Bakteri Lactobacillus plantarum adalah bakteri asam laktat dari famili Lactobacilliceae dan genus Lactobacillus. Bakteri ini bersifat Gram positif, non motil, dan berukuran 0,6-0,8 μm x 1,2-6,0 μm. Bakteri ini memiliki sifat antagonis terhadap mikroorganisme penyebab kerusakan makanan seperti Staphylococcus aureus, Salmonella, dan Gram negatif (Buckle et al., 1987). Lactobacillus plantarum bersifat toleran terhadap garam, memproduksi asam dengan cepat dan memiliki pH ultimat 5,3 hingga 5,6 (Buckle et al., 1987).
Pengolahan
pangan dan pakan menggunakan BAL adalah teknologi yang telah ada sejak dulu yang dapat
meningkatkan kandungan obat dan anti penyakit serta mencegah kebusukan dan
perjangkitan penyakit yang disebabkan oleh bakteri patogen (Elegado et al.,
2004). Bakteri L. plantarum umumnya lebih tahan terhadap keadaan asam dan oleh
karenanya menjadi lebih banyak terdapat pada tahapan terakhir dari fermentasi
tipe asam laktat. Bakteri ini sering digunakan dalam fermentasi susu, sayuran,
dan daging (sosis). Fermentasi dari L. plantarum bersifat homofermentatif
sehingga tidak menghasilkan gas (Buckle
et al., 1987). Bakteri Lactobacillus
plantarum terutama berguna
untuk pembentukan asam
laktat, penghasil hidrogen peroksida tertinggi dibandingkan bakteri asam
laktat lainnya dan juga menghasilkan bakteriosin yang merupakan senyawa protein
yang bersifat bakterisidal (James et al., 1992). Lactobacillus plantarum dapat
memproduksi bakteriosin yang merupakan bakterisidal bagi sel sensitif dan dapat
menyebabkan kematian sel dengan cepat walaupun pada konsentrasi rendah.
Bakteriosin yang berasal dari L. plantarum dapat menghambat Staphylococcus
aureus dan bakteri Gram negatif (Branen dan Davidson, 1993). L. plantarum
mempunyai kemampuan untuk menghasilkan bakteriosin yang berfungsi sebagai zat antibiotik (Jenie dan Rini, 1995).
Lactobacillus
plantarum 2C12 merupakan isolat indigenus yang diisolasi dari daging sapi lokal
Indonesia. Arief et al. (2008) melaporkan bahwa suatu senyawa antimikroba
diproduksi oleh bakteri asam laktat Lactobacillus plantarum 2C12 yang diisolasi
dari daging sapi lokal. Senyawa antimikroba tersebut dapat menghambat pertumbuhan bakteri
patogen Escherichia coli,
Salmonella typhimurium dan Staphylococcus aureus. Senyawa
antimikroba yang diproduksi oleh Lactobacillus sp.
Bakteriosin
merupakan senyawa protein (umumnya berupa peptida) yang bersifat bakterisidal
terhadap mikroorganisme (bakteri) yang ditinjau dari segi filogeniknya
(genetiknya) berdekatan dengan mikroorganisme penghasil bakteriosin tersebut.
Bakteriosin menurut Klaenhammer (1998) adalah protein atau peptida yang
disintesa melalui ribosom yang dapat menghambat atau membunuh bakteri lain. Saat ini
penggunaan bakteri asam
laktat sebagai penghasil
bakteriosin di bidang peternakan semakin bertambah luas,
diantaranya sebagai biopreservatif. Produksi bakteriosin juga dapat menghambat
perkembangan patogen yang mempunyai kekerabatan dekat dengan bakteri penghasil bakteriosin
(Wiryawan dan Tjakradidjaja, 2001).
