Sunday, March 25, 2018

PERTUMBUHAN JUVENIL IKAN BANDENG

March 25, 2018 Posted by Media Penyuluhan Perikanan Pati No comments
Kebutuhan benih ikan bandeng di daerah kabupaten Pati semakin meningkat dari waktu ke waktu karena sistem budidayanya tidak hanya pada tambak air payau tetapi juga pada kolam air tawar, yaitu berkembang usaha budidaya ikan andeng air tawar sistem polikultur. Hasil uji coba benih ikan bandeng yang berumur 20, 30 dan 40 hari setelah menetas sebanyak 300 ekor di pelihara dalam akuarium dengan menggunakan air yang bersalinitas 39 ppt. Pakan yang digunakan pada penelitian ini ialah pakan coomfeed nomor LA 7K dengan kandungan prorein 16,94%, lemak 0,88% dan air 7,66%.
Prosedur Penelitian
Benih ikan bandeng umur 20, 30 dan 40 hari dipelihara sebanyak 100 ekor untuk setiap kelompok umur. Selanjutnya benih ikan bandeng mulai dibantut hingga berumur 25, 35 dan 45 hari. Pengukuran konsumsi oksigen dilakukan setiap hari sebanyak 3 kali ulangan dan pengukuran bobot badan basah dilakukan sekali sehari. Kemudian pada saat benih bandeng berumur 26, 36 dan 46 hari perlakuan pembantutan dihentikan dan benih bandeng mulai diberi pakan berumur 20, 30 dan 40 hari. Pengukuran konsumsi oksigen dilakukan setiap hari sebanyak 3 kali ulangan dan pengukuran bobot badan basah dilakukan sekali sehari. Untuk pengukuran kualitas air dilakukan satu kali sehari. Parameter yang di ukur adalah salinitas dengan menggunakan hard refraktometer, dengan menggunakan DO meter.
Konsumsi Oksigen dan bobot basah
Konsumsi oksigen di ukur setiap hari dengan metode tertutup (Kurokuraet al., 1995) sebagai berikut: mengisi bobot respirasi hingga penuh dan diusahan agar tidak timbul gelembung udara, kemudian secara perlahan-lahan dimasukan 5 ekor benih bandeng lalu botol ditutup rapat. Bagian pinggir botol respirasi diisolasi untuk mencega terjadinya difusi oksigen dari luar. Benih ikan bandeng kemudian diadaptasikan selama 10 menit. Air yang berasal dari botol respirasi ditampung dalam botol sampel untuk mengukur konsumsi oksigen akhir ikan. Konsumsi oksigen awal diperoleh dari pengukuran oksigen air yang menuju botol respirasi. Konsumsi oksigen tanpa benih (test blank) juga diukur sebagai kontrol penelitian setiap hari benih ikan bandeng di timbang dengan menggunakan timbangan elektrik untuk memperoleh data bobot badan basah ikan bandeng rata-rata. Data disajikan dalam µI O2 . mg bobot basah-1 jam -1 dan µI O2 . ikan-1  jam -1 . selain iti diadakan pengamatan tingkah laku selama penelitian.
 Pengukuran Peubah
Laju konsumsi oksigen ditentukan berdasarkan jumlah konsumsi oksigen yang diukur pada awal dan akhir pengukuran, dihitung dengan menggunakan formula yang dikemukakan oleh Djawad et al,. (1996). Laju pertumbuhan bobot benih ikan bandeng dihitung dengan menggunakan rumus pertumbuhan harian spesifik yng dikemukakan oleh Zonneveld et al,. (1991). Sintasas benih ikan bandeng selama penelitian, dihitung dengan menggunakan rumus yang dikemukakan oleh Effendie (1979).
Konsumsi Oksigen
Berdasarkan pengamatan selama penelitian, konsumsi oksigen benih ikan bandeng yang dibantut pada semua kelompok umur sisajikan dalam bentuk grafik (Gambar 1,2 dan 3). Berdasarkan ketiga gambar tersebut di atas terlihat bahwa pada awal pelaparan hari 0 sampai hari ke-1 terjadi peningkatan konsumsi oksigen pada semua kelompok umur ikan yang diteliti. Hal ini kemungkinan di proses adaptasi lingkungan dari aquarium ke botol respirator sehingga menyebabkan aktivitas atau kecepatan renangnya juga meningkat. Kondisi ini sejalan dengan hasil penelitiaan Schaeperculus (1933) dalam Hoar dan Randall (1969) yang melaporkan bahwa konsumsi oksigen ikan tench (Tinca tinca) mengalami peningkatan sebanyak 3 kali setelah dilakukan pemindahan dari tambak ke tangki.
Pada Tabel 1 memperlihatkan rata-rata tingkat konsumsi oksigen benih ikan bandeng yang dilaparkan sedangkan Tabel 2 merupakan rata-rata tingkat konsumsi oksigen pada awal pemberian pakan sampai akhir penelitian.
Tabel 1. Rata-rata Tingkat  Konsumsi Oksigen Benih Ikan Bandeng yang dilaparkan.

Umur (hari)    Konsumsi Oksigen (µL O2 /mg bobot basah /jam)
    0    1    2    3    4    5
20    0,702    1, 179    1,556    1,786    1, 785    1,777
30    -    0,673    0,724    0,738    0,836    0,834
40    -    0,214    0,253    0,388    0,367    0,334


Tabel 2 rata-rata tingkat konsumsi oksigen benih ikan bandeng pada awal pemberian pakan sampai akhir penelitian.
Umur (hari)    Konsumsi Oksigen (µL O2 /mg bobot basah /jam)
    0    1    2    3    4    5
20    0,702    1, 179    1,556    1,786    1, 785    1,777
30    -    0,673    0,724    0,738    0,836    0,834
40    -    0,214    0,253    0,388    0,367    0,334
        Dari tabel 1 terlihat bahwa pada hari ke-1 sampai ke-3 terjadi penurunan konsumsi oksigen pada benih ikan bandeng umur 30 dan 40 hari. Sedangkan pada benih umur 20 hari terjadi penurunan konsumsi oksigen sampai hari ke-4. Penurunan konsumsi oksigen ini disebabkan karena kondisi tubuh benih ikan bandeng yang semakin lemah akibatnya kurangnya energi sehingga aktivitasnya menjadi lambat. Hal yang sama terjadi pada borok trout yang mengalami penurunan konsumsi oksigen akibat berkurangnya energi pada tiga hari pertama dari pelaparan (Arthur dalam Hoar dan Randall 1969).
        Pada benih yang berumur 20 hari terlihat adanya penurunan tingkat konsumsi oksigen secara terus menerus mulai dari hari ke-1 sampai ke-4. Hal ini disebabkan karena rendahnya energi yang ada di dalam tubuhnya akibat proses pelaparan. Jika dihubungkan dengan tingkat metabolisme dimana ikan kecil memiliki tingkat metabolisme yang lebih tinggi dari pada ikan yang besar. Sehingga kebutuhan enrgi pada ikan kecil lebih besar karena energi tersebut digunakan untuk pertumbuhan, ativitas dan pembentukan jaringan baru. Hal ini sejalan dengan pernyataan Fujaya (1999) bahwa pada keadaan cukup makan ikan akan mengkonsumsi makan hingga memenuhi kebutuhan energinya. Pengamatan diatas sesuai pula dengan penelitian pada ikan mas dengan bobot 12 gr, tingkat metaboliknya sebesar 24,48 kkal dalam 24 jam/kg dari berat badan, sedangkan pada ikan dengan bobot 600 gr. Hanya 7,79 kkal. (Schaeperculus 1933 dalam Hoar dan Randall, 1969).
        Masih dari tabel 1 terlihat bahwa pada benih berumur 30 hari dan 40 hari yang terjadi peningkatan konsumsi pada benih berumur 30 hari dan 40 hari yang disebabkan karena tingkah laku benih ikan yng mengalami stress. Kondisi ini dapat dimungkinkan karena tekanan fisiologi benih berat atau serius atau di bandingkan dengan kondisi ketika konsumsi oksigen mengangalami penurunan (Djawd et al., 1982). Hal ini dapat juga terjadi terjadi karena pada saat ikan dipuasakan akan terjadi penurunan karbohidrat dan lemak semakin rendah tetapi penggunaan oksigen menjadi lebih meningkat (Anonim 1999).
        Pada hari ke-5 terjadi penurunan konsumsi oksigen pada benih umur 30 dan 40 hari. Hal ini di mungkinkan karena tubuh ikan semakin lemah dan cadangan makanan sudah berkurang atau habis akibatnya menjadi kematian bagi ikan tersebut pada benih bandeng lebih dari 50%. Pada saat pelaparan ada masa dimana dalam tubuh terjadi proses glikogenogenesis yang merupakan proses pembentukan glikogen dan sebaliknya glikenolisis yang merupakan proses pemecahan glikogen menjadi bentuk glukosa dalam sel, sehingga glukosa ini dapat digunakan sebagai cadangan makanan yang menyebabkan konsumsi oksigen berflukturasi.
Dari tabel 2 terlihat bahwa setelah dilakukan pemberian pakan pada ketiga kelompok umur benih, terjadi peningkatan konsumsi oksigen yang sangat cepat diiringi dengan meningkatnya aktivitas (kecepatan renang) dari ikan. Hal ini sesuai dengn penyataan Davis (1953) dalam Hoar dan Randall (1969) yang telah melakukan penelitian terhadap kebutuhan oksigen ikan air tawar setelah diberi pakan. Hasil penelitiannya menunjukan bahwa peningkatan kebutuhan oksigen dapat terjadi akibat faktor pemberian pakan, terkejut dan stree akibat perubahan lingkungan.
Peningkatan konsumsi oksigen serta kecepatan renang secara terus menerus menyebabkan kelelahan dan menimbulkan oxygen debt (utang oksigen).
Menurut Lockwood (1967) metabolisme makanan merupakan salah satu faktor yang mempengaruhi laju pemanfaatan oksigen terlarut. Organisme yang aktif makan atau dalam keadaan kenyang akan menggunakan oksigen terlarut yang lebih banyak dibandingkan dengan organisme yang lapar pada sepesies danu ukuran yang sama.
Pada benih berumur 20 dan 40 hari pada hari ke-8 dan ke-9 terjadi penurunan konsumsi oksigen. Hal ini disebabkan karena terjadinya proses oksigen debt akibat adanya peningkatan konsumsi oksigen pada awal pemberian pakan. Oksigenbedt menggunakan basal metabolisme (resting) dan adanya faktor adaptasi ikan terhadap pakan sehingga konsumsi oksigennya menjadi stabil kembali.
Sementara itu pada benih yang berumur30 hari terjadi penurunana konsumsi oksigen pada hari ke-10. Hal initerjadi karena pada saat benih diberi pakan, peningkatan konsimsi oksigen tidak terlalu tinggi. Gambar prafik menurun pada setiap kelompok umur juga dimungkinkankarena bertambahnya bobot benih bandeng yang dibantut. Hal ini sesuai dengan pernyataan Fujaya (1999) bahwa parubahan dari berat badan menyebabkan perubahan tingkat konsumsi oksigennya sangat kecil. Jika total konsumsi oksigen meningkat akibat meningkatnya ukur, maka konsumsi  oksigen per unit berat badan akan menurun.
Pada fase muda, jumlah O2 bb-1 jam-1 lebih besar pemakaiannya dibandingkat dengan organisme yang lebih tua. Tingginya rata-rata penggunaan oksigen pada organisme lebih muda ini sejalan  dengan temuan imai (1974) yang menyatakan bahwa laju konsumsi oksigen per unit berat spesimen adalah lebih tinggi pada organisme yang lebih kecil dan spesimen yang lebih aktif.
Laju Pertumbuhan Bobot Benih Bandeng
Hasil perhitungan laju pertumbuhan Spesifik Harian (SGR) benih ikan bandeng dapat dilihat pada Tabel 3. Dari tabel tersebut terlihat bahwa SGRnya tidak memperlihatkan peningkatan yang berarti. Hal ini disebabkan selain karena kualitas pakan yang rendah juga diduga sebagai akibat dari hormon pertumbuhan dalam tubuh benih bandeng yang terbatas serta singkatannya waktu pembantutan.
Hewan-hewan yang diberi pakan kembali setelah sebelumnya dilaparkan atau diberi pakan yang tidak cukup, secara perlahan-lahan akan mengalami peningkatan konsentrasi RNA didalam jaringan. Kapasitas sintesia protein akan pulih kembali sejalan dengan pemberian pakan yang cukup menghasilkan peningkatan aktivitas, sintesa protein, pertumbuhan dan efisiensi konversi pakan (Jobling, 1994).
Tabel 3. Laju Pertumbuhan Spesifikasi Harian Benih Ikan Bandeng yang Dibantut
Umur    Pertumbuhan Spesifikasi Harian
20 hari    0,03% hari
30 hari    0,04% hari
40 hari    0,05% hari
Hal ini sesuai dengan Hoar dan Randall (1979) bahwa jika ikan dibatasi pakannya maka berat badannya menjadi berkurang dan setelah masa pelaparan selesai , pertambahan beratnya akan berlangsung dengan cepat. Sebai contoh dapat dilihat pada penelitian yang telah dilakuakan oleh Bombeo-Tuburan (1988) tentang The Effect of Stunting of Milk Fish yang mengalami kesimpulan bahwa ikan bandeng yang dibantut mengalami pertumbuhan yang lebih cepat dibandingkan dengan ikan bandeng yang tidak mengalami pembantutan. Penelitian yang mengemukakan lambatnya pertumbuhan bobot sebagai akibat dari hormon pertumbuhan yang terbatas juga terjadi pada penelitian pembantutan udang windu (Penaus monondon Fab) (Mengampa et al., 1990).
KESIMPULAN
Ikan bandeng merupakan suatu komoditas perikanan yang sudah lama dibudidayakan oleh petani tambak indonesia (Pirzan et al., 1989). Ikan ini juga merupakan jenis ikan ekonomis penting di sulawesi selatan karena terdapat digunakan sebagai sumber protein hewani yang relatif murah (Aslianti, 1995).
Berdasarkan ketiga gambar tersebut di atas terlihat bahwa pada awal pelaparan hari 0 sampai hari ke-1 terjadi peningkatan konsumsi oksigen pada semua kelompok umur ikan yang diteliti. Hal ini kemungkinan di proses adaptasi lingkungan dari aquarium ke botol respirator sehingga menyebabkan aktivitas atau kecepatan renangnya juga meningkat.
Pada benih umur 20 hari terjadi penurunan konsumsi oksigen sampai hari ke-4 Penurunan konsumsi oksigen ini disebabkan karena kondisi tubuh benih ikan bandeng yang semakin lemah akibatnya kurangnya energi sehingga aktivitasnya menjadi lambat. Sedangkan Pada benih yang berumur 20 hari terlihat adanya penurunan tingkat konsumsi oksigen secara terus menerus mulai dari hari ke-1 sampai ke-4. Hal ini disebabkan karena rendahnya energi yang ada di dalam tubuhnya akibat proses pelaparan. Jika dihubungkan dengan tingkat metabolisme dimana ikan kecil memiliki tingkat metabolisme yang lebih tinggi dari pada ikan yang besar.

