Friday, January 6, 2012

KAJIAN FISIOLOGIS IKAN BAWAL (Colosoma sp) DENGAN SUHU RENDAH : DASAR PENGEMBANGAN TRANSPORTASI IKAN

January 06, 2012 Posted by Media Penyuluhan Perikanan Pati No comments


Dewasa ini permintaan komoditas perikanan baik pasar domestic maupun ekspor cenderung meningkat. Namun pola permintaan konsumen akan produk perikanan cenderung bergeser pula dari ikan bentuk beku ke bentuk segar, kemudian ke bentuk hidup.  Pergeseran pola permintaan ini tampaknya seiring dengan peningkatan kesejahteraan, pendidikan dan kesadaran akan hidup sehat.  Peluang pasar tersebut di atas perlu dimanfaatkan sehingga upaya-upaya untuk mendorong pemanfaatan peluang ini perlu mendapatkan prioritas, diantaranya adalah dukungan berupa teknologi penanganan dan transportasi ikan hidup yang ekonomis, efektif dan efisien.
Secara umum transportasi ikan hidup dilakukan dengan transportasi secara terbuka maupun tertutup (Praseno, 1990).  Transportasi ikan hidup pada dasarnya selalu menggunakan metode imotilisasi.  Imotilisasi dapat dilakukan dengan menggunakan suhu rendah atau senyawa metabolik kimia maupun alami.  Senyawa kimia yang biasanya digunakan antara lain yaitu MS222 (Browser, 2001; Wagner et al, 2003; Pirhonen and Schreck, 2003; Small, 2003), Quinaldine (Browser, 2001; Small, 2003), Eugenol (Browser, 2001), Clove Oil (Walsh and Pease, 2002; Small, 2003). Sedangkan senyawa atau bahan  alami yang biasa digunakan adalah biji karet, buah pala dan rumput laut (Wibowo, 1993).
Namun demikian, imotilisasi dengan suhu rendah dirasakan paling aman, ekonomis dan efektif.  Imotilisasi dengan suhu rendah dilakukan dengan cara menurunkan suhu media hingga suhu tertentu saat tingkat aktifitas, respirasi dan metabolisme sangat rendah atau pada kondisi basal.  Hal ini diharapkan ikan dapat ditransportasikan dalam waktu yang lama dengan sintasan yang tinggi.
Informasi mengenai pengaruh suhu rendah terhadap aktifitas, respirasi dan metabolisme ikan bawal sejauh ini masih belum tersedia sehingga tidak mudah untuk menentukan kondisi yang sesuai untuk transportasi hidup ikan tersebut.  Penelitian ini bertujuan untuk mempelajari sifat fisiobilogis ikan bawal yang hasilnya dapat digunakan sebagai informasi dasar untuk transportasi hidup.  Penelitian ditekankan untuk mempelajari pola respirasi dan metabolisme ikan bawal  pada berbagai suhu.  Berdasarkan pola ini diharapkan dapat diambil indikasi adanya titik-titik suhu krusial yang berkaitan dengan respirasi dan metabolisme ikan yang dapat digunakan untuk keperluan transportasi ikan bawal hidup dengan sistem basah.
MATERI DAN METODE
Bahan dan Alat
Bahan utama yang digunakan dalam penelitian ini adalah ikan bawal  (Colosoma sp) yang berasal dari daerah Purbalingga.  Ikan yang digunakan dipilih yang dalam kondisi sehat, tidak cacat dan berukuran sekitar 3 ekor per kilogram (bobot rata-rata 335,03±20,12 g/ekor).  Bahan pendukung yang digunakan adalah es dan kemikalia untuk analisis mutu air. Peralatan yang digunakan dalam penelitian ini meliputi akuarium plastik, timbangan (Lion Star 2 Kg), termometer, dan pencatat waktu (timer)
Metode Penelitian
Ikan bawal yang diperoleh dibugarkan terlebih dahulu dalam wadah tanki fiber dan dipuasakan sebelum digunakan untuk penelitian.  Tingkat respirasi ikan bawal pada berbagai suhu diamati berdasarkan tingkat penurunan oksigen terlarut di dalam air dalam wadah akuarium per satuan waktu.  Sedangkan tingkat metabolisme dilihat dari peningkatan kandungan metabolit air dalam wadah akuarium per satuan waktu.  Percobaan dilakukan dengan cara memasukan 3 ekor ikan bawal ke dalam akuarium yang telah diisi  air hingga penuh dan kemudian pompa sirkulator dan aerator dioperasikan dengan kecepatan kuat.
