Perairan umum adalah suatu genangan air yang relatif luas yang dimiliki dan dikuasai oleh negara serta dimanfaatkan untuk kepentingan dan kesejahteraan masyarakat. Perairan umum meliputi danau, waduk, rawa, dan sungai. Pada umumnya perairan umum dimanfaatkan oleh masyarakat untuk kegiatan transportasi, penangkapan ikan, dan sebagai sumber air untuk kehidupan rumah tangga, serta sebagai plasma nutfah perairan.
Luas perairan umum di Indonesia sekitar 55 juta Ha (Anonim 1995) yang meliputi danau, waduk, sungai, dan rawa dengan potensi pengembangan usaha budidaya sebesar 550,000 Ha (Rukyani 2001). Syandri & Agustedi (1996) membagi perairan umum berdasarkan wilayah menjadi 6 Kawasan yaitu : Kawasan budidaya, lindung, penangkapan, perhubungan, wisata dan kawasan bahaya.
Seperti kita ketahui bersama bahwa Indonesia merupakan wilayah yang memiliki keanekagaraman hayati yang tinggi. Kottelat et al. (1993) menyatakan bahwa di Amerika Selatan memiliki jenis ikan sebanyak 5000 jenis, di Sungai Kapuas, Kalimantan sebanyak
310 jenis dan di Indonesia Bagian Barat serta Sulawesi terrdapat sekitar 900 jenis ikan air tawar dan 25 jenis ikan tersebut mempunyai nilai ekonomis tinggi.
Menurut Anonim (1993) di sekitar daerah aliran sungai (DAS) Batang hari terdapat sekitar 14 ordo, 24 famili, dan 131 spesies. Jenis ikan yang mempunyai nilai ekonomi penting sebagai sumber protein antara lain ikan patin, jelawat, belida, baung dan betutu, sedangkan jenis ikan yang berpotensi untuk ikan hias adalah botia, arwana, tilan, dan sebagainya. Jumlah dan jenis ikan yang demikian besar ini memiliki potensi penting dan hendaknya tidak diabaikan. Banyak ikan yang belum diketahui manfaat secara langsung yang sesunggguhnya memiliki peran penting dalam produksi perikanan karena kedudukannya dalam rantai kehidupan.
Disisi lain ikan-ikan perairan umum yang potensial ini juga sedang mengalami ancaman yang cukup mengkhawatirkan. Menurut Kottelat et al. (1993) ancaman yang serius terhadap kelangsungan hidup dan habitat ikan adalah penggundulan hutan. Ada 4 alasan yang mendukung hal ini yaitu, Pertama, banyak jenis ikan yang hidupnya bergantung kepada bahan yang berasal dari binatang dan tumbuhan yang jatuh ke dalam air serta vegetasi yang menggantung di atas air. Kedua, kenaikan suhu yang disebabkan berkurangnya naungan. Dengan naiknya suhu air maka konsentrasi oksigen terlarut dalam air akan menurun pula. Ketiga, meningkatnya kekeruhan air karena endapan yang menumpuk, yang berasal dari tanah yang terhanyut dalam sungai. Lumpur ini dapat menyebabkan kematian ikan, alga dan organisme lainnya serta menyebabkan pendangkalan dan penyempitan sungai. Keempat, adanya hutan terutama hutan-hutan yang tergenang air akan menciptakan habitat yang beragam dan bersifat heterogen yang tercermin dari keanekaragaman hayatinya. Selain penggundulan hutan ancaman lainnya adalah dari pencemaran. Menurut Kottelat et al. (1993) bentuk pencemaran utama yang terdapat di sungai dan danau adalah limbah organik yang berasal dari rumah tangga dan saluran pembuangan, serta limbah industri yang berupa bahan pewarna dan logam berat, serta pestisida dan herbisida yang digunakan untuk kegiatan pertanian. Selain hal tersebut di atas para peneliti dan praktisi perikanan mengungkapkan bahwa banyak jenis ikan asli perairan umum terancam punah akibat penangkapan yang tidak terkendali maupun penang- kapan dengan menggunakan bahan kimia.
Dengan adanya berbagai macam ancaman di atas maka banyak jenis ikan asli Indonesia terutama dari perairan umum yang terancam punah. Kottelat et al. (1993) menjelaskan bahwa terdapat 29 jenis yang berasal dari Indonesia, yang masuk Daftar Jenis Ikan
Terancam Punah. Jenis ikan tersebut antara lain: ikan balahark (Balantiocheilos melanopterus), ikan botia (Botia macracnthus), semua jenis ikan tor (Tor spp.), beberapa jenis ikan rasbora, dan ikan arwana (Scleropages formosus) dan sudah terdaftar dalam CITES (Convention on International Trade for Endangered Species) sebagai ikan yang dilindungi. Anonim (1993) melaporkan bahwa ada tujuh jenis ikan asli daerah ini yang terancam punah, antara lain ikan chaka-chaka dan ikan botia. Di danau Singkarak salah satu jenis ikan yang mempunyai nilai ekonomi penting dan berstatus langka adalah ikan bilih (Mystacoleucus padangensis) dan perlu dilindungi dan dilestarikan keberadaannya (Syandri & Agustedi 1996). Untuk mencegah terjadinya kepunahan terhadap berbagai jenis ikan asli Indonesia yang merupakan kekayaan plasma nutfah sebagai sumber kehidupan, maka perlu adanya upaya pelestarian dalam rangka menjaga keberadaannya secara berkelanjutan (langgeng). Oleh karena itu pelestarian plasma nutfah perairan, terutama berbagai jenis ikan, adalah sangat diperlukan demi untuk menjaga keberadaannya baik sekarang maupun yang akan datang sebagai sumber kehidupan.
