Friday, June 22, 2012

PENGARUH CARA PENGOLAHAN TANAH TAMBAK TERHADAP PERTUMBUHAN UDANG VANAME Litopenaeus vannamei

June 22, 2012 Posted by Media Penyuluhan Perikanan Pati 1 comment


Udang vaname adalah salah satu spesies udang yang potensial untuk dikembangkan secara komersial. Pada tahun  2008  rata-rata produksi udang mencapai 11,6 % dari seluruh hasil budidaya (Direktorat Jenderal Perikanan Budidaya, 2009a).
Menurut Boone (1931), udang vaname mempunyai klasifikasi dan tata nama sebagai berikut :
Kingdom    : Animalia Filum    : Arthropoda Subfilum    : Crustacea Kelas    : Malacostraca
Subkelas    : Eumalacostraca
Superordo    : Eucarida Ordo    : Decapoda Subordo    : Dendrobrachiata Famili    : Penaeidae Genus    : Litopenaeus
Species    : Litopenaeus vannamei
Menurut Haliman dan Adijaya (2004), secara morfologi udang vaname memiliki tubuh yang dibentuk oleh dua cabang (biramous) yaitu exopodite dan endopodite. Udang  vaname memiliki tubuh  yang  berbuku-buku dan  aktivitas berganti kulit luar atau eksosekeleton secara periodik/molting.
2.2  Kelangsungan Hidup dan Pertumbuhan
Udang vaname merupakan varietas udang yang memiliki sejumlah keunggulan, antara lain lebih resisten atau tahan terhadap penyakit dan kualitas lingkungan yang rendah, padat tebar cukup tinggi, dan waktu pemeliharaan lebih pendek yakni sekitar 90-100 hari per siklus. Pada umumnya, budidaya vaname di tambak  menggunakan  teknologi  intensif  dengan  padat  tebar  yang  tinggi mencapai    100-300    ekor/m2.    Resistensi    terhadap    penyakit    dan    kualitas lingkungan hidup yang rendah terkait dengan kelangsungan hidup udang (Arifin et al., 2005).
Kelangsungan hidup  suatu  populasi  ikan  merupakan nilai  persentase jumlah ikan yang hidup dalam suatu wadah selama masa pemeliharaan tertentu (Effendie, 1997). Kelangsungan hidup akan menentukan produksi ikan yang akan didapat dan berhubungan dengan ukuran ikan yang dipelihara. Kelangsungan hidup udang bergantung antara lain pada lingkungan hidup udang meliputi tanah dan air tempat (habitat) hidup udang. Kelayakan hidup udang ditentukan oleh derajat keasaman (pH), kadar garam (salinitas), kandungan oksigen terlarut, kandungan  amoniak,  H2S,  kecerahan  air,  kandungan  plankton,  dan  lain-lain (Hudi dan Shahab, 2005).
Selain  mempengaruhi  kelangsungan  hidup,  kualitas  lingkungan  juga dapat mempengaruhi pertumbuhan. Menurut Effendie (1997), pertumbuhan didefinisikan sebagai  perubahan ukuran,  baik  bobot  maupun  panjang  dalam suatu periode waktu tertentu. Hal yang membedakan dekapoda dengan organisme lain dalam proses pertumbuhan adalah adanya proses molting. Ada 2 hal terpenting dalam proses molting yaitu;
1. Melunaknnya lapisan kutikula yang lama yang terlepas dari epidermisnya
2. Pertumbuhan kutikula baru  yang  menggantikan kutikula lama  dan  diawali dengan pembentukan    lapisan    tipis    dan    elastis    yang    memungkinkan pemanjangan tubuh sebagai tanda pertumbuhan (Wickins dan Lee, 2002).
Genus  Penaeid, termasuk udang vaname mengalami pergantian kulit atau molting secara periodik untuk tumbuh. Proses molting berlangsung dalam 5 tahap yang bersifat kompleks, yaitu fase intermolt akhir, fase pre-molt, fase molt, fase post-molt, fase intermolt (Wickins dan Lee, 2002).
