Tuesday, July 12, 2016

PENGARUH PENUMBUHAN BIOFLOK PADA BUDIDAYA UDANG VANAME POLA INTENSIF DI TAMBAK

July 12, 2016 Posted by Media Penyuluhan Perikanan Pati No comments
Budidaya pola intensif dan super intensif udang putih (Litopenaeus vannamei) di Indonesia hingga kini telah berkembang dan menggunakan  berbagai jenis tambak yaitu tambak tanah, tambak semen dan tambak HDPE. Masing-masing jenis tambak tersebut mempunyai keunggulan dan kelemahan secara teknis dan ekonomis. Dalam kaitannya dengan teknologi produksi bioflok, Saenphon et al. (2005) menyatakan bahwa bioflok mudah terbentuk pada tambak yang menggunakan plastik HDPE, selanjutnya pada uji cobanya dengan luasan tambak 0,2 Ha, produksi udang vaname mencapai 30 ton/ha. Hal yang sama juga dikemukakan oleh Avnimelech, (2009) bahwa tambak untuk produksi bioflok sebaiknya dilapis plastik atau semen/beton. Namun demikian apakah dengan produksi bioflok menjadi lebih mudah di tambak HDPE dan tambak beton, maka secara otomatis akan berakibat pada produksi udang menjadi lebih tinggi dari pada tambak yang masih dengan dasar tanah berpasir. Hal ini belum bisa dijawab secara pasti, karena banyak faktor yang berpengaruh pada tingkat produksi dalam satu sistem budidaya. 
Alokasi biaya pakan  pada budidaya udang intensif dapat mencapai  60 – 70 % dari total biaya produksi. Maka upaya untuk efisiensi biaya produksi harus dilakukan, satu diantaranya adalah menggunakan teknologi bioflok (Avnimelech, 1999; 2007; Schryver et al, 2008). Prinsip dari teknologi bioflok adalah menumbuhkan mikroorganisme terutama bakteri heterotrof di air tambak yang dimaksudkan untuk menyerap komponen polutan, amonia yang ada di air tambak.  Agar dapat terbentuk bioflok, maka rasio C/N di air tambak budidaya udang pola intensif harus > 10 : 1, kemudian sedikit dilakukan penggantian air dan diberi aerasi yang kuat dan merata, sehingga oksigen tidak pernah lebih rendah dari 4 ppm. 
Bakteri heterotrof dalam air tambak akan berkembang pesat apabila di air tambak ditambahkan sumber C karbohidrat yang langsung dapat dimanfaatkan, misalnya sukrose, mollase, tepung tapioka, selanjutnya bakteri tersebut akan menggunakan N anorganik terutama amonia dalam air dan disintesa menjadi protein bakteri dan juga sel tunggal protein yang dapat digunakan sebagai sumber pakan bagi udang atau ikan yang dipelihara (Hari, et al., 2004).  Dengan demikian bioflok merupakan komunitas mikroba yang terdiri dari bakteria, protozoa dan zooplankton, sebagai suplemen pakan udang mengandung asam amino methionin, vitamin, mineral dan enzim yang dapat membantu proses pencernaan pakan pada udang. 
Apabila dalam tambak telah terbentuk bioflok     maka     diharapkan     akan     dapat menghemat pakan yang diberikan pada udang vaname karena bioflok dapat digunakan sebagai subsitusi pakan bagi udang vaname yang dibudidayakan. 
Tujuan penelitian adalah untuk monitor produksi flok dan beberapa parameter produksi (sintasan, produksi dan nilai konversi pakan) kaitannya dengan adanya penambahan molase pada budidaya udang vaname pola intensif di tambak beton dengan dasar tambak disemen (tambak A) dan tambak beton dengan dasar tambak tanah berpasir (tambak B). 
Metodologi
