Tuesday, September 29, 2015

MENGEMBANGKAN PAKAN ALAMI PHRONIMA SUPPA DALAM BUDIDAYA UDANG WINDU BERKELANJUTAN

September 29, 2015 Posted by Media Penyuluhan Perikanan Pati No comments
Udang windu (Penaeus monodon) sejak dahulu hingga saat ini merupakan salah satu komoditas unggulan sektor Kelautan dan Perikanan Kabupaten Pinrang. Produksi udang windu yang dihasilkan oleh pembudidaya di daerah ini  sangat diminati oleh pasar manca negara khususnya di  Jepang. Tak berlebihan apabila kabupaten Pinrang berobsesi ingin mengembalikan kejayaan udang windu seperti di era tahun 1980-an. 
Ketika itu, terjadi booming udang windu di enam kecamatan wilayah pesisir di kabupaten Pinrang. Pada masa itu, budidaya udang windu diandalkan sebagai penggerak roda perekonomian masyarakat pesisir. Booming udang windu yang terjadi sepanjang tahun 1980-an hingga awal 1990 berimplikasi pada semakin bertambahnya luas lahan tambak yang mencapai lebih dari 15.000 ha. Mengingat, pada saat itu banyak lahan sawah yang tidak memenuhi persyaratan teknis  dipaksakan untuk dialihfungsikan menjadi lahan budidaya udang. Akibatnya, bermunculan berbagai masalah yang menyebabkan gagal panen terjadi dimana-mana.
Budidaya  tambak yang tidak memenuhi  syarat telah menyebabkan kerusakan pada lingkungan, penurunan produksi tambak dan kualitas produksi udang, berjangkitnya wabah penyakit oleh virus dan bakteri. Akibat serangan patogen khususnya virus White Spote Syndrome Virus (WSSV) dan  Vibrio Harvey berdampak terhadap sekitar 39.022 ha areal tambak di Sulawesi selatan tidak lagi berproduksi (iddle) pada periode 1988 sampai dengan 2007. Gagal panen di Sulawesi selatan diprediksi menimbulkan kegugian bagi pembudidaya sekitar 33,4 juta USD per tahun. Kerugian akibat serangan penyakit udang di Indonesia diperkirakan mencapai lebih dari 300 juta USD atau lebih dari 3 triliun rupiah per tahun (Wahyono, 1999 diacu dalam Rukyani, 2000).
Pemicu serangan disebabkan degradasi lingkungan sebagai akibat dari pengelolaan lahan yang tidak memenuhi standar serta penggunaan input produksi terutama antibiotik, pestisida, bahan dan zat kimia lainnya secara tidak terkendali yang semula dimaksudkan untuk penanggulangan penyakit dan pembasmian hama. Selain itu, pemberian pakan, penggunaan pupuk maupun pengolahan tanah dasar tambak yang tidak tepat telah menyebabkan peningkatan cemaran organik. Pemberian pakan dengan jumlah dua kali lipat dari produk biomassa. Sisanya 88 – 90  persen terbuang ke lingkungan (Nurdjana, 2005). Pakan yang sebagian besar bahan organik  tersebut  (terutama organik-C dan organik –N) mengalir dalam siklus aliran nutrient di dalam air (Boyd dan Clay, 1989).
Permintaan akan komoditas udang windu  yang terus meningkat dengan tingkat harga yang relative tinggi terutama pada era booming udang windu mendorong pembudidaya memacu tingkat produksi tambak dengan menggunakan antibiotik, pestisida serta bahan dan zat kimia secara berlebihan telah menyebabkan berkembangnya organism patogen yang resisten terhadap obat-obatan dan bahan kimia tertentu serta rusaknya keseimbangan lingkungan sebagai akibat dari matinya jasad renik yang berperan penting dalam siklus hara dan rantai makananan ( food chain) di dalam tambak. Pemberian antibiotik, obatobatan serta bahan dan zat kimia lainnya secara serampangan menyebabkan matinya berbagai jenis bakteri seperti Nitrosomonas dan Nitrobacter yang sangat berperan dalam proses nitrifikasi (Nurdjana, 2005). Ketidakseimbangan lingkungan internal dan eksternal tersebut menyebabkan daya dukung tambak sangat rendah atau menyebabkan tambak menjadi kehilangan potensi  produktivitas atau dikenal dengan tambak marjinal. Reklamasi tambak secara epektif, perbaikan lingkungan, dan penataan system budidaya udang windu secara holistik berhasil menormalisasi tambak marjinal (Fattah et al., 2009) .
Manajemen budidaya yang buruk berpotensi memicu eksplosifnya kembali serangan patogen terutama WSSV dan V.harvey yang saat ini dalam proses pemulihan atau membuka peluang infeksi patogen baru yakni Early Mortality Syndrome (EMS) atau Acute Hepatopancretic Nectrotic Disease (AHPND) yang dipicu oleh V. parahaemolyticus. Saat ini undustri udang nasional sedang bersiaga hadapi ancaman baru yang berasal dari EMS atau AHPND setelah industry udang global dan negara tetangga seperti China (2009), Vietnam (2010), Thailand (2011) dan Malaysia (2012) mengalami kegagalan produski (clopse).. Hal tersebut menyebabkan kelangkaan stok udang dunia diperkirakan mencapai 300 ton per tahun.
Sejak tahun 2005 ditemukan populasi phronima suppa (Phronima sp) jenis mikro crustacea yang hidup secara alami pada perairan tambak tertentu di desa Wiringtassi dan desa Tasiwalie kecamatan Suppa, Pinrang. Phronima sp tidak ditemukan pada tambak di luar kedua desa tersebut (Fattah dan Saenong, 2008). Pada awal ditemukannya organisme tersebut, masyarakat lokal menyebutnya sebagai were. Were berasal dari kosa kata bahasa Bugis yang bermakna anugerah, berkah atau rahmat. Phronima Suppa menjadi anugerah, berkah dan rahmat bagi pembudidaya pada saat kondisi pertambakan udang nasioanl mengalami keterpurukan karena degradasi mutu lingkungan, infeksi patogen dan buruknya manajemen budidaya. 
Keberadaan Phronima Suppa menjadi indikator bangkitnya udang windu pada kawasan yang sedang terserang virus WSSV dan V.harvey. Kawasan tambak yang ditemukan Phronima sp serta kawasan tambak yang sedang terjangkit WSSV berhasil memproduksi udang windu dengan sintasan sekitar 70 persen. Sebaliknya, tambak udang windu tanpa Phronima sp hanya mampu memproduksi udang windu  dengan sintasan 10 persen (Fattah dan Saenong, 2008). Phronima Suppa diduga kaya nutrien dan berperan penting dalam membangun sistem immunitas internal pada udang serta memperbaiki struktur tanah dan lingkungan perairan.
Berkembangnya pakan alami Phronima Suppa menjadikan kabupaten Pinrang sebagai daerah pemasok udang windu tersebesar di Sulawesi Selatan, dimana pada tahun 2013 produksi udang windu terbesar di Sulawesi Selatan, yaitu 2.973,2 ton, meningkat dari produksi tahun 2012 sebesar 2.931 ton. Di Pinrang, luas lahan potensi perikanan tambak mencapai 15.675 ha dengan pola budidaya tradisional, semi intensif, polikultur udang dan bandeng serta sedikit budidaya pola intensif. Kawasan tambak terbagi di enam lkecamatan, yaitu Suppa (2.203 ha), Lasinrang (1.5675 ha), Mattirosompe (4.131 ha), Cemapa (2.341 ha), Duampanua (5.101 ha), dan Lembang (339 ha). 
Tabel 1. Produksi udang windu dari tahun 2006 – 2013 di Kab. Pinrang.
Tahun     Luas (HA)     Produksi (TON)     Nilai Produksi (Rp)
        Windu      Vannamei     Windu     Vannamei
2013     15.026,20     2.973,20     774,50     237.856.000     50.342.500
2012     15.026,20     2.931,00          146.550.000      
2011     15.026,20     2.768,00          138.364.000      
2010     15.026,20     2.624,90          131.159.000      
2009     15.795,50     2.561,12          115.250,400      
2008     15.795,50     2.148,35          79.494,500      
2007     15.814,00     2.148,50          64.455.000      
2006     15.834,00     2.269,13            79.419.550      
                        
Jumlah     15.026,20     2.973,20 (2013)     774,50     237.856.000 (2013)     50.342.500
    