Sunday, March 18, 2018

BUDIDAYA BELUT UNTUK MENINGKATKAN KONSUMSI IKAN

March 18, 2018 Posted by Media Penyuluhan Perikanan Pati 1 comment
Pemanfaatan lahan pekarangan untuk budidaya belut cukup menarik dengan tehnik pemeliharaan budidaya belut sebenarnya tidak sulit dan juga tidak mahal. Masyarakat yang memiliki lahan sempitpun dapat memelihara belut. Secara Teknis Budidaya dan pemeliharaan belut (monopterus albus) hanya memerlukan perhatian dalam memilih tempat/lokasi budidaya, pembuatan kolam, media pemeliharaan, memilih benih, perkembangbiakan belut, penetasan, makanan dan kebiasaan makan serta hama.
Disisi lain kita juga memerlukan tata cara panen, pasca panen, pemasaran dan pencatatan analisa usaha dalam melakukan Budidaya belut. Pemilihan Bibit Bibit belut yang paling bagus untuk di budidayakan adalah bibit yang di hasilkan dari hasil budidaya (pembenihan sendiri), walau bibit hasil tangkapan masih tetap bisa hidup dan bisa di besarkan di air besih. Tetapi jika dalam cara penangkapannya tidak benar, belut bisa lama jika dibesarkan karena mengalami stres sehingga kita harus mengadaptasinya terlebih dahulu dengan waktu yang cukup lama (tergantung tehnik perawatannya), kalau tehnik perawatannya salah, belut hasil tangkapan tersebut bisa mengalami kematian. sumber http://belut.yolasite.com/budidaya-belut/teknik-pemeliharaan-budidaya-belut Seperti contoh bibit belut yang di hasilkan dengan menggunakan setrum : cara penangkapannya dengan Voltase terlalu tinggi, untuk pengadaptasianya bisa mencapai 1 bulan bahkan bisa lebih dan jika dalam Proses pengaptasian salah, bisa mengakibatkan kematian pada waktu pemeliharaan. Jika dalam waktu menangkapnya (belut) dengan menggunakan alat setrum, apabila stik strum mengenai badan belut, belut tidak akan bisa tahan hidup lebih lama. Belut hasil setruman akan tetap bisa hidup dan bisa dibesar di air bersih jika cara penangkapannya dengan tehnik yang benar misal: Voltase strum tidak terlalu besar, stik strum tidak mengenai badan belut, waktu penyetruman, tidak terlalu lama (belut tidak sampai kaku) dan Belut yang kita ambil dari tanah/lumpur yang subur itu juga sangat berpengaruh. Ciri-ciri bibit belut hasil Setruman antara lain: Pada bagian dubur berwarna kemerahan, pada bagian insang juga berwarna kemerahan. jika stik setrum mengenai badan belut, pada badan belut tersebut dalam waktu 2 hari atau lebih akan timbul luka seperti koreng dan lama-lama belut akan mati. Ciri-ciri Bibit Belut Tidak semua bibit belut bila kita pelihara akan bisa besar, adapun ciri-ciri balut yang bisa besar dan tidak bisa besar bila kita budidayakan antara lain: Bibit belut yang warna hitam dari kepala sampai ekor , bibit ini tidak bisa besar.
Bibit belut yang berwarna kemerah-merahan terang disekujur tubuhnya,bibit ini tidak bisa besar. Bibit belut yang berwarna hitam dan panjang, lambat pertumbuhannya atau kemungkinan tidak bisa besar walau lama dipelihara. Bibit belut warna hitam kepala lebih besar (tidak proporsional) tidak baik untuk dibudidayakan karena tidak bisa besar. Bibit ini kalau dipegang terasa agak keras. Bibit belut yang berwarna abu-abu paling besar seukuran jempol tangan namun perkembangannya sangat lambat. Bibit yang berwarna dominan coklat dan kehijau-hijauan seluruh tubuhnya,bibit ini bisa besar bila di budidaya dan Bibit ini kebanyakan di dapat dari sawah Bibit belut yang dominan warna "coklat bening" dan totol-totol hitam sangat bagus untuk dibudidayakan karena cepat besar dalam waktu singkat. Bibit yang paling bagus, warna rata-rata punggung kuning kecoklatan dan ada batikannya di bagian ekor, Di bagian Kepala ada "coretan-coretan" warna kuning, dada berwarna kuning / oranye. bibit ini bisa mencapai ukuran sebesar pergelangan tangan orang dewasa. Namun bibit belut yang sudah kita yakini termasuk jenis belut yang bisa besar dan sudah memiliki ciri-cirinya, khusus untuk bibit belut yang di hasilkan dari tangkapan alam, bahwa sanya belut tersebut ada yang tetap tidak mau besar bila kita budidayakan baik di media lumpur ataupun di media air bersih. Akan tetapi mereka(belut) diperoleh ada dari sawah yang subur dan tidak subur atau kurang subur , bisa jadi yang berwarna kuning pun,ada yang Kuntet, karena bibit belut tersebut hidup di areal persawahan yang tidak banyak cacing Lor sawahnya.Sehingga pertumbuhannya terganggu. Dan ini ditunjukkan dengan banyak ditemukannya bibit seukuran Finggerling atau jari kelingking sudah matang gonad (perutnya sudah banyak mengandung butiran telur yang berwarna kuning), Kalau mereka sudah mengeluarkan telurnya, lalu kita tangkap untuk dipelihara, bisa jadi Tidak Bisa Membesar walupun sudah dipelihara selama lebih dari 4 bulan, akan tetapi masih bisa bertelur, karena fa’al tubuhnya sudah mendukung (dewasa) matang gonad walaupun badannya kecil.Karena lingkungannya kurang Gizi(kurang asupan makanan cacing lor dll). Proses Karantina Karantina sepertinya merupakan sebuah kosa kata yang cukup popular di kalangan para pemelihara atau pembudidaya belut maupun jenis ikan lainnya, sebelum berbicara lebih jauh tentang ini, mungkin lebih baik kita memahami apa maksud dan tujuan dari karantina itu sendiri. Karantina boleh disebut juga sebagai suatu kegiantan untuk mengisolasi atau memisahkan sesuatu dari lingkungan tertentu dengan maksud dan tujuan tertentu. Dalam hal pemeliharaan atau pembudidaya, kita melakukan karantina dengan tujuan untuk menjaga agar belut yang akan kita budidayakan sudah benar-benar sehat atau tidak terjangkit penyakit tertentu yang dibawa oleh bibit belut yang akan kita tebar. Latar Belakang Yang banyak terjadi di kalangan pembudidaya belut terutama pembudidaya pemula adalah kurang paham benar apa yang menjadi maksud dan tujuan karantina untuk memaksimalkan hasil karantina tersebut. Sebelum berbicara lebih jauh akan maksud dan tujuan karantina alangkah baiknya kita untuk terlebih dahulu memahami latar belakang dari kegiatan ini. Setiap mahluk hidup, hidup di komunitas / lingkungan mereka masing – masing, dan setiap komunitas hidup antara yang satu dengan yang lain tidaklah sama. Antara lingkungan yang satu dengan yang lain mempunyai banyak perbedaan, walaupun juga memiliki kesamaan. Sedangkan mahluk hidup sendiri mempunyai kemampuan untuk beradaptasi dengan lingkunngan hidupnya. Untuk lebih memahami kita ambil contoh manusia. Seorang petani yang menanam padi disawah tidak merasa gatal walaupun seharian berendam di lumpur yang basah dan kotor, akan tetapi seorang pekerja kantoran yang mencoba membantu petani menanam padi di sawah, merasa gatal – gatal pada kulitnya bahkan sampai menderita iritasi. Begitu juga anggota keluarga petani keesokan harinya perut mereka merasa kurang nyaman karena pada malam sebelumnya makan makanan yang dibawa oleh “ si pekerja kantoran “. “ Si Petani “ sendiri karena tidak punya makanan tetap makan makanan.
Begitu juga petani yang bermalam di rumah pekerja kantoran, keesokan harinya sakit demam karena semalaman tidur di kamar yang menggunakan AC ( Air Conditioning ). Begitu juga anggota keluarga “ si pekerja kantoran “ tertular penyakit kulit karena menggunakan handuk mandi yang pernah digunakan petani tersebut. Kalau kita menyimak ilustasi diatas mungkin kita dapat mengambil kesimpulan sebagai berikut : • Setiap mahluk hidup dapat menyesuaikan atau beradaptasi terhadap lingkungannya. • Dalam proses adaptasi terhadap lingkungan setiap mahluk hidup bisa mengalami “ganguan” • Setiap mahluk hidup dapat menjadi sarana ( carrier ) “penyakit” terhadap lingkungan barunya. • Mahluk hidup yang sehat belum tentu tidak mengandung “ bibit penyakit “. • Apabila mahluk hidup dapat menyesuaikan dengan lingkungannya berarti mahluk tersebut sudah memiliki kekebalan ( imum ) terhadap “ penyakit di lingkungannya “. Jadi meskipun bibit Belut yang baru didatangkan sudah kelihatan sehat belum tentu bebas dari bibit penyakit. Demikian juga belut yang sudah ada di kolam kita belum tentu bebas dari bibit penyakit walaupun belut tersebut sehat. Mungkin dari gambaran diatas kita sedikit bisa memahami langkah – langkah untuk melakukan kegiatan karantina. Tujuan Yang seharusnya menjadi tujuan dari karantina adalah untuk menjaga agar belut yang telah kita miliki tidak tertular bibit penyakit yang mungkin dibawa oleh belut yang baru. Selain itu maksud dan tujuan karantina adalah untuk menyesuaikan lingkungan hidup belut yang baru dengan lingkungan asal sehingga bila belut yang baru kurang dapat beradaptasi dan mengalami gangguan tidak menjangkiti belut yang lainnya atau yang sudah kita miliki. Kegiatan Karantina. Apakah setiap bibit belut baru wajib karantina ??? Karantina/Pengadaptasian - tidak semua belut mudah meyesuaikan dengan lingkungan baru (media air bersih) terutama belut yang dihasilkan dari hasil tangkapan alam. - Biasanya belut tertentu akan mengalami “gangguan” sebelum dapat beradaptasi dengan lingkungan barunya. - Belut mudah stress bila berubah lingkungan hidupnya sehingga mudah terserang penyakit karena sistim imum tubuhnya menurun. Janglah karantina yang ideal sebenarnya membutuhkan proses yang cukup detail yang seolah – olah sangat rumit padahal tidaklah demikian, asal kita dapat memahami “ tehniknya”. Langkah karantina yang ideal, dimulai pada saat kedatangan belut Langkah pertama yang harus kita lakukan adalah meyiapkan tempat karantina yang memadai baik luas maupun volume tempat karantina tersebut, yang sebelumnya sudah kita isi dengan air kolam yang rencananya akan kita gunakan untuk pemeliharaan belut tersebut. Apakah harus ? tidak , dengan mengisi tempat karantina dengan sumber air yang sama dengan kolam yang rencananya akan kita gunakan untuk memelihara belut tersebut sudah cukup memadai bila sumber air yang digunakan bukan air PDAM/PAM, bila memakai air PDAM/PAM hendaknya ditreatment terlebih dahulu. Salah satu Tehnik Proses karantina sekaligus adaptasi yang sudah saya terapkan, bibit belut yang dihasilkan dari tangkapan alam (setrum atau sedek) Untuk kolam/tempat karantina , sebaiknya "jangan" ada yang berbentuk sudut/menyiku, kolam yang kita siapkan harus berbentuk bundar ataupun lonjong, kolam karantina bibit belut air bersih "tidak" usah terlalu besar dan untuk bibit yang kita masukan kedalam kolam karantina Volumenya harus diperpadat, kepadatan dalam proses karantina adalah sangat berpengaruh penting. Ketinggian air pada kolam karantina 10 sampai dengan 15 dari permukaan belut yang kita masukan. Bila tempat karantina sudah siap, belut yang masih berada di wadah pengangkutan airnya harus di ganti terlebih dahulu untuk menghilangkan lendir yang berada di dalam wadah pengangkutan, lalu masukkan belut tanpa lendir/busa.Untuk pemindahan bibit belut dari wadah pengangkutan, sebaiknya dilakukan dengan sehati-hati mungkin, gunakanlah alat seperti jaring (serok) usahakan bibit jangan sering dipegang dengan tangan secara langsung biar belut tidak stress. Setelah belut tenang, Langkah berikut adalah pada tempat karantina diberi kocokan telur ditambah dengan madu supaya bibit cukup Vitamin dan energi, kemudian tambahkan perasan daun pepaya dengan harapan untuk mengembalikan lendir yang sudah banyak dikeluarkan belut selama dalam pengangkutan. Setelah satu jam kemudian kuraslah air dan di ganti dengan air yang baru. 1 sampai 2 hari, bibit belut jangan di beri pakan terlebih dahulu, setelah 2 hari kemudian, pemberian pakan baru dilakukan sampai bibit belut benar-benar sudah sehat. Ciri-ciri bibit belut yang sudah siap ditebar di kolam pembesaran (media air bersih), belut sudah tidak ada yang mendongakan kepalanya keatas (permukaan air). Apabila masih ada bibit belut yang mendongakan kepalanya keats dan sudah membalikan badannya segeralah diambil, pisahkan dengan bibit yang sudah sehat. CATATAN : pada waktu proses karantina dilakukan, air harus dalam keadaan jernih (bening), tidak boleh keruh. biofish fishtamin (vitamin complex) Namun Bila bibit belut yang kita dapatkan dari hasil budidaya, untuk proses karantina/adaptasinya tidak membutuhkan waktu yang lama, cukup 1 hari atau 2 hari, bibit sudah siap kita tebarkan di kolam pembesaran media air bersih (air bening) tanpa lumpur. Tata Cara Perawatan Setelah proses karantina/adaptasi dilakukan dengan benar, masukan bibit kekolam pembesaran dan kemudian lakukan perawatan. Pakan dan Pengaturan Air Meskipun sudah banyak ilmuwan-ilmuwan dan peneliti berpendapat "Waktu pemberian pakan pada belut adalah sore menjelang malam, karena belut aktif pada malam hari" namun dalam budidaya belut di air bersih yang sudah kami terapkan pemberian pakan bisa dilakukan dalam sehari semalam 3 kali (pagi,siang dan sore hari) dengan dosis 5% dari jumlah benih yang ditebar. Pemberian pakan bisa dilakukan 3 kali dalam sehari semalam kalau kita sudah memenuhi unsurKENYAMANAN bagi belut itu sendiri. Sedangkan faktor kenyamanan terdiri faktor internal dan eksternal 1. Faktor internal. Media harus tersedia yaitu. Substrat ( paralon, atau genteng, roster, eceng gondok maupun kiambang, dsb) Faktor Oksigen. (sangat berpengaruh besar terhadap reaksi dan nafsu makan, sekaligus kelangsungan hidup) Khusus Untuk budidaya air bersih, faktor oksigen sangat berpengaruh besar terhadap pertumbuhan dan kelangsungan hidup dan daya nafsu makan belut). Air menjadi syarat utama kolam pemeliharaan belut, karena itu lubang sirkulasi air dan lubang pembuangan kelebihan air menjadi syarat utama. Air harus terus mengalir walau dalam jumlah debit yang sangat kecil dari sumber air agar oksigen terlarut tetap terjaga persediaannya 2. Faktor Eksternal. Faktor eksternal adalah suasana Gelap dan tenang. ( Gelap berarti tempat harus ditutup dengan terpal hitam atau coklat, tidak boleh warna terang atau tembus cahaya, Tenang berarti tidak boleh ada aktifitas lain di lingkungan budidaya) Pakan, pemberian pakan bisa di lakukan dalam sehari semalam 3 kali bisa berjalan apabila Faktor eksternal dan internal terpenuhi. Untuk menambah nafsu makan belut dapat diberikan jamu empon-empon, bahan-bahan bakunya seperti "temulawak (curcuma xanthorhiza), kunyit, kencur dan temu ireng. untuk perbandingan 1,5 : 0,5 : 0,5 : 