Monday, May 7, 2012

TRACEABILITY SYARAT DALAM BUDIDAYA PERIKANAN

May 07, 2012 Posted by Media Penyuluhan Perikanan Pati No comments


Dalam rangka pelaksanaan Standar Nasional (SNI) sebagai standar produk di Indonesia maka diadakan sertifikasi pada perikanan untuk CPIB (Cara Pembenihan Ikan yang Baik) dan CBIB (Cara Pembesaran Ikan yang Baik). Persyaratan konsumen produk perikanan semakin beragam dan ketat, meliputi berbagai aspek yang berkaitan langsung dengan budidaya, seperti keamanan pangan, kualitas produk, lingkungan hidup, dan aspek sosial.
Konsep traceability dalam unit usaha budidaya perikanan, menjadi salah satu persyaratan ekspor produk perikanan ke negara konsumen, terutama hal-hal yang berkaitan dengan penerapan dan pengawasan aspek-aspek keamanan pangan. Dokumen traceability yang lengkap dan berisi data mutahir akan memberikan jaminan keamanan pangan dan kualitas produk perikanan.
Produksi perikanan budidaya (akuakultur) mengalami peningkatan yang spektakuler dalam kurun waktu 30 tahun terakhir. FAO (2010) mencatat adanya pertumbuhan yang luar biasa pada produksi akuakultur dunia sejak tahun 1990 hingga 2008. Pada tahun 1980 produksi akuakultur dunia adalah 4.705.841 ton, meningkat menjadi 13.074.100 ton pada tahun 1990, dan pada tahun 2000 produksi akuakultur dunia melompat menjadi 32.416.110 ton.
Pada tahun 2008 produksi akuakultur naik lagi menjadi 52.546.205 ton. Perkembangan ini berkontribusi pada meningkatkan konsumsi protein hewani masyarakat dunia, dimana rerata konsumsi produk akuakultur per kapita meningkat dari 0,7 kg di tahun 1970 menjadi 7,8 kg di tahun 2008. Indonesia tergolong dalam kelompok negara produsen utama ikan dunia. Pada tahun 1997 Indonesia berada pada posisi ke tujuh, dengan udang sebagai primadona ekspor. Komoditas perikanan lainnya adalah ikan tuna, kepiting, ikan hias, dan kelompok cumi-cumi.
Peningkatan produksi akuakultur ternyata juga diiringi dengan semakin ketat dan beragamnya peraturan dan persyaratan konsumen di negara tujuan ekspor, seperti pelarangan penggunaan antibiotika golongan nitrofuran sejak tahun 1995, pelarangan penggunaan chloramphenicol oleh lembaga Food and Drug Administration (FDA, 1997 dalam National Toxycology Program, 2011), penentuan  Minimum Required Performance Limit (MRPL) melalui Commission Decision (2003), maupun penentuan batas maksimum keberadaan kontaminan pada makanan (Commision Regulation, 2006).
Manfaat traceability adalah menjamin keamanan pangan, dapat mengidentifikasikan karakteristik fisik, spesifikasi, dan kualitas, serta membangun dan menjaga image produk. Perwakilan EU memperkenalkan traceability untuk produk akuakultur ke Indonesia pada tahun 2003.
Traceability merupakan bagian dari sistem mutu yang  bertujuan utama menjamin kualitas dan keamanan produk, melalui kemudahan akses informasi pada setiap tahapan proses produksi. Informasi yang dapat diakses tersebut mencakup segala tindakan atau kondisi serta bahan yang digunakan (untuk mencapai kondisi optimal) pada setiap tahapan budidaya. Termasuk di dalamnya juga tentang asal usul dan kualitas benur dan pakan yang digunakan. 
Aplikasi traceability,  pada awalnya hanya dikenal dalam proses pengolahan ikan, namun dengan semakin pesatnya perkembangan budidaya, dimana penggunaan bahan kimia pada proses budidaya sulit dihindari, maka konsumen mulai menuntut informasi terkait  keamanan produk mulai dari tahapan budidaya hingga ke proses pengolahannya. Bahkan semua bahan pendukung lainnya seperti pakan, pupuk, probiotik, dan kondisi lingkungan tidak lepas dari persyaratan yang mereka ajukan. 
Traceability untuk keberhasilan budidaya
Untuk tujuan keberhasilan/keberlanjutan budidaya, semua kondisi/perlakuan yang berpotensi berpengaruh pada produksi harus dicatat, dan itu tentu berbeda beda untuk satu farm dengan farm lainnya tergantung system budidaya yang diterapkan.  Ketrampilan/skill pelaku dilapangan juga berpengaruh tentang apa yang perlu dicatat dan  apa yang tidak. Misalnya salinitas air di tambak pada saat tebar, bagi satu teknisi merasa perlu dicatat, karena berpendapat bahwa perbedaan salinitas air tambak dengan air dari hatchery dapat membuat benur menjadi stress, dan  secara signifikan berpengaruh pada SR benur segera setelah di tebar. Tapi bagi teknisi lain hal ini tidak perlu karena udang merupakan hewan euryhalin misalnya. Untuk hal seperti ini tidak bisa dikatakan teknisi mana yang lebih benar, semua benar.


