikan kerapu umumnya hidup di perairan karang, bersifat menyendiri dan lebih menyukai habitat yang bersih dengan kondisi perairan yang stabil (Aslianti et al., 1998). Mengantisipasi sifat alami ikan kerapu tersebut, pergantian air merupakan faktor penting dalam menjaga kestabilan kualitas air selama pemeliharaan dalam wadah terkontrol. Oleh karenanya pengelolaan lingkungan pemeliharaan kerapu sunu melalui pergantian air yang kontinyu dengan prosentase yang optimal diharapkan dapat mengurangi kendalakendala ekstrim yang terjadi.
Dengan melihat permasalahan yang cukup konkrit dan tuntutan peluang pasar yang memerlukan solusi secara cepat, maka perlu dilakukan penelitian penggelondongan kerapu sunu dalam wadah terkontrol melalui perbaikan lingkungan sampai mencapai ukuran siap tebar (± 150gr) sehingga masa pemeliharaan di KJA dapat dipersingkat. Penelitian bertujuan untuk mendapatkan informasi pemeliharaan gelondongan kerapu sunu dalam wadah terkontrol, serta kendala yang dihadapi selama pemeliharaan sehingga resiko yang mungkin terjadi pada budidaya pembesaran di KJA dapat diperkecil.
 II.       BAHAN DAN METODE  
2.1.      Persiapan wadah
Kegiatan penelitian diawali dengan pencucian wadah penelitian berupa tiga (3) unit bak fiber kapasitas 4 m3 berbentuk segi empat berukuran 2x2x1m, dengan cara menyikat dan menyemprot dengan air tawar, kemudian dikeringkan selama satu hari. Hal ini untuk menghindari kemungkinan kontaminasi parasit. Selanjutnya wadah diisi air laut bersalinitas 30-33 ppt sampai ketinggian air 75 cm. Pengaturan pipa dan batu aerasi disesuaikan dengan kebutuhan dan diatur sedemikian rupa sehingga pasok oksigen yang mengalir dalam bak diharapkan dapat memenuhi kebutuhan ikan. Demikian juga pengaturan debit air masuk (inlet) dan keluar (outlet) disesuaikan dengan perlakuan dengan cara terlebih dahulu memposisikan stop kran yang disesuaikan dengan jumlah air masuk per menit, sehingga dalam waktu 24 jam (sehari semalam) diharapkan air dapat terganti sesuai perlakuan.
 2.2.     Hewan uji.
Hewan uji (kerapu sunu) yang telah melalui seleksi (keseragaman ukuran dan kondisi fisik) dimasukkan kedalam masing-masing bak dengan kepadatan 200 ekor. Rata-rata panjang total (TL) dan berat tubuh (BW) awal adalah 16.6±0.5cm dan 72.2±7.6g. Selama pemeliharaan, ikan diberi pakan komersial berbentuk pellet berdiameter ±5 mm dengan kandungan protein 42%, lemak 10%, abu 13%, dan kadar air 10% (Aslianti et al., 2009b). Pakan diberikan dua kali sehari sebanyak 3-5% dari bobot biomasa (±500 gr) dengan cara menebar hingga ikan tidak merespon (ad-libitum). Sisa pakan ditimbang untuk mengetahui jumlah pakan yang terkonsumsi setiap hari serta dilakukan penghitugan pada akhir penelitian untuk mengetahui nilai rasio konversi pakannya. Penelitian dilakukan selama 2 bulan dengan menggunakan sistim air mengalir dan persentase pergantian air merupakan perlakuan yaitu A (200%/hari); B (300%/hari) dan C(400%/hari).
Penyiponan dasar bak dilakukan setiap 2 hari untuk membersihkan sisa metabolisme berupa faeses ataupun sisa pakan yang tidak terkonsumsi oleh ikan. 
 2.3.     Parameter yang diamati
Pengamatan pertumbuhan dilakukan setiap bulan melalui pengukuran panjang total dan berat tubuh terhadap 20 ekor sampel (10% dari jumlah biomas) yang diambil secara acak dari masingmasing perlakuan. Untuk mengetahui efektifitas pakan terhadap pertumbuhan dilakukan dengan cara menghitung rasio konversi pakan (FCR), sedangkan kualitas air diamati secara kontinyu setiap minggu sebagai data pendukung meliputi oksigen terlarut (DO), ammonia (NH3-N), nitrit (NO2-N) dan pH. 
 2.4.     Analisa data
Semua data yang diperoleh dihimpun secara tabulasi dan dianalisis secara diskriptif serta diolah dengan menggunakan program microsoft Excel.