Monitoring dilakukan di tambak milik pengusaha di Desa Punaga Kabupaten Takalar pada dua unit tambak dimana satu petak tambak dinding pematang dan pelataran telah disemen ukuran  3250 m2 (tambak A) ditebari tokolan udang vaname PL 10 dengan padat tebar 170 ekor/m2 (561.200 ekor). Satu petak tambak lainnya hanya dinding pematang yang telah disemen, sedangkan pelatarannya masih berupa tanah berpasir ukuran 3915 m2 (tambak B) ditebari benur vaname PL 10 dengan padat tebar 148 ekor/m2 (579.600 ekor). Monitoring dimulai dari tahap persiapan tambak yang meliputi pengeringan, pengapuran, pengisian air, penebar-an, pemeliharaan dan panen. Selanjutnya dari dua petak tersebut, setelah penebaran udang dilakukan upaya sebagai berikut :
a). Satu petak tambak semen (Tambak A) diupayakan tumbuh bioflok dengan cara setelah dua  bulan pemeliharaan setiap dua hari ditambahkan     molase     sebagai     sumber     C- karbohidrat sebanyak 15 kg, tujuannya untuk meningkatkan rasio C : N di air tambak. 
Sebagai perhitungan yaitu rasio C : N  dalam pakan dijadikan dasar berapa penambahan molase ke air tambak dalam setiap hari. Misalnya, apabila jumlah pakan yang diberikan ke udang  pada waktu umur pemeliharaan 60 hari sebanyak 150 kg (protein pakan 35%)  dengan N pakan = 5,4%, maka jumlah N sebanyak  8,1 kg. C dalam pakan 45%, maka total C dalam pakan = 67,5 kg.  Dengan demikian rasio C : N dalam pakan = 8,33 : 1. Maka untuk menjadikan CN rasio 10 : 1,   seharusnya molase yang ditambahkan ke air tambak pada waktu pakan yang diberikan ke udang sebanyak 150 kg, yaitu sebanyak Jumlah N pakan x (10 – 8,33) x (100/45) = 8,1 kg x 1,67 x 2,2 = 29.75 kg. Apabila jumlah pakan yang diberikan ke udang telah berubah, maka jumlah molase juga berubah ditentukan oleh jumlah pakan yang diberikan ke udang dan rasio C : N yang diharapkan di air tambak. Namun karena kalau berdasarkan perhitungan diatas jumlah molase yang harus ditambahkan ke air tambak  cukup banyak yaitu 29,75 kg/hari, padahal ketersediaan molase terbatas, maka jumlah molase yang di tambahkan ke air tambak setiap dua hari sekali hanya 15 kg.
Disamping penambahan molase, juga dilakukan penambahan fermentasi probiotik ke dalam air tambak sebanyak 5mg/L/ hari. Tidak dilakukan pergantian air, tetapi setiap hari selalu ditambahkan air  minimal selama 8 jam air mengalir masuk ke tambak dan kandungan oksigen terlarut dipertahankan diatas 4 ppm selama pemeliharaan. Setelah 70 hari mulai dilakukan pembuangan air lewat sentral drain, terutama air yang berwarna hitam juga dilakukan sampling pertumbuhan udang. 
b). Satu petak tambak semen  (tambak B) tidak dilakukan upaya untuk menumbuhkan bioflok, jadi tidak dilakukan penambahan molase, tetapi hanya dilakukan penambahan fermentasi probiotik ke dalam air tambak sebanyak 5 mg/L/ hari. Fermentasi probiotik dibuat dengan cara 200 L air tambak dalam bak, ditambahkan molase 5 kg, pakan 5 kg, dedak 10 kg, ragi roti 20 g,  dan probiotik 2 liter kemudian diaerasi secara kuat selama dua hari. Selanjutnya siap untuk diaplikasikan ke tambak. 
Pengamatan yang dilakukan meliputi warna dan volume flok yang terbentuk terutama di petak A. Volume flok diperoleh dengan cara mengambil air tambak menggunakan tabung kaca kerucut (Imhoff cone) volume 250 mL, kemudian air dibiarkan dalam tabung selama 15 – 20 menit agar supaya mengendap. Selanjutnya dicatat berapa volume flok yang mengendap. pH air, suhu air, salinitas, oksigen terlarut dimonitor langsung di lapangan. Disamping itu juga diambil sampel air tambak untuk analisa kualitas air, bakteri, TSS dan VSS.    Perhitungan TSS dan VSS adalah sbb:
            A - B
TSS (mg/L) =  -------- x 100
                            V
A :  Bobot wadah petridish kosong + contoh uji flok yang sudah disaring B :  Bobot wadah petridish kosong (mg) V :  volume contoh (mL) = 50 mL.
VSS (mg/L) = TSS – jumlah abu

