Saturday, June 17, 2017

ARTEMIA DENGAN POLIKULTUR DENGAN PEMBUATAN GARAM

June 17, 2017 Posted by Media Penyuluhan Perikanan Pati No comments
Biologi Artemia Jenis Artemia
Artemia merupakan pakan alami penting untuk ikan dan udang, termasuk ikan hias. Artemia merupakan kelompok udang-udangan (Crustaceae) dari phylum Arthopoda, terdapat sekitar 50 strain (jenis).  Mereka berkerabat dekat dengan zooplankton lain seperti Copepode dan Daphnia (kutu air). Artemia hidup di danau-danau garam (berair asin) yang ada di seluruh dunia (Asia, China, Irak, Iran, Israel, Jepang, turki, Amerika: Great Salt Lake, Kanada, Australia).
Sista tertua Artemia pernah ditemukan oleh suatu perusahan pemboran yang bekerja disekitar Danau "Salt Great". Sista tersebut diduga berusia sekitar lebih dari 10.000 tahun (berdasarkan metoda "carbon dating"). Setelah diuji, ternyata sista-sista tersebut masih bisa menetas walaupun usianya telah lebih dari 10.000 tahun.
Artemia dapat hidup  dari kisaran 60 – 300 ppt (6°Be - 30°Be). Ukuran dewasa Artemia berkisar dari 10 – 20 mm, merupakan pemakan segalanya yang berukuran partikel dengan cara menyaringnya (filter feeder). Cara berkembang biak (reproduksi) dengan ovipar (bertelur) atau ovovivipar, yaitu pada ovipar telur menjadi sista ( telur Artemia terbungkus korion yang bersifat dorman, berdiameter 200 – 270 µm yang dapat hidup lama, sista menetas jika ada hidrasi dengan salinitas 30 - 35 ppt atau 3  -3,5°Be) dan ovovivipar telur segera menetas menjadi naupli.
Morfologi dan Siklus Hidup
Siklus hidup Artemia bisa dimulai dari saat menetasnya telur. Setelah 15 - 20 jam pada suhu 25°C telur akan menetas manjadi embrio. Dalam waktu beberapa jam embrio ini masih akan tetap menempel pada kulit telur. Pada fase ini embrio akan menyelesaikan perkembangannya kemudian berubah menjadi naupli yang sudah bisa berenang bebas. Pada awalnya naupli akan berwarna oranye kecoklatan akibat masih mengandung kuning telur. Artemia yang baru menetas tidak akan makan, karena mulut dan anusnya belum terbentuk dengan sempurna. Setelah 12 jam menetas mereka akan ganti kulit dan memasuki tahap larva kedua. Dalam fase ini mereka akan mulai makan, dengan pakan berupa mikro alga, bakteri, dan detritus organik lainnya. Pada dasarnya mereka tidak akan peduli (tidak pemilih) jenis pakan yang dikonsumsinya selama bahan tersebut tersedia di air dengan ukuran yang sesuai. Naupli akan berganti kulit sebanyak 15 kali sebelum menjadi dewasa dalam waktu 8 hari. Artemia dewasa rata-rata berukuran sekitar 8 mm, meskipun demikian pada kondisi yang tepat mereka dapat mencapai ukuran sampai dengan 20 mm. Pada kondisi demikian biomasnya akan mencapai 500 kali dibandingkan biomas pada fase naupli.
Dalam tingkat salinitas rendah dan dengan pakan yang optimal, betina Artemia bisa menghasilkan naupli sebanyak 75 ekor perhari. Selama masa hidupnya (sekitar 50 hari) mereka bisa memproduksi naupli rata-rata sebanyak 10 -11 kali. Dalam kondisi super ideal, Artemia dewasa bisa hidup selama 3 bulan dan memproduksi naupli atau sista sebanyak 300 ekor (butir) per 4 hari. Sista akan terbentuk apabila lingkungannya berubah menjadi sangat salin dan bahan pakan sangat kurang dengan fluktuasi oksigen sangat tinggi antara siang dan malam hari. Sista yang terbentuk ini dalam proses pengeringan (dehydration) yang tadinya berbentuk bulat akan berubah menjadi bentuk bola pingpong penyok.
Artemia dewasa toleran terhadap kisaran suhu -18°C hingga 40 °C. Sedangkan temperatur optimal untuk penetasan sista dan pertumbuhan adalah 25 °C - 30 °C. Meskipun demikian hal ini akan ditentukan oleh strain masing-masing. Artemia menghendaki kadar salinitas antara 30 - 35 ppt, dan mereka dapat hidup di dalam air tawar salama 5 jam sebelum akhirnya mati.
Variable lain yang penting adalah pH, cahaya dan oksigen. Kisaran pH 8-9 merupakan kisaran yang paling baik untuk pertumbuhan Artemia, sedangkan pH di bawah 5 atau lebih tinggi dari 10 dapat membunuh Artemia. Cahaya minimal diperlukan dalam proses penetasan dan akan sangat menguntungkan bagi pertumbuhan mereka. Lampu standar oksigen harus dijaga dengan baik untuk pertumbuhan Artemia. Dengan suplai oksigen yang baik, Artemia akan berwarna kuning atau merah jambu. Warna ini bisa berubah menjadi kehijauan apabila mereka banyak mengkonsumsi mikro algae. Pada kondisi yang ideal seperti ini, Artemia akan tumbuh dan berkembang biak dengan cepat.
Apabila kadar oksigen dalam air rendah, dan air banyak mengandung bahan organik, atau apabila salintas meningkat, Artemia akan memakan bakteria, detritus, dan sel-sel kamir (yeast). Pada kondisi demikian mereka akan memproduksi hemoglobin sehingga tampakÊ berwarna merah atau oranye. Apabila keadaan ini terus berlanjut mereka akan mulai memproduksi sista.
Kegunaan Dan Kebutuhan Artemia
Artemia memiliki kegunaan/manfaat yang sangat besar dalam budidaya perikanan baik perikanan darat maupun laut. Naupli Artemia sebagai pakan dari berbagai jenis ikan dan krustase (udang), dalam bentuk sista setiap saat siap pakai sebagai pakan larva ikan/krustase serta memiliki nilai protein yang sangat tinggi > 40 %.
Kegunaan Dalam Industri Perikanan
Artemia sangat dibutuhkan dalam usaha budidaya perikanan baik budidaya laut maupun budidaya tawar terutama dalam pembenihan ikan dan udang karena size Artemia cocok dengan size bukaan mulut larva ikan atau udang. Artemia memiliki nutrisi alami yang baik dan dapat disediakan dalam jumlah yang cukup, tepat waktu dan berkesinambungan melalui telur dorman/sista yang dapat diawetkan. Alasan lain penggunaan Naupli  bagi pembenihan Ikan dan Udang antara lain: Nilai gizi yang cukup tinggi, terutama golongan marine spesies;  ukuran relatif kecil; pergerakan Nauplii cukup lambat sehingga mudah ditangkap; dapat diperhitungkan jumlah kebutuhan naupli; mudah dikultur; menetas dalam waktu yang hampir bersamaan; dan dapat dipergunakan sebagai media boosting nutrien maupun antibiotik atau bioencapsulations (Bruggeman, E., Sorgeloos, P., and Vanhaecke, P. 1980).
Pembenihan ikan dan udang selama ini tidak pernah terlepas dari kebutuhan makanan alami, baik phytoplankton maupun zooplankton. Perkembangan larva saat endogenous relatif tidak membutuhkan makanan dikarenakan cadangan makanan masih tersedia dengan cukup dalam tubuh larva, namun pada saat stadium exogenous, makanan dari luar sangat  dibutuhkan dimana pada stadium ini merupakan titik kritis bagi kehidupan larva (Bruggeman, E., Sorgeloos, P., and Vanhaecke, P. 1980. Nauplii Artemia mulai dibutuhkan umumnya pada stadium lanjutan, seperti saat mencapai Post Larva (PL) untuk udang, dan begitu juga untuk ikan-ikan lain, teknologi pemeliharaan
Menurut Prihadi, dkk (2005) pemerintah mengembangkan tambak  udang seluas 380.355 ha,  baik melalui teknologi intensifikasi maupun ekstensifikasi.  Kebutuhan benur untuk memenuhi luasan tambak tersebut diperkirakan sebesar 55.240 milyar ekor, sehingga untuk menunjang pakan alami benur yang ditebar dibutuhkan sista Artemia sebanyak 398 ton.  Sampai saat ini kebutuhan Artemia dipenuhi dengan impor padahal kita memiliki teknologi dalam budidaya Artemia di lahan garam yang sudah dikembangkan sejak tahun 1980 an.
Pemecahan masalah tersebut  dapat diatasi dengan 1) mengembangkan usaha budidaya Artemia baik secara ekstensif maupun intensif di tambak-tambak garam maupun intensif di dalam bak, 2) memperbaiki teknik penanganan telur dan penetasannya dan 3) menyebarkan bibit Artemia di perairan yang memenuhi syarat tetapi belum ada Artemia-nya.
Pengembangan budidaya Artemia di Indonesia agaknya cukup strategis karena kebutuhan sista setiap tahunnya cukup tinggi baik untuk kegiatan pembenihan ikan/udang air laut dan air tawar.  Budidaya Artemia memang sangat memungkinkan dilakukan pada salinitas tinggi, karena pada salinitas rendah masih terlalu banyak predator, sehingga tidak mungkin dibudidayakan.  Sedikitnya Artemia dapat dikembangkan pada salinitas minimal 70 ppt.
Saat ini pengembangan budidaya Artemia merupakan momentum yang sangat tepat, dimana industri garam kurang menggairahkan karena harga jual yang rendah selain tataniaga yang belum memihak kepada petambak garam. Pada saat musim garam (tahun 2003) harga garam mencapai Rp. 50,- per kg, sementara produksi per 1,0 Ha unit garam maksimal menghasilkan 100 ton/tahun, sehingga harga produksi hanya mencapai 5 juta rupiah.  Karena tidak ada pilihan lain bagi petambak, maka produksi garam masih terus dilakukan walaupun memperoleh penghasilan yang sangat minim.
Harapan ke depan, dengan adanya kegiatan pengembangan budidaya Artemia-garam ini , ketersediaan sista maupun biomassa Artemia di dalam negeri dapat ditingkatkan, sehingga impor Artemia yang selama ini dilakukan dapat dikurangi dan harga Artemia di dalam negeri dapat ditekan sesuai dengan kemampuan daya beli masyarakat pembudidaya.
.Nilai Ekonomi Artemia
Mengingat kegunaan Artemia dalam industri hatchery perikanan sangat tinggi maka kebutuhan Artemia dalam pasar perikanan pun sangat bagus. Dengan sendirinya nilai ekonomi Artemia sangat bagus dimana semua yang dihasilkan dalam budidaya Artemia baik itu sista dan biomassa-nya termanfaatkan dan memiliki nilai ekonomi dalam industri perikanan dengan harga jual yang memuaskan.
Konstruksi tambak garam dan Artemia lebih baik menggunakan konstruksi tangga dengan memanfaatkan adanya aliran air berjalan secara alamiah (gravitasi) dikarenakan biaya lebih murah dengan tidak memerlukan pompa lagi dalam memindahkan air laut.
Prinsip dasar dari proses pembuatan garam yang dilakukan adalah menghasilkan garam yang kualitasnya lebih baik. Untuk itu, diperlukan studi lapangan yang menunjang kualitas garam dengan mendapatkan lokasi penggaraman yang ideal, antara lain kondisi lahan/tanah yang digunakan, kemiringan, uji laboratorium, termasuk kondisi iklim dan sebagainya, sehingga dihasilkan garam sesuai kualitas yang diharapkan. Syarat lokasi untuk konstruksi pembuatan tambak garam yang baik adalah sebagai berikut:
1.         Data iklim dan cuaca yang diperlukan yaitu :
®         Evaporasi / penguapan tinggi (rata-rata > 650 mm/tahun)
®         Kecepatan dan arah angin (>5 m/detik)
®         Suhu udara (>32C)
®         Penyinaran matahari (100%)
