Thursday, December 21, 2017

IMUNOSTIMULAN IKAN MAS (CYPRINUS CARPIO) DENGAN JINTAN HITAM

December 21, 2017 Posted by Media Penyuluhan Perikanan Pati 1 comment
Ikan mas ternyata punya adaptasi yang luar biasa, mampu hidup di lingkungan tanpa oksigen dalam waktu lama sekaligus bisa menoleransi kadar alkohol tinggi dalam tubuh.
Keunikan itu terungkap lewat hasil penelitian Catherine fagernes dari Universotas Oslo, Michael Berenbrink dari Universitas Bristol, dan timnya yang dipublikasikan di Scientific Report pada Jumat (11/8/2017).
Penelitian mengungkap, saat musim dingin dan miskin oksigen, ikan mas mengubah karbohidrat menjadi oksigen dan alkohol.
Metabolisme itu dimungkinkan karena adanya enzim pada ikan mas yang kemampuannya sama dengan ragi yang dipakai pada produksi wine dan bir.
"Adaptasi ini sangat langka pada dunia hewan," kata Berenbrink seperti dikutip New Scientist pada Sabtu (12/8/2017).
Klasifikasi ikan mas menurut Saanin (1984) adalah sebagai berikut:
Kingdom        : Animalia
Filum           : Chordata
Class           : Actinopterygii
Ordo               : Cypriniformes
Famili          : Cyprinidae
Genus           : Cyprinus
Spesies         : Cyprinus carpio
Tubuh ikan mas memiliki ciri-ciri antara lain: bentuk badan memanjang dan sedikit pipih ke samping, mulut terletak di ujung tengah (terminal) dan dapat disembulkan (protektil) serta dihiasi dua pasang sungut. Selain itu di dalam mulut terdapat gigi kerongkongan, dua pasang sungut ikan mas terletak di bibir bagian atas.
Gigi kerongkongan (pharyngeal teeth) terdiri atas tiga baris yang berbentuk geraham, memiliki sirip punggung (dorsal) berbentuk memanjang dan terletak di bagian permukaan tubuh, berseberangan dengan permukaan sirip perut (ventral) bagian belakang sirip punggung memiliki jari-jari keras sedangkan bagian akhir berbentuk gerigi, sirip dubur (anal) bagian belakang juga memiliki jari-jari keras dengan bagian akhir berbentuk gerigi seperti halnya sirip punggung, sirip ekor berbentuk cagak dan berukuran cukup besar dengan tipe sisik berbentuk lingkaran (cycloid) yang terletak beraturan, gurat sisik atau garis rusuk (linea lateralis) ikan mas berada di pertengahan badan dengan posisi melintang dari tutup insang sampai ke ujung belakang pangkal ekor.
Habitat
Huet, (1971) menyatakan habitat ikan mas hidup pada kolam-kolam air tawar dan danau-danau serta perairan umum lainnya. Dalam perkembangannya ikan ini sangat peka terhadap perubahan kualitas lingkungan. Ikan mas merupakan salah satu ikan yang hidup di perairan tawar yang tidak terlalu dalam dan aliran air tidak terlalu deras. Ikan mas dapat hidup baik di daerah dengan ketinggian 150600 meter di atas permukaan air laut dan pada suhu 25-30°C. Meskipun tergolong ikan air tawar, ikan mas kadang-kadang ditemukan di perairan payau atau muara sungai yang bersalinitas 25-30 ppt.
Untuk memenuhi permintaan produk perikanan yang terus meningkat, penerapan intensifikasi budidaya tidak dapat dihindarkan. Namun, intensifikasi budidaya dapat menimbulkan berbagai dampak penyakit. Salah satu kendala yang menghambat budidaya ikan mas adalah kehadiran patogen bakteri yaitu Aeromonas hydrophila. Bakteri ini menyebabkan penyakit (Motile Aeromonas Septicemia) atau penyakit bercak merah. Bakteri ini menyerang berbagai jenis ikan air tawar seperti lele dumbo, (Clarias gariepinus), ikan mas (Cyprinus carpio), gurami (Osphronemus gouramy) dan udang galah (Macrobrachium rosenbergii) dan dapat menimbulkan wabah penyakit dengan tingkat kematian tinggi (80-100%) dalam waktu 1-2 minggu.
Pengendalian bakteri ini sulit karena memiliki banyak strain dan selalu ada di air serta dapat menjadi resisten terhadap obat-obatan (Kamiso dan Triyanto 1993). Ghufron dan Kordi (2004) menyebutkan bahwa terjadi serangan bakteri Aeromonas yang menyebabkan kematian puluhan ton ikan pada tahun 1980 di Jawa Barat dan sekitarnya.
Hingga kini, metode yang banyak digunakan untuk menanggulangi penyakit pada ikan budi daya adalah pengobatan dengan zat kimia atau antibiotik. Penggunaan antibiotik dan terapi kimiawi untuk penanganan penyakit ikan pada akuakultur telah mendapatkan kritikan tajam (FAO, 2005). Penanganan yang dilakukan di tingkat petani bergantung pada antibiotik seperti Oxytetracycline, inroflaxic dan malachite green (Jangkaru, 2007) namun penggunaan antibiotik yang berlebihan dapat menyebabkan resistensi dari bakteri terhadap pengobatan.
Berkaitan dengan permasalahan tersebut, perlu ada alternatif bahan obat yang lebih aman yang dapat digunakan dalam pengendalian penyakit ikan. Salah satu alternatifnya adalah dengan menggunakan tumbuhan obat tradisional yang bersifat anti parasit, anti jamur, anti bakteri, dan anti viral. Beberapa keuntungan menggunakan tumbuhan obat tradisional antara lain relatif lebih aman, mudah diperoleh, murah, tidak menimbulkan resistensi, dan relatif tidak berbahaya terhadap lingkungan sekitarnya.
Beberapa tumbuhan obat tradisional yang diketahui dapat dimanfaatkan dalam pengendalian berbagai agen penyebab penyakit ikan adalah sirih (Piper betle L.), daun jambu biji (Psidium guajava L.), sambiloto (Andrographis paniculata). Daun sirih diketahui berdaya antioksidasi, antiseptik, bakterisida, dan fungisida. Tanaman sambiloto bersifat anti bakteri, sedangkan daun jambu biji selain bersifat anti bakteri juga bersifat anti viral.
Salah satu upaya pengobatan terhadap penyakit M.A.S. pada ikan mas adalah dengan memanfaatkan Jintan hitam (Nigella sativa) yang dapat berperan sebagai zat anti bakteri. Nigella sativa L. (Ranunculaceae) yang dikenal sebagai “black cumin” atau Habbatusauda merupakan tanaman obat namun bukan asli Indonesia karena tanaman ini tumbuh di daerah Mediterranean dan juga dibudidayakan di Turki. Biji jintan hitam telah digunakan ribuan tahun sebagai bumbu dan pengawet makanan. Kandungan minyak dan bahan yang terdapat dalam biji jintan hitam memiliki potensi sebagai obat di dunia medis tradisional (Salem, 2005). Akhir-akhir ini aktivitas biologis dari biji of Nigella sativa L. dilaporkan memiliki kemampuan antioksidan, antiinflamasi, anti-kanker dan anti mikroba. Biji Nigella sativa L. mengandung sejumlah besar minyak (Kokdil and Yilmaz 2005) dan konstituen utama dari ekstrak biji jintan hitam adalah adalah thymoquinone (Aboul-Ela 2002). Beberapa pengaruh farmakologis telah dikaitkan dengan unsur yang terkandung alam d Nigella sativa L. termasuk thymoquinone, thymohydroquinone, dithymoquinone, thymol, carvacrol, nigellicine, nigellimine-x-oxide, nigellidine dan alpha-hedrin (Aljabre et al. 2005). Kemampuan anti bakteri ekstrak jintan hitam jug dilaporkan oleh Ali et al. (2007) yang meneliti pengaruh ekstrak terhadap bakteri gram positif dan negatif.
Berdasarkan penelitian Ali et al. (2007) ekstrak ether biji jintan hitam dapat menghambat bakteri S. aureus dan M. luteus yang menghasilkan zona daya hambat masing 15 dan 12 mm. Hannan et al. (2008) melaporkan bahwa ekstrak ethanol dari jintan hitam dapat menghambat pertumbuhan bakteri Methicillin Resistant Staphylococcus aureus (MRSA).
Penelitian mengenai uji in-vitro Nigella sativa terhadap Aeromonas hydrophila baru dilakukan oleh Tumar dan Boimin (2006) yang menyimpulkan bahwa konsentrasi terendah dari Nigella sativa  yang diekstrak, menghasilkan zona daya hambat terhadap Aeromonas hydrophila  pada nilai 2 %  (20.000 ppm) dan memberikan rerata diameter zona daya hambat sebesar 6,83 mm. Tumar dan Boimin (2006) belum melakukan penelitian lebih lanjut mengenai uji LC 50 terhadap ikan air tawar sehingga toksisitas lebih lanjut dari jintan hitam terhadap ikan tidak diketahui.
Pembuatan ekstraksi jinten hitam untuk mendapatkan produk minyak jintan hitam memerlukan biaya yang cukup tinggi sehingga perlu diteliti pemanfaatan jintan hitam untuk pengobatan dengan cara yang lebih praktis. Salah satu metoda yang dapat dilakukan adalah menyiapkan rebusan jintan hitam dan memanfaatkan filtratnya untuk pengobatan ikan.  Prosedur demikian setara dengan proses penyiapan aqueous extract dan water boiled extract namun efektifitasnya perlu dikaji lebih jauh. Pengaruh jintan hitam secara langsung terhadap ikan juga perlu dikaji untuk menyarankan konsentrasi jintan hitam yang aman bagi ikan.
Tujuan Penelitian
Tujuan penelitian ini adalah mengkaji efektivitas penggunaan larutan filtrat jintan hitam (nigella sativa) dengan konsentrasi berbeda terhadap pertumbuhan  bakteri aeromonas hydrophila secara in-vitro dan uji toksisitasnya terhadap ikan mas (cyprinus carpio).
METODA PENELITIAN
Rancangan, Tempat dan Waktu Penelitian
Penelitian ini dilaksanakan di Laboratorium Bioteknologi dan Laboratorium Akuakultur Perikanan dan Ilmu Kelautan Universitas Padjajaran. Penelitian dilaksanakan pada bulan Mei 2010 sampai dengan Juni 2010.
Penyediaan Ikan
Ikan uji yang digunakan dalam penelitian toksisitas atau LC50 adalah ikan mas (Cyprinus carpio) yang berasal dari BBI Ciparay, Kabupaten Bandung. Ikan mas yang digunakan merupakan ikan dengan bobot 7 – 10 gram sebanyak  200 ekor dengan padat penebarannya 10 ekor per akuarium.
Penyediaan Jintan Hitam
Biji jintan hitam yang digunakan berasal dari Toko Babah Kuya, Jln Pasar Barat (belakang Pasar Baru Bandung) dalam bentuk tepung halus  sebanyak  1 kg.
Bakteri Patogen
Bakteri patogen yang digunakan adalah Aeromonas hydrophila yang berasal dari Balai Riset Perikanan Budidaya Air Tawar, Bogor dengan kode isolat AH-26. Kepadatan bakteri sejumlah 108 CFU/ml ditentukan dengan spektrofotometer. Asumsi bakteri sejumlah 109 CFU/ml ditentukan dengan panjang gelombang 595 nm dan nilai O.D. harus sama dengan 0,424 (Wichaksana et al. 2003).
Media Tumbuh
Media tumbuh yang digunakan untuk kultur dan uji in-vitro adalah Triptic Soy Agar
(TSA) merk dagang DIFCO dengan dosis pembuatan 40 gram/L aquades dan Triptic Soy Broth (TSB) merk dagang DIFCO dengan dosis pembuatan 30 gram/L.
Alat Bantu Penelitian
Alat-alat bantu yang digunakan dalam penelitian adalah sebagai berikut:
•    Autoclave untuk mensterilkan media bakteri dan peralatan lainnya
•    Hot plates dan stir plates untuk memanaskan media bakteri
•    Magnetic stirrer untuk mengaduk larutan media bakteri
•    Petri dish sebanyak 10 buah sebagai wadah uji
•    Jarum ose sebanyak 1 buah untuk mengambil dan menginokulasikan bakteri
•    L glass untuk meratakan bakteri
•    Kertas saring Whatman no. 42 dengan diameter 5 mm yang berfungsi sebagai kertas cakram untuk menentukan zona bening
•    Parafilm sebagai segel cawan petri untuk mencegah kontaminasi
•    Pembakar bunsen untuk mensterilkan udara pada saat inokulasi bakteri
•    Inkubator untuk inkubasi bakteri
•    Jangka sorong digital dengan ketelitian 0,1 mm sebanyak 1 buah untuk mengukur zona bening yang terbentuk
•    Laminar flow sebagai ruang untuk menginokulasi bakteri
•    Timbangan digital untuk menimbang berat simplisia biji jintan hitam, media agar TSA dan media TSB
•    Vortex mixer untuk homogenisasi larutan simplisia biji jintan hitam
•    Mikro pipet merk Eppndorf dengan ketelitian 100 µL-1000µL
•    Disposable mikro pipet tips
•    Rak tabung reaksi
•    Kapas
•    Alumunium foil
•    Plastik tahan panas
•    Plastik wrap
•    Botol Schoot merk Duran vol. 50 ml 1 buah dan vol 25 ml 2 buah sebagai wadah pencampuran larutan dengan media
•    Tabung reaksi merk Pyrex sebanyak 20 buah sebagai wadah larutan simplisia biji jintan hitam sesuai konsentrasi uji
•    Petri dish merk Pyrex sebanyak 20 buah sebagai wadah uji
•    Tabung Corning 15 ml sebanyak 20 buah sebagai peralatan homogenisasi larutan simplisia dan larutan bakteri
•    Mikro pipet dengan EppEndorf dengan ketelitian 100 µL-1000 µL sebanyak 1 buah untuk mengambil bakteri
•    Cuvette plastik ukuran 2 ml sebanyak 10 buah untuk kelengkapan analisis spektofotometer

Peralatan yang digunakan untuk uji in vivo LC50:
•    Akuarium sebagai wadah penelitian sejumlah 20 buah, masing-masing berukuran 38cm x 23cm x 20 cm.