Data pertumbuhan, sintasan, produksi dan nilai konversi pakan dari dua petak yang dimonitor dibandingkan dan dianalisis secara diskriptif. Demikian juga untuk mengetahui kelayakan hasil budidaya udang vaname secara intensif dilakukan analisis ekonomi dengan menghitung R/C  ratio dan B/C ratio.
 
Hasil dan Pembahasan
Hasil monitoring menunjukkan bahwa pada tahap persiapan tambak sudah terdapat perbedaan antara petak A dan petak B. Di petak A (dasar tambak telah disemen) pada tahap persiapan tambak tidak ditambahkan kapur bakar, kaptan dan abu sekam,  air tambak  hanya dikaporit dengan konsentrasi 6 mg/L. Sedangkan di petak B (dasar tambak masih berupa tanah berpasir), teknik persiapan tambak meliputi pengeringan pelataran tambak tanpa dibalik dasar tanah tambak, ditambah kapur bakar 2000 kg, kaptan 2000 kg dan abu sekam 2500 kg. Setelah diisi air dengan ketinggian 70 cm, kemudian air dikaporit dengan konsentrasi 6 mg/L. Selanjutnya sebanyak 6 unit kincir di setiap petak dioperasikan. Setelah hari ke tiga, pada tanggal 1 Juni 2011, benur vaname PL 10 ditebar dengan padat tebar 170 ekor/m2 (561.200 ekor) di petak A. Di petak  B dengan padat tebar 148 ekor/m2 (579.600 ekor). 
Monitoring pemberian pakan dilakukan dari awal penebaran hingga menjelang panen. juga dilakukan berdasarkan monitoring pakan yang diberikan lewat anco. Terdapat 4 anco yang diletakkan di setiap sisi tambak. Total jumlah pakan yang dimasukkan ke anco sebanyak 0,3% dari total pakan yang diberikan, selanjutnya dimonitor setiap dua jam. Apabila dalam tempo dua jam pertama pakan di anco habis semua, maka jumlah pakan yang diberikan ke udang perlu ditambah. Namun apabila dalam tempo dua jam bahkan sampai tiga jam pakan di anco masih tersisa berarti jumlah pakan yang diberikan berlebih, sehingga harus dikurangi. Pemberian pakan dari awal hingga menjelang panen dilakukan dengan frekuensi 2 – 5 x  selama 24 jam. Waktu pemeliharaan selama 140 hari. 

Pengamatan Pertumbuhan Bioflok

Pada Umur Pemeliharaan 105 Hari (Kanan).      Sumber : Gunarto, et al. (2010)

Tabel 1. Volume Flok Yang Terbentuk Di Tambak Dengan Dasar Semen Yang Selalu Ditambahkan Molase (Tambak A) Dan Tambak Dasar Tanah (Tambak B)
Tanggal sampling
Volume bioflok yang terbentuk (mL)/L air tambak

    Aplikasi sumber C karbohidrat mulai 4 Juli 2011  (A)     Tanpa aplikasi sumber C karbohidrat  (B)
9/8
23/8
07/9
21/9
8/10
20/10
     0
5
10,0
12,0
14,0
15,0     0
0,0
8,0
10,0
12,0
13,0

