Saturday, October 22, 2016

PENANGANAN HAMA DAN PENYAKIT PADA UDANG ROTRIS

October 22, 2016 Posted by Media Penyuluhan Perikanan Pati No comments
Udang rostris (Litopenaeus stylirostris) berasal dari kawasan Amerika Latin khususnya dari negara Mexico, mempunyai prospek pasar internasional yang cukup baik bagi dunia usaha dan sudah banyak diproduksi secara massal dengan menerapkan teknologi sederhana hingga intensif oleh beberapa negara di Amerikan dan Asia. Informasi yang didapat dari hasil kajian dan hasil produksi di beberapa negara produsen, bahwa udang rostris menunjukkan keunggukan-keunggulan sebagai berikut:
-  Laju pertumbuhan yang menyerupai udang windu (dapat mencapai ukuran 30 gr/4 bulan).
-  Toleran terhadap suhu rendah dan perubahan salinitas (khususnya pada salinitas tinggi).
-  Toleran terhadap lingkungan yang ekstrim (kindisi tanah gambut dan kondisi lainnya).
Pemicu munculnya penyakit pada udang rostris ada tiga, faktor yakni menurunnya kualitas lingkungan pemeliharaan, adanya jasad patogen, dan kondisi udang yang lemah. Bila udang rostris terserang penyakit dapat dipastikan ditimbulkan oleh beberapa faktor tersebut. Untuk mencegah dan mengobatinya maka harus diketahui faktor penyebabnya.
Klasifikasi
Klasifikasi dari udang rostris (Litopenaeus stylirostris) adalah sebagai berikut :
•  Sub Phyllum    : Crustacea
•  Kelas          : Malacostraca
•  Ordo           : Decapoda
•  Famili         : Penaidae
•  Genus          : Litopenaeus
•  Species        : Litopenaeus stylirostris
Morfologi
Ciri morfologi udang rostris ini tidak berapa beda dengan deskripsi udang pada umumnya. Secara jelas yang tampak adalah udang ini berwarna biru kehitaman, keki renang merah kebiru-biruan, rostrum panjang bergigi 7 pada bagian atas (dorsal) dan 1 gigi lunak yang berkembang di bagian ventral.
Persiapan Air Media
Dalam persiapan air media awal sudah dianggap baik apabila kondisi parameter kualitas air dan kelimpahan plankton tidak mengalami goncangan (fluktuasi) yang mencolok. Tahapan dalam persiapan air media awal adalah sebagai berikut :
- Pengamatan parameter kualitas tanah (pH : 6,5-7,5 ; kandungan bahan organic 8-10 %). Tujuan dari pengamatan parameter kualitas tanah ini adalah untuk mengetahui kondisi tanah tersebut sudah layak atau belum bagi kebutuhan biologis udang yang akan dipelihara.
- Pengisian air seluruh komponen petakan tambak hingga mencapai ketinggian yang optimal (1,2-1,4 m), dilakukan pada saat kondisi air laut sedang pasang tinggi. Kemudian air dibiarkan 2-5 hari dengan tujuan untuk mengetahui tingkat porositas tanah dan tingkat evaporasi (penguapan) air pada petakan tambak yang akan dioperasionalkan.
- Sterilisasi air media dengan kaporit berkisar antara 25-30 ppm dan ditebar merata, kemudian diaerasi (dikincir) yang kuat selama 3-5 jam. Pengadukan dengan kincir bertujuan agar kaporit yang diaplikasikan tersebar secara merata hingga ke dasar tambak, sehingga air media tersebut dapat segera steril.
- Pengamatan parameter kualitas air, seperti pH (7,5-8,5), suhu (28o-31o C), dan salinitas (15-35 ppt), serta parameter air lainnya. Pengukuran parameter kualitas air ini bertujuan untuk mengetahui kondisi kualitas air secara awal, sehingga pada saat penebaran benur dapat disesuaikan (untuk proses adaptasi penebaran benur).
Pemilihan dan Penebaran Benih
Apabila kondisi air media sudah siap dalam artian baik kondisi parameter kualitas air dan kondisi kelimpahan plankton, maka segera dapat dilakukan penebaran benih.
Pemilihan standar benih udang rostris adalah sebagai berikut :
-  Ukuran diusahakan seragam.
-  Gerakan lincah dan menantang arus.
-  Respon terhadap gerakan.
-  Warna tubuhnya putih transparan.
-  Kaki dan kulit bersih.
-  Isi usus tidak putus, dan
-  Adaptif (tahan) terhadap perubahan salinitas.
Benih udang rostris yang ditebar adalah ukuran PL-15 atau ukuran tokolan (sebesar pentol korek api) dan sudah dalam kondisi bebas virus. Standar baku benih yang baik adalah setelah dipilah dengan formalin, kematiannya maksimal tidak lebih dari 5 %. Benih tersebut diangkut ke tambak dan kemudian sebelum ditebar terlebih dahuludiadaptasikan terhadap parameter kualitas air yaitu suhu, salinitas, pH, dan parameter lainnya secara perlahan-lahan selama 5-15 menit.
Waktu penebaran yang baik diusahakan pagi hari (jam 0500- 0700). Dengan padat penebaran yang optimal pada pembesaran udang rostris dengan teknologi intensif pada system ini adalah berkisar antara 25-50 ekor/m2 (tergantung factor daya dukung lahan dan sarana penunjang lainnya).
Masa Pemeliharaan
Selama masa pemeliharaan udang rostris berlangsung (masa operasional berjalan) perlakuan dan pengamatan sangatlah menentukan tingkat keberhasilan. Untuk itu, dalam kurun waktu tersebut ada beberapa kegiatan, perlakuan, dan pengamatan penting yang perlu diperhatikan, yaitu :
-  Pengaturan dan pemberian pakan.
-  Manajemen plankton.
-  Pengelolaan air dan lumpur.
-  Pengamatan kondisi dan pertumbuhan udang.
Faktor yang sangat penting selam masa pemeliharaan udang adalah pengamatan mengenai kondisi dan kesehatan udang rostris pada tambak yang dioperasionalkan. Untuk mengetahui kondisi ini dapat diindikatorkan dengan pengamatan secara visual yaitu diantaranya adalah :
-  Udang ditempeli oleh jenis bakteri Zoothamium sp dan jenis lainnya pada insang dan tubuh.
-  Insang kotor.
-  Kepala (karapas) dan kulit (abdomen) berlumut.
-  Ekor geripis.
-  Anthena putus.
-  Daging udang keropos.
-  Warna tubuh dan ekor kemerahan.
Udang yang sehat dicirikan dengan normalnya fungsi fisiologis yang secara fisik dapat terlihat dari nafsu makan, pertumbuhan, kelengkapan organ dan jaringan tubuh. Udang akan tetap dalam kondisi sehat selama lingkungan masih mampu untuk mentolerir beban polusi internal sebagai hasil degradasi input produksi (pupuk, pakan, dan obat-obatan). Penyakit yang pada umumnya mulai terjadi pada bulan kedua pada masa pemeliharaan.
Kemampuan mengendalikan factor penyebab stress dan antisipasi yang tepat terhadap potensi serta gejala sakit  akan menentukan kualitas dan kuantitas pada akhir masa pemeliharaan hingga panen. Hampir semua kunci manajemen kesehatan adalah pencegahan, namun tidak menutup kemungkinan dilakukannya pengobatan. Ada beberapa kegiatan monitoring kesehatan dan perlakuan udang selama masa pemeliharaan, diantaranya :
-  Pengamatan Rutin
-  Pengamatan Visual
-  Pencegahan Penyakit
Penyakit yang biasa menyerang ikan sumatera adalah sebagai berikut :
1. White Spot Syndrom Virus (WSSV)
•  Gejala / Ciri-ciri
-  Udang menempel di pematang/bamboo.
-  Berenang abnormal.
-  Secara mikroskopik terlihat bercak putih dengan bentuk bunga dan inti kehitaman.
-  Timbul bercak putih di kulit.
•  Pengobatan
-  Dengan bahan kimia
Dapat diberikan Vitamin C sebanyak 100 ppm yang dicampurkan dalam pakan dan diberikan kepada udang yang terserang selama 3 hari, atau dapat juga diberikan Fucoidan (ekstrak rumput laut) sebanyak 60 - 100 mg/ kg udang/ hari selama 15 hari.
-  Dengan bahan alami
Dapat digunakan ekstrak dari daun sambiloto dengan cara diremas, air tersebut dicampur dengan pakan dan dikeringkan, setelah itu baru diberikan pada udang, atau dapat juga menggunakan ekstrak daun Maiyana dengan dosis 0,5 gr/5 liter air.
•  Pengendalian
-  Memilih benih yang telah bebas virus.
-  Aplikasikan air steril dan juga pagar keliling.
2. Bakteri Zoothalium sp
•  Gejala / Ciri-ciri
-  Kulit dan badan berlumut.
-  Karapas dan kulit abdomen.
-  Warna tubuh kemerahan.
•  Pengobatan
-  Dengan bahan kimia
Dapat digunakan Formalin dengan dosis 30 ppm atau kaporit 1 ppm diberikan selama   1 hari.
-  Dengan bahan alami
Menggunakan larutan kunyit atau daun sirih.
•  Pengendalian
-  Membuang lapisan dasar tambak.
-  Pelihara ikan bandeng.
-  Perbaiki dasar tambak.
3.  Lumutan
•   Gejala
-  Kulit seperti berbulu.
-  Tubuh keropos/kusam.
-  Insang kotor.
•   Pengobatan
-  Dengan bahan kimia
Menggunakan Formalin 30 ppm atau larutan kaporit sebanyak 1 ppm, yang dilarukan dengan air tambak.
-   Dengan bahan alami
Dapat menggunakan daun sadah sebanyak 2 gr/liter air, yang dilarutkan selama 15 menit. Atau dapat juga menggunakan daun sirih yang telah diremas, direndam dan disaring airnya, kemudian udang yang terserang penyakit ini direndam selama 15 menit.
•   Pengendalian
Langkah pengendalian penyakit ini dapat dilakukan dengan membuang lapisan Lumpur organic dan memberikan pengapuran pada dasar tambak.
DAFTAR PUSTAKA
Kokarkin, C., 2002. “Petunjuk Teknis Budidaya Udang Rostris”. Dirjen Perikanan. Jakarta.
Junaidah, S., 2004. “Petunjuk Teknis Pembenihan Udang Rostris”. Dirjen Perikanan Budidaya. BBPBAP Jepara.
Basri H. dan Syafei L.S, 2005. Buku Seri Kesehatan Ikan “Udang Rostris Sehat Produksi Meningkat”. Sekolah Tinggi Penyuluhan Pertanian, Jurusan Penyuluhan Perikanan, Bogor.