•    Bak fiber volume 500L sebanyak 2 buah digunakan untuk penampung ikan
•    Bak fiber volume 1000L sebanyak 1 buah digunakan untuk wadah penampung air
•    Aerator, selang aerasi dan batu aerasi untuk memasok O2 pada setiap akuarium dan bak fiber
•    Serokan sebanyak 1 buah untuk mengambil ikan mas
•    Timbangan digital untuk menimbang berat ikan dan simplisia biji jintan hitam
•    Tabung elemeyer sebanyak 15 buah sebagai wadah simplisia biji jintan hitam
 Pelaksanaan Penelitian
Uji In-vitro
Uji in-vitro yang dilakukan terdiri dari uji zona daya hambat dan uji Minimum Inhibition Concentration (MIC).
Uji zona daya hambat dilakukan untuk mengetahui kemampuan dari filtrat simplisia biji jintan hitam sebagai antibakteri dalam menghambat metabolisme Aeromonas hydropilla. Uji sensitivitas obat dilakukan dengan menggunakan kertas cakram diameter 5 mm dibuat dari kertas saring whatman no.4 2 dan direndam dalam larutan jintan hitam pada konsentrasi 500 ppm, 1000 ppm, 5000 ppm, 10.000 ppm dan 20.000 ppm selama 24 jam.
Peralatan dan bahan yang digunakan untuk uji zona daya hambat disterilisasi terlebih dahulu dengan autoclave. Metode pengerjaan dilakukan secara steril di ruang laminar flow untuk mencegah kontaminasi. Kertas saring Whatman dengan diameter 0,5 cm yang telah direndam pada larutan filtrat simplisia jintan hitam (Nigella sativa) selama 24 jam dipersiapkan lalu diletakan diatas media petri dish agar TSA yang telah diinokulasi dengan bakteri Aeromonas hydrophila sebanyak 0,5 ml dengan kepadatan 108 CFU/ml. Masing-masing  perlakuan konsentrasi diulang 2 kali. Petri dish kemudian diinkubasikan selama 24 jam pada suhu 350C dalam inkubator. Diameter zona hambatan yang dihasilkan pada uji ini kemudian diamati.
 Uji     MIC     (Minimum     Inhibitory     Concentration)dan     Uji     MBC     (Minimum     Bactericidal Concentration)
Uji MIC dilakukan untuk mengetahui dosis minimum yang dapat digunakan untuk menghambat pertumbuhan bakteri Aeromonas hydrophila dengan menggunakan filtrat simplisia biji jintan hitam. Sebanyak 1 ml tryptic soy broth ditambahkan pada setiap tabung uji. Sejumlah 1ml filtrat yang disiapkan untuk dimasukan ke dalam tabung reaksi berbeda dari segi konsentrasi dan disesuaikan dengan  perlakuan yaitu konsentrasi filtrat simplisia biji jintan hitam 250 ppm, 500 ppm, 750 ppm, 1000 ppm, 1500 ppm, kontrol positif (dengan bakteri dan tanpa jintan hitam) dan kontrol negatif (tanpa bakteri dan tanpa jintan hitam). Perlakuan tersebut diulang sebanyak dua kali.
Pengamatan MIC dilakukan dengan pengamatan kualitatif yaitu dengan melihat adanya kekeruhan pada media sebagai indikasi adanya pertumbuhan bakteri setelah 24 jam inkubasi pada suhu 370C dan bila medianya bening diindikasikan tidak ada pertumbuhan bakteri.
Pengamatan lanjutan dari MIC adalah pengamatan Minimum Bactericidal Concentration (MBC). Pada uji MBC, sebanyak 0,7 ml dari setiap tabung perlakuan MIC diinokulasikan pada agar untuk membuktikan adanya pertumbuhan bakteri.
Persiapan untuk melakukan penelitian ini termasuk persiapan alat dan media agar yang dibutuhkan kemudian di autoclave agar alat dan bahan seperti agar dan NaCl dapat menjadi steril. Media agar Triptic Soy Agar yang telah di autoclave didiamkan hingga hangat kuku, lalu dituang ke dalam petri dish steril hingga rata keseluruh permukaan petri dish kemudian disimpan  selama 24  jam pada suhu rendah. Larutan filtrat simplisia biji jintan hitam dipersiapkan dengan menimbang bubuk jintan hitam sesuai konsentrasi yang diinginkan dan kemudian dimasukkan pada media aquadest steril dalam erlenmeyer dengan volume 250 ml. Hasil campuran bubuk dengan aquadest kemudian dipanaskan selama 15 menit pada suhu 600C kemudian disaring dengan kertas saring kasar.
Bakteri Aeromonas hydrophila yang akan digunakan diencerkan dengan larutan NaCl fisiologis 0,85%. Larutan bakteri hasil pengenceran dicampur dengan larutan jintan hitam sesuai konsentrasi perlakuan
Media agar kemudian diinkubasi selama 24 jam lalu dihitung koloni bakterinya. Koloni yang dapat dihitung antara 30-300 koloni (Lukistyowati 2000, dalam Hudanullah 2010)
 Uji in vivo LC50 (Lethal Concentration 50%) Perendaman Larutan Simplisia Biji Jintan Hitam Terhadap Ikan Mas (Cyprinus carpio)
 Uji LC50 perendaman larutan filtrat simplisia biji jintan hitam dilakukan untuk mendapatkan konsentrasi larutan herbal dengan mortalitas ikan mas sebanyak 50% selama 24 jam.  Perlakuan pada uji LC50 dilakukan dengan dua ulangan yaitu 250 ppm, 500 ppm, 750 ppm, 1000 ppm, 1500 ppm dan 2500 ppm.
Sebelum dilakukan uji LC50 ikan mas terlebih dahulu diaklimatisasi selama 2 hari dalam bak fiber dengan volume 100 liter diberi pakan pelet secara sekenyangnya. Ikan uji disortir untuk mendapatkan ukuran dan berat yang seragam. Kemudian dimasukan ke dalam wadah perlakuan berupa akuarium dengan padat penebaran 10 ekor/akuarium yang berisi 10 L air. Akuarium diisi larutan filtrat simplisia biji jintan hitam sesuai perlakuan.  Ikan diamati selama 48 jam dan data kematian ikan selama 24 jam dan 48 jam dicatat sebagai data awal untuk mengolah nilai LC50  Analisis Data
Data tentang zona daya hambat diambil dari pengukuran zona bening yang diakibatkan oleh larutan jintan hitam (Nigella sativa) akibat yang diukur dengan jangka sorong digital. Kelangsungan hidup ikan dalam uji LC50 dianalisis melalui program Probit Analysis menggunakan software dari US Environmental Protection Agency (US EPA).
 HASIL DAN PEMBAHASAN
Uji zona daya hambat
 Hasil penelitian uji antimikroba (Tabel 1) dari larutan biji filtrat jintan hitam menunjukkan potensi larutan tersebut sebagai anti mikroba walaupun bukan dalam bentuk ekstraksi minyak jintan hitam.  Diameter hambat yang diperoleh menunjukkan bahwa terdapat sifat anti mikroba pada larutan jinten hitam dengan konsentrasi 0 ppm, 500 ppm, 1000 ppm, 5000 ppm, 10.000 ppm dan 20.000 ppm. Pertumbuhan Aeromonas hydrophila di seputar kertas cakram mengalami hambatan dikarenakan adanya zat anti mikroba dalam larutan filtrat tersebut. Zat anti mikroba yang bekerja dapat berupa thymoquinone namun senyawa tersebut lebih banyak ditemui pada hasil ekstraksi berupa minyak (Al Mofleh et al. 2010). Pada filtrat biji jintan hitam, diduga senyawa ini tetap hadir walaupun dalam jumlah sedikit, akan tetapi pengaruh dari ssenyawa lain seperti tanin juga patut dipertimbangkan.
 Tabel 1. Data Hasi Uji Zona Daya Hambat
Kepadatan bakteri 109
CFU/ml     Rerata Zona Daya Hambat (mm) pada Konsentrasi
(ppm)
    0
ppm     500 ppm     1000 ppm     5000 ppm     10.000 ppm     20.000 ppm
Ulangan 1     0     9,08     9,6     11     10,94     9,7
Ulangan 2     0     9,5     9,58     11,28     11,04     9,8
Rata-rata     0     9,29     9,59     11,14     10,99     9,75
Senyawa yang diduga bersifat antimikroba yang terkandung dalam filtrat jintan hitam, diduga tetap bertahan melewati salah satu proses pembuatan filtrat yaitu dengan merebus jintan hitam. Senyawa yang definitif belum diketahui mengingat tidak dilakukan uji lanjut namun Hosseinzadeh et al. (2007) menyatakan bahwa kandungan biji jintan hitam antara lain 36-38% minyak, protein, alkaloid, saponin dan 0.4-2.5% minyak essensial. Ardiansyah (2007) mengatakan bahwa secara umum mekanisme penghambatan mikroorganisme oleh senyawa antimikroba dapat disebabkan oleh beberapa faktor yaitu gangguan pada senyawa penyusun dinding bakteri, peningkatan permeabilitas membran sel yang dapat meenyebabkan kehilangan komponen penyusun sel, menginaktivasi enzim, dan destruski atau kerusakan fungsi material genetik.
Dari beberapa senyawa  yang terkandung dalam Jintan hitam tersebut tanin diduga sebagai senyawa antimikroba dikarenakan mempunyai sifat sebagai pengelat berefek spasmolitik. Efek spasmolitik dapat mengkerutkan dinding sel bakteri Aeromonas hydrophila sehingga sel bakteri terganggu permeabilitasnya (Ajizah, 2004). Masduki (1996) menyatakan bahwa tanin juga mempunyai daya anti bakteri dengan cara mempresipitasikan protein, karena diduga tanin mempunyai efek yang sama dengan senyawa fenolat. Secara umum efek anti bakteri tanin antara lain reaksi dengan membran sel, inaktivasi enzim dan destruksi atau inaktivasi fungsi materi genetik bakteri.
Senyawa alkaloid yang terkandung dalam biji jintan hitam diperkirakan mempengaruhi hambatan terhadap pertumbuhan Aeromonas hydrophila. Alkaloid dapat menganggu bakteri dengan cara menganggu terbentuknya jembatan silang komponen penyusun peptidoglikan pada sel bakteri, sehingga lapisan dinding sel tidak terbentuk secara utuh dan menyebabkan kematian sel tersebut (Robinson, 2005).
Uji Minimum Inhibition Concentration
Uji MIC pada tabung reaksi menunjukkan bahwa konsentrasi 1000 ppm dan 1500 ppm dapat menghambat pertumbuhan bakteri, sementara pada konsentrasi filtrat simplisia biji jintan hitam 250 ppm, 500 ppm, 750 ppm dan kontrol positif (dengan bakteri dan tanpa jintan hitam) menunjukkan gejala kekeruhan. Dari hasil pengamatan ini, konsentrasi 1000 ppm menjadi konsentrasi minimal untuk menghambat pertumbuhan bakteri Aeromonas hydrophila. Minimum inhibitory concentration (MIC) didefinisikan sebagai nilai terendah dari konsentrasi antimikroba yang akan menghambat pertumbuhan mikro-organisme setelah inkubasi 24 jam (Andrews, 2001). Pada uji zona daya hambat, konsentrasi filtrat jintan hitam sebanyak 500 ppm menghasilkan zona bening sehingga diduga konsentrasi filtrat bersifat antibiotik. namun ternyata pada metoda MIC, daya anti mikroba dari jintan hitam tidak tercapai dikarenakan terdapat pertumbuhan bakteri (ditandai dengan kekeruhan) pada tabung reaksi.
Uji Minimum Bactericidal Concentration
Uji MBC didefinisikan sebagai konsentrasi antimikroba terendah yang dapat membunuh organisme sehingga tidak dapat dikultur kembali pada media agar yang bebas antibiotik (Andrews, 2001).
Dari setiap tabung perlakuan uji MIC, diambil air media perlakuan untuk dikultur pada agar media TSA. Ternyata dari pengamatan konsentrasi 1000 ppm hingga 1500 ppm belum dapat menjadi bacterisidal ampuh atau pembunuh bakteri. Hal ini dilihat dari proses pertumbuhan bakteri dari setiap petridish yang menunjukkan pertumbuhan hingga lebih dari 300 koloni. Dapat diasumsikan bahwa walaupun bahan filtrat jintan hitam bersifat sebagai anti mikroba dengan cara menghambat pertumbuhan mikroba namun belum sepenuhnya bersifat sebagai bakterisidal.
Uji LC 50 Berbagai Konsentrasi Larutan Filtrat Jintan Hitam terhadap Ikan Mas
Ikan mas (Cyprinus carpio L.) dapat digunakan sebagai hewan uji hayati karena sangat peka terhadap perubahan lingkungan (Sudarmadi, 1993). Di Indonesia ikan yang termasuk famili Cyprinidae ini termasuk ikan yang populer dan paling banyak dipelihara akyat, r serta mempunyai nilai ekonomis. Ikan mas sangat peka terhadap faktor lingkungan pada umur lebih kurang tiga bulan dengan ukuran 8-12 cm. (Sudarmadi, 1993).