A : diupayakan tumbuh bioflok dengan menambahkan molase di tambak  B : tidak ada upaya penumbuhan bioflok 
 Dari hasil  pengamatan bioflok di tambak, menunjukkan bahwa pada hari ke 70 di petak A yang telah dilakukan penambahan molase sebanyak 15 kg/dua hari, nampak flok mulai tumbuh meski masih kecil ukuran < 20 mikron dan berwarna hijau. Semakin hari volume dan ukuran flok semakin meningkat. Di petak B, nampak flok mulai tumbuh pada hari ke 90, padahal di petak B tidak dilakukan penambahan molase. Hal ini kemungkinan karena padat tebar udang tinggi (148 ekor/m2), sehingga jumlah pakan yang diberikan cukup banyak (pada hari ke 90 sebanyak 253 kg/hari). Fermentasi probiotik dari jenis yang berbedabeda diberikan setiap hari secara bergantian (Tabel 1), dengan ditambah dari sumber C – karbohidrat lainnya, misalnya dari plankton yang mati, dari dedak, pakan, molase yang digunakan  dalam fermentasi probiotik dan ditambahkan ke air tambak setiap hari, sehingga C N rasio di air tambak petak B kemungkinan juga  mencapai  10 : 1. Sehingga tanpa adanya  penambahan sumber C karbohidrat dari molase        Sumber : Gunarto, et al. (2010)
seperti yang dilakukan di petak A, maka flok dapat terbentuk dengan baik. Hal ini juga dikemukakan oleh Anonimous (2009) bahwa ditambak intensif atau super intensif dalam upaya pembentukan flok tidak perlu lagi ditambahkan sumber karbohidrat, karena C karbohidrat dari pakan sudah cukup tinggi (58 – 60%), kecuali kalau mau mempercepat proses pembentukan flok di tambak, maka diperlukan penambahan sumber C karbohidrat.
 Pada bulan ke tiga hingga menjelang panen parsial pada hari pemeliharaan ke 105 warna air tambak masih hijau pada petak A, sedangkan pada petak B pada hari ke 105 warna air tambak yang tadinya juga hijau telah berubah menjadi coklat dengan butiran flok terapung-apung di permukaan air. Pada kedua petak tersebut masih nampak melimpahnya busa di permukaan air tambak terutama di bagian pinggir petak tambak. Hal ini menandakan pada kedua petak tersebut flok telah berkembang. 
 Pengukuran volume flok pada hari ke 105, baik di petak A maupun B telah mencapai volume 15 mL/L air tambak. Dengan variasinya jenis probiotik yang digunakan, maka kemungkinan terjadi bioflokulasi yang terdiri dari kombinasi antara bakteri dan fitoplankton yang sangat baik untuk pertumbuhan udang terutama di petak B, sehingga udang di petak B pertumbuhannya lebih cepat. Disamping itu juga faktor padat tebar udang mempengaruhi laju tumbuh udang, dimana di petak A padat tebar udang 170 ekor/m2, sedangkan di petak B padat tebar 148 ekor/m2, sehingga udang di petak B lebih cepat tumbuh dari pada udang di petak A. Kecepatan aktifitas bioflokulasi ditentukan oleh jenis kombinasi mikroorganismenya. Kartika (2009) mendapatkan bahwa kombinasi antara diatom, Chaetoceros sp dengan bakteri Achromobacter liquefaciens, kemudian Thalassiosira sp dan Achromobacter liquefaciens merupakan kombinasi terbaik dalam pembentukan flok dan kondisi flok stabil sampai 7 hari. Kemudian dijelaskan juga bahwa rasio CN  yang paling baik untuk menghasilkan flok dan mereduksi amoniak adalah 10 : 1.
Menurut Avnimelech (2009) di air tambak udang umumnya volume flok sebanyak 2 – 40 mL/L dan mencapai 100 mL/L di kolam ikan. Sedangkan Nyam Tow (2010) menyatakan bahwa volume flok yang ideal untuk tambak udang adalah sebanyak 15 mL/L. Oleh karena itu pada penelitian ini flok yang terbentuk di air tambak selalu diatur agar tidak melebihi 15 mL/L air tambak, dengan cara menunda penambahan sumber C karbohidrat/molase tidak setiap dua hari sekali, tetapi menunda hingga setiap tiga hingga empat hari sekali dan kadangkadang juga dibarengi dengan dilakukan penggantian air tambak. Nilai Total Suspended Solid (TSS)  normal pada air tambak udang adalah sekitar 50 – 300 mg/L, sedangkan pada tambak ikan mencapai 1000 mg/L. Pada penelitian ini nilai TSS paling tinggi di tambak yang tidak ditumbuhkan bioflok adalah 211,6 mg/L, sedangkan pada tambak yang ditumbuhkan bioflok, nilai TSS tertinggi adalah 211,5 mg/L. Gunarto (Avnimelech, 2009) mengestimasi bahwa setiap 100 mg TSS/L air tambak adalah sama dengan sekitar 1000 kg pakan/Ha. Namun demikian berapa persen dari bioflok tersebut yang dapat menggantikan posisi pakan buatan karena telah dikonsumsi oleh udang, sehingga ada efisiensi pakan pada budidaya udang vanamei pola intensif. Hal ini masih perlu dilakukan penelitian secara detail tentang berbagai aspek bioflok diantaranya dari segi warna flok yang disukai oleh udang vaname yang dibudidayakan di tambak yang mampu mempercepat laju tumbuh udang.
                           
