Wednesday, July 13, 2016

TEKNIS BIOFLOK DAN MANAJEMEN KUALITAS AIR

July 13, 2016 Posted by Media Penyuluhan Perikanan Pati No comments
A. Udang Putih (L. vannamei)
1. Klasifikasi dan Morfologi Udang Putih (L. vannamei)
Menurut Haliman dan Dian (2006), klasifikasi udang putih (Litopenaeus vannamei) adalah sebagai berikut:
Kingdom        : Animalia
Sub kingdom    : Metazoa
Filum        : Arthropoda
Subfilum     :Crustacea
Kelas       : Malacostraca
Subkelas         : Eumalacostraca
Superordo    : Eucarida
Ordo        : Decapodas
Subordo      : Dendrobrachiata
Familia     : Penaeidae
Sub genus      : Litopenaeus
Spesies           : Litopenaeus vannamei
Haliman dan Adijaya (2004) menjelaskan bahwa udang putih memiliki tubuh berbuku-buku dan aktivitas berganti kulit luar (eksoskeleton) secara periodik (moulting).  Bagian tubuh udang putih sudah mengalami modifikasi sehingga dapat digunakan untuk keperluan makan, bergerak, dan membenamkan diri kedalam lumpur (burrowing ), dan memiliki organ sensor, seperti pada antenna dan antenula.
Kordi (2007) juga menjelaskan bahwa kepala udang putih terdiri dari antena, antenula,dan 3 pasang maxilliped.  Kepala udang putih juga dilengkapi dengan 3 pasang maxilliped dan 5 pasang kaki berjalan (periopoda).  Maxilliped   sudah mengalami modifikasi dan berfungsi sebagai organ untuk makan.  Pada ujung peripoda beruas-ruas yang berbentuk capit (dactylus).  Dactylus ada pada kaki ke-1, ke-2, dan ke-3.  Abdomen terdiri dari 6 ruas.  Pada bagian abdomen terdapat  5  pasang (pleopoda) kaki renang dan sepasang uropods (ekor) yang membentuk kipas bersama-sama telson (ekor) (Suyanto dan Mujiman, 2003).
Bentuk rostrum udang putih memanjang, langsing, dan pangkalnya hamper berbentuk segitiga.  Uropoda berwarna merah kecoklatan dengan ujungnya kuning kemerah-merahan atau sedikit kebiruan, kulit tipis transparan.  Warna tubuhnya putih kekuningan terdapat bintik-bintik coklat dan hijau pada ekor (Wayban dan Sweeney, 1991).  Udang betina dewasa tekstur punggungnya keras, ekor (telson) dan ekor kipas (uropoda) berwarna kebiru-biruan, sedangkan pada udang jantan dewasa memiliki ptasma yang simetris.  Spesies ini dapat tumbuh mencapai panjang tubuh 23 cm ( Wyban dan Sweeney, 1991). 
Keterangan
1. Chepalothorax (bagian kepala)
2. Rostrum (cucuk kepala)
3. Mata
4. Antennula ( sungut kecil)
5. Prosartema
6. Antenna ( sungut besar)
7. Maxilliped ( lat bantu rahang)
8. Periopod (kaki jalan)
9. Pleopoda ( kaki renang)
10. Telson ( ujung ekor)
11. Uropoda ( ekor kipas)
2. Aspek Biologis Udang Putih (L. vannamei)
Udang putih mempunyai kemampuan beradaptasi terhadap salinitas yang luas dengan kisaran salinitas 0 sampai 50 ppt (Tizol et al., 2004).  Temperatur juga memiliki pengaruh yang besar pada pertumbuhan udang.  Udang putih akan mati jika terpapar pada air dengan suhu dibawah 150 C atau diatas 330C selama 24 jam atau lebih.  Stres subletal dapat terjadi pada 15-22 o C dan 30-330 C.  Temperatur yang cocok bagi pertumbuhan udang putih adalah 23-300C.  Pengaruh temperatur pada pertumbuhan udang putih adalah pada spesifitas tahap dan ukuran.  Udang muda dapat tumbuh dengan baik dalam air dengan temperatur hangat, tapi semakin besar udang tersebut, maka temperatur optimum air akan menurun
(Wyban et al., 1991).
3. Daur Hidup Udang Putih (L.  vannamei)
Siklus hidup udang putih dimulai dari udang dewasa yang melakukan pemijahan hingga terjadi fertilisasi.  Setelah 16-17 jam dari fertilisasi, telur menetas menjadi larva (nauplius).  Tahap naupli tersebut memakan kuning telur yang tersimpan dalam tubuhnya danakan mengalami moulting, kemudian metamorphosis menjadi zoea.  Zoea akan mengalami metamorfosis menjadi mysis.  Mysis mulai terlihat seperti udang kecil  memakan alga dan zooplankton.  Setelah 3 sampai 4 hari, mysis mengalami metamorfosis menjadi postlarva.  Tahap postlarva adalah tahap saat udang sudah mulai memiliki karakteristik udang dewasa.  Keseluruhan proses dari tahap nauplii sampai postlarva membutuhkan waktu sekitar 12 hari.  Kemudian post larva akan dilanjutkan ketahap juvenil (Wyban dan Sweeney, 1991).
B. Gula Pasir atau Gula Tebu
Tebu (Saccharum officinarum L) merupakan salah satu tanaman yang  dapat ditanam di daerah beriklim tropis.  Di Indonesia, perkebunan tebu menempati luas areal ± 321 ribu hektar yang 64,74% diantaranya terdapat di pulau
Jawa.  Perkebunan tersebut tersebar di Medan, Lampung, Semarang, Solo dan Makassar.  Dari seluruh perkebunan tebu yang ada di Indonesia, 50% diantaranya adalah perkebunan rakyat, 30% perkebunan swasta dan hanya 20% perkebunan
Negara (Misran, 2005). 
