Sunday, June 24, 2018

CARA MENJAGA KANDUNGAN GIZI IKAN LELE

June 24, 2018 Posted by Media Penyuluhan Perikanan Pati 2 comments
KANDUNGAN GIZI IKAN LELE
Ikan lele adalah salah satu ikan yang berasal dari Taiwan dan pertama kali masuk ke Indonesia pada tahun 1985 melalui sebuh perusahaan swasta di Jakarta (Suryanto, 1986). Lele (Clarias sp.) merupakan salah satu dari berbagai jenis ikan yang sudah banyak dibudidayakan di Indonesia, dalam habitatnya ikan lele sangat fleksibel, dapat dibudidayakan dengan padat penebaran tinggi, pertumbuhannya sangat pesat, dan dapat hidup pada lingkungan dengan kadar oksigen rendah.
Lele atau ikan keli atau catfish, adalah sejenis ikan yang hidup di air tawar. Lele mudah dikenali karena tubuhnya yang licin, agak pipih memanjang, serta memiliki “kumis” yang panjang, yang mencuat dari sekitar bagian mulutnya. Lele, secara ilmiah, terdiri dari banyak spesies. Tidak mengherankan pula apabila lele di Nusantara mempunyai banyak nama daerah. Antara lain: ikan kalang (Sumatra Barat), ikan maut (Gayo dan Aceh), ikan sibakut (Karo), ikan pintet (Kalimantan Selatan), ikan keling (Makassar), ikan cepi (Sulawesi Selatan), ikan lele atau lindi (Jawa Tengah) atau ikan keli (Malaysia).
Dalam bahasa Inggris disebut pula catfish, siluroid, mudfish dan walking catfish. Nama ilmiahnya, Clarias, berasal dari bahasa Yunani chlaros, yang berarti ‘lincah’, ‘kuat’, merujuk pada kemampuannya untuk tetap hidup dan bergerak di luar air. Lele tidak pernah ditemukan di air payau atau air asin, kecuali lele laut yang tergolong ke pembuangan.
alam marga dan suku yang berbeda (Ariidae). Habitatnya  di sungai dengan arus air yang perlahan, rawa, telaga, waduk, sawah yang tergenang air. Bahkan ikan lele bisa hidup pada air yang tercemar, misalkan di got-got dan selokan AIkan lele bersifat nokturnal, yaitu aktif bergerak mencari makanan pada malam hari. Pada siang hari, ikan lele berdiam diri dan berlindung di tempat-tempat gelap. Di alam, ikan lele memijah pada musim penghujan.
Banyak jenis lele yang merupakan ikan konsumsi yang disukai orang. Sebagian jenis lele telah dibiakkan orang, namun kebanyakan spesiesnya ditangkap dari populasi liar di alam. Lele dumbo yang populer sebagai ikan ternak, sebetulnya adalah jenis asing yang didatangkan (diintroduksi) dari Afrika.
Lele dikembangbiakkan di Indonesia untuk konsumsi dan juga untuk menjaga kualitas air yang tercemar. Seringkali lele ditaruh di tempat-tempat yang tercemar karena bisa menghilangkan kotoran-kotoran. Lele yang ditaruh di tempat-tempat yang kotor harus diberok terlebih dahulu sebelum siap untuk dikonsumsi. Diberok itu ialah maksudnya dipelihara pada air yang mengalir selama beberapa hari dengan maksud untuk membersihkannya.
Kadangkala lele juga ditaruh di sawah karena memakan hama-hama yang berada di sawah. Lele sering pula ditaruh di kolam-kolam atau tempat-tempat air tergenang lainnya untuk menanggulangi tumbuhnya jentik-jentik nyamuk.
Ikhtisar Kandungan Gizi Ikan Lele
Lele (budidaya), 1 fillet (141.5g) (dimasak, panas kering) (5 oz.)
• Kalori: 217
• Protein: 26.7g
• Karbohidrat: 0.0g
• Total Fat: 11.5g
• Fiber: 0.0g
• Excellent sumber: Selenium (20.7mcg), dan Vitamin B12 (4mcg)
• Sumber yang baik: Kalium (459mg), dan Niacin (3.6mg)
Makanan yang merupakan “sumber yang sangat baik” dari nutrisi tertentu menyediakan 20% atau lebih dari nilai harian yang dianjurkan, berdasarkan Departemen Pertanian Amerika Serikat  (USDA) .
Ketika dimasak (panas kering), lele liar memberikan 0,333 gram omega-3 asam lemak, berasal dari EPA (0.1g), DHA (0.137g), dan ALA (0.096g), per 100 gram ikan lele liar. Ketika dimasak (panas kering), lele bertani memberikan 0,259 gram omega-3 asam lemak, berasal dari EPA (0.049g), DHA (0,128), dan ALA (0.082g), per 100 gram ikan lele bertani.
KANDUNGAN GIZI IKAN LELE
Ikan lele adalah salah satu ikan yang berasal dari Taiwan dan pertama kali masuk ke Indonesia pada tahun 1985 melalui sebuh perusahaan swasta di Jakarta (Suryanto, 1986). Lele (Clarias sp.) merupakan salah satu dari berbagai jenis ikan yang sudah banyak dibudidayakan di Indonesia, dalam habitatnya ikan lele sangat fleksibel, dapat dibudidayakan dengan padat penebaran tinggi, pertumbuhannya sangat pesat, dan dapat hidup pada lingkungan dengan kadar oksigen rendah.
Lele atau ikan keli atau catfish, adalah sejenis ikan yang hidup di air tawar. Lele mudah dikenali karena tubuhnya yang licin, agak pipih memanjang, serta memiliki “kumis” yang panjang, yang mencuat dari sekitar bagian mulutnya. Lele, secara ilmiah, terdiri dari banyak spesies. Tidak mengherankan pula apabila lele di Nusantara mempunyai banyak nama daerah. Antara lain: ikan kalang (Sumatra Barat), ikan maut (Gayo dan Aceh), ikan sibakut (Karo), ikan pintet (Kalimantan Selatan), ikan keling (Makassar), ikan cepi (Sulawesi Selatan), ikan lele atau lindi (Jawa Tengah) atau ikan keli (Malaysia).
Dalam bahasa Inggris disebut pula catfish, siluroid, mudfish dan walking catfish. Nama ilmiahnya, Clarias, berasal dari bahasa Yunani chlaros, yang berarti ‘lincah’, ‘kuat’, merujuk pada kemampuannya untuk tetap hidup dan bergerak di luar air. Lele tidak pernah ditemukan di air payau atau air asin, kecuali lele laut yang tergolong ke pembuangan.
alam marga dan suku yang berbeda (Ariidae). Habitatnya  di sungai dengan arus air yang perlahan, rawa, telaga, waduk, sawah yang tergenang air. Bahkan ikan lele bisa hidup pada air yang tercemar, misalkan di got-got dan selokan AIkan lele bersifat nokturnal, yaitu aktif bergerak mencari makanan pada malam hari. Pada siang hari, ikan lele berdiam diri dan berlindung di tempat-tempat gelap. Di alam, ikan lele memijah pada musim penghujan.
Banyak jenis lele yang merupakan ikan konsumsi yang disukai orang. Sebagian jenis lele telah dibiakkan orang, namun kebanyakan spesiesnya ditangkap dari populasi liar di alam. Lele dumbo yang populer sebagai ikan ternak, sebetulnya adalah jenis asing yang didatangkan (diintroduksi) dari Afrika.
Lele dikembangbiakkan di Indonesia untuk konsumsi dan juga untuk menjaga kualitas air yang tercemar. Seringkali lele ditaruh di tempat-tempat yang tercemar karena bisa menghilangkan kotoran-kotoran. Lele yang ditaruh di tempat-tempat yang kotor harus diberok terlebih dahulu sebelum siap untuk dikonsumsi. Diberok itu ialah maksudnya dipelihara pada air yang mengalir selama beberapa hari dengan maksud untuk membersihkannya.
Kadangkala lele juga ditaruh di sawah karena memakan hama-hama yang berada di sawah. Lele sering pula ditaruh di kolam-kolam atau tempat-tempat air tergenang lainnya untuk menanggulangi tumbuhnya jentik-jentik nyamuk.
Ikhtisar Kandungan Gizi Ikan Lele
Lele (budidaya), 1 fillet (141.5g) (dimasak, panas kering) (5 oz.)