0,5 dengan cara: kesemua bahan tersebut di rebus dan kemudian di saring, setelah dingin air dari bahan-bahan tersebut di masukan ke kolam secara merata. Pemberian jamu nafsu makan sebaiknya di berikan pada sore hari kemudian pada pagi hari, air dikuras dan di ganti dengan air yang baru. Dalam waktu pemberian jamu nafsu makan tersebut, belut jangan diberi pakan terlebih dahulu sebelum pengurasan dilakukan. Air Pemeliharaan Lendir yang dikeluarkan belut memang menjadi salah satu mekanisme untuk menjaga agar tubuhnya tetap licin sehingga dapat membantu gerak belut dan menjadi sarana melepaskan diri dari musuh-musuhnya. Namun, dalam pemeliharaannya, lendir belut yang terus menerus dikeluarkan dalam jumlah yang banyak akan membahayakan belut itu sendiri, dari hasil penelitian mengemukakan, jika dalam air yang di gunakan untuk budidaya belut sudah terlalu banyak lendir yang dikeluarkan oleh belut itu sendiri maka air harus segera diganti maka air tersebut akan meracuni belut itu sendiri dan juga bisa mengakibatkan kematian pada belut. lendir yang sudah banyak di keluarkan juga akan sangat mempengaruhi kualitas air, terutama akan meningkatkan derajat keasaman/pH air. untuk itu, kualitas air menjadi sangat penting untuk diperhatikan. Walau tidak ada persyaratan khusus, tetapi idealnya air yang digunakan sebagai media pembesaran belut harus jernih, memiliki suhu antara 25-28 derajat C, Tidak mengandung bahan kimia yang berbahaya, serta kendungan pH-nya tidak lebih dari 7. Budidaya Belut Di Air Bersih Tekhnik Terbaru, Budidaya Belut Di Air Bersih. Belut bisa hidup dan bisa dibesarkan di air Bersih (air bening) tanpa lumpur ini adalah hal yang sangat luar biasa, ini bener-bener ilmu yang sangat bermanfaat bagi kita khususnya para pembudidaya belut, sehingga kita bisa lebih effisien dalam melakukan usaha ini. Dengan adanya tehnik terbaru ini sehingga para pembudidaya belut sudah tidak pusing-pusing mencari "debog pisang, jerami, lumpur dan lain-lain, kita sudah tidak repot lagi untuk melakukan bokasi dan menfermentasikan-nya. Ini bukan penampungan dan bukan hasil rekayasa tetapi bener-bener hasil budidaya. Tempat hidup alami belut (Monopterus albus) yang tinggal di dalam lumpur. Banyak orang, baik penelitian atau usaha, yang sudah mencoba membikin lumpur untuk usaha budidaya. Mungkin beberapa yang berhasil meskipun kebanyakan yang lainnya masih bergelut dengan ‘teknologi doa’ untuk panen. karena hidup di dalam lumpur, tidak banyak yang bisa dilakukan untuk memastikan jumlah serta perkembangan belut selama masa pemeliharaan. sehingga, sangat layak bila kemudian mencoba berinovasi: "Budidaya Belut Di Air Bersih (air bening) tanpa lumpur" Dalam hipotesis: mungkin belut bisa hidup dan dibesarkan pada air bersih tapi tetap harus menggunakan lumpur untuk reproduksi alami. Secara teknis: sejauh kebiasaan makan bisa diadaptasikan dan kebutuhan pakan bisa disuplay secara terkontrol, seharusnya pembesaran belut di air bersih dapat dilakukan. hanya saja, kontrol terhadap kemungkinan serangan penyakit akibat proses adaptasi harus benar-benar diamati dan dijaga. Keuntungan: dengan pembesaran belut pada air bersih, jumlah (yang berkaitan dengan kelangsungan hidup) dan pertumbuhan (yang berhubungan dengan penambahan bobot) dapat selalu terkontrol sehingga target produksi bisa lebih ter-realistis dan untuk jumlah penebaran bibit belut di air bersih bisa lebih besar (bisa 10 bahkan sampai 30 kali lipat dibanding dengan penebaran benih di media lumpur). Walau masih banyak orang yang tidak/belum percaya dengan adanya Ilmu terbaru ini (belut bisa hidup dan bisa dibesarkan di 100% air bersih (air bening) tanpa lumpur, mungkin karena mereka belum pernah melihat dan belum pernah mencobanya karena belum tahu tehnik-tehnik dalam melakukan Budidaya Belut Di Air Bersih. Sekilas Tentang Belut Belut adalah sekelompok ikan berbentuk mirip ular memiliki bentuk tubuh memanjang, tidak bersirip dan tidak bersisik, serta memiliki lapisan lendir di sekujur tubuhnya yang termasuk dalam suku Synbranchidae. Suku ini terdiri dari empat genera dengan total 20 jenis. Jenis-jenisnya banyak yang belum diberikan dengan lengkap sehingga angka-angka itu dapat berubah. Anggotanya bersifat pantropis (ditemukan di semua daerah tropika). Belut berbeda dengan sidat, yang sering dipertukarkan. Ikan ini boleh dikatakan tidak memiliki sirip, kecuali sirip ekor yang juga tereduksi, sementara sidat masih memiliki sirip yang jelas. Ciri khas belut yang lain adalah tubuh licin berlendir, tidak bersisik, dapat bernafas dari udara, bukaan insang sempit, tidak memiliki kantung renang dan tulang rusuk. Belut praktis merupakan hewan air darat, sementara kebanyakan sidat hidup di laut meski ada pula yang di air tawar. Mata belut kebanyakan tidak berfungsi baik, bermata kecil. Ukuran tubuh belut bervariasi. Monopterus indicus hanya berukuran 8,5 cm, sementara belut marmer Synbranchus marmoratus diketahui dapat mencapai 1,5m. Belut sawah Monopterus albus sendiri, yang biasa dijumpai di sawah dan dijual untuk dimakan, dapat mencapai panjang sekitar 1m (dalam bahasa Betawi disebut moa). Kebanyakan belut tidak suka berenang dan lebih suka bersembunyi di dalam lumpur (tempat persembunyian). Semua belut adalah pemangsa. Daftar mangsanya biasanya hewan-hewan kecil di rawa atau sungai, seperti ikan, katak, serangga, serta krustasea kecil dan juga ada yang bersifat kanibalisme. Spesies belut mempunyai nilai pemakan yang tinggi. Khasiatnya dikatakan setanding dengan ikan tengiri dan selar, mengandungi 18.6 % protein dan 15 % lemak. Belut juga kaya dengan lemak, kalsium, vitamin B, Vitamin D dan zat besi. Tidak heranlah banyak yang percaya belut boleh membantu mengubati penyakit seperti sakit pinggang, lelah, darah tinggi, lemah tenaga batin dan penyembuhan luka pembedahan. Spesies ikan ini jika dikonsumsi secara rutin miniman 100 gram/hari dikatakan boleh menguatkan daya tahan tubuh, menormalkan tekanan darah, menghaluskan kulit, mencegah penyakit mata, menguatkan daya ingatan dan membantu mencegah hepatitis. Keunggulan dan Kelebihan Bidudaya Belut Di Air Bersih Belut Mudah Dikontrol Budidaya belut di Media Air Bersih tanpa lumpur terbilang lebih effektif dibandingkan dengan budidaya belut di media lumpur. Khususnya kemudahan dalam melakukan pengontrolan terhadap belut yang dibesarkan, selain itu jika ada belut yang terlihat sakit atau mati, akan mudah terlihat sehingga bisa segera diambil dari kolam budidaya. Penebaran Benih Belut Lebih Banyak Budidaya Belut dengan media air bersih memungkinkan pembudidaya untuk meningkatkan jumlah belut yang di besarkan dikolam hingga bisa mencapai 30 kali lipat per m2 di banding budidaya belut di media lumpur. Hal ini dapat di lakukan karena di media air bersih, fungsi lumpur sebagai alat perlindungan/persembunyian bagi belut, sedangkan budidaya belut di air bersih peranan tubuh belut itu sendiri bisa di jadikan tempat perlindungan/persembunyian bagi belut itu sendiri (pengganti lumpur). Dalam Budidaya belut di air bersih berdasarkan uji coba, untuk ukuran 1m2 bisa ditebar benih belut 30kg, sedangkan di media lumpur penebaran benih untuk ukuran 1 m2 hanya bisa kita tebar 1kg maksimal 1,5kg, jika penebaran melebihi angka tersebut pertumbuhan belut akan terganggu, bahkan bisa terjadi saling nyerang menyerang antar belut untuk berebut wilayah hidupnya. Sehingga tingkat kematian belut di media lumpur akan semakin tinggi. Meminimalkan Angka Kanibalisme Seperti binatang-binatang lainnya, belut yang dibesarkan di dalam air yang berlumpur terutama belut jantan atau belut yang sudah mencapai umur 6-8 bulan, akan memperlakukan habitat tempatnya bernaung sebagai daerah kekuasaannya. bila merasa terusik oleh belut yang lain dan daerah kekuasaannya terancam, belut tersebut akan saling serang menyerang. Hal itulah yang menyebabkan tingginya angka kematian pada belut-belut yang kita pelihara di media air berlumpur. namun, dalam hal ini tidak akan terjadi pada belut yang dipelihara di media air bersih tanpa lumpur, karena antara belut satu dengan yang lainya justru saling membutuhkan, dalam metode budidaya belut di air bersih, badan belut adalah sebagai tempat untuk saling melindungi dan sebagai tempat persembunyian. Lebih Effisien Dan Effektif Belut yang sudah kita kenal dengan gaya hidupnya yang selalu bersembunyi didalam lumpur yang berair. Namun hal yang sebenarnya dimana ada lobang belut yang masih ada belutnya disitu pasti akan terdapat air yang jernih. Dengan adanya hal tersebut berarti syarat hidup belut adalah di air jernih (air bersih), dan tanpa lumpurpun masih bisa hidup dan bisa dibesarkan. Budidaya belut di air bersih (air jernih) tanpa lumpur memungkinkan para pembudidaya tidak akan kerepotan karena harus mencari jerami, debog pisang ataupun lumpur sebagai medianya namun dengan budidaya belut di air bersih cukup dengan air yang jernih saja dan dalam budidaya belut di air bersih juga akan menghemat lahan karena dalam pembikinan kolam dengan media air bersih, bisa disusun menjadi 3 tingkat atau lebih. dalam pemberian pakan di media air bersih juga tidak cuma-cuma(mubadzir) karena setiap kita tebar pakannya, belut akan melihat sehingga belut akan langsung memangsanya. Faktor-fator Utama Dalam Budidaya Belut Di Air Bersih Beberapa Fator-faktor Utama Yang Harus Kita perhatikan Dalam Budidaya Belut Di Air Bersih antara lain : Air Dalam Budidaya belut di air bersih, air adalah faktor utama yang sangat berpengaruh pada perkembangan belut. Jika air yang kita gunakan dalam budidaya belut tidak rutin di kontrol maka akan sangat mempengaruhi pada perkembangan belut kita. Air yang bagaimana yang layak digunakan Budidaya belut air bersih? air yang layak digunakan dalam budidaya belut di air bersih adalah air yang jernih, memiliki suhu antara 25-28 derajat C, air yang tidak mengandung zat-zat kimia berbahaya. Air yang kurang layak/tidak bagus untuk budidaya belut di air bersih air PDAM karena banyak mengandung zat-zat kimia (kaporit), air yang langsung diambil dari sumur bur karena sangat minim kandungan oksigennya dan air limbah Usahakan dalam melakukan budidaya belut di air bersih, kolam harus ada sirkulasi air walau dengan debit yang sangat kecil (ada yang masuk dan ada yang keluar). Dengan adanya aliran air kedalam kolam budidaya maka akan menambah kandungan oksigen didalamnya sehingga sangat berpengaruh dalam untuk perkembangan serta pertumbuhan belut dan kita juga tidak terlalu repot untuk penggatian air. Jika kolam budidaya belut tidak ada sirkulasi air dan pembuangan, air akan cepat kotor/keruh, maka kita harus sering mengganti air paling tidak selama 2 atau 3 hari sekali, tentunya kita akan sangat kerepotan bukan? Jika air sudah kotor/keruh (warna kuning kecoklatan) air harus segera kita ganti. tapi beda dengan kotoran yang mengendap didasar kolam, walau didasar kolam sudah terdapat endapan tapi airnya masih jernih, air masih layak kita gunakan, asal endapannya tidak terlalu tebal. Pakan Pakan, pakan juga termasuk salah satu faktor yang sangat penting untuk perkembangan serta pertumbuhan belut. Berilah pakan secukup mungkin, usahakan jangan sampai kekurangan atau jangan berlebihan dan berilah pakan yang paling disukai belut, jika dalam pemberian pakan pada belut terlalu banyak bisa mengakibatkan air cepat kotor(karena sisa makanan) dan bisa mengakibatkan effek negatif pada belut, sehingga belut mudah sakit dan lama kelamaan bisa mengakibatkan kematian. Jika pemberian pakan pada belut kurang, maka bisa menimbulkan sifat kanibalisme pada belut kita dan kita juga akan rugi karena pertumbuhannya akan lama. Selama belut masih mau makan dengan pakan tersebut jangan beralih ke pakan yang lain secara total, kecuali belut mau makan dengan pakan yang kita berikan, jika belut tidak mau makan dengan pakan yang kita berikan, kembalilah kepakan yang sebelumnya. Jenis-jenis pakan belut antara lain: cacing lor, cacing merah, cacing lumbricus, ikan cere, ikan cithol, ikan guppy, anakan ikan mas, berudu (kecebong), lambung katak, keong mas/sawah, ulat hongkong dan masih banyak yang lainnya. Bibit Pemilihan bibit belut berkualitas adalah salah satu faktor penting dalam menentukan keberhasilan budi daya belut. Umumnya bibit belut yang ada saat ini sebagian besar masih merupakan hasil tangkapan alam. Karena itu, teknik penangkapan bibit dari alam menentukan kualitas bibit. Bibit yang ditangkap dengan cara alami menggunakan perangkap, seperti bubu, merupakan bibit yang cukup baik karena tidak mengalami perlakuan yang menurunkan kualitasnya. Sebaliknya, bibit yang diperoleh dengan cara tidak baik seperti disetrum bukan termasuk bibit berkualitas. Pasalnya, bibit seperti ini pertumbuhannya tidak akan maksimal (kuntet). Lebih baik lagi jika bibit yang digunakan berasal dari hasil budidaya. Ukurannya akan lebih seragam dan jarang terserang penyakit seperti yang mungkin terjadi pada belut hasil tangkapan alam. Sayangnya, bibit belut hasil budidaya untuk saat ini masih sangat sedikit. Berikut ini beberapa hal yang harus diperhatikan terkait bibit belut yang berkualitas. 1. Bibit yang digunakan sehat dan tidak terdapat bekas luka Luka pada bibit belut dapat terjadi akibat disetrum, pukulan benda keras, atau perlakuan saat pengangkutan. Umumnya, bibit yang diperoleh dengan cara disetrum cirinya tidak dapat langsung terlihat, tetapi baru diketahui 10 hari kemudian. Salah satu ciri-cirinya terdapat bintik putih seperti garis di permukaan tubuh yang lama-kelamaan akan memerah dan pada bagian dubur berwarna kemerahan. Bibit yang disetrum akan mengalami kerusakan syaraf sehingga pertumbuhannya tidak maksimal. 2. Bibit terlihat lincah dan agresif Bibit yang yang selalu mendongakan kepalanya keatas dan tubuhnya sudah membalik sebaiknya diambil saja karena belut yang sudah seperti ini sudah tidak sehat dan lama kelamaan bisa mati. belut yang sehat mempunyai ciri-ciri: tenang tapi lincah, belut akan mengambil oksigen keatas dengan cepat kamudian kembali kebawah lagi. 3. Penampilan sehat yang dicirikan, tubuh yang keras dan tidak lemas pada waktu dipegang pada waktu kita memegang belut tentunya kita akan bisa merasakan keadaannya, bila belut tersebut bila kita pegang tetap diam/lemas atau tidak meronta/tidak ada perlawanan ingin lepas, sebaiknya belut dipisahkan, karena belut belut yang seperti ini kurang sehat. Dan sekaliknya jika kita pegang badannya terasa keras dan selalu meronta ingin lepas dari genggaman tangan kita, belut yang mempunyai ciri seperti ini layak kita budidayakan. 