Pelestarian Plasma Nutfah
Di dalam Tatalaksana untuk Perikanan yang Bertanggungjawab menurut Anonim (1995) dijelaskan bahwa Negara dan para pengguna sumberdaya hayati akutik harus melakukan konservasi ekosistem akuatik. Dalam hak menangkap ikan terkandung pula kewajiban untuk melakukan konservasi dengan cara yang bertanggung jawab sedemikian rupa sehingga dapat menjamin konservasi dan pengelolaan sumberdaya hayati akuatik secara efektif. Selanjutnya dijelaskan bahwa pengelolaan perikanan harus menunjukkan pemeliharaan mutu keanekaragaman dan ketersediaan sumberdaya perikanan dalam jumlah yang cukup untuk generasi kini dan mendatang dalam konteks ketahanan pangan, pengentasan kemiskinan dan pembangunan berkelanjutan. Langkah-langkah pengelolaan seharusnya tidak hanya menjamin konservasi spesies target tetapi juga spesies yang mendiami ekosistem yang sama atau yang terkait atau tergantung pada spesies target. Sehubungan hal tersebut diatas, maka pelesatarian plasma nutfah merupakan mandat bukan hanya dari pemerintahan tingkat nasional tetapi juga masyarakat Internasional yang harus segera dilaksanakan. Pelestarian plasma nutfah mempunyai arti suatu cara atau proses kerja untuk melestarikan atau menjaga keberadaan plasma nutfah untuk tetap seperti sediakala.
Sedangkan plasma nutfah yang dimaksud dalam bahasan ini terbatas pada keragaman berbagai jenis ikan yang ada di perairan umum baik di sungai, danau maupun rawa. Pada dasarnya kegiatan pelestarian plasama nutfah sudah banyak dilakukan oleh manusia antara lain di Sektor Kehutanan dengan terbentuknya Taman Nasional Kerinci Sebelat di daerah Kerinci, Taman Hutan Rawa Berbak di daerah Tanjung Jabung Timur, Kawasan Konservasi Penyu di Ujung Genteng daerah Sukabumi, namun untuk Perikanan masih jarang dilakukan.
Menurut para ahli pada prinsipnya pelestarian plasma nutfah dapat dilakukan dengan dua cara yaitu in-situ dan ex-situ (Vaughan & Chang 1992; Brush 1991; Pullin 1991). Secara in-situ dapat diartikan bahwa kegiatan pelestarian dilakukan di tempat asalnya atau habitatnya, sedangkan ex-situ dilakukan diluar habitatnya atau tempat yang baru. Sehubungan hal tersebut maka pelestarian plasma nutfah ikan-ikan perairan umum secara garis besar dapat dilakukan dengan dua cara yaitu in-situ dan ex-situ (lihat lampiran).
Pelestarian Plasma Nutfah secara In-situ
Kegiatan pelestarian ini dilakukan di daerah habitat dimana merka berada dan tinggal sesuai dengan siklus hidupnya. Untuk ikan-ikan perairan umum mereka hidup di dalam sungai, rawa, danau dan tempat alami lainnya. Cara in-situ ini dapat dibagi menjadi dua, pertama perlindungan terhadap ikan secara dogmatis (kepercayaan) dimana ikan tersebut dapat hidup dengan tenang tanpa ada gangguan dari manusia karena mereka mempunyai kepercayaan bahwa bila ikan tersebut ditangkap, dimakan atau diganggu akan mengakibatkan malapetaka bagi manusia yang mengganggunya. Jika ikan tersebut mati maka harus dikubur dan dibungkus dengan kain kafan seperti ikan kancra (Top sp.) di Cibulan, Kuningan Jawa Barat. Tempat tersebut merupakan habitat ikan kancra berupa sumber air yang sangat jernih dan dikeramatkan. Konservasi secara kepercayaan ini mungkin masih banyak contoh lainnya seperti terhadap ikan lele, sidat, dan jenis ikan lainnya.
Kedua perlindungan yang dibentuk atas kebijakan pemerintah. Cara ini sangat ditentukan oleh kemauan pemerintah dan masyarakatnya dalam melindungi berbagai jenis ikan asli Indonesia untuk tetap lestari yaitu dengan membentuk daerah-daerah konservasi dan pembentukan daerah suaka perikanan di daerah tertentu seperti sungai, danau atau rawa dimana jenis ikan tersebut berasal.