• Kalori: 217
• Protein: 26.7g
• Karbohidrat: 0.0g
• Total Fat: 11.5g
• Fiber: 0.0g
• Excellent sumber: Selenium (20.7mcg), dan Vitamin B12 (4mcg)
• Sumber yang baik: Kalium (459mg), dan Niacin (3.6mg)
Makanan yang merupakan “sumber yang sangat baik” dari nutrisi tertentu menyediakan 20% atau lebih dari nilai harian yang dianjurkan, berdasarkan Departemen Pertanian Amerika Serikat  (USDA) .
Ketika dimasak (panas kering), lele liar memberikan 0,333 gram omega-3 asam lemak, berasal dari EPA (0.1g), DHA (0.137g), dan ALA (0.096g), per 100 gram ikan lele liar. Ketika dimasak (panas kering), lele bertani memberikan 0,259 gram omega-3 asam lemak, berasal dari EPA (0.049g), DHA (0,128), dan ALA (0.082g), per 100 gram ikan lele bertani.

Thursday, June 21, 2018

Teknik Pembenihan dan Budidaya Udang Galah (Macrobrachium rosenbergii de Man)

June 21, 2018 Posted by Media Penyuluhan Perikanan Pati 2 comments
Udang galah adalah komoditi ikan air tawar yang bisa di pasarkan baik untuk keperluan didalam ataupun luar negeri. ukurannya mulai 100 gr s. d. 200 gr per ekor. apalagi udang yang tertangkap diperairan umum bisa meraih 300 gr per ekor. udang galah bisa dipelihara di kolam-kolam oleh beberapa pembudidaya udang, baik dengan polikultur ataupun monokultur.
Udang galah (Macrobrachium rosenbergii de Man) merupakan salah satu komoditas perikanan yang bernilai ekonomis tinggi baik untuk konsumsi dalam negeri maupun ekspor. Permintaan pasarnya pun semakin meningkat, sedangkan penangkapan udang galah di alam semakin sulit sehingga perlu dikembangkan usaha pembudidayaannya. Untuk memenuhi kebutuhan tersebut diperlukan benih dalam jumlah yang cukup dan kualitas yang baik, salah satu usaha yang dilakukan adalah dengan melakukan pembenihan.
BIOLOGI
Udang galah termasuk famili Palamonidae dengan species Macrobrachium rosenbergii. Badan udang terdiri atas 3 bagian : kepala dan dada (Cephalothorax), badan (Abdomen) serta ekor (Uropoda). Cephalothorax dibungkus oleh kulit keras, di bagian depan kepala terdapat tonjolan karapas yang bergerigi disebut rostrum pada bagian atas sebanyak 11-13 buah dan bagian bawah 8-14 buah. Pada udang jantan pasangan kaki jalan kedua tumbuh panjang dan cukup besar dapat mencapai 1,5 kali panjang badan, Sedangkan pada betina relatif kecil.
Udang galah hidup pada dua habitat, pada stadia larva hidup di air payau dan kembali ke air tawar pada stadia juvenil hingga dewasa. Pada stadia larva perubahan metamorfose terjadi sebanyak 11 kali dan berlangsung selama 30-35 hari. Udang galah bersifat omnivora, cenderung aktif pada malam hari.
Sistem Pemeliharaan
1.      Sistem Pemeliharaan Tunggal ( Monokultur )
Pada pemerilhaarann udang galah secar tunggal, kolam yang dipergunakan baiknya berukuran kian lebih 500 m2 Serta kedalaman air minimal 1, 0 m. basic kolam pemeliharaan yaitu tanah yang sedikit berpasir, namun pematang kolah bisa berbentuk tanah atau tembokan semen. Air yang dipakai untuk pemeliharaan ini mesti bebas polusi, baik yang berasla dari limbah produksi, pabrik pertanian ataupun tempat tinggal tangga. debit air yang dibutuhkan yaitu 1 s/d 5 liter per detik untuk luasan 1000 m2.
2.      Sistem Pemeliharaan Campuran ( Polikultur )
Pemeliharaan udang galah dengan system polikultur banyak dikerjakan oleh pembudidaya. gabungan yang disarankan yaitu dengan ikanikan type herbivore ( pemakan tumbuhan ) layaknya tawes, gras crap serta gurami. perlakuan kolam untuk pemeliharaan campuan tersebut hamper sama juga dengan yang dikerjakan untuk pemeliharaan tunggal. dibutuhkan air yang mengalir secar terus serta pemupukan dengan kandungan lebih tingg dari 100-250 gram/m2 ditambah makan buatan ( pellet ).
PEMBENIHAN
1. Seleksi Induk
Beberapa persyaratan induk :
    Ukuran induk betina diatas 40 gr dan jantan diatas 50 gr
    Jumlah telur cukup banyak
    Badan bersih baik dari kotoran maupun organisme yang bersifat parasit
    Umur induk antara 8-20 bulan
    Memilih induk yang sudah matang telur untuk yang kedua kali dan seterusnya
    Berasal dari udang yang pertumbuhannya cepat
2. Pemeliharaan induk
Induk dipelihara di kolam dengan kepadatan 4 ekor/m2, diberi pakan berupa pelet dengan kandungan protein 30% sebanyak 5% dari berat tubuh. Pada pemeliharaan induk ini, induk jantan dan betina sebaiknya dipelihara secara terpisah, baik di kolam maupun di bak beton dilengkapi dengan pintu pemasukan dan pengeluaran dengan kedalaman 80-100 cm.
3. Pemijahan
Udang galah memijah sepanjang tahun, biasanya terjadi pada malam hari. Udang galah yang siap pijah dapat dilihat dari gonadnya dengan warna merah orange yang menyepar keseluruh bagian gonad sampai ke Cephalothorax.
Sebelum terjadi pemijahan udang betina terlebih dahulu berganti kulit (premating moult). Pada kondisi ini udang lemah, setelah pulih kembali terjadilah pemijahan. Pemijahan dapat dilakukan di kolam tanah, akuarium, bak beton atau fibreglass dengan padat tebar 4 ekor/m2. Perbandingan induk jantan dan betina 1 : 3. Selama proses pemijahan induk diberi pakan pelet dengan kandungan protein 30% sebanyak 5% per hari dari berat biomass dengan frekuensi pemberian pakan 4 kali sehari, lama pemijahan 21 hari.
4. Penetasan Telur
Setelah dilakukan pemijahan seiama 21 hari, induk diseleksi yang matang telur dengan warna telur abu-abu. Induk tersebut diberi perlakuan dengan larutan Malachite green sebanyak 1,5 mg/liter, dengan cara perendaman selama 25 menit.
Bak penetasan yang digunakan berukuran (1 x1 x0,5)m3dengan media air payau bersalinitas 3-5 ppt, padat penebaran induk 25 ekor per bak. Selama penetasan telur, induk diberi makanan berupa ketela rambat, singkong atau kentang dipotong-potong kecil. Hal ini untuk menghindari dampak negatif kualitas air. Pada suhu 28-30°C telur akan menetas dalam waktu 6 – 12 jam.
5. Pemeliharaan larva
Pemeliharaan larva udang galah dilakukan pada bak bulat atau Conicle tank dari fibreglass. Hal yang perlu diperhatikan dalam pemeliharaan tersebut antara lain kualitas air dan pemberian pakan. Ukuran pakan harus disesuaikan dengan bukaan mulut larva. Pada hari ketiga setelah menetas diberi pakan nauplii “Artemia” dengan frekuensi 3 jam sekali kemudian pada hari kesebelas diberi pakan Artemia diselingi pakan buatan sampai menjadi post larva dengan frekuensi pemberian pakan tiga jam sekali.
Pergantian air dilakukan setiap hari sebanyak 25- 50% sebelumnya kotoran dibersihkan dengan cara disipon, salinitas media pemeliharaar larva dipertahankan 10-12 ppt. Setelah menjadi juvenil salinitas media diturunkaa secara bertahap menjadi 0 ppt kemudian juvenil siap dipasarkan atau ditebar ke kolam untuk dibesarkan sampai ukuran konsumsi.
PENYAKIT
Penyakit merupakan salah satu faktor pembatas keberhasilan pembenihan udang galah.. Penyakit yang biasa timbul adalah penyakit bakterial yangberupa Vibro sp. dengan ditandai semacam stress, Fluorisensi pada larva yang mati dan terjadi kematian massal dalam waktu yang singkat.
Untuk mencegah terjadinya serangan bakterial perlu adanya “Chlorinisasi” media dan pengeringan fasilitas selama 7 hari, jika sudah terserang pengobatannya menggunakan Furozolidone dengan dosis 11-13 ppm, dengan cara perendaman selama 3 hari.