®         Kelembaban udara (<50 h="" span="">
®         Curah hujan (rendah yaitu antara 1000 -1300 mm/tahun atau 100 mm/bulan)
®         Musim kemarau panjang yang kering tanpa diselingi hari hujan, untuk menghasilkan produksi garam yang normal, diperlukan kemarau kering yang terus menerus atau jumlah hari tanpa hujan minimal 140 hari (14 dekade)
2.         Air laut sebagai air baku dalam pembuatan garam harus memenuhi persyaratan :
®         Kadar garam tinggi dan tidak tercampur aliran air dari muara sungai yang tawar
®         Jernih dan tidak tercampur dengan lumpur maupun sampah
®         Pada saat air laut pasang, mudah mengalir ke saluran dan petak penampungan sehingga tidak sulit untuk dipompa ke areal ladang garam
®         Kondisi pasang surut dan salinitas air laut. Diperlukan kondisi dengan beda pasang maksimum dan surut minimum sekecil mungkin dan salinitas air laut sebagai bahan baku garam antara 25  - 35 ppm.
3.         Struktur dan morfologi tanah untuk ladang garam : tanah harus kedap air, ketinggian maksimal 3 meter diatas permukaan rerata air laut dan harus cukup luas, sebaiknya untuk luas ladang garam perorangan antara 2 - 5 Ha, sedangkan perusahaan besar minimal 4000  Ha.
4.         Topografi:
®         Dikehendaki tanah yang landai atau kemiringan kecil.
®         Untuk mengatur tata aliran air dan meminimilisasi biaya konstruksi
5.         Sifat fisis tanah:
®         Permeabilitas rendah
Pasir    : Permeabilitas tinggi Tanah liat : Permeabilitas rendah Retak pada kelembaban rendah
Untuk peminihan tanah liat untuk penekanan resapan air (kebocoran) Untuk meja garamcampuran pasir dan tanah liat guna kualitas dan kuantitas hasil produksi
5. Saluran yang baik
Agar tanah pada kolam pengkristalan tetap keras dan tidak lembek (karena kontak langsung dengan air garam), maka pada kolam-kolam pengkristalan harus memiliki saluran-saluran pengumpul/pembuang larutan garam sisa. Sehingga kristalkristal garam yang telah terbentuk pada kolam-kolam pengkristalan tidak tercampur dengan air larutan garam sisa yang juga akan melembekkan lapisan tanah serta membuat permukaan kolam pengkristalan tidak rata.
   .         . Teknologi Budidaya Artemia Di Lahan Pegaraman
Teknologi budidaya Artemia di lahan pegaraman merupakan salah satu dari pemanfaatan pemodelan garam bermutu dengan teknik biofiltrasi dari Artemia itu sendiri. Artemia di inokulasi (menebar bibit Artemia hidup baik dalam stadia nauplii, Artemia muda maupun dewasa kedalam media/tambak garam) dalam petak peminihan (petak evaporasi) I dan diharapkan dipanen pada petak peminihan II, sehingga diharapkan air laut yang masuk kedalam petak kristalisasi sudah bersih dari mineral Mg, Ca dan lumpur yang dapat menghasilkan garam dengan kristal besar dan bersih. Untuk lebih jelasnya tahapan teknologi budidaya Artemia di lahan pegaraman.
Persyaratan Dan Pemilihan Lokasi
Persyaratan dan pemilihan lokasi pada budidaya Artemia dilahan pegaraman sama dengan pemilihan lokasi pada lahan pegaraman itu sendiri (dapat dilihat pada sub.bab 2.1 Konstruksi Tambak Garam). Disini budidaya Artemia merupakan suatu usaha terpadu dalam meningkatkan kualitas dan kuantitas mutu garam dengan produk samping Artemia yang memiliki nilai ekonomi tinggi. Secara umum persyaratan dan pemilihan 30 -40 cm, memiliki iklim seperti curah hujan rendah, suhu tinggi (sinar matahari), kelembaban rendah, angin kencang dan terjaga dari hewan dan tanaman pengganggu.
Sumber Artemia didapat dari pembelian sista Artemia dalam kaleng yang kemudian ditetaskan dalam wadah plastik sebagai bibit yang kemudian diinokulasi (ditebar) dalam petak peminihan I (petak evaporasi I).
Tahapan Budidaya
Persiapan Tambak Garam Untuk Artemia
Kriteria Pemilihan Lokasi Tambak untuk Pemeliharaan Artemia
1.         Tersedianya air laut dengan kadar salinitas yang tinggi.  Diperlukan sumber air dengan salinitas 70 ppt yang dapat diperoleh melalui proses penguapan tambak garam (tetapi air buangan dari petak kristalisasi tidak diperbolehkan untuk digunakan karena bersifat toksik bagi Artemia).
2.         Kedalaman air yang cukup yaitu sekurangnya 30-40 cm untuk mencegah terjadinya peningkatan suhu air terlalu tinggi.
3.         Memungkinkan penambahan air secara teratur sekali dalam seminggu tanpa mengganggu pengoperasian proses produksi garam
4.         Struktur tambak tidak poros agar mampu mempertahankan salinitas dan kedalaman air
5.         Air yang digunakan tidak berasal dari sumber yang terkontaminasi atau tercemar termasuk diantaranya adalah pestisida pertanian
Penyiapan Tambak
1. Disain Tambak
Tambak harus memiliki kedalaman 40 cm atau lebih. Jika tambak yang ada dangkal maka harus digali untuk mendapatkan kedalaman yang cukup.
Memiliki struktur pemasukan air dapat berupa pintu air seperti pada tambak ikan ataupun dapat berupa pipa yang dipasang di pematang tambak.  Apapun, air harus dapat dimasukkan ke dalam tambak secara teratur.
Struktur tanah tambak tidak poros tetapi liat dan bukan pasir
2.         Pemasukan Air (Water Intake)
Inokulasi naupli Artemia hanya dilakukan ketika salinitas air mencapai 100-110 ppt.  Sumber air dapat berasal dari penguapan air tambak garam.  Untuk menghemat salinitas awal sebaiknya tidak kurang dari 70-80 ppt.  Air masuk ke tambak Artemia harus disaring dengan saringan dengan ukuran mesh tidak lebih besar dari 1 mm untuk mencegah masuknya ikan predator atau larva ikan yang dapat tumbuh besar di dalam tambak.
3.         Pemupukan
Pada saat inokulasi, makanan untuk naupli Artemia sudah harus tersedia agar kelangsungan hidup Artemia terjamin.  Jika tingkat kekeruhan air 40 cm atau lebih tinggi, tambak harus dipupuk agar phytoplankton dapat tumbuh lebih baik.
Persiapan tambak garam-Artemia sama dengan persiapan pada lahan tambak garam dimana pemanfaatan untuk budidaya Artemia dipergunakan adalah petak evaporasi I dan II (petak peminihan I dan II) sedangkan untuk kultur plankton dapat dilakukan pada waduk (bozeem) yang digunakan sebagai pakan Artemia atau penambahan bungkil kelapa atau dedak.
Persiapan / Perbaikan Tambak yang dapat dilakukan antara lain adalah:
Pemadatan dan perbaikan pematang keliling dengan konstruksi kemiringan pematang 30º, menghindari kebocoran dengan membuat saluran irigasi
Pengeringan dasar tanah (selama 1 – 3 minggu) Pengapuran (200 – 700 kg/Ha)
Pemupukan: Pupuk kandang (300 – 1000 kg/Ha), Urea (100 – 500 kg/Ha) dan TSP (50 – 200 kg/Ha) Pembasmian hama (saponin/brestan 5 – 30 mg/L)
Inokulasi Artemia
Sebelum inokulasi Artemia dilakukan di lahan garam, sista sebagai bibit harus didekapsulisasi dan ditetaskan dalam wadah plastik (Gambar 23 dan 24).
Dekapsulisasi merupakan suatu proses untuk menghilangkan lapisan terluar dari sista Artemia yang "keras" (korion). Proses ini setidaknya akan mempermudah "bayi" Artemia untuk keluar dari "sarang"nya. Disamping itu proses ini juga sekaligus merupakan proses disinfeksi terhadap kontaminan seperti bakteri, jamur.
Untuk ilustrasi cara melakukan dekapsulisasi sista Artemia sebanyak 5 gram adalah: Rendam 5 g sista Artemia (kurang lebih 1.5 sendok teh) dalam 400 ml air tawar, beri aerasi, dan biarkan selama 1-2 jam, hingga sista tersebut mengalami hidrasi dengan baik. Hal ini ditandai dengan bentuk sista yang sudah membentuk bulatan sempurna. Kemudian tambahkan larutan pemutih sebanyak 27 ml. Penambahan pemutih akan menyebabkan sista berubah warna menjadi coklat kemudian manjadi putih dalam waktu kurang lebih 2 menit. Selanjutnya dalam 5-7 menit sista akan berubah warna menjadi oranye. Apabila 95% sista telah berwarna oranye hentikan reaksi; kemudian segera cuci dengan air bersih sampai bau klorin hilang. Sista sekarang siap ditetaskan atau bisa disimpan dalam kulkas untuk selama 1 minggu. Apabila akan disimpan lebih lama, sista perlu didehidrasi kembali dengan menggunakan larutan garam 30%. Setelah didehidrasi, sista dapat disimpan dalam kulkas untuk selama 2-3 bulan.
Setelah didekapsulisasi sista Artemia siap ditetaskan. Sista Artemia dapat ditetaskan secara optimal, apabila syarat-syarat yang diperlukannya dapat dipenuhi. Beberapa syarat tersebut adalah:
Salinitas antara 20-30 ppt (2-3 °Be) atau 1-2 sendok teh garam per liter air tawar bisa ditambahkan Magnesium Sulfat (konsentrasi 20 %) atau 1/2 sendok teh per liter air.
Suhu air 26 - 28 °C. Disarankan untuk memberikan sinar selama penetasan untuk merangsang/mempercepat proses penetasan.
Aerasi yang cukup, untuk menjaga oksigen terlarut sekitar 3 ppm pH 8.0 atau lebih, apabila pH drop dibawah 7.0 dapat ditambahkan soda kue untuk menaikkan pH.
Kepadatan sekitar 2 gram per liter. Sebelumnya dapat dilakukan proses dekapsulisasi untuk melunakan cangkang.
Penetasan Sista
Persiapan wadah penetasan yaitu bak plastik/fiber 50 – 300 L Aerasi menggunakan blower 25 -50 watt Media penetesan bersalinitas 26 – 30 ppt
Suhu media 26 – 32 ºC
Kepadatan penetasan sista antara 1500 – 2000 mg/L Periode penetasan antara 18 -24 jam
Kepadatan penebaran antara 100 -300 nauplius/L
Setelah ditetaskan Artemia dapat diinokulasi dalam petak peminihan I (petak evaporasi I) dan dipelihara dari gangguan hewan dan pemantauan dalam salinitas baik untuk Artemia juga untuk garam sebagai hasil utama dari usaha ini.
Manajemen Budidaya dan Produksi Artemia .Manajemen Budidaya Artemia
Dalam manajemen budidaya Artemia pada tambak garam tahapan yang dilakukan dapat dilihat pada Gambar 25 dan Gambar 26 Manajemen tambak sangat menentukan dalam pemeliharaan Artemia.  Beberapa tahapan manajemen tambak dalam pemeliharaan Artemia meliputi tahap persiapan, tahap pertumbuhan, tahap ovovivipar, tahap peningkatan salinitas dan tahap ovipar.
Tahap persiapan
®         Isi tambak dengan air laut dengan salinitas tinggi dan biarkan mengalami penguapan
®         Tambak telah siap mencapai salinitas 100 – 110 ppt dengan kedalaman air sekitar 30-40 cm dan tidak ada lagi predator
®         Jika makanan dalam air dirasa tidak cukup perlu dilakukan pemupukan.
®         Laksanakan inokulasi naupli Artemia ke dalam tambak
Tahap Pertumbuhan
Pertahankan salinitas pada kisaran salinitas 110-120 ppt melalui pemasukan air baru sehingga memungkinkan naupli Artemia yang diinokulasikan tumbuh menjadi dewasa