Berdasarkan hasil pengamatan LC50 selama 24 jam (Lampiran 1), diketahui bahwa larutan filtrat jintan hitam dapat mematikan seluruh ikan pada konsentrasi 9019 ppm dan nilai LC50 adalah 2603 ppm. Adapun dosis yang aman untuk perendaman ikan dengan larutan filtrat selama 24 jam adalah pada konsentrasi 751,407 ppm.
Pemakaian konsentrasi larutan filtrat yang berlebihan dapat berdampak negatif bagi ikan. Dari hasil pengamatan larutan filtrat jintan hitam terasa pahit dan hal ini mungkin disebabkan oleh kandungan Nigellin (Saeed, 1969) yang merupakan komponen alkaloid.
Ikan dapat menunjukkan reaksi terhadap perubahan fisik air maupun terhadap adanya senyawa yang terlarut dalam batas konsentrasi tertentu. Reaksi ini dapat ditunjukkan dalam percobaan di laboratorium, di mana terjadi perubahan aktivitas pernafasan yang besarnya perubahan diukur atas dasar irama membuka dan menutupnya rongga “Buccal” dan ofer kulum (Mark, 1981). Dari hasil pengamatan larutan filtrat dengan dosis yang tertinggi (2500 ppm) dapat mempengaruhi perubahan aktivitas ikan yaitu meningkatnya aktivitas pernafasan. Melalui uji selama 24 jam, dosis 2500 ppm ternyata menyebabkan kematian ikan. Hal ini diduga karena senyawa nigellin yang berlebihan dan terasa pahit menganggu laju pernafasan dan proses fisiologis dari ikan.
KESIMPULAN DAN SARAN
Kemampuan filtrat simplisia biji jintan hitam (Nigella sativa) untuk mengobati ikan yang terserang patogen bakteri Aeromonas hydrophila perlu diuji coba lebih lanjut mengingat terdapatnya hasil positif pada zona daya hambat dan MIC namun aplikasi pengobatan ikan perlu memperhatikan aspek toksisitas biji jintan hitam terhadap ikan mas (Cyprinus carpio).
Terkait dengan penelitian yang telah dilakukan maka konsentrasi filtrat simplisia biji jintan hitam yang aman untuk diaplikasikan pada ikan adalah pada konsentrasi 751 ppm. Penelitian lebih lanjut perlu dilakukan untuk mengetahui konsentrasi dan lama perendaman yang optimal untuk pengobatan ikan.
ACUAN PUSTAKA
Aboul-Ela E.I. (2002). Cytogenetic studies on Nigella sativa seeds extract and thymoquinone on mouse cells infected with schistosomiasis using karyotyping. Mutation Research, 516: 1117.
Ajizah, A. (2004). Sensitivitas Salmonella Typhimurium Terhadap Ekstrak Daun Psidium guajava L. BIOSCIENTIAE. Volume 1, Nomor 1, Januari 2004. Halaman 31-38. Program Studi Pendidikan Biologi FKIP Universitas Lambung Mangkurat: Banjarmasin.
Al Mofleh IA, Alhaider AA, Mossa JS, Al-Sohaibani MO, Al-Yahya MA, Rafatullah S, Shaik SA. (2008). Gastroprotective effect of an aqueous suspension of black cumin  Nigella sativa on necrotizing agents-induced gastric injury in experimental animals. Saudi J Gastroenterol 2008;14:128-34
Ali, O., Basbulbul, G. dan Aydin T. (2007). Antimitotic and antibacterial effects of the Nigella sativa L. Seed.  CARYOLOGIA Vol. 60, no. 3: 270-272.
Aljabre S.H.M., Randhawa M.A., Akhtar N., Alakloby O.M., Alqurashi A.M. and Aldossary A.,  (2005). Antidermatophyte activity of ether extract of Nigella sativa and its active principle, thymoquinone. Journal of Ethnopharmacology, 101: 116-119.
Andrews, J. M. (2001). Determination of minimum inhibitory concentrations. Journal of Antimicrobial Chemotherapy (2001) 48, 5-16.
Ardiansyah. (2007). Antimikroba dari Tumbuhan (Online) (www.beritaiptek.com, diakses tanggal 12 Desember 2009)
Bi.go.id. (2010). Usaha Budidaya Pembesaran Ikan Nila. Diakses dari
http://www.bi.go.id/sipuk/id/?id=4&no=42201&idrb=48401
FAO, (2005). Responsible use of antibiotics in aquaculture. FAO Fisheries Technical Paper, Rome, FAO. 2005. 97 p.
Ghufron, M dan Kordi, K. (2004).   Penanggulangan Hama dan Penyakit Ikan. Rineka Cipta. 204 hal.
Hannan A, Saleem S, Chaudhary S, Barkaat M, Arshad MU. (2008). Anti bacterial activity of Nigella sativa against clinical isolates of methicillin resistant Staphylococcus aureus. J Ayub Med Coll Abbottabad. Jul-Sep; 20 (3):72-4.
Hosseinzadeh, H., S. Parvardeh, M.N. Asl, H.R. Sadeghnia and T. Ziaee, (2007). Effect of thymoquinone and Nigella sativa seeds oil on lipid peroxidation level during global cerebral ischemia-reperfusion injury in rat hippocampus. Phytomedicine, 14: 621-627. DOI: 10.1016/j.phymed.2006.12.005
Jangkaru, Z. (2004). Pembesaran Ikan Air Tawar di Berbagai Lingkungan Pemeliharaan. Penebar Swadaya. Jakarta.
Kokdil G. dan Yilmaz H. 2005( ). Analysis of the fixed oils of the genus Nigella L.(Ranunculaceae) in Turkey. Biochemical Systematics and Ecology, 33:1203-1209.
Mark, Jr. H.B. 1981. Water Quality Measurement The Modern Analytical Techniques. Departments of Chemistry of Cincinate. Ohio.
Masduki, I. (1996). Efek Antibakteri Ekstrak Biji Pinang (Areca catechu) terhadap S. aureus dan E. coli. Cermin Dunia Kedokteran 109:21-24.
Robinson, T. 1991. Kandungan Organik Tumbuhan Tinggi. ITB Bandung
Saeed, M., 1969. Hamdard Pharmacopoeia of Eastern Medicine. Hamdard Foundation, Karachi,
Pakistan
Salem M.L. (2005) Immunomodulatory and therapeutic properties of the Nigella sativa L. seed.
Int. Immunopharmacol. 5(13-14):1749-70
Sudarmadi, S. 1993. Toksiologi limbah pabrik kulit terhadap Cyprinus carpio L. dan  kerusakan insang. Jurnal Lingkungan dan Pembangunan 13;4 : hal. 247 – 260. Jakarta.
Sugianti, B. (2005). Pemanfaatan Tumbuhan Obat Tradisional dalam Pengendalian Penyakit Ikan. Makalah Falsafah Sains. Bogor.
Tumar dan Boimin. (2006). Efektifitas penggunaan jinten hitam (nigella sativa) dengan konsentrasi yang berbeda terhadap pertumbuhan bakteri aeromonas hydrophila secara in vitro. Prosiding SEMNASKAN UGM 2006.
Wichaksana, S., Winarno, K. dan Susilowati, A. (2003). Pengaruh Ekstrak Daun Mimba (Azadirachta indica A. Juss) erhadapt Penurunan Mortalitas Lele Dumbo (Clarias gariepinus) akibat Infeksi Aeromonas hydrophila. ENVIRO 3 (1): 28-35, Maret 2003

Monday, December 11, 2017

EKOLOGI PERAIRAN YANG MEMILIKI ARTI PENTING BAGI KEHIDUPAN

December 11, 2017 Posted by Media Penyuluhan Perikanan Pati 1 comment
Ekologi perairan merupakan cabang ilmu mengenai lingkungan yang fokus mempelajari interaksi atau hubungan timbal balik antara organisme di perairan dengan lingkungannya. Lingkungan sangat berpengaruh sebab ia memegang peranan dalam menciptakan kenyamana hidup organisme di perairan. Faktor-faktor yang ada di lingkungan adalah faktor fisika mencakup kecerahan, suhu, arus dan lain-lain. Faktor kimia antara lain pH, Do, sementara itu faktor biologi antara lain sifat plankton, substrat dan masih banyak lagi lainnya. Seseorang yang mempelajari ekologi perairan diharapkan bisa dan mampu mengidentifikasi hubungan timbal balik lingkungan dan organisme di perairan.
Ekologi perairan ini mencakup banyak lingkup antara lain ekologi perairan tawar, ekologi perairan laut, ekologi perairan kolam, ekologi perairan tambak dan semua ekosistem yang melibatkan air sebagai komponen abiotik. Di dalam ekosistem perairan baik itu tawar, pesisir maupun lautan, ada beragam jasad hidup atau biotik juga abiotik yang tak bisa dipisahkan satu sama lainnya. Mereka saling terkait dan memungkinkan terjadinya pertukaran zat atau energi di antara kedua komponen tersebut. Hampir 70% bumi ini merupakan wilayah perairan, dengan demikian, mempelajari ekologi perairan adalah hal yang sangat penting sebab dengan mengidentifikasi komponen abiotik dan biotik tersebut manusia bisa memperoleh manfaat yang optimal dari perairan tersebut.
Ekologi berasal dari bahasa Yunani, yangterdiri dari dua kata, yaitu oikos yang artinya rumah atau tempat hidup, dan logos yang berarti ilmu. Ekologi diartikan sebagai ilmu yang mempelajari baik interaksi antar makhluk hidup maupun interaksi antara makhluk hidup dan lingkungannya
Dalam ekologi, kita mempelajari makhluk hidup sebagai kesatuan atau sistem dengan lingkungannya. Definisi ekologi seperti di atas, pertama kali disampaikan oleh Ernest Haeckel (zoologiwan Jerman, 1834-1914).
Ekologi adalah cabang ilmu biologi yangbanyak memanfaatkan informasi dari berbagai ilmu pengetahuan lain, seperti : kimia, fisika, geologi, dan klimatologi untuk pembahasannya. Penerapan ekologi di bidang pertanian dan perkebunan di antaranya adalah penggunaan kontrol biologi untuk pengendalian populasi hama guna meningkatkan produktivitas.
Ekologi berkepentingan dalam menyelidiki interaksi organisme dengan lingkungannya. Pengamatan ini bertujuan untuk menemukan prinsip-prinsip yang terkandung dalam hubungan timbal balik tersebut.
Dalam studi ekologi digunakan metoda pendekatan secara rnenyeluruh pada komponen-kornponen yang berkaitan dalam suatu sistem. Ruang lingkup ekologi berkisar pada tingkat populasi, komunitas, dan ekosistem.
Pembahasan ekologi tidak lepas dari pembahasan ekosistem dengan berbagai komponen penyusunnya, yaitu faktor abiotik dan biotik. Faktora biotik antara lain suhu, air, kelembapan, cahaya, dan topografi, sedangkan faktor biotik adalah makhluk hidup yang terdiri dari manusia, hewan, tumbuhan, dan mikroba. Ekologi juga berhubungan erat dengan tingkatan-tingkatan organisasi makhluk hidup, yaitu populasi, komunitas, dan ekosistem yang saling mempengaruhi dan merupakan suatu sistem yang menunjukkan kesatuan.
Faktor Biotik
Faktor biotik adalah faktor hidup yang meliputi semua makhluk hidup di bumi, baik tumbuhan maupun hewan. Dalam ekosistem, tumbuhan berperan sebagai produsen, hewan berperan sebagai konsumen, dan mikroorganisme berperan sebagai dekomposer.
Faktor biotik juga meliputi tingkatan-tingkatan organisme yang meliputi individu, populasi, komunitas, ekosistem, dan biosfer. Tingkatan-tingkatan organisme makhluk hidup tersebut dalam ekosistem akan saling berinteraksi, saling mempengaruhi membentuk suatu sistemyang menunjukkan kesatuan. Secara lebih terperinci, tingkatan organisasi makhluk hidup adalah sebagai berikut.
A. Individu
Individu merupakan organisme tunggal seperti : seekor tikus, seekor kucing, sebatang pohon jambu, sebatang pohon kelapa, dan seorang manusia. Dalam mempertahankan hidup, seti jenis dihadapkan pada masalah-masalah hidup yang kritis. Misalnya, seekor hewan harus mendapatkan makanan, mempertahankan diri terhadap musuh alaminya, serta memelihara anaknya. Untuk mengatasi masalah tersebut, organisme harus memiliki struktur khusus seperti : duri, sayap, kantung, atau tanduk. Hewan juga memperlihatkan tingkah laku tertentu, seperti membuat sarang atau melakukan migrasi yang jauh untuk mencari makanan. Struktur dan tingkah laku demikian disebut adaptasi.
Ada bermacam-macam adaptasi makhluk hidup terhadap lingkungannya, yaitu: adaptasi morfologi, adaptasi fisiologi, dan adaptasi tingkah laku.