Untuk membentuk daerah suaka atau konservasi perikanan maka diperlukan beberapa langkah kegitan :
a. Survey identifikasi daerah habitat dan jenis ikannya, hal ini guna mengetahui tempat-tempat mereka hidup untuk bertelur (spawning ground), tempat mengasuh anaknya (nursery ground) dan ikan dewasa tinggal.
b. Pembentukan tata ruang baik di danau atau waduk maupun di daerah aliran sungai (DAS) yang berupa kawasan atau zonasi:
1. Kawasan reservat, terutama untuk tempat dimana induk ikan berada dan sebagai tempat bertelur. Daerah ini adalah daerah larangan dimana kegiatan penangkapan dilarang bagi siapapun. Pengelolaan perikanan sungai dan rawa dengan sistem reservat ini telah dikembangkan oleh Hoggarth (2000) yaitu reservat konservasi yang biasanya ditutup secara permanen, sedangkan reservat perikanan tidak selalu ditutup sepanjang tahun.
2. Kawasan penangkapan dimana tempat ini diperbolehkan para nelayan melakukan penangkapan, dan daerah ini merupakan juga zona ekonomi.
3. Kawasan budidaya, tempat ini disediakan untuk kegiatan budidaya, pemeliharaan ikan dengan menggunakan karamba apung atau jaring apung.
4. Kawasan pariwisata biasanya untuk perairan danau atau waduk dimana terdapat tempat untuk rekreasi.
5. Kawasan bahaya terutama pada perairan waduk dimana terdapat pembangkit tenaga listrik. Zona ini sangat membahayakan baik terhadap keselamatan manusia maupun alat pembangkit listrik itu sendiri.
6. Kawasan transportasi terutama perairan sungai yang besar ataupun danau/waduk dimana terdapat tempat rekreasi.
c. Melakukan penebaran ke daerah tertentu (restocking), ikan yang ditebar tentunya harus sesuai dengan habitatnya dan ukurannya. Tujuan penebaran ini ada dua macam pertama untuk menambah populasi ikan agar tetap lestari dan kedua untuk meningkatkan jumlah tangkapan sebagai sumber pangan.
d. Membuat perangkat peraturan tentang konservasi atau reservat maupun peraturan tentang perikanan yang menyangkut pengelolaan perairan umum. Peraturan ini dapat berasal dari pemerintah daerah maupun adat setempat.
e. Mencegah terjadinya kerusakan lingkungan dan masuknya bahan pencemar (polutan) yang berasal dari limbah industri, rum tangga dan pabrik.
Dari uraian tersebut diatas maka untuk melakukan pelestarian ikan perairan umum secara in-situ diperlukan keterlibatan banyak pihak terutama pemerintah, masyaraktat, LSM, sektor pertanian, kehutanan, industri dan pertambangan. Kelihatannya faktor kerjasama dan koordinasi lebih dominan dibandingkan dengan biaya investasi.
Pelestarian PlasmaNutfah secara Ex-situ
Pelestarian ikan-ikan perairan umum secara ex-situ adalah pelestarian plasma nutfah di luar habitatnya. Ikan-ikan tersebut dipelihara atau dikoleksi ditempat yang baru yang telah dimodifikasi seperti kondisi lingkungan asalnya. Cara ex-situ dapat dikelompokan menjadi dua macam. Pertama, cryopreservation atau dengan carapengawetan. Cara ini sudah mulai digunakan oleh para ahli untuk menyimpan sperma atau embryo dalam jangka waktu yang cukup panjang yang sewaktu-waktu dapat digunakan atau ditumbuhkan kembali. Namun cara pengawetan ini memerlukan biaya investasi cukup besar. Kedua membuat modifikasi habitat, sehingga tempat yang baru tersebut menyerupai atau mendekati dengan kondisi lingkungan aslinya. Habitat baru ini dapat berupa kolam, waduk, bak, atau penampungan air lainnya. Ada dua kepentingan dalam cara ini yaitu hanya untuk pelestarian plasma nutfah saja, dan kepentingan plasma nutfah dan aspek ekonomi (aquaculture). Jika hanya untuk kepentingan plasma nutfah biasanya lebih bersifat koleksi. Ikan-ikan tersebut disimpan dalam suatu kolam, taman-taman akuarium atau penampungan air lainnya sebagai ikan koleksi. Cara ini banyak dilakukan oleh para penggemar ikan (hobbiest), tempat rekreasi, maupun tempat-tempat milik raja. Untuk kepentingan plasma nutfah dan ekonomi, dilakukan di kolam atau penampungan air lainnya secara terkontrol. Ikan-ikan tersebut dipelihara secara intensif untuk dapat beradaptasi, tumbuh berkembang dan dapat dibiakan serta dapat dibudidayakan baik skala laboratorium maupun komersial. Untuk itu beberapa hal yang harus dilakukan:
a. Domestikasi yaitu kegiatan pengadaptasian ikan- ikan alam (wild species) terhadap lingkungan baru seperti kolam, bak, pakan buatan, penanganan (handling) dan penangan secara terkontrol. Tujuan domestikasi ini adalah agar ikan dapat menyesuaikan diri dengan kondisi lingkungan baru secara terkontrol dan respon terhadap pakan buatan sehingga dapat tumbuh dan berkembang serta matang telur dan dapat dipijahkan. Didalam melakukan domestikasi ini ada beberapa hal yang harus diketahui antara lain sifat-sifat biologi, genetik, penyakit dan aspek sosial ekonomi spesies yang didomestikasi.