Persiapan Budidaya
1.      Kolam
Persiapan kolam pemeliharaan udang galah meliputi pengeringan kolam, perbaikan pematang, pengolahan tanah basic kolam, perbaikan pematang, pengolahan tanah basic kolam, serta pembuatan kemalir. pengapuran dengan dosis 10-25 gram/m2 mempunyai tujuan untuk sanitasi kolam. pemupukan sejumlah 100-250 gram/m2 dpat dikerjakan apabila udang cuma diberi sedikit makanan tambahan, namun apabila makanan tambahan penuh diberikan, pemumpukan kolah tak perlu dikerjakan. untuk menghindar hewan liar, pada saluran pemasukan diberikan saringan/filter. penebaran udang dikerjakan sesudah 5 s. d 7 hari dari pengisian air kolam.
2.      Penebaran Benih
Benih udang galah yang ditebarkan baiknya berukuran tokolan suapay lebih tahan dibanding juvenile. padar penebaran pada sistem pemeliharaan tunggal adlah 5-10 ekor/m2 untuk tokolam berukuran 3-5 cm. menurut james p. mc. vey, ph. d bahwa padat penebaran benih udang galah bisa 15 ekor per m2 jika situasi air serta makanan tambahan cukup, namun jika ada cukup air, tak ada makanan tambahan ( makan udang cuma dari pemupukan saja ), maka kepadatan benih udang cuma 10 ekor per/m2, namun apabila tak ada air yang cukup serta juga tidak ada pupuk untuk kolam maka bisa dicoba kepadatan 2 ekor udang /m2.
Padat penebarab per m2 yang disarankan pada pemeliharaan polikultur denga pemupukan organic serta tambahan tumbuhan yaitu 10 ekor udang galah ditambah pupuk organic saja, padat penebaran per m2 yang disarankan yaitu udang galah 10 ekor. untuk pemeliharaan udang galah dengan system pemanenan dengan bertahap, bisa dikerjakan penebaran lagi pada tiap-tiap panen 50% dari jumlah udang yang dipanen.
3.      Pemberian Pakan
Selama pemeliharaan, udang galah diberi makanan tambahan berbentuk pellet ( 25% protein ) dengan jumlah pakan 5% dari berat keseluruhan biomas populasi udang /hari. frekwensi pemberiannya yaitu 2 kali /hari, yakni pada sore hari serta malam hari, dikarenakan pada saat itu udang lebih aktif.
Untuk memastikan jumlah berat populasi udang yang ada yakni dengan langkah mengambil sedikit udang untuk sample yang lantas kita dapat tahu berat rara-ratanya. berat rata-rata tadi dikalikan dengan jumlah yang diperkirakan ada di dalam kolam untuk mendapatkan jumlah berat semuanya. jumlah pemberian 5% /hari mesti sesuai tiap-tiap dua minggu sekali.
Jika seluruh didalam situasi baik untuk perkembangan udang kita dapat menginginkan moralitas cuma kurang lebih 5% per bulannya. karena bisa diperkirakan jumlah udang yang akan dipanen urangi 5% setiap bulannya. makanan udang didalam bentuk pellet bisa dibeli di pasaran bisa juga dibikin sendiri dengan mencampurkan seluruh bahan yang dibutuhkan serta menghancurkannya dengan mesin penggiling.
4.      Pengelolaan Air
Pada kolam pemeliharaan udang galah, untuk melindungi kesehatan udang, mutu serta jumlah air mesti senantiasa dipantau. umumnya untuk pemeliharaan udang system tunggal, mutu air condong alami penurunan ( buruk ) sesudah 1 bulan. Masa pemeliharaan. untuk melakukan perbaikan mutu air tersebut bisa ditebarkan ikan-ikan type pemakan plangton dengan kepadatan rendah. mutu air yang redah ditandai dengan banyaknya udang dipermukaan saat pagi hari. langkah lain yang bisa ditempuh yaitu ganti jumlah air sejumlah sepertiga sisi dengan air baru.
5.      Penyakit
Penyakit udang yang sangat serius adlah yang dikarenakan oleh ingkungan serta situasi yang tidak menyenangkana layaknya terlampau padat, kekurangan makanan, penanganan yang tidak baik dan seterusnya. bermakna langkah penanggulangan yang sangat baik serta efisien adalah memberikan situasi yang terbaik pada kolam udang. sekali kolam dirundung penyakit yang serius maka umumnya terlambat untuk untuk bertindak apa pun. pengobatan memberikan anti biotika atau fungisida keseluruh kolam mahal sekali biayanya. oleh dikarenakan itu lebih murah untuk mengeringkan kolam serta mulai menyiakan dari permulaan.
6.      Pemanenan
Sesudah periode pemeliharaan 3 hingga 5 bln. udang bisa diapanen. pada waktu panen keseluruhan ukurang beragam beratnya yakni 20 – 50 gram per ekor.
Sistem pemanenan bisa dikerjakan secar bertahap dimanan cuma dipilih ukuran mengonsumsi isi 30 hingga 40 ekor/kg ( ukuran pasar ). pada step pertama dikerjakan sesudah 2 bln. periode pemeliharaan ( dari tokolan ) gunakan jarring serta setaip bln. selanjutnya. produksi udang galah bisa menncapai 2 hingga 4 ton/hektar.
Teknik memanen yang sangat mudah serta sangat murah yaitu meringkan kolam baik beberapa ataupun menyeluruh. umumnya jika dapat memanen seluruh udang maka kolam dikeringkan sekalipun, namun bila dapat memanen beberapa saja maka cuma beberapa air yang dibuang.
Pada waktu pemanenan baiknya dimasukkan air fresh kedalam kolam melewati saluran air masuk. disamping itu pemanenan baiknya dikerjakan saat pagi hari diman temperature tetap rendah.

BERBAGAI PENYAKIT YANG PERLU DIWASPADAI PADA NILA

June 21, 2018 Posted by Media Penyuluhan Perikanan Pati 2 comments
Penyakit pada ikan nila dan pengobatannya :
1 . Penyakit bintik putih
            Penyebab penyakit bintik putih adalah protozoa incthyrius multifilis. Faktor penyebab penyakit ini adalah kualitas air yang buruk, suhu yang terlalu rendah, pakan yang buruk, dan kontaminasi ikan lain yang sudah terkena penyakit bintik putih. Penularan penyakit ini dapat melalui air atau kontak langsung antar ikan.
            Pengendalian serangan penyakit bintik putih adalah dengan menggunakan peralatan yang bersih dan steril, mempertahankan kualitas air tetap baik, dan mempertahankan suhu air agar tidak kurang dari 28oC. Jika jumlah ikan yang sudah terserang penyakit ini sedikit, ikan dicelupkan di dalam larutan garam dapur sebanyak 1-3 g/100 cc air selama 5-10 menit, atau Methylene Blue (MB 1%) sebanyak 1 gr dilarutkan di dalam 100 cc air. Ambil 2-4 cc larutan tersebut dan encerkan kembali di dalam 4 liter air. Ikan yang sakit selanjutnya direndam di dalam larutan tersebut selama 24 jam. Perendaman dilakukan 3-5 kali dengan selang waktu satu hari.
2 . Penyakit penducle
            Penyakit ini sering disebut dengan penyakit air dingin (cold water descareases) yang biasa terjadi pada suhu 16oC. Penyebabnya adalah bakteri flexbacter psychropahila yang berukuran sekitar enam micron. Ikan yang terserang penyakit ini tampak lemah, tidak mempunyai nafsu makan, dan muncul borok atau nekrosa pada kulit secara perlahan.
            Pengobatan dilakukan dengan cara merendam ikan nila yang sakit di dalam larutan Oxytetracycline 10 ppm selama 30 menit (100mg/l). Pengobatan juga dapat dilakukan melalui makanan yang dicampur dengan Sulfixazole. Dosis yang digunakan adalah 100 mg Sulfixazole untuk setiap 1 kg berat ikan. Pencampuran dilakukan dengan cara mengencerkan Sulfixazole di dalam 15 cc air dan menyemprotkannya ke pakan. Pakan tersebut kemudian dianginkan. Setelah kering, pakan diberikan berturut-turut selama 10-20 hari.
3 . Penyakit edward siella
            Penyebabnya adalah bakteri Edward siella yang berukuran 0,5-0,75 mikron. Jika sudah terinfeksi penyakit ini, akan muncul luka kecil pada kulit dan daging ikan, disertai dengan perdarahan. Luka tersebut akan menjadi bisul dan mengeluarkan nanah (absees). Serangan lebih lanjut dapat menyebabkan luka pada hati dan ginjal.