1. Adaptasi morfologi
Adaptasi morfologi merupakan penyesuaian bentuk tubuh untuk kelangsungan hidupnya. Contoh adaptasi morfologi, antara lain sebagai berikut.
a. Gigi-gigi khusus
Gigi hewan karnivora atau pemakan daging beradaptasi menjadi empat gigi taring besar dan runcing untuk menangkap mangsa, serta gigi geraham dengan ujung pemotong yang tajam untuk mencabik-cabik mangsanya. Lihat Gambar 6.5.
b. Moncong
Trenggiling besar adalah hewan menyusui yang hidup di hutan rimba Amerika Tengah dan Selatan. Makanan trenggiling adalah semut, rayap, dan serangga lain yang merayap. Hewan ini mempunyai moncong panjang dengan ujung mulut kecil tak bergigi dengan lubang berbentuk celah kecil untuk mengisap semut dari sarangnya. Hewan ini mempunyai lidah panjang dan bergetah yangdapat dijulurkan jauh keluar mulut untuk menangkap serangga.
c. Paruh
Elang memiliki paruh yang kuat dengan rahang atas yang melengkung dan ujungnya tajam. Fungsi paruh untuk mencengkeram korbannya. Perhatikan Gambar 6.7
d. Daun
Tumbuhan insektivora (tumbuhan pemakan serangga), misalnya kantong semar, memiliki daun yang berbentuk piala dengan permukaan dalam yang licin sehingga dapat menggelincirkan serangga yang hinggap. Dengan enzim yang dimiliki tumbuhan insektivora, serangga tersebut akan dilumatkan, sehingga tumbuhan ini memperoleh unsur yang diperlukan.
e. Akar
Akar tumbuhan gurun kuat dan panjang,berfungsi untuk menyerap air yang terdapat jauh di dalam tanah. Sedangkan akar hawa pada tumbuhan bakau untuk bernapas.
2. Adaptasi fsiologi
Adaptasi fisiologi merupakan penyesuaian fungsi fisiologi tubuh untuk mempertahankan hidupnya. Contohnya adalah sebagai berikut.
a. Kelenjar bau
Musang dapat mensekresikan bau busukdengan cara menyemprotkan cairan melalui sisi lubang dubur. Sekret tersebut berfungsi untuk menghindarkan diri dari musuhnya.
b. Kantong tinta
Cumi-cumi dan gurita memiliki kantong tinta yang berisi cairan hitam. Bila musuh datang, tinta disemprotkan ke dalam air sekitarnya sehingga musuh tidak dapat melihat kedudukan cumi-cumi dan gurita.
c. Mimikri pada kadal
Kulit kadal dapat berubah warna karena pigmen yang dikandungnya. Perubahan warna ini dipengaruhi oleh faktor dalam berupa hormon dan faktor luar berupa suhu serta keadaan sekitarnya.
3. Adaptasi tingkah laku
Adaptasi tingkah laku merupakan adaptasi yang didasarkan pada tingkah laku. Contohnya sebagai berikut :
a. Pura-pura tidur atau mati
Beberapa hewan berpura-pura tidur atau mati, misalnya tupai Virginia. Hewan ini sering berbaring tidak berdaya dengan mata tertutup bila didekati seekor anjing.
b. Migrasi
Ikan salem raja di Amerika Utara melakukan migrasi untuk mencari tempat yang sesuai untuk bertelur. Ikan ini hidup di laut. Setiap tahun, ikan salem dewasa yang berumur empat sampai tujuh tahun berkumpul di teluk disepanjang Pantai Barat Amerika Utara untuk menuju ke sungai. Saat di sungai, ikan salem jantan mengeluarkan sperma di atas telur-telur ikan betinanya. Setelah itu ikan dewasa biasanya mati. Telur yang telah menetas untuk sementara tinggal di air tawar. Setelah menjadi lebih besar mereka bergerak ke bagian hilir dan akhirnya ke laut.
B. Populasi
Kumpulan individu sejenis yang hidup pada suatu daerah dan waktu tertentu disebut populasi Misalnya, populasi pohon kelapa dikelurahan Tegakan pada tahun 1989 berjumlah 2552 batang.
Ukuran populasi berubah sepanjang waktu. Perubahan ukuran dalam populasi ini disebut dinamika populasi. Perubahan ini dapat dihitung dengan menggunakan rumus perubahan jumlah dibagi waktu. Hasilnya adalah kecepatan perubahan dalam populasi.
Dari rumus hitungan di atas kita dapatkan kesimpulan bahwa rata-rata berkurangnya pohon tiap tahun adalah 20 batang. Akan tetapi, perlu diingat bahwa penyebab kecepatan rata-rata dinamika populasi ada berbagai hal. Dari alam mungkin disebabkan oleh bencana alam, kebakaran, serangan penyakit, sedangkan dari manusia misalnya karena tebang pilih. Namun, pada dasarnya populasi mempunyai karakteristik yang khas untuk kelompoknya yang tidak dimiliki oleh masing-masing individu anggotanya. Karakteristik iniantara lain : kepadatan (densitas), laju kelahiran (natalitas), laju kematian (mortalitas), potensi biotik, penyebaran umur, dan bentuk pertumbuhan. Natalitas danmortalitas merupakan penentu utama pertumbuhan populasi.
Dinamika populasi dapat juga disebabkan imigrasi dan emigrasi. Hal ini khusus untuk organisme yang dapat bergerak, misalnyahewan dan manusia. Imigrasi adalahperpindahan satu atau lebih organisme kedaerah lain atau peristiwa didatanginya suatu daerah oleh satu atau lebih organisme; didaerah yang didatangi sudah terdapat kelompok dari jenisnya. Imigrasi ini akan meningkatkan populasi.
Emigrasi adalah peristiwa ditinggalkannya suatu daerah oleh satu atau lebih organisme, sehingga populasi akan menurun. Secara garis besar, imigrasi dan natalitas akan meningkatkan jumlah populasi, sedangkan mortalitas dan emigrasi akan menurunkan jumlah populasi. Populasi hewan atau tumbuhan dapat berubah, namun perubahan tidak selalu menyolok. Pertambahan atau penurunan populasi dapat menyolok bila ada gangguan drastis dari lingkungannya, misalnya adanya penyakit, bencana alam, dan wabah hama.
C. Komunitas
Komunitas ialah kumpulan dari berbagai populasi yang hidup pada suatu waktu dan daerah tertentu yang saling berinteraksi dan mempengaruhi satu sama lain. Komunitas memiliki derajat keterpaduan yang lebih kompleks bila dibandingkan dengan individu dan populasi.
Dalam komunitas, semua organisme merupakan bagian dari komunitas dan antara komponennya saling berhubungan melalui keragaman interaksinya.
D. Ekosistem
Antara komunitas dan lingkungannya selalu terjadi interaksi. Interaksi ini menciptakan kesatuan ekologi yang disebut ekosistem. Komponen penyusun ekosistem adalah produsen (tumbuhan hijau), konsumen (herbivora, karnivora, dan omnivora), dan dekomposer/pengurai (mikroorganisme).
Faktor Abiotik
Faktor abiotik adalah faktor tak hidup yang meliputi faktor fisik dan kimia. Faktor fisik utama yang mempengaruhi ekosistem adalah sebagai berikut.
a. Suhu
Suhu berpengaruh terhadap ekosistem karena suhu merupakan syarat yang diperlukan organisme untuk hidup. Ada jenis-jenis organisme yang hanya dapat hidup pada kisaran suhu tertentu.
b. Sinar matahari
Sinar matahari mempengaruhi ekosistem secara global karena matahari menentukan suhu. Sinar matahari juga merupakan unsur vital yang dibutuhkan oleh tumbuhan sebagai produsen untuk berfotosintesis.
c. Air
Air berpengaruh terhadap ekosistem karena air dibutuhkan untuk kelangsungan hidup organisme. Bagi tumbuhan, air diperlukan dalam pertumbuhan, perkecambahan, dan penyebaran biji; bagi hewan dan manusia, air diperlukan sebagai air minum dan sarana hidup lain, misalnya transportasi bagi manusia, dan tempat hidup bagi ikan. Bagi unsur abiotik lain, misalnya tanah dan batuan, air diperlukan sebagai pelarut dan pelapuk.
d. Tanah
Tanah merupakan tempat hidup bagi organisme. Jenis tanah yang berbeda menyebabkan organisme yang hidup didalamnya juga berbeda. Tanah juga menyediakan unsur-unsur penting bagi pertumbuhan organisme, terutama tumbuhan.
e. Ketinggian
Ketinggian tempat menentukan jenis organisme yang hidup di tempat tersebut, karena ketinggian yang berbeda akan menghasilkan kondisi fisik dan kimia yang berbeda.
f. Angin
Angin selain berperan dalam menentukan kelembapan juga berperan dalam penyebaran biji tumbuhan tertentu.
g. Garis lintang
Garis lintang yang berbeda menunjukkan kondisi lingkungan yang berbeda pula. Garis lintang secara tak langsung menyebabkan perbedaan distribusi organisme di permukaan bumi. Ada organisme yang mampu hidup pada garis lintang tertentu saja.
Interaksi antarkomponen ekologi dapatmerupakan interaksi antarorganisme,antarpopulasi, dan antarkomunitas.
A. Interaksi antar organisme
Semua makhluk hidup selalu bergantung kepada makhluk hidup yang lain. Tiap individu akan selalu berhubungan dengan individu lain yang sejenis atau lain jenis, baik individu dalam satu populasinya atau individu-individu dari populasi lain. Interaksi demikian banyak kita lihat di sekitar kita.
Interaksi antar organisme dalam komunitas ada yang sangat erat dan ada yang kurang erat. Interaksi antarorganisme dapat dikategorikan sebagai berikut.
a. Netral
Hubungan tidak saling mengganggu antarorganisme dalam habitat yang sama yang bersifat tidak menguntungkan dan tidak merugikan kedua belah pihak, disebut netral. Contohnya : antara capung dan sapi.
b. Predasi
Predasi adalah hubungan antara mangsa dan pemangsa (predator). Hubungan ini sangat erat sebab tanpa mangsa, predator tak dapat hidup. Sebaliknya, predator juga berfungsi sebagai pengontrol populasi mangsa. Contoh : Singa dengan mangsanya, yaitu kijang, rusa,dan burung hantu dengan tikus.
c. Parasitisme
Parasitisme adalah hubungan antarorganisme yang berbeda spesies, bilasalah satu organisme hidup pada organisme lain dan mengambil makanan dari hospes/inangnya sehingga bersifat merugikan inangnya.
contoh : Plasmodium dengan manusia
d. Komensalisme
Komensalisme merupakan hubunganantara dua organisme yang berbeda spesies dalam bentuk kehidupan bersama untuk berbagi sumber makanan; salah satu spesies diuntungkan dan spesies lainnya tidak dirugikan. Contohnya anggrek dengan pohon yang ditumpanginya.
e. Mutualisme
Mutualisme adalah hubungan antara dua organisme yang berbeda spesies yang saling menguntungkan kedua belah pihak. Contoh, bakteri Rhizobium yang hidup pada bintil akar kacang-kacangan.
B. Interaksi Antarpopulasi
Antara populasi yang satu dengan populasi lain selalu terjadi interaksi secara langsung atau tidak langsung dalam komunitasnya.Contoh interaksi antarpopulasi adalah sebagai berikut.
Alelopati merupakan interaksi antarpopulasi, bila populasi yang satu menghasilkan zat yang dapat menghalangi tumbuhnya populasi lain. Contohnya, di sekitar pohon walnut (juglans) jarang ditumbuhi tumbuhan lain karena tumbuhan ini menghasilkan zat yang bersifat toksik. Pada mikroorganisme istilah alelopati dikenal sebagai anabiosa.Contoh, jamur Penicillium sp. dapat menghasilkan antibiotika yang dapat menghambat pertumbuhan bakteri tertentu.
Kompetisi merupakan interaksi antarpopulasi, bila antarpopulasi terdapat kepentingan yang sama sehingga terjadi persaingan untuk mendapatkan apa yang diperlukan. Contoh, persaingan antara populasi kambing dengan populasi sapi di padang rumput.
C. Interaksi Antar Komunitas
Komunitas adalah kumpulan populasi yang berbeda di suatu daerah yang sama dan saling berinteraksi. Contoh komunitas, misalnya komunitas sawah dan sungai. Komunitas sawah disusun oleh bermacam-macam organisme, misalnya padi, belalang, burung, ular, dan gulma. Komunitas sungai terdiri dari ikan, ganggang, zooplankton, fitoplankton, dan dekomposer. Antara komunitas sungai dan sawah terjadi interaksi dalam bentuk peredaran nutrien dari air sungai ke sawah dan peredaran organisme hidup dari kedua komunitas tersebut.
Interaksi antarkomunitas cukup komplek karena tidak hanya melibatkan organisme, tapi juga aliran energi dan makanan. Interaksi antarkomunitas dapat kita amati, misalnya pada daur karbon. Daur karbon melibatkan ekosistem yang berbeda misalnya laut dan darat. Lihat Gambar 6.16.
D. Interaksi Antarkomponen Biotik dengan Abiotik
Interaksi antara komponen biotik dengan abiotik membentuk ekosistem. Hubunganantara organisme dengan lingkungannya menyebabkan terjadinya aliran energi dalam sistem itu. Selain aliran energi, di dalam ekosistem terdapat juga struktur atau tingkat trofik, keanekaragaman biotik, serta siklus materi.
Dengan adanya interaksi-interaksi tersebut, suatu ekosistem dapat mempertahankan keseimbangannya. Pengaturan untuk menjamin terjadinya keseimbangan ini merupakan ciri khas suatu ekosistem. Apabila keseimbangan ini tidak diperoleh maka akan mendorong terjadinya dinamika perubahan ekosistem untuk mencapai keseimbangan baru.