Menurut Haliman dan Adijaya (2004), waktu yang dibutuhkan untuk melakukan molting bergantung pada jenis dan umur udang. Nafsu makan udang mulai menurun pada 1-2 hari sebelum molting dan aktivitas makannya berhenti total sesaat akan molting. Persiapan yang dilakukan udang sebelum molting yaitu menyimpan cadangan makanan berupa lemak di dalam kelenjar pencernaan (hepatopankreas).
Molting pada udang ditandai dengan seringnya udang muncul ke permukaan air sambil meloncat-loncat. Gerakan ini bertujuan untuk membantu melonggarkan kulit luar udang dari tubuhnya. Gerakan tersebut merupakan salah satu cara mempertahankan diri karena cairan molting yang dihasilkan dapat merangsang udang lain untuk mendekat dan memangsa (kanibalisme). Pada saat molting berlangsung, otot perut melentur, kepala membengkak, dan kulit
luar  bagian  perut  melunak. Dengan  sekali  hentakan, kulit  luar  udang  dapat terlepas (Haliman dan Adijaya, 2004).
2.3 Tanah Tambak
Tanah yang digunakan untuk tambak udang sebaiknya jenis tanah liat berpasir untuk menghindari kebocoran air (Haliman dan Adijaya, 2004). Kondisi dasar tambak dapat berubah setiap waktu yang dipengaruhi oleh akumulasi residu bahan organik yang semakin meningkat seperti, ganggang yang mati, feses dan residu makanan yang menyebabkan tingginya konsumsi oksigen dan kurangnya tingkat pertumbuhan (Boyd, 1995 dalam Avnimelech et al., 2003).
Menurut Avnimelech et al. (2003), di kolam dengan kontruksi dasar tanah akan terjadi sedimentasi dari plankton dan residu makanan yang akan menyebabkan kondisi dasar tanah memburuk karena terjadi perubahan bahan di dasar tanah. Akumulasi yang berlebihan dari residu bahan organik akan menyebabkan perkembangan lingkungan anaerob, penurunan perkembangan biota, peningkatan kebutuhan oksigen, penghambatan pertumbuhan biota dan pembusukan dasar  kolam. Residu bahan organik dan nutrien yang ada di dalam kolam cenderung terakumulasi di dalam tanah sehingga beberapa bahan dapat hilang dari dalam air.
Kondisi substrat merupakan faktor kritis untuk udang jika dibandingkan dengan budidaya ikan lainnya sebab udang hidup di dasar perairan (Boyd, 1989; Chien,  1989  dalam  Ritvo  et  al.,  1996).  Pembentukan kondisi  anaerob  juga dipengaruhi oleh faktor produksi dan tingkat intensifikasi budidaya (Avnimelech et al., 2003).
2.4 Sulfur
Sulfur adalah unsur kimia dalam tabel periodik yang memiliki lambang S dan nomor atom 16. Bentuk sulfur adalah non-metal yang tak berasa, tak berbau dan  multivalent.  Sulfur  dalam  bentuk  aslinya  merupakan  sebuah  zat  padat kristalin kuning. Di alam belerang atau sulfur ini dapat ditemukan sebagai unsur murni atau sebagai mineral-mineral sulfit dan sulfat (http://id.wikipedia.org. 2008).
Sulfur (S) berada dalam bentuk organik dan anorganik. Sulfur anorganik
2-terutama terdapat dalam bentuk sulfat (SO4), yang merupakan bentuk sulfur
utama di perairan dan tanah (Rao, 1992 dalam Effendi, 2003). Di perairan, sulfur berikatan dengan  ion  hidrogen dan  oksigen. Hasil  akhir  dari  oksidasi  sulfur adalah  sulfat  (SO 2-), sedangkan  hasil  akhir  dari  reduksi  sulfat  adalah  H2S
 (Madigan et al., 1996). Beberapa bentuk sulfur di perairan adalah sulfida (S2), hidrogen sulfida (H2S), ferro sulfida (FeS), sulfur dioksida (SO2), sulfit (SO 2), dan Sulfat (SO4 (Effendi, 2003).