            Pengobatan dapat dilakukan dengan mencampur Sulfamerazine ke dalam pakan. Dosis yang digunakan adalah 100-200 mg Sulfamerazine untuk setiap 1 kg berat ikan. Sufamerazine diencerkan di dalam 1 m3 air bersih dan disemprotkan ke pakan. Pakan dianginkan hingga kering dan diberikan kepada ikan berturut-turut selama tiga hari.
4 . Penyakit gatal
            Penyakit yang sering menyerang benih ikan ini disebabkan oleh Trichodina sp. Bagian tubuh yang diserang adalah kulit, sirip, dan insang. Serangan penyakit gatal ditandai dengan gerakan ikan yang lemah dan sering menggosok-gosokkan ke benda ke benda keras di dinding wadah.
            Tindakan pencegahan dapat dilakukan dengan mengurangi kepadatan tebar ikan dan menjaga kebersihan wadah pemeliharaan. Ikan yang sakit diobati dengan cara merendamnya di dalam larutan formalin 150-200 ml/m3 air atau 150-200 ppm selama 15 menit. Bisa juga direndam di dalam larutan Malachyte Green Oxalate (MGO) 19 gram/m3 air selama 24 jam.
5 . Penyakit lerneae
            Penyebab penyakit ini adalah udang renik (Lerneae sp). Gejala yang tampak adalah munculnya parasit yang menempel di tutup insang, sirip, dan mata ikan. Parasit ini menyerang ikan dengan cara menusukkan tubuhnya, seperti sedang menyuntikkan jarum. Bentuk tubuhnya mirip kail pancing dan dapat dilihat dengan mata biasa, tanpa bantuan mikroskop.
            Cara penanggulangannya adalah dengan merendam ikan nila yang sakit di dalam 250 cc formalin yang diencerkan di dalam 1 m3 air bersih. Perendaman dilakukan selama 10 menit dan diulang sebanyak tiga kali selama tiga hari. Penanggulangan secara mekanis dilakukan dengan cara mengankat tubuh ikan yang sakit secara hati-hati, kemudian menggunting parasit yang menancap di tubuh ikan tersebut. Lakukan dengan hati-hati agar tidak menimbulkan luka baru pada tubuh ikan yang sakit.
6 . Penyakit kutu ikan (argulus)
            Penyebab penyakit ini adalah Argulus sp, yang termasuk golongan udang renik. Parasit penghisap darah ini sering dijumpai menempel pada insang, kulit, dan sirip ikan yang sakit. Gejalanya adalah tubuh ikan menjadi kurus, nafsu makan berkurang, dan muncul bercak merah di tubuhnya. Jika penyakit ini diabaikan, ikan akan mati karena darahnya terus dihisap oleh parasit.
            Pengobatan penyakit ini dilakukan dengan mencelupkan ikan yang sakit ke dalam larutan garam (NaCl) dengan takaran 20 gram/liter air selama lima menit atau pada garam ammonia (NH4Cl) sebanyak 12,3 gram/liter air selama 5-10 menit.
            Penyebaran penyakit ini dapat dicegah dengan cara pengapuran kolam. Awalnya, kolam dikeringkan. Setelah kolam benar-benar kering, kapur ditabur dengan takaran 200 gram/m3 luas kolam.
            Pemupukan dalam pemeliharaan ikan nila sangat penting untuk kesuburan kolam. Kolam yang subur mengandung beragam jenis dan ukuran pakan alami dalam jumlah banyak. Pakan alami ini sangat penting dan bermanfaat terutama bagi larva yang memang organ tubuhnya belum terbentuk sempurna. Adanya pakan alami ini menyebabkan larva dapat hidup dengan baik dan tumbuh dengan cepat.
            Gizi pakan alami lebih komplit dan seratnya lebih halus dibanding pakan tambahan. Untuk dapat mendukung pertumbuhan larva atau ikan sebaiknya di dalam kolam ditumbuhi pakan alami yang harus memenuhi beberapa persyaratan di antaranya ialah :
1).Ukurannya kecil (lebih kecil dari bukaan mulut larva atau ikan),
2).Gizinya tinggi dan mudah dicerna,
3).Dapat bergerak, terapung, dan tersuspensi,
4).Mudah dibudidayakan dalam jumlah besar,
5).Dapat dibudidayakan dengan biaya murah, serta,
6).Merupakan pemanfaatan sumber daya alam sekitar.
            Salah satu cara untuk menyuburkan kolam dengan pemupukan. Pupuk yang digunakan dapat berupa pupuk organik maupun anorganik. Pupuk organik merupakan pupuk yang berasal dari kotoran hewan atau dedaunan, sedangkan pupuk anorganik merupakan pupuk yang dibuat dengan komposisi bahan kimia tertentu. Kandungan nutrien pupuk organik lebih komplit dibanding pupuk anorganik.
            Pupuk organik dari hewan (ternak) yang dapat dipilih meliputi kotoran ayam, kotoran kerbau, kotoran kambing, kotoran puyuh, dan kotoran sapi. Dosisnya antara 500-1.000 g/m2 dan diberikan dengan cara disebar ke seluruh bagian dasar kolam. Untuk pupuk organik dari dedaunan yang dapat dipilih meliputi daun kipahit, petai cina, dadap solo, dadap laut, orak-orak, waru, jarong, herendong, kadoya, pingku, dan daun harerang.
            Selain pupuk organik, sebaiknya kolam perlu diberi pupuk anorganik. Beberapa jenis pupuk anorganik yang dapat digunakan adalah Urea, SP-36, NPK, dan ZA. Dosis masing-masing pupuk 25 g/m2. Pemberiannya pun dengan cara disebar ke dasar kolam.
            Setelah diberi pupuk, pada hari yang sama kolam diairi hingga mencapai ketinggian tiga perempat bagian kolam. Bila ketinggian air sudah mencapai yang diinginkan, aliran air ke kolam dapat dihentikan.
            Kesuburan kolam akan meningkat, kalau bubur lumpur di dasar kolam sudah cukup tebal, lebih kurang 10 cm. Lumpur yang lebih tebal daripada 10 cm, akan menggangu kehidupan jasad renik, makanan alami ikan nila.

MANFAAT PROBIOTIK Bacillus cereus UNTUK PENGENDALIAN PENYAKIT Streptococcosis PADA IKAN NILA ( Oreochromis niloticus)

June 21, 2018 Posted by Media Penyuluhan Perikanan Pati 2 comments
PENDAHULUAN
Ikan nila (Oreochromis niloticus) merupakan jenis ikan air tawar yang memiliki keunggulan yang menguntungkan. Pertumbuhan yang sangat cepat, mudah dipelihara, tahan terhadap kondisi air yang buruk, memiliki nilai gizi, dan nilai ekonomis yang cukup tinggi (Sumiarti, 2000). Ikan nila (O. niloticus) sudah lama dikenal oleh masyarakat luas sebagai ikan konsumsi, mengandung nutrisi yang hampir sama dengan jenis ikan air tawar lainnya. Nila merupakan ikan yang banyak diminati masyarakat sebagai sumber protein hewani dengan kandungan gizi 17,7% protein dan 1,3% lemak (Rukmana, 1997 dalam Sumiarti, 2000). Ikan nila mulai dikembangkan di masyarakat dengan tujuan untuk meningkatkan komoditi perikanan dan pemenuhan kebutuhan protein hewani. Potensi pasar ikan nila termasuk cukup prospektif. Permintaan pasar internasional ikan nila mencapai 200.000 ton/tahun (Sumiarti, 2000). Untuk memenuhi permintaan pasar tersebut maka budidaya nila dilakukan secara intensif dengan padat penebaran yang tinggi serta pemberian pakan yang berlebihan. Kondisi tersebut dapat memicu timbulnya berbagai penyakit yang disebabkan oleh bakteri patogen.
Penyakit yang banyak menginfeksi ikan nila adalah Streptoccocosis yang disebabkan oleh bakteri S. agalactiae (Chang & Plumb, 1996). Streptococcosis akibat infeksi Streptococcus merupakan penyakit pada tilapia yang biasa dihadapi petani ikan dalam usaha budidaya dan dapat menyebabkan kematian ikan yang tinggi (Baya et al., 1990).
