Sunday, February 21, 2016

MENGENAL IKAN BETUTU SEBAGAI IKAN MALAS

February 21, 2016 Posted by Media Penyuluhan Perikanan Pati No comments
Ikan Betutu (ikan malas) memiliki kelebihan tahan hidup di perairannya yang terbatas. Ikan ini sering dipasarkan dalam bentuk hidup. Ikan yang tergolong mahal ini merupakan makanan favorit di pasar ikan di Bangkok. Meski kulitnya berwarna menyeramkan, tetapi daging di dalamnya berwarna putih bersih.
A. Pengenalan Jenis
Awalnya, ikan gabus malas adalah hama yang mengusik ketenangan ikan-ikan peliharaan di kolam, sama seperti belut. Namanya sesuai dengan kebiasaan hidupnya. Ikan ini hampir-hampir tidak bergerak saking malasnya. Oleh karena itu, ikan ini harus diberi pakan hidup agar bereaksi. Ikan gabus malas dikenal juga dengan nama betutu. Ikan betutu memiliki sisik tipe ctenoid. Artinya, bentuk sisik kecil¬kecil dan menyelimuti sekujur adannya. Pada bagian kepala sisik, terdapat moncong, pipi, dan operculum. Bagian operculum sisik ini lebih besar dibandingkan dengan yang lainnya. Sirip dubur lebih pendek dari sirip punggung kedua.
Ikan ini mudah dibedakan dengan ikan lainnya karena mempunyai warna tubuh cokelat kehitaman. Pada bagian punggungnya berwarna hijau gelap, sedangkan warna bagian perutnya lebih terang. Bagian kepala memiliki tanda berwarna merah muda.
Betutu bisa tumbuh hingga mencapai 45 cm. Badannya berbentuk bulat panjang. Mulutnya bisa dibuka lebar dan siap menyantap mangsanya yang melintas di depannya. Sirip ekor berbentuk membulat (rounded) dengan kulit tubuh dihiasi belang-belang kecokelatan.
Jenis gabus malas atau ikan betutu yang dikenal di antaranya sebagai berikut :
1. Broadhead sleeper atau Dorminator lotifrans
Ikan ini tersebar di Kepulauan Pasifik dan Amerika Tengah serta Meksiko bagian Selatan, baik di air asin maupun air tawar. Panjang tubuhnya bisa mencapai hingga 25 cm. Broadhead sleeper suka makan ikan-ikan kecil.
2. Spotted Goby atau Dorminator maculatus
Ikan ini bisa tumbuh sampai 25 cm. Spotted Goby tersebar di Kepualauan Pasifik
dan Amerika Tengah, baik di laut ataupun di air payau.
3. Morgunda-morgunda atau purple-striped gudgeon
Ikan yang tergolong buas ini terdapat di perairan tawar di Australia Utara dan Tengah. Panjang tubuhnya bisa mencapai 20 cm
B. Kebiasaan Hidup di Alam
Benih ikan gabus Bering tampak seperti serombongan ikan cere (Lebistes reticulates) di kolam. Gabus malas ini berasal dari Kalimantan, Sumatera, Malaysia, dan Thailand. Ikan ini hidup di sungai, rawa dengan kedalaman 40 cm, dan menyukai perairan yang dangkal. Ikan betutu ini cenderung memilih tempat yang gelap, berlumpur, berarus tenang, atau wilayah bebatuan untuk bersembunyi. Di Indonesia, ikan ini ditemukan di Palembang, Muara Kompeh, Gunung Sahilan, Jambi, Danau Koto, Sungai Russu, Bua-bua, Banjarmasin, Sintang, Montrado, Batu Pangal, Smitau,Danau Boran, Pontianak, Sungai Kapuas, Serawak dan Ternate, Sungai Cisadane, Bengawan Solo, dan beberapa sungai besar lainnya.
1. Kebiasaan makan di alam, betutu menyantap pakan yang jaraknya sangat dekat. Dengan bentuk mulut yang sangat lebar, bukan halangan bagi betutu untuk mengenyangkan perutnya. Betutu termasuk golongan karnivora. Jenis pakan yang disukai adalah ikan-ikan kecil, cacing, atau organisme lainnya, asalkan masih hidup. Ikan ini bisa menyantap pakan ini dalam jumlah yang besar setiap harinya.
2. Kebiasaan berkembang biak di alam, betutu akan kawin pada musim penghujan di tempat yang berpasir bersih. Ikan ini kawin secara berpasangan. Telurnya akan dietakkan di dasar atau ditempelkan pada substrat, pinggiran batu, atau akar pokok kayu yang bersih. Telurnya akan tampak seperti kabut atau kapas yang sangat lembut dan halus yang menempel pada substrat.
3. Memilih Induk induk betutu umumnya dikumpulkan dari alam sebab perlu waktu yang lama dan pakan yang sangat banyak untuk menghasilkan induk di kolam. Induk-induk ini umumnya dikumpulkan di antara betutu dewasa dan diseleksi yang memiliki badan sehat. Induk jantan dapat dibedakan dari induk betina dengan melihat ciri-ciri morfologis sebagai berikut.
Ciri induk yang berkualitas
a. Betina
Badannya berwana lebih gelap.Bercak hitam lebih banyak. Papila urogenital berbentuk tonjolan memanjang yang lebih besar. membundar, warnanya memerah saat menjelang memijah. Ukurannya lebih kecil dibandingkan Ukurannya lebih kecil dibandingkan yang jantan pada umur yang sama.Berbadan sehat.Dewasa.
b. Jantan
Badannya berwana lebih terang.Bercak hitam lebih sedikit.Papila orogenital berbentuk segitiga, pipih, dan kecil.Pada umur yang sama ukurannya lebih besar daripada betina, berbadan sehat, dewasa.
4. Pemijahan di Kolam
Awalnya, betutu adalah ikan liar yang kehadirannya tidak dikehendaki di kolam pemeliharaan karena suka memangsa ikan yang dipelihara di dalamnya. Oleh karena itu, bila hendak memijahkan betutu di dalam kolam maka persiapannya harus matang agar tidak ada ikan lain yang masuk ke dalam kolam dan mengganggu proses pemijahan ikan betutu.
- Konstruksi Kolam Pemijahan Ikan Betutu
Luas kolam pemijahan bervariasi antara, tergantung ketersediaan lahan. Kolam berbentuk persegi panjang dengan letak pintu pemasukan dan pembuangan berseberangan secara diagonal. Tujuannya agar kolam bisa memperoleh air dari saluran langsung dan pembuangannya pun bisa lancar. Debit air kolam minimal 25 liter/menit. Pergantian air yang kotinyu akan berpengaruh positif terhadap proses pemijahan.
Tehnik memijahkan ikan betutu (Oxyeleotris marmoroto) dilakukan dengan dua cara, yaitu pemijahan secara alami dan pemijahan secara induksi (kawin suntik).
pada pemijahan alami tidak mengenal musim, bisa 3-4 kali dalam satu tahun. ikan betutu mempunyai keinginan untuk memijah biasanya ketika musim hujan. pada musim hujan perkembangbiakan ikan betutu ini akan meningkat. Pada puncak musim kemarau (Juli-September) betutu agak malas untuk berkembangbiak, tetapi pada pemeliharaan intensif ikan betutu ini dapat memijah dengan pemberian pakan yang berkualitas. Pemijahan secara alami dilaksanakan di kolam pemijahan yang berukuran 20 x 10 m2 dengan kedalaman air 70-80 cm atau pada bak semen yang lebih sempit. Debit air dijaga sekitar 25 liter/menit. pada kolam pemijahan dilengkapi dengan sarang berbentuk segitiga yang terbuat dari asbes yang disatukan, berukuran 30 cm. Tempat penempel telur ini sekaligus menjadi kolektor telur.
-     Persiapan kolam
Induk dipersiapkan terlebih dahulu. Untuk kolam pemijahan seluas 200 m2, dapat disiapkan induk yang rata-rata berukuran 300 g sebanyak 35-40 pasang. Sementara untuk kolam kecil, dengan luas 8 m2, dapat dimasukkan induk sebanyak 3-4 pasang.
Sebelum induk dimasukkan, kolam pemijahan dilengkapi dengan sarang pemijahan berupa segitiga yang dibuat dari asbes. Ukuran panjang segitigiga 30 cm yang diikat dengan kawat dan diberi pelampung untuk mempermudah mengetahui keberadaannya. Induk dimasukkan ke dalam kolam pemijahan setelah kolam terisi air setinggi 40-45 cm. Selama proses pemijahan, sebaiknya kolam memper¬oleh pergantian air secara kontinyu. Proses pergantian air secara kontinyu ini terbukti mampu merangsang pemijahan hampir semua jenis ikan secara alami.
- Pemijahan
Tingkah laku pemijahan ikan betutu meliputi 5 tahap, yaitu membentuk daerah kekuasaan, membuat sarang pemijahan, proses kawin, memijah dan meletakkan telurnya pada sarang, dan menjaga telurnya. Pemijahan biasanya terjadi pada malam hari, tetapi tidak jarang pada Siang hari betutu juga memijah. Ikan ini akan kawin di dalam segitiga sarang pemijahan. Selanjutnya, telur yang dihasilkan akan ditempelkan ke dalam kotak segitiga sarang pemijahan tersebut.
5. Penetasan Telur dan Perawatan Benih
Telur ikan betutu berbentuk lonjong, transparan. Ukurannya sangat kecil, kira-kira hanya bergaris tengah 0,83 mm. Telur tersebut melekat pada dinding sarang. Setelah kontak dengan air selama 10-15 menit, membran vitelinya akan mengembang terns dan panjang telur meningkat sekitar 50 % hingga telur berukuran 1,3 mm.
Penetasan telur dilakukan di akuarium dengan mengangkat sarang pemijahan yang telah berisi telur. Sebuah sarang pemijahan bisa ditempati oleh sepasang induk, tetapi bisa juga ditempati beberapa ekor induk. Kapasitas akuarium sebaiknya minimal 60 liter. Untuk menjamin proses penetasan, diberi aerasi agak kuat, dan ditetesi beberapa tetes
Malachytgreen atau Metilen blue untuk mencegah jamur (fungi). Telur yang terserang jamur akan tampak putih berbulu dan sebaiknya segera disifon agar tidak menulari telur yang lain.
Jumlah telur dalam setiap sarang berkisar 20.000- 30.000 butir. Telur tidak menetas dalam waktu yang bersamaan. Biasanya, penetasan berlangsung 2-4 hari. Setelah telur menetas, kekuatan aerator dikurangi. Adapun persentase telur yang menetas antara 80—90%.
6. Pendederan
Pendederan dimaksudkan untuk memelihara larva yang baru menetas dan sudah habis kuning telurnya (yolk sack) ke dalam kolam untuk memperoleh ikan yang seukuran sejari (fingerling). Pendederan biasanya dibagi menjadi 2 bagian, yaitu pendederan I dan pendederan II.
• Pendederan I dilakukan di dalam bak atau kolam yang lebih kecil, berukuran 5 m x 2 m dengan kedalaman 1 m. Kolam ini dipasangi hapa dengan ukuran mata 500 mikron (0,5 mm) yang berukuran 100 cm x 75 cm dan tinggi 60 cm. Banyaknya hapa yang dipasang tergantung benih yang akan ditebar. Kepadatan penebaran di dalam hapa pada pendederan I yaitu 30.000 ekor /m2 atau 3o ekor/liter air. Jadi, ke dalam bak tersebut dapat ditampung sebanyak 100.000-150.000 ekor larva, hasil dari 3-5 buah sarang, dengan kedalaman air 50 cm. Lama pemeliharaan di dalam pendederan I ini yaitu 2 bulan. Dengan pakan yang disuplai dari luar, akan dihasilkan benih seukuran 1-2 cm dengan tingkat hidup mencapai 20%.
• Untuk pendederan 11, dibutuhkan kolam yang luasnya 50 m2 dengan ukuran 5 m x 10 m dan kedalaman kolam 0,7 meter. Kolam dipupuk dengan kotoran ayam sebanyak 0,5-1,5 kg /m2, tergantung dari kesuburan kolam. Lama pemeliharaan di pendederan II yaitu 4 bulan dan akan dihasilkan benih betutu berukuran 10 cm (30-50 g) dengan tingkat kehidupan bisa mencapai 100%.
7. Pembesaran
Pembesaran dimaksudkan untuk menghasilkan betutu berukuran konsumsi. Kolam yang dibutuhkan seluas 200-600 m2. Kolam diusahakan memperoleh air barn dengan konstruksi pematang kolam dari tanah dengan terlebih dahulu dipastikan tidak bocor. Idealnya, kolam betutu dengan pematang yang ditembok. Di dalam kolam ditempatkan beberapa tempat persembunyian berupa ban bekas atau dawn kelapa karena betutu menghendaki lingkungan yang agak remang-remang. Kolam dipupuk terlebih dahulu dengan kotoran ayam dengan dosis 0.5-1.5 kg/m2. Kolam diairi dengan air yang sudah lewat saringan. Selanjutnya, benih berukuran ditebarkan. Adapun kepadatan penebaran tergantung benih yang ditebarkan. Untuk benih berukuran 100 g dapat ditebarkan 20 ekor/m2, sedangkan yang berukuran 175 g dapat ditebarkan sebanyak 8 ekor/m2. Dalam tempo 5 bulan, benih yang beratnya 100 g dapat tumbuh menjadi 250 g/ekor, sedangkan yang berukuran 175 g dapat mencapai berat 400 g/ekor selama 6 bulan,
Sumber : nurhasan.WordPress.com