Namun yang jelas, setiap teknisi pelaksana harus mengetahui parameter parameter yang berpotensi mempengaruhi keberhasilan produksi. Dan ini  harus dapat diidentifikasi pada setiap tahapan budidaya, mulai dari persiapan lahan (tambak), persiapan air, penebaran benih, dan pemeliharaan (budidaya).
Semua kondisi yang dicapai selama masa persiapan tambak dan persiapan air,   harus dicatat dan dibandingkan dengan kondisi standar yang disyaratkan, bisa menurut literatur atau menurut ketentuan umum seperti misalnya dalam Pedoman Umum Budidaya Udang di Tambak (Direktorat Pembudidayaan, 2004). Dalam hal ini dapat mencakup tingkat kekeringan dasar tambak, kebersihan, ketebalan lumpur, nilai pH dan redox tanah dan sebagainya.  Hal yang sama dapat dilakukan untuk parameter-parameter penentu keberhasilan pada saat penebaran benur, dan selama pemeliharaan. Khusus informasi tantang benur, yang paling penting adalah kualitas dan kesehatan/fitalitas benur. Masing masing teknisi akan memiliki standar yang diinginkan, misalnya pada PL berapa dia merasa nyaman/yakin untuk menebarnya, satu teknisi bisa merasa nyaman pada PL-10 namun yang lain bisa sampai PL 13 – 15.
Namun yang jelas semua teknisi sepakat bahwa benur yang ditebar harus yang sehat. Untuk kesehatan benur seyogyanya berlaku umum dimana benur harus SPF terutama terhadap penyakit yang sedang mengganas seperti IMNV, WSSV, dan sebagainya.  Supaya yakin bahwa benur sehat, maka harus dibeli dari hatchery yang reputasinya baik dan mau memberikan jaminan. Untuk tambak-tambak bersertifikat biasanya diwajibkan membeli benur dari hatchery yang juga bersertifikat (ACC, 2002; GlobalG.A.P., 2007).  Harga per satuan benur akan lebih mahal, namun karena akan menghasilkan SR di tambak yang lebih tinggi, maka harga benur per satuan produk tambak tentu akan lebih murah.
Parameter yang paling banyak adalah pada tahapan budidaya, maka tulisan ini akan membahas sedikit mendalam pada tahapan ini. Selama masa budidaya, ada tiga kegiatan utama yaitu pengelolaan kualitas air (termasuk pengelolaan dasar tambak), pengelolaan (pemberian) pakan, dan pengelolaan kesehatan.  Sekali lagi, berapa banyak  parameter yang perlu dicatat dan berapa frekuensinya tergantung dari skill teknisi pengelola. Namun parameter yang umum perlu diketahui adalah nilai pH, DO, dan suhu air pada pagi dan sore di hari yang sama.
Beberapa mengatakan parameter yang terkait dengan kesuburan air seperti kepadatan plankton, PO4, NO3, rasio C-N  perlu diukur dan dicatat. Beberapa parameter terkait dengan polusi/beracun, antara lain NH3-N, H2S, NO2 dan CO2, perlu juga dicatat untuk mengetahui sejauh mana konsentrasi stressor  di dalam tambak akan mulai mengganggu udang, kemudian segera melakukan tindakan koreksi jika terjadi penyimpangan dari kaedah (standar) umum. Sekali lagi, jenis parameter tersebut juga tidak harus berlaku