Tebu adalah tanaman yang ditanam untuk bahan baku gula.  Tebu termasuk jenis rumput-rumputan.  Tanaman tebu dapat tumbuh hingga 3 meter di kawasan yang mendukung.  Umur tanaman sejak ditanam sampai bisa dipanen mencapai kurang lebih 1 tahun.  Tebu dapat dipanen dengan cara manual atau menggunakan mesin-mesin pemotong tebu.  Daun kemudian dipisahkan dari batang-batang tebu, kemudian baru dibawa ke pabrik untuk diproses menjadi gula.  Tahapan-tahapan dalam proses pembuatan gula dimulai dari penanaman tebu, proses ektrasi, pembersihan kotoran, penguapan, kritalisasi, afinasi, karbonasi, penghilangan warna, dan sampai proses pengepakan sehingga sampai ketangan konsumen (http://www.sucrose.com/).
Tabel 1.Komponen-komponen dalam batang tebu: komponen jumlah (%)   
Monosakarida            0,5-1,5
Sukrosa                    11-19
Zat-zat organik            0,5-1,5
Zat-zat anorganik           0,15
                 Sabut                       11-19 
                 Air                        65-75
Bahan-bahan lain             12
sumber: (Misran, 2005)
Menurut Purnomo (2012) ada beberapa sumber karbohidrat yang dapat digunakan untuk pembentukan bioflok seperti tepung tapioka, molase, tepung singkong dan salah satunya gula pasir, gula pasir merupakan golongan karbohidrat dengan C,H dan O sebagai unsur pembentuknya.  Gula pasir juga biasa disebut sukrosa (C12H22O11) dan termasuk golongan disakarida yang berasa manis, memiliki kandungan C sebesar 42.39% .
C.     Bioflok
Aiyushirota ( 2009) menyatakan bahwa Bioflok adalah pemanfaatan bakteri pembentuk flok (flocs forming bacteria) untuk pengolahan limbah.  Tidak semua bakteri dapat membentuk bioflok dalam air, bakteri pembentuk flok dipilih dari genera bakteri yang non pathogen, seperti dari genera Bacillus hanya dua spesies yang mampu membentuk bioflok.  Salah satu ciri khas bakteri pembentuk bioflok adalah kemampuannya untuk mensintesa senyawa Polihidroksi alkanoat (PHA), terutama yang spesifik seperti poli β‐hidroksi butirat.  Senyawa ini diperlukan sebagai bahan polimer untuk pembentukan ikatan polimer antara substansi substansi pembentuk bioflok (Aiyushirota, 2009).
Bioflok terdiri atas mikroorganisme (bakteri, ragi, fungi, protozoa, fitoplankton) dan limbah.  Komposisi organisme dalam flok akan mempengaruhi struktur bioflok dan kandungan nutrisi bioflok (Izquierdoet al., 2006; Ju et al., 2008) dengan ukuran bervariasi  kisaran 100 - 1000 μm (Azim dan Little., 2008; de Schryver et al., 2008). 
Bakteri yang mampu membentuk bioflok diantaranya:
•    Zooglea ramigera
•    Escherichia intermedia
•    Paracolobacterium aerogenoids
•    Bacillus subtilis
•    Bacillus cereus
•    Flavobacterium
•    Pseudomonas alcaligenes
•    Sphaerotillus natans
•    Tetrad dan Tricoda
D.     Bakteri dalam Sistem Bioflok
Penggunaan bakteri dalam budidaya perairan telah banyak dilakukan terutama dalam bentuk probiotik, baik untuk manajemen kualitas air maupun sebagai campuran pakan.  Beberapa penelitian tentang probiotik telah banyak dilakukan.  Probiotik (Bacillus) dapat mengontrol luminous vibrio dan  mampu meningkatkan kelulushidupan udang (Moriarty, 1999).  Far  et al. (2009) membuktikan bahwa  Bacillus subtilis mampu menurunkan Vibrio dalam pencernaan udang serta meningkatkan tingkat kelulusuhidupan dan biomassa.   Menurut Soundarapandian et al. (2010) dan Boonthai et al. (2011), probiotik memegang peranan penting dalam pertumbuhan, tingkat kelulushidupan udang dan resistensi terhadap penyakit dan meningkatkan kualitas air. Bakteri selain mampu menekan pathogen melalui mekanisme kompetisi, ternyata mampu menghasilkan senyawa yang menguntungkan untuk budidaya perairan, yaitu Polyhydroxyalkanoat (PHA).  Polyhydroxyalkanoat merupakan polimer yang diproduksi oleh beberapa jenis bakteri, mudah  terurai dalam air, ramah lingkungan, dapat diproduksi dari sumber karbon organik, dan berfungsi sebagai cadangan karbon dan energi (Santhanam dan Sasidharan, 2010, Shamala et al., 2003),.  Polyhydroxyalkanoat (PHA) tersusun dari 3 hydroxy fatty acid, yaitu : PHB (poly3hydroxybutyrat, CH3), PHV (poly3hydroxyvalerate, C2H5),
PHHx (poly3hydroxyhexanoate, C3H7).  Dari ketiga polimer tersebut, PHB merupakan polimer yang paling bermanfaat dalam budidaya perairan.  Manfaat PHB antara lain sebagai  cadangan energi bagi ikan/udang, dapat terurai dalam pencernaan, meningkatkan  asam lemak, dan mampu meningkatkan pertumbuhan ikan dan udang (Schryver, 2010).  Berdasarkan beberapa penelitian menunjukkan bahwa polyhydroxybutyrate dapat menghambat pathogen di usus dan sebagai antimikroba bagi vibrio, E. coli, dan Salmonella (Boon et al., 2010).  Beberapa jenis bakteri yang mampu menghasilkan PHB antara lain :Bacillus megaterium (Otari dan Ghosh, 2009), Bacillus cereus (Nair  et al., 2008, Margono, 2011), Alcaligenes eutrophus
(Shimizu et al., 1993), Pseudomonas oleovarans (Santhanam dan Sasidharan,
2010).