Kondisi Air Tambak
 Menurut Choo dan Tanaka (2000) parameter kualitas air yang muncul sebagai polutan pada pemeliharaan  udang pola intensif di tambak adalah amoniak dan konsentrasinya bisa mencapai 8,4 ppm di tambak udang windu pola intensif. Konsentrasi amoniak pada tambak yang dimonitor meningkat secara perlahan baik  di petak A maupun B hingga pertengahan Agustus 2011, dimana konsentrasi tertinggi mencapai 4,72 mg/L di petak A dan 3,38 mg/L di petak B. Hal ini menunjukkan bahwa meskipun sudah dilakukan penambahan molase sejak tgl 4 Juli 2011, yang seharusnya bakteri heterotrof telah berkembang dan aktif memanfaatkan amoniak sebagai sumber N untuk pembentukan protein bakteri. Namun pada kenyataannya amoniak masih tinggi di air tambak hingga pada pertengahan Agustus 2011. Selanjutnya konsentrasi amoniak menurun dimana konsentrasi terendah terjadi pada awal September 2011 terutama di petak A mencapai  0,21 mg/L dan di petak B  sebanyak 0,67 mg/L, dimana flok telah terbentuk secara padat di kedua petak tersebut. Pada waktu menjelang panen parsial 19 September 2011, konsentrasi amoniak telah meningkat kembali terutama di petak A  1,48 mg/L dan di petak B  0,75 mg/L.   Konsentrasi nitrit pada awalnya sangat rendah dari awal tebar 1 Juni hingga awal Agustus 2011, namun selanjutnya meningkat mencapai 4,84 mg/L pada pertengahan Agustus 2011, sedangkan di petak A meningkat terus sampai 5,10 mg/L pada awal September  2011 dan selanjutnya menurun pada waktu menjelang panen parsial menjadi sekitar 3,51 mg/L di petak A  dan 3,54 mg/L di petak B. Nitrit di perairan berasal dari dekomposisi nitrogen yang berasal dari NH4 oleh adanya aktivitas bakteri Nitrosomonas sp. Selanjutnya nitrit diubah menjadi nitrat oleh aktivitas bakteri Nitrobacter sp. Proses ini akan berjalan optimal apabila jumlah oksigen di perairan tambak mencukupi, kapasitas buffer baik, pH netral dan suhu rendah. Namun demikian pada penelitian ini dari hasil analisis kualitas air menunjukkan bahwa pada  15 Agustus 2011 terindikasi dalam waktu yang sama terjadi puncak konsentrasi amoniak, nitrit dan nitrat baik di petak A maupun petak B. Sedangkan konsentrasi nitrat nampak tinggi dari pertengahan Agustus hingga menjelang panen 20 september 2011 yaitu mencapai 4,45  mg/L di petak A dan 5,34 mg/L di petak B. Konsentrasi fosfat meningkat terus sejak awal penebaran dan puncaknya terjadi pada pertengahan Agustus 2011 yaitu mencapai 3,18 mg/L di petak A dan 2,59 mg/L di petak B. Selanjutnya fosfat menurun terutama di petak A hingga mencapai 1,75 mg/L menjelang panen parsial. Sedangkan di petak B konsentrasi fosfat 2,43 mg/L. Hal ini mengindikasikan bahwa nitrat dan fosfat yang tersedia sangat melimpah di air tambak dan kurang dimanfaatkan oleh fitoplankton yang ada baik di petak A maupun petak B, karena kemungkinan yang berkembang di air tambak bukan lagi fitoplankton, tetapi bakteri heterotrof yang selanjutnya membentuk flok.