b. Produksi benih skala laboratorium, bagi ikan-ikan yang telah terdomestikasi (jinak) maka dilakukan pemijahan baik secara alami maupun secara buatan untuk dapat menghasilkan benih. Pada skala laboratorium ini biasanya teknologi produksi masih sangat terbatas dengan tingkat keberhasilan pemijahan terbatas, daya tetas telur yang rendah, kelangsungan hidup benih rendah, dan secara ekonomi tidak menguntungkan.
c. Produksi benih skala komersial, pada skala ini sudah memasukkan aspek ekonomi yang menguntungkan. Teknologi yang dikembangkan sudah dapat diterapkan di tingkat pembenih dan secara ekonomis menguntungkan. Biasanya teknologi ini ditandai dengan tingkat keberhasilan yang tinggi baik pada tingkat pemijahan, penetasan telur dan kelangsungan hidup benih, sehinggga dapat menghasilkan benih dalam jumlah yang banyak.
d. Transfer teknologi, penyebarluasan dan mem- perkenalkan jenis ikan kepada pembudidaya sangat dibutuhkan dalam rangka mengembangkan jenis ikan alam (wild species) menjadi spesies yang dibudidayakan. Hal yang sangat penting dalam tahap ini adalah kesiapan teknologi terapan, kesiapan induk ikan dan sarana tempat pelatihanpara pembudidaya, sehingga ikan tersebut dapat dikembangkan dan dibudidayakan yang pada akhirnya dapat dilestarikan oleh para pembudidaya serta terhindar dari ancaman kepunahan.
Pelestarian ikan-ikan perairan umum melalui sistem budidaya ini mungkin lebih menarik dibandingkan dengan sistem konservasi dan reservat, walaupun diperlukan biaya investasi yang relatif besar serta jenis ikan yang dikembangkan harus mempunyai syarat secara ekonomi menguntungkan (profitable) dan secara social dapat diterima oleh masyarakat luas (acceptable). Benih ikan yang dihasilkan dari tempat pembenihan (hatchery) ini juga dapat digunakan untuk penebaran perairan umum (restocking).
Kegiatan yang dilakukan pada saat ini lebih banyak kegiatan yang diarahkan pada pelestarian ikan secara ex-situ dengan sistem budidaya (aquaculture), mengingat cara ini nampaknya lebih sederhana tidak kompleks seperti secara in-situ. Untuk waktu yang akan datang tidak menutup kemungkinan melakukan pelestarian ikan perairan umum secara in-situ bekerjasama dengan instansi terkait seperti pemerintah daerah, tokoh masyarakat, dan lembaga penelitian serta perguruan tinggi.
Kegiatan-kegiatan yang dilakukan tahun 2002 ;
a. Koleksi ikan :
Beberapa jenis ikan perairan umum yang telah dikoleksi di kolam yaitu ikan betook, tambakan, sepat siam, semah, labi-labi, kapiat dan tilan. Ikan- ikan tersebut dipelihara di dalam kolam dan belum ditangani secara intensif. Khusus untuk ikan betook dan sepat dapat dipijahkan secara masal dan alami guna penebaran perairan.
b. Domestikasi :
Jenis ikan yang didomestikasi yaitu ikan arwana, kapiat/lampam, dan semah. Ikan arwana ini disamping tergolong ikan langka juga banyak diminati oleh masyarakat terutama untuk ikan hias dan mempunyai harga yang tinggi
c. Produksi benih skala laboratorium :
Ada dua jenis ikan yaitu ikan botia dan belida. Ikan botia merupakan ikan asli Sumatera yang mempunyai harga yang cukup tinggi, dan ikan ini diperdagangan sebagai ikan hias dieksport ke mancanegara seperti Eropa dan Amerika Serikat. Ikan belida disamping diperdagangkan sebagai ikan hias (berukuran kecil) juga sebagai makanan masyarakat lokal seperti daerah Sumatera Selatan, Jambi dan Riau.
d. Produksi benih skala masal :
Termasuk kegiatan ini adalah ikan patin jambal
(Pangasius djambal) dan ikan baung. Kedua jenis ikan ini disukai oleh masyarakat Riau, Jambi dan Palembang untuk ikan konsumsi dan mempunyai harga yang cukup tinggi. Untuk jenis patin lokal, kegiatan ini merupakan kegiatan lanjutan yang telah dilakukan pada tahun-tahun sebelumnya. Domestikasi patin lokal ini telah dilakukan bekerjasama dengan IRD (Ex-ORSTOM) Perancis sejak tahun 1997.