Friday, February 19, 2016

MANFAAT BIOTEKNOLOGI HASIL PERIKANAN DAN FUNGSINYA

February 19, 2016 Posted by Media Penyuluhan Perikanan Pati No comments
Latar belakang
Bioteknologi adalah penggunaan biokimia, mikrobiologi, dan rekayasagenetika secara terpadu, untuk menghasilkan barang atau lainnya bagikepentingan manusia. Biokimia mempelajari struktur kimiawi organisme.Rekayasa genetika adalah aplikasi genetik dengan mentransplantasi gen dari satuorganisme ke organisme lain.Bioteknologi merupakan salah satu bidang sains di mana benda hidupdigunakan untuk menghasilkan produk atau untuk melakukan sesuatu yang berguna untuk manusia. Tumbuh-tumbuhan, hewan dan juga mikro organismeseperti bakteria telah digunakan untuk menghasilkan kebaikan yang dapatdigunakan manusia. Dalam bidang industri perobatan dan pertanian, bioteknologi bantu dalam menghasilkan suplemen makanan, untuk menguji diagnosa penyakit.Bioteknologi boleh digunakan untuk menyelesaikan masalah dan untuk membantudalam penyelidikan berbagai permasalahan. Ciri utama bioteknologi adalah dengan adanya benda biologi berupamikroba, tumbuhan atau hewan serta adanya pendayagunaan secara teknologi danindustri dan juga produk yang dihasilkan adalah hasil ekstraksi dan pemurnian.Dalam penerapannya sekarang, bioteknologi seringkali dimanfaatkan untuk segalamacam kegiatan atau industri-industri. eperti industri kesehatan, pertanian, peternakan dan juga pertanian. Bioteknologi perikanan !a"uatic biotechnology#diartikan sebagai penggunaan organisme !biota# perairan atau bagian dariorganisme perairan, seperti sel dan en$im, untuk membuat atau memodifikasi produk, untuk memperbaiki kualitas fauna !hewan# dan flora !tumbuhan#, atauuntuk mengembangkan organisme guna aplikasi tertentu, termasuk remediasi!perbaikan# lingkungan akibat pencemaran dan kerusakan lainnya.Bioteknologi perairan juga mencakup ekstraksi !pengambilan# bahan- bahan alamiah !natural products atau bioacti%e substances# dari organisme perairan untuk bahan dasar industri makanan dan minuman, farmasi, kosmetika,
dan lainnya !fullnews.com#. Dengan demikian, aplikasi industri bioteknologi perairan secara garis besar mencakup ekstraksi bahan-bahan alamiah untuk  berbagai jenis industri, perikanan budidaya !a"uaculture# dan bioremediasilingkungan.
adapun mnafaat dari penulisan makalah tentang bioteknologi perikanan ini adalahuntuk menambah wawasan dan ilmu pengetahuan tentang bioteknologi dalam bidang perikanan serta dapat memberikan gambaran mengen
Saat ini perhatian masyarakat akan kesehatan begitu besar, hal ini mendasari pola konsumsi makanan yang tidak hanya mampu memenuhi kebutuhan gisinya saja akan tetapi mempunyai peranan yang mampu mengurangi resiko penyakit seperti cardiopathies, obesitas, osteoporosis, cancer, diabetes, allergies and stress (Cencic and Chingwaru. 2010; Shahidi, F. 2009). Pangan yang mempunyai sifat tersebut dikategorikan sebagai pangan fungsional, pangan fungsional dapat dihasilkan dari makanan darat seperti buah-buahan, sayur-sayuran, sereal dan jamur) serta organisme perairan seperti ikan, karang, makro dan mikro alga.
Pesatnya dunia industri seperti sekarang ini telah menjadikan makanan darat terekspose dengan komponen bioaktif yang bersifat merugikan bila dibandingkan dengan makanan yang dihasilkan dari perairan(Freitas, Ana. C., et al. 2012: Rasmussen and Morrisey, 2007). Sebagaimana kita ketahui bersama bahwa organisme perairan banyak mengandung omega 3, kitin, kitosan, kolagen, karotenoid, protein hidrolisat, taurin dan beberapa senyawa bioaktif yang dapat meningkatkan kesehatan manusia. Ikan maupun hasil samping ikan dan mikroalga mengandung minyak omega 3, kitin dan kitosan yang dapat bersifat sebagai antioksidan dan merangsang sistem imunitas tubuh. Alga, sargassum sebagai sumber dietary fiber yang bagus dan karotenoid sebagai antioksidan yang berperan penting dalam melindungi penyakit neurodegenerative. Mikroalga mempunya senyawa bioaktif, PUFA, karotenoid, klorofil yang dapat meningkatkan profil nutrisi pada makanan yang ditambahkan komponen ini.
Bioteknologi Bidang Perikanan
Bioteknologi perikanan adalah bioteknologi yang ditekankan khusus pada bidang perikanan. enerapan bioteknologi dalam bidang perikanan sangat luas,mulai dari rekayasa media budidaya, ikan, hingga pascapanen hasil perikanan.emanfaatan mikroba telah terbukti mampu mempertahankan kualitas media budidaya sehingga aman untuk digunakan sebagai media budidaya ikan.Bioteknologi telah menciptakan ikan berkarakter genetis khas yang dihasilkanmelalui rekayasa gen. *elalui rekayasa gen, dapat diciptakan ikan yang tumbuhcepat, warnanya menarik, dagingnya tebal, tahan penyakit dan sebagainya. adatahap pascapanen hasil perikanan, bioteknologi mampu mengubah ikan melalui proses transformasi biologi hingga dihasilkan produk yang bermanfaat bagikelangsungan hidup manusia. udah sejak abad &&, manusia sebetulnyamenggunakan prinsip dasar ini. embuatan pangan seperti peda, kecap ikan, terasiikan merupakan hasil bioteknologi. etahanan pangan merupakan isu global yangsekarang sedang ramai dibicarakan. +lasannya jelas, pada tahun ()) populasimanusia di dunia akan mencapai sektar &( miliar jiwa. ebagian besar penduduk tersebut ada di benua +sia. Berdasarkan hal tersebut, diperkirakan pada tahun(& kebutuhan pangan penduduk +sia akan melampaui persediaan yang ada.ondisi ini membuat /egara 0ndonesia harus bekerjakeras memenuhi kebutuhan pangannya, sehingga peristiwa kelangkaan pangan di atas tidak perlu dialami.1angkah pemerintah untuk mewujudkan ketahanan pangan sudah mulai terlihat,salah satu komitmennya adalah meningkatkan produksi ikan menjadi tiga kalilipat dari periode sebelumnya.alah satu penyebab rendahnya produksi perikanan 0ndonesia adalahkemampuan mengolahnya. ekitar (-(2 persen produk perikanan tidak dapatdimanfaatkan karena tidak diolah atau mengalami pembusukan. 0ni berarti satu juta ton ikan terbuang percuma. Beberapa kendala dialami oleh pengusaha pengolah hasil perikanan untuk menekan persentase ikan yang tidak dapat
dimanfaatkan. endala tersebut mulai dari kondisi bahan baku, teknologi pengolahan, sumberdaya manusia dan tingkat konsumsi ikan. Bioteknologi pengolahan hasil perikanan !B3# merupakan cabang dari bioteknologi panganyang sudah lama diterapkan oleh masyarakat 0ndonesia untuk mengolah hasil perikanan. Beberapa produk yang telah dihasilkan masyarakat melalui penerapan bioteknologi antara lain peda, kecap ikan, bekasem, bekasang, terasi dan silase.*eskipun mereka tidak memahami prinsip ilmiah yang mendasarinya, para pengolah ikan telah memanfaatkan bioteknologi selama berabad-abad untuk membuat pangan berbahan baku ikan.ecara garis besarnya B3 adalah salahsatu teknologi untuk mengolah hasil perikanan menggunakan jasa mahluk hidup,yaitu mikroba. alah satu sifat mikroba yang menjadi dasar penggunaan B3adalah kemampuannya merombak senyawa kompleks menjadi senyawa lebihsederhana, sehingga dihasilkan pangan berbentuk padat, semi padat dan cair.*ikroba memiliki kemampuan merombak senyawa kompleks !protein,lemak dan karbohidrat# menjadi senyawa lebih sederhana !asam amino, asamlemak dan glukosa#. erombakan demikian telah merombak hasil perikananmenjadi pangan yang aman dikonsumsi manusia. +pabila tidak segera dihentikan,mikroba akan merombak senyawa sederhana tersebut menjadi ammonia, hidrogensulfida, keton dan alkohol. erubahan tersebut menjadikan pangan tersebut tidak layak lagi dikonsumsi.
2.2 Bentuk Penera&an B#$tekn$l$g# %# B#%ang Per#kanan
Bioteknologi perikanan adalah bioteknologi yang ditekankan khusus pada bidang perikanan. enerapan bioteknologi dalam bidang perikanan sangat luas,mulai dari rekayasa media budidaya, ikan, hingga pascapanen hasil perikanan.emanfaatan mikroba telah terbukti mampu mempertahankan kualitas media budidaya sehingga aman untuk digunakan sebagai media budidaya ikan.Bioteknologi telah menciptakan ikan berkarakter genetis khas yang dihasilkanmelalui rekayasa gen. *elalui rekayasa gen, dapat diciptakan ikan yang tumbuhcepat, warnanya menarik, dagingnya tebal, tahan penyakit dan sebagainyaIkan maupun hasil samping ikan mengandung kaya protein, senyawa aktif peptida yang dapat mengurangi resiko penyakit hipertensi dan penyakit kardiovaskuler. Kandungan senyawa pada hasil perairan tersebut menjadikan eksplorasi hasil perairan sangat menjanjikan. Eksplorasi tersebut membutuhkan pengembangan bioteknologi yang nantinya mampu dalam menyediakan pangan fungsional bagi masyarakat.
Bioteknologi sendiri didefinisikan sebagai “semua aplikasi teknologi yang menggunakan sistem biologis, organisme hidup / kehidupan organisme itu sendiri atau derivat-derivatnya untuk membuat dan atau memodifikasi produk atau proses yang kegunaannya sangat spesifik (www.fao.org/biotech/fao-statement-onbiotechnology/en).

Lingkup bioteknologi perikanan diklasifikasikan menjadi dua yaitu :
1). Proses bioteknologi itu sendiri seperti bioreaktor, fermentasi, dan bioproses. Contohnya seperti budidaya / cell factories pada organisme makro dan mikro alga, diatom dan cyanobacter dengan sistem open ponds / tanks (raceway ponds, shallow ponds, dan circular ponds), reactors (photobioreactors dan fermenters) untuk menghasilkan karotenoid, polisakarida, dan asam lemak omega 3. Bioproses ikan maupun hasil samping ikan dengan cara hidrolisis enzimatis untuk menghasilkan protein, senyawa biaktif peptida, asam amino, kitin dan kitosan. Serta melalui proses ekstraksi (tradisional, subcritical fluid extraction, dan supercritical fluid extraction) untuk menghasilkan enzim, kitosan, karotenoid, polisakarida, asamlemak omega 3 dan senyawa fenol.
2). Biologi molekuler, yang meliputi DNA extraction dan isolation, metagenoma, cloned in host, sequence based screening yang menghasilkan gene identification dan functional based screening yang menghasilkan enzim atau hasil metabolit lainnya.
Sumber :  Yanuar Prasetyo 
Referensi :
Cencic A., Chingwaru, W. 2010. The Role of Functional Foods, Nutraceuticals and Food Supplements in Intestinal Health. Nutrients. 2 : 611-625.
Freitas, Ana. C., Dina Rodrigues., Teresa A. P. Rocha – Santos., Ana M. P. Gomes., Armando C. Duarte. 2012. Marine Biotechnology Advances Towards Application in New Functional Foods. Biotechnology Advances. 30. 1506 – 1515.
Rassmusen, RS., Morrisey M. 2007. Marine Biotechnology For Production of Food Ingredients. Adv Food Nutr Res. 52. 237-92.
Shahidi, F. 2009. Nutraceuticals and Functional Foods : Whole Versus Processed Foods Trend Food Sci Technol. 20: 376-387.

Thursday, February 18, 2016

MENGENAL BUDIDAYA IKAN GRASSCARP

February 18, 2016 Posted by Media Penyuluhan Perikanan Pati No comments
Pemeliharaan induk ikan grass carp. Pemeliharaan induk ikan grasscarp dilakukan di kolam tanah.
Caranya :
* siapkan kolam ukuran 200 m2;
* keringkan selama 2 – 4 hari dan perbaiki seluruh bagian kolam;
* isi air setinggi 50 – 70 cm dan alirkan secara kontinyu;
* masukan 150 ekor induk ukuran 3 – 5 kg;
* beri pakan tambahan berupa rumput sebanyak 5 persen/hari;
* menjelang musim hujan, pakan tambahan ditambah dengan pelet sebanyak satu persen.
Catatan : induk jantan betina dipelihara terpisah.
Seleksi induk ikan grass carp
Seleksi induk ikan grasscarp dilakukan dengan melihat tanda-tanda pada tubuh.
Tanda induk betina yang matang gonad :
* perut gendut;
* belakang sirip dada kasar;
* gerakan lamban dan lubang kelamin kemerahan.
Tanda induk jantan :
* gerakan lincah,
* lubang kelamin kemerahan,
* bila dipijit ke arah lubang kelamin, keluar cairan berwarna putih.
Usahakan saat seleksi mengangkap induk jantan dan betina lebih dari satu, sebagai cadangan.
Pemberokan induk ikan grass carp
Pemberokan induk ikan grass carp dilakukan di bak selama semalam.
Caranya :
* siapkan bak tembok ukuran panjang 4 m, lebar 3 dan tinggi 1 m;
* keringkan selama 2 hari;
* isi dengan air bersih setinggi 40 – 50 dan mengalir secara kontinyu;
* masukan 5 – 8 ekor induk.
Catatan : Pemberokan bertujuan untuk membuang sisa pakan dalam tubuh dan mengurang kandungan lemak. Karena itu, selama pemberokan tidak diberi pakan tambahan.
Penyuntikan ikan grass carp
Penyuntikan ikan grass carp bisa juga dengan larutan kelenjar hypopisa ikan mas.
Caranya :
* tangkap induk betina yang sudah matang gonad;
* siapkan 2 kg ikan mas ukuran 0,5 kg untuk setiap kilogram induk betina;
* potong ikan mas tersebut secara vertikal tepat di belakang tutu insang;
* potong bagian kepala secara horizontal tepat di bawah mata;
* buang bagian otak; ambil kelenjar hypopisa;
* masukan kelenjar hipofisa tersebut ke dalam gelas penggerus dan hancurkan;
* masukan 1 cc aquabides dan aduk hingga rata;
* sedot larutan hypopisa itu;
* suntikan ke bagian punggung induk betina;
* masukan induk yang sudah disuntik ke bak lain dan biarkan selam 10 – 12 jam.

Catatan : penyuntikan dilakukan dua kali, dengan selang waktu 6 jam. Penyuntikan pertama sebanyak 1/3 dosis dari dosis total (atau 0,6 kg ikan mas/kg induk betina) dan penyuntikan kedua sebanyak 2/3 dosis total (atau 1,4 kg ikan mas/kg induk betina). Induk jantan disuntik satu kali, berbarengan penyuntikan kedua dengan dosis 0,6 ml/kg induk jantan.
Penyuntikan ikan grass carp dengan ovaprim
Penyuntikan ikan grass carp umumnya menggunakan hormon perangsang berupa ovaprim. Caranya :
* tangkap induk betina yang sudah matang gonad;
* sedot 0,6 ml ovaprim untuk setiap kilogram induk;
* suntikan bagian punggung induk tersebut;
* masukan induk yang sudah disuntik ke dalam bak lain dan biarkan selama 10 - 12 jam.
Catatan : penyuntikan dilakukan dua kali, dengan selang waktu 6 jam. Penyuntikan pertama sebanyak 1/3 dosis dari dosis total (atau 0,2 ml/kg induk) dan penyuntikan kedua sebanyak 2/3 dosis total (atau 0,4 ml/kg induk betina). Induk jantan disuntik satu kali, berbarengan penyuntikan kedua dengan dosis 0,2 ml/kg induk jantan.
Pembuatan larutan sperma ikan grass carp
Pengambilan sperma ikan grass carp dilakukan setengah jam sebelum pengeluaran telur.
Caranya :
* tangkap 1 ekor induk jantan yang sudah matang kelamin;
* lap hingga kering;
* bungkus tubuh induk dengan handuk kecil;
* pijit ke arah lubang kelamin;
* tampung sperma ke dalam mangkuk plastik atau cangkir gelas;
* campurkan 200 cc Natrium Clhorida (larutan fisiologis atau inpus);
* aduk hingga homogen.
Catatan : pengeluaran sperma dilakukan oleh dua orang. Satu orang yang memegang kepala dan memijit dan satu orang lagi memegang ekor dan mangkuk plastik. Jaga agar sperma tidak terkena air.
Pengeluaran telur ikan grass carp
Pengeluaran telur ikan grass carp dilakukan setelah 10 – 12 jam setelah penyuntikan, namun 9 jam sebelumnya dilakukan pengecekan.
Caranya :
* siapkan 3 buah baskom plastik, sebotol Natrium chlorida (inpus), sebuah bulu ayam, kain lap dan tisu;
* tangkap induk dengan sekup net;
* keringkan tubuh induk dengan handuk kecil atau lap; bungkus induk dengan handuk dan biarkan lubang telur terbuka;
* pegang bagian kepala oleh satu orang dan pegang bagian ekor oleh yang lainnya;
* pijit bagian perut ke arah lubang telur oleh pemegang kepala;
* tampung telur dalam baskom plastik;
* campurkan larutan sperma ke dalam telur;
* aduk hingga rata dengan bulu ayam;
* tambahkan Natrium chrorida dan aduk hingga rata;
* buang cairan itu agar telur-telur bersih dari darah;
* tetaskan telur.