Beberapa
bakteriosin dari bakteri asam laktat antara lain plantaricin A dari
Lactobacillus plantarum (Nissen-Meyer et al., 1993), gassericin A dari
Lactobacillus LA39 gasseri (Muriana dan Klaenhammer, 1991) dan plantaricin-149
dari Lactobacillus plantarum KTP 149 (Kato et al., 1994) yang telah terdeteksi,
dimurnikan dan dikarakterisasi. Matsuaki et al. (1996) menyatakan produksi
bakteriosin dipengaruhi oleh tingkat sumber karbon, nitrogen, dan phosfat yag
terdapat dalam media. Sumber karbohidrat yang berbeda menghasilkan bakteriosin
yang berbeda pula. Arief et al. (2008) menyatakan bahwa suatu senyawa
antimikroba diproduksi oleh bakteri asam laktat Lactobacillus sp. 2C12 yang
diisolasi dari daging sapi lokal. Senyawa antimikroba tersebut dapat menghambat
pertumbuhan bakteri patogen Escherichia coli, Salmonella typhimurium dan
Staphylococcus aureus. Senyawa antimikroba
yang diproduksi oleh
Lactobacillus sp. 2C12 mengandung bakteriosin. Berdasarkan hasil
identifikasi, bakteriosin yang diproduksinya disebut plantaricin. Menurut
Widiasih (2008), Lactobacillus
plantarum 2C12 berbentuk bulat, susunan tunggal maupun
rantai pendek. Bakteriosin yang diproduksi oleh Lactobacillus plantarum dikenal
dengan nama plantaricin (Omar et al., 2008).
Karakteristik
dari bakteriosin adalah : a) mempunyai spectrum aktivitas yang relatif sempit,
terpusat di sekitar
spesies penghasil bakteriosin
(filogenik atau genetiknya cukup
dekat), b) senyawa aktifnya terutama terdiri atas protein yang disintesis di ribosom, c) mempunyai
reseptor pada sel sasarannya, d) gen penyandi penentu terdapat pada plasmid,
yang berperan dalam produksi maupun imunitasnya (Tagg et al., 1976). Karakter
lainnya dari bakteriosin adalah bersifat bakterisidal dan tahan panas (Jack et
al., 1995).
Bakteriosin yang
diproduksi oleh bakteri
asam laktat (BAL)
digunakan sebagai pengawet makanan dan berpotensi sebagai pengganti
antibiotik (Reenen et al., 2006). Bakteriosin asal bakteri asam laktat dibagi
ke dalam empat kelas yang berbeda
yaitu kelas I
adalah antibiotik, kelas
II adalah peptide
berukuran kecil sifatnya relatif
stabil terhadap panas dan tidak mengandung lanthionin pada peptidanya, kelas
III adalah peptide berukuran besar yang labil terhadap panas, dan kelas IV
merupakan bakteriosin kompleks mengandung lipida atau separuh karbohidrat.
Kelas I dan II merupakan kelas-kelas utama dari bakteriosin mempunyai potensi
untuk digunakan di dalam aplikasi komersial.
Penggunaan
bakteriosin lebih sering digunakan sebagai bahan pengawet makanan. Penggunaan bakteriosin
sebagai biopreservatif memiliki beberapa keuntungan, yaitu (1) bakteriosin
bukan bahan toksik dan mudah mengalami biodegradasi oleh enzim proteolitik
karena merupakan senyawa protein, (2) tidak membahayakan mikroflora usus karena
mudah dicerna oleh enzim-enzim saluran pencernaan, (3) aman bagi lingkungan dan
dapat mengurangi penggunaan bahan kimia yang selama ini digunakan sebagai bahan pengawet makanan, dan (4) dapat
digunakan dalam kultur bakteri unggul yang mampu menghasilkan senyawa
antimikroba terhadap bakteri patogen atau dapat digunakan dalam bentuk senyawa
antimikrobial yang telah dimurnikan (Nurliana, 1997).
Bakteriosin
asal bakteri asam laktat merupakan peptida yang disintesis di ribosom yang
memperlihatkan aktivitas antimikrob, pada banyak kasus mampu me- lawan bakteri
yang biasanya berkerabat dekat dengan mikroorganisme penghasilnya. Beberapa
bakteriosin yang berasal dari bakteri Gram positif memperlihatkan akti- vitas
bakterisidal dengan spektra penghambat yang tidak luas dan sangat berguna
sebagai agen antibakterial untuk berbagai aplikasi praktik. Bakteriosin dari
bakteri asam laktat telah menjadi perhatian penting karena potensinya untuk
digunakan sebagai bahan tambahan makanan yang aman sebagai preservatif alami
dan non-toxic, serta mencegah terjadinya kebusukan pangan oleh bakteri patogen
gram positif (Hata et al., 2010). Bakteriosin berakumulasi di dalam media
kultur selama fase pertumbuhan eksponensial hingga fase
pertumbuhan stasioner (Vuyst dan Vandamme, 1994). Produksi bakteriosin
dipengaruhi oleh tipe dan level karbon, sumber
nitrogen dan fosfat,
surfaktan kation dan
penghambat (Savadogo et
al.,2006).