Berdasarkan kegiatan tersebut di atas diharapkan bahwa pada tahun 2003 yang akan datang sudah dapat dilakukan penyebaran teknologi ikan patin lokal dan baung dan termasuk penyediaan induk/calon induknya. Pelestarian jenis ikan patin lokal ini pada akhirnya dapat dilakukan oleh para pembenih maupun pembudidaya (farm level).
Luas perairan umum di Indonesia sekitar 55 juta Ha (Anonim 1995) yang meliputi danau, waduk, sungai, dan rawa dengan potensi pengembangan usaha budidaya sebesar 550,000 Ha (Rukyani 2001). Syandri & Agustedi (1996) membagi perairan umum berdasarkan wilayah menjadi 6 Kawasan yaitu : Kawasan budidaya, lindung, penangkapan, perhubungan, wisata dan kawasan bahaya.
Seperti kita ketahui bersama bahwa Indonesia merupakan wilayah yang memiliki keanekagaraman hayati yang tinggi. Kottelat et al. (1993) menyatakan bahwa di Amerika Selatan memiliki jenis ikan sebanyak 5000 jenis, di Sungai Kapuas, Kalimantan sebanyak
310 jenis dan di Indonesia Bagian Barat serta Sulawesi terrdapat sekitar 900 jenis ikan air tawar dan 25 jenis ikan tersebut mempunyai nilai ekonomis tinggi.
Menurut Anonim (1993) di sekitar daerah aliran sungai (DAS) Batang hari terdapat sekitar 14 ordo, 24 famili, dan 131 spesies. Jenis ikan yang mempunyai nilai ekonomi penting sebagai sumber protein antara lain ikan patin, jelawat, belida, baung dan betutu, sedangkan jenis ikan yang berpotensi untuk ikan hias adalah botia, arwana, tilan, dan sebagainya. Jumlah dan jenis ikan yang demikian besar ini memiliki potensi penting dan hendaknya tidak diabaikan. Banyak ikan yang belum diketahui manfaat secara langsung yang sesunggguhnya memiliki peran penting dalam produksi perikanan karena kedudukannya dalam rantai kehidupan.
Disisi lain ikan-ikan perairan umum yang potensial ini juga sedang mengalami ancaman yang cukup mengkhawatirkan. Menurut Kottelat et al. (1993) ancaman yang serius terhadap kelangsungan hidup dan habitat ikan adalah penggundulan hutan. Ada 4 alasan yang mendukung hal ini yaitu, Pertama, banyak jenis ikan yang hidupnya bergantung kepada bahan yang berasal dari binatang dan tumbuhan yang jatuh ke dalam air serta vegetasi yang menggantung di atas air. Kedua, kenaikan suhu yang disebabkan berkurangnya naungan. Dengan naiknya suhu air maka konsentrasi oksigen terlarut dalam air akan menurun pula. Ketiga, meningkatnya kekeruhan air karena endapan yang menumpuk, yang berasal dari tanah yang terhanyut dalam sungai. Lumpur ini dapat menyebabkan kematian ikan, alga dan organisme lainnya serta menyebabkan pendangkalan dan penyempitan sungai. Keempat, adanya hutan terutama hutan-hutan yang tergenang air akan menciptakan habitat yang beragam dan bersifat heterogen yang tercermin dari keanekaragaman hayatinya. Selain penggundulan hutan ancaman lainnya adalah dari pencemaran. Menurut Kottelat et al. (1993) bentuk pencemaran utama yang terdapat di sungai dan danau adalah limbah organik yang berasal dari rumah tangga dan saluran pembuangan, serta limbah industri yang berupa bahan pewarna dan logam berat, serta pestisida dan herbisida yang digunakan untuk kegiatan pertanian. Selain hal tersebut di atas para peneliti dan praktisi perikanan mengungkapkan bahwa banyak jenis ikan asli perairan umum terancam punah akibat penangkapan yang tidak terkendali maupun penang- kapan dengan menggunakan bahan kimia.
Dengan adanya berbagai macam ancaman di atas maka banyak jenis ikan asli Indonesia terutama dari perairan umum yang terancam punah. Kottelat et al. (1993) menjelaskan bahwa terdapat 29 jenis yang berasal dari Indonesia, yang masuk Daftar Jenis Ikan
Terancam Punah. Jenis ikan tersebut antara lain: ikan balahark (Balantiocheilos melanopterus), ikan botia (Botia macracnthus), semua jenis ikan tor (Tor spp.), beberapa jenis ikan rasbora, dan ikan arwana (Scleropages formosus) dan sudah terdaftar dalam CITES (Convention on International Trade for Endangered Species) sebagai ikan yang dilindungi. Anonim (1993) melaporkan bahwa ada tujuh jenis ikan asli daerah ini yang terancam punah, antara lain ikan chaka-chaka dan ikan botia. Di danau Singkarak salah satu jenis ikan yang mempunyai nilai ekonomi penting dan berstatus langka adalah ikan bilih (Mystacoleucus padangensis) dan perlu dilindungi dan dilestarikan keberadaannya (Syandri & Agustedi 1996). Untuk mencegah terjadinya kepunahan terhadap berbagai jenis ikan asli Indonesia yang merupakan kekayaan plasma nutfah sebagai sumber kehidupan, maka perlu adanya upaya pelestarian dalam rangka menjaga keberadaannya secara berkelanjutan (langgeng). Oleh karena itu pelestarian plasma nutfah perairan, terutama berbagai jenis ikan, adalah sangat diperlukan demi untuk menjaga keberadaannya baik sekarang maupun yang akan datang sebagai sumber kehidupan.