Penetasan telur ikan grass carp
Penetasan telur ikan grasscarp dilakukan di akuarium.
Caranya :

* siapkan 20 buah akuarium ukuran panjang 60 cm, lebar 40 cm dan tinggi 40 cm;
* keringkan selama 2 hari;
* isi air bersih setinggi 30 cm;
* pasang empat buah titik aerasi untuk setiap akuarium dan hidupkan selama penetasan;
* tebarkan tebar secara merata ke permukaan dasar akuarium;
* 2 – 3 hari kemudian buang sebagian airnya dan tambahkan air baru hingga mencapai ketinggian semula.
* Telur akan menetas dalam 2 – 3 hari.
Pendederan pertama ikan grass carp
Pendederan I ikan grasscarp dilakukan di kolam tanah.
Caranya :
* siapkan kolam ukuran 500 m2;
* keringkan selama 4 – 5 hari;
* perbaiki seluruh bagiannya;
* buatkan kemalir dengan lebar 40 cm dan tinggi 10 cm;
* ratakan tanah dasarnya; tebarkan 5 - 7 karung kotoran ayam atau puyuh;
* isi air setinggi 40 cm dan rendam selama 5 hari (air tidak dialirkan);
* tebar 50.000 ekor larva pada pagi hari;
* setelah 2 hari, beri 1 – 2 kg tepung pelet atau pelet yang telah direndam setiap hari;
* panen benih dilakukan setelah berumur 3 minggu.
Pendederan dua ikan grass carp
Pendederan kedua juga dilakukan di kolam tanah.
Caranya :
* siapkan kolam ukuran 500 m2;
* keringkan 4 – 5 hari; perbaiki seluruh bagiannya;
* buatkan kemalir dengan lebar 40 cm dan tinggi 10 cm;
* ratakan tanah dasar;
* tebarkan 5 - 7 karung kotoran ayam atau puyuh; isi air setinggi 40 cm dan rendam selama 5 hari (air tidak dialirkan);
* tebar 40.000 ekor benih hasil pendederan I (telah diseleksi);
* beri pakan tambahan 2 – 4 kg tepung pelet atau pelet yang telah direndam setiap hari;
* panen benih dilakukan setelah berumur sebulan.
Pendederan tiga ikan grass carp
Pendederan ketiga dilakukan di kolam tanah.
Caranya :
* siapkan kolam ukuran 500 m2;
* keringkan 4 – 5 hari; perbaiki seluruh bagiannya;
* buatkan kemalir dengan lebar 40 cm dan tinggi 10 cm;
* ratakan tanah dasarnya;
* tebarkan 2 karung kotoran ayam atau puyuh;
* isi air setinggi 40 cm dan rendam selama 5 hari (air tidak dialirkan);
* tebar 30.000 ekor hasil dari pendederan II (telah diseleksi);
* beri pakan tambahan4 - 6 kg pelet;
* panen setelan sebulan

Pembesaran ikan grass carp
Pembesaran ikan grasscarp dilakukan di kolam tanah.
Caranya :
* siapkan sebuah kolam ukuran 500 m2;
* perbaiki seluruh bagiannya;
* tebarkan 6 - 8 karung kotoran ayam atau puyuh;
* isi air setinggi 40 - 60 cm dan rendam selama 5 hari;
* masukan 1.000 ekor benih hasil seleksi dari pendederan III;
* beri pakan 3 persen setiap hari, 3 kg di awal pemeliharaan dan bertambah terus sesuai dengan berat ikan;
* alirkan air secara kontinyu;
* lakukan panen setelah 8 bulan.
Sebuah kolam dapat menghasilkan ikan konsumsi ukuran 500 gram sebanyak 400 – 500 kg.

Wednesday, February 17, 2016

BUDIDAYA IKAN LELE( Clarias Sp)

February 17, 2016 Posted by Media Penyuluhan Perikanan Pati No comments
SEJARAH SINGKAT
Lele merupakan jenis ikan konsumsi air tawar dengan tubuh memanjang dan kulit licin. Di Indonesia ikan lele mempunyai beberapa nama daerah, antara
lain: ikan kalang   (Padang), ikan maut (Gayo, Aceh),    ikan pintet (Kalimantan Selatan), ikan keling (Makasar),   ikan cepi   (Bugis), ikan lele atau   lindi (Jawa Tengah). Sedang di negara lain dikenal dengan nama     mali (Afrika), plamond
(Thailand), ikan keli (Malaysia), gura magura (Srilangka), ca tre trang   (Jepang). Dalam bahasa Inggris disebut pula            catfish, siluroid, mudfish dan walking catfish.
Ikan lele tidak pernah ditemukan di air payau atau air asin. Habitatnya di sungai dengan arus air yang perlahan, rawa, telaga, waduk, sawah yang tergenang air. Ikan lele bersifat noctural, yaitu aktif bergerak mencari makanan pada malam hari. Pada siang hari, ikan lele berdiam diri dan berlindung di tempat-tempat gelap. Di alam ikan lele memijah pada musim penghujan.
2. SENTRA PERIKANAN
Ikan lele banyak ditemukan di  benua  Afrika dan  Asia.  Dibudidayakan  di Thailand, India, Philipina dan Indonesia. Di Thailand produksi ikan lele   ± 970
kg/100m2/tahun. Di India (daerah Asam) produksinya rata-rata tiap 7 bulan mencapai 1200 kg/Ha.
3. JENIS
Klasifikasi ikan lele menurut Hasanuddin Saanin dalam Djatmika et al (1986) adalah:
Kingdom :Animalia
Sub-kingdom :Metazoa
Phyllum : Chordata
Sub-phyllum : Vertebrata
Klas : Pisces
Sub-klas : Teleostei
Ordo : Ostariophysi
Sub-ordo : Siluroidea
Familia : Clariidae
Genus :Clarias
Di Indonesia ada 6 (enam) jenis ikan lele yang dapat dikembangkan:
1. Clarias batrachus, dikenal sebagai ikan lele (Jawa), ikan kalang (Sumatera Barat), ikan maut (Sumatera Utara), dan ikan pintet (Kalimantan Selatan).
2. Clarias teysmani, dikenal sebagai lele Kembang (Jawa Barat), Kalang putih (Padang).
3. Clarias melanoderma, yang dikenal sebagai ikan duri (Sumatera Selatan), wais (Jawa Tengah), wiru (Jawa Barat).
4. Clarias nieuhofi, yang dikenal sebagai ikan lindi (Jawa), limbat (Sumatera Barat), kaleh (Kalimantan Selatan).
5. Clarias loiacanthus, yang dikenal sebagai ikan keli (Sumatera Barat), ikan penang (Kalimantan Timur).
6. Clarias gariepinus, yang dikenal sebagai lele Dumbo (Lele Domba), King catfish, berasal dari Afrika.

4. MANFAAT
1. Sebagai bahan makanan
2. Ikan lele dari jenis C. batrachus juga dapat dimanfaatkan sebagai ikan pajangan atau ikan hias.
3. Ikan lele yang dipelihara di sawah dapat bermanfaat untuk memberantas hama padi berupa serangga air, karena merupakan salah satu makanan alami ikan lele.
4. Ikan lele juga dapat diramu  dengan berbagai bahan obat  lain  untuk mengobati penyakit asma, menstruasi (datang bulan) tidak teratur, hidung berdarah, kencing darah dan lain-lain.
5.  PERSYARATAN LOKASI
1.  Tanah yang baik untuk kolam pemeliharaan adalah jenis tanah liat/lempung,  tidak  berporos, berlumpur dan subur.  Lahan yang dapat digunakan untuk budidaya lele dapat berupa: sawah, kecomberan, kolam pekarangan, kolamkebun, dan blumbang.
2.  Ikan lele hidup dengan baik di daerah dataran rendah sampai daerah yang tingginya maksimal 700 m dpl.
3.  Elevasi tanah dari permukaan sumber air dan kolam adalah 5-10%.
4.  Lokasi untuk pembuatan kolam harus berhubungan langsung atau dekat dengan sumber air dan tidak dekat dengan jalan raya.
5.  Lokasi untuk pembuatan kolam hendaknya di tempat yang teduh, tetapi tidak berada di bawah pohon yang daunnya mudah rontok.
6.  Ikan lele dapat hidup pada suhu 200  C, dengan suhu optimal antara 25-280°C
    Sedangkan untuk pertumbuhan larva diperlukan kisaran suhu antara 26-300 °C  dan untuk pemijahan 24-280  C.
7.  Ikan  lele dapat hidup  dalam perairan  agak tenang dan kedalamannya
    cukup, sekalipun kondisi airnya jelek, keruh, kotor dan miskin zat O       2.
8.  Perairan tidak boleh tercemar oleh bahan kimia, limbah industri, merkuri, atau mengandung kadar minyak atau bahan lainnya yang dapat mematikan ikan.
9.  Perairan  yang  banyak  mengandung zat-zat yang dibutuhkan ikan dan bahan makanan alami. Perairan tersebut bukan perairan yang rawan banjir.
10. Permukaan perairan tidak boleh tertutup rapat oleh  sampah atau  daun- daunan hidup, seperti enceng gondok.
11. Mempunyai pH 6,5–9; kesadahan (derajat butiran kasar ) maksimal 100 ppm dan optimal 50 ppm; turbidity (kekeruhan) bukan lumpur antara 30–60
cm; kebutuhan O2 optimal pada range yang cukup lebar, dari 0,3 ppm untuk yang dewasa sampai jenuh untuk burayak; dan kandungan CO kurang dari
12,8 mg/liter, amonium terikat 147,29-157,56 mg/liter.
12.     Persyaratan untuk pemeliharaan ikan lele di keramba :
a.      Sungai atau saluran irigasi tidak curam, mudah dikunjungi/dikontrol.
b.      Dekat dengan rumah pemeliharaannya.
c.      Lebar sungai atau saluran irigasi antara 3-5 meter.
d.      Sungai atau saluran irigasi tidak berbatu-batu, sehingga keramba mudah dipasang.
e.      Kedalaman air 30-60 cm.

6. PEDOMAN TEKNIS BUDIDAYA
6.1. Penyiapan Sarana dan Peralatan
Dalam pembuatan kolam pemeliharaan ikan lele sebaiknya ukurannya tidak
terlalu luas. Hal ini untuk memudahkan pengontrolan dan pengawasan. Bentuk
dan  ukuran kolam pemeliharaan bervariasi,  tergantung  selera pemilik  dan
lokasinya. Tetapi sebaiknya bagian dasar dan dinding kolam dibuat permanen.
Pada minggu ke 1-6  air harus  dalam keadaan jernih kolam, bebas  dari pencemaran maupun fitoplankton. Ikan pada usia 7-9 minggu kejernihan airnya harus dipertahankan. Pada minggu 10, air dalam batas-batas tertentu masih diperbolehkan.  Kekeruhan  menunjukkan  kadar bahan padat yang melayang dalam air (plankton). Alat untuk mengukur kekeruhan air disebut secchi. Prakiraan kekeruhan air berdasarkan usia lele (minggu) sesuai angka secchi : -Usia 10-15 minggu, angka secchi = 30-50
-Usia 16-19 minggu, angka secchi = 30-40
-Usia 20-24 minggu, angka secchi = 30
6.2. Penyiapan Bibit
1.                Menyiapkan Bibit


a.         Pemilihan Induk
1.    Ciri-ciri induk lele jantan:
-Kepalanya lebih kecil dari induk ikan lele betina.
-Warna kulit dada agak tua bila dibanding induk ikan lele betina.
-Urogenital papilla (kelamin) agak  menonjol, memanjang  ke  arah belakang, terletak di belakang anus, dan warna kemerahan.
-Gerakannya lincah, tulang kepala pendek  dan  agak  gepeng (depress).
-Perutnya lebih langsing dan kenyal bila dibanding induk ikan lele betina.
-Bila bagian perut di stripping secara manual dari perut ke arah ekor akan mengeluarkan cairan putih kental (spermatozoa-mani).
-Kulit lebih halus dibanding induk ikan lele betina.
2.    Ciri-ciri induk lele betina
-Kepalanya lebih besar dibanding induk lele jantan. -Warna kulit dada agak terang.
-Urogenital papilla (kelamin) berbentuk oval (bulat daun), berwarna kemerahan, lubangnya agak lebar dan terletak di belakang anus.
- Gerakannya lambat, tulang kepala pendek dan agak cembung.
- Perutnya lebih gembung dan lunak.
- Bila bagian perut di stripping secara manual dari bagian perut ke arah ekor akan  mengeluarkan cairan kekuning-kuningan
( ovum/telur).
3.    Syarat induk lele yang baik:
-Kulitnya lebih kasar dibanding induk lele jantan.
-Induk lele diambil dari lele yang dipelihara dalam kolam sejak kecil supaya terbiasa hidup di kolam.
-Berat  badannya berkisar antara  100-200 gram, tergantung kesuburan badan dengan ukuran panjang 20-5 cm.