Tahap Ovovivipar
Salinitas masih tetap dipertahankan 110 -120 ppt hingga populasi Artemia dewasa bertambah melalui reproduksi ovovivipar.  Agar dapat mencapai kondisi optimal, densitas Artemia harus dapat mencapai 40 individu atau lebih per liter.
Tahap Peningkatan Salinitas
Salinitas air tambak ditingkatkan hingga mencapai 150 ppt melalui penguapan, tetapi kedalaman air tetap dipertahankan.
Tahap Ovipar
Pertahankan salinitas pada tingkat 150 ppt melalui penambahan air secara teratur.  Salinitas yang lebih tinggi akan merangsang terjadinya reproduksi ovipar sehingga sebagian besar populasi akan menghasilkan sista.  Pertahankan pada kondisi ini sepanjang cuaca memungkinkan, dan terus dilakukan pemanenan sista
Beberapa catatan penting dalam manajemen tambak diantaranya adalah:
1)         melakukan pemeriksaan secara teratur kedalaman air tambak dan suhu air maksimum.  Kedalaman air tidak boleh kurang dari 30 cm dan suhu air harus lebih rendah dari 38°C;
2)         jika air tambak kurang subur perlu dilakukan pemupukan menggunakan pupuk anorganik ataupun pupuk organik.
Semua tahapan-tahapan yang dilakukan dalam skema Gambar 25 dan 26  harus dapat diatur dengan sebaiknya sehingga pemanenan yang dihasilkan baik
Produksi Dan Pemanenan Sista Artemia
Setelah diinokulasi dalam lahan garam pemeliharaan dilakukan dengan pemberian makanan tambahan dapat berupa bungkil kedelai, dedak, ampas tahu, bungkil kelapa, tepung terigu, tepung ikan, dll. Frekuensi waktu pemberian pakan adalah 1 - 4 kali/hari dengan dosis pemberian pakan adalah   1- 10 kg/Ha.
Artemia dalam waktu 3 – 4 minggu telah bertelur dimana tiap induk
Artemia akan menghasilkan 30 – 70 buah sista/nauplius dengan siklus reproduksi adalah antara 7 – 10 hari.
Sista yang telah keluar dari lapisan pembungkusnya (yolk suck) akan mengapung di sudut tambak. Pemanenan dilakukan setiap hari yaitu pada pagi dan sore hari. Pemanenan sista dilakukan dengan gayung dan dimasukkan dalam saringan bertingkat (250µm, 200 µm, 150 µm). Penanganan paska panen untuk sista dicuci hingga bersih dengan air bersalinitas antara 80 – 150 ppt. Sista bersih disimpan/direndam dalam larutan garam bersalinitas 150 – 250 ppt dan kualitas sista dapat bertahan dalam waktu 6 – 12 bulan  disebut dengan nama penyimpanan basah.
Sedangkan penyimpanan kering adalah dengan cara sista direndam air tawar selama 5 – 15 menit, cangkang yang mengapung dibersihkan, kemudian dipindahkan ke larutan garam 150 -250 ppt dan dibersihkan kembali sisa partikel-partikel kotoran lainnya yang tenggelam, dilakukan 3 kali pencucian ulang. Sista bersih siap dikeringkan dan dikemas vacuum, penyimpanan dengan cara ini dapat tahan sampai 3 tahun.
Produksi sista diperkirakan untuk luas tambak 1 ha produksi sista setiap siklusnya (7 – 10 hari)  adalah 50 -125 kg dengan nilai dalam rupiah 20 juta sampai 50 juta (Amarullah dan Sriyanto, 2006).
.Produksi Dan Pemanenan Biomassa Artemia
Selain sista yang dipanen juga dilakukan  panen biomass dengan menggunakan seser. Biomassa Artemia ini dapat langsung digunakan sebagai pakan dari juvenil ikan/udang atau ikan hias dan lainnya atau dapat dibuat flake Artemia yang pemanfaatannya dapat tahan lebih lama.
Perdagangan garam di Indonesia sampai saat ini masih sebagian besar impor dikarenakan produksi garam nasional tidak dapat memenuhi kebutuhan garam nasional. Garam impor untuk memenuhi kebutuhan industri sedangkan garam konsumsi dapat dipenuhi dari produksi garam lokal bahkan ada kecenderungan over stock saat ini karena merembesnya garam impor ke garam konsumsi sehingga mengganggu harga pasar garam konsumsi (Sungkowo, 2006). Pusat sentra garam di Indonesia adalah Jawa Timur dan Madura hal ini terlihat dalam Gambar 29 tentang jalur distribusi garam di Indonesia.
Pasar Produk Artemia
Produk Artemia yang dihasilkan adalah sista Artemia dan biomassanya. Semua itu sangat penting dalam pemanfaatannya dalam industri perikanan yang merupakan pakan dari benur atau larva serta anak ikan dari berbagai budidaya perikanan. Diketahui pada tahun 2003 menurut Prihadi, dkk 2005 bahwa pada tahun 2003 diperlukan 398 ton sista Artemia untuk 55,24 milyar ekor benur di tambak seluas 380.355  ha.
Kebutuhan Artemia sangat tinggi dari budidaya laut saja, yang selama ini dipenuhi dari impor, sehingga pasar produk Artemia masih terbuka sangat luas.
DAFTAR PUSTAKA
Abu dan kawan-kawan. 2002. Buku Panduan Pembuatan Garam Bermutu. Pusat Riset Wilayah Laut dan Sumberdaya Non Hayati. BRKP. Jakarta
Adisukresno, A. 1983. Mengenal Artemia. Balai Budidaya Air Payau, Jepara. 83 hlm.
Amarullah, Husni dan Sriyanto, B. 2006. Teknologi Garam-Artemia dan Produk
Terkait Lainnya. Badan pengkajian dan penerapan Teknologi. Makalah Workshop Masa Depan Industri Garam di Indonesia
Anand, T. 1979. Cyst Production Of Artemia salina In Salt Ponds In Thailand. National Freshwater Prawn Research and Training Centre Inland Fiseries Division, Departement of Fisheries Ministry of Agriculture and Cooperatives, Thailand.
Anonim. 1990. Basic Chemical Industries of Indonesia. The Federation of Basic Chemical Industries of Indonesia. Jakarta.
Anonim. 1993. Sodium Chloride dalam Chemical Index.
Anonim. Methods of Salt Production.
Anonim. Scientific Properties of Salt.
Anonim. The Salt Manufacturers’ Association. Manchester. United Kingdom.
APROGAKOP. 2000. Posisi Indonesia dan Pengaruh terhadap Industri di Indonesia. Departemen Kelautan dan Perikanan.
Baert, B., Bostels, P., And Sorgeloos, P. 1996. Pond Production on Manual on Production and Use of Live Food of Aquaculture. FAO Fisheries Technical Paper 361 , Rome.
Bagsaw, J. 1980. Biochemistry of Artemia Development Report on Symposium Held In Toronto (Canada) In July 1979. The Brine Shirmp Artemia : Universa Press, Wetteren, Belgium. (3).
BBAP, 1996. Pengembangan Usaha Produksi Kista Artemia Oleh Petambak Garam Di Madura. Balai Budidaya Air Payau, Direktorat Jendral Perikanan, Jepara.
Bossuyt, E., and Sorgeloos, P. 1980. Technological Aspects Of The Batch Culturing Of Artemia in High Desities. The Brine Shirmp Artemia Universa Press. Vol. 3. Ecology, Aquaculture. Use in Culturing.
Bruggeman, E., Sorgeloos, P., and Vanhaecke, P. 1980. Improvments In The
Decapsulation Technique Of Artemia Cyst. The Brine Shirmp Artemia : Universa Press, Wetteren, Belgium. (3), pp. 262-268.
Cholik, F., dan Daulay, T. 1985.  Artemia Salina (Kegunaan, Biologi dan Kulturnya). Indonesia Fisheries Information System (12) : 26 hlm.
Daulay, T., dan Haniah, S. 1980. Kemungkinan Pemeliharaan Artemia sp di Kolam atau Tambak di Indonesia. Buletin Penelitian Perikanan. Majalah Ilmiah Perikanan Indonesia.
Dhont, J., and Lavens, P. 1986. Tank Production and Use Of ongrown Artemia. Laboratory of aquaculture and Artemia Reference Center. University Of Gent, BelgiumDirektorat Bina Pasar Dalam Negeri.
Deperindag. 2000. Perdagangan Garam di Indonesia. Departemen Kelautan dan Perikanan.
Direktorat Industri Kimia An Organik. Deperindag. 2000. Pertumbuhan Permintaan dan Penyediaan Garam serta Kebijaksanaan Penanganan Garam di Indonesia. Departemen Kelautan dan Perikanan.
Hernanto, B. 2006. Standar Kualitas Garam dan Produk Turunannya. Direktorat
Industri Kimia An Organik. Departemen Perindustrian. Makalah Workshop Masa Depan Industri Garam di Indonesia
Joko Wilarso. 1995. Peningkatan teknologi proses pengolahan garam rakyat menjadi garam industri dengan tenaga surya. Balai Penelitian dan Pengembangan Industri. Semarang.
Kontara, Mintardjo, Sumeru, dan Ranoemihardjo. 1987. Teknik Budidaya Artemia (Culture of Live Organisms with Special Reference to Artemia Culture). INFIS, Jakarta.
Lavens P., Baert P., Sorgeloos, P., dan Smets, J. 1985. New Development In The High Density Flo-throgh Culturing Of Brine Shirmp Artemia. Paper at 16th Annual Meeting Of The World Marinculture Society, Orlando, Florida. Hlm. 1-9.
Mai Soni, A.F., 1986.  Budidaya Artemia di Tambak Garam, Kabupaten Sampang,
Madura.  Balai Budidaya Air Payau Jepara. 15 p
Mai Soni, A.F., 2003.  Budidaya Artemia di Tambak Garam. Laporan Tahunan 2003. Balai Besar Pengembangan Budidaya Air Payau Jepara. 11 hal.
K.M. Mackay and R. Ann Mackay. 1974. Modern Inorganic Chemistry. Intertext Books. London.
Kerry Mgruder. Halite. Guidelines for Rock Collection.
Mukidjan, R.S. 2006. Kebijakan Ditjen Perdagangan Dalam Negeri di Bidang Bina Pasar dan Distribusi. Direktorat Bina Pasar Dalam Negeri. Departemen Perdagangan, RI. Makalah Workshop Masa Depan Industri Garam di Indonesia
Persoone, G. and Sorgeloos, P. 1980. General Aspects of ecology and biogeography of artemia. The Brine Shirmp Artemia : Universa Press, Wetteren, Belgium. (3), pp. 3-21.
Santos, C., Sorgeloos, P., Lavina, E., and Bernardino, A. 1980. Succesfull Inoculation of Artemia and Production Cyst in Philippines.. The Brine Shirmp Artemia : Universa Press, Wetteren, Belgium. (3), pp. 159-163.
Prihadi, dkk. 2005. Sistem Teknologi Budidaya Artemia di Tambak Garam di Indonesia. Presentasi
Proyek Penelitian Pertanian Menunjang Transmigrasi. 1980. Team of Reference. Type A. Publikasi LP. Tanah. Bogor.    
PT. Garam. 2000. Teknologi Pembuatan dan Kendala Produksi Garam di Indonesia. Departemen Kelautan dan Perikanan.
PT. Industri Soda Indonesia. 2000. Garam Produksi. Departemen Kelautan dan Perikanan.
Riley and Chester. 1971. Introduction to Marine Chemistry. Academic Press. London.
Riley and Skirrow. 1975. Chemical Oceanograpy. Academic Press. London.
Soil Survey Staff. 1975. Soil Taxonomy. A Basic System of Soil Classification for Making and Interfreting Soil Surveys USDA. Hand Book No.436.
Sungkowo, WB. 2006. Garam.  PT. Garam , Persero. Makalah Workshop Masa Depan Industri Garam di Indonesia
Syahfiri dkk (Editors). 1990. Basic Chemical Industries of Indonesia. The Federation of Basic Chemical Industries of Indonesia. Jakarta.
Wahyuadi, IGK. 2005. Manfaat, Distribusi dan Produksi Artemia Lokal. Dalam Temu Nasional Perbenihan Perikanan, Jepara 6-8 Desember 2005. Dirjen Perikanan Budidaya. Jawa Tengah.
Wahyuadi, IGK dan Agung Sudaryono. 2005. Inovasi Budidaya Artemia. Pusat Riset Perikanan Budiodaya. BRKP.
Welch, P.S. 1952. Limnology. Second Edition. New York. Toronto. London. McGrawHill, Book Company, Inc.