Suhu air diturunkan secara bertahap dengan mengalirkan air dingin ke dalam akuarium.  Aliran air dingin diatur sedemikian rupa sehingga terjadi penurunan suhu dengan kecepatan 50C/jam. Pengamatan terhadap respirasi, metabolime dan aktifitas ikan bawal diamati setiap 30 menit.
Pengamatan respirasi dan metabolisme ikan bawal dilakukan sebagai berikut:  setelah suhu air diturunkan perlahan dalam waktu 30 menit.  Suhu, oksigen dan kandungan metabolit di dalam air diamati selama 15 menit.  Disamping itu juga diamati aktifitas ikan bawal dengan mencatat gerakan-gerakan yang terjadi selama pengamatan.
Perlakuan dilakukan demikian seterusnya hingga ikan pingsan. Tingkat respirasi ikan dihitung dari selisih antara tingkat kelarutan oksigen pada saat aerasi dihentikan dengan kelarutan oksigen setelah 15 menit, dibagi berat ikan per satuan waktu. Sedangkan metabolit ikan yang diamati adalah kadar CO2 dari contoh air yang terdapat dalam akuarium.  Percobaan dilakukan dengan dua kali ulangan.
HASIL DAN PEMBAHASAN
Pengaruh Suhu rendah Terhadap Aktifitas Ikan
Aktifitas ikan bawal pada berbagai suhu secara umum memberikan respon yang terdiri dalam beberapa fase (Tabel 1).  Pada suhu sampai 210C aktifitas ikan terlihat masih normal.  Pada suhu 230C-180C ikan mulai memasuki fase kedua yaitu fase tenang.  Pada suhu 180C-130C ikan telah memasuki fase aktifasi yang telah menjadi fase awal kegelisahan.  Fase berikutnya adalah fase panik dan pingsan dimana ikan mulai mengalami kepanikan, kehilangan keseimbangan dan terjadi disorientasi sehingga ikan roboh.
Dari hasil tersebut di atas tampak bahwa terdapat titik-titik krusial yaitu pada suhu sekitar 230C, 180C dan 130C yang muncul pada respon ikan bawal akibat turunnya suhu lingkungan.  Pada titik-titik krusial ini terjadi perubahan aktifitas dan respon ikan bawal yang nyata, yang diharapkan merupakan momen yang tepat saat ikan menunjukkan kemampuan yang tinggi dalam mempertahankan hidupnya.  Karena pada dasarnya, dalam kondisi krusial mahluk hidup cenderung menunjukkan kemampuan yang tinggi dalam mempertahankan kelangsungan hidupnya.
Hasil pengamatan karakteristik aktifitas ikan bawal menunjukkan bahwa suhu imotil dalam transportasi ikan hidup adalah antara suhu 230C-130C. Di atas atau di bawah suhu tersebut resiko kematian selama transportasi dikhawatirkan masih cukup tinggi.  Makin rendah suhu tentu membutuhkan energi yang cukup besar baik untuk mencapai maupun untuk mempertahankan suhu tersebut dan yang berarti juga membutuhkan biaya besar.  Sementara itu, untuk transportai ikan hidup dengan sistem basah menggunakan media air dapat menggunakan suhu lebih tinggi, karena transprtasi sistem basah dapat dilakukan pada saat ikan berada pada fase tenang.  Hal ini lebih menguntungkan jika dilihat dari segi teknis dan ekonomisnya.
Tabel 1. Pola aktifitas ikan bawal pada berbagai suhu (kecepatan penurunan suhu 50C/jam)
No
SUHU
AKTIFITAS
KRITERIA
1.
280C
Ikan tenang di dasar, sesekali berenang perlahan, tubuh tegak, gerakan katup insang perlahan dan teratur, responsif terhadap gerakan di luar akuarium, sangat responsif terhadap sentuhan perlahan
Normal (Normal)
2.
230C
Aktifitas ikan mulai berkurang dan cenderung dan cenderung diam di dasar.  Respon terhadap gerakan di luar mulai berkurang, ikan mulai mudah dipegang
Mulai Tenang (Calm)
3.
180C
Aktifitas ikan tidak banyak berubah, tubuh mulai miring saat berenang dan sirip punggung mulai meregang.  Respon terhadap gerakan di luar melemah dan lebih tenang saat dipegang
Fase awal kegelisahan 
(uncontrolable)
4.
130C
Gerakan ikan mengarah kegelisahan, tubuh ikan mulai kaku, berlendir, tdak ada gerakan, tidak merespon terhadap sentuhan, hanya terdapat gerakan sangat lemah pada katup insang
Fase panik dan pingsan (panic and unconcious)