Friday, October 21, 2016

BAHAYA FORMALIN DALAM PRODUK PERIKANAN

October 21, 2016 Posted by Media Penyuluhan Perikanan Pati No comments
Pendahuluan
Dengan semakin merebaknya isu penggunaan bahan kimia berbahaya dalam penanganan dan pengolahan hasil perikanan akhir-akhir ini akan berdampak negatif terhadap upaya pemerintah untuk melaksanakan program Gerakan Memasyarakatkan Makan Ikan. Pasalnya, masyarakat yang sudah mempunyai minat akan makan ikan akan surut begitu mendengar sebagian ikan yang tersedia di pasar mengandung bahan berbahaya, apalagi bagi masyarakat yang belum memahami pentingnya makan ikan. Di samping itu, kandungan formalin pada produk-produk perikanan indonesia dapat menjadi alat bagi negara-negara importir untuk menolak produk-produk perikanan asal indonesia. Lalu, apa sebenarnya formalin, fungsinya dan efeknya terhadap kesehatan?
Cara Mengenali Formalin
Formalin merupakan gas formaldehid yang tersedia dalam bentuk larutan 40 %, berupa cairan jernih, tidak berwarna dengan bau menusuk. Berbagai macam fungsi formalin diantaranya adalah :
1. Sebagai antiseptik untuk membunuh  mikroorganisme
2. Bahan pengawet hewan kecil, serangga hingga mayat manusia
3. Desinfektan misal untuk mensterilkan kandang
4. Dalam kosmetika digunakan sebagai deodorant dan antihidrolitik (menghambat keringat )
5. Bahan tambahan dalam pembuatan kertas tissue untuk toilet
6. Bahan baku dalam industri lem playwood, resin maupun tekstil
Berdasarkan penelitian, formalin bersifat karsinogen yaitu senyawa yang dapat menyebabkan kanker pada manusia.
Konsumsi formalin dalam dosis rendah, dapat menyebabkan mual, muntah, rasa terbakar pada tenggorakan, sakit perut akut, mencret darah, depresi syaraf dan gangguan peredaran darah. Pada dosis tinggi berakibat konvulsi (kejang-kejang), haematuri (kencing darah), muntah darah dan bahkan bisa menyebabkan kematian.
Jika formalin dikonsumsi secara terus menerus dan dalam jangkla waktu yang panjang dapat mengakibatkan kerusakan hati, jantung, otak, limpa, pankreas, sistem susunan syaraf pusat dan ginjal. Mengingat besarnya bahaya yang ditombulkan, formalin dilarang digunakan sebagai bahan tambahan makanan.
Alasan Penggunaan Formalin
Bagi sebagian nelayan adalah lebih ekonomis karena 1 kg formalin dapat dibeli dengan harga lebih murah dibandingkan harga es batu, daya awetnya lebih lama, resiko kerusakan lebih rendah, penampakan lebih baik, formalin lebih mudah diperoleh serta lebih praktis dan tidak makan tempat yang luas dibandingkan dengan es batu.
Sedangkan alasan bagi pengolah ikan adalah biaya produksi lebih rendah, rendemen hasil lebih tinggi karena selama pengeringan ikan, formalin dapat mencegah turunnya bobot dari sekitar 60 % hanya menjadi 30 %, proses pengeringan lebih cepat dan penampakan lebih baik.
Ciri-ciri ikan yang Mengandung Formalin
Ikan Basah :
-  Penampakan luar bersih dan cemerlang
-  Tekstur daging kaku/kenyal
-  Mata ikan merah tetapi insang pucat
-  Sedikit lendir, bau amis (spesifik ikan) berkurang
-  Ada bau seperti kaporit, lalat kurang / tidak mau hinggap
Ikan Kering :
-  Penampakan luar bersih, cerah
-  Tekstur keras, kenyal
-  Bau hampir netral (bau amis berkurang)
ALTERNATIF PENGGANTI FORMALIN
Setelah kita mengetahui bahwa formalin sangat berbahaya bagi manusia apabila digunakan sebagai bahan pengawet makanan, maka kita perlu mengetahui alternatif pengganti dari formalin. Beberapa bahan yang aman digunakan sebagai bahan pengawet makanan (ikan)  sebagai pengganti formalin adalah :
1. Chitosan
   Bahan alami pengawet bahan makanan alternatif yang dibuat dari limbah udang dan rajungan yang telah ditemukan oleh Tim Riset Fakultas Perikanan dan Ilmu Kelautan Institut Pertanian Bogor. Chitosan adalah produk turunan dari polimer chitin yakni produk samping (limbah) dari pengolahan industri perikanan khususnya udang dan rajungan. Uji aplikasi chitosan telah dilakukan oleh Institut Pertanian Bogor terhadap beberapa produk ikan asin, seperti teri dan cumi. Pengawetan dilakukan dengan cara mencelupkan produk beberapa saat pada chitosan yang dilarutkan dalam asam asetat.
Berdasarkan penelitian, chitosan lebih unggul daripada formalin dalam hal :
-  Lebih aman
- Pada konsentrasi 1,5 % chitosan dapat menyamai formalin dengan indikasi lalat yang hinggap lebih sedikit, penampakan lebih baik dibandingkan dengan ikan asin dengan formalin maupun tanpa formalin
-  Pada minggu ke-delapan setelah diawetkan, ikan asin cucut yang diolesi chitosan lebih
   enak
-  Lebih efektif dalam menghambat pertumbuhan bakteri
- Lebih ekonomis, (100 kg ikan asin hanya memerlukan satu liter chitosan dengan harga    Rp. 12.000,- sedangkan untuk efek yang sama diperlukan formalin senilai Rp. 16.000,-)
2. Biji Picung/Kluwek/Kapayang
Alternatif kedua ini merupakan bumbu populer di dapur keluarga Indonesia. Biji picung merupakan tanaman dengan nama spesies Pangium edule REINW yang termasuk dalam Divisio : Spermatophyta dan Sub Divisio : Angiospermae.
Nama-nama lain dari biji picung (Sunda), Kluwek (Jawa), Hapesong (Batak), Kepayang (Bahasa Indonesia), Pangi (Bahasa Melayu, Bali, Bugis), Pucung (Jakarta), Kalowa (Sumbawa). Biji picung sudah digunakan untuk mengawetkan ikan di daerah Banten dan Pariaman. Umumnya ikan yang diawetkan dengan biji picung dapat bertahan sampai       6 hari.
Cara-cara mengawetkan dengan biji picung :
-  Biji dicincang dan dijemur selama 2-3 hari
-  Ikan laut yang baru ditangkap dibersihkan   isi perutnya
-  Setelah itu rongga perut ikan diisi dengan cincangan biji picung
   Untuk pengangkutan jarak jauh, maka wadah/keranjang ikan dapat ditaburi dengan campuran cincangan biji picung dengan garam perbandingan 1 : 3 atau bisa juga dengan biji picung saja.
3. Asam Laktat yang Berasal dari Sayuran Kubis
Sayuran kubis ini dikenalkan oleh Dr. NL. Ida Sopied, MS, dari Jurusan Kimia FMIPA Institut 10 November (ITS) Surabaya. Pengawetan terhadap ikan segar dilakukan dengan cara merendam ikan dengan air yang dicampur dengan asam laktat.
 Asam laktat dapat dibuat di rumah dari sayuran kubis yang dirajang halus dan ditempatkan dalam wadah kemudian didiamkan selama 2 hari. setelah 2 hari akan terdapat cairan dari proses pembusukan kubis. Cairan tersebut yang akan digunakan sebagai asam laktat. Dengan merendam ikan dalam cairan tersebut maka ikan akan tahan selama 12 jam. Hasilnya akan lebih baik lagi, bila dipinggiran wadahnya diberi sedikit es batu.
4. Asap Cair dari Tempurung Kelapa
Pengawetan ikan dengan tempurung kelapa ini ditemukan oleh Dr. AH. Bambang Setiadji, MSc, PHd, Dosen Fakultas Kimia MIPA Universitas Gajah Mada Yogyakarta. Asam cair yang dihasilkan dari tempurung kelapa yang digunakan untuk mengawetkan ikan berbentuk cairan yang berwarna bening, tidak keruh dan berwarna coklat. Meskipun masih mempunyai kendala dalam produksi antara lain mahalnya peralatan yang digunakan untuk memproduksi asap cair, namun asap cair mempunyai potensi sebagai pengganti formalin karena :
-    Ekonomis (pengawetan 1000 ekor ikan bandeng memerlukan 1 liter asap cair seharga       Rp. 6.000,- yang dicampur dengan 3 liter air)
-    Aman
-    Daya simpan ikan hingga 25 hari
-    Telah diproduksi secara masal
Beberapa bahan pengganti formalin sudah ditemukan oleh beberapa ahli di Indonesia. Namun demikian, masih perlu mendapat perhatian karena bahan pengawet alternatif fornalin tersebut belum tersedia secara luas di pasaran. Kepraktisan penggunaan serta nilai ekonomis dari bahan alternatif formalin tersebut juga perlu disosialisasikan secara luas ke masyarakat.