Friday, June 16, 2017

PROSES PENGALENGAN IKAN

June 16, 2017 Posted by Media Penyuluhan Perikanan Pati No comments
Pengalengan, yaitu salah satu cara penyimpanan dan pengawetan bahan pangan yang dikemas secara hermetic dalam suatu wadah yang disebut can (kaleng) dan kemudian disterilkan, sehingga diperoleh produk pangan yang tahan lama dan tidak mengalami kerusakan baik fisik, kimia maupun biologis.
- Pengalengan didefinisikan juga sebagai suatu cara pengawetan bahan pangan yang dipak secara hermetis (kedap terhadap udara, air, mikroba, dan benda asing lainnya) dalam suatu wadah, yang kemudian disterilkan secara komersial untuk membunuh semua mikroba patogen (penyebab penyakit) dan pembusuk. Pengalengan secara hermetis memungkinkan makanan dapat terhindar dan kebusukan, perubahan kadar air, kerusakan akibat oksidasi, atau perubahan cita rasa.
- Dalam industri pengalengan makanan, yang diterapkan adalah sterilisasi komersial (commercial sterility). Artinya, walaupun produk tersebut tidak 100 persen steril, tetap cukup bebas dari bakteri pembusuk dan patogen (penyebab penyakit), sehingga tahan untuk disimpan selama satu tahun atau lebih dalam keadaan yang masih layak untuk dikonsumsi.
- Metoda pengalengan secara umum dapat digolongkan menjadi dua, yaitu metoda pengalengan konvensional dan metoda aseptik. Pada metoda pengalengan konvensional bahan pangan berupa padatan atau caiaran yang telah disiapkan dalam kaleng atau botol ditutup rapat dan disterilisasi dalam autoklaf. Sedangkan pada metoda pengalengan aseptik bahan pangan dan kemasan dikerjakan secara terpisah Bahan pangan diperlakukan sesuai dengan proses termalnya, sedangkan kemasan dilakukan sterilisasi terlebih dahulu
2.2  Prinsip Pengalengan
yaitu mengemas bahan pangan dalam wadah yang tertutup rapat sehingga udara dan zat-zat maupun organisme yang merusak atau membusukkan tidak dapat masuk, kemudian wadah dipanaskan sampai suhu tertentu untuk mematikan pertumbuhan mikroorganisme yang ada.
Ø  Mekanisme Pengalengan Pengalengan bahan pangan pada prinsipnya dapat dilakukan dengan dua cara yaitu :
a  Bahan pangan dikemas dulu secara hermetis, baru kemudian dipanaskan.
b  Bahan pangan dipanaskan lebih dahulu baru dikemas (dipak) secara hermetis baik setelah dingin maupun panas. Penggunaan kemasan secara dingin itu sering disebut sebagai pengalengan aseptis.
Diantara bakteri-bakteri yang berhubungan dengan pengalengan ikan, clostridium botulinum adaalah yang paling berbahaya. Bakteri tersebut dapat menghasilkan racun btulin yang membentuk spora yang tahan panas. Pemanasan selama 4 menit pada suhu 120°C atau 10 meit pada suhu 115°C sudah ckup untuk membunuh semua strain clostridium botulinum karena sifatnya yang tahan panas, maka jika proses pengalengan dilakukan secara tidak benar maka bakteri tersebut dapat aktif kembali.
Pada prinsipnya hampir semua produk asal laut dapat dikalengkan, seperti teripang, cumi-cumi, kerang, kepiting, ubur-ubur, udang, berbagai jenis ikan, dan sebagainya. Hanya saja, pada umumnya ikanlah yang paling banyak dikalengkan. Beberapa jenis ikan yang biasa dikalengkan adalah cakalang, tuna, lemuru, sardin, salmon, kembung, banyar, kenyar, bengkunis, corengan, tembang, layang, bentong, dan juhi.
2.3.Proses Pengalengan
Pada dasarnya prinsip-prinsip pengolahan dalam pengalengan, baik dilakukan di rumah maupun di pabrik ternyata sama saja. Tahapan pengalengan terdiri dari :
a. Penyiapan wadah
Pembersihan wadah sebelum dipakai : Wadah perlu dicuci terlebih dahulu, dan kemudian dibersihkan dari sisa-sisa air pencuci.
b. Pemberian kode
Pada wadah perlu diberikan kode tentang tingkat kualitas bahan yang diisikan , tanggal, tempat, dan nomor dari batch pengolahan. Hal ini perlu dilakukan untuk memudahkan pemeriksaan jika ada suatu kerusakan atau kelainan yang terjadi pada produk akhir yang dihasilkan.
c. Penyiapan Bahan Mentah
-  Pemilihan (Sortasi/Grading) : bahan baku yang akan digunakan dalam proses engalengan dipilih yang bermutu baik serta diseleksi secara ketat. Pemilihan bahan baku ini memegang peranan yang sangat penting karena hanya dari bahan baku yang baik akan dihasilkan produk akhir yng bermutu baik. Sortasi dan grading dapat dilakukan berdasarkan ukuran/diameter, berat jenis atau warna
-  Pembersihan (Washing)
Pembersihan dimaksudkan untuk menghilangkan kotoran-kotoran dari bahan baku atau bagian-bagian yang tidak dikehendaki,seperti kepala, sirip, isi perut, insang, dan ekor; dapat dilakukan dengan cara pencucian dengan air dingin. Pencucian dapat dilakukan dengan cara merendam atau menyemprot bahan dengan air. Selanjutnya ikan dipotong-potong menurut ukuran tertentu, sesuai dengan ukuran kaleng yang akan digunakan. Tujuan dari proses penyiangan ini adalah untuk memperoleh bentuk yang menarik dan mengurangi sumber kontaminan yaitu isi perut dan insang ikan.
d. Penambahan Bahan Tertentu
•  Larutan garam dengan konsentrasi 15- 20 % sebagai media untuk ikan. Tujuannya adalah untuk menghilangkan sisa-sisa darah, kotoran dan lendir, menurunkan jumlah mikroba awal serta untuk memperkuat tekstur dan rasa ikan.
•  Minyak dipakai untuk pengalengan ikan
•  Larutan sirup (sukrosa atau glukosa) untuk pengalengan buah-buahan
1. Latar Belakang
Komoditas perikanan mempunyai kecenderungan meningkat di pasaran dunia ditengah merosotnya perdagangan komoditas pertanian dan bahan pangan lainnya. Pemerintah terus berupaya untuk merangsang pertumbuhan industri perikanan agar dapat meningkatkan produksinya untuk ekspor, sekaligus akan bermanfaat untuk meningkatkan hasil devisa negara dan sebagai saluran pemasaran baru bagi produksi rakyat ke luar negeri. Dengan pengembangan perikanan akan mendorong para investor baik dalam negeri maupun luar negeri untuk menginvestasikan modalnya disektor perikanan (Wahyudi dalam Khairul, 2003).
Ikan merupakan sumber makanan yang mudah membusuk (perishable food), karena itu dalam pengolahannya perlu dilakukan dengan cepat dan tepat. Apabila cara penanganan salah, maka tidak mungkin dihasilkan produk perikanan yang bermutu baik demikian pula pada pengolahannya, harus dilakukan dengan benar supaya tahan lama serta nutrisinya tidak berkurang. Salah satu teknologi pengolahan yang digunakan untuk melindungi ikan dari pembusukan dan kerusakan. adalah dengan pengalengan ikan.
2. Pengertian Pengalengan
Pengalengan ikan merupakan salah satu pengawetan ikan dengan menggunakan suhu tinggi (sterilisasi) dalam kaleng (Murniyarti dan Sunarman, 2000). Diperjelas oleh Pratiwi dalam Khairul (2004), yang menyatakan bahwa pengalengan didefinisikan sebagai suatu cara pengawetan bahan pangan yang dikemas secara hermetis (kedap terhadap udara, air, mikroba dan benda asing lainnya) dalam suatu wadah yang kemudian disterilkan secara komersial untuk membunuh semua mikroba patogen (penyebab penyakit pada manusia khususnya) dan mikroba pembusuk (penyebab kebusukan atau kerusakan bahan pangan). Dengan demikian sebenarnya pengalengan memungkinkan terhindar dari kebusukan atau kerusakan, perubahan kadar air, kerusakan akibat oksidasi atau ada perubahan cita rasa.
3.  Prinsip Pengalengan
Prinsip dasar pengalengan yaitu mengemas bahan pangan dalam wadah yang tertutup rapat sehingga udara dan zat-zat maupun organisme yang merusak atau membusukkan tidak dapat masuk, kemudian wadah dipanaskan sampai suhu tertentu untuk mematikan pertumbuhan mikroorganisme yang ada. Melalui perlakuan tersebut terjadi perubahan keadaan bahan makanan, baik sifat fisik maupun kimiawi sehingga keadaan bahan ada yang menjadi lunak dan enak dimakan.
Pengalengan ikan merupakan suatu cara pengawetan bahan pangan yang dikemas secara hermetis dalam suatu wadah, baik kaleng, gelas atau aluminium dan kemudian disterilkan. Pengemasan secara hermetis dapat diartikan bahwa penutupannya sangat rapat, sehingga tidak dapat ditembus oleh udara, air, kerusakan akibat oksidasi, ataupun perubahan cita rasa (Adawyah, 2008). Pratiwi dalam Khairul (2004), menambahkan bahwa prinsip utamanya yang dilakukan pada makanan kaleng adalah selalu menggunakan perlakuan panas yang ditujukan untuk membunuh mikroba yang kemungkinan ada.
4. Proses Pengalengan Ikan
Adawyah (2008), menyatakan bahwa berdasarkan cara pengolahannya, pengalengan hasil perikanan dapat dibedakan dalam beberapa tipe, yaitu direbus dalam air garam, dalam minyak, dalam saos tomat, dan dibumbui. Adapula pembagian produk pengalengan ikan atas dasar bentuk bahan yang dikalengkan, dalam keadaan mentah, atau dimasak terlebih dahulu. Hudaya (2008), menambahkan bahwa proses pengalengan ikan terdiri dari penyiapan wadah, penyiapan bahan mentah, pengisian ke dalam wadah, dan proses pengalengan.
4.1. Persiapan Wadah
   Di dalam pengalengan suatu produk, penting diperhatikan untuk selalu menggunakan jenis kaleng yang sesuai produk, dengan tujuan untuk menghindari terjadinya perubahan warna. Kaleng-kaleng yang akan digunakan hendaknya diperiksa solderannya, adanya karat atau adanya cacat  lainnya, misalnya lekuk-lekuk atau penyok. Kaleng yang baik kemudian dicuci dalam air sabun hangat dan kemudian dibilas dengan air bersih ( Adawyah, 2008).
Hudaya (2008), menambahkan bahwa wadah perlu dicuci terlebih dahulu, dan kemudian dibersihkan dari sisa-sisa air pencuci. Pada wadah perlu diberikan kode tentang tingkat kualitas bahan yang diisikan, tanggal, tempat, dan nomor dari batch pengolahan. Hal ini perlu dilakukan untuk memudahkan pemeriksaan jika ada suatu kerusakan atau kelainan yang terjadi pada produk akhir yang dihasilkan.
4.2. Penyiapan Bahan Mentah
Untuk memperoleh produk yang bermutu maka bahan baku yang dipakai juga harus bermutu tinggi, diantaranya yaitu menggunakan bahan baku ikan yang masih dalam keadaan segar (Poernomo, 2002). Adapun ciri-ciri bahan baku yang baik adalah sebagai berikut.
Tabel 1. Ciri-Ciri utama Ikan Segar dan Ikan yang Mulai Busuk

   
Ikan Segar
   
Ikan yang Mulai Busuk
Kulit
   
·  Warna kulit terang dan jernih
·  Kulit masih kuat membungkus tubuh, tidak mudah sobek, terutama bagian perut
·  Warna-warna khusus yang ada masih terlihat jelas.
   
·  Kulit berwarna suram, pucat dan berlendir banyak
·  Kulit mulai terlihat mengendor di beberapa tempat tertentu.
Sisik
   
·  Sisik menempel kuat pada tubuh sehingga sulit dilepas
   
·   Sisik mudah terlepas dari tubuh
Mata
   
·  Mata tampak terang, jernih menonjol dan cembung
   
·  Mata tampak surm, tenggelam dan berkerut.
Insang
   
·  Insang berwarna merah sampai merah tua, terang dan lamella insang terpisah
·  Insang tertutup oleh lendirberwarna terang dan berbau segar seperti bau ikan
   
·  Insang berwarna cokelat suram atau abu-abu dan lamella insang berdempetan
·  Lendir insang keruh dan berbau asam, menusuk hidung
Daging
   
·  Daging kenyal, menandakan rigormortis masih berlangsung
·  Daging dan bagian tubuh yang lain berbau segar
·  Bila daging ditekan dengan jari tidak terlihat lekukan
·  Daging melekat kuat pada tulang
·  Daging perut utuh dan kenyal
·  Warna daging putih
   
·  Daging lunak menandakan rigormortis telah selesai
·  Daging dan bagian tubuh yang lain mulai berbau busuk
·  Bila ditekan dengan jari tampak bekas lekukan
·  Daging mudah lepas dari tulang
·  Daging lembek dan isi perut sering keluar
·  Daging berwarna kuning kemerah-merahan terutama disekitar tulang punggung
Bila ditaruh di dalam air
   
·  Ikan segar akan tenggelam
   
·  Ikan yang sudah sangat membusuk aka mengapung di permukaan air

•  Ikan segar akan tenggelam
•  Ikan yang sudah sangat membusuk aka mengapung di permukaan air
Sebelum bahan baku dimasukkan ke dalam kaleng, dilakukan sortasi dan grading berdasarkan ukuran/diameter, berat jenis atau warna. Kemudian dilakukan pembersihan dengan tujuan untuk menghilangkan kotoran-kotoran dari bahan baku yang dapat dilakukan dengan cara menghilangkan bagian-bagian yang tidak diinginkan untuk daging dan ikan. Pencucian dapat dilakukan dengan cara merendam atau menyemprot bahan dengan air (Hudaya, 2008). Proses penyiapan bahan baku ini juga disertai dengan proses pemotongan. Pemotongan bisa dilakukan dengan manual maupun alat mekanis.
4.3.  Pengisian (Filling)
Pengisian wadah dengan bahan yang telah disiapkan sebaiknya dilakukan segera setelah proses persiapan selesai. Pengisian produk dilakukan sampai permukaan yang diinginkan dalam wadah dengan memperhatikan adanya Head space yang berfungsi sebagai ruang cadangan untuk pengembangan produk selama sterilisasi, agar tidak menekan wadah karena akan menyebabkan gelas menjadi pecah atau kaleng menjadi kembung (Adawyah, 2008).
Hudaya (2008), menambahkan bahwa pengisian bahan jangan terlalu penuh dan harus disisakan tempat kosong di bagian atas wadah (head space). Volume head space tak lebih dari 10 % dari kapasitas wadah. Bila head space terlalu kecil akan sangat berbahaya, karena ujung kaleng akan pecah akibat pengembangan isi selama pengolahan. Sebaliknya apabila “head space“ terlalu besar, udara yang terkumpul di dalam ruang tersebut lebih banyak, sehingga dapat menyebabkan oksidasi dan perubahan warna bahan yang dikalengkan.
4.4.  Penghampaan Udara (Exhausting)
Sebelum wadah ditutup, biasanya dilakukan penghampaan/exhausting untuk memperoleh keadaan vakum parsial. Tujuan penghampaan tersebut adalah untuk memperoleh keadaan vakum dalam wadah yaitu dengan jalan mengeluarkan udara terutama oksigen (O2) yang ada dalam head space. Udara dan gas yang dikeluarkan dari isi kaleng ditampung dalam head space yaitu ruangan antara tutup wadah dan permukaan bahan. Head space ini perlu untuk menampung gas-gas yang timbul akibat reaksi-reaksi kimia dalam bahan dan juga agitasi (pengadukan) serta isi kaleng selama sterilisasi (Hudaya, 2008).
Exhausting dilakukan dengan cara melakukan pemanasan pendahuluan terhadap produk, kemudian produk tersebut diisikan ke dalam kaleng dalam keadaan panas dan wadah ditutup juga dalam keadaan panas. Untuk beberapa jenis produk, exhausting dapat dilakukan dengan cara menambahkan medium, misalnya saos tomat larutan garam mendidih (Adawyah, 2008).
4.5.  Penutupan Wadah (Sealing)
Penutupan kaleng dilakukan dengan alat khusus. Penutupan kaleng harus sempurna, sebab kebocoran dapat merusak produknya. Sebelum wadah ditutup diperiksa dahulu apakah head space-nya sudah cukup dan sesuai dengan perhitungan. Setelah ditutup sempurna, kaleng/wadah perlu dibersihkan jika ada sisa-sisa bahan yang menempel pada dinding kaleng/wadah. Pencucian dilakukan dengan air panas (suhu sekitar 82,2 oC) yang mengandung larutan H2PO4 dengan konsentrasi 1,0 – 1,5 %, kemudian dibilas dengan air bersih beberapa kali (Hudaya, 2008).
4.6.  Sterilisasi
Sterilisasi (Processing) pada pengalengan adalah proses pemanasan wadah serta isinya pada suhu dan jangka waktu tertentu untuk menghilangkan atau mengurangi faktor-faktor penyebab kerusakan makanan, tanpa menimbulkan gejala lewat pemasakan (over cooking) pada makanannya. Suhu yang digunakan biasanya 121 oC selama 20 – 40 menit, tergantung dari jenis bahan makanan (Hudaya, 2008).
Sterilisasi tidak hanya bertujuan untuk menghancurkan mikroba pembusuk dan patogen, tetapi juga berguna untuk membuat produk menjadi cukup masak, yaitu dilihat dari penampilan, tekstur, dan cita rasanya sesuai dengan yang diinginkan. Oleh karena itu, proses pemanasan harus dilakukan pada suhu yang cukup tinggi untuk menghancurkan mikroba, tetapi tidak boleh terlalu tinggi sehingga membuat produk menjadi terlalu masak (Adawyah, 2008).
4.7.  Pendinginan (Cooling)
Pendinginan dilakukan sampai suhunya sedikit di atas suhu kamar (35-40oC) maksudnya agar air yang menempel pada dinding wadah cepat menguap, sehingga terjadinya karat dapat dicegah. Tujuan pendinginan adalah untuk mencegah lewat pemasakan (over cooking) dari bahan pangan serta mencegah tumbuhnya spora-spora dari bakteri perusak bahan pangan yang belum mati (Hudaya, 2008).
Adawyah (2008), menambahkan bahwa apabila pendinginan terlalu lambat dilakukan maka produk akan cenderung terlalu masak sehingga akan merusak tekstur dan cita rasanya. Selain itu, selama produk berada pada suhu antara suhu ruang dan proses, pertumbuhan spora dan bakteri tahan panas akan distimulir. Selain itu, dengan pendinginan juga mengakibatkan bakteri yang masih bertahan hidup akan menyebabkan shock sehingga akan mati.
4.8.. Sortasi, Pemberian Kode dan Pengemasan
Keranjang yang telah didinginkan kemudian diangkat menggunakan katrol hoist secara berpasangan menuju jalur tempat pemberian kode dan pengemasan. Keranjang yang berada pada jalur diangkat menggunakan katrol hoist yang berada pada ruangan pengemasan satu persatu. Sebelumnya kode pengenal kernjang diambil untuk proses pencetakan kode pada mesin video jet. Kaleng-kaleng yang berasal dari keranjang disusun pada konveyor mesin print untuk proses pencetakan kode produksi dan tanggal kedaluarsa. Instruksi kerja mesin print dapat dilihat pada lampiran.
Kaleng-kaleng yang telah dilewatkan pada laser pencetak kode kemudian di sortasi untuk memeriksa kerusakan yang terjadi. Macam-macam kerusakan dapat dilihat pada lampiran. Pencetakan kode yang salah dihilangkan menggunakan etanol kemudian dikembalikan pada mesin mencetak kode. Sedangkan kaleng yang penyok sedikit di bereskan jika dapat di bersekan.
Kaleng yang karat sedikit pada bagian tutup di lapisi dengan menggunakan spidol 32 silver. Kaleng yang penyok bagian kepala tutupnya di rapikan dengan menggunakan kepala seamer dan palu.
Pengemasan Kaleng-kaleng yang telah diberi kode dan di sortasi dari kerusakan kemudian dimasukan kedalam kardus sesuai jenis produk. Cara pengemasan yaitu dengan memasukan kaleng-kaleng kedalam kardus dengan posisi tutup kaleng berada dibagian atas dan diberi layer untuk memberi batas tiap sapnya. Kemudian karton diberi kode: tanggal produksi, batch retort, jenis ikan, dan asal kaleng.
4.9.  Penyimpanan
Suhu penyimpanan sangat berpengaruh terhadap mutu makanan kaleng. Suhu yang terlalu tinggi dapat meningkatkan kerusakan cita rasa, warna, tekstur dan vitamin yang dikandung oleh bahan, akibatnya akan menyebabkan terjadinya reaksi kimia. Selain itu, juga akan memacu pertumbuhan bakteri yang pada saat proses sterilisasi sporanya masih dapat bertahan (Adawyah, 2008).
Hudaya (2008), menambahkan bahwa suhu penyimpanan yang dapat mempertahankan kualitas bahan yang disimpan adalah 15oC. Suhu penyimpanan yang tinggi dapat mempercepat terjadinya korosi dan perubahan tekstur, warna, rasa serta aroma makanan kaleng. Untuk menghindari terjadinya hal tersebut maka penyimpanan harus memenuhi syarat yaitu suhu rendah, RH rendah dan ventilasi atau pertukaran udara di dalam ruangan penyimpanan harus baik. Penyimpanan bertujuan agar makanan yang dikalengkan tidak berubah kualitasnya maupun kenampakannya sampai saat akan diangkut / dipasarkan.