 III.      HASIL DAN PEMBAHASAN
Hasil pengamatan terhadap pertumbuhan panjang dan berat mutlak, kelangsungan hidup dan rasio konversi pakan gelondongan kerapu sunu dari masing-masing perlakuan tertera pada Tabel 1.
 Dari Tabel 1. diketahui bahwa persentase kenaikan pertumbuhan perlakuan C baik terhadap panjang total (30.18%) maupun berat tubuh (117.23%) terlihat lebih tinggi dari pada perlakuan
Tabel 1. Pertumbuhan panjang dan berat mutlak, kelangsungan hidup dan rasio konfersi                  pakan  kerapu sunu dari masing-masing perlakuan
 Parameter       A  (200%/day)            B 
(300%/day)     C  (400%/day) 
Panjang total awal/Initial length (cm)             16.60  16.60  16.60 
Panjang total akhir/Final length (cm  19.08  19.51  21.61 
Pertambahan panjang/TL gain (%)      14.94  17.53  30.18 
Berat tubuh awal/Initial weight (g)     72.20  72.20  72.20 
Berat tubuh akhir/Final weight (g)      132.20             140.96             156.84 
Pertambahan berat/BW gain (%)        83.10  95.24  117.23 
Kelangsungan hidup/SR (%)  93        95.5     97 
Rasio konfersi pakan/FCR      1.05     1.21     1.34 
 Tabel 2. Hasil rata-rata pengamatan kualitas air yang dilakukan setiap tiga hari dari                      masing-masing perlakuan
 Parameter       A  (200%/day)            B 
(300%/day)     C  (400%/day) 
Suhu maximum/Temp. max (o C)       28.50 ± 0.16    28.28 ± 0.19    27.96 ± 0.23 
Suhu minimum/Temp. min (oC)          26.64 ± 0.21    26.98 ± 0.45    27.30 ± 0.42  
Salinitas/Salinity (ppt)             32.4 ± 1.61      32.4 ± 1.61      32.40 ± 1.61 
pH       7.78 ± 0.30      7.51 ± 0.23      7.05 ± 0.10 
DO/Disolve Oksigen (mg/L)  6.39 ± 0.13      6.72 ±0.31       7.10 ± 0.29 
NO2/Nitrite (mg/L)     1.50 ± 0.25      1.26 ± 0.04      0.69 ± 0.13 
NH3/Amonium (mg/L)           1.83 ± 0.06      1.57 ± 0.08      0.98 ± 0.05 
 Jurnal Ilmu dan Teknologi Kelautan Tropis, Vol. 2, No. 2, Desember 2010

A (14.94% dan 83.10%) maupun B (17.53% dan 95.24%). Demikian juga tingkat kelangsungan hidup yang dicapai perlakuan C lebih tinggi (97%) dari pada perlakuan A (93%) ataupun B (95,5%). Hal ini menunjukkan bahwa pergantian air sebesar 400% setiap hari terbukti sangat mendukung pertumbuhan maupun kelangsungan hidup kerapu sunu. Makin tinggi persentase pergantian air dalam penelitian ini mempunyai dampak yang positip terhadap kestabilan kualitas air pemeliharaan. Kondisi air yang kotor akibat terakumulasinya sisa metabolisme ataupun kotoran lain yang terdapat dalam bak, akan terganti secara cepat jika persentase pergantian air cukup tinggi, sehingga diprediksi dapat menghambat tumbuhnya parasit (jamur ataupun bakteri). Kondisi ini didukung dari hasil pengamatan kualitas air yang dilakukan setiap tiga hari yang menunjukkan bahwa kandungan nitrit dan ammonia cenderung menurun dengan meningkatnya persentase pergantian air (Tabel 2). 
Tingginya kandungan nitrit dan ammonia pada perlakuan A dan B diduga sebagai akibat adanya proses pembusukkan serta penguraian sisa metabolisme yang mengendap di dasar bak. Pengendapan terjadi akibat jumlah pergantian air yang kurang mencukupi sehingga badan air tidak cukup mampu mendorong sisa metabolisme ke-arah saluran pembuangan. Kondisi ini akan semakin buruk apabila air laut yang mengalir saat itu dalam keadaan keruh yang biasa terjadi akibat adanya hujan. Mekanisme toksisitas dari nitrit dapat berpengaruh terhadap transportasi oksigen dalam darah dan kerusakan jaringan tubuh ikan. Sesuai pendapat Boyd (1990) yang menyatakan bahwa kandungan ammonia dalam media pemeliharaan merupakan hasil metabolisme ikan, pembusukan senyawa organik dan bakteri. Amonia adalah hasil utama penguraian protein dan merupakan racun bagi ikan, karenanya kandungan ammonia dianjurkan tidak lebih dari 1 mg/L (Pescod, 1973 dalam Aslianti , et al. 1998). Tingginya kandungan nitrit dan ammonia pada perlakuan A dan B diduga berpengaruh terhadap kelangsungan hidup ikan sehingga lebih rendah dari pada C. Namun demikian kondisi suhu, salinitas, pH dan DO nampak masih mendukung kehidupan ikan. Kualitas air yang baik dan stabil sangat berpengaruh terhadap kesehatan ikan yang pada gilirannya dapat meningkatkan kelangsungan hidupnya. 