Berdasarkan tabel di atas, produksi udang windu dari tahun ke tahun terus mengalami peningkatan, dimana produksi tahun 2013 menempati produksi terbesar, yaitu 2.973,20 ton dengan nilai produksi sebesar Rp. 237.856.000, meningkat pesat jika dibandingkan produksi pada tahun 2006 yang memproduksi udang windu sebesar 2.269,13 ton dengan nilai produksi Rp. 79.419.550. Peningkatan produksi ini mempengaruhi peningkatan kesejahteraan pembudidaya udang windu. Namun, dari segi persentase peningkatan produksi dari tahun ke tahun tidak terlalu signifikan. Hal ini disebabkan karena metode budidaya yang diterapkan oleh pembudidaya didominasi budidaya tradisional dengan kepadatan 10.000 – 20.000 ekor perhektar. Dimana rata-rata produksi perhektar dengan kepadatan 1 - 2 ekor/m2 yaitu 150 – 200 kg. 
Belum maksimalnya peningkatan produksi udang windu selain karena pembudidaya tidak memaksakan lahan juga karena terbatasnya benur udang windu berkualitas. Produksi benur pada hatchery di kabupaten. Pinrang belum mencukupi kebutuhan pembudidaya, dimana jumlah hatchery di Pinrang sebanyak 9 buah dengan kapasitas produksi pertahun yaitu 220 juta benur. Sedangkan kebutuhan benur untuk penebaran rata-rata 20.000 perhektar untuk 15.000 hektar tambak yaitu 300 juta benur. Berarti dibutuhkan 80 juta benur harus diperoleh dari luar Kabupaten  Pinrang.
Konsep pengembangan Blue economy saat ini kian gencar didengungkan seiring kian meningkatnya kesadaran untuk menjaga lingkungan dalam melakukan usaha budidaya perikanan. Prinsip ini pula yang kini diterapkan oleh para petambak udang windu di kabupaten Pinrang, Sulawesi Selatan. Mereka menyebutnya budidaya udang windu ramah lingkungan. Yaitu budidaya udang windu dengan menggunakan pakan alami yang disebut sebagai phronima (Phronima suppa). Phronima merupakan sejenis udang renik yang hidup di dasar tambak yang pertama kali ditemukan di kecamatan Suppa maka diberi sebutan Phronima Suppa. Rencananya pakan alami lokal ini akan segera dipatenkan dengan nama Phronima Suppa agar tidak diakui oleh daerah lain.
PEMBAHASAN
Petambak udang windu di Pinrang saat telah bangkit. Bertambak cara tradisional di era modern ternyata membawa keberuntungan. Udang windu yang diproduksi dengan sistim modular dengan pakan alami Phronima Suppa menjadi incaran konsumen di pasar internasional, karena udangnya padat, sehat, alami dan yang paling penting ramah lingkungan. 
Sistem modular sudah lama dipraktikkan oleh sebagian  petambak udang windu sejak era tahun 1980-an. Cara itulah yang menyebabkan udang windu masih berkelanjutan di Pinrang. Sistim modular yaitu cara budidaya udang windu dengan melakukan pemindahan dari satu petakan  ke petakan tambak  yang lain sebelum masa panen. Tujuannya agar kualitas air tambak selalu optimal dan ketersediaan pakan alami phronima selalu ada.
Pakan alami phronima menjadi potensi lokal yang mampu menggenjot produksi udang windu. Untuk mengkultur phronima di tambak perlu keterampilan khusus. Sebab jika salah dalam menumbuhkan maka akan menjadi kompetitor bagi udang yang dipelihara. Karena Phronima ini semacam udang renik yang butuh pakan alami dan oksigen dalam pertumbuhannya. Tapi, jika tepat dalam penanganannya, maka cukup 55-70 hari pembudidaya sudah panen udang windu dengan ukuran size antara 25-30 ekor/kg. 
Hewan kecil yang menyukai dasar tambak liat berpasir ini merupakan  keluarga udang-udangan yang masuk dalam genus Phronima sp.  Untuk tumbuh dan berkembang biak Phronima sp memerlukan kisaran parameter kualitas air seperti suhu 28–25 derajat celsius, salinitas 28–40ppt dan idealnya 38 itu sudah bagus, oksigen terlarut 0,3–4,9 ppm, ammonia 0,080–1,600 ppm dan Nitrit 0,056–1,329 ppm. 
Pengalaman Pembudidaya
Untuk bertambak udang windu sistem modular dengan pakan alami Phronima Suppa  paling tidak petambak harus memiliki 2-3 petakan tambak. Jumlah petakan tambak tersebut satu petakan seluas 0,25-0,35 ha digunakan untuk petak pentongkolan benur. Sedangkan petakan lainnya (luasnya 0,50-1,00 ha) untuk penumbuhan dan perbanyakan populasi phronima. Untuk mengembangbiakkan phronima di tambak perlu dilakukan persiapan media yaitu mulai pengeringan lahan dan pemberantasan hama menggunakan saponin. Kemudian tambak diberi kapur bakar 500-1.000 kg/ha atau  tergantung tingkat keasaman (pH) tanah dasar tambak. Beri pupuk urea 100 kg/ha, TSP 50 kg/ha, ZA 50 kg/ha dan dedak 300 kg/ha serta pupuk cair organik sebanyak  5 liter/ha. Dedak tersebut lebih dahulu dipermentasi menggunakan ragi roti atau ragi tape lalu masukkan air sampai ketinggian 30 cm di atas pelataran tambak. Jika plankton sudah tumbuh maka tebar induk atau bibit phronima sebanyak 3 liter yang diperoleh dari stok Phronima yang ada di petakan tambak lain. Phronima yang dikultur selama 20 hari populasinya diperkirakan cukup untuk dimakan oleh  10.000-15.000 ekor udang maka tokolan udang yang sudah seukuran besar rokok dapat segera dipindahkan ke petakan yang telah ditumbuhi phronima.
Tokolan udang yang telah dipindah, setelah dipelihara sekitar 55-70 hari udang sudah bisa panen sebanyak 250-300 kg/ha dengan ukuran size 40-35 ekor/kg. Namun terkadang petambak belum puas harga Rp. 95-100 ribu/kg dengan ukuran tersebut sehingga udang itu dipindah lagi ke petakan  yang lain yang telah tersedia pakan alami phronima. Dalam tempo satu bonang (satu siklus pasang surut) atau sekitar 15 hari maka ukuran udang sudah berubah capai size 25-30 ekor/kg yang laku terjual Rp.115-125 ribu/kg. Cara seperti ini berulang dilakukan oleh petambak sampai lima kali siklus panen dalam setahun..
Tambak Percontohan
Untuk menyebarluaskan pengalaman keberhasilan  pembudidaya udang windu di desa Tasiwalie kecamatan Suppa ke petambak yang lain di kabupaten Pinrang, maka penyuluh perikanan kerjasama dengan Dinas Kelautan dan
Perikanan Pinrang, akademisi dan WWF-Indonesia melakukan kajian lapangan berupa tambak percontohan (dempond) budidaya udang windu dengan aplikasi pakan alami Phronima Suppa..
Kegiatan tambak percontohan budidaya udang windu dengan aplikasi pakan alami Phronima Suppa berlangsung Maret sampai Agustus 2014 di desa Tasiwalie kecamatan Suppa, Pinrang.. Percontohan budidaya udang windu aplikasi Phronima Suppa  dikelola sesuai dengan Cara Budidaya Ikan yang Baik (CBIB) . Pendampingan dilakukan dengan cara memberikan bimbingan secara langsung dalam peningkatan produksi dan pendapatan pembudidaya tambak udang windu. Pembudidaya yang menjadi sampel dalam kegiatan kajian tersebut ditetapkan bedasarkan kesediaan mereka untuk melakukan budidaya udang windu aplikasi Phronima Suppa berbasisi CBIB. Berdasarkan persyaratan tersebut maka terpilih 9 orang pembudidaya sebagai kelompok A.. Sedangkan kelompok B sebagai pembanding sebanyak 8 orang pembudidaya yang tidak menggunakan Phronima sebagai pakan alami. Tambak terpilih adalah tambak marjnal atau tambak yang tidak dikelola dengan baik sejak berkembangnya WSSV dan V.harvey sejak 1998.
Indikator yang dipergunakan dalam mengukur tingkat keberhasilan dari pelaksanaan dempond ini antara lain meliputi: (1) periode budidaya, (2) sintasan, (3) produksi tambak, (4) analisis kelayakan ekonomi berdasarkan  pendapatan dan R/C rasio.  
1. Periode Budidaya
Periode kegiatan budidaya udang windu dengan aplikasi Phronima Suppa (A) lebih singkat dibandingkan dengan perlakukan tanpa Phronima Suppa (B). Aplikasi Phronima Suppa dapat memproduksi udang windu rata-rata  285 kg/ha  dengan ukuran size  39,67 ekor /kg  dengan periode masa budidaya rata-rata 47 hari. Sedangkan kelompok B memproduksi udang windu rata-rata 50,63 kg/ha dengan ukuran size rata-rata 44 ekor/kg dan produksi ikan bandeng 337,50 kg/ha selama 112 hari kegiatan budidaya. Tambak tanpa aplikasi phronima suppa (B) memerlukan periode produksi rata-rata lebih lama dibandingkan dengan aplikasi  phronima suppa (Tabel 2 dan Gambar 2). Aplikasi phronima suppa (A) dengan periode produksi 47 hari memungkinkan untuk melakukan aktivitas budidaya sebanyak tiga siklus per tahun. Pada tambak tanpa aplikasi phronima suppa (B) kegiatan budidaya hanya dapat dilaksanakan sebanyak dua siklus produksi per tahun.
Tabel 2. Luas Tambak, Periode Budidaya, Padat Tebar, dan Produksi pada 
              Kedua Kelompok Pembudidaya