2.4.1 Sulfat
Ion sulfat yang bersifat larut dan merupakan bentuk oksidasi utama sulfur adalah salah satu anion utama di perairan (Effendi, 2003). Sulfat yang berikatan dengan hidrogen membentuk asam sulfat dan sulfat yang berikatan dengan logam alkali merupakan bentuk sulfur yang paling banyak ditemukan di danau
dan sungai (Cole, 1988 dalam Effendi, 2003).
Pada  umumnya bentuk  sulfur  di  air  permukaan adalah  sulfat  (SO 2-)
(Boyd, 1988). Pada perairan alami yang mendapat cukup aerasi biasanya tidak ditemukan adanya H2S karena telah teroksidasi menjadi sulfat (Effendi, 2003). Sulfat merupakan sulfur yang paling banyak dioksidasi, dan menjadi salah satu anion utama dalam air laut (Madigan et al., 1996). Kadar sulfat pada perairan tawar alami berkisar antara 2-80 mg/liter (Effendi, 2003).
2.4.2 Hidrogen Sulfida (H2S)
Hidrogen  sulfida  (H2S)  merupakan  gas  yang  tidak  berwarna,  toksik dengan bau yang sangat busuk. Menurut Wyk dan Scarpa (1999), H2S terjadi karena  dekomposisi bahan  organik  dalam  keadaan  anaerob.  Reduksi  anion sulfat menjadi hidrogen sulfida dalam proses dekomposisi bahan organik (persamaan    1.1    dan    1.2)    menimbulkan    bau    yang    kurang    sedap    dan meningkatkan korosivitas logam.
bakteri
SO 2-
+ bahan organik    S2-
+ H2O + CO2    (1.1)
anaerob
S2- + 2H+    H2S    (1.2)

Sumber  utama  H2S  adalah  dekomposisi  bahan  organik  oleh  bakteri heterotrof tanah (Desulfovibrio spp) dalam kondisi anaerob. Bakteri heterotrof
juga dapat mereduksi sulfit (SO 2-), tiosulfat (S2O 2-), dan hiposulfat (S2O 2-) serta unsur  sulfur  menjadi  hidrogen  sulfida  (H2S)  (Effendi,  2003).  Mikroorganisme 2- tersebut melakukan respirasi secara anaerob dengan mengunakan sulfat (SO4   )
sebagai elektron aseptor pengganti oksigen (Hanggono, 2005).
Pada kondisi aerob, hidrogen sulfida akan dioksidasi oleh bakteri Thiobacillus menjadi sulfat. Beberapa bakteri, misalnya Chlorobactriaceae dan Thiorhordaceae dapat mengoksidasi hidrogen sulfida menjadi sulfur. Perubahan hidrogen sulfida menjadi sulfur juga dapat terjadi dalam proses sintesis karbohidrat. Dalam reaksi tersebut (persamaan 1.3), hidrogen sulfida digunakan sebagai sumber hidrogen donor untuk membentuk kembali unsur sulfur, sebagai hasil samping dari sintesis karbohidrat (Effendi, 2003).
Cahaya
CO2 + 2H2S    (CH2O) + H2O + 2S    (1.3)
Karbohidrat
Toksisitas H2S akan meningkat seiring dengan penurunan kadar oksigen terlarut. Selain itu, H2S juga berdisosiasi ke dalam suatu kesetimbangan campuran dari HS- dan H+, proporsinya ditentukan oleh pH, suhu, dan salinitas. Kadar sulfida total kurang dari 0,002 mg/liter dianggap tidak membahayakan kelangsungan  hidup  organisme  akuatik  (Wyk  dan  Scarpa,  1999).  Hidrogen
sulfida sangat beracun bagi udang vaname meskipun pada konsentrasi rendah ± 0,05 mg/liter (Hanggono, 2005).