Thursday, October 20, 2016

MENGENAL PEMBEKUAN RAJUNGAN (Portunus pelagicus)

October 20, 2016 Posted by Media Penyuluhan Perikanan Pati 1 comment
1. Pendahuluan
Jenis kepiting yang populer sebagai bahan makanan dan mempunyai harga yang cukup mahal adalah Scylla serrata, dan jenis lain yang tidak kalah penting di pasaran adalah Portunus pelagicus yang biasa disebut rajungan (Bahar 2004).
Rajungan (Portunus pelagicus) merupakan kepiting laut yang banyak terdapat di Perairan Indonesia yang biasa ditangkap di daerah Gilimanuk (pantai utara Bali), Pengambengan (pantai selatan Bali), Muncar (pantai selatan Jawa Timur), Pasuruan (pantai utara Jawa Timur), daerah Lampung, daerah Medan, dan daerah Kalimantan Barat. Rajungan telah lama diminati oleh masyarakat baik di dalam negeri maupun luar negeri, oleh karena itu harganya relatif mahal. Manfaat rajungan sebagai bahan pangan berupa daging rajungan kaleng yang berkualitas tinggi dan memiliki protein cukup tinggi (Suwignyo 1989).
Pengalengan daging rajungan ini menggunakan teknologi pengolahan secara pasteurisasi, yaitu suatu proses pengolahan yang mengoptimalkan proses termal sehingga dapat membunuh sebagian besar mikroba yang bersifat patogen tapi tidak semua mikroba dan biasanya menggunakan suhu di bawah 1000C. Tahapan proses pengalengan rajungan biasanya meliputi penerimaan, sortasi, pengecekan akhir bahan baku, pencampuran, pengisian daging, penimbangan, penutupan kaleng, pengkodean, pasteurisasi, pendinginan, pengemasan atau pengepakan, penyimpanan dingin, dan pengangkutan (Moeljanto 1992).
Pada pengalengan daging rajungan menggunakan kaleng plat timah. Menurut Julianti dan Nurminah (2007), plat timah (tin plate) adalah bahan yang digunakan untuk membuat kemasan kaleng, terdiri dari lembaran baja dengan pelapis timah. Kelebihan dari tin plate adalah mengkilap, kuat, tahan karat dan dapat disolder. Fungsi paling mendasar dari kemasan adalah untuk mewadahi dan melindungi produk dari kerusakan-kerusakan, sehingga lebih mudah disimpan, diangkut dan dipasarkan.
Produk akhir pengalengan daging rajungan pasteurisasi yang telah dikemas membutuhkan ruang penyimpanan yang dilengkapi dengan mesin pendingin untuk mempertahankan mutu produk sebelum produk diekspor. Ikan termasuk rajungan mengalami penurunan mutu dengan cepat dan waktu penyimpanan akan singkat jika ikan tidak ditangani dan disimpan secara tepat (Ranoemiharjo dan Soeyanto 1991). Penerapan teknologi refrigerasi (suhu rendah) pada dunia usaha perikanan atau industri perikanan sangat menguntungkan. Beberapa keuntungan tersebut antara lain: memperpanjang operasi pabrik pengolahan karena dapat menghimpun stok bahan baku pada waktu musim panen raya dan memperpanjang waktu penyimpanan dan memperluas jaringan distribusi (Ilyas 1983). Oleh karena itu perlu adanya pembahasan lebih lanjut mengenai pengemasan dan penyimpanan produk akhir pada pengalengan daging rajungan pasteurisasi.
2. Klasifikasi dan Deskripsi Rajungan (Portunus pelagicus)
Klasifikasi lengkap dari Rajungan menurut Suwignyo (1989) adalah sebagai berikut:
Kingdom : Animalia
Sub Kingdom : Eumetazoa
Grade : Bilateria
Divisi : Eucoelomata
Section : Protostomia
Filum : Arthropoda
    Kelas : Crustacea
    Sub Kelas : Malacostraca
    Ordo : Decapoda
    Sub Ordo : Reptantia
    Seksi : Brachyura
    Sub Seksi : Branchyrhyncha
    Famili : Portunidae
    Sub Famili : Portunninae
    Genus : Portunus
    Spesies : Portunus pelagicus

    Rajungan bisa mencapai panjang 18 cm, capitnya kokoh, panjang dan berduri-duri. Pada hewan ini terlihat menyolok perbedaan antara jantan dan betina. Rajungan jantan mempunyai ukuran tubuh lebih besar dan capitnya lebih panjang daripada betina. Perbedaan lainnya adalah warna dasar, rajungan jantan berwarna kebiru-biruan dengan bercak-bercak putih terang, sedangkan betina berwarna dasar kehijau-hijauan dengan bercak-bercak putih agak suram. Perbedaan warna ini jelas pada individu yang agak besar walaupun belum dewasa (Suwignyo 1989).
    Rajungan mempunyai karapas berbentuk bulat pipih dengan warna yang sangat menarik. Ukuran karapas lebih besar ke arah samping dengan permukaan yang tidak terlalu jelas pembagian daerahnya. Sebelah kiri dan kanan karapasnya terdapat duri besar, jumlah duri sisi belakang matanya sebanyak 9, 6, 5 atau 4 dan antara matanya terdapat 4 buah duri besar. Rajungan mempunyai 5 pasang kaki jalan, yang pertama ukurannya cukup besar dan disebut capit yang berfungsi untuk memegang dan memasukkan makanan kedalam mulutnya. Sepasang kaki terakhir mengalami modifikasi menjadi alat renang yang ujungnya menjadi pipih dan membundar seperti dayung. Oleh sebab itu rajungan digolongkan kedalam kepiting berenang (swimming crab) (Suwignyo 1989).
    Portunus pelagicus adalah kepiting yang berenang dan mempunyai sepasang kaki renang yang dimodifikasi untuk mendayung. Karapasnya bertekstur kasar dan lebar yang mempunyai proyeksi tertinggi di setiap sudutnya. Capitnya panjang dan ramping. Rajungan merupakan binatang aktif, namun ketika sedang tidak aktif atau dalam keadaan tidak melakukan pergerakan, rajungan akan diam di dasar perairan sampai kedalaman 35 meter dan hidup membenamkan diri dalam pasir di daerah pantai berlumpur, hutan bakau, dan batu karang. Akan tetapi sekali-kali rajungan juga dapat terlihat berenang dekat permukaan
(Anonim 2007).
    Di Indonesia, rajungan tersebar hampir di seluruh perairan, khususnya di Perairan Paparan Sunda dan Perairan Laut Arafuru dengan memiliki kecenderungan padat sediaan dan potensi yang tinggi, terutama pada daerah sekitar pantai (Anonim 2007).