Pelestarian Plasma Nutfah
Di dalam Tatalaksana untuk Perikanan yang Bertanggungjawab menurut Anonim (1995) dijelaskan bahwa Negara dan para pengguna sumberdaya hayati akutik harus melakukan konservasi ekosistem akuatik. Dalam hak menangkap ikan terkandung pula kewajiban untuk melakukan konservasi dengan cara yang bertanggung jawab sedemikian rupa sehingga dapat menjamin konservasi dan pengelolaan sumberdaya hayati akuatik secara efektif. Selanjutnya dijelaskan bahwa pengelolaan perikanan harus menunjukkan pemeliharaan mutu keanekaragaman dan ketersediaan sumberdaya perikanan dalam jumlah yang cukup untuk generasi kini dan mendatang dalam konteks ketahanan pangan, pengentasan kemiskinan dan pembangunan berkelanjutan. Langkah-langkah pengelolaan seharusnya tidak hanya menjamin konservasi spesies target tetapi juga spesies yang mendiami ekosistem yang sama atau yang terkait atau tergantung pada spesies target. Sehubungan hal tersebut diatas, maka pelesatarian plasma nutfah merupakan mandat bukan hanya dari pemerintahan tingkat nasional tetapi juga masyarakat Internasional yang harus segera dilaksanakan. Pelestarian plasma nutfah mempunyai arti suatu cara atau proses kerja untuk melestarikan atau menjaga keberadaan plasma nutfah untuk tetap seperti sediakala.
Sedangkan plasma nutfah yang dimaksud dalam bahasan ini terbatas pada keragaman berbagai jenis ikan yang ada di perairan umum baik di sungai, danau maupun rawa. Pada dasarnya kegiatan pelestarian plasama nutfah sudah banyak dilakukan oleh manusia antara lain di Sektor Kehutanan dengan terbentuknya Taman Nasional Kerinci Sebelat di daerah Kerinci, Taman Hutan Rawa Berbak di daerah Tanjung Jabung Timur, Kawasan Konservasi Penyu di Ujung Genteng daerah Sukabumi, namun untuk Perikanan masih jarang dilakukan.
Menurut para ahli pada prinsipnya pelestarian plasma nutfah dapat dilakukan dengan dua cara yaitu in-situ dan ex-situ (Vaughan & Chang 1992; Brush 1991; Pullin 1991). Secara in-situ dapat diartikan bahwa kegiatan pelestarian dilakukan di tempat asalnya atau habitatnya, sedangkan ex-situ dilakukan diluar habitatnya atau tempat yang baru. Sehubungan hal tersebut maka pelestarian plasma nutfah ikan-ikan perairan umum secara garis besar dapat dilakukan dengan dua cara yaitu in-situ dan ex-situ (lihat lampiran).
Pelestarian Plasma Nutfah secara In-situ
Kegiatan pelestarian ini dilakukan di daerah habitat dimana merka berada dan tinggal sesuai dengan siklus hidupnya. Untuk ikan-ikan perairan umum mereka hidup di dalam sungai, rawa, danau dan tempat alami lainnya. Cara in-situ ini dapat dibagi menjadi dua, pertama perlindungan terhadap ikan secara dogmatis (kepercayaan) dimana ikan tersebut dapat hidup dengan tenang tanpa ada gangguan dari manusia karena mereka mempunyai kepercayaan bahwa bila ikan tersebut ditangkap, dimakan atau diganggu akan mengakibatkan malapetaka bagi manusia yang mengganggunya. Jika ikan tersebut mati maka harus dikubur dan dibungkus dengan kain kafan seperti ikan kancra (Top sp.) di Cibulan, Kuningan Jawa Barat. Tempat tersebut merupakan habitat ikan kancra berupa sumber air yang sangat jernih dan dikeramatkan. Konservasi secara kepercayaan ini mungkin masih banyak contoh lainnya seperti terhadap ikan lele, sidat, dan jenis ikan lainnya.
Kedua perlindungan yang dibentuk atas kebijakan pemerintah. Cara ini sangat ditentukan oleh kemauan pemerintah dan masyarakatnya dalam melindungi berbagai jenis ikan asli Indonesia untuk tetap lestari yaitu dengan membentuk daerah-daerah konservasi dan pembentukan daerah suaka perikanan di daerah tertentu seperti sungai, danau atau rawa dimana jenis ikan tersebut berasal.