Pengaruh Suhu Rendah Terhadap Respirasi Ikan
Pola respirasi ikan bawal pada berbagai suhu rendah cenderung berfluktuasi dengan makin turunnya suhu (Gambar 1). Pada awal penurunan suhu terjadi peningkatan konsumsi oksigen hingga suhu mencapai 180C, kemudian konsumsi oksigen terlarut mulai menurun  kembali saat penurunan suhu dari 180C hingga mencapai 130C.  Secara teoritis menurut Berka (1986), menyatakan bahwa pola konsumsi oksigen yang berfluktuasi ini juga akan menyebabkan berfluktuasinya pula senyawa hasil respirasi, yaitu CO2.  Namun dalam penelitian ini tidak dilakukan
Pada awal terjadinya penurunan suhu (280C-230C) terjadi peningkatan kecepatan respirasi ikan bawal yang mencapai titik tertinggi (1,733 mg O2/Kg berat ikan/jam) pada suhu 230C.  Hingga pada suhu tersebut masih dalam kategori normal (Tabel 1).  Penurunan suhu yang dapat menekan respirasi pada tahap ini masih belum terjadi.  Penurunan suhu sampai 230C ternyata masih belum mempengaruhi respirasi maupun aktifitas ikan bawal.
Penurunan suhu berikutnya yaitu antara suhu 230C-180C terlihat bahwa penurunan suhu tidak menyebabkan penurunan respirasi tetapi justru menyebabkan peningkatan respirasi.  Peningkatan respirasi ini disebabkan karena ikan bawal mulai masuk pada fase awal kegelisahan, berenang relatif cepat yang bahkan hampir memasuki fase panik.
Kemampuan penurunan suhu dalam menekan respirasi dan aktifitas ikan bawal mulai tampak setelah suhu dibawah 180C, yaitu respirasi turun tajam hingga mencapai titik terendah pada suhu 130C (1,339 mg O2/Kg berat ikan/jam).  Penurunan respirasi ini tampaknya disebabkan sebagian ikan sudah melewati fase panik dan bahkan mulai ada yang roboh sehingga kebutuhan oksigen pun merosot tajam.
Jika diamati hasil tersebut di atas, dapat diambil beberapa titik suhu yang berpeluang untuk keperluan transportasi ikan bawal hidup.  Kisaran suhu 180C-130C tampaknya memiliki peluang besar untuk digunakan dalam transportasi ikan bawal hidup dengan sistem basah terutama pada transportasi jarak jauh. Pada kisaran suhu tersebut ikan sudah cukup tenang dan mudah ditangani untuk dikemas, sementara respirasinya cukup rendah. Untuk transportasi sistem kering, karena ikan ditempatkan di luar habitat hidupnya, diperlukan kondisi ikan yang jauh lebih tenang dan respirasi rendah, yaitu setelah ikan melewati fase panik.
KESIMPULAN
Respon fisik yang terjadi meliputi fase normal (terjadi pada suhu 280C), fase tenang (230C), fase awal kegelisahan (180C) dan fase panik dan pingsan (130C).  Pola respirasi cenderung meningkat pada awal penurunan suhu dan kemudian menurun tajam bersamaan dengan berlangsungnya fase awal kegelisahan.

0 comments:

Post a Comment