5.  Kerusakan Pada Produk Kaleng
Kerusakan pada produk kaleng, khususnya produk pengalengan ikan menurut Adawyah (2008) dibagi menjadi dua yaitu kerusakan yang disebabkan karena kesalahan pengolahan dan kebocoran kaleng. Hudaya (2008), menambahkan bahwa pada umumnya kerusakan utama pada makanan kaleng ditimbulkan oleh kurang sempurnanya proses termal dan pencemaran kembali sesudah pengolahan. Kerusakan makanan kaleng dapat disebabkan tiga hal yaitu keadaan terlipatnya sambungan-sambungan kaleng, kontaminasi bakteriologis dari air pencuci atau air pendingin, peralatan pengalengan bekerja kurang baik.
5.1. Kesalahan Pengolahan
Pengolahan yang kurang (Underprocessing) mengakibatkan mikroba mesofil masih dapat hidup. Mikroba tersebut berasal dari spora yang tahan pada suhu tinggi. Jenis kerusakan ini dinamakan inspient spoilage, yaitu produk akhir yang steril komersial tetapi isi kaleng menunjukkan gejala kerusakan oleh mikroba (Adawyah, 2008). Adapun jenis-jenis kerusakan yang disebabkan oleh kesalahan pengolahan adalah sebagai berikut.
-    Mengalami penurunan tekanan vakum yang disebabkan oleh perubahan tekstur daging ikan.
-    Sering terjadi lengket produk bagian dalam tutup kaleng.
-    Terbentuknya gumpalan warna kelabu pada permukaan produk.
-    Terbentuknya kristal seperti kaca dari magnesium ammonium fosfat.
Bakteri yang harus diwaspadai dalam pengalengan ikan diantara adalah bakteri-bakteri yang berhubungan dengan pengalengan ikan, Clostridium botulinum adalah yang paling berbahaya.
Sifat bakteri Clostridium botulinum menurut Angrenani dalam Khairul (1997):
a)  Dapat menghasilkan racun botulin
b)  Melindungi diri dari suhu yang tinggi dengan cara membentuk spora
c)  Bakteri Clostridium botulinum menghasilkan racun botulin yang dapat menyerang saraf dan menyebabkan kelumpuhan.
Tanda-tanda keracunan botulin adalah :
Tenggorokan menjadi kaku, penglihatan ganda, otot kejang, serta dapat mengakibatkan kematian akibat penderita tidak bisa bernapas, mata berkunang-kunang dan membawa kematian.
5.2. Kerusakan Kaleng
Kaleng yang tidak tertutup secara hermetis, ketika didinginkan dalam air pendingin yang tidak memenuhi syarat maka akan terkontaminasi oleh mikroba. Kerusakan itu dapat terlihat dengan adanya mixed flora, terdiri atas bakteri berbentuk batang rod dan kokus di dalam makanan yang rusak (Adawyah, 2008). Hudaya (2004), menambahkan bahwa penggembungan kaleng dapat disebabkan karena timbulnya gas CO2 atau H2. Isi kaleng dapat mengalami perubahan warna, rasa, dan terbentuk senyawa yang berbau tidak sedap.
5.3. Kerusakan Nonbakteriologi
Selain kerusakan yang disebabkan oleh aktivitas mikroba, masih terdapat kerusakan yang tidak disebabkan oleh aktivitas mikroorganisme. Misalnya Hidrogen swell yaitu kerusakan yang terjadi karena adanya reaksi kimia antara makanan dan kaleng yang membentuk gas hidrogen. Selain itu juga ada kerusakan akibat penyimpanan di atas 40-45oC dan masih banyak lagi kerusakan produk kaleng yang tidak disebabkan oleh aktivitas mikroba lainnya.
6.  Faktor Penyebab Awetnya Ikan Kaleng
Beberapa hal yang menyebabkan awetnya ikan dalam kaleng menurut (Akbarsyah dalam Khairul, 2006) adalah:
a)  Ikan yang digunakan telah melewati tahap seleksi, sehingga mutu dan kesegarannya dijamin masih baik.
b)  Ikan tersebut telah melalui proses penyiangan, sehingga terhindar dari sumber mikroba kontaminan, yaitu yang terdapat pada isi perut dan insang.
c)  Pemanasan telah cukup untuk membunuh mikroba pembusuk dan penyebab penyakit.
d)         Ikan termasuk ke dalam makanan golongan berasam rendah, yaitu mempunyai kisaran pH 5,6 - 6,5. Adanya medium pengalengan dapat meningkatkan derajat keasaman (menurunkan pH), sehingga produk dalam kaleng menjadi awet. Pada tingkat keasaman yang tinggi (dibawah pH 4,6), Clostridium botulinum tidak dapat tumbuh.
e)  Penutupan kaleng dilakukan secara rapat hermetis, yaitu rapat sempurna sehingga tidak dapat dilalui oleh gas, mikroba, udara, uap air, dan kontaminan lainnya. Dengan demikian, produk dalam kaleng menjadi lebih awet.
7. Media
Di Indonesia, dikenal 4 macam medium pengalengan, yaitu:
a)  Larutan garam (brine)
b)  Minyak
c)  Minyak yang ditambah dengan cabai dan bumbu lainnya,
d)         Saus tomat.
Tujuan penambahan medium pada proses pengalengan ikan adalah sebagai berikut:
1. Memberikan penampilan dan rasa yang spesifik pada produk akhir,
2. Sebagai media pengantar panas sehingga mempercepat sterilisasi
3. Mendapatkan derajat keasaman yang lebih tinggi (menurunkan pH)
4. Memberikan flavour yang khas.
Sumber : Sofyan Ilyas dalam Afrianto dan Liviawaty dalam Khairul (1989).