Untuk membentuk daerah suaka atau konservasi perikanan maka diperlukan beberapa langkah kegitan :
a. Survey identifikasi daerah habitat dan jenis ikannya, hal ini guna mengetahui tempat-tempat mereka hidup untuk bertelur (spawning ground), tempat mengasuh anaknya (nursery ground) dan ikan dewasa tinggal.
b. Pembentukan tata ruang baik di danau atau waduk maupun di daerah aliran sungai (DAS) yang berupa kawasan atau zonasi:
1. Kawasan reservat, terutama untuk tempat dimana induk ikan berada dan sebagai tempat bertelur. Daerah ini adalah daerah larangan dimana kegiatan penangkapan dilarang bagi siapapun. Pengelolaan perikanan sungai dan rawa dengan sistem reservat ini telah dikembangkan oleh Hoggarth (2000) yaitu reservat konservasi yang biasanya ditutup secara permanen, sedangkan reservat perikanan tidak selalu ditutup sepanjang tahun.
2. Kawasan penangkapan dimana tempat ini diperbolehkan para nelayan melakukan penangkapan, dan daerah ini merupakan juga zona ekonomi.
3. Kawasan budidaya, tempat ini disediakan untuk kegiatan budidaya, pemeliharaan ikan dengan menggunakan karamba apung atau jaring apung.
4. Kawasan pariwisata biasanya untuk perairan danau atau waduk dimana terdapat tempat untuk rekreasi.
5. Kawasan bahaya terutama pada perairan waduk dimana terdapat pembangkit tenaga listrik. Zona ini sangat membahayakan baik terhadap keselamatan manusia maupun alat pembangkit listrik itu sendiri.
6. Kawasan transportasi terutama perairan sungai yang besar ataupun danau/waduk dimana terdapat tempat rekreasi.
c. Melakukan penebaran ke daerah tertentu (restocking), ikan yang ditebar tentunya harus sesuai dengan habitatnya dan ukurannya. Tujuan penebaran ini ada dua macam pertama untuk menambah populasi ikan agar tetap lestari dan kedua untuk meningkatkan jumlah tangkapan sebagai sumber pangan.
d. Membuat perangkat peraturan tentang konservasi atau reservat maupun peraturan tentang perikanan yang menyangkut pengelolaan perairan umum. Peraturan ini dapat berasal dari pemerintah daerah maupun adat setempat.
e. Mencegah terjadinya kerusakan lingkungan dan masuknya bahan pencemar (polutan) yang berasal dari limbah industri, rum tangga dan pabrik.
Dari uraian tersebut diatas maka untuk melakukan pelestarian ikan perairan umum secara in-situ diperlukan keterlibatan banyak pihak terutama pemerintah, masyaraktat, LSM, sektor pertanian, kehutanan, industri dan pertambangan. Kelihatannya faktor kerjasama dan koordinasi lebih dominan dibandingkan dengan biaya investasi.
Pelestarian PlasmaNutfah secara Ex-situ
Pelestarian ikan-ikan perairan umum secara ex-situ adalah pelestarian plasma nutfah di luar habitatnya. Ikan-ikan tersebut dipelihara atau dikoleksi ditempat yang baru yang telah dimodifikasi seperti kondisi lingkungan asalnya. Cara ex-situ dapat dikelompokan menjadi dua macam. Pertama, cryopreservation atau dengan carapengawetan. Cara ini sudah mulai digunakan oleh para ahli untuk menyimpan sperma atau embryo dalam jangka waktu yang cukup panjang yang sewaktu-waktu dapat digunakan atau ditumbuhkan kembali. Namun cara pengawetan ini memerlukan biaya investasi cukup besar. Kedua membuat modifikasi habitat, sehingga tempat yang baru tersebut menyerupai atau mendekati dengan kondisi lingkungan aslinya. Habitat baru ini dapat berupa kolam, waduk, bak, atau penampungan air lainnya. Ada dua kepentingan dalam cara ini yaitu hanya untuk pelestarian plasma nutfah saja, dan kepentingan plasma nutfah dan aspek ekonomi (aquaculture). Jika hanya untuk kepentingan plasma nutfah biasanya lebih bersifat koleksi. Ikan-ikan tersebut disimpan dalam suatu kolam, taman-taman akuarium atau penampungan air lainnya sebagai ikan koleksi. Cara ini banyak dilakukan oleh para penggemar ikan (hobbiest), tempat rekreasi, maupun tempat-tempat milik raja. Untuk kepentingan plasma nutfah dan ekonomi, dilakukan di kolam atau penampungan air lainnya secara terkontrol. Ikan-ikan tersebut dipelihara secara intensif untuk dapat beradaptasi, tumbuh berkembang dan dapat dibiakan serta dapat dibudidayakan baik skala laboratorium maupun komersial. Untuk itu beberapa hal yang harus dilakukan:
a. Domestikasi yaitu kegiatan pengadaptasian ikan- ikan alam (wild species) terhadap lingkungan baru seperti kolam, bak, pakan buatan, penanganan (handling) dan penangan secara terkontrol. Tujuan domestikasi ini adalah agar ikan dapat menyesuaikan diri dengan kondisi lingkungan baru secara terkontrol dan respon terhadap pakan buatan sehingga dapat tumbuh dan berkembang serta matang telur dan dapat dipijahkan. Didalam melakukan domestikasi ini ada beberapa hal yang harus diketahui antara lain sifat-sifat biologi, genetik, penyakit dan aspek sosial ekonomi spesies yang didomestikasi.