Adanya perubahan-perubahan pada populasi mendorong perubahan pada komunitas. Perubahan-perubahan yang terjadi menyebabkan ekosistem berubah. Perubahan ekosistem akan berakhir setelah terjadi keseimbangan ekosistem. Keadaan ini merupakan klimaks dari ekosistem. Apabila pada kondisi seimbang datang gangguan dariluar, kesimbangan ini dapat berubah, dan perubahan yang terjadi akan selalu mendorong terbentuknya keseimbangan baru.
Rangkaian perubahan mulai dari ekosistem tanaman perintis sampai mencapai ekosistem klimaks disebut suksesi. Terjadinya suksesi dapat kita amati pada daerah yang baru saja mengalami letusan gunung berapi. Rangkaian suksesinya sebagai berikut.
Mula-mula daerah tersebut gersang dan tandus. Setelah beberapa saat tanah akan ditumbuhi oleh tumbuhan perintis, misalnya lumut kerak. Tumbuhan perintis ini akan menggemburkan tanah, sehingga tanah dapat ditumbuhi rumput-rumputan yang tahan kekeringan. Setelah rumput-rumput ini tumbuh dengan suburnya, tanah akan makin gembur karena akar-akar rumput dapat menembus dan melapukan tanah, juga karena rumput yang mati akan mengundang datangnya dekomposer (pengurai) untuk menguraikan sisa tumbuhan yang mati. Dengan semakin subur dan gemburnya tanah maka biji-biji semak yang terbawa dari luar daerah itu akan tumbuh, sehingga proses pelapukkan akan semakin banyak. Dengan makin gemburnya tanah, pohon-pohon akan mulai tumbuh. Kehadiran pohon-pohon akan mendesak kehidupan rumput dan semak sehingga akhirnya tanah akan didominasi oleh pepohonan. Sejalan dengan perubahan vegetasi, hewan-hewan yang menghuni daerah tersebut juga mengalami perubahan tergantung pada perubahan jenis vegetasi yang ada. Ada hewan yang datang dan ada hewan yang pergi. Komunitas klimaks yang terbentuk dapat berupa komunitas yang homogen, tapi dapat juga komunitas yang heterogen.

Sunday, December 10, 2017

EVALUASI PARTISIPATIF DALAM SISTEM PENYULUHAN

December 10, 2017 Posted by Media Penyuluhan Perikanan Pati 1 comment
Di dalam sistem Penyuluhan Perikanan dikenal Sistem Penyuluhan Pertisipatif, belajar dari pengalaman Pelaku Utama dan Usaha Experience Learning Cicle (ELC). Untuk keberhasilan Penyuluhan Perikanan diperlukan evaluasi pelaksanaan, yang sering kali ditafsirkan kata evaluasi sebagai mencari-cari kesalahan, mendiskreditkan, dan memberi penilaian yang buruk.
Oleh karena itu banyak orang dalam sebuah organisasi alergi dengan kegiatan evaluasi. Padahal Evaluasi sebagai bagian dari manajemen yang sering kali dilupakan, dipakai hanya sebagai ”alat cuci piring setelah pesta usai”, dan dianaktirikan, bahkan dihindari. Mungkin disebabkan pengalaman buruk yang sukar dilupakan ketika praktik evaluasi dimaknai dan dilakukan sebagai upaya bukan untuk memperbaiki kinerja dan memberikan yang terbaik untuk organisasi dan kelompok penerima manfaat dari program kerja organisasi. Disamping itu kurangnya informasi peranan evaluasi, tidak tahu manfaat, dan tidak mengenal  cara melaksanakannya.
Mengapa orang enggan melakukan evaluasi, diantaranya:
1. Tidak tahu peranan evaluasi, takut ada kesalahan yang diketemukan, takut akan kegagalan
2. Pengelola kegiatan, program atau proyek tidak terbuka (transparan)
3. Tidak punya skill dalam evaluasi
4. Terlalu sibuk tidak ada waktu
5. Biaya tidak dianggarkan atau anggaran terbatas, rancangan proyek lemah atau buruk
I. APA ITU EVALUASI.
Sudah banyak rumusan evaluasi yang di kemukakan oleh para ahli dan praktisi manajemen dan evaluasi. Ada beberapa definisi evaluasi antara lain :
1. Evaluasi adalah menilai dampak dari serangkaian kerja dan tingkat yang sudah dicapai dalam rentang waktu tertentu. (Toolkits. A Practical Guide to Assessment, Monitoring, Review dan Evaluation. Save the Children: 1999)
2. Berupaya mengukur relevansi, efisiensi dan efektivitas program. Ia mengukur apakah atau seberapakah masukan atau layanan program telah memperbaiki kualitas kehidupan manusia. (Bahan Bacaan Pelatihan Monitoring dan Evaluasi, diselenggarakan oleh CSSP untuk NGO-NGO mitra CSSP-USAID di Jakarta, 2002)
3. Kegiatan yang dibatasi waktu, yang bertujuan untuk menilai sesuatu hal dengan perbandingan pada serangkaian kriteria tertentu (hasil yang diharapkan).(Herizal, Nori, dan Fatima. Manual Pemantauan dan Evaluasi. CSSP: Agustus 2004)
Dari ketiga rumusan di atas dapat dilihat kata kunci evaluasi adalah menilai dan mengukur relevansi, efektivitas, efisiensi, dan dampak suatu program dengan kriteria tertentu. Evaluasi bukanlah menilai kinerja personal atau kapasitas organisasi. Meski keduanya mempengaruhi hasil hasil-hasil program. Untuk menilai kinerja personal (staf) dan organisasi perlukan cara dan alat lain, seperti asesmen.  Istilah evaluasi seringkali dikacaukan dengan istilah asesmen, kajiulang (review), dan monitoring dalam pelaksanaannya.
Apa Beda Evaluasi dengan Asesmen, Review, dan Monitoring? Walaupun ketiganya merupakan alat manajemen untuk menilai dan mengukur, tapi mereka berbeda satu sama lain. Mari kita bandingkan:
Asesmen (assessment) adalah sebuah proses mengidentifikasi dan memahami sebuah masalah dan perencanaan serangkaian tindakan-tindakan untuk dilakukan. Hasil akhirnya adalah memiliki rencana kegiatan yang jelas dan realistik yang dirancang untuk mencapai maksud dan tujuan tertentu.
Monitoring adalah penilaian (assessment) secara sistematis dan terus-menerus kemajuan kegiatan yang dilaksanakan. Monitoring sebagai alat manajemen dasar dan universal untuk mengidentifikasi kekuatan dan kelemahan program. Tujuannya adalah membantu semua orang yang terlibat dalam program membuat keputusan yang tepat pada saat yang tepat dan untuk memperbaiki kualitas pekerjaan. Informasi hasil monitoring digunakan sebagai bahan evaluasi. Hasil evaluasi merupakan bahan untuk perencanaan. Jadi Sukar melakukan evaluasi tanpa melakukan monitoring.
Kaji ulang (review) adalah menilai kemajuan rangkaian pekerjaan dalam rentang waktu tertentu. Tujuan utama (basic pupose) kaji ulang adalah melihat lebih dekat perjalanan suatu program dibandingkan melalui proses monitoring. Review dapat dilaksanakan untuk melihat aspek-aspek yang berbeda dari serangkaian kegiatan, dan dapat menggunakan seperangkat kriteria untuk mengukur kemajuan.
II. Mengapa Evaluasi Penting
Evaluasi adalah penilaian yang sistematis mengenai relevansi, progres, efisiensi, efektivitas, dan dampak dari suatu program penyuluhan perikanan. Evaluasi penting dilakukan dengan banyak alasan, seperti di bawah ini:
1. Memantau kemajuan dari suatu program
2. Memperlihatkan efektivitas program, termasuk efisiensi biaya
3. Menyediakan umpan balik kepada siapa pun yang terlibat dalam program, memastikan komitmen dengan tindakan
4. Memahami bagaimana sebuah inisiatif (program) berjalan, membangun kerjasama, menilai dampak
5. Sebagai pedoman bagi pengelola sebuah program
III.   Apa Saja Pendekatan dalam Evaluasi
Pendekatan yang lazim dipakai dalam melakukan evaluasi, antara lain :
1. Pendekatan konvensional
2. Pendekatan partisipatif.
Evaluasi  Konvensional
Evaluasi  Partisipatoris
Siapa yang merencanakan dan mengelola proses
Ketua, penasehat
Pengurus kelompok bersama dibantu anggota yang dipilih
Perananstakeholder Utama (Kelompok sasaran)
Pelaku utama hanya memberi informasi, bahkan sering tidak diterlibatkan
Pelaku utama dan usaha mendesain, mengadaptasi metodologi, mengumpulkan dan menganalisis, menyebarluaskan temuan dan mengaitkannya dengan tindakan, partisipasi
Bagaimana sukses diukur
Ditentukan dari luar, terutama indikator kuantitatif
Indikator ditentukan secara internal, termasuk penilaian yang lebih kualitatif
Pendekatan
Ditentukan sebelumnya
Adaptif, partisipatif
Fokus
Akuntabilitas
Pembelajaran
Metode
Metode formal
Metode partipatif
Outsiders
Evaluator
Fasilitator
Bagaimana Memulai Evaluasi Partisipatif.
Rencana evaluasi menentukan, antara lain :
1. Apa (data)
2. Bagaimana (metode)
3. Siapa (orang/tim)
4. Seberapa sering (jadual)
Apa saja elemen lingkup kerja evaluasi.
Lingkup kerja evaluasi, antara lain :
1. Memutuskan pendekatan evaluasi partisipatif yang baik.
Evaluasi partisipatif secara khusus bermanfaat ketika ada pertanyaan-pertanyaan tentang kesukaran-kesukaran implementasi atau pengaruh atau akibat program pada mitra-mitra, atau ketika informasi diinginkan tentang pengetahuan pelaku utam dan usaha dari goal program atau pandangan mereka tentang progres diperlukan.
2. Aspek yang Dievaluasi: kegiatan, hasil, dan sasaran strategis.
Apa yang akan dievaluasi, mungkin satu kegiatan tunggal atau serangkai kegiatan yang saling berkait untuk mencapai hasil tertentu. Mungkin juga evaluasi dilakukan terhadap strategi lebih luas untuk mencapai sasaran strategis tertentu.
3. Unsur-unsur yang dievaluasi biasanya meliputi :
Unsur-Unsur Evaluasi
Perencanaan
  Tujuan
  Sasaran
  Kegiatan
  Jadual
  Asumsi
Dukungan
  Struktur program atau proyek
  Sistem keuangan
  Sistem adminsitrasi
  Sistem informasi
  Kepemimpinan
  Keterampilan staf
Implementasi
  Kegiatan
Pemantauan
  Pemantauan
Prestasi
  Keluaran (outputs) dan hasil
  Sasaran dan akibat
  Tujuan dan dampak
  Asumsi
Hubungan Eksternal
  Hubungan dengan donatur, jika ada
  Hubungan dengan sakeholder lain.
4. Latar Belakang
Latar Belakang adalah penjelasan singkat tentang riwayat dan status kegiatan atau program saat ini, organisasi pelaksana kegiatan dan pihak yang terlibat, informasi,  tambahan lain yang membantu tim evaluasi memahami laar belakang dan konteks dari kegiatan yang akan dievaluasi
5. Sumber informasi yang tersedia
Sebutkan sumber informasi yang tersedia, informasi yang relevan menggambarkan kinerja. Misalnya, sistem pemantauan kinerja atau laporan evaluasi sebelumnya. Jika ada keterangan mengenai jenis data yang tersedia, jadwal kerja, dan uraian tentang mutu dan keterandalan pekerjaan; tim evaluasi akan lebih muda bekerja dengan menggunakan data yang sudah tersedia.
6. Tujuan Evaluasi
Ada beberapa tujuan umum evaluasi antara lain :
1. Seberapa besar hasil yang diperoleh sesuai atau tidak sesuai dengan harapan
2. Melihat apakah kebutuhan dari berbagai kelompok khusus (jender, umur, kelompok etnis, status sosial, dll) sudah terpenuhi?
3. Mendaftar dan mempelajari dampak-dampak yang tidak diinginkan dari kegiatan.
4. Melihat keberlanjutan kegiatan dan hasilnya
5. Belajar dari pengalaman pelaku lainnya mungkin berguna

MENGENAL BUDIDAYA KEPITING BAKAU

December 10, 2017 Posted by Media Penyuluhan Perikanan Pati 2 comments
PENDAHULUAN
Kepiting bakau  merupakan  salah satu jenis  komoditas perikanan yang potensial. Sebagai salah satu sumberdaya alam yang ekonomis tentu banyak diburu untuk ditangkap dan dijadikan sebagai salah satu produk andalan.  Hal ini diperburuk lagi dengan adanya upaya peningkatan penangkapan kepiting bakau matang gonad karena pesanan pasar.
Pulau Tarakan yang memiliki hutan mangrove sebagai ekosistem hidup kepiting bakau, dalam tahun terakhir ini telah mengalami penurunan hasil tangkapan kepiting bakau. Penurunan kuantitas dan kualitas populasi kepiting bakau di alam, diduga akibat degradasi ekosistem mangrove dan kelebihan tangkap (over fishing). Degradasi ekosistem mangrov disebabkan adanya kegiatan pembukaan mangrove yang dialih fungsikan menjadi tambak udang tradisional. Sedangkan penurunan yang disebabkan over fishing diduga juga karena banyaknya induk yang matang gonad yang tertangkap sehingga proses regenerasi alamiah tergangku. Jika  penangkapan  induk  kepiting  dilakukan  oleh  para nelayan dibiarkan saja maka pasti dimasa datang akan menganggu   populasinya.