Dalam sistem bioflok, bakteri berperan sangat dominan sebagai organisme heterotof.  Bakteri memanfaatkan bahan-bahan organik (karbon) sebagai sumber energi untuk melangsungkan proses biologis dalam lingkungan budidaya.  Bakteri dipacu pertumbuhannya sedangkan fitoplankton ditekan.  Agar pertumbuhannya berjalan dengan baik, salah satunya dengan  manipulasi media dan inokulasi jenis bakteri tertentu.  Hal ini berbeda dengan prinsip bioremediasi (probiotik) yang hanya menambahkan bakteri yang menguntungkan tanpa manipulasi media budidaya.  Bakteri akan tumbuh dengan baik jika media budidaya mempunyai rasio C/N sekitar 20.  Penambahan sumber karbon dalam  media budidaya akan membantu  meningkatkan rasio C/N karena limbah yang dihasilkan (sisa pakan, feses, ekskresi) mengandung rasio C/N kurang dari 10.  Selain sebagai penyusun utama bioflok, bakteri juga menghasilkan polimer polyhydroxyalkanoat (PHA) yang berfungsi sebagai pembentuk ikatan. (Avnimelech, 2009). 
E.     Potensi Bioflok Sebagai Pakan Alternatif
Bioflok mengandung nutrisi sangat tinggi (kandungan protein lebih dari 40%), merupakan serat organik  yang kaya akan selulosa.  Masing-masing penyusun bioflok menyatu karena bakteri menghasilkan polimer
polyhydroxyalkanoat (PHA) yang dapat membentuk ikatan kompleks.  Struktur bioflok mirip dengan struktur yang ada pada protein bakteri, yaitu C5H7NO2.