N                       

     Nama  Pembudidaya     Luas  Tambak     Periode  Budidaya     Padat Penebaran (ekor)      Sintasan  Udang     Produksi (kg) 
                Udang      Bandeng          Udang      Bandeng 
          (ha)      (hari)                (%)          
Ap likasi Phronima Suppa (Kelompok A)                        
1      Baharuddin      1,40      45,00      15.000           62,67      235     
2      Ilyas      1,20      45,00      15.000           65,00      250     
3      Nurdin      1,70      47,00      25.000           51,20      320     
4      Darise      1,00      45,00      15.000           60,80      240     
5      Yusuf      1,50      50,00      35.000           51,43      450     
6      Bahri      2,00      50,00      20.000           76,00      380     
7      Ridwan      1,00      48,00      15.000           75,20      282     
8      Abd. Rahim      1,00      48,00      15.000           69.87      262     
9      Idris      1,00      45,00      12.000           50,00      150     
Ju mlah 
     11,80 
     423,00 
     167.000 
    
     492,3 
     2.569 
    

Ra ta-rata      1,31±0,37      47,00±2,12      18.555,56±           61,54±      285,44±     
                    7.247,60           10,36      88,02     
Ta npa Aplikasi Phronima Suppa (Kelompok B)                    
10      Amir      1,00      60,00      10.000      1.500      12,00      30      350 
11      Syamsuddin      1,00      120,00      10.000      1.500      28,00      50      300 
12      Ramli      2,00      120,00      25.000      3.500      8,00      50      600 
13      Suardi      1,50      120,00      15.000      3.000      17,27      70      500 
14      Ahmadi      1,00      120,00      15.000      1.500      8,33      25      150 
15      Ambo Paro      2,00      120,00      25.000      3.000      18,00      100      500 
16      Odding      0,70      120,00      7.500      700      24,00      40      150 
17      Umar      0,80      120,00      10.000      1.000      22,00      40      150 
Jumlah      10,00      900,00      117.500      15.700      137,6      405      2.700 
Rata-rata      1,25±      112,50±      14.687,50±6870,      1.962,50±      17,20±      50,63±      337,50± 
          0,52      21,21      94      1.047,36      7,34      24,27      180,77 
Sumber: Hasil Pengolahan Data Primer , 2014
Pada Kedua Kelompok Pembudidaya
2.    Sintasan
Keterbatasan kemampuan finansial dan trauma kegagalan budidaya udang windu selama sekitar 16 tahun serta kualitas manajemen budidaya yang tidak memadai menyebabkan padat penebaran pada tingkat pembudidaya masih relatif rendah (Fattah dan Busaeri, 2002). Aplikasi phronima suppa lebih efektif pada budidaya dengan komoditas tunggal (monokultur) udang windu. Pola penebaran komoditas ganda (polikultur) udang windu dan bandeng disarankan dikembangkan pada petakan tanpa aplikasi phronima suppa sebagaimana umumnya dilakukan oleh pembudidaya di Kabupaten Pinrang dan Sulawesi Selatan. Pola monokultur udang windu adalah pilihan rasional dalam memaksimalkan potensi peningkatan pendapatan dan kesejahteraan pembudidaya pada tambak marjinal. Namun perlu ketelitian dalam menumbuhkan Phronima, sebab apabila kepadatan populasi phronima yang tidak terkendali dapat menyebabkan kematian ikan bandeng dengan indikasi ditemukannya phronima suppa pada lembar insang sehingga menghambat proses pernapasan pada bandeng.
Sintasan pada tambak terpilih disajikan pada Tabel 2 dan Gambar 2. Pembahasan sintasan difokuskan pada udang windu Tambak terpilih adalah tambak marjinal yang tidak dikelola dengan baik sejak berkembangnya wabah WSSV dan V. harvey pada tahun 1998. Keberhasilan reklamasi memperbesar peluang pengembangan budidaya udang windu dan ikan bandeng pada tambak marjinal. Tambak dengan aplikasi phronima suppa (A) menghasilkan sintasan rata-rata 61,54 persen lebih tinggi dibandingkan dengan tanpa aplikasi phronima (B) yang menghasilkan sintasan rata-rata 17,20 persen sebagaimana yang disajikan pada Gambar 3. Hal ini memperkuat pembuktian bahwa phronima suppa potensial menyediakan nutrien sesuai dengan kebutuhan udang windu, membentuk imunostimulan, dan memperbaiki kualitas lingkungan budidaya (Fattah et al., 2014). Sintasan udang windu pada aplikasi phronima suppa lebih tinggi meskipun kawasan tambak secara keseluruhan belum terbebas dari wabah WSSV dan V. harvey. Kondisi tersebut dialami oleh salah seorang pembudidaya bernama Idris yang pada awal kegiatan budidaya belum mengaplikasikan phronima suppa. Aplikasi baru dilakukan setelah ditemukan beberapa ekor udang peliharaannya mati. Sisa udang yang masih hidup dipindah ke petak yang telah ditumbuhi Phronima. Metode yang dikenal dengan sistem modular menghasilkan sintasan udang windu sebesar 50 persen. (Tabel  2 dan Gbr. 2).
3.    Produksi
Produksi tambak dempond disajikan pada Tabel 2 dan Gambar 4. Tambak dengan aplikasi phronima suppa (A) berhasil memproduksi komoditas udang windu rata-rata sebanyak 285,kg/ha/siklus. Tambak tanpa aplikasi phronima suppa (B) rata-rata memproduksi udang windu sebanyak 50,63 kg/ha/siklus dan ikan bandeng sebanyak 337,50  kg/ha/siklus. Produksi udang windu pada tambak dengan aplikasi phronima suppa (A) lebih tinggi dibandingkan dengan tambak tanpa aplikasi phronima (B). Kontribusi phronima suppa dalam menyediakan nutrien, membentuk imunostimulan, dan memperbaiki lingkungan budidaya sesuai dengan kebutuhan udang windu sangat berperan dalam peningkatan produksi. Pengembangan metode budidaya sistem modular dan upaya penyediaan phronima suppa secara berkesinambungan dapat meningkatkan produksi phronima suppa lebih tinggi dibandingkan dengan metode aplikasi sebelumnya yang memproduksi udang windu sebanyak 150,51 kg/ha.MT (Fattah et al., 2012). 
Secara alami puncak populasi phronima pada tambak endemik terjadi pada sekitar 15 hari inokulasi. Populasi phronima suppa mengalami penurunan setelah 15 hari inokulasi (Fattah et al., 2010). Pemberian pakan alami kombinasi jenis Chlorella sp dan Chaetoceros sp dapat mempertahankan stabilitas ketersediaan populasi phronima suppa hingga hari 28 hari (Fattah et al., 2014). Budidaya udang windu dengan sistem modular atau aplikasi saponin berhasil mempetahankan ketersediaan pakan alami secara berkesinambungan sehingga stabilitas populasi phronima dapat dipertahankan di dalam wadah budidaya selama periode budidaya selama 47 hari.
Berdasarkan pengamatan lapangan selama ini bahwa ketersediaan pakan alami secara berkesinambungan dan pengendalian faktor lingkungan secara penuh menjadi faktor penentu ketersedian phronima suppa secara memadai untuk mendukung peningkatan produksi udang windu dengan aplikasi phronima suppa. Hal ini mengindikasikan bahwa phronima suppa telah dapat diproduksi secara berkesinambungan dengan pemberian kombinasi fitoplankton jenis Chlorella sp dan Chaetoceros sp. Hal ini membuka peluang diproduksinya phronima suppa sebagai pengganti Artemia salina untuk keperluan operasional panti pembenihan dan budidaya tambak. Kehidupan phronima suppa sangat dipengaruhi oleh kualitas media. Hal ini sejalan dengan pernyataan Boyd dan Clay (1998) dan Odum (1971) bahwa kehidupan organisme perairan sangat dipengaruhi oleh faktor fisika dan kimia perairan.
4. Pendapatan
Pada Tabel 3 disajikan biaya produksi dan penerimaan pada kedua kategori budidaya. Biaya operasional rata-rata pada tambak dengan aplikasi phronima suppa (A) sebesar Rp 3.122.222 lebih tinggi dibandingkan dengan biaya operasional rata-rata pada tambak tanpa aplikasi phronima suppa (B) yakni Rp 2.775.000. Nilai penerimaan dengan aplikasi phronima suppa lebih tinggi dibandingkan dengan tanpa aplikasi phronima. Demikian pula dengan hasil analisis R/C-rasio aplikasi phronima suppa (8,48) lebih tinggi dibandingkan tanpa aplikasi phronima suppa (2,35).