2.5 Arang Sekam
2.5.1 Sekam Padi
Salah satu bentuk limbah pertanian adalah    sekam yang merupakan buangan pengolahan padi. Sekam padi merupakan lapisan keras yang membungkus kariopsis butir gabah, terdiri atas dua belahan yang disebut lemma dan palea yang saling bertautan. Pada proses penggilingan gabah, sekam akan terpisah dari butir beras dan menjadi bahan sisa atau limbah penggilingan. Dari proses penggilingan gabah akan dihasilkan 16,3-28% sekam (Nugraha dan Setyawati, 2001).
Sekam  dikategorikan sebagai  biomassa  yang  dapat  digunakan  untuk berbagai kebutuhan seperti bahan baku industri, pakan ternak, dan energi (Nugraha dan Setyawati, 2001). Ditinjau dari komposisi kimiawinya, sekam mengandung beberapa unsur penting seperti terlihat pada Tabel 1 dan Tabel 2.
Tabel 1. Komposisi kimiawi sekam
Komponen    Kandungan (%) Kadar air        9,02
Protein kasar    3,03
Lemak    1,18
Serat kasar    35,68
Abu    17,71
Karbohidrat kasar    33,71
Sumber : Suharno (1979) dalam Nugraha dan Setyawati (2001)
2.5.2 Pembuatan Arang Sekam
Pembuatan  arang  sekam  dimaksudkan  untuk  memperbaiki  sifat  fisik sekam agar lebih mudah ditangani dan dimanfaatkan lebih lanjut. Salah satu kelemahan sekam bila digunakan langsung sebagai sumber energi panas adalah menimbulkan asap dan warna bahan berubah sehingga menurunkan kualitas bahan di samping menimbulkan polusi udara (Nugraha dan Setyawati, 2001). Tabel 2. Komposisi kimia arang sekam
Komponen    Kandungan (%)
Karbon (zat arang)    1,33
Hidrogen    1,54
Oksigen    33,64
Silika (SiO2)    16,98
Sumber : DTC-IPB dalam Nugraha dan Setyawati (2001)
Pembuatan arang sekam dapat dilakukan dengan berbagai cara, salah satunya    adalah    pembakaran    dengan    sistem    cerobong    asap.    Cerobong mempunyai diameter 10 cm, tinggi 1 m dan di sepanjang silinder dibuat lubang. Pada bagian bawah cerobong dibuat rumah cerobong berbentuk segi empat. Pembuatan arang sekam dilakukan dengan cara meletakkan bara api di lantai kemudian ditutup dengan sekam (Nugraha dan Setyawati, 2001).
2.6 Pencucian Tanah Tambak Menggunakan Air Tawar
Prinsip dari pencucian tanah tambak dengan menggunakan air tawar ini hampir sama dengan prinsip pergantian air di kolam. Penggunaan air tawar ini bertujuan untuk melarutkan kandungan H2S yang konsentrasinya sangat tinggi yang terdapat pada tanah tambak pascapanen.
Air tawar digunakan sebagai media pencucian karena air tawar mempunyai kandungan sulfur yang sangat kecil (5 mg/liter) jika dibandingkan dengan air laut yang kandungan sulfurnya sangat tinggi hingga 900 mg/liter (Boyd, 1990).
2.7 Kapur
Kapur yang digunakan di tambak (Tabel 3) berfungsi untuk meningkatkan kesadahan dan alkalinitas air membentuk sistem penyangga (buffer) yang kuat, meningkatkan pH, desinfektan, mempercepat dekomposisi bahan organik, mengendapkan besi, menambah ketersediaan unsur P, dan merangsang pertumbuhan plankton serta benthos (Chanratchakool, 1995). Bentuk kapur yang paling tepat digunakan pada air payau atau salin (air laut) adalah kapur bakar CaO atau kapur hidrat Ca(OH)2, karena kalsium karbonat CaCO3  kurang larut dalam air laut.