Pertumbuhan, Produksi Dan Sintasan Udang
Tabel 2.  Sintasan, Produksi Dan Nilai Konversi Pakan Pada Budidaya Udang Vaname Pola Intensif Dengan Penambahan Molase Untuk Menumbuhkan Bioflok (Petak A) Dan Tanpa Penambahan Molase (Petak B).
Perlakuan
     Padat tebar (ekor/m2)     Berat awal
(g)     Berat akhir (ekor/kg)     sintasan  (%)     Produksi kg/petak      Produksi
kg/Ha
     Nilai konversi pakan
A     170      0,005     41,7 – 52      88,55      11.123,5      34.226,15      1,82
B     148      0,005     36,5 – 46,5      99,6     15.030,0     38.390,80     1,66
A). Tambak dengan dinding pematang dan pelataran telah disemen, ditumbuhkan bioflok, bioflok tumbuh pada hari ke 75.   B). Tambak dengan dinding pematang telah disemen, pelataran tambak masih tanah berpasir, tanpa upaya ditumbuhkan bioflok  tetapi bioflok tetap tumbuh mulai hari ke 90.
    Sumber : Gunarto, et al. (2010) Tabel 3. Berat Akhir Udang, Sintasan, Produksi Dan Nilai Konversi Pakan Budidaya Udang Vanamei Intensif Sistem Bioflok
Padat tebar
(ekor/m2)     Berat awal
(g)     Berat akhir
(ekor/kg)     Sintasan
(%)         Produksi
(kg/petak)     Produksi
(kg/ha)     Nilai konversi pakan
148 - 170     0,005     41,7 - 52     88,55
99,6     –     11.123,5     –
15.030     34.226,15 –
38.390,80     1,66 – 1,82
Sumber  :  Laporan Penelitian APBN (Gunarto, 2011)
Monitoring pertumbuhan udang tidak dilakukan secara rutin setiap dua minggu sekali, tetapi hanya dilakukan pada hari ke 70 baru dilakukan penimbangan berat udang, dimana udang telah mencapai ukuran 7 – 9 gram/ekor. Pada hari ke 75 sudah mulai tumbuh flok di petak A, dengan air tambak berwarna hijau. Di petak B pada hari ke 90 nampak flok sudah berkembang, meskipun tidak ditambahkan molase dan air tambak juga berwarna hijau. Mulai berkembangnya flok ditandai dengan melimpahnya busa di permukaan air dan butiran butiran flok melayang-layang di kolom air tambak. Pada hari ke 105 flok di petak B telah berkembang dengan baik, air telah berubah menjadi berwarna coklat. Sedangkan di petak A yang ditambahkan molase, air tambak tetap berwarna hijau, meskipun flok juga telah berkembang dengan baik. 
Pada hari ke 110 mulai dilakukan panen parsial, di petak A dipanen sebanyak 3.216,5 kg dengan ukuran udang sebanyak 52 ekor/kg. Di petak B panen parsial sebanyak 2873 kg dengan ukuran udang 46,5 ekor/kg. 
Setelah panen yang kedua pada hari ke 140, total produksi udang di petak A (flok)  menjadi sebanyak 11.123,5 kg (34.226,15 kg/Ha). Sintasan 88,55%, konversi pakan  1,82. Ukuran udang 41,7 – 52 ekor/kg. Di petak B total produksi menjadi sebanyak 15030 kg (38.390,8 kg/Ha). Sintasan  99,6%, konversi pakan  1,66, ukuran udang 36,5 – 46,5 ekor/kg. Produksi dan ukuran udang di petak B nampak lebih besar dari pada di petak A, kemungkinan ada kaitannya dengan penambahan abu sekam pada waktu tahap persiapan tambak. Putro dan Prasetyoko (2007) melaporkan bahwa kandungan silikat, SiO2 dalam abu sekam padi adalah sebanyak 94 – 96%. Dengan jumlah silikat di air tambak dalam jumlah yang cukup, sehingga diatom berkembang baik. Selanjutnya flok yang terbentuk adalah kombinasi antara diatom dan bakteri pembentuk flok yang bakteri tersebut berasal dari berbagai jenis probiotik yang setiap hari diaplikasikan secara bergantian. Dengan demikian kemungkinan flok yang terbentuk di petak B kualitasnya lebih baik dari pada flok yang terbentuk di petak A. Darminto dalam Bob Rosenberry (2011) melaporkan bahwa pada budidaya udang vanamei di tambak beton di Bali dengan padat tebar 120 ekor/m2 menggunakan teknologi bioflok produksi udang mencapai 15 – 30 ton/Ha. Di tambak yang dimonitor pada penelitian ini dengan padat tebar 148 – 170 ekor/m2 produksi udangnya mencapai 34 – 38 ton/Ha. 
Sintasan udang di petak A lebih rendah dari sintasan udang di petak B. Namun demikian dengan sintasan yang mencapai 88 – 99% selama pemeliharaan 140 hari, merupakan hasil yang sangat menguntungkan.
Analisis Usaha 
Untuk mengetahui kelayakan suatu budidaya     perlu     dilakukan     analisis     usaha berdasarkan hasil akhir dari sistim budidaya itu sendiri, hasil analisis di konversi kedalam  1 Ha. Hasil analisis disajikan pada masing-masing di tabel 3 dan 4dibawah ini.
Tabel 4. Analisis Usaha
No.     Uraian     Jumlah     Harga          satuan
(Rp)     Total (Rp)
A     Investasi              
    Sewa tambak ) (ha/tahun)
Pompa (unit)
Kincir (unit)     1
4
40     18.000.000
 6.000.000
 4.000.000       18.000.000
24.000.000
160.000.000
     Sub Total               202.000.000
B     Biaya Variabel              
    Benur vaname
Pakan
Probiotik
Molase
Tepung ikan
Dedak
Ragi Roti
Kapur bakar
Kaptan
Dolomit
Solar
Pemeliharaan tambak (paket)
Pemeliharaan peralatan
(paket)
Lain –Lain (Paket)
Bunga modal      1.500.000 ekor
63.727 kg
80 jerigen
1000 L
300 kg
200 kg
10.kg
2000 kg
2000 kg
2000 kg
1000 L
1
1
1
2, 5%     32,5
12.500
350.000
5000
10.000
2.500
50.000
1000
1500
1200
4500
15.000.000 15.000.000 15.000.000
23.471.050        48.750.000  796.587.500
   28.000.000
     5.000.000
     3.000.000
         500.000
         500.000
      2.000.000       3.000.000       2.400.000
      4.500.000
  15.000.000
  15.000.000
    15.000.000
    23.471.050
     Sub Total                 962.708.550
C     Biaya Tetap              
    Pompa (6 bulan)
Kincir (6 bulan)
Sewa tambak/musim/6 bulan)     4
40
1ha        600.000
   400.000
9.000.000            2.400.000
     16.000.000
        9.000.000
     Sub Total                     27.400.000
D     Total Biaya permusim/Total     -     -        990.108.550
E     Produksi permusim (nilai jual)     36.308 kg     55.000,-       1.996.940.000
F     Keuntungan               
    1.    Kotor
2.    Bersih (upah penjaga (20
% dari keuntungan kotor )     -   