-Bentuk badan simetris, tidak bengkok, tidak cacat, tidak luka, dan lincah.
-Umur induk jantan di atas tujuh bulan, sedangkan  induk betina berumur satu tahun.
-Frekuensi pemijahan bisa satu bula sekali, dan sepanjang hidupnya bisa memijah lebih dari 15 kali dengan syarat apabila makanannya mengandung cukup protein.
4.    Ciri-ciri induk lele siap memijah adalah calon  induk  terlihat mulai berpasang-pasangan,  kejar-kejaran  antara  yang jantan dan yang betina. Induk tersebut segera ditangkap dan ditempatkan dalam kolam tersendiri untuk dipijahkan.
5.    Perawatan induk lele:
-Selama masa pemijahan dan masa perawatan, induk ikan lele diberi makanan yang berkadar protein tinggi seperti cincangan  daging bekicot, larva lalat/belatung, rayap atau  makanan buatan  (pellet). Ikan lele membutuhkan  pellet  dengan kadar protein yang relatif tinggi, yaitu      ± 60%. Cacing sutra kurang baik untuk makanan induk lele, karena kandungan lemaknya tinggi. Pemberian cacing sutra harus dihentikan seminggu menjelang perkawinan atau pemijahan. -Makanan diberikan pagi hari dan sore hari dengan jumlah 5-10% dari berat total ikan.
-Setelah benih berumur seminggu, induk  betina  dipisahkan, sedangkan  induk  jantan dibiarkan untuk menjaga  anak-anaknya. Induk jantan baru bisa dipindahkan apabila anak-anak lele sudah berumur 2 minggu.
-Segera pisahkan induk-induk yang mulai lemah atau yang terserang penyakit untuk segera diobati.
-Mengatur aliran air masuk yang bersih, walaupun kecepatan aliran tidak perlu deras, cukup 5-6 liter/menit.


b.          Pemijahan Tradisional
1.    Pemijahan di Kolam Pemijahan
Kolam induk:
-Kolam dapat berupa tanah seluruhnya atau tembok sebagian dengan dasar tanah.
-Luas bervariasi, minimal 50 m2.
-Kolam terdiri dari 2 bagian, yaitu bagian dangkal (70%) dan bagian dalam (kubangan) 30 % dari luas kolam. Kubangan ada di bagian tengah kolam dengan kedalaman  50-60 cm,  berfungsi  untuk bersembunyi induk, bila kolam disurutkan airnya.
-Pada sisi-sisi kolam ada sarang peneluran dengan ukuran 30x30x25 cm3, dari tembok yang dasarnya dilengkapi saluran pengeluaran dari pipa  paralon diamneter  1 inchi  untuk keluarnya banih ke kolam pendederan.
 -Setiap sarang peneluran mempunyai satu lubang yang dibuat dari
pipa paralon (PVC) ukuran     ± 4 inchi untuk masuknya induk-induk
lele.
-Jarak antar sarang peneluran    ± 1 m.
-Kolam dikapur merata, lalu tebarkan pupuk kandang (kotoran ayam) sebanyak 500-750 gram/m2.
-Airi kolam sampai batas kubangan, biarkan selama 4 hari.
Kolam Rotifera (cacing bersel tunggal):
-Letak kolam rotifera di bagian atas dari kolam induk berfungi untuk menumbuhkan makanan alami ikan (rotifera).
-Kolam  rotifera  dihubungkan ke kolam induk  dengan pipa paralon untuk mengalirkan rotifera.
-Kolam rotifera diberi pupuk organik  untuk  memenuhi  persyaratan tumbuhnya rotifera.
-Luas kolam    ± 10 m2.
Pemijahan:
-Siapkan induk lele betina sebanyak 2 x jumlah sarang yang tersedia dan induk jantan sebanyak jumlah  sarang;  atau  satu pasang  per sarang; atau satu pasang per 2-4 m2 luas kolam (pilih salah satu).
-Masukkan induk yang terpilih ke kubangan, setelah kubangan diairi selama 4 hari.
-Beri/masukkan makanan yang berprotein tinggi setiap hari seperti cacing, ikan rucah, pellet dan semacamnya, dengan dosis (jumlah berat makanan) 2-3% dari berat total ikan yang ditebarkan .
-Biarkan sampai 10 hari.
-Setelah induk  dalam kolam selama  10  hari, air  dalam  kolam dinaikkan sampai 10-15 cm di atas lubang sarang peneluran atau kedalaman air dalam sarang sekitar 20-25 cm. Biarkan sampai 10 hari. Pada saat ini  induk  tak  perlu diberi makan, dan  diharapkan selama 10 hari berikutnya induk telah memijah dan bertelur. Setelah 24 jam, telur telah menetas di sarang, terkumpullah benih lele. Induk lele yang baik bertelur 2-3 bulan satu kali bila makanannya baik dan akan bertelur terus sampai umur 5 tahun.
-Benih  lele  dikeluarkan  dari sarnag ke kolam pendederan dengan cara: air kolam  disurutkan sampai batas kubangan, lalu benih dialirkan melalui pipa pengeluaran.
-Benih-benih lele yang sudah dipindahkan ke kolam pendederan diberi makanan secara  intensif,  ukuran benih  1-2 cm,  dengan kepadatan 60 -100 ekor/m2.
-Dari seekor induk lele dapat menghasilkan ± 2000 ekor benih lele.
                       Pemijahan induk lele biasanya terjadi pada sore hari atau malam hari.




2.    Pemijahan di Bak Pemijahan Secara Berpasangan
Penyiapan bak pemijahan secara berpasangan:
-Buat bak dari semen atau teraso dengan ukuran 1 x 1 m atau 1 x 2 m dan tinggi 0,6 m.
-Di dalam bak dilengkapi kotak dari kayu ukuran 25 x 40x30 cm tanpa dasar sebagai sarang pemijahan. Di bagian atas diberi lubang dan diberi tutup untuk melihat adanya telur dalam sarang. Bagian depan kotak/sarang pemijahan diberi enceng gondok supaya kotak menjadi gelap.
-Sarang pemijahan dapat dibuat pula dari tumpukan batu bata atau ember plastik atau barang bekas lain yang memungkinkan.
-Sarang bak pembenihan diberi ijuk dan kerikil untuk menempatkan telur hasil pemijahan.
-Sebelum bak digunakan, bersihkan/cuci dengan air dan bilas dengan formalin 40 % atau KMnO4 (dapat dibeli di apotik); kemudian bilas lagi dengan air bersih dan keringkan.
Pemijahan:
-Tebarkan I (satu) pasang induk dalam satu bak setelah bak diisi air
setinggi   ± 25 cm. Sebaiknya airnya mengalir. Penebaran dilakukan
pada jam 14.00–16.00.
-  Biarkan induk selama 5-10 hari, beri makanan yang intensif. Setelah
±  10 hari, diharapkan sepasang induk ini telah memijah, bertelur dan dalam waktu 24 jam telur-telur telah menetas. Telur-telur yang baik adalah yang berwarna kuning cerah.
-  Beri makanan  anak-anak lele yang masih kecil (stadium  larva) tersebut berupa kutu air atau anak nyamuk dan setelah agak besar dapat diberi cacing dan telur rebus.


3.    Pemijahan di Bak Pemijahan Secara Masal
Penyiapan bak pemijahan secara masal:
-Buat bak dari semen seluas 20 m2 atau 50 m2, ukuran 2x10 m2 atau 5x10 m2.
-Di luar bak, menempel dinding bak dibuat sarang pemijahan ukuran 30x30x30 cm3, yang dilengkapi dengan saluran pengeluaran benih dari paralon (PVC) berdiameter 1 inchi. Setiap sarang dibuatkan satu lubang dari paralon berdiameter 4 inchi.
-Dasar  sarang pemijahan diberi ijuk dan kerikil untuk tempat menempel telur hasil pemijahan.
-Sebelum digunakan, bak dikeringkan  dan dibilas dengan  larutan desinfektan atau formalin, lalu dibilas dengan air bersih; kemudian keringkan.

Pemijahan:
-Tebarkan induk lele yang terpilih  (matang  telur)  dalam  bak pembenihan sebanyak 2xjumlah sarang , induk  jantan  sama banyaknya dengan induk betina atau dapat pula ditebarkan 25-50 pasang untuk bak seluas 50 m2 (5x10 m2), setelah bak pembenihan diairi setinggi 1 m.
-Setelah 10 hari induk dalam bak, surutkan air sampai ketinggian 50- 60  cm, induk beri makan secara intensif.
- Sepuluh  hari kemudian,  air dalam  bak  dinaikkan sampai di  atas lubang sarang sehingga air dalam sarang mencapai ketinggian 20-25 cm.
-Saat  air ditinggikan diharapkan  induk-induk  berpasangan masuk
sarang pemijahan, memijah dan bertelur. Biarkan sampai ± 10 hari.
-  Sepuluh hari kemudian air disurutkan lagi, dan diperkirakan telur- telur dalam sarang  pemijahan telah menetas dan menjadi benih lele. -Benih lele dikeluarkan  melalui  saluran pengeluaran benih  untuk didederkan
di kolam pendederan.
c.          Pemijahan Buatan
Cara ini disebut   Induced Breeding atau   hypophysasi yakni merangsang
ikan lele untuk kawin dengan cara memberikan suntikan berupa cairan hormon ke dalam tubuh ikan. Hormon hipophysa berasal dari kelenjar hipophysa, yaitu hormon gonadotropin. Fungsi hormon gonadotropin: -Gametogenesis:  memacu kematangan telur dan  sperma, disebut Follicel Stimulating Hormon. Setelah 12  jam penyuntikan, telur mengalami  ovulasi (keluarnya telur dari jaringan ikat indung telur). Selama  ovulasi, perut ikan  betina akan  membengkak sedikit demi sedikit karena ovarium menyerap air. Saat itu merupakan saat yang baik untuk melakukan pengurutan perut (stripping).
-Mendorong nafsu sex (libido)


2.                 Perlakuan dan Perawatan Bibit
a.          Kolam untuk pendederan:
1.    Bentuk kolam pada minggu 1-2, lebar 50 cm, panjang 200 cm, dan tinggi  50 cm. Dinding kolam dibuat  tegak lurus, halus, dan licin, sehingga  apabila bergesekan dengan tubuh benih lele tidak akan melukai. Permukaan lantai agak  miring  menuju pembuangan  air. Kemiringan dibuat beda 3 cm di antara kedua ujung lantai, di mana yang dekat tempat pemasukan air lebih tinggi. Pada lantai dipasang pralon dengan diameter 3-5 cm dan panjang 10 m.
2.  Kira-kira 10 cm dari pengeluaran air  dipasang  saringan  yang  dijepit dengan 2 bingkai kayu tepat dengan permukaan dalam dinding kolam.
Di antara 2 bingkai dipasang selembar kasa nyamuk dari bahan plastik berukuran mess 0,5-0,7 mm, kemudian dipaku.
3.   Setiap kolam pendederan dipasang pipa pemasukan dan pipa air untuk mengeringkan kolam. Pipa  pengeluaran  dihubungkan  dengan pipa Hal.

plastik yang dapat berfungsi untuk mengatur ketinggian air kolam. Pipa plastik tersebut dikaitkan dengan suatu pengait sebagai gantungan.
4.    Minggu ketiga, benih dipindahkan  ke  kolam pendederan  yang  lain. Pengambilannya tidak boleh menggunakan jaring, tetapi dengan mengatur ketinggian pipa plastik.
5.    Kolam pendederan yang baru berukuran 100 x 200 x 50 cm, dengan bentuk dan konstruksi sama dengan yang sebelumnya.


b.          Penjarangan:
1.    Penjarangan adalah  mengurangi padat penebaran yang  dilakukan karena ikan lele berkembang ke arah lebih besar, sehingga volume ratio antara lele dengan kolam tidak seimbang.
-Apabila tidak dilakukan penjarangan dapat mengakibatkan : -Ikan berdesakan, sehingga tubuhnya akan luka.
-Terjadi perebutan ransum makanan dan suatu saat dapat memicu mumculnya  kanibalisme  (ikan yang lebih kecil dimakan oleh ikan yang lebih besar).
-Suasana kolam tidak sehat oleh menumpuknya CO2 dan NH3, dan O2 kurang sekali sehingga pertumbuhan ikan lele terhambat.
2.    Cara penjarangan pada benih ikan lele :
-Minggu 1-2, kepadatan tebar 5000 ekor/m2 -Minggu 3-4, kepadatan tebar 1125 ekor/m2
-Minggu 5-6, kepadatan tebar 525 ekor/m2
c.          Pemberian pakan:
1.    Hari pertama sampai ketiga, benih lele mendapat  makanan  dari kantong
     kuning telur (yolk sac) yang dibawa sejak menetas.
2.    Hari keempat sampai minggu kedua diberi makan zooplankton, yaitu Daphnia dan Artemia yang mempunyai protein 60%. Makanan tersebut diberikan dengan dosis 70% x biomassa setiap hari yang dibagi dalam
4  kali pemberian. Makanan  ditebar disekitar tempat pemasukan air. Kira-kira 2-3 hari sebelum  pemberian pakan zooplankton  berakhir, benih  lele harus dikenalkan  dengan makanan dalam  bentuk tepung yang berkadar protein 50%. Sedikit dari tepung  tersebut diberikan kepada benih 10-15 menit sebelum pemberian zooplankton. Makanan yang berupa teoung dapat terbuat dari campuran kuning telur, tepung udang dan sedikit bubur nestum.
3.    Minggu ketiga diberi pakan sebanyak 43% x biomassa setiap hari.
4.   Minggu keempat dan kelima diberi pakan sebanyak 32% x biomassa  setiap hari.
5.    Minggu kelima diberi pakan sebanyak 21% x biomassa setiap hari.
6.    Minggu ketiga diberi pakan sebanyak 43% x biomassa setiap hari.
7.    Minggu keenam sudah bisa dicoba dengan pemberian pelet apung.
d.          Pengepakan dan pengangkutan benih
1.    Cara tertutup:

-Kantong  plastik  yang  kuat diisi air bersih dan benih dimasukkan sedikit demi sedikit. Udara dalam plastik dikeluarkan. O2 dari tabung dimasukkan ke dalam air sampai volume udara dalam plastik 1/3–1/4 bagian. Ujung plastik segera diikat rapat.
-Plastik berisi benih lele dimasukkan dalam kardus atau peti supaya tidak mudah pecah.


2.    Cara terbuka dilakukan bila jarak tidak terlalu jauh:
-Benih lele dilaparkan terlebih dahulu agar selama pengangkutan, air tidak keruh oleh kotoran lele. (Untuk pengangkutan lebih dari 5 jam). -Tempat lele diisi dengan  air bersih, kemudian benih dimasukkan sedikit demi sedikit. Jumlahnya tergantung ukurannya. Benih ukuran 10 cm dapat diangkut dengan kepadatan maksimal 10.000/m3 atau 10 ekor/liter. Setiap 4 jam, seluruh air diganti di tempat yang teduh.
6.3. Pemeliharaan Pembesaran


1.                Pemupukan
a.         Sebelum digunakan kolam dipupuk dulu. Pemupukan bermaksud untuk menumbuhkan plankton hewani dan nabati yang menjadi makanan alami bagi benih lele.
b.         Pupuk yang digunakan adalah pupuk kandang (kotoran ayam) dengan dosis 500-700 gram/m2 . Dapat pula ditambah urea 15 gram/m2, TSP 20 gram/m2 , dan amonium nitrat 15 gram/m2 . Selanjutnya dibiarkan selama 3 hari.
c.         Kolam diisi kembali dengan air segar. Mula-mula 30-50 cm dan dibiarkan selama satu minggu sampai warna air kolam berubah menjadi coklat atau kehijauan yang menunjukkan mulai banyak jasad-jasad renik yang tumbuh sebagai makanan alami lele.
d.         Secara bertahap ketinggian air ditambah, sebelum benih lele ditebar.


2.                Pemberian Pakan
a.         Makanan Alami Ikan Lele
1.    Makanan alamiah yang berupa Zooplankton, larva, cacing-cacing, dan serangga air.
2.    Makanan berupa fitoplankton adalah Gomphonema spp (gol. Diatome), Anabaena spp (gol. Cyanophyta), Navicula spp  (gol.  Diatome), ankistrodesmus spp (gol. Chlorophyta).
3.    Ikan lele juga menyukai makanan busuk yang berprotein.
4.    Ikan lele juga menyukai kotoran yang berasal dari kakus.
b.         Makanan Tambahan
1.    Pemeliharaan di kecomberan dapat diberi makanan tambahan berupa sisa-sisa makanan keluarga, daun kubis, tulang ikan, tulang ayam yang dihancurkan, usus ayam, dan bangkai.


2.    Campuran dedak dan ikan rucah (9:1) atau campuran bekatul, jagung, dan bekicot (2:1:1).


c.          Makanan Buatan (Pellet)
1.    Komposisi bahan (% berat): tepung ikan=27,00; bungkil  kacang kedele=20,00; tepung terigu=10,50; bungkil kacang  tanah=18,00; tepung  kacang hijau=9,00; tepung darah=5,00; dedak=9,00; vitamin=1,00; mineral=0,500;
2.    Proses pembuatan:
Dengan cara menghaluskan  bahan-bahan,  dijadikan adonan  seperti pasta, dicetak dan dikeringkan sampai kadar airnya kurang dari 10%. Penambahan lemak dapat diberikan dalam bentuk minyak yang dilumurkan pada pellet sebelum diberikan kepada lele. Lumuran minyak juga dapat memperlambat pellet tenggelam.
3.    Cara pemberian pakan:
-Pellet  mulai  dikenalkan  pada ikan lele saat umur 6 minggu dan diberikan pada ikan lele 10-15 menit sebelum pemberian makanan yang berbentuk tepung.
-Pada minggu 7 dan seterusnya sudah  dapat  langsung  diberi makanan yang berbentuk pellet.
-Hindarkan pemberian pakan pada saat terik matahari, karena suhu tinggi dapat mengurangi nafsu makan lele.