Tabel 3. Jenis kapur yang dapat digunakan di tambak
No    Jenis kapur    Formula    Kadar Ca2+
1    Kalsium karbonat atau kapur kalsit atau kapur pertanian (Kaptan)
CaCO3    40%
2    Kapur Oksida atau quicklime atau kapur bakar    CaO    71 %
3    Kapur Hidrat atau slaked lime atau kalsium hidroksida Ca(OH)2    54 %
4    Kapur Dolomit    CaMg(CO3)2    Tidak ada info
Sumber : Chanratchakool, 1995
2.8 Kualitas air
Air sebagai media tempat hidup organisme perairan perlu dijaga kualitas maupun kuantitasnya karena mempengaruhi kehidupan organisme tersebut. Kualitas air meliputi fisika dan kimia perairan, diantaranya adalah amoniak, suhu, pH, dan oksigen terlarut (DO) yang semuanya berkaitan dengan hasil produksi ikan. Lingkungan yang buruk atau perubahan secara tiba-tiba memicu ikan mengalami stres sehingga mudah terserang penyakit parasiter dan non-parasiter, bahkan tidak menutup kemungkinan terjadinya kematian.
Amoniak  (NH3)  dan  garam-garamnya bersifat  mudah  larut  dalam  air. Toksisitas amoniak terhadap organisme akuatik akan meningkat jika terjadi penurunan kadar DO,  serta peningkatan pH  dan  suhu. Persentase amoniak bebas meningkat dengan meningkatnya nilai pH dan suhu perairan. Pada pH ≤ 7, sebagian besar amoniak akan mengalami ionisasi. Sebaliknya, pada pH > 7, amoniak tak terionisasi yang bersifat toksik terdapat dalam jumlah lebih banyak (Novotny dan Olem, 1994 dalam Effendi, 2003). Amoniak sangat beracun bagi udang  vaname  meskipun pada  konsentrasi rendah  ±  0,1  mg/liter  (Wyk  dan Scarpa, 1999).
Suhu air sangat berkaitan erat dengan konsentrasi oksigen terlarut dan laju konsumsi hewan air. Peningkatan suhu perairan sebesar 10oC menyebabkan terjadinya peningkatan konsumsi oksigen oleh organisme akuatik sekitar 2-3 kali lipat (Boyd, 1982). Perubahan suhu berpengaruh terhadap proses fisika, kimia, dan biologi badan air (Effendi, 2003). Suhu optimal untuk pertumbuhan udang antara 26-32°C (Haliman dan Adijaya, 2004).
Derajat keasaman (pH) merupakan gambaran konsentrasi ion hidrogen (Boyd,1982).    Nilai    pH    merupakan    parameter    lingkungan    yang    bersifat mengontrol laju metabolisme melalui pengendaliannya terhadap aktifitas enzim, kisaran pH yang baik untuk pertumbuhan ikan adalah 6,5-9,0 (Boyd, 1982). Udang vaname sensitif terhadap perubahan pH dan hidup optimum udang vaname pada nilai pH sekitar 7-8,3 (Wyk dan Scarpa, 1999).
Oksigen yang terdapat dalam air laut terdiri dari dua bentuk senyawa
yaitu terikat dengan unsur lain seperti NO3-, NO2-, PO 3-, H2O, CO2, dan CO 2-
maupun sebagai molekul bebas (O2). Di tambak, oksigen terlarut merupakan faktor  pembatas. Oksigen dibutuhkan udang  untuk  respirasi, proses  fisiologi ketika sel mengoksidasi karbohidrat dan melepas energi yang dibutuhkan untuk metabolisme nutrient dari pakan. Konsentrasi oksigen terlarut optimum untuk hidup udang vaname 5-9 mg/liter (Wyk dan Scarpa, 1999).

1 comment:

  1. Kami menyediakan mineral alam zeolite, CaO (Kapur tohor) dan CaCO3 (kapatan). Hubungi 085863093505 or www.zeolitecikembar.blogspot.com

    ReplyDelete