b. Produksi benih skala laboratorium, bagi ikan-ikan yang telah terdomestikasi (jinak) maka dilakukan pemijahan baik secara alami maupun secara buatan untuk dapat menghasilkan benih. Pada skala laboratorium ini biasanya teknologi produksi masih sangat terbatas dengan tingkat keberhasilan pemijahan terbatas, daya tetas telur yang rendah, kelangsungan hidup benih rendah, dan secara ekonomi tidak menguntungkan.
c. Produksi benih skala komersial, pada skala ini sudah memasukkan aspek ekonomi yang menguntungkan. Teknologi yang dikembangkan sudah dapat diterapkan di tingkat pembenih dan secara ekonomis menguntungkan. Biasanya teknologi ini ditandai dengan tingkat keberhasilan yang tinggi baik pada tingkat pemijahan, penetasan telur dan kelangsungan hidup benih, sehinggga dapat menghasilkan benih dalam jumlah yang banyak.
d. Transfer teknologi, penyebarluasan dan mem- perkenalkan jenis ikan kepada pembudidaya sangat dibutuhkan dalam rangka mengembangkan jenis ikan alam (wild species) menjadi spesies yang dibudidayakan. Hal yang sangat penting dalam tahap ini adalah kesiapan teknologi terapan, kesiapan induk ikan dan sarana tempat pelatihanpara pembudidaya, sehingga ikan tersebut dapat dikembangkan dan dibudidayakan yang pada akhirnya dapat dilestarikan oleh para pembudidaya serta terhindar dari ancaman kepunahan.
Pelestarian ikan-ikan perairan umum melalui sistem budidaya ini mungkin lebih menarik dibandingkan dengan sistem konservasi dan reservat, walaupun diperlukan biaya investasi yang relatif besar serta jenis ikan yang dikembangkan harus mempunyai syarat secara ekonomi menguntungkan (profitable) dan secara social dapat diterima oleh masyarakat luas (acceptable). Benih ikan yang dihasilkan dari tempat pembenihan (hatchery) ini juga dapat digunakan untuk penebaran perairan umum (restocking).
Kegiatan yang dilakukan pada saat ini lebih banyak kegiatan yang diarahkan pada pelestarian ikan secara ex-situ dengan sistem budidaya (aquaculture), mengingat cara ini nampaknya lebih sederhana tidak kompleks seperti secara in-situ. Untuk waktu yang akan datang tidak menutup kemungkinan melakukan pelestarian ikan perairan umum secara in-situ bekerjasama dengan instansi terkait seperti pemerintah daerah, tokoh masyarakat, dan lembaga penelitian serta perguruan tinggi.
Kegiatan-kegiatan yang dilakukan tahun 2002 ;
a. Koleksi ikan :
Beberapa jenis ikan perairan umum yang telah dikoleksi di kolam yaitu ikan betook, tambakan, sepat siam, semah, labi-labi, kapiat dan tilan. Ikan- ikan tersebut dipelihara di dalam kolam dan belum ditangani secara intensif. Khusus untuk ikan betook dan sepat dapat dipijahkan secara masal dan alami guna penebaran perairan.
b. Domestikasi :
Jenis ikan yang didomestikasi yaitu ikan arwana, kapiat/lampam, dan semah. Ikan arwana ini disamping tergolong ikan langka juga banyak diminati oleh masyarakat terutama untuk ikan hias dan mempunyai harga yang tinggi
c. Produksi benih skala laboratorium :
Ada dua jenis ikan yaitu ikan botia dan belida. Ikan botia merupakan ikan asli Sumatera yang mempunyai harga yang cukup tinggi, dan ikan ini diperdagangan sebagai ikan hias dieksport ke mancanegara seperti Eropa dan Amerika Serikat. Ikan belida disamping diperdagangkan sebagai ikan hias (berukuran kecil) juga sebagai makanan masyarakat lokal seperti daerah Sumatera Selatan, Jambi dan Riau.
d. Produksi benih skala masal :
Termasuk kegiatan ini adalah ikan patin jambal
(Pangasius djambal) dan ikan baung. Kedua jenis ikan ini disukai oleh masyarakat Riau, Jambi dan Palembang untuk ikan konsumsi dan mempunyai harga yang cukup tinggi. Untuk jenis patin lokal, kegiatan ini merupakan kegiatan lanjutan yang telah dilakukan pada tahun-tahun sebelumnya. Domestikasi patin lokal ini telah dilakukan bekerjasama dengan IRD (Ex-ORSTOM) Perancis sejak tahun 1997.
Berdasarkan kegiatan tersebut di atas diharapkan bahwa pada tahun 2003 yang akan datang sudah dapat dilakukan penyebaran teknologi ikan patin lokal dan baung dan termasuk penyediaan induk/calon induknya. Pelestarian jenis ikan patin lokal ini pada akhirnya dapat dilakukan oleh para pembenih maupun pembudidaya (farm level).
0 comments:
Post a Comment