4. Ukuran bibit seragam dan dikarantina terlebih dahulu Bibit yang dimasukkan ke dalam wadah pembesaran ukurannya harus seragam. Hal ini dilakukan untuk menghindari sifat kanibalisme pada belut. Bibit yang berasal dari tangkapan alam harus disortir dan dikarantina. Tujuannya untuk menghindari serangan bibit penyakit yang mungkin terbawa dari tempat hidup atau kolam pemeliharaan belut sebelumnya dan untuk pemilihan belut yang sehat dan tidak sehat. Caranya adalah dengan memasukkan bibit belut ke dalam kolam atau bak yang diberi air bersih biarkan belut tenang dulu (kurang lebih 1 jam) kemudian berilah kocokan telur dicampur dengan madu 1 jam kemudian penggantian air dilakukan dan biarkan belut sampai bener-bener tenang diamkan kurang lebih 1 hari 1 malam kemudaian masuk bibit kekolam pembesaraan. Kepadatan (Volume) Kepadatan penebaran bibit dalam pembesaran jenis-jenis ikan sangatlah mempengaruhi pada perkembangan pertumbuhan dan tingkat kematian, misal, dalam pembesaran jenis-jenis ikan seperti lele,gurame, nila dll, kalau penebarannya terlalu padat, waktu pembesaran bisa terhambat walau pemberian pakan sudah sesuai dengan ukurannya dan juga bisa mengakibatkan tingkat kematian yang tinggi. Namun metode pembesaran Belut di media air bersih ini sangatlah berbeda dengan penebaran bibit jenis-jenis ikan yang lainnya, Kepadatan penebaran bibit belut sangat berperan penting pada pertumbuhan dan tingkat kematian. Kepadatan penebaran bibit belut untuk pertumbuhan, tergantung dalam proses pemberian pakan dan untuk tingkat kematian justru bisa meminimalkannya. Mempersiapkan Pembesaran Langkah Awal Langkah awal untuk melakukan usaha budidaya belut di air bersih adalah memelihara pakan, dalam melakukan usaha budidaya belut,jika kita tidak ingin mengalami kendala terutama masalah pakan dan kita juga akan bisa mengurangi biaya operasional usaha ini, lakukanlah langkah awal ini yaitu 3 atau 4 bulan memelihara pakannya terlebih dahulu sebelum kita menebar bibit belut. Karena selama ini kendala dari para pembudidaya belut baik yang menggunakan media lumpur maupun media air bersih adalah pada pemberian pakan yang tidak menentu karena mereka sebelumnya tidak mempersiapkan pakannya terlebih dahuludan hingga kini pakan yang paling disukai belut adalah pakan dari alam, walaupun sudah ada pembudidaya belut dalam pemberian pakannya menggunakan jenis pelet, namun setelah dihitung-hitung hasil analisa usahanya masih sangat minim,padahal dalam setiap usaha tentunya untuk mendapatkan keuntungan yang lebih, bukan malah membuang-buang duit atau tenaga kita kan??? Banyak pembudidaya belut yang masih meremehkan hal ini dan akhirnya mereka yang akan kerepotan sendiri karena setiap hari harus mencari pakan buat belut kalau tidak, mereka harus membeli pakannya, sehingga untuk biaya operasionalnya akan semakin membengkak untuk pembelian pakan. Dengan kita memelihara pakan terlebih dahulu insyaALLOH akan mudah menghitung jumlah panen dan analisa usahanya. Persyaratan Lokasi Secara klimatologis belut tidak membutuhkan kondisi iklim dan geografis yang spesifik. Ketinggian tempat budidaya ikan belut dapat berada di dataran rendah sampai dataran tinggi. Begitu pula dengan kelembaban dan curah hujan tidak ada batasan yang spesifik. Kualitas air untuk pemeliharaan belut harus bersih, tidak terlalu keruh dan tidak tercemar bahan-bahan kimia beracun, dan minyak/limbah pabrik. Kondisi kolam tidak beracun. Suhu udara/temperatur optimal untuk pertumbuhan belut yaitu berkisar antara 25-28 derajat C. Pada prinsipnya kondisi perairan adalah air yang harus bersih dan kaya akan osigen terutama untuk bibit/benih yang masih kecil. Belut adalah binatang air yang selalu mengeluarkan lendir dari tubuhnya sebagai mekanisme perlindungan tubuhnya yang sensitif. Lendir yang keluar dari tubuh belut cukup banyak sehingga lama kelamaan bisa mempengaruhi derajad keasaman (pH) air tempat hidupnya. pH air yang dapat diterima oleh belut rata-rata maksimal 7. Jika pH dalam air tempat pembesaran telah melebihi ambang batas toleransi, air harus dinetralkan, dengan cara menggati ataupun mensirkulasikan airnya. Dengan demikian, kolam/tempat pembesaran harus dilengkapi dengan peralatan yang memungkinkan untuk penggantian atau sirkulasi air. Ada beberapa macam tempat yang dapat digunakan untuk untuk budidaya belut di air bersih (air bening) tanpa lumpur di antaranya: kolam permanen (bak semen), bak plastik, tong (drum). Dalam Budidaya Belut dengan menggunakan media lumpur dalam wadah/tempat dan ruangan 5X5 meter, hanya bisa dibuat untuk 1 kolam saja berbeda dengan Budidaya belut diair bersih dengan wadah dan Ruangan 5X5 meter, bisa dikembangkanya 3 Kali lipat dari wadah budidaya itu sendiri, karena dalam budidaya air bersih kita hanya memerlukan ketinggian air 30 Cm, maka tempat budiaya kita bisa tingkat menjadi 3 susun atau 3 apartemen. BUDIDAYA IKAN BELUT Seputar BUDIDAYA IKAN BELUT ( Synbranchus )
1.SEJARAH SINGKAT Belut merupakan jenis ikan konsumsi air tawar dengan bentuk tubuh bulat memanjang yang hanya memiliki sirip punggung dan tubuhnya licin. Belut suka memakan anak-anak ikan yang masih kecil. Biasanya hidup di sawah-sawah, di rawa-rawa/lumpur dan di kali-kali kecil. Di Indonesia sejak tahun 1979, belut mulai dikenal dan digemari, hingga saat ini belut banyak dibudidayakan dan menjadi salah satu komoditas ekspor. 2.SENTRA PERIKANAN Sentra perikanan belut Internasional terpusat di Taiwan, Jepang, Hongkong, Perancis dan Malaysia. Sedangkan sentra perikanan belut di Indonesia berada di daerah yogyakarta dan di daerah Jawa Barat. Di daerah lainnya baru merupakan tempat penampungan belut-belut tangkapan dari alam atau sebagai pos penampungan. 3.JENIS Klasifikasi belut adalah sebagai beriku Kelas : Pisces Subkelas : Teleostei Ordo : Synbranchoidae Famili : Synbranchidae Genus : Synbranchus Species : Synbranchus bengalensis Mc clell (belut rawa); Monopterus albus Zuieuw (belut sawah); Macrotema caligans Cant (belut kali/laut) Jadi jenis belut ada 3 (tiga) macam yaitu belut rawa, belut sawah dan belut kali/laut. Namun demikian jenis belut yang sering dijumpai adalah jenis belut sawah. 4.MANFAAT Manfaat dari budidaya belut adalah: 1)Sebagai penyediaan sumber protein hewani. 2)Sebagai pemenuhan kebutuhan sehari-hari. 3)Sebagai obat penambah darah. 5.PERSYARATAN LOKASI 1) Secara klimatologis ikan belut tidak membutuhkan kondisi iklim dan geografis yang spesifik. Ketinggian tempat budidaya ikan belut dapat berada di dataran rendah sampai dataran tinggi. Begitu pula dengan kelembaban dan curah hujan tidak ada batasan yang spesifik. 2)Kualitas air untuk pemeliharaan belut harus bersih, tidak terlalu keruh dan tidak tercemar bahan-bahan kimia beracun, dan minyak/limbah pabrik. Kondisi tanah dasar kolam tidak beracun. 3)Suhu udara/temperatur optimal untukpertumbuhan belut yaitu berkisar antara 25-31 derajat C. 4)Pada prinsipnya kondisi perairan adalah air yang harus bersih dan kaya akan osigen terutama untuk bibit/benih yang masih kecil yaitu ukuran 1-2 cm. Sedangkan untuk perkembangan selanjutnya belut dewasa tidak memilih kualitas air dan dapat hidup di air yang keruh. 6.PEDOMAN TEKNIS BUDIDAYA 6.1.Penyiapan Sarana dan Peralatan 1) Perlu diketahui bahwa jenis kolam budidaya ikan belut harus dibedakan antara lain: kolam induk/kolam pemijahan, kolam pendederan (untuk benih belut berukuran 1-2 cm), kolam belut remaja (untuk belut ukuran 3-5 cm) dan kolam pemeliharaan belut konsumsi (terbagi menjadi 2 tahapan yang masing-masing dibutuhkan waktu 2 bulan) yaitu untuk pemeliharaan belut ukuran 5-8 cm sampai menjadi ukuran 15-20 cm dan untuk pemeliharan belut dengan ukuran 15-20 cm sampai menjadi ukuran 30-40 cm. 2)Bangunan jenis-jenis kolam belut secara umum relatif sama hanya dibedakan oleh ukuran, kapasitas dan daya tampung belut itu sendiri. 3)Ukuran kolam induk kapasitasnya 6 ekor/m2. Untuk kolam pendederan (ukuran belut 1-2 cm) daya tampungnya 500 ekor/m2. Untuk kolam belut remaja (ukuran 2-5 cm) daya tampungnya 250 ekor/m2. Dan untuk kolam belut konsumsi tahap pertama (ukuran 5-8 cm) daya tampungnya 100 ekor/m2. Serta kolam belut konsumsi tahap kedua (ukuran 15-20cm) daya tampungnya 50 ekor/m2, hingga panjang belut pemanenan kelak berukuran 3-50 cm. 4)Pembuatan kolam belut dengan bahan bak dinding tembok/disemen dan dasar bak tidak perlu diplester. 5)Peralatan lainnya berupa media dasar kolam, sumber air yang selalu ada, alat penangkapan yang diperlukan, ember plastik dan peralatan-peralatan lainnya. 6)Media dasar kolam terdiri dari bahan-bahan organik seperti pupuk kandang, sekam padi dan jerami padi. Caranya kolam yang masih kosong untuk lapisan pertama diberi sekam padi setebal 10 cm, diatasnya ditimbun dengan pupuk kandang setebal 10 cm, lalu diatasnya lagi ditimbun dengan ikatan-ikatan merang atau jerami kering. Setelah tumpukan-tumpukan bahan organik selesai dibuat (tebal seluruhnya sekitar 30 cm), berulah air dialirkan kedalam kolam secara perlahan-lahan sampai setinggi 50cm (bahan organic + air). Dengan demikian media dasar kolam sudah selesai, tinggal media tersebut dibiarkan beberapa saat agar sampai menjadi lumpur sawah. Setelah itu belut-belut diluncurkan ke dalam kolam. 6.2.penyiapan Bibit 1) Menyiapkan Bibit a.anak belut yang sudah siap dipelihara secara intensif adalah yang berukuran 5-8 cm. Di pelihara selama 4 bulan dalam 2 tahapan dengan masing-masing tahapannya selama 2 bulan. b)Bibit bisa diperoleh dari bak/kolam pembibitan atau bias juga bibit diperoleh dari sarang-sarang bibit yang ada di alam. c.Pemilihan bibit bisa diperoleh dari kolam peternakan atau pemijahan. Biasanya belut yang dipijahkan adalah belut betina berukuran ± 30 cm dan belut jantan berukuran ± 40 cm. d.Pemijahan dilakukan di kolam pemijahan dengan kapasitas satu ekor pejantan dengan dua ekor betina untuk kolam seluas 1 m2. Waktu pemijahan kira-kira berlangsung 10 hari baru telur-telur ikan belut menetas. Dan setelah menetas umur 5-8 hari dengan ukuran anak belut berkisar 1,5¬2,5 cm. Dalam ukuran ini belut segera diambil untuk ditempatkan di kolam pendederan calon benih/calon bibit. Anak belut dengan ukuran sedemikian tersebut diatas segera ditempatkan di kolam pendederan calon bibit selama ± 1 (satu) bulan sampai anak belut tersebut berukuran 5-8 cm. Dengan ukuran ini anak belut sudah bisa diperlihara dalam kolam belut untuk konsumsi selama dua bulan atau empat bulan. 2) Perlakuan dan Perawatan Bibit Dari hasil pemijahan anak belut ditampung di kolam pendederan calon benih selama 1 bulan. Dalam hal ini benih diperlakukan dengan secermat mungkin agar tidak banyak yang hilang. Dengan perairan yang bersih dan lebih baik lagi apabila di air yang mengalir. 6.3. Pemeliharaan Pembesaran 1) Pemupukan Jerami yang sudah lapuk diperlukan untuk membentuk pelumpuran yang subur dan pupuk kandang juga diperlukan sebagai salah satu bahan organic utama. 2)Pemberian Pakan Bila diperlukan bisa diberi makanan tambahan berupa cacing, kecoa, ulat besar(belatung) yang diberikan setiap 10 hari sekali. 3)Pemberian Vaksinasi 4)Pemeliharaan Kolam dan Tambak Yang perlu diperhatikan pada pemeliharaan belut adalah menjaga kolam agar tidak ada gangguan dari luar dan dalam kolam tidak beracun. 7.HAMA DAN PENYAKIT 7.1.Hama 1)Hama pada belut adalah binatang tingkat tinggi yang langsung mengganggu kehidupan belut. 2)Di alam bebas dan di kolam terbuka, hama yang sering menyerang belut antara lain: berang-berang, ular, katak, burung, serangga, nmusang air dan ikan gabus. 3)Di pekarangan, terutama yang ada di perkotaan, hama yang sering menyerang hanya katak dan kucing. Pemeliharaan belut secara intensif tidak banyak diserang hama. 7.2. Penyakit Penyakit yang umum menyerang adalah penyakit yang disebabkan oleh organisme tingkat rendah seperti virus, bakteri, jamur, dan protozoa yang berukuran kecil. 8.PANEN Pemanenan belut berupa 2 jenis yaitu : 1)Berupa benih/bibit yang dijual untuk diternak/dibudidayakan. 2)Berupa hasil akhir pemeliharaan belut yang siap dijual untuk konsumsi (besarnya/panjangnya sesuai dengan permintaan pasar/konsumen). Cara Penangkapan belut sama seperti menangkap ikan lainnya dengan peralatan antara lain: bubu/posong, jaring/jala bermata lembut,dengan pancing atau kail dan pengeringan air kolam sehingga belut tinggal diambil saja. 9.PASCAPANEN Pada pemeliharaan belut secara komersial dan dalam jumlah yang besar,penanganan pasca panen perlu mendapat perhatian yang serius. Hal ini agar belut dapat diterima oleh konsumen dalam kualitas yang baik, sehingga mempunyai jaringan pemasaran yang luas 10. ANALISIS EKONOMI BUDIDAYA 10.1.Analisis Usaha Budidaya Perkiraan analisis budidaya belut selama 3 bulan di daerah Jawa Barat pada tahun 1999 adalah sebagai berikut: 1) Biaya Produksi a.pembuatan kolam tanah 2 x 3 x 1, 4 HOK @ Rp.7.000,- Rp. 28.000,- b.Bibit 3.000 ekor x @ Rp. 750,- Rp. 225.000,- c.Makanan tambahan (daging kelinci 3 ekor) @ Rp.15.000,-Rp. 45.000,- d.Lain-lain Rp. 30.000,- Jumlah Biaya Produksi Rp. 328.000,- 2) Pendapatan: 3000 ekor = 300 kg x @ Rp. 2.500,- = Rp. 750.000,- 3) Keuntungan Rp. 422.000,- 4) Parameter Kelayakan Usaha 2,28 10.2.Gambaran Peluang Agribisnis Budidaya ikan belut, baik dalam bentuk pembenihan maupun pembesaran mempunyai prospek yang cukup baik. Permintaan konsumen akan keberadaan ikan belut semakin meningkat. Dengan teknik pemeliharaan yang baik, maka akan diperoleh hasil budidaya yang memuaskan dan diminati konsumen.
DAFTAR PUSTAKA
1) Satwono, B. 1999. Budidaya Belut dan Tidar. Penerbit Penebar Swadaya (Anggota IKAPI). Jakarta.
2) Ronni Hendrik S. 1999. Budidaya Belut. Penerbit Bhratara, Jakarta Sumber : Proyek Pengembangan Ekonomi Masyarakat Pedesaan, Bappenas