Tabel  3. Biaya dan Penerimaan pada Kedua Kelompok (A dan B)
No 
     Nama  Pembudidaya     Biaya  (Rp) 
          Penerimaan (Rp) 
            Udang      Bandeng           Jumlah (Rp) 
Apli kasi Phronima Suppa (A)                   
1      Baharuddin      2.800.000      22.090.000                22.090.000 
2      Ilyas      3.000.000      27.500.000                27.500.000 
3      Nurdin      4.300.000      34.240.000                34.240.000 
4      Darise      2.000.000      27.600.000                27.600.000 
5      Yusuf      5.000.000      40.150.000                40.150.000 
6      Bahri      4.000.000      40.660.000                40.660.000 
7      Ridwan      2.900.000      30.174.000                30.174.000 
8      Abd. Rahim      2.300.000      28.034.000                28.034.000 
9      Idris      1.800.000      16.050.000                16.050.000 
Juml ah      28.100.000      266.498.000                266.498.000 
Ratarata      3.122.222,22 ±      29.610.888,89±                29.610.888,89± 
          1.091.762,08      7.955.729,58                7.955.729,58 
Tanp a Aplikasi Phro nima Suppa (B)                   
10      Amir      1.200.000      3.210.000      280.000           3.490.000 
11      Syamsuddin      3.000.000      5.350.000      3.750.000           9.100.000 
12      Ramli      4.500.000      5.350.000      8.400.000           13.750.000 
13      Suardi      4.000.000      7.910.000      7.000.000           9.410.000 
14      Ahmadi      1.500.000      2.375.000      1.500.000           3.875.000 
15      Ambo Paro      3.500.000      11.000.000      6.000.000           17.000.000 
16      Odding      1.000.000      4.000.000      1.800.000           5.800.000 
17      Umar      3.500.000      10.000.000      2.000.000           12.000.000 
Jumlah      22.200.000      49.195.000      30.730.000           74.425.000 
Rata-rata      2.775.000,00±      6.149.375,00±      3.841.250,00±           9.303.125,00± 
          1.354.094,32      3.167.678,78      2.955.606,96           4.808.790,27 
Sumber: Hasil Pengolahan Data Primer,2014


Biaya produksi aplikasi phronima (A) yang lebih tinggi dipengaruhi oleh jumlah benur yang ditebar dan aplikasi pupuk yang lebih tinggi. Padat penebaran rata-rata pada perlakukan aplikasi phronima (A) sebanyak 18.555 ekor/ha lebih tinggi dibandingkan dengan tanpa aplikasi (B) yakni rata-rata sebanyak 14.687 ekor benur/ha dan rata-rata 1.962 ekor ikan bandeng/ha. Tingkat sintasan, produksi udang windu serta size udang windu yang dipanen lebih besar pada tambak dengan aplikasi phronima suppa (A) berpengaruh terhadap tingkat pendapatan dan keuntungan pembudidaya. Harga jual udang windu bervariasi berdasarkan ukuran (size). Pemberian phronima suppa menghasilkan udang windu berukuran relatif lebih besar (39,67 ekor/kg) dalam waktu 47 hari.


DAFTAR PUSTAKA

Boyd, C.E., and Clay, J.W., 1998. Shrimp aquaculture and the environment. Sci. Am., 278: 58–65.
Fattah, M.H. dan M. Saenong. 2008. Uji Pendahuluan Kultur Udang Suppa (Phronima sp). Laboratorium Lapang Akultur. Fakultas Perikanan dan Ilmu Kelautan, Universitas Muslim Indonesia (UMI), Makassar. 45 hal.
Fattah,M.H., M. Saenong, S.R. Busaeri, dan Saidah. 2009. Standarisasi Teknologi Produksi dan Kualitas Produk Budidaya Udang Windu (Penaeus monodon Fabricius) secara Organik Berdasarkan Ketentuan Pasar Uni Eropa Hibah Bersaing. 92 hal.
Fattah, M.H., M.Saenong, Asbar, dan S.R.Busaeri. 2010. Analisis Jenis dan Kelimpahan Plankton pada Habitat Endemik untuk Pendugaan
Penyediaan Pakan Phronima Suppa (Phronima sp). Ditlitabmas Dikti, Jakarta. 89 hal.
Nurdjana,     I.M. 2005. Membangun Kembali Sang Primadona. Makala Dipresentasikan pada Seminar Nasional Udang II di Bandung, 10 September 2005. Dirjen Perikanan Budidaya DKP, Jakarta.
Rukyani, A. 2000. Masalah Penyakit Udang dan Harapan Solusinya. Sarasehan Akuakultur Nasional, Bogor.