3.    Komposisi Kimia Rajungan (Portunus pelagicus)
Muchtadi dan Sugiyono (1992) menyatakan bahwa kandungan karbohidrat, kalsium, besi, phosphor, vitamin A dan vitamin B dari rata-rata kepiting dan rajungan berturut-turut adalah 14,1 %, 210 mg/100 g, 1,1 mg/100 g, 200 SI, dan 0,05 mg/100 g.
Daging kepiting dan rajungan mempunyai nilai gizi yang tinggi. Hasil analisa proksimat daging kepiting dan rajungan antara jantan dan betina (BBPMHP 1995) dapat dilihat pada Tabel 1.

    Tabel 1. Hasil analisa kimia daging kepiting dan rajungan
Jenis Komoditi    Protein (%)    Lemak (%)    Air (%)    Abu (%)
Kepiting    Betina    11.45    0.04    80.68    2.45
    Jantan    11.90    0.28    82.85    1.08
Rajungan    Betina    16.85    0.10    78.78    2.04
    Jantan    16.17    0.35    81.27    1.85
    Sumber : Laboratorium Kimia BBPMHP (1995) (Balai Bimbingan dan Pengujian
    Mutu Hasil Perikanan)
4. Proses Pengalengan Rajungan
Menurut Philips Seafood (2005) dalam Akhmadi (2006), daging rajungan dapat digolongkan menjadi lima jenis daging (Gambar 2), yaitu:
a. Jumbo lump atau kolosal (daging putih) yang merupakan jaringan terbesar yang berhubungan dengan kaki renang.
b. Backfin (daging putih) yang merupakan jumbo kecil dan pecahan dari daging jumbo.
c. Special (daging putih) yang merupakan daging yang berada disekitar badan yang berupa serpihan-serpihan.
d. Clawmeat (daging merah) yang merupakan daging dari bagian kaki sampai capit dari rajungan.
e. Claw Finger (daging merah) yang merupakan bagian dari capit rajungan bersama dengan bagian shell yang dapat digerakkan.
Menurut BBPMHP (1995) daging rajungan yang diperoleh biasanya digolongkan menjadi tiga tingkatan mutu, yaitu:
a. Mutu 1 (daging super/jumbo), yaitu daging badan yang terletak di bagian bawah (berhubungan dengan kaki renang) berbentuk gumpalan besar berwarna putih.
b. Mutu 2 (daging reguler), yaitu daging badan yang berupa serpihan-serpihan, terletak disekat-sekat rongga badan berwarna putih.
c. Mutu 3 (daging merah/clawmeat), yaitu daging rajungan yang berada di kaki dan capit, berwarna putih kemerahan.
5. Proses Pengalengan Daging Rajungan
    Secara umum tahap-tahap pengalengan dapat dikelompokkan dalam beberapa bagian meskipun untuk jenis ikan tertentu kemungkinan ada perbedaan atau variasi proses pengalengannya. Adapun tahap-tahap pengalengan ikan meliputi penyediaan dan pemilihan bahan baku, pengawetan sementara bahan mentah, penyiangan dan pencucian, pemasakan pendahuluan (precooking), pengisian dalam kaleng (filling), penghampaan udara (exhausting), penutupan kaleng, sterilisasi, dan pendinginan (Moeljanto 1992).
Pasteurisasi adalah pengolahan panas yang dirancang untuk menginaktifkan sebagian saja mikroorganisme vegetatif yang terdapat dalam pangan. Makanan yang tidak steril, dengan pasteurisasi sebagaimana pengukusan, harus juga digunakan bersamaan dengan cara pengawetan lainnya (Moeljanto 1992). Setelah pasteurisasi selesai, kaleng-kaleng dikeluarkan dari retort dan segera didinginkan. Apabila tidak didinginkan kemungkinan besar akan terjadi over cooking yang menyebabkan hangusnya daging. Tujuan lainnya adalah untuk memperoleh keseragaman (waktu dan suhu) dalam proses dan untuk mempertahankan mutu produk akhir, karena apabila pendinginan terlalu lambat, pertumbuhan spora bakteri tahan panas akan distimulir (Moeljanto 1992).
Penyimpanan suatu produk pada tingkat suhu rendah tujuannya adalah untuk mempertahankan semua faktor mutu dengan daya awet selama mungkin dalam batas daya awet dan biaya yang masih menguntungkan dan sesuai dengan yang diinginkan. Sistem penyimpanan pada cold storage yang paling baik adalah dengan sistem tiupan udara (air blast freezing), kelembaban relatifnya harus tetap dipertahankan antara 80-90%.
6. Penyimpanan Dingin (Chill Storage)
Pendinginan adalah penyimpanan bahan pangan di atas suhu pembekuan yaitu -2 sampai 100C. Meskipun air murni membeku pada suhu 00C, tetapi beberapa ada yang tidak membeku sampai -20C atau di bawahnya (Winarno dan Fardiaz 1973). Suhu pendinginan yang dapat memperlambat pertumbuhan atau aktivitas mikroorganisme atau mungkin membunuh beberapa bakteri, tetapi pendinginan maupun pembekuan tidak dapat digunakan untuk membunuh semua bakteri. Penyimpanan bahan makanan pada suhu rendah dapat mengakibatkan perubahan mutu. Pendinginan dapat berpengaruh terhadap rasa, tekstur, dan nilai gizi serta sifat-sifat lainnya (Winarno dan Fardiaz 1973).
Penggunaan blast freezer sebagai penyimpanan dingin pada ruang penyimpanan produk akhir tergantung pada tipe dan volume produk yang disimpan sebagai kunci utama untuk menentukan kecepatan pendinginan yang dibutuhkan selama penyimpanan. Suhu rendah yang diperlukan pada blast freezer dimana infiltrasi panas harus terjaga pada level yang sangat rendah dengan tujuan mengurangi kristal es yang terbentuk. Oleh karena itu, digunakan pintu ruangan pendingin berinsulator yang dirancang dengan baik untuk mencegah terjadinya kebocoran suhu yang dikombinasikan dengan konstruksi ruangan berinsulator yang sesuai agar aplikasi mesin blast freezer dapat efektif (Anonim 2008).
Pola penyusunan penyimpanan produk akhir dapat dengan menggunakan Pallet Racking System, yang digunakan agar produk disusun dan disimpan secara sistematis sehingga memudahkan ketika pembongkaran ataupun ketika pengambilan sampel. Pallet racking system ini disesuaikan dengan tipe dan volume produk, kapasitas ruangan, bagaimana produk disimpan, dan frekuensi penyusunan secara perputaran ataupun urutan untuk akses penyimpanan produk (Anonim 2008). Penggunaan fasilitas ruang pendingin sebagai gudang penyimpanan produk akhir harus memperhatikan tipe produk dan toleransinya terhadap perubahan suhu secara fluktuatif yang mungkin terjadi selama penyimpanan dalam chill storage. Penentuan penggunaan pintu berinsulator berdasarkan tipe, ukuran, lokasi ruang pendingin juga dapat menambah efisiensi operasi ruang pendingin (Anonim 2008).
Sumber : Suhirman dan berbagai sumber