Berbagai cara telah berhasil dilakukan untuk mengendalikan infeksi bakterial pada ikan baik secara kuratif (pengobatan) maupun preventif (pencegahan). Penggunaan antibiotik dan bahan kimia dapat digunakan untuk menanggulangi infeksi bakterial, Namun, dalam penggunaan zat kimia tersebut dapat menimbulkan resistensi pada ikan dan juga dapat membahayakan manusia sebagai konsumen. Saat ini telah banyak dikembangkan metode lain yang lebih aman dan efektif, salah satunya adalah dengan penggunaan probiotik. Probiotik adalah agen mikroba hidup yang mampu memberikan keuntungan bagi inang yakni dengan memodifikasi komunitas mikroba atau berasosiasi dengan inang, memperbaiki nilai nutrisi, dan pemanfaatan pakan, meningkatkan respons inang terhadap penyakit, dan memperbaiki kualitas lingkungan (Verschuere et al., 2000).
Bacillus cereus merupakan bakteri probiotik yang diisolasi dari usus ikan nila (Lusiastuti et al., 2011). Short et al. (1999) mengemukakan bahwa kriteria yang perlu dipertimbangkan untuk mendapatkan probiotik dengan pengaruh positif yang optimal bagi inangnya antara lain memiliki jumlah sel hidup dengan kepadatan 107-109 CFU/mL. Namun, sejauh ini belum ada informasi mengenai dosis probiotik B. cereus yang efektif dan dapat meningkatkan ketahanan pada benih ikan nila. Penelitian ini bertujuan untuk mengetahui kualitas dan dosis yang tepat dari probiotik B. cereus yang diaplikasikan lewat pakan terhadap ketahanan benih ikan nila yang diinfeksi oleh S. agalactiae.
BAHAN DAN METODE
Ikan uji yang digunakan dalam penelitian ini adalah benih ikan nila BEST dengan bobot 15-20  g sebanyak 800 ekor berasal dari kolam pembenihan nila di Instalasi Riset Lingkungan Perikanan Budidaya dan Toksikologi, Cibalagung. Ikan dipelihara dalam akuarium dengan kepadatan 10 ekor/akuarium. Ukuran ikan 6-7 cm dan volume air 20 liter. Probiotik yang digunakan adalah B. cereus yang diisolasi dari usus ikan nila, yang dicampur dengan pakan komersial sebesar 1% (1 g probiotik/100 g pakan) (Wang et al., 2008), 2% prebiotik berupa tepung ubi jalar (2 g tepung/100 g pakan) dicampurkan dengan 1% probiotik B. cereus dalam pakan komersial (sinbiotik) (Mahious et al., 2006). Pakan komersial berupa pelet terapung dengan kadar protein 31%-33%.
Metode yang digunakan dalam penelitian ini adalah eksperimen dengan rancangan acak lengkap yang terdiri atas 4 perlakuan dan 3 kali pengulangan yaitu:
A         = Pemberian pakan tanpa penambahan probiotik dan prebiotik (kontrol)
B         = Pemberian pakan dengan penambahan probiotik B. cereus sebesar 1% (1 g/100 g pakan (Wang et al., 2008)
C         = Pemberian pakan dengan penambahan prebiotik sebesar 2% (2 g/100 g pakan)
D         = Pemberian pakan dengan penambahan sinbiotik (1% probiotik + 2% prebiotik)
Penyiapan dan Pencampuran Probiotik B. cereus dalam Pakan
Satu ose B. cereus dimasukkan ke dalam media TSB volume 25 mL selanjutnya dikultur pada shaker bergoyang selama 24 jam pada suhu 29oC. Bakteri dipanen dan disentrifus selama 15 menit pada kecepatan 5.000 rpm. Endapan (pelet) ditambahkan 25 mL PBS dan di-mixer. Kemudian disentrifus lagi selama 10 menit dengan kecepatan 5.000 rpm. Perlakuan ini dilakukan sampai dua kali sehingga B. cereus siap digunakan. Pakan komersial disiapkan sebanyak 10 g dan B. cereus dilarutkan dalam PBS (1% dari 10 g pakan) yaitu 0,1 g atau 0,1 mL probiotik dan kuning telur (2% dari 10 g pakan) yaitu 0,2 g. Kuning telur 0,2 g; B. cereus 0,1 mL; dan pakan komersial sebanyak 10 g dicampur ke dalam mortar dan diaduk sampai merata. Penyiapan ini untuk satu akuarium. Hal ini dilakukan sebanyak 3 kali untuk 3 akuarium dengan perlakuan penambahan probiotik.
Penyiapan dan Pencampuran Prebiotik Tepung Ubi Jalar dan Probiotik (Sinbiotik)
Tepung ubi jalar sebanyak 50 g dilarutkan dalam 500 mL alkohol 70% dalam erlenmeyer. Dihomogenkan dengan magnetic stirrer selama 24 jam lalu disaring dengan kertas saring (Whatman No. 41). Hasil saringan dipekatkan dengan evaporator vaccum selama 1 jam. Prebiotik siap dipakai dan dicampurkan dalam pakan. Kuning telur sebanyak 0,2 g dicampur prebiotik tepung ubi jalar 0,2 mL dan B. cereus 0,1 mL; serta pakan komersial 10 g dimasukkan ke dalam mortar dan dicampur merata. Hal ini dilakukan sebanyak 3 kali untuk 3  akuarium perlakuan dengan penambahan sinbiotik.
Penyiponan dasar wadah pemeliharaan ikan dilakukan setiap 2 hari sekali untuk membuang sisa pakan dan feses. Penggantian air media sebesar 20% dari total volume air media pemeliharaan pada waktu dilakukan penyiponan. Pengujian kualitas air dilakukan pada awal (hari ke-1), hari ke-7, dan hari ke-14 selama masa pemeliharaan.
Uji Tantang
Setelah dilakukan masa pemeliharaan selama 14 hari, pada hari ke-15 dilakukan uji tantang terhadap benih ikan nila. Infeksi buatan dilakukan melalui teknik penyuntikan secara intramuscular (IM) dengan dosis S. agalactiae 0,1 mL/ekor pada konsentrasi 105 CFU/mL yang merupakan dosis LD50 (Taukhid, 2009) . Pengamatan dilakukan setiap 6 jam/hari pada pukul 08.00, pukul 14.00, dan pukul 20.00 , terhadap gejala klinis dan sintasan (SR ) benih ikan nila hingga hari ke-14 setelah proses infeksi. Pengamatan dihentikan manakala ikan uji mati secara keseluruhan meskipun belum mencapai 14 hari. Pada masa uji tantang, tidak dilakukan penyiponan agar bakteri S. agalactiae tidak terbuang bersama air yang diganti. Pemberian pakan dilakukan seperti pada masa pemeliharaan ikan sebelum uji tantang.
Parameter yang diamati adalah gejala klinis dari efek penggunaan probiotik dan uji tantang, differensial leukosit, dan indeks fagositosis.
Gejala Klinis
Gejala klinis yang diamati adalah kerusakan permukaan tubuh (gejala klinis eksternal) dan tingkah laku ikan yang mencakup respons terhadap pakan uji. Pengamatan tersebut dilakukan saat uji tantang sampai akhir penelitian.
Differensial Leukosit
Pengamatan differensial leukosit dilakukan sebanyak tiga kali sampling yaitu sebelum pemberian probiotik, pasca pemberian probiotik B. cereus, dan pada hari ke-7 setelah uji tantang. Pengamatan dilakukan untuk mengetahui perubahan jumlah total leukosit yang berkaitan dengan respons kekebalan tubuh ikan pada saat pemberian probiotik dan setelah uji tantang.
Indeks Fagositosis
Pengamatan indeks fagositosis dilakukan sebanyak tiga kali yaitu sebelum pemberian probiotik, saat pemberian probiotik B. cereus dan pada hari ke-7 dan ke-14 setelah uji tantang. Pengamatan pada saat perlakuan B. cereus untuk mengetahui peningkatan sel fagosit, dan pengamatan pada setelah uji tantang untuk mengetahui kemampuan leukosit dalam melakukan mekanisme fagositosis saat diinjeksi S. agalactiae.
Analisis Data
Pengaruh perlakuan terhadap tingkat sintasan pada ikan uji dianalisis dengan analisis sidik ragam dengan uji F, apabila terdapat perbedaan nyata antar perlakuan dianalisis dengan uji jarak Duncan dengan taraf 5% (Gasperz et al., 1991) dan untuk mengetahui hubungan masing-masing perlakuan dengan sintasan dianalisis dengan analisis regresi. Adapun hasil pengamatan gejala klinis, differensial leukosit, indeks fagositosis, dan kualitas air dianalisis secara deskriptif.