Bakteri mempunyai ukuran yang sangat kecil, yaitu kurang dari 5 mikron.  Ukuran yang sangat kecil ini tidak mampu dimanfaatkan oleh ikan atau udang.  Dalam bentuk bioflok, ukurannya mampu mencapai 500 mikron hingga 2 mm, sehingga ukurannya cukup besar untuk dapat dimakan oleh ikan/udang.  Menurut Manser (2006), ukuran bioflok mencapai diameter 0,1-2 mm.  Pemanfaatan bioflok sebagai pakan udang telah dilakukan oleh Avnimelech (2007).  Keberadaan bioflok sebagai suplemen pakan telah meningkatkan efisiensi pemanfaatan nutrien pakan secara keseluruhan, bioflok dapat dimanfaatkan baik secara langsung maupun sebagai tepung untuk bahan baku pakan (Azim & Little, 2008; Ekasari, 2008; Kuhn et al., 2008; 2009).  Bakteri heterotrofik mengubah nutrient-nutrien tersebut menjadi biomass bakteri yang potensial sebagai bahan pakan ikan/udang.  Apabila hal ini dapat berlangsung dengan baik maka buangan limbah budidaya ikan dapat berkurang secara drastis.  Sistem heterotrof mempunyai potensi untuk diterapkan dalam pemanfaatan limbah amonia pada pemeliharaan ikan/udang (Gunadi &Hafsaridewi, 2007).  Menurut Crab dkk. (2007) komunitas bakteri yang terakumulasi didalam sistem akuakultur heterotrofik akan membentuk flok (gumpalan) yang dapat dimanfaatkan sebagai sumber pakan.  Salah satu jenis organisme akuatik yang dapat memakan komunitas mikrobial dalam bioflok adalah udang 

F. Kondisi yang Mendukung Pembentukan Bioflok
1.  Aerasi dan pengadukan (pergerakan air oleh aerator)
Oksigen jelas diperlukan untuk pengoksidasian bahan organik (COD/BOD), kondisi optimum sekitar 4‐5 ppm oksigen terlarut.  Pergerakan air harus sedemikian rupa, sehingga daerah mati arus (death zone) tidak terlalu luas, hingga daerah yang memungkinkan bioflok jatuh dan mengendap relatif kecil.  Suplai oksigen harus cukup karena bakteri tersebut bersifat heterotrof sehingga membutuhkan oksigen. Jika oksigen kurang maka tidak hanya menghambat pertumbuhan bakteri tetapi juga berbahaya bagi kehidupan ikan/udang dalam tambak (Maulina, 2009)

Muylder et al. (2010), menyatakan pembentukan bioflok harus memperhatikan pengaturan aerasi secara intensif karena sangat dibutuhkan untuk proses asimilasi dari sisa metabolisme udang oleh bakteri.  Dalam pembentukan bioflok harus ada penambahan starter yang mengandung karbon seperti gula, molase, tepung tapioka, tepung terigu, dan sebagainya.  Bakteri memanfaatkan bahan-bahan organik (karbon) sebagai sumber energi untuk melangsungkan proses biologis dalam lingkungan budidaya.