Monday, September 28, 2015

PROFESIONALISME DAN PERAN PENYULUH PERIKANAN DALAM PEMBANGUNAN PELAKU UTAMA PERIKANAN YANG BERDAYA

September 28, 2015 Posted by Media Penyuluhan Perikanan Pati No comments
Indonesia memiliki potensi sumberdaya kelautan dan perikanan sangat besar, dengan lautan mencapai 5,8 juta km2 yang terdiri dari perairan teritorial, perairan laut 12 mil dan perairan ZEE.  Indonesia juga memiliki 17.504 buah pulau dengan panjang garis pantai mencapai 104.000 km, luas hamparan budidaya yang lebih dari 15,59 juta hektar, serta luas perairan umum 5,4 juta hektar (sumber: http://kkp.go.id). 
Pada dasarnya negara kita menyimpan berbagai sumberdaya alam yang dapat dijadikan modal pembangunan nasional. Karena itu, berbagai kegiatan ekonomi yang berbasis kelautan dan perikanan dapat dikembangkan, dalam rangka membangun masyarakat Indonesia yang sejahtera. Dengan kondisi tersebut, seharusnya masyarakat Indonesia bisa hidup sejahtera, tetapi kenyataan menunjukkan bahwa kondisi masyarakat tersebut masih banyak yang hidup dalam kemiskinan. Perolehan hasil laut dan perikanan belum dapat melampaui target, ditambah masih seringnya terdengar kasus pencurian ikan oleh negara-negara asing, bahkan di antaranya menangkap ikan dengan peralatan yang berbahaya dan merusak lingkungan. 
Sumber daya alam kelautan dan perikanan Indonesia yang kaya raya itu belum dapat dikelola secara maksimal untuk kesejahteraan masyarakat kelautan dan perikanan. Dengan demikian diperlukan sumber daya manusia yang handal dan professional, yang dapat mengelola potensi sumber daya alam kelautan dan perikanan secara cerdas dan bertanggung jawab. 
Kegiatan penyuluhan perikanan diharapkan mampu menjadi salah satu katalisator dalam upaya mengerakkan sumberdaya manusia yang handal dan profesional sebagai modal dasar bagi pembangunan kelautan dan perikanan. Penyuluhan perikanan diselenggarakan oleh berbagai pihak dan dalam perkembangannya telah mengalami proses transformasi, dari penyuluhan yang berorientasi produksi kepada penyuluhan yang berorientasi bisnis perikanan dengan pendekatan partisipatif. 
PENGELOLAAN SUMBER DAYA DAN KAITANNYA DENGAN PENYULUHAN PERIKANAN
Dalam Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945 Pasal 25A, dan Pasal 33 ayat (3), dan ayat (4), diamanahkan beberapa kewajiban yang harus dilakukan pemerintah terkait penyelenggaraan penyuluhan, yakni:
-    Menjaga kelestarian wilayah laut, pesisir dan pulau-pulau kecil dan pengelolaan manfaatnya sebagai bagian dari sumber daya alam yang dianugerahkan oleh Tuhan Yang Maha Esa dan merupakan kekayaan untuk sebesar-besar kemakmuran rakyat, baik bagi generasi sekarang maupun bagi generasi yang akan datang.
-    Pengelolaan wilayah laut, pesisir dan pulau-pulau kecil secara berkelanjutan dan berwawasaan global, dengan memperhatikan aspirasi dan partisipasi masyarakat, dan tata nilai bangsa yang berdasarkan norma hukum sebagai  potensi sumber daya alam yang tinggi, dan sangat penting bagi pengembangan sosial, ekonomi, budaya, lingkungan, dan penyangga kedaulatan bangsa.
Penyuluhan perikanan merupakan bagian penting dalam peningkatan kualitas sumberdaya manusia kelautan dan perikanan, yaitu berperan dalam memberikan bimbingan dan pembinaan kepada pelaku utama, pelaku usaha dan masyarakat perikanan, sehingga meningkatkan wawasan, pengetahuan, keterampilan dan sikap dalam bidang kelautan dan perikanan, baik teknis maupun non teknis untuk pengembangan usaha di bidang kelautan dan perikanan. Pembangunan kelautan dan perikanan akan berhasil apabila adanya partisipasi dan sinergi antara segenap stakeholder di bidang kelautan dan perikanan.
SASARAN PENYULUHAN PERIKANAN
Dalam menjalankan tugas dan fungsi penyuluhan, sasaran utama kegiatan adalah para pelaku utama dan pelaku usaha perikanan. Dimana pelaku utama perikanan yang terdiri atas para nelayan, pembudidaya ikan, pengolah hasil perikanan, dan masyarakat lain yang berusaha di bidang perikanan. Sedangkan pelaku usaha perikanan adalah perorangan warga negara Indonesia atau badan hukum yang dibentuk menurut hukum Indonesia yang mengelola sebagian atau seluruh kegiatan usaha perikanan dari hulu sampai hilir (Permenpan Nomor: PER/19/M.PAN/10/2008, Pasal 1). Menurut data yang dikeluarkan oleh
Kementerian Kelautan dan Perikanan (KKP), pada tahun 2013 di Indonesia tercatat ada 2.835.700 orang nelayan, sebanyak 948.484 unit Rumah Tangga Perikanan (RTP) Tangkap, sebanyak 1.670.447 RTP Budidaya, dan sebanyak 13.471.356 orang tenaga kerja perikanan yang bekerja pada perikanan tangkap, perikanan budidaya, pengolahan dan pemasaran hasil perikanan (sumber: Kelautan dan Perikanan dalam Angka Tahun 2013).
FUNGSI DAN FOKUS KEGIATAN PENYULUHAN PERIKANAN
Fungsi sistem penyuluhan perikanan meliputi: (a) memfasilitasi proses pembelajaran pelaku utama dan pelaku usaha; (b) mengupayakan kemudahan akses pelaku utama dan pelaku usaha ke sumber informasi, teknologi, dan sumber daya lainnya agar mereka dapat mengembangkan usahanya; (c) meningkatkan kemampuan kepemimpinan, manajerial, dan kewirausahaan pelaku utama dan pelaku usaha; (d) membantu pelaku utama dan pelaku usaha dalam menumbuhkembangkan organisasinya menjadi organisasi ekonomi yang berdaya saing tinggi, produktif, menerapkan tata kelola berusaha yang baik, dan berkelanjutan; (e) membantu menganalisis dan memecahkan masalah serta merespon peluang dan tantangan yang dihadapi pelaku utama dan pelaku usaha dalam mengelola usaha; (f) menumbuhkan kesadaran pelaku utama dan pelaku usaha terhadap kelestarian fungsi lingkungan; dan (g) melembagakan nilai-nilai budaya pembangunan perikanan yang maju dan modern bagi pelaku utama secara berkelanjutan (Undang-Undang Nomor 16 Tahun 2006, Pasal 4).
Fokus kegiatan penyuluhan adalah pada pengembangan sumber daya manusia, sedangkan fokus sasarannya adalah pada pemberdayaan pelaku utama dan pelaku usaha serta sumber daya manusia lain yang mendukungnya. Hal ini sebagaimana disebutkan dalam Pasal 3, Undang-undang Sistem Penyuluhan Pertanian, Perikanan dan Kehutanan, bahwa tujuan pengaturan sistem penyuluhan meliputi:
a)    Pengembangan sumber daya manusia dan peningkatan modal sosial guna memperkuat pengembangan pertanian, perikanan dan kehutanan yang maju dan modern dalam sistem pembangunan yang berkelanjutan; 
b)    Memberdayakan pelaku utama dan pelaku usaha dalam peningkatan kemampuan melalui penciptaan iklim usaha yang kondusif, penumbuhan motivasi, pengembangan potensi, pemberian peluang, peningkatan kesadaran dan pendampingan serta fasilitasi. 
c)    Mengembangkan sumber daya manusia yang maju dan sejahtera, sebagai pelaku dan sasaran utama pembangunan pertanian, perikanan dan kehutanan.
Keberhasilan proses penyuluhan ditandai timbulnya partisipasi aktif dari pelaku utama dan pelaku usaha di bidang perikanan (masyarakat sasaran), sehingga dalam pengembangan penyuluhan ke depan harus diarahkan pada model yang berpusat pada manusia, dimana peran penyuluh dalam proses penyuluhan adalah sebagai relasi yang berorientasi pada masyarakat sasaran. Dalam pelaksanaannya sebuah proses penyuluhan harus dimulai dari pemahaman masyarakat terhadap potensi dan masalah yang dihadapinya, sehingga terdorong untuk mengupayakan pemecahan masalah melalui pengembangan semua potensi yang dimilikinya. Pada tahap inilah dimulai peran seorang penyuluh “untuk membantu peningkatan kesejahteraan masyarakat sasaran dari kegiatan usahanya”, dengan pola pikir yang coba dibangun adalah pengembangan komoditas yang dimilikinya melalui pemanfatan semua potensi sumberdaya yang ada, jadi peran seorang penyuluh adalah berupa fasilitasi, pengawalan, mobilisasi, pembentukan jaringan kerja dan kelembagaan pelaku utama dan pelaku usaha di bidang perikanan.