Wednesday, October 19, 2016

MENGENAL JENIS IKAN BETUTU

October 19, 2016 Posted by Media Penyuluhan Perikanan Pati No comments
A. Daerah Asal dan Penyebaran Ikan Betutu
Ikan betutu diduga ikan asli Indonesia yang berasal dari pulau Kalimantan. Namun, sementara orang ada juga yang berpendapat bahwa ikan betutu berasal dari Sumatra karena sejak dulu sudah ada di sana, bahkan menjadi maskot Kabupaten Talang Betutu. Mengingat nama betutu menjadi nama tunggal di pulau tersebut, maka ikan betutu diduga berasal dari Sumatra. Sedangkan di Kalimantan ikan ini dinamai ikan bakut atau ikan bakukut yang berarti diam. Di kota Pontianak, ikan ini bemama ikan bodoh atau ikan goblog karena sifatnya yang selalu diam. Ikan ini hanya bergerak bila lapar dan bila ada mangsa yang kebetulan lewat di depannya. Bila sudah kenyang, ikan ini akan diam saja meskipun melihat mangsa yang sudah dikuasai direbut oleh ikan lain.
Ikan betutu saat ini sudah banyak dijumpai di pulau Jawa, antara lain di di sungai Ciliwung, Citarum, waduk Cirata, waduk Gajah Mungkur, dan di tempat-tempat lainnya. Penyebaran ikan betutu di pulau Jawa diduga karena adanya usaha budi daya di daerah tersebut yang kemudian terlepas ke suatu perairan dan masuk ke sungai-sungai kemudian berkembang biak secara alami. Menurut Axelrod, daerah penyebaran ikan betutu meliputi daerah Malaysia, Thailand, Vietnam, Campuchea, Burma, Australia Utara, Filipina, dan Cina Selatan.
B. Taksonomi dan Morfologi
Ikan betutu mempunyai kemiripan dengan ikan gabus (Jw : kutuk), baik bentuk maupun sifatnya. Oleh karena itu, sementara ahli menduga bahwa ikan betutu masuk dalam golongan Goboidae (satu famili dengan ikan gabus). Namun, Axelrod memasukkan ikan betutu ke dalam golongan Percormorphoidei. Adapun sistematika selengkapnya menurut Axelrod (1951) adalah sebagai berikut :
Phylum          
: Chordata
Sub-Phylum    
: Craniata
Classis     
: Osteichthyes
Ordo  
: Percomorphodei
Familia
: eleotridae
Genus  
: Oxyeleotris
Species
: Oxyeleotris marmorata. Blkr
Tanda-tanda atau ciri-ciri morfologi spesifik yang dimiliki oleh ikan betutu (Oxyeleotris marmorata. Bikr) adalah sebagai berikut :
1.   bentuk badan bulat panjang seperti torpedo
2.   badan bagian depan bundar dan di bagian belakang agak pipih
3.   kepala rendah, mata besar yang dapat bergerak, dan mulut lebar
4.   perut luas dan sirip punggung terdiri atas dua bagian
5.   sisik sangat kecil-kecil, halus, dan lembut sehingga tampak hampir tidak bersisik
6.   warna badan kekuning-kuningan dengan bercak-bercak hitam keabu-abuan seperti di batik;
7.   bagian ventral berwarna putih
8.   panjang maksimum 50 cm dan dapat mencapai berat 7 kg/ekor.
C.  Jenis-Jenis Ikan Betutu
Sampai saat ini ditemukan 7 (tujuh) jenis ikan betutu dan 2 (dua) jenis lagi yang bukan dari spesies Oxyeleotris marmorata. Bikr., tetapi di pasaran sering disebut ikan betutu. Adapun jenis-jenis ikan betutu selengkapnya adalah Oxyeleotris marmorata. Bikr. (yang banyak dicari dan harganya mahal), Oxyeleotris urophthalmus. Bikr, Oxyeleotris urophthalmoides. Bikr, Oxyeleotris sineolatus. Bikr., Oxyeleotris heterodon. Seen, Oxyeleotris fimbriatus. Weber, dan Oxyeleotris ereuntris.E.
Sedangkan ikan betutu yang bukan dari genus Oxyeleotris tetapi sering disebut ikan betutu adalah Belobranchus. Sp. (jenis ini banyak terdapat di Thailand dan Cina) dan Neogobus melanostomus. Pall. (jenis ini banyak dijumpai di Papua hingga Australia Utara).
D.   Daur Hidup dan Pembiakan
Ikan betutu yang hidup di alam bebas memiliki periode pemijahan yang relatif pendek dengan frekuensi lebih dari satu kali dalam setahun, yaitu pada awal dan pada akhir musim hujan. Ikan betutu melakukan pemijahan tidak sendiri-sendiri, tetapi secara berkelompok. Ikan betutu jantan dan ikan betutu betina yang sudah matang kelamin (matang gonad) bersama-sama bermigrasi ke daerah-daerah yang banyak ditumbuhi tumbuh-tumbuhan air yang berdaun atau yang berbatang halus sebagai persiapan untuk meletakkan telur-telurnya. Di tempat-tempat tersebut, ikan betutu melakukan pemijahan dan bertelur.
Telur ikan betutu umumnya menempelkan telur-telumya pada substrat berupa tumbuhan air. Namun, ikan betutu kadang-kadang juga menempelkan telur-telurnya pada benda-benda lain yang berada di perairan, misalnya kayu, bebatuan, dan lain-lain. Pada suhu air 24°C, telur-telur ikan betutu akan menetas dalam waktu 7 hari, pada suhu air 26,5°C akan menetas dalam waktu 5 hari, dan pada suhu air 28°C telur tadi akan menetas dalam waktu 2 - 3 hari.
Tan dan Lam pada tahun 1973 mengadakan uji pemijahan ikan betutu dengan sistem hipofysasi dan didapatkan hasil telur yang dibuahi (dalam akuarium) dapat menetas 90 % pada suhu 26°C - 28°C. Ikan betutu melakukan pemijahan secara monogami, yakni satu jantan dengan satu betina.
Menurut Tavarutmaneegul dan Lin (1988), ikan betutu akan produktif pada saat ia mencapai ukuran 250 - 500 g/ekor dengan fekunditas 24.000 butir telur. Widiyati dan kawan-kawannya (1992) melakukan uji lapang pemijahan ikan betutu. Uji coba tersebut memperoleh hasil bahwa ikan betutu betina ukuran 400 g yang diberi pakan buatan dengan kandungan protein 47 % selama 3 bulan akan memiliki fekunditas 40.000 butir telur.
Ikan betutu muda akan dibiarkan induknya untuk mencari makan sendiri. Anak-anak ikan betutu ini akan dewasa pada umur ± 20 - 24 bulan. Setelah dewasa, ikan-ikan betutu ini akan mencari pasangannya untuk mengadakan pemijahan.
E.  Habitat dan Tingkah Laku Ikan Betutu
Ikan betutu di alam aslinya hidup di air tawar, seperti di sungai-sungai, di rawa-rawa, di telaga-telaga, di danau-danau, dan di waduk-waduk. Ikan-ikan betutu yang masih kecil sampai ukuran ± 100 g lebih senang tinggal di perairan yang dangkal, sedangkan yang sudah besar lebih suka tinggal di daerah yang arusnya tidak terlalu deras. Ikan betutu senang tinggal di perairan yang banyak ditumbuhi tumbuh-tumbuhan air seperti enceng gondok (Eichornia crassipes), kayu apu (Pistia.Sp), ganggeng (Hydrilla Sp.), kangkung (Ipomoea. Sp.), dan lain-lain.
Di alam bebas, ikan betutu juga banyak dijumpai di perairan yang memiliki derajat kesamaan (pH) air yang agak rendah (5,5 – 6,5). meskipun ia tidak menolak tinggal di air netral dengan pH 7 – 7,5 Ikan betutu dapat hidup dengan baik pada temperatur air berkisarantara 19°C - 29°C, bahkan ia bisa beradaptasi dengan baik sampai pada suhu air 30°C. Berbeda dengan ikan-ikan lain, ikan betutu ini sangat tahan terhadap kadar. Amoniak dan kadar CO2 yang cukup tinggi. Hal ini sangat menguntungkan dalam usaha budidayanya, terutama dalam usaha pembesaran.
Ikan betutu termasuk ikan labirin sehingga ia dapat menyerap O2 langsung dari udara. Dengan demikian, ikan betutu sangat tahan terhadap kondisi air yang kurang baik (kurang oksigen) sehingga sangat menguntungkan dalam hal transportasi/pengiriman ke tempat yangjauh. Ditinjau dari aktivitasnya, ikan betutu golongan ikan nocturnal. Oleh karena itu, ikan betutu aktif mencari makan pada malam hari. Di waktu malam, ikan betutu sangat aktif dan sangat agresifdan banyak dijumpai di dasar-dasar perairan dan sangat jarang dijumpai berenang di permukaan air, kecuali pada saat menderita sakit. Ikan betutu sangat menyukai tempat-tempat yang ada lubang-lubangnya entah berupa timbunan batu atau lubang kayu atau lubang lain seperti potongan plpa pralon, tempayan, atau kaleng yang tenggelam.
Ikan betutu termasuk ikan yang sangat jinak dan jarang bergerak sehingga mudah di tangkap. Walaupun demikian, ikan betutu juga mampu bergerak cepat, terutama pada saat lapar dan melihat mangsa lewat didepannya. Ikan betutu yang lapar akan melesat dengan cepat dengan mulut terbuka dan menyergap mangsanya. Ikan betutujuga sering menjunjukkan kemampuan yang istimewa, yaitu bergerak dengan sangat cepat dan berhenti dengan tiba-tiba sehingga sulit diikuti dengan mata.
F.  Kebiasaan Makan
Ikan betutu sangat menyukai jenis pakan hidup (carnivora) dan dapat memburu mangsanya (predator) jika keadaan memaksanya. Dalam mencari pakan, ikan betutu tidak peduli terhadap buruannya. Jenisnya sendiri yang masih kecil, bahkan anaknya sendiri akan dilahap jika dalam keadaan lapar (kanibal).
Makanan ikan betutu terdiri atas ikan-ikan kecil, udang liar tawar, remis, cacing dan organisme lain yang lebih kecil yang dapat dimangsa. Ikan betutu juga tidak menolakjika diberi pakan yang terdiri atas ikan mati atau bangkai hewan lain. Namunjika masih adajenis pakan hidup dalamjumlah banyak, ikan betutu akan memilih pakan yang hidup tersebut. Ikan betutu yang belum sangat lapar tidak akan keluar untuk memburu mangsanya. Jika mangsa tersebut sudah didahului oleh ikan lain, ikan betutu yang belum lapar tidak akan merebutnya atau meminta belas kasihan untuk mendapatkan sisa makanan. Sisa-sisa makanan dari ikan lain pun tidak pemah diambilnya.
Makanan utama larva ikan betutu adalah plankton seperti rotifera, sufosutoria, dan mikro-plankton lain. Setelah berumur beberapa hari dan sudah lebih besar, anak-anak ikan betutu akan berganti jenis pakan, yaitu berupa zooplankton yang lebih besar seperti Moina.sp., Dapnia. Sp., dan Bosmina Sp. Pada saat ia lebih besar lagi (3 - 7 cm), anak-anak ikan betutu akan Memangsa ArtemiaSp., larva Chironomit, cacing sutera (Tubifex), dan lain-lain. Rupanya, dalam hal pakan, ikan betutu menyesuaikan diri dengan lebar bukaan mulutnya. Pada waktu sudah mencapai ukuran fingerling (di atas 9 cm), ikan betutu sudah mulai memangsa anak-anak ikan yang lebih kecil ataupun cacahan isi perut ikan.
G.  Pertumbuhan Ikan Betutu
Seperti yang telah dikemukakan di depan bahwa ikan betutu memiliki pertumbuhan yang sangat lambat. Untuk mencapai ukuran konsumsi, ikan betutu membutuhkan waktu sekitar 24 - 30 bulan. Oleh karena itu, pembudidayaan ikan betutu disarankan dibagi 3 tahap, yaitu pembenihan sampai ukuran fingerling, kemudian dijual ke pengusaha pendederan sampai ukuran 80 - 120 g. Selanjutnya, benih ikan tersebut dijual ke pengusaha pembesaran. Pengusaha pembesaran akan memelihara dan membesarkan benih ikan ukuran 100 g sampai ukuran konsumsi (± 400 g ke atas). Lamanya pertumbuhan ikan betutu sebenamya sama dengan ikan gurami, yakni untuk mencapai ukuran konsumsi memakan waktu minimal 18 - 24 bulan.
Referensi:
Mulyono D., 1999.  Budi Daya Ikan Betutu. Penerbit Kanisius, Jakarta