Saturday, March 17, 2018

PENGERTIAN METODE PENYULUHAN PERIKANAN

March 17, 2018 Posted by Media Penyuluhan Perikanan Pati No comments
Kegiatan penyuluhan perikanan dilakukan secara terencana dan terarah dan bersifat berkelanjutan, sehingga diperlukan perencanaan penyuluhan yang baik. Untuk kegiatan penyuluhan perikanan di perlukan metode yang tepat guna dan mudah didapat di lingkunganya.
A. Pengertian Metode Penyuluhan
Metode Penyuluhan Perikanan, dapat diartikan sebagai:
1. Cara yang digunakan untuk mendekatkan penyuluh dengan sasaran penyuluhannya;
2. Suatu teknik atau cara agar komunikasi dalam kegiatan penyuluhan perikanan dapat efektif; dan
3. Cara-cara penyampaian materi penyuluhan perikanan melalui media komunikasi oleh penyuluh kepada pelaku utama dan pelaku usaha perikanan beserta keluarganya.
Metode adalah cara yang sistematis untuk mencapai suatu tujuan yang telah direncakan. Setiap orang “belajar” lebih banyak melalui cara yang berbeda-beda sesuai dengan kemampuan dalam menangkap pesan yang diterimanya, ada yang cukup dengan mendengar saja, atau melihat dan juga ada yang harus mempraktikkan dan kemudian mendistribusikannya.
Namun dilain pihak, penggunaan kombinasi dari berbagai metode penyuluhan akan banyak membantu mempercepat proses perubahan. Penelitian menunjukkan bahwa lebih banyak metode  penyuluhan yang akan digunakan, akan lebih banyak perubahan yang terjadi dalam diri individu. Kombinasi metode penggunaan metode komunikasi (baca:penyuluhan) juga dilakukan pada “kelompencapir”. Dalam operrasional di lapangan, kelompencapir menggunakan bernagai cara/metode komunikasi yaitu metode komunikasi banyak tahap (multi step of communication) yaitu arus komunikasi mengalir daqri media masyarakat kepada pemuka masyarakat, dari pemuka masyarakat secara “tatap muka” disalurkan kepada anggota kelompencapir melalui diskusi-diskusi kelompok tentang topik yang dibahas oleh media massa, dan selanjutnya disebarkan kepada khalayak secara bersilang dan menyeluruh.
Metode penyuluhan menjadi sangat penting, mengingat fungsi utama penyuluh untuk merubah situasi yang memungkinkan sasaran penyuluhan berkembang melalui kegiatan penyuluhan kelautan dan perikanan. Dengan mendekatkan penyuluh dan sasaran, berarti penyuluh mempunyai kesempatan untuk: (1) menstimulasi aktivitas mental dan fisikal sasaran penyuluhan sehingga memunculkan kebutuhan mereka untuk belajar, dan (2) memberi kesempatan belajar  bagi  sasaran penyuluhan yang sesuai dengan masalah dan kebutuhan mereka.
Metode komunikasi semacam ini di manmanfaatkan sebagai strategi untuk mempercepat perubahan dalam proses pembaharuan seperti yang dilakukan oleh All India Radio. All Radio India berhasil melakukan eksperimen dengan beberapa strategi komunikasi, menggunakan saluran-saluran tradisional maupun mass media. Penggunaan komunikasi antarpribadi maupun peragaan metode telah berhasil mengubah sikap dan mengajarkan beberapa teknik (lihat Depari dan Mc Andrew, dalam Peranan Komunikasi Massa dalm Pem-bangunan, 1978).
Pengalaman penelitiaan di negara- negar berkembang menunjukkan bahwa ada hubungan yang erat antara tahapan adopsi seseorang dengan pendekatan yang harus dilakukan, karena ada perbedaan kecapatan seseorang dalam mempelajari sesuatu. Sekelompok orang mungkin telah sampai pada tahap mencoba sesuatu hal ynag baru sehingga mereka ingin mempraktikkannya. Teteapi dilain pihak bisa terjadi, hanya sampai pada tahap ,menyadari dan atau berniat. Dengan demikian, melihat kasus ini: penggunaan kombinasi berbagai metode penyluhan akan lebih efektif.
Meminjam pendapat Mounder dalam Suriatna (1987) menggolonggakan metode penyluhan menjadi 3 (tiga) golongan berdasarkan jumlah sasaran yang dapat di capai:
Metode berdasarkan pendekatan perseorangan. Dalam metode ini, penyuluh berhub ungan dengan baik secara langsung maupun tidak langsung dengan sasaran secara pororangan. Yang termasuk ke dalam metode ini adalah:
 Anjangsana
 Surat-menyurat
 Kontak informal
 Undangan
 Hubungan telepon
 Magang
Metode berdasarkan pendekatan kelompok. Dalam hal ini, penyuluh berhubungan denga sekelompok orang yang menyampaikan pesannya. Beberapa metode pendekatan kelompok antara lain:
 Ceramah dan diskusi
 Rapat
 Demonstrasi
 Temu karya
 Temu lapang
 Sarasehan
 Perlombaan
 Pemutaran slide
 Penyuluhan kelompok lainnya
 Metode berdasarkan pendekatan massal. Metode ini dapat menjangkau sasaran yang lebih luas (massa). Beberapa metode yang termasuk dalam golongan itu, antara lain:
 Rapat umum
 Siaran melalui media massa
 Pertunjukan kesenian rakayat (pertunra)
 Penerbitan visua
 Pemutaran film
Sedangkan para ahli yang lain menggolongkan metode berdasarkan teknik komunikasi dan berdasarkan indra penerimaan sasaran. Berdasarkan teknik komunikasi, metode penyuluhan dibai menjadi 2 golongan, yaitu:
Metode penyuluhan langsung. Artinya para petugas penyuluhan, langsung bertatap muka dengan sasaran. Misalnya anjangsana, kontak personal, demonstrasi, dll.
Metode penyuluhan tidak langsung. Dalam hal ini pesan yang disampaikan tidak secara langsung dilakaukan oleh penyuluh teteapi melalui perantara atau media. Misalnya pertunjukan film atau slide, siaran melalau radio atau televisi dan penyebaran bahan tercetak.
Metode yang dilaksanakandengan jalan memperhatikan. Pesan yang diterima melalui indra penglihatan. Misalnya penempelan poster, pemutaran film dan pemutaran slide.
Metode yang disampaikan melalui indra pendengaran. Misalnya siaran pertanian melalui radio dan hubungan telephone serata alat-alat audiotif lainnya.
Metode yang disampaikan, diterima oleh sasaran melalui beberapa macam indra secara kombinasi. Misalnya:
Demonstrasi hasil (dilihat, didengar, dan diraba)
Demonstrasi cara (dilihat, didengar, dan diraba)
Siaran melalui televisi (didengar dan dilihat)
B. Kriteria Metode Penyuluhan
Meskipun tidak terdapat kriteria khusus metode penyuluhan yang terbaik, tetapi metode penyuluhan yang digunakan harus mudah dipahami sasaran dan dapat mencapai jumlah sasaran yang banyak. Metode penyuluhan yang baik, memiliki kriteria prinsif dasar diantaranya:
1. Sesuai dengan keadaan sasaran, apakah sasaran berada pada posisi tahap mengenal, menaruh minat, menilai, atau pada tahap mencoba mengadopsi suatu inovasi.
2. Cukup kuantitas dan kualitas, artinya penyuluh menguasai banyak metode penyuluhan sehingga dapat dilakukan pemecahan masalah-masalah penyuluhan. Dengan demikian perubahan kondisi sasaran dapat direspon oleh penyuluh dengan memilih dan menerapkan metode penyuluhan yang sesuai.
3. Tepat sasaran dan tepat waktu, tepat sasaran dapat diartikan bahwa metode penyuluhan yang digunakan sesuai dengan keberadaan sasaran (tingkat pendidikan, lingkungan/sosial budaya) dan waktu yang tersedia.
4. Materi akan lebih mudah diterima dan dimengerti, artinya materi penyuluhan harus sederhana dan dapat dikomunikasikan dengan bahasa penyuluhan sehingga sasaran dapat memahami materi yang disuluhkan.
5. Murah pembiayaannya, artinya penyuluhan dapat dilaksanakan dengan biaya relatif murah sehingga dapat terlaksana secara kontinyu dan dapat merespon reaksi sasaran dari proses penyuluhan yang dilakukan.
B. Teknik Penyuluhan
Pengertian tentang teknik penyuluhan harus dikuasai oleh setiap petugas penyuluhan dakam setiap kegiatannya, agar penyampain materi penyuluhan dapat efektif dalam menjangkau sasaran khalayak.
Didalam proses komunikasi, bahwa unsur “arus balik” merupakan aspek yanjg sangat penting untuk mengukur sejauh mana pesan komunikasi mendapatkan reaksi atau respon dari khalayak sasaran. Bila pesan komunikasi kita memperoleh tanggapan dari khalayak, maka dapat dikatakan bahwa apa yang kita samapaikan itu telah mencapai sasaran karena pesan yang diterimanya dapat dimengerti dan dipahami. Menurut Effendy (1986), bahwa sifak hakikat dari komunikasi adalah understanding atau memahami; sehingga tak mungkin seseorang melakukan kegiatan tertentu tanpa terlebih dahulu mengerti apa yang diterimanya.
Jadi pertama-tama harus diperhatikan  bahwa orang dijadikan sasaran komunikasi itu memehami (to secure understanding). Jika sudah dapat dipastika ia memahami; dapat diartikan ia menerima. Dalam kaitan ini Citrotroro (1982), mengatakan mengerti diartikan sebagai “dapat menangkap secara reseptif apa yang diterima” sedangkan yang dimaksud denga memahami adalah “dapaat menangkap secara reflektif”, artinya seseorang dapat menerima pesan dapat mengerti pesan yang diterimanya dan mengetahui hubungannya dengan hal-hal lain.
Oleh karna itu, agar pesan dapat dipahami dan dimengerti komunikan, maka diperlukan keterampilan dan atau keahlian tertentu didalam “mengelolah” komunikasi. Dengan kata lain seseorang komunikator harus menguasai teknik-teknik komunikasi dalam kegiatan penyuluhan.
Istilah teknik berasal dari bahasa Yunani “technikos” yang berarti keprigelan atau keterampilan. Keberhasilan dalam suatu aktifitas penyuluhan sangat tergantung kepada teknik penyuluhan yang digunakan oleh komunikator. Teknik penyuluhan pada intinya adalah penguasaan terhadap teknik-teknik komunikasi didalam “menyampaikan dan menyajikan pernyataan-pernyataan penyuluhan. Mengenai teknik kom,unikasi ini, Effendy (1986) mengatakan bahwa teknik komunikasi yang bisa dilakukan pada umumnya ada tiga yaiut:
Komunkasi informatif
Komunikasi persuasif
Komunikasi koersif
Sedang Susanto (1977), menambahkan dengan beberapa teknik komunikasi yang lain, yaitu:
Teknik penggandaan situasi sedemikian rupa sehingga orang terpaksa secara tidak langsung mengubah sikap (=compulsion technique).
Teknik dengan mengulang apa yang diharapkan akan masuk dalam bidang bawah sadar seseorang sehingga ia mengubah sikap diri sesuai dengan apa yang diulangi (=paervasion technicque).
Mengapa teknik dalam komunikasi diperlukan?. Pada dasarnya setiap komunikasi ingin mencapai sasaran khalayak secara efektif. Artinya pesan yang disebarluaskan tersebut dapat dipahami dan dimengerti oleh khalayak sasaran yang pada gilirannya akan dapat menimbulkan reaksi dan atau respon mengikuti seperti apa yang dianjurkan dari pihak komunikator.
Untuk itu,  agar pesan komunikasi dapat tanggapan dari khalayak, maka seseorang komunikator harus memperhatikan hal-hal sebagai berikut:
Pesan yang disampaikan harus dirangcang dan disampaikan sedemikian rupa sehingga dapat meneruh perhatian sasaran yang dimaksud.
Pesan harus menyesuaikan tanda-tanda yang tertuju kepada pengalaman yang sama antara sumber dan sehingga sama-sama dapat dimengerti.
Pesan harus membangkitkan kebutuhan pribadi pihak sasaran dan menyerahkan beberapa cara untuk memperoleh kebutuhan itu.
Oleh karena itu, seorang komunikator harus dapat menguasai teknika dan metode yang akan digunakan agar dapat mencapai sasaran yang dimakasud. Dengan demikain, bahwa usaha memberikan penyuluhan memerlukan beberapa teknik komunikasi yang efektif,seperti yang dikemukakan oleh para ahli. Adapun teknik-teknik yang digunakan dalam penyulhan yang selanjutnya dapat disebut sebagai teknika penyuluhan adalah sebagai  berikut:
1. Teknik Kmonukasi Informatif
Adalah proses penyampaian pesan yang sifatnnya “memberi tahu” atau memberika penjelasan kepada orang lain. Komunikasi ini dapat dilakukan secara lisan maupun tertulis, misalnya melalui papan pengumuman, pertemuan-pertemuan kelompok dan juga media massa.
Karena sifatnya yang informatif, maka arus penyuluhan yang terjadi adalah searah (one way communication). Oleh karena itu penggunaan teknik komunikasi informatif dalam kegiatan penyuluhan biasanya harus bertujuan ingin menyampaikan sesuatu seperti keterangan-keterangan tertentu yang dianggap penting diketahui oleh khalayak atau masyarakat luas. Misalnya dalam hal ini seperti pemandu wisata memberikan keterangan tentang sejarah sebuah candi tua, seorang ahli purbakala memberikan keterangan tentang benda-benda purbakala kepada sejumlah orang peminatnya, seorang petugas penyulahan memberikan keterangan tentang tata cara pembayaran PBB kepada wajib pajak dan sebagainya.
Pendek kata dalam komunikasi ini, pihak komunikan dapat merasa “puas” karena bertambahnya pengetahuan.teknik komunikasi semacam ini pada umumnya hanya ingin menyentuh ranah kognisi dari khalayak. Effendy (1986), mengatakan bahwa secara etimologis komunikasi berarti “pemberitahuan”. Jadi, jika seseorang mengatakan sesuatu kepada orang lain dan orang itu mengerti dan karenanya menjadi tahu, maka komunikasi terjadi. Sampai disitu komunikasi hanya bertaraf informatif.
Lain minsalnya jika apa yang dikatakan oleh orang tersebut bukan hanya sekedar memberi tahu, teteapi mengandung tujuan agar orang yang dihadapinya itu melakukan sesuatu kegiatan atau tindakan, maka tarafnya menjadi persuasif, komunikasi yang mengandung persuasi.
2. Teknik Komunikasi Persuasi
Istilah “persuasi” atau dalam bahasa inggris “persuation” berasal dari kata latin persuasio, yang secara harfiah berarti hal membujuk, hal mengajak atau meyakinkan. Kenneth E. Andersen (dalam Effendy (1986) mendifinisikan persuasi sebagai berikut:
“A prosses of interpersonal communication in which the communicator seeks through the use of symbols to affect the cognitions of a receiver and thus effect a voluntary change in attitude or action desired by the communicator”.
(Suatu proses komunikasi antarpersonal dimana komunikator berupaya dengan menggunakan lambang-lambang untuk mempengaruhi kognisi penerima, jadi secara sengaja mengubah sikap atau kegiatan seperti yagn diinginkan komunikator).
Sedang Merril dan Lowenstein (1973), mendifinisikan persuasi sebagai berikut:
“Persuatian, or changing people’s attitude and behavior through the spoken and written word,constitutes one of the more interesting use of communications”. Calr I Hovland dalam Sunaryo (1983) mengemukankan bahwa persuasi ialah “A major effect of persuasive communication lies in stimulating the individual to think both of his initial opinion and of the new opinion recommended in the communication.”
Selanjutnya Edwin P. Bettinghouse (dalam Effendy (1984) memberikan batasan bahwa persuasi adalah:
“in order to be persusive in nature, a comunication on situation must involve a conscious attempt by one individual to change the behavior of another behavior individual or group of indivuduals through the transmission of some message”.
Dari definisi Bettinghouse tersebut bahwa suatu situasi komunikasi yang mengandung upaya yang dilakukan dengan sadar untuk mengubah prilaku melalui pesan yang disampaikan.
Dari beberapa pemaparan batasan persuasi, maka dalam persuasi mengandung unsur-unsur:
Situasi upaya mempengaruhi,
 Kognisi seseorang
 Untuk mengubah sikap khalayak
 Melalui pesan lisan dan tertulis
 Dan dilakukan secara sadar
Dengan demikian, maka persuasi merupakan suatu tindakan psikologis yang dilakukan secara sadar melalui media untuk tujuan perubahan sikap.
Tidak saja perubhan sikap, jenis dalam bukunya “Personality And Persuasivity” menambahkan perubahan sikap menuju perubahan opini, perubahan persepsi, perubahan perasaan dan perubahan tindakan.
Dalam kaitan tersebut, maka tindakan persuasi dapat dipandang sebagai sebagai sebuah cara belajar, karena ingin mengubah beberapa prilaku khalayak dengan memanfaatkan faktor-faktor internal psikologis khalayak. Teori belajar persuasi sejajar dengan model Stimulus Respons (S-R) yang memandang manusia sebagai suatu entitas pasif dari model SOR (Stimulus – Organisme – Respon) yang memandang belajar persuasif sebagai suatu gabungan perolehan pesan yang diterima indivudu dan mengatasi berbagai kekuatan-kekuatan dalam individu yang bertindak berdasarkan pesan-pesan tersebut agar menghasilkan akibat-akibat persuasif.
Wess dalam Malik (1993) memberikan contoh untuk itu adalah seorang pen dengar radio bisa dikomdisikan untuk menanggapi sebuah produk yang diiklankan setelah produk tersebut dihubungkan dengan kewibawaan sumber pesan.
Peada umumnya komunikasi persuasif bertujuan mengubah prilaku, kepercayaan dan sikap seseorang dengan memanfaatkan data dan fakta psikologis maupun sosiologi dari komunikan yang handek dipengaruhinya, sehingga bersedia melakukan tindakan tertentu sesuai dengan keinginan komunikator.
Komunikasi persuasif ini dilakukan dengan secara langsung atau tatap muka, karena komunikator mengharapkan tanggapan/respon khusus dari komunikan. Adapun contoh untuk ini sorang penyuluh dalam kegiatan penyuluhan, katakanlah misalnya penyuluhan tentang manfaat kegunaan bibit unggul tertentu kepada petani, penyuluh tersebut menggunakan cara-cara pendekatan dengan mendatangkan seorang “petani sukses” untuk menceritakan pengalamannya dalam menggunakan bibit unggul yang akan diperkenlkannya itu. Kehadiran “petani sukses” itu digunakan sebagai stimulus (S) agar menumbuhkan respon (R) komunikannya yaitu yang mengikuti jejeak keberhasilan dari petani sukses tersebut.
Pemanfaatan “petani sukses” tersebut merupakan cara persuasif untuk mengadakan sentuhan manusiawi langsung kepadan individu-invidu yang menjadi sasaran komunikasi.
Menurut proses persusif itu pesan-pesan komunikasi akan efektif dalam persuasi apabila memiliki kemampuan mengubah secara psikologis minat atau perhatian individu dengan cara sedemikian rupa, sehingga individu akan menanggapi pesan-pesan komunikasi sesuai dengan kehendak komunikator. Dengan perkataan lain, kunci keberhasilan persuasi terletak pada kemampuan mengubah struktur psikologis internal individu sehingga hubungan psikomotorik antara proses internal yang laten (motivasi, sikap dan lain-lain) dengan prilaku yang diwujudkan sesuai dengan kehendak komunikator. Seperti dalam contoh di atas, bahwa mendatangkan “petani sukses” merupakan tindakan terbuka dengan cara menumbuhkan keyakinan seseorang (khalayak) terhadap penggunaan bibit unggul tertentu yagn dimanfaatkan oleh petani tersebut (proses psikologis). Contoh lain adalah penyuluhan untuk mempromosikan obat-obatan manjur (tindakan terbuka) dengan cara menumbuhkan rasa takut terhadap penyakit (proses psikologis). Secara sederhana, model psikodinamaik
Sumber:
Hudoyo M.W., 2010. Modul Metode dan Teknik Penyuluhan Perikanan. Pusat Pelatihan Kelautan dan Perikanan, Jakarta.
Dan dari lainya