3.                 Pemberian Vaksinasi
Cara-cara vaksinasi sebelum benih ditebarkan:
a.          Untuk mencegah penyakit karena bakteri, sebelum ditebarkan, lele yang berumur 2 minggu dimasukkan dulu ke dalam larutan formalin dengan dosis 200 ppm selama 10-15 menit. Setelah divaksinasi lele tersebut akan kebal selama 6 bulan.
b.          Pencegahan  penyakit karena bakteri juga dapat dilakukan dengan menyutik dengan terramycin 1 cc untuk 1 kg induk.
c.          Pencegahan penyakit karena jamur dapat dilakukan dengan merendam lele dalam larutan Malachite Green Oxalate 2,5–3 ppm selama 30 menit.


4.                 Pemeliharaan Kolam/Tambak


a.          Kolam diberi perlakuan pengapuran dengan dosis 25-200 gram/m2 untuk memberantas hama dan bibit penyakit.
b.          Air dalam kolam/bak dibersihkan 1 bulan sekali dengan cara mengganti semua air kotor tersebut dengan  air bersih yang telah diendapkan  2 malam.
c.          Kolam  yang  telah  terjangkiti penyakit harus segera dikeringkan dan dilakukan pengapuran dengan dosis 200 gram/m2  selama satu minggu. Tepung kapur (CaO) ditebarkan merata di  dasar  kolam,  kemudian dibiarkan kering lebih lanjut sampai tanah dasar kolam retak-retak.


7.            HAMA DAN PENYAKIT
7.1. Hama dan Penyakit
a.  Hama pada lele adalah binatang tingkat tinggi yang langsung mengganggu kehidupan lele.
b.  Di alam bebas dan di kolam terbuka, hama  yang  sering  menyerang  lele antara lain: berang-berang, ular, katak, burung, serangga, musang air, ikan gabus dan belut.
c.   Di  pekarangan,  terutama yang ada  di perkotaan,  hama yang sering menyerang hanya katak dan kucing. Pemeliharaan lele secara intensif tidak banyak diserang hama.


Penyakit parasit adalah penyakit  yang  disebabkan oleh organisme  tingkat rendah seperti virus, bakteri, jamur, dan protozoa yang berukuran kecil.
1.    Penyakit karena bakteri Aeromonas hydrophilla  dan Pseudomonas hydrophylla
Bentuk bakteri ini seperti batang dengan polar flage (cambuk yang terletak di ujung batang), dan cambuk ini digunakan untuk bergerak, berukuran 0,7–0,8
x 1–1,5 mikron.   
Gejala: warna tubuh menjadi gelap, kulit kesat dan timbul pendarahan,
bernafas megap-megap di  permukaan air.    
Pengendalian:
memelihara  lingkungan perairan agar  tetap bersih, termasuk  kualitas  air. Pengobatan melalui makanan antara lain: (1) Terramycine dengan dosis 50 mg/kg ikan/hari, diberikan selama 7–10 hari berturut-turut. (2) Sulphonamid sebanyak 100 mg/kg ikan/hari selama 3–4 hari.


2.                Penyakit Tuberculosis
Penyebab: bakteri   Mycobacterium fortoitum ).
Gejala: tubuh ikan berwarna
gelap, perut bengkak (karena  tubercle/bintil-bintil pada  hati,  ginjal,  dan limpa). Posisi berdiri di  permukaan  air, berputar-putar atau  miring-miring,
bintik putih di sekitar mulut dan sirip.
Pengendalian  : memperbaiki kualitas air dan lingkungan kolam.
Pengobatan: dengan Terramycin dicampur dengan makanan 5–7,5 gram
/100 kg ikan/hari selama 5–15 hari.
3.                Penyakit karena jamur/candawan Saprolegnia.
Jamur ini tumbuh menjadi saprofit pada jaringan tubuh yang mati atau ikan
yang kondisinya lemah. 
Gejala: ikan ditumbuhi sekumpulan benang halus
seperti kapas, pada daerah luka atau ikan yang sudah lemah, menyerang daerah kepala  tutup insang, sirip, dan tubuh lainnya. Penyerangan pada
telur, maka telur tersebut diliputi benang seperti kapas.
Pengendalian: benih gelondongan dan ikan dewasa direndam  pada  Malachyte  Green  Oxalate 2,5–3 ppm selama 30 menit dan telur direndam Malachyte Green Oxalate 0,1–0,2 ppm selama 1 jam atau 5–10 ppm selama 15 menit.


4.                Penyakit Bintik Putih dan Gatal/Trichodiniasis
Penyebab: parasit dari golongan Ciliata, bentuknya bulat, kadang-kadang
amuboid, mempunyai inti berbentuk tapal kuda, disebut Ichthyophthirius multifilis.      
Gejala: (1) ikan yang diserang sangat lemah dan selalu timbul di
permukaan air; (2) terdapat bintik-bintik berwarna putih pada kulit, sirip dan insang; (3) ikan sering menggosok-gosokkan tubuh pada dasar atau dinding
kolam.   
Pengendalian: air harus dijaga  kualitas dan  kuantitasnya.
Pengobatan: dengan cara  perendaman ikan yang terkena infeksi pada
campuran larutan Formalin  25 cc/m3 dengan larutan Malachyte Green Oxalate 0,1 gram/m3 selama  12–24 jam, kemudian ikan diberi air  yang segar. Pengobatan diulang setelah 3 hari.


5.                Penyakit Cacing Trematoda
Penyebab: cacing kecil Gyrodactylus  dan  Dactylogyrus.  Cacing
Dactylogyrus  menyerang insang, sedangkan cacing Gyrodactylus
menyerang kulit dan sirip.  
Gejala: insang yang dirusak menjadi luka-luka,
kemudian  timbul pendarahan yang akibatnya pernafasan terganggu.
Pengendalian: (1) direndam Formalin 250 cc/m3  air selama 15 menit; (2)
Methyline Blue 3 ppm selama 24 jam; (3) mencelupkan tubuh ikan ke dalam
larutan Kalium  -Permanganat  (KMnO   4)   0,01%  selama   ± 30  menit; (4)
memakai larutan NaCl 2% selama ± 30 menit;  (5) dapat juga memakai
larutan NH4OH 0,5% selama ± 10 menit.
6.                Parasit Hirudinae
Penyebab: lintah Hirudinae, cacing berwarna merah  kecoklatan.     
Gejala: pertumbuhannya lambat, karena  darah  terhisap oleh parasit,  sehingga menyebabkan anemia/kurang darah. Pengendalian :  selalu diamati pada saat mengurangi padat tebar dan dengan larutan Diterex 0,5 ppm.

7.2. Hama Kolam/Tambak
Apabila lele  menunjukkan  tanda-tanda sakit,  harus  dikontrol faktor penyebabnya, kemudian kondisi tersebut harus segera diubah, misalnya :
1.  Bila  suhu terlalu tinggi, kolam  diberi peneduh sementara dan air diganti dengan yang suhunya lebih dingin.
2.  Bila pH terlalu rendah, diberi larutan kapur 10 gram/100 l air.
3.  Bila kandungan gas-gas beracun (H    2S, CO2), maka air harus segera diganti.
4.  Bila makanan kurang, harus ditambah dosis makanannya.

8. PANEN
8.1. Penangkapan
Beberapa hal yang perlu diperhatikan dalam pemanenan:
1.  Lele dipanen pada umur 6-8 bulan, kecuali bila dikehendaki, sewaktu-waktu dapat dipanen. Berat rata-rata pada umur tersebut sekitar 200 gram/ekor.
2.  Pada lele Dumbo, pemanenan dapat dilakukan pada masa pemeliharaan 3-4 bulan dengan berat 200-300 gram per ekornya. Apabila waktu pemeliharaan ditambah 5-6 bulan akan mencapai berat 1-2 kg dengan panjang 60-70 cm.
3.  Pemanenan sebaiknya dilakukan pada pagi hari supaya lele tidak terlalu kepanasan.
4.  Kolam dikeringkan sebagian saja dan ikan ditangkap dengan menggunakan seser halus, tangan, lambit, tangguh atau jaring.
5.  Bila penangkapan menggunakan pancing, biarkan lele lapar lebih dahulu.
6.  Bila penangkapan menggunakan jaring, pemanenan dilakukan bersamaan dengan pemberian pakan, sehingga lele mudah ditangkap.
7.  Setelah dipanen, piaralah dulu lele tersebut di dalam tong/bak/hapa selama
1-2 hari tanpa diberi makan agar bau tanah dan bau amisnya hilang.
8.  Lakukanlah penimbangan secepat mungkin dan cukup satu kali.
8.2.Pembersihan
Setelah ikan lele dipanen, kolam harus dibersihkan dengan cara:
1.  Kolam dibersihkan  dengan cara menyiramkan/memasukkan larutan  kapur sebanyak 20-200 gram/m2  pada dinding kolam sampai rata.
2.  Penyiraman dilanjutkan dengan  larutan formalin  40% atau  larutan permanganat kalikus (PK) dengan cara yang sama.
3.  Kolam dibilas dengan air bersih dan dipanaskan atau dikeringkan dengan sinar matahari langsung. Hal ini dilakukan untuk membunuh penyakit yang ada di kolam.

9. PASCAPANEN
1.  Setelah  dipanen,  lele  dibersihkan dari lumpur dan isi perutnya. Sebelum dibersihkan sebaiknya lele  dimatikan  terlebih dulu  dengan memukul kepalanya memakai muntu atau kayu.
2.  Saat mengeluarkan kotoran, jangan sampai memecahkan empedu, karena dapat menyebabkan daging terasa pahit.
3.  Setelah isi perut dikeluarkan, ikan lele dapat dimanfaatkan untuk berbagai ragam masakan.
11.        DAFTAR PUSTAKA
1.   Arifin, M.Z. 1991. Budidaya lele. Dohara prize. Semarang.
2.  Djamiko, H., Rusdi, T. 1986. Lele. Budidaya, Hasil Olah dan Analisa Usaha. C.V. Simplex. Jakarta.
3.   Djatmika, D.H., Farlina, Sugiharti, E. 1986. Usaha Budidaya Ikan Lele. C.V. Simplex. Jakarta.
4.   Najiyati,  S. 1992. Memelihara Lele Dumbo di Kolam  Taman.  Penerbit Swadaya. Jakarta.
5.   Simanjutak,  R.H.  1996.  Pembudidayaan Ikan Lele Lokal dan Dumbo. Bhratara. Jakarta.
6.  Soetomo, M.H.A. 1987.  Teknik  Budidaya Ikan  Lele Dumbo. Sinar Baru. Bandung.
7.  Susanto, H. 1987. Budidaya ikan di Pekarangan. Penebar Swadaya. Jakarta.