PROFESIONALISME DAN PERAN PENYULUH PERIKANAN
Sejalan dengan implementasi amanah UU No. 16/2006 tentang SP3K, maka guna memanfaatkan potensi sumberdaya kelautan dan perikanan Indonesia yang sangat besar bagi kemajuan, kemakmuran, dan kesejahteraan bangsa dan negara secara berkelanjutan diperlukan adanya SDM yang handal dan profesional. Penyuluh Perikanan memegang peranan penting dalam upaya pencapaian peningkatan kualitas Sumber Daya Manusia pelaku utama/ pelaku usaha sebagai mediator, motifator dan fasilitator. Dalam mewujudkan peran tersebut penyuluh harus memiliki kapasitas dan kompetensi yang tinggi dalam melaksanakan fungsi pembinaan dan pendampingan dalam menjalankan tugasnya. Dalam perjalanan mengemban tugas tersebut para penyuluh perlu memiliki dan meningkatkan berbagai pengalaman dalam membawa pesan dan mendiseminasikan teknologi kepada para pelaku utama, dengan filosofi menjadikan “Yang Tidak Tahu menjadi Tahu, Yang Tidak Mau menjadi Mau, dan Yang Tidak Mampu menjadi Mampu”.
Dengan terbitnya PermenPAN Nomor: PER/19/M.PAN/10/2008 tentang Jabatan Fungsional Penyuluh Perikanan dan Angka Kreditnya, maka status dan posisi Penyuluh Perikanan sudah memiliki kejelasan karier dan keberadaannya, yang dapat berdampak pada kinerja seorang penyuluh. Penyuluh Perikanan bukan lagi menjadi bagian dari Penyuluh Pertanian, sehingga diharapkan tidak ada lagi penyuluh yang menjalankan fungsi generalisasi keilmuan (polivalen) daripada spesialisasi keilmuan. Untuk menangani penyuluhan di bidang kelautan dan perikanan memiliki perbedaan dengan bidang pertanian, antara lain: (1) Secara geografis, negara Indonesia merupakan negara kepulauan dan negara bahari yang dua pertiga wilayahnya terdiri dari perairan; (2) Secara alamiah, sifat, karakteristik, dan bentuk kegiatannya sangat spesifik dengan ketergantungan tinggi terhadap musim dan iklim, sehingga usahanya menjadi sangat beresiko; (3) Secara sosial dan ekonomi, sifat, karakteristik, dan pola hidup para pelaku utama berbeda dengan pola hidup petani/pekebun; (4) Penanganan aspek perikanan tidak dapat dipisahkan dari aspek kelautan; (5) Secara keilmuan, eksistensi ilmu kelautan dan perikanan merupakan kecabangan ilmu yang mandiri, termasuk penyuluhan perikanan; (6) Secara kelembagaan, selama 2 periode kabinet dan rencana UU kementerian/departemen ke depan, terdapat departemen yang khusus mengemban tugas dan fungsi menangani kelautan dan perikanan, termasuk penyuluhannya, yaitu Departemen Kelautan dan Perikanan; (7) Secara legislasi, didukung keberadaan UU No.31/2004 tentang Perikanan. Kondisi tersebut secara intern merupakan sebuah justifikasi bahwa penyuluhan kelautan dan perikanan harus ditangani secara khusus, tersendiri, dan mandiri. Peningkatan kapasitas para penyuluh perikanan harus dilakukan secara terus menerus dan sistematis agar dapat menjadi konsultan dan mitra sejati para pelaku utama dan pelaku usaha di bidang perikanan.
Profesional mempunyai makna berhubungan dengan profesi dan memerlukan kepandaian khusus untuk menjalankannya, sedangkan profesionalisme bermakna mutu, kualitas, dan tindak tanduk yang merupakan ciri suatu profesi atau orang yang profesional. Sehingga seorang Penyuluh Perikanan profesional haruslah menjadi AHLI PENYULUHAN dan SPESIALISASI DIBIDANG PERIKANAN. Hal ini mempunyai arti bahwa setiap Penyuluh Perikanan harus sadar dengan tugas dan fungsinya sebagai penyuluh dan bertanggung jawab terhadap pekerjaannya, serta selalu meningkatkan keterampilannya dalam bekerja dan dalam menghadapi persaingan. Pasal 3 Undang-Undang Nomor 31 Tahun 2004 tentang Perikanan, secara tegas mengemukakan bahwa pembangunan perikanan diarahkan untuk sembilan aspek berikut: 1)meningkatkan taraf hidup nelayan kecil dan pembudidaya ikan kecil; 2)meningkatkan penerimaan dan devisa negara; 3)mendorong perluasan dan kesempatan kerja; 4)meningkatkan ketersediaan dan konsumsi sumber protein hewani; 5)mengoptimalkan pengelolaan sumberdaya ikan; 6)meningkatkan produktivitas, mutu, nilai tambah dan daya saing; 7)meningkatkan ketersediaan bahan baku untuk industri pengolahan ikan; 8)mencapai pemanfaatan sumber daya ikan, lahan pembudidayaan ikan, dan lingkungan sumber daya ikan secara optimal; dan 9)menjamin kelestarian sumber daya ikan, lahan pembudidayaan ikan dan tata ruang. Dengan demikian orientasi penyuluhan perikanan seyogyanya dapat meramu ke-9 hal tersebut.
Kompetensi penyuluh menjadi sangat penting untuk selalu disesuaikan dengan tuntutan masyarakat dan tantangan zaman. Hal ini tidak berarti penyuluh harus serba bisa (polivalen), tetapi penyuluh yang diharapkan adalah penyuluh yang dapat berperan sebagai fasilitator bagi transformasi yang diharapkan masyarakat dan pelaku utama. Pelaku utama sangat berharap figur penyuluh yang berani, jujur, terbuka dan kreatif. Berani dalam mengambil langkah yang tepat dan cepat, jujur akan kelebihan dan kekurangan diri, terbuka dalam arti dapat bekerja sama dengan berbagai pihak, dan kreatif dalam arti mampu berinovasi dan mengembangkan berbagai modifikasi atas teknologi yang sudah ada. Sejalan dengan itu, penyuluh harus dapat mengembangkan suasana pembelajaran yang kondusif dan harus mampu memberi contoh (kewirausahaan), memberi semangat, dan memandirikan pelaku utama. Penyuluh juga harus mampu mengembangkan jaringan kerja sama dengan berbagai kalangan, baik swasta maupun pemerintah, baik untuk keperluan konsultasi maupun distribusi hasil perikanan, dan lain sebagainya.
Kompleksitas masalah di bidang kelautan dan perikanan memerlukan koordinasi dan sinkronisasi lintas sektoral. Penyuluh yang kompeten dengan keahlian yang handal sebagai penggerak pembaharuan dan mitra sejajar bagi pelaku utama sangat diperlukan. Peran penyuluh hendaknya tidak semata untuk mengejar pertumbuhan (produksi), namun yang lebih diprioritaskan adalah aspek penyadaran pelaku utama, pengembangan kapasitas dan motivasi pelaku utama untuk mewujudkan tata kehidupan yang lebih bermartabat melalui penerapan usaha perikanan yang berkelanjutan. Pemahaman keberlanjutan pengelolaan usaha perikanan meliputi dimensi sosial, ekonomi, lingkungan, dan pengembangan teknologi yang tepat secara berkelanjutan.
DAFTAR PUSTAKA
Oleh : Fahrur Rozi
Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945.
Undang-Undang Nomor 27 Tahun 2007 tentang Pengelolaan Wilayah Pesisir dan Pulau-
Pulau Kecil.
Undang-Undang Nomor 31 Tahun 2004 jo. UU Nomor 41 Tahun 2009 tentang Perikanan.
Undang-Undang Nomor 16 Tahun 2006 tentang Sistem Penyuluhan Pertanian, Perikanan dan Kehutanan.
Peraturan Menteri Negara Pendayagunaan Aparatur Negara Nomor: PER/19/M.PAN/10/2008 tentang Jabatan Fungsional Penyuluh Perikanan dan Angka Kreditnya.