MENGEMBANGKAN PAKAN ALAMI PHRONIMA SUPPA DALAM BUDIDAYA UDANG WINDU BERKELANJUTAN

March 17, 2018 Posted by Media Penyuluhan Perikanan Pati No comments
Udang windu (Penaeus monodon) sejak dahulu hingga saat ini merupakan salah satu komoditas unggulan sektor Kelautan dan Perikanan Kabupaten Pinrang. Produksi udang windu yang dihasilkan oleh pembudidaya di daerah ini  sangat diminati oleh pasar manca negara khususnya di  Jepang. Tak berlebihan apabila kabupaten Pinrang berobsesi ingin mengembalikan kejayaan udang windu seperti di era tahun 1980-an.
Ketika itu, terjadi booming udang windu di enam kecamatan wilayah pesisir di kabupaten Pinrang. Pada masa itu, budidaya udang windu diandalkan sebagai penggerak roda perekonomian masyarakat pesisir. Booming udang windu yang terjadi sepanjang tahun 1980-an hingga awal 1990 berimplikasi pada semakin bertambahnya luas lahan tambak yang mencapai lebih dari 15.000 ha. Mengingat, pada saat itu banyak lahan sawah yang tidak memenuhi persyaratan teknis  dipaksakan untuk dialihfungsikan menjadi lahan budidaya udang. Akibatnya, bermunculan berbagai masalah yang menyebabkan gagal panen terjadi dimana-mana.
Budidaya  tambak yang tidak memenuhi  syarat telah menyebabkan kerusakan pada lingkungan, penurunan produksi tambak dan kualitas produksi udang, berjangkitnya wabah penyakit oleh virus dan bakteri. Akibat serangan patogen khususnya virus White Spote Syndrome Virus (WSSV) dan  Vibrio Harvey berdampak terhadap sekitar 39.022 ha areal tambak di Sulawesi selatan tidak lagi berproduksi (iddle) pada periode 1988 sampai dengan 2007. Gagal panen di Sulawesi selatan diprediksi menimbulkan kegugian bagi pembudidaya sekitar 33,4 juta USD per tahun. Kerugian akibat serangan penyakit udang di Indonesia diperkirakan mencapai lebih dari 300 juta USD atau lebih dari 3 triliun rupiah per tahun (Wahyono, 1999 diacu dalam Rukyani, 2000).
Pemicu serangan disebabkan degradasi lingkungan sebagai akibat dari pengelolaan lahan yang tidak memenuhi standar serta penggunaan input produksi terutama antibiotik, pestisida, bahan dan zat kimia lainnya secara tidak terkendali yang semula dimaksudkan untuk penanggulangan penyakit dan pembasmian hama. Selain itu, pemberian pakan, penggunaan pupuk maupun pengolahan tanah dasar tambak yang tidak tepat telah menyebabkan peningkatan cemaran organik. Pemberian pakan dengan jumlah dua kali lipat dari produk biomassa. Sisanya 88 – 90  persen terbuang ke lingkungan (Nurdjana, 2005). Pakan yang sebagian besar bahan organik  tersebut  (terutama organik-C dan organik –N) mengalir dalam siklus aliran nutrient di dalam air (Boyd dan Clay, 1989).
Permintaan akan komoditas udang windu  yang terus meningkat dengan tingkat harga yang relative tinggi terutama pada era booming udang windu mendorong pembudidaya memacu tingkat produksi tambak dengan menggunakan antibiotik, pestisida serta bahan dan zat kimia secara berlebihan telah menyebabkan berkembangnya organism patogen yang resisten terhadap obat-obatan dan bahan kimia tertentu serta rusaknya keseimbangan lingkungan sebagai akibat dari matinya jasad renik yang berperan penting dalam siklus hara dan rantai makananan ( food chain) di dalam tambak. Pemberian antibiotik, obatobatan serta bahan dan zat kimia lainnya secara serampangan menyebabkan matinya berbagai jenis bakteri seperti Nitrosomonas dan Nitrobacter yang sangat berperan dalam proses nitrifikasi (Nurdjana, 2005). Ketidakseimbangan lingkungan internal dan eksternal tersebut menyebabkan daya dukung tambak sangat rendah atau menyebabkan tambak menjadi kehilangan potensi  produktivitas atau dikenal dengan tambak marjinal. Reklamasi tambak secara epektif, perbaikan lingkungan, dan penataan system budidaya udang windu secara holistik berhasil menormalisasi tambak marjinal (Fattah et al., 2009) .
Manajemen budidaya yang buruk berpotensi memicu eksplosifnya kembali serangan patogen terutama WSSV dan V.harvey yang saat ini dalam proses pemulihan atau membuka peluang infeksi patogen baru yakni Early Mortality Syndrome (EMS) atau Acute Hepatopancretic Nectrotic Disease (AHPND) yang dipicu oleh V. parahaemolyticus. Saat ini undustri udang nasional sedang bersiaga hadapi ancaman baru yang berasal dari EMS atau AHPND setelah industry udang global dan negara tetangga seperti China (2009), Vietnam (2010), Thailand (2011) dan Malaysia (2012) mengalami kegagalan produski (clopse).. Hal tersebut menyebabkan kelangkaan stok udang dunia diperkirakan mencapai 300 ton per tahun.
Sejak tahun 2005 ditemukan populasi phronima suppa (Phronima sp) jenis mikro crustacea yang hidup secara alami pada perairan tambak tertentu di desa Wiringtassi dan desa Tasiwalie kecamatan Suppa, Pinrang. Phronima sp tidak ditemukan pada tambak di luar kedua desa tersebut (Fattah dan Saenong, 2008). Pada awal ditemukannya organisme tersebut, masyarakat lokal menyebutnya sebagai were. Were berasal dari kosa kata bahasa Bugis yang bermakna anugerah, berkah atau rahmat. Phronima Suppa menjadi anugerah, berkah dan rahmat bagi pembudidaya pada saat kondisi pertambakan udang nasioanl mengalami keterpurukan karena degradasi mutu lingkungan, infeksi patogen dan buruknya manajemen budidaya.
Keberadaan Phronima Suppa menjadi indikator bangkitnya udang windu pada kawasan yang sedang terserang virus WSSV dan V.harvey. Kawasan tambak yang ditemukan Phronima sp serta kawasan tambak yang sedang terjangkit WSSV berhasil memproduksi udang windu dengan sintasan sekitar 70 persen. Sebaliknya, tambak udang windu tanpa Phronima sp hanya mampu memproduksi udang windu  dengan sintasan 10 persen (Fattah dan Saenong, 2008). Phronima Suppa diduga kaya nutrien dan berperan penting dalam membangun sistem immunitas internal pada udang serta memperbaiki struktur tanah dan lingkungan perairan.
Berkembangnya pakan alami Phronima Suppa menjadikan kabupaten Pinrang sebagai daerah pemasok udang windu tersebesar di Sulawesi Selatan, dimana pada tahun 2013 produksi udang windu terbesar di Sulawesi Selatan, yaitu 2.973,2 ton, meningkat dari produksi tahun 2012 sebesar 2.931 ton. Di Pinrang, luas lahan potensi perikanan tambak mencapai 15.675 ha dengan pola budidaya tradisional, semi intensif, polikultur udang dan bandeng serta sedikit budidaya pola intensif. Kawasan tambak terbagi di enam lkecamatan, yaitu Suppa (2.203 ha), Lasinrang (1.5675 ha), Mattirosompe (4.131 ha), Cemapa (2.341 ha), Duampanua (5.101 ha), dan Lembang (339 ha).
Tabel 1. Produksi udang windu dari tahun 2006 – 2013 di Kab. Pinrang.
Tahun     Luas (HA)     Produksi (TON)     Nilai Produksi (Rp)
        Windu      Vannamei     Windu     Vannamei
2013     15.026,20     2.973,20     774,50     237.856.000     50.342.500
2012     15.026,20     2.931,00          146.550.000     
2011     15.026,20     2.768,00          138.364.000     
2010     15.026,20     2.624,90          131.159.000     
2009     15.795,50     2.561,12          115.250,400     
2008     15.795,50     2.148,35          79.494,500     
2007     15.814,00     2.148,50          64.455.000     
2006     15.834,00     2.269,13            79.419.550     
                       
Jumlah     15.026,20     2.973,20 (2013)     774,50     237.856.000 (2013)     50.342.500
   
Berdasarkan tabel di atas, produksi udang windu dari tahun ke tahun terus mengalami peningkatan, dimana produksi tahun 2013 menempati produksi terbesar, yaitu 2.973,20 ton dengan nilai produksi sebesar Rp. 237.856.000, meningkat pesat jika dibandingkan produksi pada tahun 2006 yang memproduksi udang windu sebesar 2.269,13 ton dengan nilai produksi Rp. 79.419.550. Peningkatan produksi ini mempengaruhi peningkatan kesejahteraan pembudidaya udang windu. Namun, dari segi persentase peningkatan produksi dari tahun ke tahun tidak terlalu signifikan. Hal ini disebabkan karena metode budidaya yang diterapkan oleh pembudidaya didominasi budidaya tradisional dengan kepadatan 10.000 – 20.000 ekor perhektar. Dimana rata-rata produksi perhektar dengan kepadatan 1 - 2 ekor/m2 yaitu 150 – 200 kg.
Belum maksimalnya peningkatan produksi udang windu selain karena pembudidaya tidak memaksakan lahan juga karena terbatasnya benur udang windu berkualitas. Produksi benur pada hatchery di kabupaten. Pinrang belum mencukupi kebutuhan pembudidaya, dimana jumlah hatchery di Pinrang sebanyak 9 buah dengan kapasitas produksi pertahun yaitu 220 juta benur. Sedangkan kebutuhan benur untuk penebaran rata-rata 20.000 perhektar untuk 15.000 hektar tambak yaitu 300 juta benur. Berarti dibutuhkan 80 juta benur harus diperoleh dari luar Kabupaten  Pinrang.
Konsep pengembangan Blue economy saat ini kian gencar didengungkan seiring kian meningkatnya kesadaran untuk menjaga lingkungan dalam melakukan usaha budidaya perikanan. Prinsip ini pula yang kini diterapkan oleh para petambak udang windu di kabupaten Pinrang, Sulawesi Selatan. Mereka menyebutnya budidaya udang windu ramah lingkungan. Yaitu budidaya udang windu dengan menggunakan pakan alami yang disebut sebagai phronima (Phronima suppa). Phronima merupakan sejenis udang renik yang hidup di dasar tambak yang pertama kali ditemukan di kecamatan Suppa maka diberi sebutan Phronima Suppa. Rencananya pakan alami lokal ini akan segera dipatenkan dengan nama Phronima Suppa agar tidak diakui oleh daerah lain.
PEMBAHASAN
Petambak udang windu di Pinrang saat telah bangkit. Bertambak cara tradisional di era modern ternyata membawa keberuntungan. Udang windu yang diproduksi dengan sistim modular dengan pakan alami Phronima Suppa menjadi incaran konsumen di pasar internasional, karena udangnya padat, sehat, alami dan yang paling penting ramah lingkungan.
Sistem modular sudah lama dipraktikkan oleh sebagian  petambak udang windu sejak era tahun 1980-an. Cara itulah yang menyebabkan udang windu masih berkelanjutan di Pinrang. Sistim modular yaitu cara budidaya udang windu dengan melakukan pemindahan dari satu petakan  ke petakan tambak  yang lain sebelum masa panen. Tujuannya agar kualitas air tambak selalu optimal dan ketersediaan pakan alami phronima selalu ada.
Pakan alami phronima menjadi potensi lokal yang mampu menggenjot produksi udang windu. Untuk mengkultur phronima di tambak perlu keterampilan khusus. Sebab jika salah dalam menumbuhkan maka akan menjadi kompetitor bagi udang yang dipelihara. Karena Phronima ini semacam udang renik yang butuh pakan alami dan oksigen dalam pertumbuhannya. Tapi, jika tepat dalam penanganannya, maka cukup 55-70 hari pembudidaya sudah panen udang windu dengan ukuran size antara 25-30 ekor/kg.
Hewan kecil yang menyukai dasar tambak liat berpasir ini merupakan  keluarga udang-udangan yang masuk dalam genus Phronima sp.  Untuk tumbuh dan berkembang biak Phronima sp memerlukan kisaran parameter kualitas air seperti suhu 28–25 derajat celsius, salinitas 28–40ppt dan idealnya 38 itu sudah bagus, oksigen terlarut 0,3–4,9 ppm, ammonia 0,080–1,600 ppm dan Nitrit 0,056–1,329 ppm.
Pengalaman Pembudidaya
Untuk bertambak udang windu sistem modular dengan pakan alami Phronima Suppa  paling tidak petambak harus memiliki 2-3 petakan tambak. Jumlah petakan tambak tersebut satu petakan seluas 0,25-0,35 ha digunakan untuk petak pentongkolan benur. Sedangkan petakan lainnya (luasnya 0,50-1,00 ha) untuk penumbuhan dan perbanyakan populasi phronima. Untuk mengembangbiakkan phronima di tambak perlu dilakukan persiapan media yaitu mulai pengeringan lahan dan pemberantasan hama menggunakan saponin. Kemudian tambak diberi kapur bakar 500-1.000 kg/ha atau  tergantung tingkat keasaman (pH) tanah dasar tambak. Beri pupuk urea 100 kg/ha, TSP 50 kg/ha, ZA 50 kg/ha dan dedak 300 kg/ha serta pupuk cair organik sebanyak  5 liter/ha. Dedak tersebut lebih dahulu dipermentasi menggunakan ragi roti atau ragi tape lalu masukkan air sampai ketinggian 30 cm di atas pelataran tambak. Jika plankton sudah tumbuh maka tebar induk atau bibit phronima sebanyak 3 liter yang diperoleh dari stok Phronima yang ada di petakan tambak lain. Phronima yang dikultur selama 20 hari populasinya diperkirakan cukup untuk dimakan oleh  10.000-15.000 ekor udang maka tokolan udang yang sudah seukuran besar rokok dapat segera dipindahkan ke petakan yang telah ditumbuhi phronima.
Tokolan udang yang telah dipindah, setelah dipelihara sekitar 55-70 hari udang sudah bisa panen sebanyak 250-300 kg/ha dengan ukuran size 40-35 ekor/kg. Namun terkadang petambak belum puas harga Rp. 95-100 ribu/kg dengan ukuran tersebut sehingga udang itu dipindah lagi ke petakan  yang lain yang telah tersedia pakan alami phronima. Dalam tempo satu bonang (satu siklus pasang surut) atau sekitar 15 hari maka ukuran udang sudah berubah capai size 25-30 ekor/kg yang laku terjual Rp.115-125 ribu/kg. Cara seperti ini berulang dilakukan oleh petambak sampai lima kali siklus panen dalam setahun..
Tambak Percontohan
Untuk menyebarluaskan pengalaman keberhasilan  pembudidaya udang windu di desa Tasiwalie kecamatan Suppa ke petambak yang lain di kabupaten Pinrang, maka penyuluh perikanan kerjasama dengan Dinas Kelautan dan
Perikanan Pinrang, akademisi dan WWF-Indonesia melakukan kajian lapangan berupa tambak percontohan (dempond) budidaya udang windu dengan aplikasi pakan alami Phronima Suppa..
Kegiatan tambak percontohan budidaya udang windu dengan aplikasi pakan alami Phronima Suppa berlangsung Maret sampai Agustus 2014 di desa Tasiwalie kecamatan Suppa, Pinrang.. Percontohan budidaya udang windu aplikasi Phronima Suppa  dikelola sesuai dengan Cara Budidaya Ikan yang Baik (CBIB) . Pendampingan dilakukan dengan cara memberikan bimbingan secara langsung dalam peningkatan produksi dan pendapatan pembudidaya tambak udang windu. Pembudidaya yang menjadi sampel dalam kegiatan kajian tersebut ditetapkan bedasarkan kesediaan mereka untuk melakukan budidaya udang windu aplikasi Phronima Suppa berbasisi CBIB. Berdasarkan persyaratan tersebut maka terpilih 9 orang pembudidaya sebagai kelompok A.. Sedangkan kelompok B sebagai pembanding sebanyak 8 orang pembudidaya yang tidak menggunakan Phronima sebagai pakan alami. Tambak terpilih adalah tambak marjnal atau tambak yang tidak dikelola dengan baik sejak berkembangnya WSSV dan V.harvey sejak 1998.
Indikator yang dipergunakan dalam mengukur tingkat keberhasilan dari pelaksanaan dempond ini antara lain meliputi: (1) periode budidaya, (2) sintasan, (3) produksi tambak, (4) analisis kelayakan ekonomi berdasarkan  pendapatan dan R/C rasio. 
1. Periode Budidaya
Periode kegiatan budidaya udang windu dengan aplikasi Phronima Suppa (A) lebih singkat dibandingkan dengan perlakukan tanpa Phronima Suppa (B). Aplikasi Phronima Suppa dapat memproduksi udang windu rata-rata  285 kg/ha  dengan ukuran size  39,67 ekor /kg  dengan periode masa budidaya rata-rata 47 hari. Sedangkan kelompok B memproduksi udang windu rata-rata 50,63 kg/ha dengan ukuran size rata-rata 44 ekor/kg dan produksi ikan bandeng 337,50 kg/ha selama 112 hari kegiatan budidaya. Tambak tanpa aplikasi phronima suppa (B) memerlukan periode produksi rata-rata lebih lama dibandingkan dengan aplikasi  phronima suppa (Tabel 2 dan Gambar 2). Aplikasi phronima suppa (A) dengan periode produksi 47 hari memungkinkan untuk melakukan aktivitas budidaya sebanyak tiga siklus per tahun. Pada tambak tanpa aplikasi phronima suppa (B) kegiatan budidaya hanya dapat dilaksanakan sebanyak dua siklus produksi per tahun.
Tabel 2. Luas Tambak, Periode Budidaya, Padat Tebar, dan Produksi pada
              Kedua Kelompok Pembudidaya