Tuesday, February 16, 2016

MENGENAL MACAM DAN MANFAAT RUMPON

February 16, 2016 Posted by Media Penyuluhan Perikanan Pati No comments
Rumpon  merupakan salah perlengkapan dalam istilah perikanan tangkap khususnya penangkapan ikan yang dalam kurun waktu yang belum lama dan banyak digunakan oleh para nelayan baik skala kecil maupun besar. Pancing tegak dapat ditemui di wilayah perairan dalam.  Terutama di sekita rumpon  laut dalam.  Daerah penangkapannya terletak pada alur ruaya ikan-ikan pelagis besar.
Postingan ini menjelaskan seluk beluk rumpon Mulai Yang terdiri sari:
1.Pengenalan  Rumpon
2.Konstruksi Rumpon
3.Pemasangan Rumpon
Tujuan penulisan dalam postingan ini adalah memberi informasi teknologie yang berkaitan dengan penangkapan Ikan  di Laut dengan Sarana Prasarana Rumpon, pancing tegak.
PENGENALAN RUMPON
Didalam  Melakukan Metoda penangkapan yang mendasari teknologi penangkapan ikan, terdapat empat faktor utama yang harus anda pahami, yaitu:
1. Ikan apa yang hendak ditangkap (Biologi Ikan),
2. dimana ikan akan ditangkap (fish ground),
3. bagaimana sifatnya (fish behaviour)
4. dan berapa jumlah yang akan/boleh ditangkap (stock assessments dan kelestarian).
Dari keempat faktor di atas, fish ground merupakan faktor penentu dalam menentukan keberhasilan penangkapan ikan, tanpa mengetahui fish ground ikan yang menjadi tujuan daerah penangkapan adalah pekerjaan menangkap ikan yang sia-sia.
Fishing  ground di alam merupakan suatu lingkungan kehidupan yang disukai ikan untuk berkumpul.  Berbagai faktor yang menyebabkan ikan mau berkumpul di lingkungan yang sesuai untuknya, yang dapat dipelajari pada mata kuliah biologi perikanan.
Secara umum ikan akan berkumpul yaitu:
1. Pada saat makan,
2.  saat hendak memijah,
3.  dan saat bermigrasi (tuna adalah ikan yang bersifat higly migratory).
Sebuah pertanyaan yang selalu menggelitik para nelayan adalah bagaimana menangkap ikan yang paling mudah.  Jawabannya sederhana mungkin “jawaban bodoh” adalah menangkap ikan yang sedang “ngumpul” dan syukur-syukur “diem”.   Pernyataan “ngumpul dan diem” inilah yang memacu para nelayan berupaya mengumpulkan ikan dengan berbagai cara.  Cara yang sudah lama kita kenal adalah dengan menggunakan rumpon (fish agregate device) dan menggunakan atraksi cahaya. 
Mencari fish ground alam bukan pekerjaan mudah. Contoh yang paling sederhana adalah pada penangkapan ikan kembung dengan menggunakan payang tradisional,  kumpulan ikan hanya dapat diketahui oleh para nelayan yang sudah berpengalaman, atau berdasarkan pengetahuan yang diturunkan dari orang-orang tua mereka, bahkan tidak jarang dibarengi dengan mistis.  Contoh pada perikanan modern, bagaimana hunting purse seiner “around the ocean, by day, by weeks, even by month” hanya untuk mencari dan mengejar kumpulan-kumpulan ikan tuna yang sedang bermigrasi.
Di Indonesia penelitian-penelitian tentang keempat hal tersebut di atas terutama mengenai ikan-ikan yang hidup di kawasan perairan Indonesia boleh dikatakan masih langka.  Banyak data yang masih tersimpan di benak-benak para nelayan, para fishing master dan nakhoda kapal penangkap ikan bahkan perusahaan perikanan.  Indonesia sudah mencoba suatu langkah yang didasarkan pada teknologi penginderaan jarak jauh (Indrajah, remote sensing) sehingga mampu memantau perubahan suhu dan kandungan klorofil di permukaan laut hampir diseluruh perairan Indonesia.
Namun demikian perlu diingat bahwa, teknologi ini didasarkan pada pendeteksian perubahan suhu permukaan dan pergerakan air laut, sehingga untuk menentukan suatu fishing ground diperlukan data pendukung utama, yaitu data (insitu) hasil tangkapan.  Data inilah yang sulit diperoleh selain untuk melakukan penelitian yang demikian memerlukan biaya yang tidak sedikit dimana kita (Indonesia) belum banyak memilikinya.   Data indrajah dapat diperoleh setiap saat, namun data hasil tangkapan kontinuw dari waktu ke waktu pada fishing ground yang sama masih menjadi pertanyaan besar.  
Indonesia telah lama mengenal teknologi pendeteksian bawah air (Underwater fish detection devices). Dari hanya untuk memperkirakan kedalaman perairan hingga sekarang dapat digunakan untuk memprediksi baik karakteristik  perairan maupun biotanya.  Data hasil pendeteksian fish finder diproses dengan menggunakan program analisis seperti EP 500 pada komputer PC sederhana, atau secara life video sehingga dapat diprediksi jumlah densitas per spesies dan ukuran per ekor, berdasarkan layer tertentu dari dasar laut hingga ke permukaan dan kawasan, bahkan kecepatan dan arah pergerakan (schooling maupun individu), berdasarkan ukuran layer.  Mungkin suatu saat berbagai upaya di atas akan dapat digunakan sebagai dasar untuk menentukan suatu daerah penangkapan ikan tertentu pada waktu tertentu dan tersedia secara kontinu sekaligus “dapat dipahami dan mudah serta disukai” oleh para nelayan.
Berbicara mengenai fishing ground, tidak boleh terlepas dari berbagai kondisi perairan yang dinamis, kitapun harus memahami physical oceanography-nya, harus mengetahui kondisi dasar perairannya, dan lain sebagainya semua faktor alam yang mempengaruhi teknologi penangkapan ikan, seperti arus, angin, musim, gelombang, dll.).  Kondisi fisik daerah penangkapan akan sangat mempengaruhi Teknik Penangkapannya (fishing technique), Kapal Penangkap (fishing vessel), Disain Alat Penangkap Ikan (fishing gear design), Perlengkapan Kapal Penangkap Ikan (fishing equipment), Perlengkapan Komunikasi (communication equipment),  Perlengkapan Navigasi (navigational equipment), Kualifikasi dan kualitas SDM (fishing master, nakhoda, dan anak kapalnya), Biaya Operasional (bahan bakar, pelumas, bahan makanan, hak dan jaminan sosial bagi awak kapal seperti: gaji, premi, asuransi, sakit, bahkan keluarga yang ditinggalkannya), hingga manajemen.
Ikan pada umumnya adalah predator, yang besar memakan yang lebih kecil, yang paling kecil memakan crustacea, crustacea memakan plankton.  Sehingga pada salah satu mata rantai makannya adalah sangat tergantung dengan adanya unsur hara, chlorophyl dan sinar matahari menciptakan proses photosintesanya.
Indonesia memperoleh sinar matahari sepanjang tahun. Hampir seluruh pulau-pulau besar memiliki sungai yang mengalirkan “bahan unsur hara, yang belum terdekomposisi..??”, pada kenyatanya, dengan terjadinya penggundulan hutan, maka yang dialirkan adalah sampah hutan dan endapan lumpur.  Diperparah lagi dengan hampir punahnya hutan mangrove dimana terciptanya awal rantai makanan biota laut.  Dengan kata lain sebesar apapun ikan di samudra sana, makanannya berawal di mangrove.   Belajar dari phenomena ini maka terciptalah fish ground buatan.  Awalnya rumpon dibuat untuk menghasilkan unsur hara ditengah laut dari daun kelapa yang membusuk, kemudian terciptalah photosintesa, berlanjut dengan tumbuhnya phitoplankton, zoo plankton, berkumpul pula crustacea, dan biota  laut tingkat tinggi yang berukuran makin besar dan makin besar akibat adanya sifat predator.
Kita mengenal dua jenis fish ground,
1.  pertama adalah fish ground alami,
2.  dan kedua adalah fisih ground buatan.
Fish ground alami adalah fish ground yang sudah ada di laut.
Sedangkan fish ground buatan adalah fish ground yang diciptakan oleh manusia yang dibuat semirip mungkin dengan fish ground alami, yang dikenal dengan rumpon (Fish Aggregate Devices; FAD). 
Ditinjau dari konstruksi dan lokasi pemasangannya rumpon dibagi menjadi dua jenis, yaitu:
1.  rumpon dangkal
2.  rumpon laut dalam.
Dewasa ini, dengan diciptakannya alat pendeteksi bawah air (fish finder) yang cukup terjangkau harganya.  Rumpon tidak lagi dibuat untuk menciptakan rantai makanan, tapi rumpon dimanfaatkan sebagai attractor di fish ground yang telah diketahui melalui fish finder.
Ditinjau dari segi pengoperasiannya dibagi menjadi dua pula, yaitu :
1.  Rumpon tidak tetap (rumpon kenvensional yang berasal dari Tegal,Pekalongan, dan sekitarnya),
2.  Rumpon tetap (rompong di Sulawesi dan payaos dari Filipina).
Sedangkan ditinjau dari segi bahan dibagi menjadi tiga kelompok, yaitu:
1.   Rumpon yang terbuat dari bagian tumbuhan.
2.   Rumpon yang terbuat bukan tumbuhan
3.   Rumpon yang terbuat dari gabungan bagian tumbuhan dan bukan tumbuhan
Fishing ground buatan :
Fishing ground buatan adalah suatu metoda bagaimana mengumpulkan ikan dengan menciptakan suasana atau lingkungan yang mirip dengan habitat asli dari jenis ikan yang hendak dikumpulkan. Pemilihan bahan untuk rumpon didasarkan pada penciptaan kondisi lingkungan tersebut.  Salah satunya untuk menciptakan rantai makanan.  Rantai makanan dibagi dalam dua proses.  Proses pertama menciptakan rantai makanan (food chain) yang akan menghasilkan kelimpahan zooplankton dan macronekton.  Proses kedua adalah menciptakan berlangsungnya hukum alam pada kehidupan ikan yaitu sifat predator (ikan besar memakan ikan yang kecil).  Pada proses yang kedua inilah yang diharapkan terjadi pengumpulan berbagai jenis dan ukuran ikan, dimulai dari ikan-ikan kecil hingga yang lebih besar secara bertahap.  Bila diperkirakan telah berkumpul ikan-ikan dalam jumlah yang banyak maka fungsi rumpon telah tercipta dengan baik.
Rumpon Buatan dari Bagian Tumbuhan Proses dekomposisi pada tumbuhan yang direndam di air laut hingga menghasilkan makanan yang diperlukan melalui beberapa tahapan.
1. Tahap pertama: Proses pembusukan (dekomposisi) tumbuhan (chlorophyll) akan menumbuhkan diatomeae.
2. Tahap kedua: Melimpahkan diatom yang sangat diperlukan sebagai makanan bagi phytoplankton.
3.  Tahap ketiga:  Terkonsentrasinya phytoplankton yang merupakan makanan utama bagi zooplankton.  (Phytoplankton dan zooplankton telah ada melimpah di seluruh lapisan perairan laut yang dapat cepat berkembang biak). 
Setelah melimpahnya zooplankton maka akan mengundang ikan-ikan kecil untuk berkumpul dan memakannya.   Pada tahapan ini terjadilah proses kedua yaitu, penciptaan kondisi lingkungan  dimana ikan besar memakan ikan kecil.  Sekaligus memberikan perlindungan kepada ikan kecil untuk tidak dimakan secara langsung oleh ikan-ikan besar.   Sifat perlindungan rumpon terhadap ikan kecil ini ditujukan untuk memperpanjang waktu sehingga ikan-ikan dari berbagai jenis dan ukuran dapat lebih banyak berkumpul dalam jumlah yang besar.  Ilustrasi rumpon koonvensional beserta komponennya disaji pada gambar di bawah ini
PERSYARATAN RUMPON TRADISIONAL:
1. Tumbuhan harus yang mengandung banyak chlorophyll dan segar (bukan kering).
2.  Harus dapat cepat membusuk dan tahan lama (sekitar 15 hari) atau lebih (beserat memanjang dan liat).
3.  Harus dapat menciptakan lingkungan yang teduh (untuk berlindung dari biota yang tingkatnya lebih tinggi dan sinar matahari langsung).
4.  Mudah diangkat, diperbaharui, dipindah dan murah harganya.   
Rumpon Buatan dari Bahan Bukan Tumbuhan Proses pengumpulan ikan di rumpon sama dengan yang dijelaskan di atas, hanya saja ada perbedaan proses yang terjadi pada rumpon yang terbuat dari bahan bukan tumbuhan.
Rumpon yang terbuat dari tumbuhan tidak mampu bertahan lama (15 hari), sehingga diperlukan perbaikan, penambahan atau penggantian rumpon yang mengakibatkan pemborosan waktu, dan biaya yang berefek pada non efisiensi.   Proses siklus rantai makanan dan siklus kehidupan biota laut dari rumpon non tumbuhan (Gambar 113 – 115) adalah  bersumber dari food chain dan coral life  cycle,  yaitu memberikan tempat tumbuh atau menempel biota karang sesuai dengan tingkat yang paling rendah hingga tingkat tertinggi dalam proses pembentukan lingkungan karang yang diupayakan untuk menciptakan habitat dari jenis ikan tertentu.
Rumpon laut dalam dapat dipasang pada kedalaman antara 270 – 3.700 m, dengan berbagai disain mulai dari pelampung bambu, drum, pontoon besi, pontoon alumunium, dan fiber glass.
Perkembangan FAD dengan berbagai keberhasilannya dalam menarik perhatian ikan untuk berkumpul dalam jumlah besar, telah mempengaruhi seluruh tingkat perikanan, tidak hanya perikanan artisanal atau subsistence, dapat meningkatkan hasil tangkap dan dapat melakukan penangkapan harian (one day fishing) juga  perikanan komersil dapat meningkatkan hasil tangkapannya dengan tajam, leisure fishing hampir setiap hari dapat menangkap ikan. 
FAD juga dapat mengurangi konsumsi bahan bakar, dengan mengurangi waktu pencarian (searching time) ikan, ikan-ikan besar yang berada di bawah rumpon dapat ditangkap dengan hand line sementara kapal drifting (Shomura, et al., 1982).  Rumpon jenis demikian ditampilkan pada gambar 2.3.
PERSYARATAN:
Secara teknis material apapun yang direndam di air laut merupakan media tumbuh atau tempat menempelnya biota karang.  Namun tujuan pembuatan rumpon ini tidak terlepas dari persyaratan harus mudah ditangani, mudah dipindah atau mudah diperbaiki,  sehingga dihindarkan bahan-bahan non tumbuhan yang tidak mudah korosif, dan aerodinamis.  
Rumpon Buatan dari Bahan Tumbuhan dan Bukan Tumbuhan
Rumpon untuk Menangkap Nener Ikan bandeng
adalah jenis ikan yang dapat hidup di dua perairan yang berbeda kadar garamnya, yaitu perairan laut dan perairan payau.  Saat akan memijah bandeng pergi ke perairan laut yang memiliki kadar garam tinggi, dan  saat ikan akan beranjak dewasa bandeng akan berpindah ke air payau, diawali  dari bandeng masih berbentuk burayak (nener).   Burayak akan beruaya mencari air yang berkadar rendah dengan menelusuri tempat-tempat terlindung pada tepian pantai, atau sungai. Dewasa ini bandeng dapat dibudidayakan di tambak air payau.  Namun benihnya ditangkap dari alam dengan menggunakan rumpon.  Rumpon paling sederhana yang terbuat dari jalinan daun pisang kering ini dipasang memotong alur ruaya nener dengan tujuan memberikan perlindungan buatan.  Gambar 192 berikut mengilustrasikan bagaimana seorang nelayan menangkap burayak bandeng di tepian pantai.
1.5. Ikan-ikan yang Tertarik pada Rumpon
Rumpon memikat berbagai jenis ikan pada berbagai kedalaman bedasarkan musim sepanjang tahun.    Ikan-ikan tuna berukuran kecil biasanya mengelompok di dekat permukaan.  Tuna yang lebih besar seperti Madidihang (Yellowfin tuna), tuna mata besar (bigeye tuna) dan albakora (Albacore)  umumnya mengelompok didekat rumpon pada kedalaman 50 meter hingga 300 meter, terkadang juga berada di dekat permukaan khususnya pada malam hari.  Ikan lainnya seperti lemadang (rainbow runner), marlin, cucut, layaran juga biasanya tertarik rumpon
Ikan pelagis yang tertarik pada rumpon
Situs FAD terbaik tambat adalah daerah datar yang luas dengan kemiringan sedikit atau tidak ada. Daerah yang luas adalah penting karena, forreasons dijelaskan dalam bagian 2C, path sebenarnya jangkar dari keturunan selama penyebaran agak unpredict-mampu. Akibatnya jangkar mungkin berakhir beberapa ratus meter dari tempat pendaratan dimaksudkan. Flatareas sempit, lereng tajam, dan drop-off curam, semua meningkatkan potensi jangkar berakhir di kedalaman yang salah. Thiscould menyebabkan kerusakan tambat atau stres dan kegagalan premature
Penempatan Rumpon
Pemasangan rumpon memerlukan beberapa persyaratan, diantaranya adalah dasar perairan,
Dasar Perairan:
Kontur dasar perairan terbaik untuk menanamkan rumpon adalah dasar datar yang luas atau sedikit kemiringan. Daerah yang luas adalah penting karena, alur pergeseran jangkar saat diturunkan sangat tidak bisa diprediksi. Akibatnya mungkin jangkar terletak beberapa ratus meter dari tempat penanaman yang telah ditentukan
Dasar perairan yang baik untuk menanamkan rumpon (Gate, 198)
Dasar rata yang sempit, slope yang sempit, lereng curam,  Flatareas sempit, lereng tajam, menyebabkan meningkatkan potensi penempatan jangkar yang keliru, menyebabkan terjadinya kegagalan.  Perhatikan gambar 1.6. Dasar laut datar atau landai juga akan membantu mencegah jangkar terseret ke kedalaman air yang dalam ketika terjadinya
Dasar perairan tegangan geser rumpon akibat cuaca buruk. Dasar perairan yang berbentuk gunung yang curam, jurang laut, atau celah sempit harus dihindari, karena akan menyebabkan kegagalan prematur penanaman rumpon, misalnya akibat gesekan tali pada batu atau pegunungan. Rumpon bisa hilang atau bergeser jauh, jangkar bisa terseret ke dalam air yang lebih dalam, atau penanaman mungkin tidak berfungsi sesuai dengan desain yang direncanakan. 
Kedalaman:
Rumpon yang ditempatkan di perairan dangkal kurang dari 500 meter umumnya tidak efektif mengagregasi tuna. Selain itu, biaya penanaman rumpon meningkat sebanding dengan kedalaman, karena semakin dalam semakin panjang tali tambat yang dibutuhkan.
Rumpon yang ditempatkan di perairan dalam, Rumpon yang ditanam pada kedalaman antara 1000 - 2000 m umumnya berfungsi dengan baik. Pada kondisi tertentu, bagaimanapun, mungkin perlu untuk menanamkan rumpon di kedalaman yang lebih besar
Kondisi Laut dan Cuca:
Berhati-hati, untuk menghindari wilayah perairan yang bercuaca buruk, dan laut yang terlalu bergelombang, untuk mengurangi nelayan untuk memperbaiki rumpon.  Pada kondisi seperti ini, biaya investasi akan tinggi dibanding denngan manfaat yang dihasilkannya. Perairan yang berarus kuat harus dihindari. Seperti juga cuaca buruk dan laut kasar, arus kuat akan meningkatkan ketegangan pada tali rumpon, menyebabkan komponen tali cepat rusak.  Ilayah ber arus deras sering terjadi di ujung pulau (tanjung), dan selat sempit di antara pulau-pulau yang berdekatan.    Jarak antar rumpon: Umumnya rumpon akan mengagregasi lebih efektif jika ditempak pada jarak sekitar 4 – 5 mil laut dari terumbu karang ke arah laut.   Jarak antar rumpon sekitar 10 – 12 mkil laut.  Jjarak ini cukup untuk menghindari interferensi dari karang dan rumpon lainnya  Tentu saja selalu ada pengecualian. Beberapa rumpon yang ditanam lebih dekat ke pantai telah berhasil mengagregasi ikan secara efektif. Wilayah yang memiliki dasar curam (slope) tidak mungkin untuk menanam rumpon pada jarak 4 atau 5 mil laut dari pantai karena terlalu dalam. Namun demikian, ketika memilih sebuah situs baru yang belum pernah diuji sebelumnya, bila memungkinkan gunakan jarak tersebut di atas.
Aksesebilitas dan Keselamatan:
Rumpon harus ditempatkan agar aman untuk dicapai dari pelabuhan.  Letak lokasi dan jarak dari pantai tergantung pada kondisi laut dan jarak operasi yang aman untuk perahu berukuran kecil.  Nelayan sangat berpengalaman mengenai faktor dan kondisi laut disekitarnya.  
Umumnya untuk meningkatkan keselamatan dengan mengonsentrasikan rumpon pada suatau wilayah yang dikenal. 
Jadi pada prinsipnya kita mengetahui bahwa:
1. Fish ground merupakan faktor penentu dalam menentukan keberhasilan penangkapan ikan, tanpa mengetahui fish ground ikan yang menjadi tujuan penangkapan adalah pekerjaan menangkap ikan yang sia-sia.
2. Fish ground terbagi menjadi dua jenis, pertama adalah fish ground alami, dan kedua adalah fish ground buatan
3. Ditinjau dari segi bahan, bahan rumpon dibagi menjadi tiga kelompok, yaitu:
a. Rumpon yang terbuat dari bagian tumbuhan.
b. Rumpon yang terbuat bukan tumbuhan
c. Rumpon yang terbuat dari gabungan bagian tumbuhan dan bukan tumbuhan  
4. Pemilihan bahan untuk rumpon konvensional adalah didasarkan pada penciptaan kondisi lingkungan yang mirip dengan kondisi lingkungan yang disukai oleh ikan.  Salah satunya untuk menciptakan rantai pertama makanan.  Rantai makanan dibagi dalam dua proses.  Proses pertama menciptakan rantai makanan yang akan menghasilkan kelimpahan zooplankton.  Proses kedua adalah menciptakan berlangsungnya hukum alam pada kehidupan ikan yaitu sifat predator.
5. Proses siklus rantai makanan dan siklus kehidupan biota laut dari rumpon non tumbuhan adalah bersumber dari coral life cycle, yaitu memberikan tempat tumbuh atau menempel biota karang sesuai dengan tingkat yang paling rendah hingga tingkat tertinggi dalam proses pembentukan lingkungan karang yang diupayakan menciptakan habitat dari jenis ikan tertentu.
6. Rumpon  telah mempengaruhi seluruh tingkat perikanan, mulai perikanan artisanal atau subsistence, perikanan komersil hingga leisure fishing sehingga dapat meningkatkan hasil tangkap secara tajam.
Sumber Referensi:
Kementerian Kelautan dan Perikanan
Badan Pengembangan sumberdaya Manusia Kelautan dan Perikanan
Pusat Penyuluhan Kelautan dan Perikanan
Kirimkan Ini lewat EmailBlogThis!Berbagi ke TwitterBerbagi ke Facebook
Posting Lebih Baru Posting Lama Beranda