Tuesday, October 18, 2016

KELEMBAGAAN KELOMPOK PERIKANAN

October 18, 2016 Posted by Media Penyuluhan Perikanan Pati No comments
Kelembagaan pelaku utama perikanan mempunyai fungsi sebagai:
a. Wadah Proses Pembelajaran
Sebagai wadah proses pembelajaran, kelembagaan pelaku utama perikanan merupakan media interaksi belajar antar pelaku utama dari anggota kelompoknya. Mereka dapat melakukan proses interaksi edukatif dalam rangka: mengadopsi teknologi inovasi; saling asah, asih dan asuh dalam menyerap suatu informasi dengan fasilitator atau pemandu dari penyuluh perikanan; mengambil kesepakatan dan tindakan bersama apa yang akan diambil dari sebuah kegiatan bersama. Dengan demikian proses kemandirian kelompok akan dapat tercapai. Di dalam kelompok sebagai kelas belajar para pelaku utama akan dapat melakukan komunikasi multi dimensional. Mereka dapat mempertukarkan pengalaman masing-masing, sehingga akan membuat pelaku utama semakin dewasa untuk dapat keluar dari masalahnya sendiri, tanpa adanya ketergantungan dari penyuluh perikanan.
b. Wahana Kerja Sama
Sebagai wahana kerja sama, kelembagaan pelaku utama perikanan merupakan cerminan dari keberadaan suatu kelompok. Kelembagaan pelaku utama perikanan harus dapat berfungsi sebagai wadah kerja sama antar pelaku utama dalam upaya mengembangkan kelompok dan membina kehidupan pelaku utama.
c. Unit Penyedia Sarana dan Prasarana Produksi Perikanan
Kelembagaan pelaku utama perikanan sebagai unit penyedia sarana dan prasarana, erat hubungannya dengan fungsi unit produksi perikanan. Misalnya dalam sebuah produksi budidaya ikan gurame, kelompok dapat berperan sebagai penyedia benih ataupun sarana produksi lainnya.
d. Unit Produksi Perikanan
Kelompok pelaku utama perikanan sebagai unit produksi, erat hubungannya dengan fungsi wadah kerja sama. Misalnya kelompok pembudidaya ikan gurame, dalam pengadaan sarana produksi, perkreditan, dan pemasaran hasil, sehingga dengan melaksanakan kegiatan produksi secara bersama-sama akan lebih efisien.
e. Unit Pengolahan dan Pemasaran
Kelompok pelaku utama perikanan sebagai unit pengolahan dan pemasaran, erat hubungannya dengan fungsi wadah kerja sama. Misalnya kelompok pengolah hasil perikanan, dalam melaksanakan kegiatan pengolahan dan pemasaran hasil secara bersama-sama akan lebih efisien serta dapat menjamin kestabilan harga produk.
f. Unit Jasa Penunjang
Kelembagaan pelaku utama perikanan juga dapat berfungsi sebagai sebuah unit usaha yang mengelola usaha diluar usaha pokoknya seperti jasa penyewaan, jasa percontohan, jasa konsultasi, dan lain-lain.
g. Organisasi Kegiatan Bersama
Kelembagaan pelaku utama berfungsi sebagai organisasi kegiatan bersama dimana pelaku utama akan belajar mengorganisasi kegiatan secara bersama-sama melalui pembagian dan pengkoordinasian pekerjaan dengan mengikuti tata tertib sebagai hasil kesepakatan bersama.
h. Kesatuan Swadaya dan Swadana
Kelembagaan pelaku utama perikanan sebagai kesatuan swadaya dan swadana merupakan kelembagaan yang mandiri, baik dalam hal penyelesaian masalah bersama maupun dalam penumbuhkembangan modal usaha anggota, misalnya melakukan pemupukan modal bersama untuk menyediakan modal bagi anggotanya melalui penumbuhan budaya menabung, iuran, dan sebagainya. Dengan demikian, anggota mendapatkan kemudahan dalam mendapatkan modal usaha, bermitra dengan lembaga keuangan, serta mempermudah dalam akses pemasarannya.1.1. Penumbuhan Kelompok
Pengertian kelompok sangatlah beragam, dalam Kamus Besar Bahasa Indonesia (2005) disebutkan antara lain bahwa yang dimaksud dengan ”Kelompok” adalah: (a) Golongan (profesi, aliran, lapisan masyarakat, dsb); (b) Kumpulan manusia yang merupakan kesatuan beridentitas dengan adat istiadat dan sistem norma yang mengatur pola-pola interaksi antara manusia itu; dan (c) Kumpulan orang yang memiliki beberapa atribut sama atau hubungan dengan pihak yang sama.
Menurut Undang-Undang Nomor 16 Tahun 2006, dijelaskan bahwa kelompok merupakan bagian dari kelembagaan pelaku utama dan pelaku usaha perikanan, seperti halnya gabungan kelompok, asosiasi atau korporasi. Beberapa ahli menyebutkan bahwa yang dimaksud dengan kelompok adalah suatu unit yang terdapat beberapa individu, yang mempunyai kemampuan untuk berbuat dengan kesatuannya dengan cara dan atas dasar kesatuan persepsi. Kelompok adalah suatu unit yang merupakan sekelompok/sekumpulan dua orang atau lebih yang satu sama lain berinteraksi dalam mencapai suatu tujuan yang telah ditetapkan secara bersama-sama dalam suatu wadah tertentu (Pranoto dan Suprapti, 2006).
Karakteristik kelembagaan kelompok pelaku utama dapat dilihat dari kondisi masyarakat serta pengelolaan sumberdaya alam yang meliputi:
1. Penerapan tekonologi perikanan dikembangkan dengan memperhatikan kondisi spesifik lokasi.
2. Kelembagaan pelaku utama lebih bersifat pendekatan partisipatif dan kekeluargaan.
3. Penanganan bidang perikanan dipengaruhi oleh sumberdaya perikanan yang dinamis, kompleksitas  fisik perairan.
4. Dalam pengelolaan sumberdaya perikanan yang ada digunakan pendekatan kawasan dan pendekatan wilayah.
5. Pelaku utama perikanan mayoritas pada usaha skala kecil sehingga kurang  mendapat akses pembangunan dan model kelembagaan lebih ditujukan kepada peran aktif masyarakat sebagai subyek pembangunan diwilayahnya.
Razi dan Ridwan (2011) menjabarkan lebih lanjut bahwa kelompok pada dasarnya adalah organisasi non formal yang ditumbuhkembangkan ”dari, oleh dan untuk kelompok”,  memiliki karakteristik sebagai berikut:
a. Saling mengenal, akrab dan saling percaya diantara sesama anggota
b. Merupakan wadah yang efektif  untuk bekerja sama
c. Mempunyai minat dan kepentingan yang sama
d. Mempunyai pandangan dan kepentingan yang sama dalam kegiatan usaha
e. Adanya pembagian tugas dan tanggungjawab sesama anggota berdasarkan kesepakatan bersama.
f. Adanya kepentingan yang sama diantara para anggotanya
g. Adanya wilayah usaha perikanan yang menjadi tanggung jawab bersama diantara para anggotanya