Thursday, June 15, 2017

MENGENAL PAKAN ALAMI UNTUK IKAN

June 15, 2017 Posted by Media Penyuluhan Perikanan Pati No comments
Pakan alami adalah makanan yang keberadaannya tersedia di alam. Sifat pakan alami yang mudah dicerna digunakan sebagai pakan benih ikan karena benih ikan memiliki alat percernaan yang belum sempurna. Oleh karena itu, pakan alami merupakan pakan yang tepat untuk benih, sehingga kematian yang tinggi pada benih ikan dapat dicegah (Lingga, 1989).
Keunggulan dari pakan alami sebagai pakan benih ikan antara lain pakan alami memiliki kandungan gizi yang cukup tinggi, mudah dicerna, gerakan pakan menarik perhatian ikan (Djarijah, 1995). Ukuran diameter pakan yang relatif kecil sehingga benih ikan mudah memakannya, dan tidak mencemari media pemeliharaan dibandingkan dengan pakan buatan (Lingga, 1989).
Kerugian yaitu seringkali pakan alami bersifat musiman, sehingga pada saat tertentu sulit didapat. Dapat membawa hama dan penyakit, seperti cacing sutra, yang hidup pada lumpur tercemar, sehingga bisa mengimpor bakteri terhadap lingkungan akuarium. Hama seperti larva capung atau hydra bisa secara tidak sengaja masuk ke akuarium dan memangsa burayak (Dharmawan, 2010).
Cacing sutra memiliki warna tubuh yang dominan kemerah-merahan. Ukuran tubuhnya sangat ramping dan halus dengan panjang 1-2 cm. Cacing ini sangat senang hidup berkelompok  atau bergerombolan karena masing-masing individu berkumpul menjadi koloni yang sangat sulit diurai dan saling berkaitan satu sama lainnya. Dasar perairan yang paling banyak mengandung bahan organik terlarut merupakan habitat kesukaannya. Membenamkan kepala merupakan kebiasaan cacing ini untuk mencari makanan (Khairuman, 2008).
Cacing sutra sering digunakan dalam pembudidayaan ikan hias. Kandungan gizi dari cacing sutra, terdiri dari protein 57,50%, lemak 13,50%, serat kasar 2,04%, abu 3,60% dan kadar air sebesar 87,19%. Keunggulannya adalah memiliki kandungan protein yang mampu memacu pertumbuhan ikan lebih efesien (Lingga, 1989).
Pakan Buatan
Pakan merupakan sumber energi dan materi bagi kehidupan dan pertumbuhan ikan. Zat yang terpenting dalam pakan adalah protein. Jumlah dan kualitas protein mempengaruhi pertumbuhan optimal ikan. Karena zat ini merupakan bagian terbesar dari daging ikan. Karena itu, dalam menentukan kebutuhan zat makanan, kebutuhan protein perlu dipenuhi terlebih dahulu (Khairuman, 2003).
Pakan yang baik harus memenuhi persyaratan sebagai berikut :
1. Pakan harus dapat dimakan oleh ikan, maksudnya kondisi pakan harus baik dan ukuran pakan harus sesuai dengan ukuran mulut ikan.
2. Pakan harus mudah dicerna.
3. Pakan harus dapat diserap oleh tubuh ikan.
Apabila ketiga persyaratan diatas dapat dipenuhi, pemberian pakan akan memberikan manfaat yang optimal bagi pertumbuhan dan kelangsungan hidup ikan (Khairuman, 2002).
Pakan buatan adalah pakan yang dibuat dengan formulasi tertentu berdasarkan pertimbangan kebutuhannya. Pembuatan pakan sebaiknya didasarkan pada pertimbangan kebutuhan nutrisi ikan, kualitas bahan baku, dan nilai ekonomis. Dengan pertimbangan yang baik, dapat dihasilkan pakan buatan yang disukai ikan, tidak mudah hancur dalam air, aman bagi ikan (Dharmawan, 2010).
Berdasarkan tingkat kebutuhannya pakan buatan dapat dibagi menjadi tiga kelompok yaitu ;
(1) pakan tambahan,
(2) pakan suplemen
(3) pakan utama.
Pakan tambahan adalah pakan pakan yang sengaja dibuat untuk memenuhi kebutuhan pakan. Dalam hal ini, ikan yang dibudidayakan sudah mendapatkan pakan dari alam, namun jumlahnya belum memadai untuk tumbuh dengan baik sehingga perlu diberi pakan buatan sebagai pakan tambahan. Pakan suplemen adalah pakan yang sengaja dibuat untuk menambah komponen nutrisi tertentu yang tidak mampu disediakan pakan alami. Sementara pakan utama adalah pakan yang sengaja dibuat untuk menggantikan sebagian besar pakan alami (Dharmawan, 2010).
Dalam pembuatan pakan ikan, pertama-tama perlu diperhatikan tentang pemilihan bahannya. Bahan-bahan tersebut harus memenuhi beberapa syarat, yaitu:
- Mempunyai nilai gizi tinggi
- Mudah diperoleh
- Mudah diolah
- Tidak mengandung racun
- Harga relatif murah
- Tidak merupakan makanan pokok manusia, sehingga tidak merupakan saingan (Mujiman, 1991).
Jenis-jenis Pakan
Berdasarkan bahan bakunya, pakan buatan memiliki dua karakter, yakni pakan pakan basah dan pakan kering.
a. Pakan basah
Pakan basah adalah pakan ikan yang bahan penyusunnya mengandung kadar air lebih dominan. Karakter pakan seperti ini sengaja dibuat agar larva dan burayak ikan lebih mudah mengomsumsi dan mencernanya. Jenis pakan basah ini beragam bentuknya, dari larutan emulsi, larutan suspensi, sampai bentuk pasta.
Pada bentuk emulsi, bahan-bahan yang terlarut menyatu dengan air sebagai pelarutnya. Apabila dipegang, terasa agak liat mirip lem encer. Contohnya adalah sari kacang kedelai yang sudah diramu dengan vitamin serta tambahan protein dari kuning telur.  Pakan berbentuk suspensi, bahan terlarutnya tidak menyatu dengan pelarutnya karena mengandung partikel-partikel halus yang tidak dapat larut. Contohnya adalah bubuk spirulina yang ditebarkan dalam kolam pemeliharaan ikan. Pakan bentuk pasta adalah pakan hasil adonan yang berbentuk gumpalan - gumpalan.
b. Pakan kering
Pakan kering adalah pakan ikan yang bahan penyusunnya mengandung sedikit kadar air, yakni sekitar 5-20 persen. Persentase kandungan air ini sengaja dibuat agar pakan bisa disimpan lebih lama dan mengapung diperairan. Kandungan air yang ada dalam pakan digunakan untuk melarutkan komposisi bahan-bahan penyusunnya agar mudah diramu. Bentuk pakan kering cukup beragam, seperti granule (butiran), flake (remah), pellet (bulat), dan stick (batang) (Tiana, 2004).
Pelet
Pelet adalah bentuk  pakan buatan yang terdiri dari beberapa macam bahan yang diramu dan dijadikan adonan, kemudian dicetak sehingga bentuknya merupakan batangan kecil-kecil. Panjangnya biasanya berkisar antara 1-2 cm. Jadi pelet tidak berupa tepung, tidak berupa butiran dan juga tidak berupa larutan (Mujiman, 1991).
Pakan yang tidak mudah hancur dalam air, minimum tahan dalam air sekitar 10 menit. Pakan yang tidak cepat tenggelam antara lain pakan buatan berbentuk butiran dengan diameter 2-5 mm yang populer disebut pelet. Pakan yang akan melayang dalam air dan tidak hancur selama 2-3 menit akan lebih baik. Pakan yang baik memberikan aroma yang dapat menarik dan merangsang nafsu makan ikan. Pakan yang baik dapat disimpan maksimum 2 bulan tanpa berubah kualitasnya (Tim lentera, 2002).
Bahan Baku
1 Ampas tahu
Ampas tahu merupakan hasil sisa perasan bubur kedelai. Ampas ini mempunyai sifat cepat basi dan berbau tidak sedap kalau tidak segera ditangani dengan cepat. Pemanfaatan ampas tahu menjadi pakan merupakan pengolahan yang paling mudah karena hanya dengan cara mengeringkannya. Ampas tahu yang dihasilkan segera dikeringkan. Dalam kondisi kering, ampas tahu dapat disimpan lama (Sarwono, 2003).
Biasanya para pengusaha tahu akan membuang ampas tahu begitu saja dan dibiarkan sampai membusuk. Ampas tahu dapat dimanfaatkan sebagai bahan baku pakan ikan dalam kondisi masih baik atau tidak busuk. Ampas tahu merupakan sumber protein (Khairuman, 2002). Kandungan gizi tepung ampas tahu adalah protein 23,55%, lemak 5,54%, karbohidrat 26,92%, serat kasar 16,53%, abu 17,03% dan air 10,43% (Mujiman, 1991).
2 Tepung ikan
Tepung ikan yang baik berasal dari jenis ikan yang kadar lemaknya rendah. Bau khusus suatu jenis ikan kadang-kadang juga mempengaruhi daya tariknya, sehingga lebih merangsang. Ikan-ikan rucah (tidak bernilai ekonomis penting) dari sisa-sisa hasil pengolahan biasanya merupakan bahan baku yang penting untuk pembuatan tepung ikan (Mujiman, 1991). Tepung ikan yang berbau tengik, menandakan bahwa kualitas tepung ikan sudah menurun, demikian juga dengan kandungan gizinya. Sehingga tidak ekonomis lagi jika digunakan dalam pembuatan makanan ternak atau ikan (Suryana, 2013).
Tepung ikan yang memiliki kandungan lemak tinggi, akan menurunkan kualitas tepung ikan, meskipun kandungan protein tinggi. Kandungan lemak yang tinggi, menyebabkan tepung ikan mudah menjadi tengik dan tidak dapat disimpan lama (Murtidjo, 2001). Kandungan gizi tepung ikan adalah protein 22,65%, lemak 15,38%, abu 26,65%, serat 1,80% dan air 10,72% (Dharmawan, 2010).
3 Tepung darah
Darah ternak merupakan limbah dari rumah pemotongan hewan/ ternak. Limbah ini dapat diolah menjadi tepung darah dan dapat digunakan sebagai bahan baku pakan ikan, karena mengandung nutrisi yang cukup tinggi. Namun, tepung darah sukar dicerna oleh ikan. Oleh karena itu, bahan baku ini disarankan hanya digunakan sebagai bahan campuran dengan jumlah tidak melebihi 10% (Kordi, 2004).
Darah hewan tersebut dipanaskan sampai 100oC sehingga membentuk gumpalan, kemudian dikeringkan dan dipres (tekanan tinggi) untuk mengeluarkan serum yang tersisa. Setelah itu dikeringkan dengan pemanasan lagi dan akhirnya digiling. Tepung darah hewan ini biasanya berwarna coklat gelap dengan bau yang khas (Darmono, 1993).
Darah yang berasal dari hewan yang dipotong ditampung lalu diolah menjadi tepung. Seekor ternak bila dipotong akan menghasilkan darah sekitar 79% dari bobot badannya (Suharno, 1998). Kandungan gizi tepung darah adalah protein 71,45%, lemak 0,42%, karbohidrat 13,12%, abu 5,45%, serat 7,95% dan air 5,19 (Dharmawan, 2010).
4  Daun keladi
Makanan yang sering dimakan oleh ikan tawar adalah daun keladi (Colocasia estulata Schott), ketela pohon (Manihot utilissima Bohl), pepaya (Carica papaya Linn). Konon yang paling bagus untuk makanan ikan adalah daun keladi. Namun daun ini tidak boleh langsung diberikan pada ikan. Harus dikeringkan dahulu agar getahnya kering. Bagian-bagian daun keladi yang dapat dimanfaatkan sebagai pakan misalnya umbi, tangkai, dan daun keladi (Susanto, 2000). Komposisi gizi daun keladi menurut Widayati (1998) adalah protein 4,4 gram, lemak 1,8 gram, karbohidrat 12,2 gram, serat 3,4 gram dan kadar air 79,6%.
5 Tepung Tapioka
Tepung tapioka atau tepung kanji berfungsi sebagai perekat agar bahan baku yang ada dalam pakan dapat bersatu menjadi campuran yang homogen dan sebagai pengikat antar komponen. Dengan demikian pakan tidak mudah hancur terurai kembali ketika dimasukkan kedalam air. Bahan jadi perekat tersebut juga dapat berfungsi sebagai sumber berbagai zat makanan. Tepung tapioka tersebut apabila kita larutkan dalam air panas akan menghasilkan larutan kental yang lekat seperti lem encer. Jumlah penggunaan bahan perekat ini dapat mencapai 10% dari seluruh bobot ramuan (Mujiman, 1991).  Kandungan nutrisi bahan tepung tapioka adalah protein 8,09%, lemak 1,30%, karbohidrat 77,30%, abu 0,06% dan air 13,25% (Lukito, 2007).
Kandungan Nutrisi Pakan
Yang dimaksud dengan nutrisi untuk ikan adalah kandungan gizi yang dikandung pakan, yang diberikan kepada ikan peliharaan. Apabila pakan yang diberikan ikan peliharaan mempunyai kandungan nutrisi yang cukup tinggi, maka hal ini tidak saja akan menjamin hidup dan aktivitas ikan, tetapi juga akan mempercepat pertumbuhannya. Beberapa komponen nutrisi yang penting dan tersedia dalam pakan ikan antara lain protein, karbohidrat, lemak, dan serat kasar (Kordi, 2004).