2.  Rasio C/N
Prinsip dari teknologi bioflok adalah menumbuhkan mikroorganisme terutama bakteri heterotrof di air budidaya yang dimaksudkan untuk menyerap komponen polutan, amoniak yang ada diperairan budidaya.  Agar dapat terbentuk bioflok, maka rasio C/N  di air tambak budidaya udang pola intensif harus > 10:1

Avnimelech (1999) menyatakan bahwa mengontrol nitrogen anorganik dengan cara memanipulasi rasio C/N merupakan metode pengendalian potensi untuk sistem akuakultur.  Kemampuan bakteri untuk dapat mengurangi nitrogen anorganik dalam lingkungan budidaya dan memproduksi protein mikrobial tergantung pada koefisien konversi mikroba, C/N rasio biomassa bakteri, serta kandungan karbon dari bahan yang ditambahkan (Avnimelech, 1999).

Berapa banyak karbon yang dibutuhkan oleh bakteri dapat diketahui berdasar pada nilai C/N rasio bakteri (Willet dan Morrison, 2006).  Jika C/N rasio bernilai tinggi seperti pada perairan alami, maka nitrogen akan semakin cepat hilang (Berard et al., 1995 dalam Beristain et al., 2005a).  Pada lingkungan budidaya pemberian pakan dengan kandungan protein tinggi akan menyebabkan terjadinya penyuburan nitrogen.  C/N rasio yang ditemukan pada kondisi tersebut sangat rendah.  Berikut merupakan nilai C/N rasio dari beberapa sistem menurut
Beristain et al., (2005) (Tabel 2) :
Tabel 2.  C/N rasio berbagai sistem akuatik
No     Sistem     C/N Rasio 
1     Laut     17 – 40 (rata-rata 6.99 – 27.63)
2     Danau     12.5 (rata-rata 6 – 30)
3     Kolam tanah pada tilapia     9.5 (rata-rata 7.1 – 10.55)
4     Sistem resirkulasi pada african catfish     ± 2.3


G.     Kelebihan dan Kekurangan Teknologi Bioflok
Beberapa kelebihan dan kekurangan dalam penerapan teknologi bioflok (BFT).  Suprapto (2007), menjelaskan bahwa teknologi bioflok memiliki kelebihan dan kekurangan.  
Kelebihan dari teknologi bioflok antara lain:
1.    pH relatif stabil dan cenderung rendah sehingga kandungan amoniak (NH3) relatif rendah.
2.    Tidak tergantung dari sinar matahari, namun aktivitasnya menurun apabila suhu rendah.
3.    Tidak perlu ganti air (sedikit ganti air) sehingga “biosecurity” terjaga.
4.    Limbah tambak (kotoran, alga, sisa pakan, ammonia), dapat didaur ulang dan dijadikan makanan alami dengan protein tinggi, serta lebih ramah lingkungan.

Kekurangannya dari teknologi bioflok antara lain: 
1.    Tidak dapat diterapkan pada tambak yang bocor/rembes karena sedikit pergantian air bahkan tidak ada pergantian air,
2.    Memerlukan peralatan (kincir) cukup banyak sehingga kebutuhan listrik lebih tinggi,
3.    Aerasi harus hidup terus karena apabila aerasi kurang maka akan terjadi pengendapan bahan organik sehingga resiko munculnya H2S tinggi.