Mekanisme
Aktivitas Bakteriosin
Kemampuan
suatu senyawa antimikrob dalam menghambat pertumbuhan mikrob merupakan salah
satu kriteria yang penting dalam pemilihan suatu senyawa antimikrob yang
berfungsi sebagai bahan pengawet. Antimikrob menurut Gan dan Setiabudi (1987),
adalah zat yang dapat menghambat pertumbuhan mikrob dan digunakan untuk
pengobatan infeksi mikrob pada hewan dan manusia. Antimikrob harus mempunyai
toksisitas setinggi mungkin terhadap bakteri target, tetapi relatif tidak
toksik terhadap induk semangnya. Gonzales et al. (1996) menyatakan bahwa berdasarkan
sifat toksisitas selektifnya antimikrob dibedakan menjadi dua bagian, yaitu:
(i) antimikrob yang bersifat bakteriostatik yaitu antimikrob yang menghalangi pertumbuhan mikroorganisme,
tetapi tidak mematikan organisme itu, dan (ii) antimikrob yang bersifat
bakterisidal yaitu antimikrob yang menyebabkan kematian dan lisisnya
mikroorganisme. Sifat bakteriostatik akan menghambat pertumbuhan dan replikasi
mikroorganisme, namun tidak menyebabkan kematian. Sifat bakterisidal berhubung-
an dengan kemampuan senyawa untuk menyebabkan lisis sel mikroorganisme.
Beberapa mikroba yang bersifat bakteriostatik dapat berubah menjadi
bakteriosidal bila digunakan digunakan dalam dosis tinggi (Gan dan Setiabudi, 1987).
Dwidjoseputro (1990) membedakan antimikroba berdasarkan efektivitas kerjanya
terhadap berbagai mikroorganisme, yaitu:
(i) antimikrob yang
berspektrum luas, yaitu
antimikrob yang efektif terhadap berbagai jenis mikroorganisme, dan (ii)
antimikrob yang berspektrum sempit, yaitu antimikrob yang efektif terhadap
mikroorganisme tertentu.
Mekanisme
penghambatan pertumbuhan mikroba oleh bakteriosin adalah : (1) perusakan dinding
sel sehingga mengakibatkan lisis atau menghambat pertumbuhan dinding sel pada
sel yang sedang tumbuh; (2) mengubah permeabilitas membran sitoplasma yang
menyebabkan kebocoran nutrien di dalam dinding sel; (3) denaturasi protein sel;
(4) perusakan sistem metobolisme dalam sel dengan cara menghambat kerja enzim intraseluler
(Pelczar dan Chan, 1986). Secara umum mekanisme
aktivitas suatu senyawa
antimikrob dapat dilakukan
oleh senyawa bioaktif melalui mekanisme
yang berbeda, yaitu: (i) mengganggu atau merusak komponen penyusun
dinding sel, (ii)
bereaksi dengan membran sel yang menyebabkan peningkatan
permeabilitas dan kehilangan
komponen penyusun seluler, (iii)
inaktivasi enzim-enzim esensial, dan (iv) destruksi atau inaktivasi fungsi dari
material genetik (Branen dan Davidson, 1993).
Penggunaan
Bakteriosin
Bakteriosin
yang dihasilkan oleh BAL menyediakan beberapa senyawa yang dapat digunakan
dalam pengawetan makanan, karena beberapa alasan .(i) Diakui sebagai zat yang
aman. (ii) Tidak aktif dan tidak beracun pada sel eukariotik, (iii) dapat
dilemahkan oleh protease pencernaan sehingga memiliki pengaruh yang kecil pada
mikrobiota usus, (iv) toleran terhadap pH dan panas, (v) memiliki antimikroba
dengan spektrum relatif luas, terhadap bakteri patogen dan pembusuk makanan,
dan (vi) aktivitas bersifat bakterisidal, bekerja pada membran sitoplasma
bakteri: tidak ada resistensi silang dengan antibiotik (Galvez et al., 2007).