Tuesday, June 13, 2017

PENGGELONDONGAN BANDENG UNTUK MEMPEROLEH BENIH IKAN BANDENG SR YG TINGGI

June 13, 2017 Posted by Media Penyuluhan Perikanan Pati No comments
Sebelum nener di tebarkan dalam petak budidaya ikan bandeng, maka dilakukan proses pengelondongan dengan cara membuat ipukan pada petak budidaya untuk dilakukan proses pendederan agar nener lebih beradaptasi dengan baik dan lebih tahan hidupnya serta lebh besar.
A. Indikator Keberhasilan
Penggelondongan ikan Bandeng, peserta mampu melakukan pendederan ikan bandeng yang meliputi teknik Penggelondongan bandeng, Konstruksi Tambak,
Persiapan Lahan, Penebaran Benih, Pemeliharaan, Pemupukan Susulan, Pengendalian hama dan Penyakit, Lama Pemeliharaan, Cara Panen.
B. Materi Penggelondongan Bandeng
Hampir satu dasawarsa serangan penyakit udang yang mematikan belum dapat terkendali secara efektif, kegagalan sudah berkali-kali dialami petani/pengusaha tambak. Timbulnya penyakit udang tersebut disebabkan semakin menurunnya daya dukung lahan tambak sebagai akibat dari penerapan Sapta Usaha Pertambakan yang tidak sesuai anjuran dan adanya berbagai bentuk manipulasi lingkungan perairan tambak yang dilakukan petani, semua ini bermuara kepada terganggunya keseimbangan sistim perairan (Ali Poernomo, 1992).
Salah satu upaya untuk meningkatkan kembali daya guna dan nilai guna lahan tambak diperlukan adanya suatu solusi dengan memfungsikan tambak melalui budidaya bermacam-macam komoditi salah satu diantaranya adalah komoditi ikan bandeng. Ikan bandeng adalah salah satu sumber protein hewani yang harganya lumayan dan dapat dijangkau oleh masyarakat luas, selain dikonsumsi dalam bentuk ikan segar juga dalam bentuk olahan diantaranya: pindang dan bandeng presto (Aslianti, 1994).
Kebutuhan lain yang akhir-akhir ini cukup berkembang adalah sebagai umpan hidup untuk penangkapan tuna/cakalang (Asmin Ismail, dan Ahmad Sudrajad, 1992). Kelebihan lain yang dimiliki ikan bandeng yaitu tahan terhadap perubahan lingkungan seperti suhu, pH, kecerahan air, mudah beradaptasi dan mempunyai toleransi yang tinggi terhadap kisaran kadar garam 0-15 ppt, tahan terhadap penyakit serta tidak mempunyai sifat kanibal sehingga ikan ini mempunyai kecenderungan untuk dibudidayakan dengan kepadatan tinggi terutama penggelondongan (Liao, 1985). Dalam usaha budidaya benih sampai ukuran gelondongan merupakan komponen penentu menuju keberhasilan budidaya. Permasalahan yang dihadapi saat ini adalah rendahnya teknologi penggelondongan yang dimiliki petani/pengusaha, baik itu padat tebar, pemberian pakan tambahan dan manajemen air, sehingga tingkat pertumbuhan dan kelulusan hidup yang didapatkan dalam penggelondongan bandeng masih sangat rendah. Untuk itu diperlukan adanya informasi yang akurat menyangkut teknologi penggelondongan nener bandeng sebagai acuan yang dapat dimanfaatkan oleh petani/pengusaha tambak. Beberapa keuntungan dapat diperoleh dengan penggelondongan nener bandeng sampai ukuran (5-7 cm) adalah sebagai berikut :
a. Pemenuhan kebutuhan gelondongan bandeng sepanjang tahun untuk menunjang
   budidaya bandeng umpan maupun bandeng konsumsi.
b. Meningkatkan kelangsungan hidup pada usaha budidaya berikutnya.
c. Menekan biaya produksi dan peningkatan efisiensi pemanfaatan lahan terhadap     budidaya bandeng umpan atau bandeng konsumsi.
d. Berfungsi sebagai komoditi rotasi untuk memutus siklus penyakit udang.
e. Peningkatan pendapatan dan kesejahteraan petani tambak.
f. Menampung tenaga kerja di daerah pesisir pantai.
 1. Pemilihan Lokasi
Pada umumnya petakan tambak penggelondongan nener bandeng sama dengan petakan tambak budidaya ikan bandeng. Petakan tambak dapat dibuat di lokasi dengan perbedaan tinggi pasang surut 2-3 m. Elevasi tambak optimal adalah 0,50 m dari permukaan air laut. Tanah dasar yang ideal bagi tambak bandeng adalah tanah liat berdebu (Selty loan) karena selain mampu menampung air juga sangat baik untuk pertumbuhan alga dasar. Tanah tambak yang baru dibuka pada umumnya bereaksi masam, karena itu perbaikan tanah (reklamasi) perlu dilakukan dengan jalan penjemuran tanah dasar dan pencucian maupun pengapuran.
Persyaratan Lokasi Penggelondongan Nener Bandeng -     Keadaan Lingkungan (Variabel)
1 PH 7 – 8
2 Oksigen terlarut > 3 ppm
3 Suhu air 25 - 30 0C
4 Salinitas 10 - 30 ppt
5 Sumber air Payau dan tawar
6 Kualitas air Tidak tercemar
7 Tekstur tanah Liat berdebu
 2. Konstruksi dan Desain Tambak
Pematang tambak terdiri dari pematang keliling (tanggul primer) dan pematang penyekat (tanggul skunder). Pematang keliling harus cukup lebar (> 1 m) dengan lereng bagian dalam 1-1,5 dan lereng bagian luar 11,20 m. Sedangkan lebar pematang perantara dibuat lebih kecil dengan lereng tanggul 1:1 (Poernomo 1992).
a) Tampak samping                             
b) tampak atas
Tinggi pematang sebaiknya tidak kurang dari 0,5 m di atas pasang naik tertinggi dari penyusutan sebesar 15-20% harus diperhitung pada pembuatan semua jenis pematang. Saluran di tambak terdiri atas saluran pemasukan, saluran pembuangan dan saluran pembagi. Di dalam tiap petakan tambak dapat dibuat parit-parit keliling (caren) dengan lebar 2-4 m dan dalam 0,3-0,5 m dari permukaan pelataran. Pintu air satu unit tambak terdiri atas satu pintu utama, pintu sekunder dan pintu tertier. Pintu utama dipasang pada pematang utama keliling untuk pengaturan pemasukan air ke dalam unit tambak.
Pintu sekunder dipasang pada pematang perantara untuk memasukkan air dari saluran pembagi ke dalam tiap petakan, ukuran pintu air sebaiknya diatur sesuai dengan kapasitas lahan sehingga pemasukan dan pengeluaran air dapat dilakukan dengan lebih cepat. Tiap petak dalam satu unit tambak harus mendapatkan pengairan tersendiri, untuk mencegah penggunaan air yang berkualitas rendah sebaiknya pengairan tidak dilakukan secara seri.
3. Persiapan
Pengeringan tanah dasar tambak
Persiapan untuk pengeringan tanah dasar dilakukan terlebih dahulu mengadakan perbaikan pematang, saluran dan pintu tambak. Tanah dasar bagian pelataran diolah dan diratakan, kemudian tanah dasar dikeringkan selama 7 hari hingga tanah dasar retak-retak sampai sedalam 1 cm. Dalam kegiatan pengeringan ini juga disertai kegiatan aplikasi pemberantas hama yaitu dengan menggunakan Saponin sebanyak 30 kg/ha.
Pemupukan awal
Pemupukan merupakan salah satu bentuk masukan energi yang dimanfaatkan ikan secara tidak langsung. Pupuk organik selain merupakan sumber hara yang lengkap bagi pakan alami juga dapat memperbaiki struktur tanah. Pupuk an-organik merupakan pelengkap yang dapat menyediakan zat hara secara cepat untuk kebutuhan pakan alami. Pakan alami yang bisa ditumbuhkan di tambak sebagai pakan utama ikan bandeng adalah kelekap, yaitu kumpulan berbagai jenis jasad dasar yang komponen utamanya terdiri dari alga biru (Cyanophyceae) dan diatom (Bacillariophyceae). Tahap pertama usaha penumbuhan kelekap adalah pengeringan tanah dasar. Apabila pengeringan telah dilakukan, pupuk organik berupa kotoran ternak dengan dosis 2-3 ton/ha ditaburkan secara merata di pelataran, kemudian disusul pemupukan anorganik (buatan) berupa Urea 75-100 kg/ha, TSP 40-50 kg/ka ditaburkan secara merata di pelataran. Tambak diairi macak-macak dengan tinggi air sekitar 5 cm dan diberakan selama satu minggu. Selanjutnya dilakukan pengairan secara bertahap, hari pertama setinggi 10 cm, hari kedua 20 cm, hari ketiga 30-40 cm dan dibiarkan selama kira-kira satu minggu sampai kelekap tumbuh subur. Selanjutnya air ditambahkan lagi hingga
40-50 cm dan tambak siap ditebari benih ikan bandeng. Pada waktu pengisian air, pintu air harus dipasang saringan yang cukup rapat untuk menghindari masuknya organisme predator.
4. Penebaran Benih
- Ukuran
Benih (nener) ikan bandeng yang ditebar adalah benih yang berada dalam tahap akhir masa larva, yang secara alami dijumpai di perairan pantai dengan panjang tubuh total 10-16 mm. Apabila penebaran menggunakan benih ikan bandeng yang dihasilkan dari panti pembenihan maka benih tersebut merupakan benih yang berumur 21-25 hari.
- Padat tebar
Padat tebar yang baik untuk lama penggelondongan 40-60 hari adalah 10-12 ekor/m2. Sebelum penebaran dilakukan, benih perlu diaklimatisasi terhadap kondisi lingkungan (suhu dan salinitas) medium tambak penggelondongan. Pertama sekali benih ditempatkan dalam suatu wadah, kemudian air dari tambak sedikit demi sedikit dimasukkan ke dalam wadah tersebut dengan selang melalui salah satu sisi wadah, sedangkan dari sisi lain air dari wadah disipon keluar dengan menggunakan selang yang dilengkapi saringan sehingga dengan demikian akhirnya kondisi suhu dan salinitas air dalam wadah menjadi sama dengan kondisi air dalam tambak. Setelah aklimatisasi benih selesai dilakukan, selanjutnya benih dapat ditebar ke tambak.
5. Pemeliharaan
- Pengelolaan air
Kegiatan rutin setelah penebaran benih adalah pengamatan untuk mempertahankan kualitas air yang baik dan tersedianya organisme pakan yang cukup di dalam tambak. Pengelolaan kualitas air ditujukan untuk memberikan kondisi media hidup yang optimal bagi pertumbuhan ikan.
Selama penggelondongan harus dijaga agar salinitas dan ketinggian air selalu stabil dan ketinggian air dipertahankan 40-50 cm. Laju penguapan dan curah hujan yang tinggi dapat menyebabkan salinitas berubah (berfluktuasi) dan kondisi seperti ini memungkinkan dapat menghambat pertumbuhan alga dasar dan sebaliknya dapat menyuburkan pertumbuhan jenis plankton lain yang tidak diinginkan sebagai pakan alami ikan bandeng. Dalam penggelondongan nener bandeng yang baik, alga dasar tambak tumbuh dengan subur dan warna airnya yang jernih. Namun apabila jenis plankton lain yang tumbuh subur seperti protozoa, flagellata, fitoflagellata dan rotifera maka warna air akan berubah menjadi kuning atau coklat. Akibatnya kandungan oksigen dalam air menjadi semakin rendah dan akhirnya dapat menyebabkan kematian ikan bandeng secara massal. Oleh karena itu, perlu adanya penambahan/ penggantian air laut yang baru. Penggantian air dapat dilakukan secara gravitasi dengan pemanfaatan gerakan air pasang surut atau pompanisasi.
6. Pemupukan susulan
Setelah penebaran benih, kelekap sebagai pakan alami semakin lama akan semakin berkurang sehingga perlu adanya pemupukan susulan agar kelekap dapat tumbuh secara kontinuinitas. Pemupukan susulan satu sampai dua minggu sekali, hal ini tergantung dari nilai kesuburan tambak dan dimulai 2-3 minggu setelah penebaran. Pupuk susulan yang digunakan masing-masing Urea 15-25 kg/ha dan SP36 1015 kg/ha dan ditambah pupuk perangsang seperti Forest, Ladan, Ursal, dan lain-lain sebanyak 1 kg/ha.
7. Pengendalian hama dan penyakit
Hama di tambak dapat dibagi dalam tiga golongan yaitu; predator, kompetitor, dan organisme penggangu. Predator terdiri dari burung, lingsang, reptil, ikan dan manusia. Kompetitor termasuk ikan herbivora dan beberapa jenis moluska. Organisme penggangu terdiri dari berbagai species insekta dan cacing. Cara pemberantasan hama yang lazim dilakukan di tambak adalah pengeringan dan penggunaan beberapa jenis pestisida maupun racun tanaman. Tahap pertama pemberantasan hama adalah pengeringan tanah dasar. Pengeringan ini selain berfungsi mengoksidasi bahan organik dan mengeraskan tanah dasar juga membantu pemberantasan berbagai ikan liar, moluska, kepiting, cacing serta organisme hama lainnya. Apabila pengeringan tidak dapat dilakukan secara menyeluruh, maka pada bagian yang tergenang ditambahkan obat pemberantas hama. Untuk keperluan ini dapat digunakan Rotenon dalam bentuk akar tuba (Dheris sp) sebanyak 4-5 kg/ha. Selain itu, dapat juga digunakan Saponin dalam bentuk biji (Camelia sinensis) sebanyak 25-30 kg/ha atau nikotin dalam bentuk serbuk tembakau dengan dosis 200-500 kg/ha.
8. Lama pemeliharaan
`Penggelondongan nener bandeng biasanya sudah mencapai standar ukuran 7-10 cm setelah masa pemeliharaan 40-60 hari. Ukuran ini merupakan yang tepat sebagai gelondongan untuk penebaran berikutnya baik untuk tujuan bandeng umpan maupun konsumsi.
9. Cara Panen
Pemanenan dilakukan untuk tujuan pemeliharaan berikutnya, oleh karena itu hasil panen harus dalam keadaan hidup. Pemanenan dapat dilakukan pada pagi, sore atau malam hari. Pemanenan pada waktu air pasang dapat dilakukan dengan cara memasukkan air baru ke dalam tambak.
Hal ini menyebabkan ikan-ikan bergerak menuju arah masuknya air dan berkumpul di dekat pintu air. Dengan menggunakan jaring, prayang atau pukat ikan-ikan digiring menuju pintu air, kemudian secara perlahan-lahan lingkaran jaring diperkecil sehinggga ikan-ikan terkurung di dekat pintu. Penangkapan pada waktu air surut dilakukan terlebih dahulu untuk mengurangi air tambak sehingga air tersisa di dalam caren sekitar 20 cm. Ikan digiring perlahan-lahan dan lingkaran diperkecil sehingga ikan dapat berkumpul dekat pintu. Ikan-ikan yang sudah terkurung perlu dibera selama 1-2 hari sebelum dipanen untuk dipindahkan. Penangkapan ikan harus dilakukan sangat hati-hati untuk mencegah kemungkinan luka-luka pada tubuh ikan dan kehilangan sisik akibat gesekan. Jika lokasi pengangkutan agak jauh, ikan perlu dipak terlebih dahulu dalam kantong plastik yang telah berisi air laut dengan kepadatan 25-50 ekor/liter sesuai ukuran ikan diberi oksigen dengan perbandingan air dan oksigen 1:1,5 atau 1:2 tergantung jarak jauh pengangkutan.