Hal   ini   dikarenakan   seekor kepiting  betina  yang  matang  gonad  dapat  menghasilkan lebih dari 1.000.000 butir telur dalam satu kali fase produksi dan rata-rata dapat melakukan dua kali pemijahan dalam sekali  proses  perkawinan.  Bisa  dibayangkan  berapa  juta calon kepiting yang dikorban jika ada seribu induk matang gonad yang akan ditangkap nelayan untuk djual dengan harga konsumsi. Intinya maraknya penangkapan kepiting yang  matang  gonad  sangat  membahayakan  pelestarian produksi kepiting dimasa yang akan datang.
Konservasi kepiting dikawasan perairan umum merupakan bagian dari upaya konservasi ekosistem yang ditujukan untuk mewujudkan pengelolaan sumberdaya kepiting yang berkelanjutan. Upaya ini memerlukan pendekatan pengelolaan  yang  lebih  spesifik,  antara  lain, karena terkait dengan dinamika ekosistem perairan yang senantiasa bergerak serta karakteristik biota perairan yang tidak mengenal pemisahan wewenang maupun batas-batas wilayah administrasi pemerintahan.
Mengingat pentingnya nilai manfaat yang dimiliki komoditas kepiting bakau, maka masalah penurunan produksi   kepiting bakau di alam harus segera diatasi dengan melakukan upaya-upaya pengelolaan, baik melalui tindakan konservasi bagi induk kepiting matang gonad yang berasal dari penangkapan di alam, maupun melalui tindakan rehabilitasi (restocking) ke alam dengan penyedian benih yang berasal dari penanganan induk yang tertangkap dari alam. Maka perlu dilakukan suatu langkah awal melaksanakan upaya konservasi kepiting dalam suatu penelitian. Penelitian ini bertujuan untuk mengalakan upaya konservasi induk kepiting bakau matang gonad agar dapat tetap bereproduksi demi menjaga kelestariannya.
Pembudidaya ikan yang melakukan budidaya kepiting bakau tentu saja menginginkan keuntungan, hal ini dapat dicapai jika mereka berpikir dan melakukan budidaya kepiting bakau tersebut sebagai yang diusahakan dengan sungguh-sungguh.
Beberapa prinsip yang perlu diketahui dan dikerjakan yaitu antara lain:
Biologi Kepiting Bakau
Reproduksi dilakukan di perairan laut, telur setelah dibuahi ditempelkan di bagian perut, di balik karapag yang berumbai-umbai, dierami selama 10-12 hari, larva kepiting bakau berkembang dari stadia zoea 1-5 selama 18-20 hari, megalopa selama 5-7 hari dan mencapi stadia crablet yang mengalami moulting pada setiap 4-7 hari hingga menjadi bibit berukuran rata-rata 30-50 g/ekor  (panjang 2-5 cm) yang dicapai selama 50-70 hari.
Kualitas air yang dibutuhkan untuk hidup dan dapat tumbuh secara baik yaitu: kadar garam 10-25 ppt, suhu 28-330C, pH 7,5-8,5 dan DO lebih dari 5 ppm.
Perilaku kepiting bakau bersifat kanibal, kepiting yang tidak sedang moulting sering dijumpai memakan kepiting yang sedang moulting.
Pakan untuk kepiting bakau yaitu dari berbagai jenis binatang seperti ikan rucah, amphibia, reptilia, jeroan dari limbah pemotongan ayam, juga suka diberi pakan udang yang berupa pelet kering, kelas grower. Pakan larva berupa phytoplankton (Chaetoceros sp, dan Tetraselmis sp) dan zooplankton (Brachionus sp dan Artemia sp)Kepiting banyak ditemukan di berbagai samudra dunia. Selain kepiting laut, ada juga jenis kepiting yang hidup di darat dan air tawar, khususnya di daerah-daerah tropis. Kepiting yang habitat hidupnya di laut dan jarang naik ke wilayah daratan namanya rajungan, sedangkan ketam yang menghuni wilayah perairan tawar dikenal dengan nama yuyu. Kepiting memiliki beragam ukuran, misalnya ketam kacang dengan ukuran beberapa milimeter saja, sampai jenis kepiting laba-laba Jepang yang rentangan kakinya mencapai 4 meter. Satu jenis kepiting yang saat ini sedang mengalami perkembangan pangsa pasar adalah kepiting bakau (jenis Scylla serrata). Pertumbuhan pangsa pasar ini terjadi di dalam dan luar negeri. Oleh karena itu, diperlukan suatu usaha budidaya intensif untuk jenis kepiting ini.
Macam-macam kepiting bakau
Ada beberapa macam kepiting bakau yang bisa kita ketahui:
• Scylla oceanica: kepiting jenis ini warnanya agak kehijauan serta memiliki garis coklat di hampir semua bagian tubuhnya, terkecuali di bagian perutnya.
• Scylla serrata: kepiting jenis ini memiliki ciri khas warna keabu-abuan hingga hijau kemerah-merahan.
• Scylla transquebarica: jenis yang terakhir ini warnanya kehijauan hingga kehitaman dan terdapat sedikit garis coklat pada bagian kaki renangnya.
Dibandingkan dua jenis kepiting lainnya, Scylla serrata memiliki ukuran lebih kecil di usia yang sama. Namun dibandingkan yang lain, jenis ini lebih bersaing dan diminati pembeli.
Sifat kepiting bakau
Secara umum, kepiting bakau memiliki sifat dan kebiasaan sebagai berikut:
• Saling menyerang dan kanibalisme. Pada kepiting, kedua sifat ini adalah ciri khas yang paling menonjol, sehingga hal ini pula yang menjadi tantangan dalam usaha pembudidayaan kepiting.
• Kesukaannya berendam di dalam lumpur serta membuat lubang di pematang atau dinding tambak pemeliharaan.
• Kepekaan pada tingkat pencemaran atau polutan.
• Ganti kulit atau molting.  
Lokasi budidaya
Untuk lokasi pemeliharaan, usahakan tambak kepiting memiliki kedalaman antara 0.8-1.0 meter dan kondisikan salinitas air berada pada 15-30 ppt. Sedangkan tanah tambak dibuat berlumpur dengan pola tekstur berupa lempung berliat / silty loam atau tanah liat berpasir / sandy clay, dan yang terakhir selisih pasang surutnya kira-kira antara 1.5-2 meter. Selain syarat-syarat diatas, pada intinya tambak pemeliharaan untuk udang atau bandeng juga bisa digunakan untuk budidaya kepiting bakau.
Beberapa faktor yang harus dipertimbangkan ketika memilih lokasi untuk memelihara kepiting di antaranya:
 Pakan yang tersedia harus memadai dan kontinuitasnya juga terjamin.
 Air yang dipakai haruslah cukup dan bebas dari polusi.
 Terdapat tenaga terampil yang mampu menguasai teknis pembudidayaan kepiting.
 Adanya sarana serta  prasarana untuk produksi maupun pemasaran.
Disain tambak untuk pemeliharaan kepiting bakau
Desain tambak untuk pemeliharaan kepiting bakau tidak boleh disepelekan. Jika perlakuan pada kepiting selama pemeliharaan ternyata kurang baik, semisal makanan kurang memadai dan mutu air tidak diperhatikan, maka kepiting bisa berusaha untuk meloloskan diri di saat ia mencapai kondisi matang telur. Kepiting akan memanjat pagar / dinding tambak, bisa juga dengan membuat lubang di pematang tambak. Guna menghindari hal ini, maka konstruksi pintu air dan pematang harus diperhatikan dengan cermat. Pematang bisa dipasangi pagar dari waring atau kere bambu yang akan mencegah kepiting untuk lolos.
Pemasangan waring atau kere bambu pada pematang yang kokoh (dengan lebar sekitar 2-4 meter) bisa dilakukan di bagian pinggir atas pematang dengan ketinggian kira-kira 60 cm. Sedangkan pada tambak dengan kondisi pematang yang tidak kokoh, pagar bisa dipasang pada pematang di bagian kaki dasarnya setinggi paling tidak 1 meter.
Penebaran bibit
Untuk pembudidayaan kepiting tradisional yang asalnya berupa tangkapan dari alam, petani kepiting hanya mengandalkan bibit dari kepiting-kepiting yang datang secara alami ketika air mengalami pasang surut. Pada sistem budidaya monokultur, bibit kepiting yang beratnya 20-50 gram bisa ditebar dengan jumlah kepadatan sekitar 5000-15000 ekor/hektar. Sedangkan untuk budidaya polikultur bersama ikan bandeng, bibit kepiting seberat 20-50 gram bisa mulai ditebar dengan angka kepadatan kira-kira 1000-2000 ekor/hektar, sementara bandeng gelondongan dengan berat kira-kira 2-5 gram bisa ditebar dengan jumlah kepadatan sekitar 2000-3000 ekor/hektar.
Pembudidayaan kepiting bertelur
Kepiting yang dipanen, selanjutnya bisa dibudidayakan kembali guna meningkatkan kualitas kepiting betina melalui cara pembudidayaan yang intensif. Kepiting dengan kondisi betelur akan menaikkan nilai jualnya karena harganya bisa mencapai 2-3x lipat harga kepiting yang tidak bertelur. Hal ini dapat membantu meningkatkan pendapatan petani kepiting. Metode untuk menghasilkan kepiting yang bertelur dikelompokkan menjadi dua macam:
• Sistim Kurungan
Kurungan bisa dibuat menjadi suatu rangkaian dengan bahan dasar bambu. Panjang bilah bambu yakni 1,7 meter dan lebarnya 1-2 cm. Bilah-bilah bambu tersebut dirangkai dengan rapi sehingga membentuk semacam pagar atau kere. Kere ini selanjutnya dipasang di saluran tambak dengan posisi memanjang di pinggirannya. Ketika dipasang pada tambak, hendaknya kere ditempatkan di bagian yang lebih dalam serta mendapat sirkulasi air yang memadai. Pagar bambu atau kere ditancapkan hingga sedalam 30 cm serta bagian bawah kere dibuat agak rapat agar agar kepiting tidak mudah lolos. Sedangkan ukuran kurungan yang ditempatkan di saluran tambak harus menyesuaikan dengan lebar saluran agar tak menghambat kelancaran aliran tambak tersebut. Pada skala lebih besar lagi, dapat digunakan petakan tambak seluas 0.25-0.50 hektar yang dikelilingi pagar berbahan dasar waring atau kere bambu. Pagar bambu selanjutnya ditancapkan sedalam kira-kira 30 cm lalu usahakan bagian pagar yang halus untuk menghadap ke arah dalam agar kepiting tak bisa memanjatnya sebab bagian tersebut licin.
• Karamba Apung
Selain kurungan, metode pembudidayaan kepiting bertelur bisa juga memanfaatkan karamba apung. Pembuatan karamba apung bisa dirangkai dari bilah bambu sebagaimana halnya pembuatan kere. Karamba apung yang telah dirangkai menjadi bentuk kotak, ukurannya disesuaikan pada lokasi dimana ini akan ditempatkan. Berikutnya, pada sisi-sisi yang berlawanan, pelampung yang dibuat dari potongan beberapa bambu utuh dipasang. Pada usaha pembudidayaan kepiting menggunakan karamba apung, kepadatan bisa mencapai 20 ekor/m2. Kepadatan inilah yang akan meningkatkan peluang hidup kepiting. Untuk bobot kepiting bertelur siap panen kira-kira adalah 200 gr/ekor. Sedangkan proses produksi paling lama kepiting bertelur berlangsung kira-kira 5-14 hari, atau bisa juga tergantung pada ukuran awal kepiting saat penebaran. Masa pemeliharaan yang singkat ini bisa jadi terkait kondisi kepiting betina saat penebaran dengan bobot 150 gram yang biasanya telah mengandung telur.
Usaha penggemukan
Selain dijadikan kepiting yang bertelur, peluang lain yang diusahakan adalah penggemukan kepiting. Untuk proses penggemukan sama seperti budidaya kepiting bertelur. Sedangkan caranya bisa dengan memanfaatkan karamba bambu apung atau kurungan bambu. Perbedaan jelas disini terletak pada jenis kepiting yang diusahakan. Kepiting pada budidaya penggemukan ini merupakan kepiting dengan ukuran ekspor dari kelompok kelamin betina maupun jantan yang masih dalam kondisi keropos. Lama waktu penggemukan kira-kira 5-10 hari. Dalam waktu ini kepiting sudah bisa berisi dan gemuk bila dipelihara dengan cukup baik. Bahkan jika pemeliharaan dilanjutkan lagi untuk jenis kepiting betina, maka bisa menjadi kepiting yang bertelur. Sedangkan guna menghindari angka kematian akibat perkelahian betina dan jantan, sebaiknya lakukan pemeliharaan secara monosex.
Pakan
Bermacam jenis pakan yang bisa diberikan pada kepiting misalnya ikan rucah, kulit sapi, usus ayam, bekicot, kulit kambing, keong sawah, dan sebagainya. Dari bermacam pakan itu, ikan rucah yang masih segar dinilai lebih baik bila ditinjau dari unsur kimiawinya maupun tekstur fisiknya untuk dapat dimakan dengan cepat oleh kepiting. Pada usaha pembesaran, pemberian pakan sifatnya hanya suplemen saja dengan dosis kira-kira 5%. Berbeda dengan budidaya penggemukan dan kepiting bertelur, dimana pemberian pakan perlu diperhatikan secara seksama dengan dosis sekitar 5-15% dari bobot kepiting yang dibudidayakan.