h. Bersifat informal, artinya: (i) kelompok terbentuk atas keinginan dan permufakatan mereka sendiri; (ii) memiliki peraturan sanksi dan tanggung jawab, baik tertulis maupun tidak tertulis; (iii) ada pembagian kerja atau tugas; dan (iv) hubungan antar anggota luwes, wajar, saling mempercayai dan terdapat solidaritas.               
Dengan kata lain, sebuah kelompok pelaku utama dan pelaku usaha perikanan adalah merupakan wadah kebersamaan para pelaku utama dan/atau pelaku usaha dibidang perikanan dalam upaya untuk mencapai pelaku utama dan pelaku usaha yang tangguh, yaitu yang mampu mengambil keputusan dan tindakan secara mandiri dalam upaya memecahkan masalahnya sendiri, menghadapi tantangan dan mengatasi kendala yang ada.
Beberapa jenis kelembagaan pelaku utama dan pelaku usaha perikanan yang ada dan dibina oleh Kementerian Kelautan dan Perikanan sesuai dengan Keputusan Menteri Kelautan dan Perikanan Republik Indonesia Nomor: KEP.14/MEN/2012, antara lain berupa:
1. Kelompok Usaha Bersama (KUB) adalah badan usaha non badan hukum yang berupa kelompok yang dibentuk oleh nelayan berdasarkan hasil kesepakatan/musyawarah seluruh anggota yang dilandasi oleh keinginan bersama untuk berusaha bersama dan dipertanggungjawabkan secara bersama guna meningkatkan pendapatan anggota.
2. Kelompok Pembudidaya Ikan (POKDAKAN) adalah kumpulan pembudidayaan ikan yang terorganisir.
3. Kelompok Pengolah dan Pemasar Ikan (POKLAHSAR) adalah kelompok pengolah dan/atau pemasaran hasil perikanan yang melakukan kegiatan ekonomi bersama dalam wadah kelompok.
4. Kelompok Pemasar Ikan (POKSAR) adalah kumpulan pemasar hasil perikanan yang melakukan kegiatan ekonomi bersama dalam wadah kelompok
5. Kelompok Usaha Garam Rakyat (KUGAR) adalah kumpulan Pelaku Usaha produksi garam rakyat yang terorganisir yang dilakukan di lahan tambak (petambak garam rakyat), dengan cara perebusan (pelaku usaha produksi garam dengan cara perebusan) atau dengan cara mengolah air laut menjadi garam (pelaku usaha produksi garam skala rumah tangga).
6. Kelompok masyarakat pengawas (POKMASWAS) adalah kelompok masyarakat yang ikut membantu dalam hal pengawasan dan pembinaan terhadap keamanan, pengelolaan dan pemanfaatan potensi alam yang ada di kawasan pesisir dan laut.
7. Unit Pelayanan Pengembangan (UPP) adalah organisasi kelompok pembudidaya ikan yang telah dibina oleh Dinas Kabupaten/Kota dan ditetapkan dengan SK Bupati/Walikota, yang anggotanya terdiri dari beberapa kelompok pembudidaya ikan.
8. Gabungan Kelompok Perikanan (GAPOKKAN) adalah kumpulan atau gabungan dari kelompok-kelompok perikanan dari beberapa bidang yang mempunyai tujuan bersama.
9. Asosiasi Perikanan adalah kumpulan dari gabungan kelompok perikanan yang mempunyai tujuan bersama dengan jenis usaha yang sama.
Sesuai Undang-Undang Nomor 16 Tahun 2016 dan Keputusan Menteri Kelautan dan Perikanan Republik Indonesia Nomor: KEP.14/MEN/2012, maka pelaku usaha pemasaran dapat membentuk kelembagaan pelaku usaha perikanan dalam bentuk kelompok, gabungan kelompok ataupun asosiasi, atas dasar keserasian dan kebutuhan bersama serta di dalam lingkungan pengaruh dan pimpinan seorang ketua.
1.2. Peran dan Fungsi Kelompok
Kelompok pelaku usaha bidang perikanan dapat memiliki peranan antara lain sebagai berikut:                                                     
1. Sebagai  media komunikasi dan pergaulan sosial  yang wajar, lestari  dan dinamis.
2. Sebagai basis untuk mencapai pembaharuan secara merata.
3. Sebagai pemersatu aspirasi yang murni dan sehat.        
4. Sebagai wadah yang efektif dan efisien untuk belajar serta bekerja sama.
5. Sebagai teladan bagi masyarakat lainnya.
Untuk dapat mewujudkan peranan tersebut maka kelompok memiliki berfungsi antara lain sebagai: (a) kelas  belajar; (b) wadah kerja  sama; (c) unit  produksi;  (d) organisasi  kegiatan  bersama; dan (e) kesatuan  swadaya  dan  swadana.
A. Fungsi Kelompok Sebagai  Kelas  Belajar
Sebagai kelas belajar, kelompok merupakan media interaksi belajar antar pelaku utama atau pelaku usaha perikanan. Mereka dapat melakukan proses interaksi edukatif dalam rangka mengadopsi inovasi. Mereka dapat saling Asah, Asih dan Asuh dalam menyerap suatu informasi dari fasilitator, mediator, pemandu, pendamping, penyuluh dan pihak lain. Mereka akan dapat mengambil kesepakatan tindakan bersama apa yang akan diambil dari hasil belajar tersebut. Dengan demikian proses kemandirian kelompok akan dapat dicapai. Di dalam kelompok sebagai kelas belajar para pelaku utama atau pelaku usaha perikanan akan dapat melakukan komunikasi multi dimensional. Mereka dapat mempertukarkan pengalaman masing-masing, sehingga akan membuat pelaku utama atau pelaku usaha perikanan semakin dewasa untuk dapat keluar dari masalahnya sendiri, tanpa adanya ketergantungan pada petugas (pendamping, penyuluh dan lain-lain).
B. Fungsi Kelompok Sebagai  Wadah Kerja  Sama
Sebagai wadah kerja  sama, kelompok pelaku utama atau pelaku usaha perikanan merupakan cerminan dari keberadaan suatu wadah kerjasama.
Pengukuhan adalah suatu proses peningkatan kemampuan melalui penciptaan iklim usaha yang kondusif, penumbuhan motivasi, pengembangan potensi, pemberian peluang, peningkatan kesadaran, dan pendampingan serta fasilitasi.  Dengan pemberdayaan tersebut bertujuan sumber daya manusia yang berkualitas, andal, serta berkemampuan manajerial, kewirausahaan, dan kelembagaan bisnis perikanan sehingga pembangunan perikanan mampu membangun usaha dari hulu sampai dengan hilir yang berdaya saing tinggi dan mampu berperan serta dalam melestarikan prinsip pembangunan yang berkelanjutan.  Salah satu upaya dalam pemberdayaan kelembagaan kelompok pelaku utama adalah melalui kegiatan fasilitasi dalam pengukuhan dan pengakuan terhadap kelembagaan kelompok.