Monday, June 12, 2017

APA KEGUNAAN LACTOBACILLUS PLANTARUM

June 12, 2017 Posted by Media Penyuluhan Perikanan Pati No comments
Bakteri Lactobacillus plantarum adalah bakteri asam laktat dari famili Lactobacilliceae  dan  genus  Lactobacillus.  Bakteri ini  bersifat  Gram  positif,  non motil, dan berukuran 0,6-0,8 μm x 1,2-6,0 μm. Bakteri ini memiliki sifat antagonis terhadap mikroorganisme penyebab kerusakan makanan seperti Staphylococcus aureus, Salmonella, dan Gram negatif (Buckle et al., 1987). Lactobacillus plantarum bersifat toleran terhadap garam, memproduksi asam dengan cepat dan memiliki pH ultimat 5,3 hingga 5,6 (Buckle et al., 1987).
Pengolahan pangan dan  pakan menggunakan  BAL adalah teknologi  yang telah ada sejak dulu yang dapat meningkatkan kandungan obat dan anti penyakit serta mencegah kebusukan dan perjangkitan penyakit yang disebabkan oleh bakteri patogen (Elegado et al., 2004). Bakteri L. plantarum umumnya lebih tahan terhadap keadaan asam dan oleh karenanya menjadi lebih banyak terdapat pada tahapan terakhir dari fermentasi tipe asam laktat. Bakteri ini sering digunakan dalam fermentasi susu, sayuran, dan daging (sosis). Fermentasi dari L. plantarum bersifat homofermentatif sehingga tidak menghasilkan  gas  (Buckle  et al., 1987). Bakteri Lactobacillus   plantarum   terutama   berguna   untuk   pembentukan   asam   laktat, penghasil hidrogen peroksida tertinggi dibandingkan bakteri asam laktat lainnya dan juga menghasilkan bakteriosin yang merupakan senyawa protein yang bersifat bakterisidal (James et al., 1992). Lactobacillus plantarum dapat memproduksi bakteriosin yang merupakan bakterisidal bagi sel sensitif dan dapat menyebabkan kematian sel dengan cepat walaupun pada konsentrasi rendah. Bakteriosin yang berasal dari L. plantarum dapat menghambat Staphylococcus aureus dan bakteri Gram negatif (Branen dan Davidson, 1993). L. plantarum mempunyai kemampuan untuk menghasilkan bakteriosin  yang berfungsi  sebagai zat antibiotik  (Jenie dan Rini, 1995).
Lactobacillus plantarum 2C12 merupakan isolat indigenus yang diisolasi dari daging sapi lokal Indonesia. Arief et al. (2008) melaporkan bahwa suatu senyawa antimikroba diproduksi oleh bakteri asam laktat Lactobacillus plantarum 2C12 yang diisolasi dari daging sapi lokal. Senyawa antimikroba tersebut dapat menghambat pertumbuhan   bakteri   patogen   Escherichia   coli,   Salmonella   typhimurium   dan 3 Staphylococcus aureus. Senyawa antimikroba yang diproduksi oleh Lactobacillus sp. 2C12 mengandung bakteriosin. Bakteriosin merupakan senyawa protein (umumnya berupa peptida) yang bersifat bakterisidal terhadap mikroorganisme (bakteri) yang ditinjau dari segi filogeniknya (genetiknya) berdekatan dengan mikroorganisme penghasil bakteriosin tersebut. Bakteriosin menurut Klaenhammer (1998) adalah protein atau peptida yang disintesa melalui ribosom yang dapat menghambat atau membunuh bakteri lain.  Saat ini  penggunaan  bakteri  asam  laktat  sebagai  penghasil  bakteriosin  di  bidang peternakan semakin bertambah luas, diantaranya sebagai biopreservatif. Produksi bakteriosin juga dapat menghambat perkembangan patogen yang mempunyai kekerabatan           dekat   dengan            bakteri penghasil         bakteriosin       (Wiryawan dan Tjakradidjaja, 2001).
Beberapa bakteriosin dari bakteri asam laktat antara lain plantaricin A dari Lactobacillus plantarum (Nissen-Meyer et al., 1993), gassericin A dari Lactobacillus LA39 gasseri (Muriana dan Klaenhammer, 1991) dan plantaricin-149 dari Lactobacillus plantarum KTP 149 (Kato et al., 1994) yang telah terdeteksi, dimurnikan dan dikarakterisasi. Matsuaki et al. (1996) menyatakan produksi bakteriosin dipengaruhi oleh tingkat sumber karbon, nitrogen, dan phosfat yag terdapat dalam media. Sumber karbohidrat yang berbeda menghasilkan bakteriosin yang berbeda pula. Arief et al. (2008) menyatakan bahwa suatu senyawa antimikroba diproduksi oleh bakteri asam laktat Lactobacillus sp. 2C12 yang diisolasi dari daging sapi lokal. Senyawa antimikroba tersebut dapat menghambat pertumbuhan bakteri patogen Escherichia coli, Salmonella typhimurium dan Staphylococcus aureus. Senyawa antimikroba  yang diproduksi oleh  Lactobacillus sp. 2C12 mengandung bakteriosin. Berdasarkan hasil identifikasi, bakteriosin yang diproduksinya disebut plantaricin.  Menurut  Widiasih  (2008),  Lactobacillus  plantarum  2C12  berbentuk bulat, susunan tunggal maupun rantai pendek. Bakteriosin yang diproduksi oleh Lactobacillus plantarum dikenal dengan nama plantaricin (Omar et al., 2008).
Karakteristik dari bakteriosin adalah : a) mempunyai spectrum aktivitas yang relatif  sempit,  terpusat  di  sekitar  spesies  penghasil  bakteriosin  (filogenik  atau genetiknya cukup dekat), b) senyawa aktifnya terutama terdiri atas protein  yang disintesis di ribosom, c) mempunyai reseptor pada sel sasarannya, d) gen penyandi penentu terdapat pada plasmid, yang berperan dalam produksi maupun imunitasnya (Tagg et al., 1976). Karakter lainnya dari bakteriosin adalah bersifat bakterisidal dan tahan panas (Jack et al., 1995).
Bakteriosin  yang  diproduksi  oleh  bakteri  asam  laktat  (BAL)  digunakan sebagai pengawet makanan dan berpotensi sebagai pengganti antibiotik (Reenen et al., 2006). Bakteriosin asal bakteri asam laktat dibagi ke dalam empat kelas yang berbeda  yaitu  kelas  I  adalah  antibiotik,  kelas  II  adalah  peptide  berukuran  kecil sifatnya relatif stabil terhadap panas dan tidak mengandung lanthionin pada peptidanya, kelas III adalah peptide berukuran besar yang labil terhadap panas, dan kelas IV merupakan bakteriosin kompleks mengandung lipida atau separuh karbohidrat. Kelas I dan II merupakan kelas-kelas utama dari bakteriosin mempunyai potensi untuk digunakan di dalam aplikasi komersial.
Penggunaan bakteriosin lebih sering digunakan sebagai bahan pengawet makanan. Penggunaan     bakteriosin            sebagai            biopreservatif  memiliki beberapa keuntungan, yaitu (1) bakteriosin bukan bahan toksik dan mudah mengalami biodegradasi oleh enzim proteolitik karena merupakan senyawa protein, (2) tidak membahayakan mikroflora usus karena mudah dicerna oleh enzim-enzim saluran pencernaan, (3) aman bagi lingkungan dan dapat mengurangi penggunaan bahan kimia yang selama ini digunakan  sebagai bahan pengawet makanan, dan (4) dapat digunakan dalam kultur bakteri unggul yang mampu menghasilkan senyawa antimikroba terhadap bakteri patogen atau dapat digunakan dalam bentuk senyawa antimikrobial yang telah dimurnikan (Nurliana, 1997).
Bakteriosin asal bakteri asam laktat merupakan peptida yang disintesis di ribosom yang memperlihatkan aktivitas antimikrob, pada banyak kasus mampu me- lawan bakteri yang biasanya berkerabat dekat dengan mikroorganisme penghasilnya. Beberapa bakteriosin yang berasal dari bakteri Gram positif memperlihatkan akti- vitas bakterisidal dengan spektra penghambat yang tidak luas dan sangat berguna sebagai agen antibakterial untuk berbagai aplikasi praktik. Bakteriosin dari bakteri asam laktat telah menjadi perhatian penting karena potensinya untuk digunakan sebagai bahan tambahan makanan yang aman sebagai preservatif alami dan non-toxic, serta mencegah terjadinya kebusukan pangan oleh bakteri patogen gram positif (Hata et al., 2010). Bakteriosin berakumulasi di dalam media kultur selama fase pertumbuhan         eksponensial    hingga fase      pertumbuhan   stasioner (Vuyst dan Vandamme, 1994). Produksi bakteriosin dipengaruhi oleh tipe dan level karbon, sumber  nitrogen  dan  fosfat,  surfaktan  kation  dan  penghambat  (Savadogo  et  al.,2006).
Mekanisme Aktivitas Bakteriosin
Kemampuan suatu senyawa antimikrob dalam menghambat pertumbuhan mikrob merupakan salah satu kriteria yang penting dalam pemilihan suatu senyawa antimikrob yang berfungsi sebagai bahan pengawet. Antimikrob menurut Gan dan Setiabudi (1987), adalah zat yang dapat menghambat pertumbuhan mikrob dan digunakan untuk pengobatan infeksi mikrob pada hewan dan manusia. Antimikrob harus mempunyai toksisitas setinggi mungkin terhadap bakteri target, tetapi relatif tidak toksik terhadap induk semangnya.
Gonzales et al. (1996) menyatakan bahwa berdasarkan sifat toksisitas selektifnya antimikrob dibedakan menjadi dua bagian, yaitu: (i) antimikrob yang bersifat      bakteriostatik  yaitu antimikrob yang menghalangi    pertumbuhan mikroorganisme, tetapi tidak mematikan organisme itu, dan (ii) antimikrob yang bersifat bakterisidal yaitu antimikrob yang menyebabkan kematian dan lisisnya mikroorganisme. Sifat bakteriostatik akan menghambat pertumbuhan dan replikasi mikroorganisme, namun tidak menyebabkan kematian. Sifat bakterisidal berhubung- an dengan kemampuan senyawa untuk menyebabkan lisis sel mikroorganisme. Beberapa mikroba yang bersifat bakteriostatik dapat berubah menjadi bakteriosidal bila       digunakan       digunakan       dalam  dosis    tinggi   (Gan dan Setiabudi,    1987). Dwidjoseputro (1990) membedakan antimikrob berdasarkan efektivitas kerjanya terhadap  berbagai  mikroorganisme,  yaitu:  (i)  antimikrob  yang  berspektrum  luas, yaitu antimikrob yang efektif terhadap berbagai jenis mikroorganisme, dan (ii) antimikrob yang berspektrum sempit, yaitu antimikrob yang efektif terhadap mikroorganisme tertentu.
Mekanisme penghambatan pertumbuhan mikroba oleh bakteriosin adalah : (1)        perusakan dinding sel sehingga mengakibatkan lisis atau menghambat pertumbuhan dinding sel pada sel yang sedang tumbuh; (2) mengubah permeabilitas membran sitoplasma yang menyebabkan kebocoran nutrien di dalam dinding sel; (3) denaturasi protein sel; (4) perusakan sistem metobolisme dalam sel dengan  cara menghambat kerja enzim intraseluler (Pelczar dan Chan, 1986). Secara umum mekanisme  aktivitas  suatu  senyawa  antimikrob  dapat  dilakukan  oleh  senyawa bioaktif melalui mekanisme yang berbeda, yaitu: (i) mengganggu atau merusak komponen   penyusun   dinding   sel,            (ii)   bereaksi   dengan   membran       sel yang menyebabkan   peningkatan   permeabilitas   dan   kehilangan   komponen   penyusun seluler, (iii) inaktivasi enzim-enzim esensial, dan (iv) destruksi atau inaktivasi fungsi
dari material genetik (Branen dan Davidson, 1993).
Penggunaan Bakteriosin
Bakteriosin yang dihasilkan oleh BAL menyediakan beberapa senyawa yang dapat digunakan dalam pengawetan makanan, karena beberapa alasan .(i) Diakui sebagai zat yang aman. (ii) Tidak aktif dan tidak beracun pada sel eukariotik, (iii) dapat dilemahkan oleh protease pencernaan sehingga memiliki pengaruh yang kecil pada mikrobiota usus, (iv) toleran terhadap pH dan panas, (v) memiliki antimikroba dengan spektrum relatif luas, terhadap bakteri patogen dan pembusuk makanan, dan (vi) aktivitas bersifat bakterisidal, bekerja pada membran sitoplasma bakteri: tidak ada resistensi silang dengan antibiotik (Galvez et al., 2007).
Lactobacillus plantarum memiliki efek penurunan pada hypercholestero- lemia dan efeknya akan meningkat bila dicampur dengan jenis BAL lain (Hanaa et al., 2009). Bakteriosin dapat ditambahkan ke dalam makanan dalam bentuk kultur terkonsentrasi sebagai bahan pengawet makanan. Penambahan starter kultur bakteriosinogenik dapat dilakukan secara in situ sebagai pelindung tambahan. Bakteriosin immobil juga dapat digunakan untuk pengembangan kemasan makanan bioaktif (Galvez et al., 2007). Bakteri berkumpul dan menggabungkan diri untuk membentuk nisin film selulosa yang layak dikembangkan menjadi bahan kemasan aktif. Nisin film yang dikandung bakteri selulosa menunjukkan efektivitas dalam pengendalian  L.  monocytogenes  dan  mengurangi  total  mikroba  pada  permukaan sosis. Hal ini menunjukkan bahwa penggunaan aktif film bakteri selulosa akan men- jadi metode yang menjanjikan untuk meningkatkan keamanan dan memperpanjang umur simpan dari daging olahan (Nguyen et al., 2008).
Bakteri Patogen
Bakteri yang tumbuh dalam bahan pangan terbagi menjadi bakteri pembusuk yang dapat menyebabkan kerusakan makanan dan bakteri patogen penyebab penyakit pada manusia. Jumlah bakteri pembusuk umumnya lebih dominan dibandingkan dengan bakteri patogen (Fardiaz, 1992). Penyakit yang ditularkan melalui makanan hanya berhubungan dengan sejumlah kecil bakteri patogenik tertentu. Makanan atau bahan pangan tersebut digunakan sebagai substrat pertumbuhan bakteri patogen.
Bakteri patogen menyebabkan penyakit pada manusia melalui dua cara yaitu infeksi dalam kasus ini bakteri patogen berkembang biak dalam alat pencernaan manusia  dan  menghasilkan  racun  sedangkan     intoksikasi  adalah  bakteri  patogen menghasilkan racun dalam bahan pangan     dan bahan pangan tersebut dikonsumsi oleh konsumen (Buckle et al.,1987). Mikroba yang dapat menyebabkan keracunan dan infeksi saat ikut terkonsumsi disebut mikroba patogen. Beberapa bakteri yang merupakan bakteri patogen diantaranya adalah famili Enterobacteriaceae yaitu Salmonella, Escherichia. Bakteri patogen lainnya adalah Staphylococcus aureus, Bacillus cereus, dan Pseudomonas yang merupakan jenis bakteri penyebab kebusuk- an pada makanan atau bakteri pembusuk (Fardiaz, 1989).
Salmonella spp merupakan bakteri yang menjadi indikator keamanan pangan (food  safety)  karena  keberadaannya  dalam  bahan  pangan  dapat  menyebabkan penyakit pada manusia. Bakteri dari jenis Salmonella merupakan bakteri penyebab infeksi. Jika tertelan oleh manusia dan masuk ke dalam tubuh dapat menimbulkan gejala salmonelosis, demam enterik, demam tifoid, dan demam paratifoid, serta infeksi lokal (Fardiaz, 1992). Menurut Dell-Potillo (2000), bakteri ini merupakan salah satu bakteri yang paling umum menyebabkan penyakit keracunan makanan di negara  maju  dan  negara  berkembang.  Salmonella  suatu  bakteri  gram  negatif berbentuk batang melekat dan menyerang sel usus. Salmonella mempunyai tipe metabolisme yang bersifat fakultatif anaerob.  Infeksi usus oleh Salmonella berakibat demam tifus enteric. Bakteri ini masuk ke dalam aliran darah  melalui  usus dan dialirkan ke seluruh tubuh. Salmonella merupakan kelompok bakteri patogen yang sering ditemukan pada produk pangan (Fardiaz, 1992). Berdasarkan tingkat bahayanya, Salmonella berada pada kelompok bahaya sedang,dengan penyebaran yang  cepat.  Pemanasan  merupakan  cara  yang  paling  banyak  dilakukan  untuk membunuh            Salmonella.      Alternatif        lainnya adalah  dengan            mengatur pH, menambahkan bahan-bahan kimia, penyimpanan pada suhu rendah dan radiasi. Pemanasan  yang direkomendasikan untuk membunuh Salmonella spp. Umumnya pemanasan dilakukan selama 12 menit pada suhu 66 °C atau selama 78-83 menit pada suhu 60 °C (Fardiaz, 1992).
Escherichia coli merupakan flora normal yang hidup dalam saluran pencernaan manusia dan hewan. Bakteri patogen lain adalah Staphylococcus aureus. Ada enam macam enteroksin yang diproduksi Staphylococcus aureus di dalam makanan dan merupakan penyebab keracunan stafilokokus (intoksikasi) yaitu enteroksin A, B, C1, C2, D dan enteroksin E (Fardiaz, 1989).
Bakteri            dibedakan       menjadi           bakteri Gram   positif  dan      Gram   negatif berdasarkan susunan dinding selnya yang mengakibatkan perbedaan dalam sifat-sifat pewarnaannya (Fardiaz, 1989). Dinding sel bakteri Gram positif  90% dari dinding selnya terdiri atas lapisan peptidoglikan, sedangkan lapisan tipis lainnya adalah asam teikoat. Dinding sel bakteri Gram negatif, hanya 5%-20% terdiri atas lapisan peptidoglikan, sedangkan lapisan lainnya terdiri atas protein, lipopolisakarida dan lipoprotein (Fardiaz, 1989). Staphylococcus aureus dan Bacillus cereus  merupakan contoh bakteri Gram positif sedangkan Salmonella, Escherichia coli merupakan contoh bakteri Gram negatif (Buckle et al., 1987).