H.     Sistem Budidaya Tanpa Ganti Air
Sistem budidaya tanpa ganti air merupakan suatu sistem yang efisien digunakan dalam kegiatan budidaya.  Penerapan sistem tersebut dapat menekan biaya produksi, tidak membutuhkan teknologi tinggi, dan dapat diterima masyarakat umum (Vidali, 2001).  Pada penerapan teknologi tersebut tidak dilakukan pembuangan feses dan bakteri ke perairan alami, sehingga dapat menghindari pencemaran perairan.  Tanpa dilakukannya pergantian air, maka berpindahnya organisme pathogen penyebab penyakit dari luar ke suatu wilayah budidaya maupun sebaliknya dapat dicegah (Lopez et al., 2008).  Penerapan sistem budidaya tanpa ganti air tetap perlu diwaspadai mengingat penurunan kualitas air sangat mudah terjadi dan dapat menganggu pertumbuhan serta kesehatan organisme akuatik (Riche dan Garling, 2003).  Penurunan kualitas air dalam budidaya tanpa ganti air disebabkan oleh penumpukan sisa pakan dan hasil ekskresi ikan/udang berupa urin dan feses.  Urin dan feses yang dikeluarkan tersebut mengandung amonia yang merupakan zat berbahaya bagi kesehatan organisme akuatik (Ghufran, 2009).  Amonia akan menjadi racun jika dibiarkan tetap menumpuk dalam kolam pemeliharaan.  Konsentrasi amonia yang tinggi dalam kolam pemeliharaan mengakibatkan pertumbuhan udang menjadi lambat dan mengalami kematian sehingga kelangsungan hidup menjadi rendah
(Hargreaves dan Tucker, 2004).
I. Bioflok dan Manajemen Kualitas Air
Kualitas air merupakan salah satu syarat keberhasilan budidaya.  Salah satu masalah utama dalam manajemen kualitas air adalah adanya akumulasi amonia, Jumlah amonia diekskresikan oleh ikan/udang bervariasi tergantung jumlah pakan dimasukkan ke dalam kolam atau sistem budidaya (Durborow et al.,
1997).  Limbah budidaya yang mengandung nitrogen anorganik sangat besar (75% dari pakan) merupakan penyebab utama dalam penurunan kualitas air budidaya udang.  Nitrogen anorganik dalam air berada dalam bentuk total ammonia nitrogen (TAN), nitrit, dan nitrat.  TAN dalam bentuk NH3 dan nitrit berbahaya bagi udang, sedangkan dalam bentuk nitrat tidak berbahaya.  Penambahan sumber karbon akan mengikat nitrogen anorganik menjadi senyawa organik (masa bakteri) yang mengandung protein tinggi.  Avnimelech (1999) membuktikan bahwa penambakan sumber karbon dengan rasio C/N 20 dapat menurunkan TAN secara drastis dalam waktu dua jam. 
Oksigen terlarut dan pH air pada sistem heterotrof relatif  stabil, baik pada
waktu siang maupun malam.  Pengguna oksigen dalam media budidaya didominasi oleh udang/ikan dan bakteri, sedangkan pada sistem autotrofik pada waktu malam hari selain ikan dan bakteri, fitoplankton merupakan  pengguna oksigen yang sangat besar, apalagi jika kepadatan fitoplankton tinggi.  pH air media relatif stabil karena pengguna karbondioksida terbatas sehingga pH tidak terlalu tinggi baik pada waktu siang maupun malam.  Pada sistem autotrof, pH siang hari  akan  mencapai  puncaknya jika  kepadatan fitoplankton tinggi,  karena karbondioksida digunakan oleh fitoplankton untuk melangsungkan aktivitas fotosintesis (Boyd, 2002)
Sumber nitrogen dalam kolam budidaya udang sebagian besar berasal dari sisa pakan, kotoran udang, dan hasil ekskresi melalui insang (Durborow et al., 1997).  Nitrogen anorganik dalam kolam budidaya udang dalam bentuk amoniak nitrogen total (TAN) dan nitrit.  T AN mempunyai dua bentuk yaitu amoniak yang tidak terionisasi (NH3) dan dalam bentuk ion (NH4+).  NH3 bersifat toksik pada udang sedangkan NH4+ tidak bersifat toksik (Boyd, 2000, Durborow  et al., 1997).   Keberadaan kedua bentuk TAN tersebut dipengaruhi oleh pH perairan.  Semakin tinggi pH perairan semakin tinggi perentase NH3 dalam kolam.  TAN akan dimanfaatkan oleh fitoplankton dan bakteri sebagai penyusun protein tubuh serta mengalami nitrifikasi, sedangkan nitrogen bebas dapat mengalami penguapan. 

0 comments:

Post a Comment