Panen dan pasca panen
Setelah jangka waktu beberapa bulan, proses seleksi kepiting untuk pemanenan bisa dilakukan dengan memilih kepiting dengan ukuran siap jual. Selain dipungut,  kepiting bisa juga dilepas kembali dalam kolam pembesaran guna mendapatkan kegemukan atau ukuran lebih besar. Setelah dilakukan pemungutan keputung siap jual, langkah selanjutnya adalah mengikat kepiting dalam keranjang. Ada cara-cara yang perlu diperhatikan untuk mengikat kepiting agar tidak merusak fisiknya:
• Pengikatan dilakukan pada seluruh kaki dan kedua capitnya
• Ikat capitnya menggunakan satu tali saja
• Ikat masing-masing capit menggunakan tali terpisah
• Tali pengikat yang digunakan bisa berupa tali rafia maupun jenis lainnya yang sekiranya cukup kuat.
Penanganan kepiting selanjutnya setelah disusun ke dalam keranjang adalah menjaga kondisi kelembaban dan suhu. Usahakan agar suhu tidak melebihi 26°C, selain itu kelembaban yang disarankan adalah 95%. Cara yang bisa ditempuh untuk menjaga kondisi kelembaban dan suhu ideal bagi kepiting selama pengangkutan yakni dengan mencelupkan kepiting dalam air bersalinitas 15-25% (air payau) sekitar 5 menit sembari digoyang-goyangkan untuk melepas kotoran kepiting. Setelah itu, baru kepiting disusun lagi dalam wadah dan tutup wadah menggunakan goni basah.

Saturday, December 9, 2017

SISTEM BUDIDAYA IKAN LELE BIOFLOK

December 09, 2017 Posted by Media Penyuluhan Perikanan Pati 1 comment
Budidaya ikan Lele sekarang sedang marak berkembang dengan sistem Bioflok, yang pada intinya menghemat tempat, kolam, hemat air dan pakan. Sistem bioflok identik dengan kolam bundar dari plastik. Teknologi bioflok (BFT) merupakan salah satu teknologi yang saat ini sedang dikembangkan dalam akuakultur yang bertujuan untuk memperbaiki kualilas air dan meningkatkan efisiensi pemanfaatan nutrient. Teknologi ini didasarkan pada konversi nitrogen anorganik terutama ammonia oleh bakteri heterotrof menjadi biomassa mikroba yang kemudian dapat dikonsumsi oleh organisme budidaya.
Intensifikasi membutuhkan lebih banyak input produksi terutama benih dan pakan serta sistem manajemen yang lebih baik. Pada sistem budidaya intensif, keberadaan dan ketergantungan terhadap pakan alami sangat dibatasi, sehingga pakan buatan menjadi satu-satunya sumber makanan bagi organisme yang dipelihara (Tacon, 1987). Organisme akuatik umumnya membutuhkan protein yang cukup tinggi dalam pakannya. Namun demikian organism akuatik hanya dapat meretensi protein sekitar 20 - 25% dan selebihnya akan terakumulasi dalam air (Stickney, 2005). Metabolisme protein oleh organisme akuatik umumnya menghasilkan ammonia sebagai hasil ekskresi. Pada saat yang sama protein dalam feses dan pakan yang tidak termakan akan diuraikan oleh bakteri menjadi produk yang sama. Dengan demikian semakin intensif suatu kegiatan budidaya akan diikuti dengan semakin tingginya konsentrasi senyawa nitrogen terutama ammonia dalam air (Avnimelech, 2007).
Agar tidak membahayakan organisme yang dibudidayakan, maka konsentrasi ammonia dalam media budidaya harus dibatasi. Pergantian air merupakan metoda yang paling umum dalam membatasi konsentrasi ammonia dalam air. Namun demikian metoda ini membutuhkan air dalam jumlah besar serta dapat mencemari lingkungan pcrairan sekitar jika air yang dibuang tidak diberi perlakuan lebih lanjut. Seiiring dengan berkembangnya akuakultur sistem intensif berbagai teknik pengolahan air untuk mengurangi konsentrasi ammonia dalam media budidaya telah dikembangkan salah satunya adalah teknologi bioflok.
Nitrogen dalam sistem akuakultur
Nitrogen dalam sistem akuakultur terutama berasal dari pakan buatan yang biasanya mengandung protein dengan kisaran 13 - 60% (2 - 10% N) tergantung pada kebutuhan dan stadia organisme yang dikultur (Avnimeleeh & Ritvo, 2003; Gross & Boyd 2000; Stickney, 2005). Dari total protein yang masuk ke dalam sistem budidaya, sebagian akan dikonsumsi oleh organisme budidaya dan sisanya terbuang ke dalam air. Proses metabolisme pakan yang dikonsumsi dalam tubuh organisme budidaya kemudian akan menghasilkan biomasa dan sisa metabolisme berupa urine dan feses. Protein dalam pakan akan dicerna namun hanya 20 - 30% dari total nitrogen dalam pakan dimanfaatkan menjadi biomasa ikan (Brune et al., 2003). Katabolisme protein dalam tubuh organisme akuatik menghasilkan ammonia sebagai hasil akhir dan diekskresikan dalam bentuk ammonia (NH3) tidak terionisasi melalui insang (Ebeling et al., 2006; Hargreaves, 1998). Pada saat yang sama, bakteri memineralisasi nitrogen organik dalam pakan yang tidak termakan dan feses menjadi ammonia (Gross and Boyd, 2000). Sebagai akibat dari berlangsungnya kedua proses ini, aplikasi pakan berprotein tinggi dalam sistem budidaya akan menghasilkan akumulasi ammonia baik sebagai hasil ekskresi dari organisme yang dikultur maupun hasil mineralisasi bakteri. Dalam air, ammonia berada dalam dua bentuk yaitu ammonia tidak terionisasi (NH3) dan ammonia terionisasi (NH4+). Jumlah total kedua bentuk ammonia ini disebut juga dengan total ammonia nitrogen atau TAN (Ebeling et al., 2006). Konsentrasi relatif dari kedua bentuk ammonia terutama tergantung pada pH, temperatur dan salinitas. Keberadaan ammonia tidak terionisasi di dalam media budidaya sangat dihindari karena bersifat toksik bagi organisme akuatik bahkan pada konsentrasi yang rendah. Stickney (2005) menyatakan bahwa konsentrasi ammonia dalam media budidaya harus lebih rendah dari 0,8 mg/L.
Dalam sistem akuakultur, secara alami terjadi siklus nitrogen dalam air (Gambar 1) dengan  input  nitrogen paling utama berasal dari pakan buaian (Crab et al., 2007). Dari sejumlah pakan yang dimasukkan kc kolam, sebagian tidak termakan oleh ikan, sementara pakan yang dikonsumsi sebagian dikonversi mcnjadi biomasa ikan dan sebagian lagi diekskresikan sebagai ammonia atau dikeluarkan sebagai feses. Pakan yang tidak termakan dan feses akan tcrdckomposisi oleh bakteri yang diikuti dengan pelepasan ammonia yang kemudian terakumulasi dalam air bersaraa dengan hasil ekskresi ikan. Melalui peranan bakteri nitrifikasi dan denitrifikasi yang terdapat dalam air dan sedimcn, TAN dalam air kemudian dapat ditransformasi menjadi nitrit, nitrat dan gas nitrogen (Ebeling et al., 2006; Hargreaves, 1998). Selain itu TAN dan nitrat dapat diasimilasi oleh fitoplankton atau tanaman yang terdapat dalam air yang kemudian dapat dimanfaatkan oleh organisme budidaya yang memang dapat memanfaatkannya. Secara garis besar ketiga proses alami konversi N tersebut dikelompokkan menjadi tiga yaitu konversi secara fotoautotrofik oleh alga dan tanaman air, secara kemoautotrofik melalui oksidasi oleh bakteri nitrifikasi dan immobilisasi secara heterotrofik oleh bakteri heterotrof (Ebeling et al., 2006).
Crab et at. (2007) menyatakan bahwa eliminasi kelebihan N terutama ammonia, nitrit dan nitrat dalam sistem budidaya dapat dikelompokkan menjadi dua, yaitu eliminasi N di luar wadah budidaya dan di dalam wadah budidaya. Eliminasi N di luar wadah budidaya dibedakan menjadi beberapa jenis seperti kolam perlakuan (atau reservoir) dan kombinasi bak sedimentasi dan bak nitrifikasi (biofilter). Sementara eliminasi N dalam wadah budidaya dilakukan dengan prinsip utama konversi N oleh bakteri heterotrof dan fitoplankton. Dua metoda eliminasi N dalam media budidaya yang sedang berkembang adalah sistem perifiton dan teknologi bioflok
Teknologi Bioflok
Teknologi bioflok merupakan salah satu alternatif baru dalam mengalasi masalah kualitas air dalam akuakultur yang diadaptasi dari teknik pcngolahan limbah domestik secara konvensional (Avnimelech, 2006; de Schryver et al., 2008). Prinsip utama yang diterapkan dalam teknologi ini adalah manajemen kualitas air yang didasarkan pada kemampuan bakteri heterotrof untuk memanfaatkan N organik dan anorganik yang terdapat di dalam air.
Pada kondisi C dan N yang seimbang dalam air, bakteri heterotrof yang merupakan akan memanfaatkan N, baik dalam bentuk organik maupun anorganik, yang terdapat dalam air untuk pembentukan biomasa sehingga konsentrasi N dalam air menjadi berkurang (de Schryver et al., 2008). Secara teoritis, pemanfaatan N oleh bakteri heterotrof dalam sistem akuakultur disajikan dalam reaksi kimia berikut (Ebeling et al., 2006):
NH4+ + 1.18C6H12O6 + HC03- +  2.06O2             C5H7O2N + 6.06H2O + 3.07CO2
Dari persamaan tersebut maka dapat diketahui bahwa secara teoritis untuk mengkonversi setiap gram N dalam bentuk ammonia, diperlukan 6,07 g karbon organik dalam bentuk karbohidrat, 0,86 karbon anorganik dalam bentuk alkalinitas dan 4,71 g oksigen terlarut. Dari persamaan ini juga diperoleh bahwa rasio C/N yang diperlukan oleh bakteri heterotrof adalah sekitar 6. Goldman (1987) menyatakan bahwa pada substrat dengan rasio C/N sama dengan atau lebih dari 10, bakteri heterotrof tidak akan meregenerasi ammonia dari hasil kalabolisme bahan organik (asam amino) dan sebaliknya akan memanfaatkannya untuk membentuk sel baru. Sebaliknya, pada rasio C/N yang rendah (<1 10="" 2006="" akan="" ammonia="" aplikasi="" argreaves="" atau="" avnimelech="" bahwa="" bakteri="" bioflok="" c="" diupayakan="" heterotrof="" ke="" lebih.="" lingkungannya="" maka="" melepaskan="" mencapai="" menyatakan="" rasio="" span="" teknologi="" untuk="">
Teknologi bioflok, sering disebut juga dengan teknik suspensi aktif (activated suspension technique, AST), menggunakan aerasi konstan untuk memungkinkan terjadinya proses dekomposisi secara aerobik dan menjaga flok bakteri berada dalam suspensi (Azim et al., 2007). Dalam sistem ini, bakteri heterotrof yang tumbuh dengan kepadatan yang  tinggi   berfungsi  sebagai bioreaktor yang mengontrol kualitas air terutama konsentrasi N serta sebagai sumber protein bagi organisme yang dipelihara.
Pembentukan bioflok oleh bakteri terutama bakteri heterotrof secara umum bertujuan untuk meningkatkan pemanfaatan nutrien. menghindari stress lingkungan dan predasi (Bossier & Verstraete, 1996; de Schryver et al., 2008). Flok bakteri tersusun atas campuran berbagai jenis mikro-organisme (bakteri pembentuk flok, bakteri filamen, fungi), partikel-partikel tersuspensi, berbagai koloid dan polimer organik, berbagai kation dan sel-sel mati (Jorand et al., 1995, Verstraete, et al., 2007; de Schryver et al., 2008) dengan ukuran bervariasi dengan kisaran 100 - 1000 µm (Azim et al., 2007; de Schryver et al., 2008). Selain flok bakteri, berbagai jenis organisme lain juga ditemukan dalam bioflok scperti protozoa, rotifer dan oligochaeta (Azim et al., 2007; Ekasari, 2008).
Komposisi organisme dalam flok akan mempengaruhi struktur bioflok dan kandungan nutrisi bioflok (Izquierdo, et al., 2006; Ju et al., 2008). Ju et al. (2008) melaporkan bahwa bioflok yang didominasi oleh bakteri dan mikroalga hijau mengandung protein yang lebih tinggi (38 dan 42% protein) daripada bioflok yang didominasi oleh diatom (26%).
Kondisi lingkungan abiotik juga berpengaruh terhadap pembentukan bioflok seperti rasio C/N, pH, temperatur dan kecepatan pcngadukan (de Scryver et al., 2008; Van Wyk & Avnimeleeh, 2007).
Sementara menurut de Schryver et al. (2008), mekanisme pembentukan flok oleh komunitas bakteri merupakan proses yang kompleks yang merupakan kombinasi berbagai fenomena fisika, kimia dan biologis seperti interaksi permukaan bakteri secara fisik dan kimiawi, dan quorum sensing sebagai kontrol biologis.
Aplikasi teknologi bioflok dalam akuakultur
Hingga saat ini teknologi bioflok telah diaplikasikan pada budidaya ikan dan udang seperti nila, sturgeon, snook, udang putih dan udang windu (Arnold et al., 2009;
Avnimeleeh, 2005, 2007; Burford et al., 2003,  2004;  Hari  et al.,  2004;  Serfling, 2006).