Ditinjau dari hubungan partumbuhan panjang dan berat tubuh secara linier (Gambar 1) pada perlakuan C (pergantian air 400%/hari) diperoleh persamaan regresi Y=1.6972X+120.24 dengan R2 = 0.9354. Hal ini menunjukkan bahwa antara pertumbuhan panjang dan berat tubuh kerapu sunu pada perlakuan C terdapat korelasi yang positif, yang berarti bahwa pergantian air sebesar 400%/hari tidak saja berpengaruh terhadap pertumbuhan panjang tetapi juga berpengaruh terhadap pertumbuhan berat dengan tingkat korelasi sebesar 93.54%.
 Dari hasil pengamatan selama pemeliharaan gelondongan kerapu sunu dalam wadah terkontrol terdapat beberapa ekor ikan yang mengalami kematian. Hingga akhir penelitian kematian paling banyak terjadi pada perlakuan A (14 ekor), sedangkan B (9 ekor) dan C (6 ekor). Dari hasil deteksi laboratorium diketahui bahwa kematian umumnya disebabkan oleh penyakit infeksi bakteri gram negatif yang merupakan penyakit utama kerapu sunu.
 Gejala kematian ditandai dengan ikan tidak nafsu makan dan berenang lemah, cenderung sering berada di permukaan air, menyendiri, dan terdapat luka pada permukaan kulit (Gambar 2a). Infeksi bakteri diduga berasal dari lingkungan pemeliharaan (air) yang juga merupakan media hidup bagi semua mikroorganisme baik yang patogen maupun nonpatogen. Semakin tinggi persentase pergantian air terlihat semakin sedikit jumlah ikan yang mati karena dengan semakin cepat air media terganti maka kemungkinan ikan terinfeksi parasit yang ada dalam air media semakin kecil. Penanggulangan pertama yang dilakukan adalah dengan merendam ikan yang sakit dengan 100 ppm formalin selama 1 jam atau dalam larutan streptomysin 1 gram dalam 100 liter air laut selama 1 jam serta memisahkan ikan yang sakit dari yang lainnya (Sutarmat et al., 2007). 
Selain itu pada akhir penelitian juga ditemukan beberapa ekor ikan dengan performansi mulut yang abnormal (deformity) yaitu antara mulut bagian atas dan bawah tidak simetris (Gambar 2b). Kondisi ini dapat menyebabkan ikan tidak bisa merespon pakan dengan sempurna yang pada gilirannya dapat mengakibatkan kematian. Sesuai pendapat Kordi (2004), yang menyatakan bahwa ikan yang cacat akan mengalami kesulitan dalam mendapatkan makanannya, sehingga ikan akan mengalami keterlambatan pertumbuhan (kerdil), memiliki daya tahan tubuh yang rendah dan akan sangat mudah diserang penyakit. 
Terjadinya performansi yang abnormal belum diketahui penyebabnya secara pasti, namun diduga adanya faktor genetis dari induk sebagai penghasil telur. Oleh karenanya dalam proses pembenihan, tahap seleksi telur sangat penting sebelum dilakukan penebaran dalam wadah pemeliharaan larva. Tingkat pembuahan telur yang optimal dengan daya tetas mencapai 90% umumnya menghasilkan benih yang normal. Namun demikian deformity pada mulut biasanya ditemukan justru setelah ikan bertumbuh menjadi gelondongan. Diduga selain faktor genetis, juga faktor nutrisi pakan selama pemeliharaan kurang mendukung (malnutrition), sehingga dapat memicu terjadinya ketidaknormalan pada mulut. Dengan demikian pemeliharaan gelondongan kerapu sunu dalam wadah terkontrol hingga mencapai ukuran ± 150 gram memberikan dampak positif terhadap tingkat selektifitas performansi ikan sebelum ditebar di KJA. Selain waktu pemeliharaan di KJA hingga mencapai ukuran konsumsi dapat dipersingkat, juga performansi yang dihasilkan sesuai dengan selera pasar. 
 Gambar 2. Penyakit bakteri gram negatif yang menimbulkan luka pada permukaan                                         tubuh kerapu sunu (a), dan kerapu sunu yang mengalami deformity pada                        mulut unsimetris (b)
Jurnal Ilmu dan Teknologi Kelautan Tropis, Vol. 2, No. 2, Desember 2010
 IV. KESIMPULAN
 Pergantian air dalam pemeliharaan gelondongan kerapu sunu secara terkontrol merupakan faktor penting yang mendukung kelangsungan hidup maupun pertumbuhannya. 