N                      
o
     Nama  Pembudidaya     Luas  Tambak     Periode  Budidaya     Padat Penebaran (ekor)      Sintasan  Udang     Produksi (kg)
                Udang      Bandeng          Udang      Bandeng
          (ha)      (hari)                (%)         
Ap likasi Phronima Suppa (Kelompok A)                       
1      Baharuddin      1,40      45,00      15.000           62,67      235    
2      Ilyas      1,20      45,00      15.000           65,00      250    
3      Nurdin      1,70      47,00      25.000           51,20      320    
4      Darise      1,00      45,00      15.000           60,80      240    
5      Yusuf      1,50      50,00      35.000           51,43      450    
6      Bahri      2,00      50,00      20.000           76,00      380    
7      Ridwan      1,00      48,00      15.000           75,20      282    
8      Abd. Rahim      1,00      48,00      15.000           69.87      262    
9      Idris      1,00      45,00      12.000           50,00      150    
Ju mlah
     11,80
     423,00
     167.000
   
     492,3
     2.569
   

Ra ta-rata      1,31±0,37      47,00±2,12      18.555,56±           61,54±      285,44±    
                    7.247,60           10,36      88,02    
Ta npa Aplikasi Phronima Suppa (Kelompok B)                   
10      Amir      1,00      60,00      10.000      1.500      12,00      30      350
11      Syamsuddin      1,00      120,00      10.000      1.500      28,00      50      300
12      Ramli      2,00      120,00      25.000      3.500      8,00      50      600
13      Suardi      1,50      120,00      15.000      3.000      17,27      70      500
14      Ahmadi      1,00      120,00      15.000      1.500      8,33      25      150
15      Ambo Paro      2,00      120,00      25.000      3.000      18,00      100      500
16      Odding      0,70      120,00      7.500      700      24,00      40      150
17      Umar      0,80      120,00      10.000      1.000      22,00      40      150
Jumlah      10,00      900,00      117.500      15.700      137,6      405      2.700
Rata-rata      1,25±      112,50±      14.687,50±6870,      1.962,50±      17,20±      50,63±      337,50±
          0,52      21,21      94      1.047,36      7,34      24,27      180,77
Sumber: Hasil Pengolahan Data Primer , 2014
Pada Kedua Kelompok Pembudidaya
2.    Sintasan
Keterbatasan kemampuan finansial dan trauma kegagalan budidaya udang windu selama sekitar 16 tahun serta kualitas manajemen budidaya yang tidak memadai menyebabkan padat penebaran pada tingkat pembudidaya masih relatif rendah (Fattah dan Busaeri, 2002). Aplikasi phronima suppa lebih efektif pada budidaya dengan komoditas tunggal (monokultur) udang windu. Pola penebaran komoditas ganda (polikultur) udang windu dan bandeng disarankan dikembangkan pada petakan tanpa aplikasi phronima suppa sebagaimana umumnya dilakukan oleh pembudidaya di Kabupaten Pinrang dan Sulawesi Selatan. Pola monokultur udang windu adalah pilihan rasional dalam memaksimalkan potensi peningkatan pendapatan dan kesejahteraan pembudidaya pada tambak marjinal. Namun perlu ketelitian dalam menumbuhkan Phronima, sebab apabila kepadatan populasi phronima yang tidak terkendali dapat menyebabkan kematian ikan bandeng dengan indikasi ditemukannya phronima suppa pada lembar insang sehingga menghambat proses pernapasan pada bandeng.
Sintasan pada tambak terpilih disajikan pada Tabel 2 dan Gambar 2. Pembahasan sintasan difokuskan pada udang windu Tambak terpilih adalah tambak marjinal yang tidak dikelola dengan baik sejak berkembangnya wabah WSSV dan V. harvey pada tahun 1998. Keberhasilan reklamasi memperbesar peluang pengembangan budidaya udang windu dan ikan bandeng pada tambak marjinal. Tambak dengan aplikasi phronima suppa (A) menghasilkan sintasan rata-rata 61,54 persen lebih tinggi dibandingkan dengan tanpa aplikasi phronima (B) yang menghasilkan sintasan rata-rata 17,20 persen sebagaimana yang disajikan pada Gambar 3. Hal ini memperkuat pembuktian bahwa phronima suppa potensial menyediakan nutrien sesuai dengan kebutuhan udang windu, membentuk imunostimulan, dan memperbaiki kualitas lingkungan budidaya (Fattah et al., 2014). Sintasan udang windu pada aplikasi phronima suppa lebih tinggi meskipun kawasan tambak secara keseluruhan belum terbebas dari wabah WSSV dan V. harvey. Kondisi tersebut dialami oleh salah seorang pembudidaya bernama Idris yang pada awal kegiatan budidaya belum mengaplikasikan phronima suppa. Aplikasi baru dilakukan setelah ditemukan beberapa ekor udang peliharaannya mati. Sisa udang yang masih hidup dipindah ke petak yang telah ditumbuhi Phronima. Metode yang dikenal dengan sistem modular menghasilkan sintasan udang windu sebesar 50 persen. (Tabel  2 dan Gbr. 2).
3.    Produksi
Produksi tambak dempond disajikan pada Tabel 2 dan Gambar 4. Tambak dengan aplikasi phronima suppa (A) berhasil memproduksi komoditas udang windu rata-rata sebanyak 285,kg/ha/siklus. Tambak tanpa aplikasi phronima suppa (B) rata-rata memproduksi udang windu sebanyak 50,63 kg/ha/siklus dan ikan bandeng sebanyak 337,50  kg/ha/siklus. Produksi udang windu pada tambak dengan aplikasi phronima suppa (A) lebih tinggi dibandingkan dengan tambak tanpa aplikasi phronima (B). Kontribusi phronima suppa dalam menyediakan nutrien, membentuk imunostimulan, dan memperbaiki lingkungan budidaya sesuai dengan kebutuhan udang windu sangat berperan dalam peningkatan produksi. Pengembangan metode budidaya sistem modular dan upaya penyediaan phronima suppa secara berkesinambungan dapat meningkatkan produksi phronima suppa lebih tinggi dibandingkan dengan metode aplikasi sebelumnya yang memproduksi udang windu sebanyak 150,51 kg/ha.MT (Fattah et al., 2012).
Secara alami puncak populasi phronima pada tambak endemik terjadi pada sekitar 15 hari inokulasi. Populasi phronima suppa mengalami penurunan setelah 15 hari inokulasi (Fattah et al., 2010). Pemberian pakan alami kombinasi jenis Chlorella sp dan Chaetoceros sp dapat mempertahankan stabilitas ketersediaan populasi phronima suppa hingga hari 28 hari (Fattah et al., 2014). Budidaya udang windu dengan sistem modular atau aplikasi saponin berhasil mempetahankan ketersediaan pakan alami secara berkesinambungan sehingga stabilitas populasi phronima dapat dipertahankan di dalam wadah budidaya selama periode budidaya selama 47 hari.
Berdasarkan pengamatan lapangan selama ini bahwa ketersediaan pakan alami secara berkesinambungan dan pengendalian faktor lingkungan secara penuh menjadi faktor penentu ketersedian phronima suppa secara memadai untuk mendukung peningkatan produksi udang windu dengan aplikasi phronima suppa. Hal ini mengindikasikan bahwa phronima suppa telah dapat diproduksi secara berkesinambungan dengan pemberian kombinasi fitoplankton jenis Chlorella sp dan Chaetoceros sp. Hal ini membuka peluang diproduksinya phronima suppa sebagai pengganti Artemia salina untuk keperluan operasional panti pembenihan dan budidaya tambak. Kehidupan phronima suppa sangat dipengaruhi oleh kualitas media. Hal ini sejalan dengan pernyataan Boyd dan Clay (1998) dan Odum (1971) bahwa kehidupan organisme perairan sangat dipengaruhi oleh faktor fisika dan kimia perairan.
4. Pendapatan
Pada Tabel 3 disajikan biaya produksi dan penerimaan pada kedua kategori budidaya. Biaya operasional rata-rata pada tambak dengan aplikasi phronima suppa (A) sebesar Rp 3.122.222 lebih tinggi dibandingkan dengan biaya operasional rata-rata pada tambak tanpa aplikasi phronima suppa (B) yakni Rp 2.775.000. Nilai penerimaan dengan aplikasi phronima suppa lebih tinggi dibandingkan dengan tanpa aplikasi phronima. Demikian pula dengan hasil analisis R/C-rasio aplikasi phronima suppa (8,48) lebih tinggi dibandingkan tanpa aplikasi phronima suppa (2,35).

Tabel  3. Biaya dan Penerimaan pada Kedua Kelompok (A dan B)
No
     Nama  Pembudidaya     Biaya  (Rp)
          Penerimaan (Rp)
            Udang      Bandeng           Jumlah (Rp)
Apli kasi Phronima Suppa (A)                  
1      Baharuddin      2.800.000      22.090.000                22.090.000
2      Ilyas      3.000.000      27.500.000                27.500.000
3      Nurdin      4.300.000      34.240.000                34.240.000
4      Darise      2.000.000      27.600.000                27.600.000
5      Yusuf      5.000.000      40.150.000                40.150.000
6      Bahri      4.000.000      40.660.000                40.660.000
7      Ridwan      2.900.000      30.174.000                30.174.000
8      Abd. Rahim      2.300.000      28.034.000                28.034.000
9      Idris      1.800.000      16.050.000                16.050.000
Juml ah      28.100.000      266.498.000                266.498.000
Ratarata      3.122.222,22 ±      29.610.888,89±                29.610.888,89±
          1.091.762,08      7.955.729,58                7.955.729,58
Tanp a Aplikasi Phro nima Suppa (B)                  
10      Amir      1.200.000      3.210.000      280.000           3.490.000
11      Syamsuddin      3.000.000      5.350.000      3.750.000           9.100.000
12      Ramli      4.500.000      5.350.000      8.400.000           13.750.000
13      Suardi      4.000.000      7.910.000      7.000.000           9.410.000
14      Ahmadi      1.500.000      2.375.000      1.500.000           3.875.000
15      Ambo Paro      3.500.000      11.000.000      6.000.000           17.000.000
16      Odding      1.000.000      4.000.000      1.800.000           5.800.000
17      Umar      3.500.000      10.000.000      2.000.000           12.000.000
Jumlah      22.200.000      49.195.000      30.730.000           74.425.000
Rata-rata      2.775.000,00±      6.149.375,00±      3.841.250,00±           9.303.125,00±
          1.354.094,32      3.167.678,78      2.955.606,96           4.808.790,27
Sumber: Hasil Pengolahan Data Primer,2014
Biaya produksi aplikasi phronima (A) yang lebih tinggi dipengaruhi oleh jumlah benur yang ditebar dan aplikasi pupuk yang lebih tinggi. Padat penebaran rata-rata pada perlakukan aplikasi phronima (A) sebanyak 18.555 ekor/ha lebih tinggi dibandingkan dengan tanpa aplikasi (B) yakni rata-rata sebanyak 14.687 ekor benur/ha dan rata-rata 1.962 ekor ikan bandeng/ha. Tingkat sintasan, produksi udang windu serta size udang windu yang dipanen lebih besar pada tambak dengan aplikasi phronima suppa (A) berpengaruh terhadap tingkat pendapatan dan keuntungan pembudidaya. Harga jual udang windu bervariasi berdasarkan ukuran (size). Pemberian phronima suppa menghasilkan udang windu berukuran relatif lebih besar (39,67 ekor/kg) dalam waktu 47 hari.
DAFTAR PUSTAKA
Boyd, C.E., and Clay, J.W., 1998. Shrimp aquaculture and the environment. Sci. Am., 278: 58–65.
Fattah, M.H. dan M. Saenong. 2008. Uji Pendahuluan Kultur Udang Suppa (Phronima sp). Laboratorium Lapang Akultur. Fakultas Perikanan dan Ilmu Kelautan, Universitas Muslim Indonesia (UMI), Makassar. 45 hal.
Fattah,M.H., M. Saenong, S.R. Busaeri, dan Saidah. 2009. Standarisasi Teknologi Produksi dan Kualitas Produk Budidaya Udang Windu (Penaeus monodon Fabricius) secara Organik Berdasarkan Ketentuan Pasar Uni Eropa Hibah Bersaing. 92 hal.
Fattah, M.H., M.Saenong, Asbar, dan S.R.Busaeri. 2010. Analisis Jenis dan Kelimpahan Plankton pada Habitat Endemik untuk Pendugaan
Penyediaan Pakan Phronima Suppa (Phronima sp). Ditlitabmas Dikti, Jakarta. 89 hal.
Nurdjana,     I.M. 2005. Membangun Kembali Sang Primadona. Makala Dipresentasikan pada Seminar Nasional Udang II di Bandung, 10 September 2005. Dirjen Perikanan Budidaya DKP, Jakarta.
Rukyani, A. 2000. Masalah Penyakit Udang dan Harapan Solusinya. Sarasehan Akuakultur Nasional, Bogor.