Beberapa penelitian menunjukkan bahwa aplikasi teknologi bioflok berperan dalam perbaikan kualitas air, peningkatan biosekuriti, peningkatan produktivitas. peningkatan efisiensi pakan serta penurunan biaya produksi melalui penurunan biaya pakan (Avnimelech, 2007; Crab et al., 2008, 2009; Ekasari, 2008; Hari et al., 2006, Kuhn et al., 2009; Taw, 2005).
Kemampuan bioflok dalam mengontrol konsentrasi ammonia dalam sistem akuakultur secara teoritis maupun aplikasi telah terbukti sangat tinggi. Secara teoritis Ebeling et al. (2006) dan Mara (2004) menyatakan bahwa immobilisasi ammonia oleh bakteri heterotrof 40 kali lebih cepat daripada oleh bakteri nitrifikasi. Secara aplikasi de Schryver et al. (2009) menemukan bahwa bioflok yang ditumbuhkan dalam bioreaktor dapat mengkonversi N dengan konsentrasi 110 mg NH4/L hingga 98% dalam sehari. Penelitian ini menunjukkan bahwa bioflok memiliki kapasitas yang besar dalam mengkonversi nitrogen anorganik dalam air, sehingga dapat memperbaiki kualitas air dengan lebih cepat. Hasil-hasil penelitian mengenai aplikasi bioflok dalam kegiatan akuakultur secara langsung juga menunjukkan bahwa kualitas media pemcliharaan, pertumbuhan dan efisiensi pakan udang windu yang dipelihara dengan peningkatan rasio C/N secara signifikan lebih baik daripada kontrol (Hari et al. 2004,2006; Samocha et al., 2007). Peningkatan efisiensi pakan juga ditunjukkan oleh beberapa penelitian aplikasi bioflok (Azim & Little, 2008; Hari et al., 2004, 2006). Hal ini menunjukkan bahwa keberadaan bioflok sebagai suplemen pakan telah meningkatkan efisiensi pemanfaatan nutrien pakan secara keseluruhan, Beberapa penelitian menunjukkan bahwa bioflok dapat dimanfaatkan, baik secara langsung maupun sebagai tepung untuk bahan baku pakan (Azim & Little, 2008; Ekasari, 2008; Kuhn et al., 2008; 2009). Adapun kandungan nutrisi bioflok umumnya beragam pada setiap penelitian (Tabel 1) namun dapat mememuhi kebutuhan organisme akuatik pada umumnya, Craig & Helfrich (2002) menyatakan bahwa pakan ikan  sebaiknya mengandung 18 - 50% protein, 10 - 25% lemak, 15 - 20% karbohidrat, <8 1="" 2009="" 20="" 240="" 25="" abu="" aerasi="" al.="" amp="" aplikasi="" atau="" avnimelech="" bahwa="" baik="" biaya="" bioflok="" budidaya="" dalam="" dan="" dapat="" dari="" data="" dengan="" di="" diberi="" digunakan="" dikembangkan="" dikombinasikan="" dikurangi="" dilakukannya="" diperlukan="" diperoleh="" ditambahkan="" diujicobakan="" energi="" et="" fcr="" hingga="" ikan="" indonesia="" ini="" isotop="" juga="" kepadatan="" kg="" kochba="" kontrol.="" kurang="" lebih="" melaporkan="" memanfaatkan="" menggunakan="" menunjukkan="" menurunkan="" mg="" mineral.="" n="" nila="" nitrogen="" oleh="" pada="" pakan.="" panen="" parsial.="" parsial="" pemanenan="" pemanfaatan="" pembuatan="" penelitian="" pertumbuhan="" produksi="" protein="" putih="" secara="" sejumlah="" setara="" sistem="" span="" substitusi="" tambak="" taw="" teknologi="" telah="" tepung="" tinggi="" udang="" uhn="" untuk="" vitamin="" yang="">
Pertumbuhan bioflok dalam sistem akuakultur dipcngaruhi oleh fakior kimia, fisika dan biologis dalam air. Beberapa faktor yang perlu diperhatikan untuk mendorong pembentukan bioflok dalam sistem budidaya diantaranya adalah pcrgantian air seminimal mungkin hingga mendekati nol, aerasi kuat serta peningkatan rasio C/N (Van Wyk & Avnimelech, 2007). Menurut Van Wyk & Avnimelech (2007) karakteristik sistem bioflok adalah kebutuhan oksigen yang tinggi dan laju produksi biomas bakteri yang tinggi. Oleh karena itu dalam sistem ini diperlukan aerasi dan pengadukan yang kuat untuk menjamin kebutuhan oksigen baik dari organisme budidaya maupun biomas bakteri serta untuk memastikan bahwa bioflok tetap tersuspensi dalam air dan tidak mengendap. intensitas pengadukan dan kandungan oksigen juga mempengaruhi struktur dan komposisi bioflok (de Schryver et al., 2008). Intensitas pengadukan yang terlalu tinggi dapat mempengaruhi ukuran bioflok sedangkan kandungan oksigen yang terlalu rendah dapat menyebabkan dominasi bakteri  filamen pada bioflok yang akan menyebabkan bioflok cenderung terapung.
Pakan buatan yang digunakan dalam kegiatan akuakultur umumnya mengandung protein yang cukup tinggi dengan kisaran 18 - 50% (Craig & Helfrich, 2002) dengan rasio C/N kurang dari 10 (Azim et al., 2007). Hal ini tentunya berdampak pada keseimbangan rasio C/N dalam media budidaya, sehingga untuk penerapan teknologi bioflok, rasio C/N perlu ditingkatkan lagi. Peningkatan rasio C/N dalam air untuk menstimulasi pertumbuhan bakteri heterotrof dapat dilakukan dengan mengurangi kandungan protein dan meningkatkan kandungan karbohidrat dalam pakan (Azim et al., 2007; Tacon et al., 2004) atau dengan menambahkan sumber karbohidrat secara langsung ke dalam air (Avnimelech, 2007: Samocha et al., 2007). Sumber karbohidrat dapat berupa gula sederhana seperti gula pasir atau molase (Ekasari, 2008; Kuhn et al., 2008, 2009; Samocha et al., 2007), atau bahan-bahan pati seperti tepung tapioka, tepung jagung, tepung terigu dan sorgum (Avnimelech, 1999; Hari et al., 2004; Van Wyk & Avnimelech, 2007).
Penambahan kandungan karbohidrat dalam pakan tentunya akan merubah komposisi pakan secara keseluruhan sehingga diperlukan adanya penyesuaian bahan-bahan tertentu dalam pakan seperti peningkatan kadar vitamin dan mineral. Menurut Avnimelech (1999) jumlah karbohidrat yang ditambahkan untuk mendorong pembentukan bioflok dapat dihitung dengan  menggunakan rumus berikut:
Karbohidrat (kg)= Pakan (kg) x % N dalam pakan x % ekskresi N/0,05
Penggunaan sumber karbon juga perlu memperhatikan beberapa faktor diantaranya kecepatan pemanfaatan karbohidrat oleh bakteri, kandungan protein dalam sumber karbohidrat itu sendiri, kecernaan karbohidrat oleh organisme budidaya, serta harga per unit karbohidrat. Sumber karbon juga dapat mempengaruhi kandungan nutrisi bioflok seperti yang ditunjukkan dalam Tabel 1 (Crab et al., 2009; de Schryver et al., 2008; Ekasari, 2008). Selain aerasi dan pengadukan,  dan penambahan   karbon,   pembentukan  dan  struktur bioflok juga dipengaruhi oleh faktor kimia, fisika dan biologis lain scpcrti laju akumulasi bahan organik, temperatur dan pH (de Schryver et a/., 2008).
Selain melalui pengamatan visual dan mikroskopik (Gambar 2), pembentukan dan keberadaan bioflok dalam sistem akuakultur dapat diketahui melalui pengukuran beberapa parameter kimia dan fisika air. Parameter kimia yang sering digunakan sebagai indikator utama keberadaan bioflok meliputi chemical oxygen demand (COD), atau jumlah oksigen yang diperlukan untuk mengoksidasi seluruh bahan organik dalam sampel secara kimiawi, dan biological oxygen demand (BOD) atau jumlah oksigen yang diperlukan oleh mikroorganisme untuk mengkonversi bahan organik melalui proses biokimia. Pada akuakutur dengan sistem bioflok, kebutuhan akan oksigen akan meningkat terutama disebabkan oleh tingginya kepadatan bakteri heterotrof di dalam air dan tentunya berpengaruh pada nilai COD maupun BOD. Parameter fisika yang dapat digunakan untuk mendetcksi keberadaan bioflok adalah suspended solids (SS)f volatile suspended solids (VSS), floc volume index (FVI). Salah satu karakter utama sistem bioflok adalah tingginya padatan tersuspensi terutama VSS yang merupakan indikator tingginya bahan organik tersuspensi dalam air.
Teknologi bioflok di masa depan
Dengan berbagai kelebihan yang telah dijelaskan di atas maka jelaslah bahwa teknologi bioflok merupakan salah satu alteraatif teknologi untuk kegiatan akuakultur yang ramah lingkungan dan berkesinambungan. Namun demikian dalam aplikasi langsung pada akuakultur sistem intensif masih ditemukan beberapa permasalahan dan aspek kajian yang membutuhkan penelitian lebih lanjut seperti kebutuhan energi untuk aerasi dan pengadukan, kestabilan sistem, kandungan nutrisi bioflok serta pengaruh bioflok terhadap transmisi dan infeksi penyakit.
Kepadatan bakteri yang tinggi dalam air akan menyebabkan kebutuhan oksigen yang lebih tinggi sehingga aerasi untuk penyediaan oksigen dalam penerapan teknologi bioflok merupakan salah satu kunci keberhasilan. Selain berperan dalam penyediaan oksigen, aerasi juga berfungsi untuk mengaduk (mixing) air agar bioflok yang tersuspensi dalam kolom air tidak mengendap.
Pengendapan bioflok di dasar wadah harus dihindari selain untuk mencegah terjadinya kondisi anaerobik di dasar wadah akibat akumulasi bioflok, juga untuk memastikan bahwa bioflok tetap dapat dikonsumsi oleh organisme budidaya. Untuk tercapainya tujuan aerasi ini, maka metoda aerasi yang paling tepat untuk sistem bioflok perlu dikaji lebih dalam lagi baik dari segi teknis maupun ekonomis.
Seperti yang dijelaskan pada uraian di atas bahwa pembentukan bioflok merupakan mekanisme yang kompleks yang melibatkan berbagai aspek fisika, kimia dan biologis, sehingga pembahan pada salah satu parameter akan mempengaruhi parameter lain. Azim & Little (2008) menemukan bahwa kualitas air di wadah pemeliharaan dengan perlakuan teknologi bioflok pada pemeliharaan ikan nila cenderung tidak stabil. Tingginya aktivitas respirasi mikroba dalam sistem bioflok juga menyebabkan terjadinya fluktuasi pada pH dan alkalinitas (Azim et al., 2007). Meningkatnya kekeruhan akibat tingginya padatan tersuspensi juga dapat berpengaruh pada kemampuan melihat beberapa jenis ikan sehingga berpengaruh pada jumlah pakan yang dimakan. Laju akumulasi bahan organik, laju konsumsi bioflok oleh organisme budidaya serta laju peningkatan biomas bakteri merupakan faktor-faktor yang harus diketahui untuk mengontrol konsentrasi flok yang optimum dalam air. Jika laju akumulasi bahan organik tinggi maka laju peningkatan biomas bakteri akan tinggi pula. Jika hal ini tidak diikuti dengan laju konsumsi bioflok oleh organisme budidaya maka akan terjadi akumulasi bioflok yang berlebihan yang akhirnya justru akan membuat sistem budidaya menjadi tidak stabil.
Salah satu solusi alternatif dari dua permasalahan di atas adalah dengan memisahkan reaktor bioflok dengan wadah
pemeliharaan (Azim & Little, 2008). Dengan cara tersebut, bioflok dapat berfungsi sebagai biofilter scperti halnya dalam sistem resirkulasi. Bioflok yang dihasilkan dari reaktor ini kemudian dapat dimanfaatkan langsung sebagai pakan untuk organisme budidaya atau dibuat menjadi tepung untuk bahan baku pakan (Kuhn et at., 2008,2009). Tabel 1 menunjukkan bahwa kandungan nutrisi bioflok cenderung tidak stabil dan dipengaruhi oleh berbagai faktor seperti sumber karbon dan komposisi biologisnya. Informasi mengenai kandungan nutrisi bioflok juga masih terbatas pada kandungan nutrisi ulama seperti protein kasar, lemak kasar, kadar abu dan karbohidrat.
Dengan demikian penelitian lanjutan aspck nutrisi bioflok masih perlu dilakukan. Penelitian oleh de Schryver et al. (2009) menunjukkan bahwa bioflok mengandung poly-b-hydroxybutyrate (PHB) berkisar antara 0,9 hingga 16% yang cukup memadai untuk memenuhi kebutuhan ikan akan PHB yang tidak lebih dari 1%. PHB merupakan produk polimer intraselular yang dihasilkan oleh berbagai jenis mikroorganisme sebagai bentuk simpanan energi dan karbon (Defoirdt et al., 2007). Polimer ini diduga mempunyai efek pencegahan dan pengobatan terhadap infeksi Vibrio serta manfaat prebiotik dalam akuakultur (Defoirdt et at., 2007; de Schryver et al., 2008).
KESIMPULAN
Secara teoritis maupun aplikasi, penerapan teknologi bioflok dapat meningkatkan kualitas air melalui pengontrolan konsentrasi ammonia dalam air dan meningkatkan efisiensi pemanfaatan nutrien melalui pemanfaatan bioflok scbagai sumber pakan bagi organisme yang dibudidayakan.