Monday, February 15, 2016

TENTANG GELATIN DAN MANFAATNYA

February 15, 2016 Posted by Media Penyuluhan Perikanan Pati No comments
Gelatin adalah derivat protein dari serat kolagen yang ada pada kulit, tulang, dan tulang rawan. Proses perubahan kolagen menjadi gelatin melibatkan tiga perubahan berikut (Junianto, dkk, 2006):
Pemutusan sejumlah ikatan peptida untuk memperpendek rantai
Pemutusan atau pengacauan sejumlah ikatan camping antar rantai
Perubahan konfigurasi rantai
Gelatin larut dalam air, asam asetat dan pelarut alkohol seperti gliserol, propilen glycol, sorbitol dan manitol, tetapi tidak larut dalam alkohol, aseton, karbon tetraklorida, benzen, petroleum eter dan pelarut organik lainnya (Junianto, dkk, 2006).
Gelatin tulang ikan
Pada tahap persiapan dilakukan pencucian pada kulit dan tulang. Kulit atau tulang dibersihkan dari sisa-sisa daging, sisik dan lapisan luar yang mengandung deposit-deposit lemak yang tinggi. Untuk memudahkan pembersihan maka sebelumnya dilakukan pemanasan pada air mendidih selama 1-2 menit. Proses penghilangan lemak dari jaringan tulang yang biasa disebut degresing, dilakukan pada suhu antara titik cair lemak dan suhu koagulasi albumin tulang yaitu antara 32-80C sehingga dihasilkan kelarutan lemak yang optimum (Junianto, dkk, 2006).
Pada tulang, sebelum dilakukan pengembungan terlebih dahulu dilakukan proses demineralisasi yang bertujuan untuk menghilangkan garam kalsium dan garam lainnya dalam tulang, sehingga diperoleh tulang yang sudah lumer disebut ossein. Asam yang biasa digunakan dalam proses demineralisasi adalah asam klorida dengan konsentrasi 4-7%. Proses demineralisasi ini sebaiknya dilakukan dalam wadah tahan asam selama beberpa hari sampai dua minggu (Junianto, dkk, 2006).
Selanjutnya pada kulit dan ossein dilakukan tahap pengembungan (swelling) yang bertujuan untuk menghilangkan kotoran-kotoran dan mengkonversi kolagen menjadi gelatin. Pada tahap ini perendaman dapat dilakukan dengan larutan asam organik seperti asam asetat, sitrat, fumarat, askorbat, malat, suksinat, tartarat dan asam lainnya yang aman dan tidak menusuk hidung. Sedangkan asam anorganik yang biasa digunakan adalah asam hidroklorat, fosfat, dan sulfat. Jenis pelarut alkali yang umum digunakan adalah sodium karbonat, sodium hidroksida, potassium karbonat dan potassium hidroksida (Junianto, dkk, 2006).
Asam mampu mengubah serat kolagen triple heliks menjadi rantai tunggal, sedangkan larutan perendam basa hanya mampu menghasilkan rantai ganda. Hal ini menyebabkan pada waktu yang sama jumlah kolagen yang dihidrolisis oleh larutan asam lebih banyak daripada larutan basa. Karena itu perendaman dalam larutan basa membutuhkan waktu yang lebih lama untuk menghidrolisis kolagen. Menurut Utama (1997), tahapan ini harus dilakukan dengan tepat (waktu dan konsentrasinya) jika tidak tepat akan terjadi kelarutan kolagen dalam pelarut yang menyebabkan penurunan rendemen gelatin yang dihasilkan (Junianto, dkk, 2006).
Tahapan selanjutnya, kulit dan ossein diekstraksi dengan air yang dipanaskan. Ekstraksi bertujuan untuk mengkonversi kolagen menjadi gelatin. Suhu minimum dalam proses ekstraksi adalah 40-50C hingga suhu 100C. Ekstraksi kolagen tulang dilakukan dalam suasana asam pada pH 4-5 karena umumnya pH tersebut merupakan titik isoelektrik dari komponen-komponen protein non kolagen, sehingga mudah terkoagulasi dan dihilangkan. Apabila pH lebih rendah perlu penanganan cepat untuk mencegah denaturasi lanjutan (Junianto, dkk, 2006).
Larutan gelatin hasil ekstraksi kemudian dipekatkan terlebih dahulu sebelum dilakukan pengeringan. Pemekatan dilakukan untuk meningkatkan total solid larutan gelatin sehingga mempercepat proses pengeringan. Hal ini dapat dilakukan dengan menggunakan evaporator vakum, selanjutnya dikeringkan dalam oven pada suhu 40-50C atau 60-70C. Pengecilan ukuran dilakukan untuk lebih memperluas permukaan bahan sehingga proses dapat berlangsung lebih cepat dan sempurna. Dengan demikian gelatin yang dihasilkan lebih reaktif dan lebih mudah digunakan (Junianto, dkk, 2006).
Urutan pembuatan gelatin tulang ikan tuna (Junianto, dkk, 2006):
1. Tulang ikan
2. Degreasing (penghilangan lemak), direndam pada air mendidih selama 30 menit
3. Pengecilan ukuran 2-5 cm2
4. Demineralisasi (perendaman dalam HCl 5%, 48 jam)
5. Ossein
6. Pencucian demean air mengalir hingga pH netral (6-7)
7. Ekstraksi dalam waterbath pada suhu 90°C selama 7 jam
8. Ekstrak disaring
9. Dipekatkan dengan evaporator
10.Dikeringkan dengan oven pada suhu 50°C selama 24 jam
11.Pengecilan ukuran/penepungan
12.Gelatin
Gelatin Kulit Ikan
Metode yang digunakan pada ekstraksi gelatin dari ikan tuna ini yaitu metode asam, sedangkan asam yang digunakan yaitu asam sitrat. Kulit ikan dibersihkan dari daging yang masih melekat, kemudian dicuci bersih, dan dibuang sisiknya dan dibersihkan dari daging yang melekat, kemudian dicuci bersih. Kulit yang sudah dicuci direndam dalam campuran larutan kapur dan Natrium sulfida dengan konsentrasi masing-masing 3% dari berat ikan selama 48 jam. Kulit ikan kemudian diangkat dari rendaman, kemudian dicuci bersih dan dibuang sisik dan daging yang masih melekat. Kulit ikan diputar di dalam molen dengan ditambahkan air sebanyak 400% (b/b), dan ammonium sulfat 1% (b/b) selama 30 menit. Kemudian kulit ikan ditambahkan enzim protease 1% (b/b) kemudian diputar kembali selama 2 jam dengan kecepatan 12 rpm. Proses ini disebut proses enzimatis (Dewi, F.R. dan Widodo, 2009).
Proses selanjutnya adalah proses asam. Setelah, melalui proses enzimatis ikan dicuci bersih lalu direndam dengan larutan asam sitrat pH 3 selama 12 jam, dicuci bersih hingga mencapai pH netral atau pH 7. Setelah pH netral tercapai kulit ikan kemudian diektraksi dengan perbandingan air 1:2 pada waterbath dengan suhu 60°C selama 3 jam. Ekstrak disaring menggunakan kapas, kain blacu dan saringan. Ekstrak disimpan dalam chilling room sehingga larutan tersebut menjendal. Gelatin yang sudah menjendal kemudian dimasukkan ke dalam pemanas bersistem evaporasi, yang dapat memekatkan larutan gelatin tersebut. Hasil dari evaporai tersbut dimasukkan ke dalam ekstuder, putar ekstuder sehingga menghasilkan mie-mie gelatin. Pengeringan larutan gelatin dapat dilakukan dengan penggunaan udara kering (terhumidifikasi) dan pemanasan. Pemanasan dilakukan bertahap di bawah 40°C hingga mencapai penurunan kadar air paling tidak 70%. Setelah tercapai suhu pengeringan dinaikan menjadi 50-55°C sampai diperoleh gelatin kering (24-36 jam). Penghalusan dilakukan dengan menggunakan blender sehingga diperoleh granula sebesar gula pasir (Dewi, F.R. dan Widodo, 2009).
Urutan  pembuatan gelatin kulit ikan tuna (Dewi, F.R. dan Widodo, 2009):
1.    Kulit Ikan Tuna
2.    Pengapuran. Direndam dalam larutan kapur 3%, Na2S 3%, dan air 600% selama 48 jam
3.    Dibersihkan dari sisa daging
4.    Enzimatis. Kulit direndam dalam air 400%, [(NH4)2SO4] 1%, kemudian diputar selama 30 menit. Enzim protease 1% putar kembali 2 jam
5.    Dicuci sampai bersih
6.    Direndam dalam larutan asam sitrat pH 3 selama 12 jam
7.    Dicuci dengan air mengalir sampai pH netral (6-7)
8.    Kulit diekstraksi dengan perbandingan 1:3 dalam waterbath
9.    Selama 2 jam pada suhu 60° C
10.    Filtrat disaring menggunakan kapas, kain blacu dan saringan
11.    Penjendelan dalam ruang pendingin selama 24 jam
12.    Pemekatan menggunakan evaporator
13.    Pengeringan 24-36 jam suhu 45° C-50° C
14.    Pembentukan flake gelatin menggunakan blender
Pemanfaatan limbah tulang ikan sebagai sumber kalsium
Selama ini yang direkomendasikan sebagai sumber kalsium terbaik adalah susu. Tetapi harga susu bagi sebagian masyarakat masih terhitung mahal, oleh karena itu perlu dicari alternatif sumber kalsium yang lebih murah, mudah didapat dan tentu saja mudah diabsorbsi. Kalsium yang berasal dari hewan seperti limbah tulang ikan sampai saat ini belum banyak dimanfaatkan untuk kebutuhan manusia. Tulang ikan merupakan salah satu bentuk limbah dari industri pengolahan ikan yang memiliki kandungan kalsium terbanyak diantara bagian tubuh ikan, karena unsur utama dari tulang ikan adalah kalsium, fosfor dan karbonat. Ikan tuna merupakan komoditas perikanan Indonesia yang banyak menghasilkan devisa (terbesar kedua setelah udang) (Trilaksani, W., et al, 2006).
Peningkatan nilai produksi ikan tuna dari tahun ke tahun menunjukkan nilai yang cukup tajam. Peningkatan volume produksi ini akan meningkatkan volume limbah hasil industri pengolahan tuna tersebut. Pemanfaatan limbah tulang ikan tuna sebagai sumber kalsium merupakan salah satu alternatif dalam rangka menyediakan sumber pangan kaya kalsium sekaligus mengurangi dampak buruk pencemaran lingkungan akibat dari pembuangan limbah industri pengolahan tuna.
Parameter yang diukur dalam penelitian ini adalah kadar kalsium, fosfor, air, abu, protein, lemak, pH, derajat putih, daya serap air, kemudahan melarut, densitas kamba dan bioavailabilitas kalsium. Tepung tulang ikan yang dihasilkan dalam penelitian ini mengandung kalsium tertinggi 39,24 % dan fosfor 13,66 % yang diperoleh dari kombinasi perlakuan autoclaving 2 (dua) jam dan perebusan 3 (tiga) kali. Kadar air pada tepung tulang sebesar 5,60 %, abu 81,13 %bb, protein 0,76 %bb dan lemak 3,05 %bb. Nilai beberapa parameter fisik tepung yaitu derajat putih 64,7 %, densitas kamba 8,14 g/ml, pH 7,13, daya serap air 14,5 % dan kemudahan melarut sebesar 4,45 % pada menit ke 15, 29,20 % pada menit ke 180. Nilai bioavailabilitas kalsium tepung sebesar 0,86 %. Nilai ini diperoleh dari hasil pengukuran tepung dengan kadar kalsium tertinggi (Trilaksani, W., et al, 2006).
Tepung Hidrolisat Protein
Substitusi dan fortifikasi hidrolisat protein ke dalam olahan produk pangan bertujuan untuk (Trilaksani, W., et al, 2006):
Peningkatan konsumsi protein ikani masyarakat yang jauh dari pantai;
Menanggulangi masalah KEP/KKP maupun gizi ganda;
Meningkatkan nilai tambah komuditi, hingga dapat meningkatkan pendapatan, kesempatan berusaha, dan kesempatan kerja di pedesaan pantai; dan
Mendapatkan bahan dalam perumusan model teknologi pengolahan limbah pengalengan ikan tuna yang layak secara teknis ekonomis. Keluaran yang diharapkan adalah teknologi yang mampu menghasilakan tepung hidrolisat protein bermutu, serta tidak membayangkan kesehatan (pencernaan) apabila dikonsumsi.
Serangkaian penelitian yang dilaksanakan di Lab. Ilmu dan Teknologi Pangan, Unibraw; Lab. Faperikan Unibraw; terdiri dari 3 tahap kegiatan, yaitu: (1) pembuatan tepung THPI daging merah ikan tuna; (2) aplikasi THPI ke dalam olahan produk pangan fortifikasi (burger dan mie kering); dan (3) aplikasi THPI ke dalam olahan produk pangan subtitusi (bakso dan sosis) (Trilaksani, W., et al, 2006).
Produksi perikanan laut Indonesia dari tahun ke tahun semakin meningkat dan berkembang. Disamping kekayaan ikan di kawasan Indonesia yang berlimpah serta usaha untuk meningkatkan hasil tangkapnya yang terus menerus dilaksanakan, ternyata baru mencapai nilai 35% saja yang dapat dicapai. Dari data yang dapat dikumpulkan, setiap musim masih terdapat antara 25-30% hasil tangkapan Ikan Laut yang akhirnya harus menjadi ikan sisa atau ikan buangan yang disebabkan karena berbagai hal (Trilaksani, W., et al, 2006):