Pengukuhan dan atau pengakuan terhadap kelembagaan  kelompok pelaku utama merupakan salah satu bentuk penghargaan atas karya dan prestasi kelompok yang telah dicapai  dan merupakan kebanggaan  bagi para anggota kelompok.  Kegiatan ini diharapkan akan tumbuh motivasi yang lebih besar dari para anggota kelompok untuk belajar lebih giat, bekerja lebih erat dan berusaha lebih efektif dalam usaha menigkatkan produksi dan pendapatannya.
Adapun tujuan dari pelaksanaan pengukuhan kelompok antara lain: (1) Tumbuh dan berkembangnya rasa bangga kelompok sebagai prinsip belajar dan kerjasama untuk meningkatkan produksi dan pendapatan; (2) Tumbuh dan berkembangnya dinamika kelembagaan dalam berorganisasi untuk memanfaatkan peluang ekonomi; dan (3) Terciptanya metode pemberdayaan, bimbingan, dan pelayanan yang sesuai dengan tingkat kemampuan kelompok pelaku utama.
C. Fungsi Sebagai Unit Produksi
Kelompok pelaku usaha perikanan sebagai unit produksi, erat hubungan dengan wadah kerja sama misalnya dengan melaksanakan kegiatan secara bersama–sama dapat dicapai efisiensi yang lebih tinggi misalnya: dalam pengadaan sarana produksi, perkreditan, dan pemasaran hasil. Oleh karena itu dengan fungsi kelompok sebagai unit produksi akan dapat dicapai skala ekonomis usaha yang dapat memberikan keuntungan yang lebih besar kepada para pelaku usaha perikanan.
D. Fungsi Kelompok Sebagai  Organisasi Kegiatan Bersama
   Dengan berkelompok maka pelaku usaha perikanan akan belajar mengorganisasi kegiatan bersama-sama, yaitu membagi pekerjaan dan mengkoordinisasi pekerjaan dengan mengikuti tata tertib sebagai hasil kesepakatan mereka. Mereka belajar membagi peranan dan melakukan peranan tersebut. Mereka belajar bertindak atas nama kelompok yang kompak, yaitu setiap anggota merasa memiliki komitmen terhadap kelompoknya. Mereka merasa "In Group" yaitu mengembangkan "ke-kitaan bukan  ke-kamian". Dengan demikian akan merasa bangga sebagai suatu kelompok yang terorganisasi secara baik, dibandingkan berbuat sendiri-sendiri.
E. Fungsi Kelompok Sebagai Kesatuan Swadaya dan Swadana                   
Kelompok pelaku usaha perikanan adalah kumpulan pelaku usaha perikanan yang mempunyai hubungan atau interaksi yang nyata, mempunyai daya tahan dan struktur tertentu, berpartisipasi bersama dalam suatu kegiatan. Hal ini tidak  akan dapat terwujud tanpa adanya kesatuan kelompok tersebut. Pelaku utama atau pelaku usaha perikanan diharapkan dapat  mandiri dalam arti mampu merumuskan masalah, mengambil keputusan, merencanakan, melaksanakan kegiatan dan mengevaluasi kegiatan-kegiatan yang dilakukan. Tumbuhnya kemandirian tersebut diharapkan dapat dilakukan melalui kelompok.
1.3. Pengelolaan Manajerial Kelompok
Tumbuh dan berkembangnya kelompok-kelompok dalam masyarakat, umumnya didasarkan atas adanya kepentingan dan tujuan bersama, sedangkan kekompakan kelompok tersebut tergantung pada faktor pengikat yang dapat meningkatkan keakraban individu-individu yang menjadi anggota kelompok. Pelaku utama atau pelaku usaha perikanan diharapkan dapat  mandiri dalam arti mampu merumuskan masalah, mengambil keputusan, merencanakan, melaksanakan kegiatan dan mengevaluasi kegiatan-kegiatan yang dilakukan. Tumbuhnya kemandirian tersebut diharapkan dapat dilakukan melalui kelompok.
Pengembangan kelompok diarahkan pada peningkatan kemampuan kelompok dalam melaksanakan fungsinya, peningkatan kemampuan para anggota dalam mengembangkan usaha perikanan, penguatan kelompok menjadi organisasi kelompok yang kuat dan mandiri.
Ciri-ciri Kelompok yang sudah kuat dan mandiri antara lain:
a) Adanya pertemuan/rapat anggota dan  pengurus yang diselenggarakan secara berkala dan berkesinambungan.
b) Disusunnya rencana kerja kelompok secara bersama dan dilaksanan oleh para pelaksana sesuai dengan kesepakatan bersama dan setiap akhir pelaksanaan dilakukan evaluasi secara partisipatif.
c) Memiliki aturan/norma yang disepakati dan ditaati bersama.
d) Memiliki pencatatan/pengadministrasian organisasi yang lengkap.
e) Memfasilitasi kegiatan-kegiatan usaha bersama disektor hulu dan hilir.
f) Memfasilitasi usaha secara komersial dan berorientasi pasar.
g) Sebagai sumber serta pelayanan informasi dan teknologi untuk usaha para anggota kelompok.
h) Adanya jalinan kerjasama antara kelompok dengan pihak lain.
i) Adanya pemupukan modal usaha yang baik iuran dari anggota atau penyisihan hasil usaha/kegiatan kelompok.
Pengembangan kelompok pelaku usaha diarahkan pada peningkatan kemampuan setiap kelompok pelaku usaha dalam melaksanakan fungsinya, peningkatan kemampuan para anggota dalam mengembangkan usahanya, penguatan kelompok pelaku utama menjadi organisasi yang kuat dan mandiri. Kegiatan ini sering disebut dengan Pembinaan Manajerial Kelompok.
SUMBER:
Bangs Jr., David H. 1992, “The Market Planing Guide”,USA, Dearborn Publishing  Group,inc.
Bygrave,WD. 1994,The Portable MBA in Entrepreneurship.: New York ,John Willy & Sons.
Elia W. E., dan Yulianti Y., 2009. Manajemen Pemasaran - Designing and Managing Value Networks and Channels. Program Pasca Sarjana – Magister Manajemen. Universitas Trisakti, Jakarta.
http://id.wikipedia.org/wiki/Pasar
http://staff.uny.ac.id/sites/default/files/PERENCANAAN%20USAHA.pdf
http://blog-ilmuonline.blogspot.com/2012/05/jaringan-usaha.html
Hudoyo M.W. dan Razi F., 2009. Modul Penyusunan Aturan Pengelolaan Keuangan Kelompok. Modul Pelatihan pendampingan pemberdayaan masyarakat PNPM Mandiri-KP Tahun 2009. Badan Pengembangan SDM Kelautan dan Perikanan, Jakarta.
Hudoyo M.W. dan Razi F., 2009. Modul Perencanaan Usaha. Modul Pelatihan pendampingan pemberdayaan masyarakat PNPM Mandiri-KP Tahun 2009. Badan Pengembangan SDM Kelautan dan Perikanan, Jakarta.
Kotler, Philip. 2005. Manajamen Pemasaran, Jilid 1 dan 2. PT. Indeks Kelompok Gramedia, Jakarta.
Purnama R. dan Razi F., 2011. Modul Penumbuhan dan Pengembangan Kelompok Pelaku Utama Perikanan. Modul Pelatihan Dasar bagi Penyuluh Perikanan Ahli. Pusat Pelatihan Kelautan dan Perikanan, Jakarta.
Razi F., 2014. Pembinaan Manajerial Kelompok; Sebuah Langkah Sederhana, Urgensi dan Efektif. Pusat Penyuluhan Kelautan dan Perikanan – BPSDMKP, Jakarta.