HASIL DAN BAHASAN
Sintasan
Rata-rata tingkat sintasan ikan uji sebelum dilakukan uji tantang dengan S. agalactiae, pada 4 perlakuan selama dua minggu pengamatan adalah sebesar 99%-100%.
Hasil pengamatan setelah dilakukan uji tantang dengan S. agalactiae pada ikan nila, rata-rata tingkat sintasan ikan uji selama dua minggu pengamatan menunjukkan hasil yang bervariasi pada setiap perlakuan. Rata-rata sintasan ikan nila setelah diuji tantang dengan S. agalactiae sebesar 48,33%-70,00 %.
Selama masa pemeliharaan 7 hari setelah diinfeksi S. agalactiae, perlakuan kontrol (A) menunjukkan persentase rata-rata sintasan paling rendah, yaitu sebesar 48,33% (Gambar 1). Pada ikan uji dengan penambahan probiotik B. cereus (B) dalam pakan, penambahan prebiotik ekstrak tepung ubi jalar 2% (C) dan sinbiotik (D) memperlihatkan mortalitas yang lebih rendah dibandingkan dengan ikan kontrol (A). Perlakuan dengan tambahan sinbiotik yaitu campuran antara probiotik sebanyak 1% dan prebiotik sebanyak 2% (D) memberikan mortalitas terendah di antara perlakuan yang lainnya, sehingga memberikan sintasan tertinggi yaitu sebesar 70,00%.
Perlakuan (Treatments)
Gambar 1. Sintasan ikan nila (O. niloticus) setelah uji tantang pada pemberian probiotik dari setiap perlakuan
Figure 1. The survival rate of tilapia (O. niloticus)  after challenge test on each treatment
Sintasan ikan nila yang tidak diberi perlakuan (A) menghasilkan sintasan paling rendah (48,33%) setelah diuji tantang dengan S. agalactiae. Kondisi ini memperlihatkan ketahanan ikan nila yang rendah terhadap serangan S. agalactiae. Kemungkinan hal ini terjadi karena ketahanan ikan tidak distimulasi oleh probiotik yang berperan sebagai immunostimulan, sehingga dalam mempertahankan serangan S. agalactiae ikan nila hanya menggunakan pertahanan alami dalam kondisi normal sehingga tidak mampu dalam mempertahankan serangan S. agalactiae yang lebih kuat.
Berdasarkan hasil pengamatan terlihat bahwa ikan dengan perlakuan penambahan sinbiotik (D) paling baik dan tepat dalam menanggulangi infeksi S. agalactiae dengan nilai sintasan tertinggi sebesar 70,00% dan kadar neutrofil tertinggi yaitu 31,5%. Berdasarkan perhitungan analisis ragam disimpulkan bahwa penambahan sinbiotik berbeda terhadap ikan perlakuan kontrol (A) namun tidak berpengaruh terhadap ikan uji dengan perlakuan penambahan probiotik B. cereus 1% (B) dan ikan dengan penambahan prebiotik ekstrak tepung ubi jalar 2% (C). Maka pemberian sinbiotik ini dinilai efektif penggunaannya dibandingkan dengan perlakuan kontrol.
Differensial Leukosit
Persentase jenis-jenis leukosit yang berperan dalam sistem ketahanan tubuh yaitu limfosit, monosit, dan neutrofil (Gambar 2). Tiga jenis sel ini merupakan bentuk dari leukosit yang berperan dalam merespons kekebalan terhadap antigen (partikel asing) dalam darah.
Berdasarkan hasil pengamatan terhadap differensial leukosit ikan uji selama masa pengamatan setelah uji tantang (Tabel 1),
proporsi jumlah limfosit menunjukkan jumlah yang paling banyak dibandingkan dengan jumlah monosit dan neutrofil. Namun, setelah dilakukan penginfeksian terhadap ikan uji dengan S. agalactiae didapatkan peningkatan jumlah proporsi neutrofil yang menunjukkan bahwa ikan uji terserang S. agalactiae. Peningkatan jumlah neutrofil diasumsikan menjadi respons terhadap bakteri merugikan yang masuk dan menyerang tubuh ikan uji. Neutrofil berperan dalam merespons infeksi yang diakibatkan oleh bakteri sehingga persentasenya akan meningkat (Purwanto, 2006).
Standar jumlah leukosit ikan nila (O. niloticus) 3.390-14.200 /mm 3 dengan neutrofil 3,25%-8,40%; eosinofil 2,40%-8 ,00%; limfosit
60,20%-81,00%; dan monosit 7,75%-29,20 % (Salasia et al., 2001). Berdasarkan standar persentase proporsi ikan nila maka dapat dilihat terjadi peningkatan proporsi jumlah neutrofil ikan nila yang telah diberi perlakuan (selama masa induksi) dan terjadi peningkatan yang tinggi pada saat dilakukan pengamatan setelah ikan nila diuji tantang dengan S. agalactiae ( Tabel  2).
Ketahanan tubuh ikan nila terhadap infeksi
S. agalactiae lebih rendah pada perlakuan
Neutrofil (N), limfosit (L), dan monosit (M) (Neutrofil (N), lymphosit (L), and monocyte (M))
Gambar 2. Gambaran sel darah ikan nila (O. niloticus) pada perlakuan A sampai D
Figure 2. Blood cells of tilapia (O. niloticus) after treated by different treatment and challenge test
penambahan probiotik (B) dan pada penambahan prebiotik (C) dilihat dari proporsi neutrofil yang jumlahnya lebih rendah dibandingkan perlakuan penambahan sinbiotik ( D). Penambahan probiotik ditambah dengan prebiotik dalam pakan (D) memberikan sintasan yang lebih tinggi dibandingkan dengan perlakuan lainnya. Hal ini diperkuat bahwa probiotik B. cereus yang dikombinasikan dengan prebiotik mampu memicu ketahanan tubuh lebih baik yang terlihat dengan jumlah neutrofil yang tinggi yaitu sebesar 31 ,5% ( Tabel 1). Hal ini disebabkan karena prebiotik berfungsi sebagai sumber energi siap pakai dan tersedia di dalam saluran cerna sehingga probiotik dapat bertahan lebih lama dan berfungsi serta bekerja secara maksimal.
Pengamatan proporsi limfosit dalam darah mengalami penurunan setelah dilakukan penginfeksian pada ikan nila dengan S. agalactiae, baik pada perlakuan yang diberi penambahan probiotik B. cereus dan prebiotik maupun kontrol. Proporsi limfosit menurun karena antibodi digunakan untuk menyerang S. agalactiae, hal ini diduga karena pada saat setelah diinfeksi bakteri terjadi aktivitas perlawanan dari leukosit terhadap S. agalactiae. Peningkatan intensitas infeksi oleh patogen
Tabel 1.           Persentase diferensial leukosit ikan nila (O. niloticus)
Table 1.           Differential leucocyt percentage of tilapia (O. niloticus)
Parameter Parameters
Perlakuan Treatments
Observation
S0
S1
S2
Limfosit
Lymphosit
A
B
C
D
72.0
61.5
62.5
61.0
62.0
51.5
49.0
47.5
48.0
Monosit
Monocyte
A
B
C
D
19.5
21.0
20.0
20.0
19.0
22.0
21.5
21.5
20.5
Neutrofil
Neutrofil
A
B
C
D
8.5
17.5
17.5
19.0
19.0
26.5
29.5
31.0
31.5
Keterangan (Remark):
S0 = Sebelum perlakuan (Before treatment); S1 = Setelah perlakuan (After treatment); S2 = Pasca uji tantang minggu ke-2 (After challenge test on week 2)
tertentu akan memicu peningkatan kebutuhan leukosit dan peningkatan kebutuhan tersebut mengakibatkan adanya pengurangan jumlah sel agen penyedia zat kebal tubuh yaitu limfosit (Herlina, 2007).
Jumlah neutrofil meningkat pada saat pengamatan pasca uji tantang minggu ke-2. Peningkatan proporsi neutrofil ini berhubungan dengan respons melawan partikel asing yang masuk. Neutrofil merupakan garis pertahanan pertama yang bergerak cepat ke arah bahan asing dan menghancurkannya (Tizard, 1988). Monosit masuk ke dalam jaringan, berdiferensiasi menjadi makrofag sehingga jumlah monosit berfluktuasi dalam darah. Kebutuhan monosit pada saat infeksi untuk memfagosit S. agalactiae sangat diperlukan, sehingga jumlahnya akan meningkat supaya dapat melakukan aktivitas perlawanan dalam mencukupi kebutuhan sel-sel fagosit. Persentase monosit semua perlakuan pada masa pengamatan pasca uji tantang minggu ke-1 meningkat dengan persentase monosit berkisar 26,5%-31,5%. Proporsi monosit dalam leukosit hanya sebesar 0,1% dan meningkat sekitar 38% dalam waktu singkat bila terjadi infeksi (Lucky, 1977 dalam Herlina, 2007).