Saturday, September 26, 2015

MENINGKATKAN KETAHANAN PANGAN DENGAN MINA PADI

September 26, 2015 Posted by Media Penyuluhan Perikanan Pati No comments
PENDAHULUAN.
Mina padi adalah suatu usaha memelihara ikan di sawah bersama-sama dengan tananam padi.  sehingga mina padi merupakan usaha intensifikasi pertanian, karena pada petak sawah yang sama yaitu  usaha tani pada satu tempat dapat ditingkatkan hasilnya yasng berupa padi dan ikan sekaligus.
Apalagi bila pada pematang atau galengan sawah itu  ditanami sayuran, tentu akan lebih menguntungkan lagi, sebab kita dapat memungut tiga macam sekaligus yaitu hasil padi, ikan dan sayuran dalam satu musim.  Maka dari itu  perlulah kiranya usaha mina padi dan tanaman sayuran di pematang sawah ini dikembangkan.
PERSYARATAN SAWAH YANG BAIK UNTUK MINA PADI
• Mina padi baik dilaksanakan disawah dengan  pengairan yang lancar sepanjang waktu pemeliharaan ikan.
• Sawah harus subur, tidak poreus dan bebas banjir/ banjir bisa disiasati dengan tanam maju
• Merupakan komplek yang luas misalnya minimum 1 Ha, hal ini untuk mempermudah  pengawasan  serta pemeliharaan bersama, serta  mengurangi intensitas serangan hama penyakit.
• Letak sawah melandai agar pengaturan air nya mudah
• Sebaiknya letak sawah dekat dari perkampungan agar pengawasan dapat lebih terjamin.
PERSIAPAN PELAKSANAAN.
Ø Dalam bertanam padi, laksanakanlah  teknik sapta usaha tani dengan baik
Ø Persiapan untuk pemeliharaan ikan;
§ Pematang sawah dibuat lebih kuat dan bebas dari kebocoran. Tinggi pematang paling tidak 25 cm, lebar dasar pematang 50 cm, dan lebar bagian atas 25 cm
§ Pasanglah potongan bambu untuk pintu pemasukan dan pintu pengeluaran air  pada petakan sawah. Pintu air harus  diberi saringan  agar ikan-ikan  tidak dapat keluar atau melarikan diri
§ Buatlah saluran pada petakan sawah, saluran dapat dibuat  mengelilingi petakan sawah, melintang  atau membujur petakan sawah
Lebar saluran air  40-60 cm  dan dalamnya 3-40 cm. pada salah satu ujung saluran  dibuat kolam kecil untuk  mempermudah penangkapan ikan.
Ø Tanam padi
§ Sebarkan pupuk dasar sehari sebelum tanam padi
§ Tanamlah dengan larikan yang rapi setelah bibt padi berumur 3 minggu
Ø Tanaman Sayuran
§ Kacang panjang ditanam di pematang  sawah dengan jarak tanam 40-50 cm dan setiap lubang tanam di isi 3 biji kacang. Bila tanaman kacang panjang telah  menjalar, buatkanlah lanjaran  setinggi 1,5 meter dan dilengkapi dua baris tali  memanjang yang menghubungkan lanjaran  satu dengan lanjaran lainnya.
PENEBARAN BENIH IKAN
• Jenis-jenis ikan yang dapat dipelihara disawah antara lain, ikan mas, ikan Tawes, ikan nila, karper serta ikan mujair.
• Penebaran benih ikan dilakukan pada waktu  pagi hari atau sore hari.
Usaha pendederan benih ikan.
o Penebaran terdiri atas benih ikan kebul ukuran 1-3 cm dipelihara sampai menjadi benih putihan ukuran 3-6 cm, atau ngaramo ukuran 5-8 cm. Padat penebaran 40-60 ribu ekor per hektar.
o Bersamaan dengan penebaran benih kebul ini, juga ditebarkan benih putihan sebanyak 2000 - 3000 ekor/hektar. Untuk membantu ikan-ikan kecil dalam menggali atau mencari makanan.
o Dalam satu musim tanam padi, dapat dilakukan dua kali usaha pendederan benih ikan. Pertama Penebaran dilakukan 6 hari  setelah padi ditanam, dan dipanen  pada saat penyiangan pertama. Yang kedua Penebaran dilakukan 3-4 hari setelah penyiangan pertamaa,  dan dipanen pada saat penyiangan kedua.
Usahya memperoleh ikan konsumsi
o Penebaran ikan dilakukan  5-7 hari  setelah padi ditanam. Ukuran benih ikan 2-3 cm dengan padat penebaran +3000 ekor/hektar. Dalam pemeliharaan selama 90 hari, ikan telah mencapai berat  +60 gram/ekor
o Penebaran ikan dilakukan setelah penyiangan kedua. Ukuran yang ditebarkan 5-8 cm dengan padat penebaran 1500-2000 ekor/ hektar. Dalam waktu pemeliharaan  selama 60 hari, ikan telah mencapai berat     + 40 gram/ekor
PEMELIHARAAN
Ø Selama pemeliharaan , air sawah harus  selalu dikontrol , jangan sampai berlebihan atau kekurangan.  Perhatikan adanya kebocoran pada pematang sawah.
Ø Pada penebaran ikan yang dilakukan  beberapa hari setelah padi ditanam. Pengaturan air disesuaikan dengan pertmbuhan tanaman. Mula-mula kedalaman air cukup 2 cm, kemudian setelah satu minggu  dinaikkan sedikit demi sedeikit  hingga mencapai kedalaman 5 cm.
Sedangkan pada penebaran yang dilakukan setelah penyiangan  pertama, sawah harus dikeringkaan  dahulu selama 3 hari, kemudian diairi sedalam 5 cm. Setelah seminggu  air dinaikkan hingga menjadi 10 cm
Ø Lakukanlah penyiangan dan pemupukan susulan pada tanaman padi.
Ø Agar ikan ikan tidak terganggu , maka penyiangan dilakukan  secara  bertahap. Tahap pertama penyiangan  pada petakan sawah bagian kiri saluran air, tahap berikutnya penyiangan pada  petakan sebelah kana saluran air. Dengan demikian  maka ikan-ikan  dapat berpindah ke air yang jernih.
Ø Untuk mencegah adanya serangan hama dan penyakit tanaman padi, maka dilakukan penyemprotan menggunakan obat obatan yang dianjurkan dengan dosis yang tepat, hal ini agar lebih aman, ikan-ikan ditampung dahulu ditempat penampungan dan setelah kurang lebih 10 hari baru dilepaskan  lagi kesawah.
HASIL DARI MINA  PADI
o Kacang panjang sudah dapat dipetik hasilnya pada umur 40 hari setelah tanam hingga menjelang panen padi
o Dalam satu musim tanam padi dapat memungut ikan  1-2 kali. Ikan tersebut untuk dikonsumsi atau berupa benih hasil usaha pendederan.
o Menurut pengalaman, ternyata usaha mina padi tidak mengurangi  hasil padinya bahkan produksi padinya dapat meningkat 3-10 persen, karena dengan  mina padi maka akan diperoleh sebagai berikut;
- Petani akan lebih rajin mengawasi usaha taninya
- Kotoran ikan merupakan pupuk bagi tanaman padi
- Ikan dalam mencari makanan  membolak balik lumpur sehingga dapat memperbaiki struktur tanah
- Ikan karper atau ikan mas akan membantu memakan binatang-binatang kecil yang merupakan hama tanaman padi.
PENUTUP
Tenyata menanam padi dengan penerapan sapta usaha tani, memelihara ikan bersama tanaman padi serta menanami galengan sawah dengan tanaman sayuran akan memberikan keuntungan ganda bagi petani, sehingga usaha mina padi ini perlu dikembangkan lebih lanjut guna meningkatkan tingkat kesejahteraan petani.
Demikian  teknologi  budidaya mina padi semoga dapat bermanfaat bagi yang memerlukannya (m.syah)