-        -   

-        1.006.831.450

    805.465.160
G     Kelayakan Usaha              
    -    R/C ratio
-    B/C ratio     -    -        -    -        2,02
1,02
Sumber  :  Laporan Penelitian APBN (Gunarto, 2011)
Budidaya     udang     vaname     dapat dilakukan 2 kali dalam setahun (6 bulan per musim). Bunga bank termasuk biaya tetap yang dihitung berdasarkan ratio bunga bank pertahun sebesar 11% karena digunakan hanya 1 musim tanam. Perhitungan Reveniu cost ratio (R/C ratio) nilai sebesar 2,02 menunjukkan kelayakan usaha (2,02>1) dalam usaha semusim, sedangkan untuk Benefit cost ratio (B/C ratio) sebesar 1,02  (1.02 >1) sangat layak bagi usaha yang berkelanjutan. IRR secara rational dilihat dari prosentase bungan bank yang berlaku lebih kecil 11 % pertahun (modal yang digunakan apabila disimpan dalam bank kovensional nilai bungan yang diperoleh selama 3-4 bulan/musim lebih kecil dibandingkan dengan keuntungan bersih yang diperoleh per musim) maka usaha budidaya udang vanamei sistem bioflok secara intensif (padat karya) layak dikembangkan. 

Kesimpulan
   Pada budidaya udang vanamei pola intensif dengan padat tebar 148 – 170 ekor/m2, flok lebih cepat berkembang pada petak A, tambak yang ditambahkan molase, yaitu mulai terbentuk pada hari ke 75. Sedangkan petak B, tambak yang tidak ditambah molase flok juga terbentuk mulai pada hari ke 90. Padat tebar yang tinggi, jumlah pakan yang banyak diberikan ke udang setiap hari selama masa pemeliharaan, pemberian berbagai jenis probiotik secara bergiliran setiap hari, sirkulasi air minimal selama delapan jam sehari, diduga hal tersebut berpengaruh pada terbentuknya flok di tambak, meskipun tidak ditambahkan molase. Juga berakibat pada kecepatan pertumbuhan udang di tambak. 
Total hasil panen di petak A (flok)  sebanyak 11.123,5 kg (34.226,15 kg/Ha), dengan sintasan 88,55%, konversi pakan 1 : 1,82. Ukuran udang rata-rata 46 ekor/kg. Di petak B produksi 15030 kg (38.390,8 kg/Ha), sintasan  99,6%, konversi pakan  1,66, ukuran udang 41,5 ekor/kg. Berdasarkan hasil ini menunjukkan bahwa meskipun di petak A lebih cepat terbentuk flok dibanding di petak B, namun produksi udang lebih rendah dan nilai konversi pakan lebih tinggi dari yang diperoleh di petak B. Analisis hasil budidaya difokuskan pada tambak dengan produksi tertinggi yaitu petak B yang dikonversi dalam 1 ha sebanyak 36.308 kg (rata-rata dari 34.226,15 kg/Ha - 38.390,8 kg/Ha ) dengan nilai Rp. 805.465.160/musim . Budidaya udang vaname dapat dilakukan 2 kali dalam setahun. Perhitungan Reveniu cost ratio (R/C ratio) nilai sebesar 2,02 menunjukkan kelayakan usaha (2,02>1) dalam usaha semusim, sedangkan untuk Benefit cost ratio (B/C ratio) sebesar 1,02 
(1.02 >1) sangat layak bagi usaha yang berkelanjutan.