Sistem imun non spesifik merupakan sistem pertahanan penting dan bersifat dasar bagi invertebrata khususnya pada ikan. Probiotik di dalam penelitian dapat memperbaiki parameter imunologi pada ikan nila, terutama dengan melihat peningkatan pertumbuhan yang secara tidak langsung diakibatkan oleh peningkatan respons imun. Hal ini sesuai dengan penelitian Wang et al. (2008) menggunakan probiotik Enterococcus faecium pada ikan tilapia (Oreochromis niloticus) untuk meningkatkan pertumbuhan dan respons imun dan ternyata komplemen, aktivitas serum myeloperoksidase (MPO), serta aktivitas respiratory burst lebih tinggi daripada ikan kontrol.
Indeks Fagosit
Leukosit merupakan salah satu komponen darah yang berfungsi sebagai pertahanan nonspesifik yang akan melokalisasi dan mengeliminasi patogen melalui fagositosis (Anderson, 1992). Meningkatnya indeks fagositosis menunjukkan adanya peningkatan kekebalan tubuh (Brown, 2000).
Berdasarkan hasil pengamatan bahwa indeks fagositosis dalam darah ikan uji yang diberi penambahan probiotik B. cereus ( B dan D) lebih tinggi dibandingkan dengan ikan kontrol (A) dan ikan dengan penambahan prebiotik (C) (Tabel 2). Penambahan prebiotik akan menjadi makanan bagi probiotik dalam usus ikan sehingga nilai indeks fagosit pada ikan dengan penambahan sinbiotik (D) juga tinggi. Meningkatnya ketahanan tubuh dapat diketahui dengan meningkatnya aktivitas fagosit (Herlina, 2007). Maka terlihat dengan penambahan probiotik melalui pakan mampu meningkatkan nilai indeks fagosit dan meningkatkan sistem imun yang akhirnya nilai sintasan ikan pada perlakuan penambahan probiotik (B dan D) lebih tinggi dibandingkan pada ikan kontrol (A) dan ikan dengan pakan yang ditambah prebiotik saja (C) (Tabel 2).
Hal ini diduga karena probiotik B. cereus masuk ke dalam tubuh ikan melalui pakan ini di dalam usus terjadi kompetisi nutrien atau ruang antara probiotik dengan bakteri patogen. Ikan pada perlakuan kontrol (A), sel fagositnya tidak bekerja dengan baik sehingga ikan mudah sekali terinfeksi S. agalactiae, hal ini menyebabkan sintasan ikan nila sangat rendah mencapai 48,33%.
Sel-sel fagosit ini berfungsi untuk melakukan fagositosis terhadap benda asing yang masuk ke dalam tubuh inang. Fagositosis
Gambar 3. Fagositosis antigen oleh sel fagosit pasca uji tantang ( pembesaran 100x)
Figure 3. Antigen phagocytosis by phagocyte cell post challenge test (100x magnificent)
merupakan mekanisme pertahanan nonspesifik yang secara umum mampu melindungi adanya serangan penyakit. Sel fagosit ini berfungsi untuk melakukan fagositosis terhadap benda asing yang masuk ke dalam tubuh inang. Pola peningkatan persentase indeks fagositik ini merupakan fungsi dari peningkatan total leukosit maupun presentasi jenis leukosit masing-masing pada limfosit, monosit, dan neutrofil (Herlina, 2007).
Tabel 2. Rata-rata nilai fagositosis ikan uji
Table 2. Phagocytosis average value of fish sample
Perlakuan Treatments
Rataan nilai fagositosis Phagocytosis average value (%)
S0
S1
S2
S3
A
B
C
D
9.9
15.5
30.5
20.0
51.5
20.5
50.5
41.0
60.5
30.5
65.5
52.0
70.0
Keterangan (Remark):
S0 = Sebelum perlakuan (Before treatment); S1 = Setelah perlakuan (After treatment); S2 = Pengamatan pasca uji tantang minggu 1 (Week 1 observation after challenge test); S3 = Pengamatan pasca uji tantang minggu 2 (Week  2 observation after challenge test)
Indeks fagositosis setelah uji tantang mengalami peningkatan baik pada ikan dengan perlakuan penambahan probiotik dan prebiotik ( B, C, dan D) maupun kontrol (A). Peningkatan
aktivitas fagositik diduga karena adanya infeksi S. agalactiae yang menyebabkan beban kerja sel fagositik menjadi lebih besar, sehingga kemampuan memfagositosis bakteri mengalami peningkatan dan jumlah sel yang memfagosit mengalami peningkatan. Gill & Martin (2002) menyatakan bahwa pada mamalia bakteri probiotik dapat menstimulir respons imun melalui interaksi dengan sistem imun di dalam pencernaan (usus). Mekanisme interaksi bakteri probiotik dan sistem imun dalam usus terjadi pada bagian peyer”s patches yaitu bagian yang terletak di antara vili-vili usus yang berbentuk oval dan di dalamnya kaya akan limfosit dan makrofag. Bakteri probiotik akan dibawa menuju peyer’s patches yang kemudian akan menstimulasi limfosit B membentuk IgM menjadi IgA dan menstimulasi peningkatan jumlah sitokin (IL-4, IL-6, TGF-, dan TNF). Interaksi bakteri probiotik juga akan menstimulasi sel T pembentuk sel Th yang akan mengaktifkan makrofag untuk memusnahkan bakteri patogen. Sitokin, IgA, dan makrofag yang diaktivasi oleh bakteri probiotik akan dibawa menuju nodus limfoid mesentrik kemudian menuju ke seluruh jaringan.
Stimulasi respons imun oleh bakteri probiotik di dalam saluran pencernaan ikan berbeda dengan mamalia (Nayak, 2010). Ikan tidak memiliki peyer’s patches, tetapi terdapat sel yang berfungsi sebagai sistem imun yaitu sel acidophilic granulocytes (AGs), sel Ig+, sel T, makrofag, granulosit, dan IgM. Interaksi bakteri probiotik di dalam saluran pencernaan dapat meningkatkan dan mengaktivasi sel-sel sistem imun tersebut, kemudian akan masuk ke pembuluh darah dan terbawa ke jaringan untuk meningkatkan respons di seluruh tubuh ikan.
Gejala Klinis
Pengamatan gejala klinis ikan nila dilakukan setelah dilakukan uji tantang dengan S. agalactiae dengan kepadatan 103 CFU/mL sebanyak 0,1 mL. Gejala klinis awal terlihat jelas berupa melanosis, berenang terbalik (whirling) , dan mata mengalami eksopthalmus lateral maupun bilateral pada ikan kontrol (A), ikan dengan penambahan probiotik B. cereus (B), dan ikan dengan penambahan prebiotik (C), sedangkan ikan pada perlakuan penambahan sinbiotik (D) tidak menunjukkan gejala klinis. Penambahan sinbiotik menunjukkan kemampuan menahan serangan awal akibat infeksi S. agalactiae. Pada 6 jam pertama sampai 24 jam penginfeksian, gejala klinis yang timbul belum terlihat. Terjadinya proses penghambatan sementara ini mengindikasikan bahwa dengan penambahan probiotik yang dikombinasi dengan prebiotik dapat meningkatkan daya tahan tubuh ikan nila, serta menghambat serangan S. agalactiae yang menginfeksi ikan nila sehingga dapat meningkatkan sintasan ikan nila.
Kerusakan jaringan tubuh pertama kali muncul setelah 36 jam penginfeksian S. agalactiae, yang ditandai dengan gerak renang tubuh ikan yang abnormal dan sulit bernafas serta terjadi perubahan pigmentasi tubuh ikan. Pada hari ke-2 sampai hari ke-11 setelah diuji tantang, ikan nila mulai timbul gejala klinis. Gejala klinis terlihat jelas pada ikan kontrol (A) dibandingkan dengan perlakuan yang diberi probiotik dan prebiotik (B, C, dan D). Kerusakan jaringan mata ikan nila ini diduga akibat toksin yang dikeluarkan oleh S. agalactiae yang terbawa aliran darah ke seluruh tubuh dan langsung menginfeksi jaringan mata ikan dan terjadi eksopthalmia ( Gambar  4).