Kelangsungan hidup dan pertumbuhan ikan yang dipelihara dengan pergantian air 400%/hari lebih tinggi (SR 97%; TL 21.61±0,54 cm, BW 156.84±1.05g) dari pada pergantian air 300% (SR 95.5%; TL 19.51±0.52 cm;
BW 140.96±0.08 g) ataupun 200% (SR 
93%; TL 19.08±0.30 cm; BW
132.2±2.65 g). 
Pergantian air hingga 400%/hari dapat menghindarkan ikan dari serangan parasit sehingga ikan bertumbuh normal dan memperkecil jumlah ikan yang cacat tubuh (deformity). 
 DAFTAR PUSTAKA
 Aslianti,          T.,        K.M.    Setiawati         dan Wardoyo.             1998.   Pengaruh
Peningkatan Pergantian Air terhdap Pertumbuhan dan Sintasan Larva Kerapu Bebek, Cromileptes altivelis. Prosiding Seminar Teknologi Perikanan Pantai. Denpasar-Bali, 6-7 Agustus 1998.
hal 173-177.
Aslianti, T., P.T. Imanto, dan M. Suastika. 2009a. Dampak Minyak
Buah Merah, Pandanus conoideus Lam pada Performansi Yuwana Kerapu Sunu, Plectropomus leopardus. Jurnal Perikanan, 
XI(1):1-8.
Aslianti T, Afifah dan M. Suastika. 2009b. Pemanfaatan Minyak Buah Merah, Pandanus conoideus Lam dan Carophyll Pink dalam Ransum Pakan Yuwana Ikan Kakap Merah, Lutjanus sebae. Jurnal Riset Akuakultur, 4(2):191-200.
Boyd, C.E. 1990. Water Quality in Ponds for Aquaculture. Alabama : Auburn University. 482p.
Kordi, M.G.H. 2004. Penanggulangan Hama dan Penyakit Ikan. Jakarta. PT Rineka Cipta dan PT Bina
Adikarsa. Hal 68.
Nurjana, M.L. 2006. Indonesian Aquaculture Development. Innovative and Eco-friendly Technologies for the Production of Safe
Aquaculture    Food.   Food    &
Fertilizer Technology Center For The Asian and Pacific Region (FFTC-ASPAC)/RCA.
International Workshop. Den-pasar Bali, Indonesia. December 4-8, 2006. pp 81-100.
Nurjana, M. L. 2010. Proyeksi produksi perikanan budidaya menurut komoditas utama 2009 s/d 2014.  Materi presentasi pada acara Forum Inovasi dan Teknologi Akuakultur. Puriskan Budidaya. Bandar Lampung, 20-24 April
2010.
Sidik. 2002. Alternatif Kebijakan Budidaya Ikan Kerapu Masya-rakat Nelayan dalam Pengem-bangan Industri Perikanan Kerapu. Majalah Ilmiah Analisis Sistem, 4(IX):104-109
Sutarmat, T. 2005. Analisis Finansial Produksi Yuwana Kerapu Macan (Epinephelus fuscoguttatus) dengan Pakan Pelet Komersial dan Ikan Rucah dalam Keramba Jaring Apung. Jurnal Perikanan,
VII(2):144-150. 
Sutarmat, T. dan S. Ismi. 2007. Variasi ukuran tubuh benih pada pendederan ikan kerapu sunu (Plectropomus leopardus). Buku Pengembangan Teknologi Budidaya Perikanan. Balai Besar Riset Perikanan Budidaya Laut. Badan Riset Kelautan dan Perikanan. hal 59-63.

Sutarmat, T., K. Suwirya, dan N. A. Giri. 2007.        Penelitian        pendahuluan pembesaran        kerapu sunu
(Plectropomus leopardus) dalam Keramba Jaring Apung. Buku Pengembangan Teknologi Budidaya Perikanan. Balai Besar Riset Perikanan Budidaya Laut.
BRKP. Hal 438-445.
 Suwirya, K., A. Priyono, A. Hanafi, R. Andamari, R. Melianawati, M. Marzuqi, K. Sugama dan N.A. Giri. 2006. Pedoman Teknis Pembenihan Ikan Kerapu Sunu (Plectropomus leopardus). Pusat Riset Perikanan Budidaya. Badan Riset Kelautan dan Perikanan. 18 hal.
 Jurnal Ilmu dan Teknologi Kelautan Tropis, Vol. 2, No. 2, Desember 2010

0 comments:

Post a Comment