Ucapan Terima Kasih
  Terima kasih kami ucapkan pada Bapak Drs. Gunarto, MSc, yang telah mengijinkan penulis menambahkan analisis sosial ekonomi pada tulisan hasil penelitiannya, meskipun tulisan ini kami usahakan mensajikan sebaik mungkin tetapi kami sadari banyak sekali kekurangan dalam menyiapkannya, karena itu isinkan saya meminta maaf sebelumnya.

Daftar Pustaka
Anonimous, 2009. Konsep budidaya udang sistem     bakteri     heterotroph     dengan bioflocs. AIYU Shirotabiota Indonesia. Biotechnology Consulting & Trading Komplek Sapta Taruna PU, Blok B1 No.     13     Bandung,     Jawa     Barat,
Indonesia. 14 hlm.
Avnimelech, Y. 1999. Carbon/Nitrogen ratio as control element in aquaculture systems. Aquaculture 176 : 227 – 235.
Avnimelech, Y. 2007. Feeding with microbial flocs by tilapia in minimal discharge bio-flocs     technology     ponds.
Aquaculture 264 : 140 – 147.
Avnimelech, Y. 2009. Biofloc Technology, A
Practical Guide Book. World Aquaculture Society. Baton Rouge, Louisiana, Amerika Serikat, 181 hlm.
Bob     Rosenberry,     2011.     Shrimp     News
International, free news page. New release in 2011. Darminto take over big Penaeus monodon farm in Bali since 1988. www.shrimpnews.com, 11 Nopember 2011.
Choo, P. S. dan K. Tanaka. 2000. Nutrient levels in ponds during the grow-out and harvest phase of Penaeus monodon under     semi-intensive     or     intensive culture. JIRCAS Journal (8) : 13 – 20.
Ekasari, J. 2008. Bio-flocs technology : The effect of different carbon source, salinity and the addition of probiotics on the primary nutritional value of the bio-flocs. Thesis Master pada Ghent University, Belgia. 91 hlm.
Haryadi, S., Suryodiputro, I. N. N., dan B. Widigdo, 1992. Limnologi. Penuntun Praktikum  dan   metode analisa air. Institut Pertanian Bogor. Fakultas Perikanan, 57 hlm.
Hari, B., Kurup, B. M., Varghese, J. T., Schrama, J. W., dan Verdegem, M. C. J. 2004. Effects of carbohydrate addition on production in extensive shrimp culture systems. Aquaculture 241 : 179 – 194.
Gunarto,  Suryanto, H.,  Wibowo, A.F., dan
Syafaat, N. 2010. Monitoring Produksi   
Bioflok Pada Budidaya Udang Vaname Pola Intensif Di Tambak Semen. Laporan Hasil Penelitian 2010, Balai
Penelitian     dan     Pengembangan
Budidaya Air Payau, Maros
Kartika, A. 2008. Optimum rasio C/N medium dengan     penambahan     sukrose     pada pembentukan     bioflok     untuk peningkatan kualitas air pada sistem akuakultur.     Sekolah     Ilmu     dan Teknologi     Hayati     ITB,     email     : kartikalifl@yahoo.com
Nyan Taw, 2010. Recent progress of biofloc technology for sustainable shrimp (pacific white shrimp) eficiency and profitability. International Conference on Shrimp Aquaculture. Universitas Hang Tuah Surabaya, 28 – 29 Oktober 2010, 36 hlm.
Putro, A. L., dan D. Prasetyoko. 2007. Abu sekam padi sebagai sumber silika pada sintesis     zeolit     ZSM-5     tanpa menggunakan templat organik. Akta Kimindo. 3 (1) : 33 – 36.

Saenphon, C., N. Taw. M. H. Edi dan A. Schryver, P. D., R. Crab, T. Devoirdt, N. Boon, Gunawan. 2005. Culture trials on W. Verstraete. 2008. The basic of production potential of L. vannamei in bioflocs technology : The added value heterotropic (bacteria floc) system. for aquaculture. Aquaculture 227 : 125 Makalah disajikan pada seminar WOC – 137. di Bali. Agustus 2005.

0 comments:

Post a Comment