Lactobacillus
plantarum memiliki efek penurunan pada hypercholestero- lemia dan efeknya akan
meningkat bila dicampur dengan jenis BAL lain (Hanaa et al., 2009). Bakteriosin
dapat ditambahkan ke dalam makanan dalam bentuk kultur terkonsentrasi sebagai
bahan pengawet makanan. Penambahan starter kultur bakteriosinogenik dapat
dilakukan secara in situ sebagai pelindung tambahan. Bakteriosin immobil juga
dapat digunakan untuk pengembangan kemasan makanan bioaktif (Galvez et al.,
2007). Bakteri berkumpul dan menggabungkan diri untuk membentuk nisin film
selulosa yang layak dikembangkan menjadi bahan kemasan aktif. Nisin film yang
dikandung bakteri selulosa menunjukkan efektivitas dalam pengendalian L.
monocytogenes dan mengurangi
total mikroba pada
permukaan sosis. Hal ini menunjukkan bahwa penggunaan aktif film bakteri
selulosa akan men- jadi metode yang menjanjikan untuk meningkatkan keamanan dan
memperpanjang umur simpan dari daging olahan (Nguyen et al., 2008).
Bakteri
Patogen
Bakteri
yang tumbuh dalam bahan pangan terbagi menjadi bakteri pembusuk yang dapat
menyebabkan kerusakan makanan dan bakteri patogen penyebab penyakit pada
manusia. Jumlah bakteri pembusuk umumnya lebih dominan dibandingkan dengan
bakteri patogen (Fardiaz, 1992). Penyakit yang ditularkan melalui makanan hanya
berhubungan dengan sejumlah kecil bakteri patogenik tertentu. Makanan atau
bahan pangan tersebut digunakan sebagai substrat pertumbuhan bakteri patogen.
Bakteri
patogen menyebabkan penyakit pada manusia melalui dua cara yaitu infeksi dalam
kasus ini bakteri patogen berkembang biak dalam alat pencernaan manusia dan
menghasilkan racun sedangkan intoksikasi adalah
bakteri patogen menghasilkan
racun dalam bahan pangan dan bahan
pangan tersebut dikonsumsi oleh konsumen (Buckle et al.,1987). Mikroba yang
dapat menyebabkan keracunan dan infeksi saat ikut terkonsumsi disebut mikroba
patogen. Beberapa bakteri yang merupakan bakteri patogen diantaranya adalah
famili Enterobacteriaceae yaitu Salmonella, Escherichia. Bakteri patogen lainnya
adalah Staphylococcus aureus, Bacillus cereus, dan Pseudomonas yang merupakan
jenis bakteri penyebab kebusuk- an pada makanan atau bakteri pembusuk (Fardiaz,
1989).
Salmonella
spp merupakan bakteri yang menjadi indikator keamanan pangan (food safety)
karena keberadaannya dalam
bahan pangan dapat
menyebabkan penyakit pada manusia. Bakteri dari jenis Salmonella
merupakan bakteri penyebab infeksi. Jika tertelan oleh manusia dan masuk ke
dalam tubuh dapat menimbulkan gejala salmonelosis, demam enterik, demam tifoid,
dan demam paratifoid, serta infeksi lokal (Fardiaz, 1992). Menurut Dell-Potillo
(2000), bakteri ini merupakan salah satu bakteri yang paling umum menyebabkan
penyakit keracunan makanan di negara
maju dan negara
berkembang. Salmonella suatu
bakteri gram negatif berbentuk batang melekat dan
menyerang sel usus. Salmonella mempunyai tipe metabolisme yang bersifat
fakultatif anaerob. Infeksi usus oleh
Salmonella berakibat demam tifus enteric. Bakteri ini masuk ke dalam aliran
darah melalui usus dan dialirkan ke seluruh tubuh.
Salmonella merupakan kelompok bakteri patogen yang sering ditemukan pada produk
pangan (Fardiaz, 1992). Berdasarkan tingkat bahayanya, Salmonella berada pada
kelompok bahaya sedang,dengan penyebaran yang
cepat. Pemanasan merupakan
cara yang paling
banyak dilakukan untuk membunuh Salmonella. Alternatif lainnya adalah dengan mengatur
pH, menambahkan bahan-bahan kimia, penyimpanan pada suhu rendah dan radiasi.
Pemanasan yang direkomendasikan untuk
membunuh Salmonella spp. Umumnya pemanasan dilakukan selama 12 menit pada suhu
66 °C atau selama 78-83 menit pada suhu 60 °C (Fardiaz, 1992).
Escherichia
coli merupakan flora normal yang hidup dalam saluran pencernaan manusia dan
hewan. Bakteri patogen lain adalah Staphylococcus aureus. Ada enam macam
enteroksin yang diproduksi Staphylococcus aureus di dalam makanan dan merupakan
penyebab keracunan stafilokokus (intoksikasi) yaitu enteroksin A, B, C1, C2, D
dan enteroksin E (Fardiaz, 1989).
0 comments:
Post a Comment