Pada hari ke-12 sampai dengan ke-14 setelah penginfeksian kondisi ikan nila berangsur-angsur membaik, hal ini terlihat dari respons makan ikan dan pergerakan renang ikan yang kembali normal. Hal ini disebabkan karena sistem imun ikan terutama non-spesifik mampu menanggulangi infeksi patogen di dalam tubuh. Probiotik dapat membantu tubuh untuk meningkatkan kemampuan sistem imun non-spesifik untuk aktif di dalam proses fagositosis patogen apalagi jika tersedia prebiotik, maka peran probiotik menjadi lebih maksimal. Kualitas Air
Nilai parameter kualitas air media pemeliharaan selama penelitian berada pada kisaran yang sesuai untuk pemeliharaan ikan nila (Tabel 3). Hal ini menunjukkan bahwa hasil penelitian yang diperoleh disebabkan adanya perbedaan perlakuan dan bukan merupakan pengaruh dari kualitas air.
Selama penelitian dilakukan pengukuran terhadap beberapa parameter kualitas air yaitu: suhu, pH, DO, dan NH3 . Pengamatan kualitas air digunakan sebagai parameter pendukung selama penelitian. Pengamatan diuji pada awal penelitian, tengah, dan akhir penelitian.
Gambar 4. Pendarahan kornea dan eksopthalmia pada ikan nila yang terinfeksi S. agalactiae
Figure 4.          Cornea haemorrhagiae and exopthalmia on O. niloticus infected because of S. agalactiae
Tabel 3.           Nilai kualitas air media pemeliharaan O. niloticus dengan perlakuan yang berbeda selama penelitian
Table 3.           Value of water quality maintenance O. niloticus cultured with different treatments

Standar optimum
Optimum standard      6.5-9  Boyd (1982)     < 0.1 Cahyono (2000) 14-35
Boyd (1982)    Minimal 2 Boyd (1982)
The observation of water quality values Perlakuan
Berdasarkan hasil pengukuran kualitas air selama penelitian menunjukkan bahwa nilai kualitas air yang diperoleh berada dalam kisaran yang optimum untuk pertumbuhan ikan nila. Hal ini sesuai dengan pernyataan Boyd (1982) dan Cahyono (2000). Berdasarkan hasil pengukuran kualitas air memperlihatkan bahwa penambahan bakteri probiotik Bacillus sp. yang dikombinasikan dengan ekstrak tepung ubi jalar (prebiotik) ke dalam pakan komersial dapat mempertahankan ketahanan tubuh ikan dan menjaga kualitas air media pemeliharaan ikan nila. Dengan demikian, dapat dikemukakan bahwa kualitas air masih dalam batas toleransi untuk budidaya ikan nila, sehingga kematian ikan nila bukan akibat kualitas air yang tidak sesuai, tetapi oleh aktivitas S. agalactiae.
KESIMPULAN DAN SARAN
Kesimpulan
Berdasarkan data hasil penelitian dapat disimpulkan bahwa pemberian 1% probiotik Bacillus cereus dan prebiotik (ekstrak tepung ubi jalar) 2% (sinbiotik) ke dalam pakan komersial dapat meningkatkan rata-rata sintasan ikan nila sebesar 70,00%; kadar neutrofil 19%; dan aktivitas fagosit sebesar 51,5% setelah diuji tantang dengan Streptococcus agalactiae yang lebih baik jika dibandingkan dengan kontrol, probiotik, dan prebiotik saja dengan tingkat sintasan masing-masing 48,33%; 56,67%; dan 60%.
Saran
Perlu dilakukan uji skala lapang penambahan 1% probiotik Bacillus cereus yang dicampur 2% prebiotik ekstrak tepung ubi jalar (sinbiotik) ke dalam pakan komersial.
DAFTAR ACUAN
Anderson, D.P. 1992. Fish Immunology. In Snieszko & H.R. Axelord (Eds.). Disease of Fishes. TFH Publication. England, 185 pp.
Baya, A.M., Lupiani, B., Hetrick, F.M., Robertson, B.S., Lucacovic, R., May, E., & Puokish, C. 1990. Association of Streptococcus sp. with mortalities in the Chesapeake bay and it’s tributaries. J. of Fish Dis., 13: 251-253.
Boyd, C.E. 1982. Water quality management for pond fish culture. Elsevier Scientific Publishing Company. Amsterdam, 319 pp.
Brown. 2000. Applied Fish Pharmacology. Kluwer Academic Publisher. Netherland, 309 pp.
Cahyono, B. 2000. Budidaya ikan air tawar (ikan gurami, ikan nila, ikan mas). Penerbit Kanisius. Yogyakarta, 87 hlm.
Chang, P.H. & Plumb, J.A. 1996. Histopatology of eksperimental Streptococcus sp. infection in tilapia. Oreochromis niloticus (L.) and chanel catfish, Ichtalurus punctatus (Rafinesque). J. of Fish Dis., 19: 235-241.
Gasperz, V. 1991. Metode perancangan percobaan untuk ilmu-ilmu pertanian, Ilmuilmu Teknik dan Biologi. Armico Bandung, 472 hlm.
Gill, H.S. & Martin, L.C. 2002. Probiotic and immune function. In Calder, P.C., Catherine, J.F., & Gill, H.S. (Eds.) Nutrition and Immune Function. Cabi Publishing, 105 pp.
Herlina, T. 2007. Gambaran darah pada ikan mas (Cyprinus carpio L.) yang terserang berbagai jenis golongan penyakit berdasarkan analisis hematologi darah dan diferensiasi leukosit. Stasiun Karantina Ikan Kelas II Bengkulu, 85 hlm.
Lusiastuti, A.M., Condro, A.H., Sumiati, T., Wijaya, A., & Sularto. 2011. Uji seleksi probion anti Streptococcus agalactiae untuk formulasi sediaan monospesies dan multispesies. Prosiding Forum Inovasi Teknologi Akuakultur Jilid 2, Bali, 19-21 Juli 2011, hlm. 639647.
Mahious, A.S., Gatesoupe, F.J., Hervi, M., Metailler, R., & Ollevier, F. 2006. Effect of dietary inulin and oligosaccharides as prebiotics for weaning turbot, Psetta maxima. J. of Aquaculture International, 14(3): 219-229.
Nayak, S.K. 2010. Probiotics and immunity: A fish perspective. J. Fish and Shellfish Immunology, 29: 2-14.
Purwanto, A. 2006. Gambaran darah ikan mas (Cyprinus carpio) yang terinfeksi koi herpes virus. Skripsi. Program Studi Teknologi dan Manajemen Akuakultur. FPIK Institut Pertanian Bogor, 26 hlm.
Salasia, S.I.O., Sulanjari, D., & Ratnawati, A. 2001. Studi hematologi ikan air tawar. Biologi, 2(12): 710-723.
Short, S., Ouwehand, A.C., & Salminen, S. 1999. Probiotics: mechanism and established effects. Int. Dairy Journal, 9: 43-52.
Sumiarti, H. 2000. Pengaruh antibiotik neomycin terhadap sintasan ikan nila gift dalam menanggulangi Streptococciasis. Skripsi. Fakultas Perikanan dan Ilmu Kelautan Universitas Padjajaran Bandung, 84 hlm.
Taukhid. 2009. Efektivitas pemberian vaksin Streptococcus spp. pada benih ikan nila (Oreochromis niloticus) melalui teknik perendaman untuk mencegah penyakit Streptococciasis. Laporan Penelitian Hibah Penelitian bagi Peneliti dan Perekayasa Departemen Kelautan dan Perikanan, Balai Riset Perikanan Budidaya Air Tawar, Pusat Riset Perikanan Budidaya, 33 hlm.
Tizard, I. 1988. Pengantar imunologi veteriner. Edisi ke-2. Partodirejo, M. Hardjosworo, S. Penerjemah: Surabaya, Airlangga University Press. Terjemahan dari: An Introduction to Veterinary Immunology, 152 hlm.
Verschuere, L., Rombaut, G., Sorgeloos, P., & Verstraete, W. 2000. Probiotic bacteria as biological control agents in aquaculture. Microbiol. Mo. Biol. Rev., 64: 655-671.
Wang, Y.B., Tian, Z.Q., Yao, J.T., & Li, W.F. 2008. Effect of probiotics, Enterococcus faecium, on tilapia (Oreochromis niloticus)  growth performance and immune response. Aquaculture, 277: 203-207.