Keterbatasan pengetahuan dan sarana para nelayan di dalam cara pengolahan ikan. Misalnya, hasil tangkapan tersebut masih terbatas sebagai produk untuk dipasarkan langsung (ikan segar), atau diolah menjadi ikan asin, pindang, terasi serta hasil-hasil olahannya.
Tertangkapnya jenis-jenis ikan lain yang kurang berharga ataupun sama sekali belum mempunyai nilai di pasaran, yang akibatnya ikan tersebut harus dibuang kembali.
Diantara bahan alami, ikan tercatat sebagai bahan yang sangat cepat membusuk. Karenanya begitu ikan tertangkap, maka proses pengolahan dalam bentuk pengawetan dan pengolahan harus segera dilakukan. Juga selama pengolahan ikan, masih banyak bagian-bagian dari ikan, baik kepala, ekor, maupun bagian-bagian yang ditermanfaatkan akan dibuang. Tidak mengherankan kalau sisa ikan dalam bentuk buangan dan bentuk-bentuk lainnya berjumlah cukup banyak, apalagi kalau ditambah dengan jenis-jenis ikan lainnya yang tertangkap tetapi tidak mempunyai nilai ekonomi. Ditambah lagi, ikan-ikan sisa dan yang terbuang tersebut secara langsung maupun tidak langsung banyak membawa problema lingkungan di kawasan pesisir, minimal dalam bentuk gangguan terhadap kebersihan, sanitasi dan kesehatan lingkungan (Trilaksani, W., et al, 2006).
Pemanfaatan Limbah Ikan sebagai Pupuk Organik
Indonesia merupakan negara yang memiliki wilayah perairan yang sangat luas dan hanya 1/5 saja merupakan daratan. Dengan kondisi yang lebih banyak perairannya tinggi maka akan muncul potensi yang besar dalam bidang perikanan. Banyak bagian-bagian dari ikan, baik kepala, ekor, maupun bagian-bagian yang tidak dimanfaatkan akan dibuang. Tidak mengherankan kalau sisa ikan dalam bentuk buangan dan bentuk-bentuk lainnya berjumlah cukup banyak, apalagi kalau ditambah dengan jenis-jenis ikan lainnya yang tertangkap tetapi tidak mempunyai nilai ekonomi. Ditambah lagi, ikan-ikan sisa dan yang terbuang tersebut secara langsung maupun tidak langsung banyak membawa problema lingkungan di kawasan pesisir, minimal dalam bentuk gangguan terhadap kebersihan, sanitasi dan kesehatan lingkungan (Annonymousb, 2010).
Untuk memaksimalkan potensi perikanan dan banyaknya ikan yang terbuang sia-sia tanpa ada nilai ekonomisnya maka perlu dilakukan suatu terobosan baru dalam memanfaatkan setiap bagaian dalam bidang perikanan salah satunya adalah dengan memanfaatkan limbah ikan atau mungkin ikan-ikan yang tidak ekomomis penting dan ikan yang terbuang sia-sia. Pemanfaatan ini, salah satunya adalah menjadikan pupuk organik. Bahan baku ikan untuk memproduksi pupuk organik sangat dipengaruhi oleh kandungan lemaknya. Kemungkinan besar lama waktu proses pembuatan pupuk organik tergantung dari kandungan lemaknya. Dengan kandungan lemak yang tinggi, kemungkinan besar bahwa prosesnya akan lambat atau tidak sempurna. Berbeda dengan kandungan lemak yang sedikit, maka hasil pupuknya akan termasuk yang terbaik (Annonymousb, 2010).
Pupuk organik lengkap yang terbuat dari bahan baku ikan memiliki kualitas sebagai pupuk yang lebih dibandingkan dengan pupuk organik lain, apalagi kalau dibandingkan dengan pupuk kompos, pupuk kandang, ataupun pupuk hijau. FAO telah menetapkan kriteria dasar untuk pupuk jenis ini, yakni: kandungan unsur makro harus mempunyai nilai minimal N (12%), P (8%), dan K (6%) disamping kandungan unsur mikro seperti Ca, Fe, Mg, Cu, Zn, Mn, dan sebagainya. Kandungan protein dan lemak yang tinggi akan menghambat pertumbuhan dari tanaman pangan tersebut. Perlu adanya terobosan baru untuk mengurangi kandungan lemak dan protein tersebut sebelum diterapkan menjadi pupuk organik (Annonymousb, 2010).
Limbah Pengolahan Ikan biasanya berbau, untuk menghilangkan bau busuk limbah pengolahan tepung ikan dapat digunakan bakteri asam laktat dan untuk produk pupuk yang dibuat dari limbah pengolahan ikan yang telah dihilangkan bau busuknya juga dapat ditingkatkan kandungan haranya. Keunggulan pupuk ini adalah (Annonymousb, 2010):
Pupuk yang dihasilkan merupakan pupuk organik yang unsur haranya lebih lengkap dibandingkan dengan pupuk anorganik;
Membuat daun tanaman hias menjadi lebih mengkilap, bunga lebih banyak dan bertahan lebih lama;
Bahan baku melimpah dan murah, karena memanfaatkan limbah pengolahan ikan;
Harga jual kompetitif jika dibandingkan dengan produk impor yang sangat mahal;
Konsep back to nature melalui pertanian organik.
Kelemahan dari limbah cair pengolahan tepung ikan untuk dijadikan pupuk cair adalah bau busuk yang sangat menyengat dan membuat kepala pusing. Masalah bau busuk dapat diatasi antara lain dengan menurunkan pH limbah cair, memberi aerasi, menambahkan bahan penyerap bau, menggunakan mikroba yang mempercepat proses dekomposisi dan merombak senyawa yang menimbulkan bau. Proses menghilangkan bau busuk dari limbah cair pengolahan tepung ikan untuk dijadikan bahan baku pupuk cair dilakukan dengan menurunkan pH limbah ikan dari 8,0 menjadi 6,0 dengan penambahan HCl, menambahkan molases, dan menginokulasi limbah ikan dengan kultur bakteri asam laktat. Kultur ini diinkubasi pada shaker dengan memberikan aerasi secara terputus selang dua jam dengan dikocok pada 120 rpm. Dengan cara ini bau busuk limbah ikan hilang dalam waktu inkubasi lima hari (Annonymousb, 2010).
Limbah cair pengolahan tepung ikan yang telah dihilangkan bau busuknya dijadikan sebagai bahan baku pembuatan pupuk. Pupuk dibuat dengan menambahkan batuan fosfat alam untuk meningkatkan kandungan unsur Phospat (P) dan kelarutan batuan fosfat ditingkatkan dengan menambahkan mikroba pelarut fosfat. Inkubasi dilanjutkan selama dua hari lagi. Kandungan hara pupuk cair tergantung pada jenis dan ukuran ikan, sehingga kandungan unsur hara limbah ikan bervariasi dari 1500-2000 ppm N, 300 ppm P dan 3000-4000 ppm K, pH sekitar 6,5 (Annonymousb, 2010).
Pemanfaatan Limbah Ikan sebagai Tepung Ikan
Dalam kegiatan industri pengalengan ikan selalu menghasilkan limbah ikan yang sebenarnya masih dapat dimanfaatkan untuk membuat tepung ikan. Tepung ikan dapat dimanfaatkan untuk campuran makanan ternak seperti unggas, babi dan makanan ikan. Tepung ikan mengandung protein, mineral dan vitamin B. Protein ikan terdiri dari asam amino yang tidak terdapat pada tumbuhan. Kandungan gizi yang tinggi pada tepung ikan dapat meningkatkan produksi dan nilai gizi telur, daging ternak dan ikan. Kandungan gizi tepung ikan tergantung dari jenis ikan yang digunakan sebagai bahan bakunya. Tepung ikan yang berkualitas tinggi mengandung komponen-komponen sebagai berikut (Annonymousa, 2009):
Air 6-100 %
Lemak 5-12 %
Protein 60-75 %
Abu 10-20 %
Selain itu karena dibuat dari kepala dan duri ikan maka tepung ikan juga mengandung (Annonymousa, 2009): Ca fosfat
Seng
Yodium
Besi
Timah
Mangan
Kobalt
Vitamin B 2 dan B 3
Bahan baku tepung ikan dapat berupa (Annonymousa, 2009):
    Limbah ikan dari industri pengalengan ikan
    Ikan kurus: ikan-ikan kecil misalnya teri (Solepherus sp.)
    Ikan gemuk: ikan petek (Leioguanathus sp.)
Berikut ini adalah cara pembuatan tepung ikan (Annonymousa, 2009):
    Bahan limbah dipotong kecil-kecil dalam bak pencucian dengan air yang mengalir.
    Dilakukan penggaraman selama 30 menit.
    Khusus untuk ikan gemuk tambahkan air hingga terendam dan dimasak selama 1 jam. Untuk ikan kurus dimasak dalam dandang selama 30 menit, kemudian ikan yang sudah matang dimasukkan ke dalam alat pengepres.
    Ikan yang telah di pres digiling.
    Ikan yang telah dipres dikeringkan pada suhu 60-650Celcius selama 6 jam di dalam alat pengering untuk ikan basah, dan ikan kering dikeringkan dengan sinar matahari.
    Ikan yang telah dipres dan kering digiling sampai lembut.
    Tepung ikan siap dipasarkan.
Meningkatkan mutu dengan program Vucer (Annonymousa, 2009):
    Memperkenalkan teknik desalting pada ikan asin yang akan digunakan sebagai bahan baku tepung ikan. Teknik desalting dapat dilakukan dengan cara merendam ikan asin di dalam larutan berkonsentrasi gararn rendah selama 12 jam. Proses ini mampu mengurangi kadar garam, meningkatkan kadar protein, dan secara otomatis akan menaikkan harga jual produk.
    Perubahan waktu perebusan ikan dari 30 menit menjadi hanya 5 menit, yang dilakukan setelah air mendidih. Hal ini ternyata mampu memelihara nilai gizi ikan, terutama protein yang tidak banyak larut atau terbuang akibat perebusan.
    Pengadaan peralatan pengepres ikan yang telah direbus. Hal ini mampu meningkatkan kapasitas produksi. menurunkan kadar air, menurunkan kadar lemak dan rneningkatkan kadar protein tepung ikan. Juga menurunkan presentase ikan yang busuk akibat lamanya proses penjemuran.
    Pengadaan lantai penjemuran dengan disain seperti penjemur padi. Hal ini mempercepat proses penjemuran menjadi hanya satu dari 2-3 hari sebelumnya.
    Pengadaan peralatan pengayak yang mampu menghasilkan ukuran tepung ikan yang lebih seragam, yaitu 60 mesh.
Dari segi mutu dan harga telah terjadi peningkatan. Kadar protein meningkat dari 47,5% menjadi 54% setelah pelaksanaan Program Vucer, dan kadar air menurun dari 13,7% menjadi 10,4% (Annonymousa, 2009).
DAFTAR PUSTAKA
Annonymousa. 2009. Tepung Ikan. 
http://sosekstoreperikananub.blogspot.com/2009/05.html
Annonymousb. 2009. Jaringan Ikat. http://histovet1.blogspot.com/jaringan-ikat_16.html
Annonymousa. 2010. Penanganan Limbah Hasil Perikanan Secara Biologis.   
http://eafrianto.wordpress.com/2009/12/10/
Annonymousb. 2010. Pemanfaatan Limbah Ikan Untuk Pupuk Organik.http://ppsdms.org/pemanfaatan-limbah-ikan-untuk-pupuk-organik.htm
Annonymousc. 2010. Kolagen. http://www.rumahfarmasi.com/health-a…les-p-600.html
Annonymousd. 2010. Kolagen. http://repository.ui.ac.id/contents/koleksi.pdF. Dewi, F.R. dan Widodo. 2009. Pembuatan Gelatin Dari Kulit Tuna.http://www.bbrp2b.dkp.go.id/publikasi/prosiding/2008/brawijaya.pdf
Eko, H.R dan Teuku Muamar. 2007. Pengalengan Ikan Tuna Komersial.http://jurnal.pdii.lipi.go.id/admin/jurnal/22074350.pdf.
Fesya. 2008. SOSIS. http://masenchipz.com/category/dk
Herlandria. 2009. Kolagen Kulit Kambing.
http://jurnal.pdii.lipi.go.id/admin/jurnal/31086368.pdf.
Jaswir, I. 2007. Gelatin.http://duniapangankita.files.wordpress.com/2007/04/gelatin.pdf
Junianto, Haetami dan Maulina. 2006. Produksi Gelatin Dari Tulang Ikan Dan Pemanfaatannya Sebagai Bahan Dasar Pembuatan Cangkang Kapsul. http://pustaka.unpad.ac.id/wpcontent/produksi_gelatin_dari_tulang_ikan.pdf.
Rusmana, Deny dan Abun. 2006. Evaluasi Nilai Kecernaan Limbah Ikan Tuna (Thunnusatlanticus) Produk Pengolahan Kimiawi Dan Biologi Serta Nilai Retensi Nitrogen Pada Ayam Broiler.
http://pustaka.unpad.ac.id/wpcontent/uploads/2009/10.pdf.
Trilaksani, W, Salamah, E., Nabil, M. 2006. Pemanfaatan Limbah Tulang Ikan Tuna(Thunnus sp.) sebagai Sumber Kalsium dengan Metode Hidrolisis Protein. BuletinTeknologi Hasil Perikanan Vol IX Nomor 2 Tahun 2006
Wong, DWS. 1989. Mechanism and Theory in Food Chemistry. Academic Press: NY
Kirimkan Ini lewat EmailBlogThis!Berbagi ke TwitterBerbagi ke Facebook