umum, tergantung kondisi tambak, dan skill dari teknisi. Bisa saja misalnya seorang teknisi tidak merasa perlu menganalisis H2S dan NH3 karena dia sudah mengetahui jika air tambak dapat ditambah secara rutin sesuai protokol yang ditetapkan (misalnya 5-10%/hari) dan dapat mempertahankan pH 7.5-8.5, maka gas-gas beracun tersebut tidak akan pernah mencapai konsentrasi yang membahayakan udang. Terkait dengan bahan yang digunakan, pencatatan harus dilakukan terhadap semua bahan baku budidaya yang digunakan mulai dari pupuk, desinfektan, obat-obatan (termasuk antibiotika) atau bahan kimia lainnya (seperti feed additive), probiotik, maupun pakan. Informasi yang dicatat  menyangkut dosis dan frekuensi aplikasinya.
Traceability untuk Kemanan Produk (Food Safety)
Informasi yang diperlukan oleh konsumen terkait dengan food safety adalah terkait penggunaan bahan yang berpotensi membahayakan kesehatan konsumen, seperti apakah udang yang digunakan itu GMO (genetic modified oganism), menggunakan antibiotika terlarang terutama Chloraphenicol dan Nitrofuran, bahan pencemar seperti logam berat (Cd, Hg dan Cu) dan bahan bahan lain yang kadang-kadang diminta khusus oleh pembeli. Informasi apakah udang yang digunakan itu  GMO apa bukan, dapat dimintakan kepada hatchery pemasok benur, dan hatchery dapat minta jaminan dari pemasok induk udang. Penggunaan antibiotika, dapat dilihat pada traceability (untuk keperluan budidaya) tersebut di atas, apakah bahan yang digunakan ada yang kemungkinan mengandung antibiotika tertentu. Sementara untuk logam berat dapat saja petambak  melakukan analisis  logam berat yang dimaksud (dengan mengirim contoh air/lumpur/udang), setiap batch sekali pada saat udang  bumur 60–90 hari misalnya, atau sesuai dengan perminataan pembeli, kapan harus dianalisis.  Monitoring kualitas lingkungan perairan setiap 3-4 bulan sekali juga baik dilakukan untuk membuktikan apakah lingkungan sekitar area budidaya mengandung logam berat/pestisida yang akan mencemari udang.
Penyusunan Data
Data-data yang tercatat hendaknya disusun secara sistematis sehingga  memudahkan untuk diakses setiap saat diperlukan. Tidak ada standar baku bagaimana cara membuat tabulasi dan sistem penyimpanan data. Hal ini tergantung pada masing masing teknisi dalam menyusun data manual ataupun elektriknya.  Parameter yang umum diminta pembeli antara lain:
1.   Asal usul benur (nama hatchery)
2.   Status kesehatan benur
3.   Tanggal tebar dan kepadatan,
4.   Tanggal panen
5.   Jenis pakan dan jumlah yang diberikan selama budidaya
6.   Biomass saat panen,
7.   SR saat panen
Jenis dan jumlah bahan kimia yang digunakan selama budidaya
Sebagai bagian dari upaya memperoleh jaminan keamanan pangan. Bagi pembudidaya, data traceability yang lengkap dan akurat akan bermanfaat pada saat melakukan analisis teknis kegagalan budidaya.

0 comments:

Post a Comment