Friday, September 25, 2015

TEMU KIPRAH (TEMU KOMUNIKASI, INFORMASI DAN PRAKTEK PEMECAHAN MASALAH) PENYULUH PERIKANAN

September 25, 2015 Posted by Media Penyuluhan Perikanan Pati No comments
PENDAHULUAN
A. Latar Belakang
Modul ini disusun untuk membantu Penyuluh Perikanan dalam melaksanakan kegiatan Temu Komunikasi, Informasi dan Praktek Pemecahan Masalah (Temu KIPRAH) sebagai salah satu metoda atau pendekatan dalam meningkatkan kapasitas sumberdaya manusia perikanan. Penyuluh perikanan berperan dalam memberikan informasi/bimbingan kepada masyarakat, sehingga mampu meningkatkan wawasan dan pengetahuan dalam bidang perikanan, baik pengetahuan teknis maupun pengembangan usaha di bidang perikanan.
B. Deskripsi Singkat
Temu KIPRAH adalah suatu pertemuan pejabat fungsional Kementerian Kelautan dan Perikanan (peneliti/litkayasa, perekayasa, widiyaswara, instruktur, guru dan dosen), pemangku kepentingan dengan kelompok pelaku utama dan pelaku usaha yang didampingi oleh penyuluh perikanan untuk mengidentifikasi, merumuskan dan memecahkan masalah penerapan teknologi perikanan yang dihadapi pelaku utama dan pelaku usaha untuk meningkatkan produksi yang dilakukan secara partisipasif melalui praktek langsung di lahan usaha.
Ruang lingkup modul terdiri atas Bab Pendahuluan, Materi Pokok, Penutup,, dan Daftar Pustaka. Materi pokok terdiri atas beberapa materi 2 pokok, masing-masing materi pokok tersusun atas judul, indikator keberhasilan, uraian dan contoh (termasuk sub materi pokok), Rangkuman, Evaluasi Materi Pokok, dan Tindak Lanjut.
Temu KIPRAH yang akan dibahas dalam modul ini mencakup identifikasi potensi dan kondisi faktual wilayah, pengembangan komoditas dan karakteristik permasalahan teknologi, upaya penyelesaiannya, dan tindak lanjut yang dilakukan dengan pendekatan partisipatif.
C. Tujuan Pembelajaran
1. Kompetensi Dasar
Kompetensi dasar yang harus dimiliki oleh Penyuluh Perikanan adalah menguasai tugas sebagai seorang Penyuluh, terutama dalam hal metoda dan teknik penyuluhan perikanan, mampu bekerja secara tim, memiliki jejaring kerja, dan mampu menggerakkan masyarakat binaannya.
2. Indikator keberhasilan
Indikator keberhasilan penyuluhan dalam Temu KIPRAH adalah apabila penyuluh perikanan dan pelaku utama mampu menemukenali dan merumuskan faktor keadaan, menentukan permasalahan teknologi, menentukan tujuan pemecahan masalah teknologi, dan melaksanakan bersama masyarakat, peneliti/perekayasa (sumber teknologi), guru/dosen dalam menyelesaikan permasalahan yang dihadapi oleh para pelaku utama, uji coba teknologi selam satu siklus, komunikasi antar jejaring kerja, serta ada keberlanjutannya.
D. Materi Pokok dan Sub Materi Pokok
Materi Pokok Temu KIPRAH terdiri atas 2 materi, yaitu: Temu KIPRAH, dan Penerapan Participatory Rural Appaisal (PRA). 4 Setelah mempelajari materi ini, Penyuluh Perikanan mampu menerapkan Temu Komunikasi, Informasi dan Praktek Pemecahan Masalah (Temu KIPRAH).
TEMU KOMUNIKASI, INFORMASI, DAN PRAKTEK PEMECAHAN MASALAH (TEMU KIPRAH)
1. Pengertian
Temu KIPRAH adalah suatu pertemuan pejabat fungsional Kementerian Kelautan dan Perikanan (peneliti/litkayasa, perekayasa, widiyaswara, instruktur, guru dan dosen), pemangku kepentingan dengan kelompok pelaku utama dan pelaku usaha yang didampingi oleh penyuluh perikanan untuk mengidentifikasi, merumuskan dan memecahkan masalah penerapan teknologi perikanan yang dihadapi pelaku utama dan pelaku usaha untuk meningkatkan produksi yang dilakukan secara partisipasif melalui praktek langsung di lahan usaha.
2. Tujuan
Tujuan Pembelajaran Umum, yakni:
Penyuluh Perikanan mampu menerapkan Temu KIPRAH, yakni mengidentifikasi, merumuskan dan memecahkan masalah penerapan teknologi perikanan yang dihadapi pelaku utama dan pelaku usaha untuk meningkatkan produksi yang dilakukan secara partisipasif melalui praktek langsung di lahan usaha.
Tujuan Pembelajaran Khusus, yakni:
1. Meningkatkan pemahaman pengguna dalam penerapan teknologi,
2. Mempercepat proses penetrasi teknologi kepada pengguna,
3. Memenuhi kebutuhan teknologi yang sesuai dengan masalah yang sedang dihadapi pengguna
3. Metode pelaksanaan
1. Perencanaan
a. Tim Pelaksana
1) Penetapan Tim Pelaksana
Penetapan Tim Pelaksana dilakukan oleh pimpinan instansi yang membidangi kelautan dan perikanan. Tim pelaksana terdiri dari unsur dinas kabupaten/kota yang membidangi kelautan dan perikanan dan penyuluh perikanan.
2) Tugas Pelaksana adalah:
a) Menetapkan Tim Identifikasi untuk menggali permasalahan teknologi perikanan di pelaku utama (metode identifikasi masalah yang digunakan dalam kegiatan temu KIPRAH adalah metode participatory rural appraisal (PRA) sederhana). Tim Identifikasi terdiri dari: unsur dinas, penyuluh perikanan dan pelaku utama (jumlah tim identifikasi maksimal 5 orang). Tim membuat laporan hasil identifikasi.
b) Menetapkan komoditas;
c) Menetapkan calon lokasi;
d) Menetapkan lokasi definitif;
e) Menetapkan peserta;
f) Menetapkan masalah komponen teknologi;
g) Menetapkan Tim Ahli.
b. Penetapan Peserta
1) Kepesertaan
Kepesertaan merupakan kunci keberhasilan dalam Temu KIPRAH. Peserta temu KIPRAH adalah pelaku utama yang ditetapkan pada saat identifikasi.
2) Syarat Peserta :
a) Kontak pelaku utama menghadapi masalah usaha dan atau mengembangkan cabang usaha komoditas yang dijadikan topik utama Temu KIPRAH dan tokoh masyarakat di wilayahnya; serta
b) Mempunyai kemampuan dan bersedia mendiseminasikan teknologi di wilayahnya,
3) Jumlah Peserta
a) Jumlah peserta maksimum 30 orang
b) Peserta merupakan perwakilan kelompok
c) Pada saat pemanggilan peserta, lampirkan buku panduan pelaksanaan temu KIPRAH agar peserta dapat menyiapkan diri sebaik-baiknya.
c. Penetapan Lokasi
Penetapan lokasi dan topik/komoditas
1) Agar lebih mudah dan terarah, tetapkan komoditas yang akan dijadikan sebagai topik pertemuan
2) Konsultasikan kepada Dinas Kelautan dan Perikanan (KP) tingkat propinsi untuk mendapatkan informasi wilayah/kabupaten yang memang diprogramkan untuk pengembangan komoditas dimaksud. Minimal 2 wilayah/kabupaten pengembangan.
3) Konsultasikan kepada Dinas KP tingkat kabupaten yang ditetapkan di tingkat propinsi itu untuk mendapatkan wilayah/ kecamatan/desa yang dijadikan program pengembangan komoditas tersebut dimasing-masing kabupaten terpilih itu minimal 2 kecamatan setiap 2 desa.
d. Penetapan Materi dan Tim Ahli
a) Penyiapan materi dan tim ahli
1) Berdasarkan hasil identifikasi masalah, telusuri dan tetapkan komponen-komponen teknologi. Teknologi yang ditetapkan harus sudah matang dan secara teknis lebih baik dari teknologi yang sudah diterapkan pelaku utama serta secara ekonomis lebih efisien;
2) Penetapan materi akan lebih baik bila teknologi dimaksud merupakan hasil rakitan yang sudah di uji adaptasi, dan hasil penelitian yang sudah direkomendasikan. Tidak menutup kemungkinan teknologi dari sumber institusi lain;
3) Tim ahli ditetapkan berdasarkan komponen teknologi yang telah ditetapkan; 1 komponen teknologi 1 ahlinya;
4) Sebagai tim ahli adalah pejabat fungsional UPT KKP (peneliti/litkayasa, perekayasa, widyaiswara, guru, instruktur, dosen);
5) Bila bekerjasama dengan Balai Riset/Litbang Non KKP atau institusi lain, maka libatkan sejak merumuskan teknologi yang akan didiseminasikan;
6) Output kegiatan ini adalah:
a) Paket teknologi yang akan didiseminasikan; dan
b) Tim ahli yang bertanggungjawab dalam pelaksanaan kegiatan di lapangan.
e. Perumusan Rencana Evaluasi
Tim pelaksana dan fasilitator merumuskan rencana evaluasi yang difokuskan pada kesiapan pelaksanaan, proses transaksi dan penyelesaian transaksi. 9
f. Pembiayaan
Pemerintah/pemerintah daerah menyiapkan secara matang penyelenggaraan temu KIPRAH, termasuk pembiayaannya.
2. Pelaksanaan
a. Persiapan Pelaksanaan
1) Persiapan Pelaksanaan
Tim pelaksana melakukan koordinasi dengan dinas/instransi kabupaten/kota yang membidangi kelautan dan perikanan untuk penyiapan administrasi pelaksanaan kegiatan, penyiapan dimaksud meliputi :
a) Pemanggilan peserta dilakukan oleh dinas tingkat kabupaten. Pemanggilan peserta dilakukan 14 (empat belas hari) sebelum pelaksanaan, untuk menjamin kesiapan peserta.
b) Tim pelaksana menyiapkan tempat utama pertemuan (bisa balai desa, ruang lain dengan kapasitas yang memadai) dan sarana lainya secara baik. Tempat pertemuan harus berada pada lokasi usaha praktek pelaku utama untuk memudahkan mobilisasi peserta,
c) Kegiatan Temu KIPRAH dilaksanakan 3-5 hari,
d) Tim Pelaksana memperbanyakan modul diseminasi sesuai dengan jumlah peserta.
e) Output kegiatan ini adalah kesiapan pelaksanaan kegiatan sesuai dengan hari yang telah ditetapkan.
2) Penetapan fasilitator
Fasilitator adalah orang yang ditugaskan sebagai pemandu dalam pelaksanaan kegiatan. Fasilitator harus mempunyai kemampuan komunikasi yang baik. Sebagai fasilitator dapat ditunjuk pejabat struktural, pejabat fungsional ataupun pakar komunikasi. Kemampuan fasilitator sangat menentukan keberhasilan proses temu usaha.
3) Penyiapan Penyelenggaraan
Kesiapan semua komponen akan menentukan keberhasilan temu KIPRAH terutama dalam proses praktek pemecahan masalah, demikian juga kesiapan tim pelaksana dan fasilitator. Karena itu perlu disiapkan penyelenggaraan sebaik-baiknya dengan cara :
a) Tim Pelaksana menginventarisasi kesiapan hadir baik peserta maupun narasumber/fasilitator,
b) Tim pelaksana melakukan koordinasi dengan pihak terkait untuk menjamin kesiapan pelaksanaan kegiatan
c) Adanya pernyataan tertulis tentang kesediaan peserta dan fasilitator untuk berpartisipasi dalam temu KIPRAH setelah menerima surat undangan.
d) Narasumber menyiapkan modul diseminasi tekonologi maksimal 10 lembar.
e) Tim pelaksana menyiapkan tempat penyelenggaraan temu KIPRAH berikut fasilitas pendukungnya secara baik.
f) Tim pelaksana menyiapkan bahan praktek sesuai dengan kebutuhan.
b. Tahapan Pelaksanaan
1) Pelaksanaan kegiatan dilakukan melalui 2 tahapan kegiatan sesuai dengan materi yang telah disiapkan. Tahap pertama, yaitu mengkomunikasikan dan menginformasikan substansi/ materi teknologi dan tahap kedua, mempraktekkan penerapan teknologi.
2) Fasilitator menciptakan suasana kondusif, dinamis melalui kegiatan dinamika kelompok untuk mempererat hubungan antar peserta dan antar peserta dengan fasilitator.
3) Tim pelaksana melakukan pre test untuk mengetahui wawasan/ pengetahuan peserta terhadap substansi yang akan dibicarakan.
4) Penyampaian substansi materi teknologi dilakukan berdasarkan sesi (satu sesi satu materi) yang disampaikan secara sistematis.
5) Pembelajaran dilakukan sesuai dengan tahapan yang telah disiapkan dalam modul diseminasi.
6) Libatkan secara aktif peserta pada setiap tahapan pembelajaran
7) Fasilitator menyampaikan pengulangan-pengulangan hal-hal penting dalam pembelajaran untuk penajaman pemahaman peserta.
8) Fasilitator dapat menggunakan benda-benda sesungguhnya untuk lebih meningkatkan pemahaman peserta,
9) Pembelajaran praktek dilakukan sesuai dengan tahapannya untuk setiap substansi komponen teknologi. Upayakan seluruh peserta atau paling tidak ada 2 peserta setiap perwakilan wilayah melakukan praktek secara langsung.
10)Tim pelaksana melakukan post test untuk mengetahui untuk tingkat perubahan wawasan/pengetahuan peserta setelah pembelajaran.
11)Pelaksanaan kegiatan diakhiri dengan penyusunan rencana tindak lanjut oleh pelaku utama yang didampingi oleh penyuluh perikanan dan peneliti.
c. Rencana Tindak Lanjut
Rencana tindak lanjut Temu KIPRAH dibuat secara tetulis yang meliputi:
1) Perencanaan penerapan teknologi perikanan di unit produksi yang didampingi oleh penyuluh perikanan sesuai dengan rumusan hasil temu KIPRAH,
2) Menyusun rencana kebutuhan biaya rencana penerapan teknologi. Seluruh biaya yang dikeluarkan untuk rencana tindak lanjut dibebankan kepada pemerintah daerah,
3) Melaksanakan demonstrasi cara/hasil di unit produksi didampingi oleh penyuluh perikanan,
4) Melaporkan hasil demonstrasi cara/hasil penerapan teknologi perikanan. Laporan disusun dengan bahasa yang jelas, logis, dan sistematis serta menggambarkan pelaksanaan Temu KIPRAH. Laporan di buat oleh tim pelaksana dan disampaikan kepada pejabat yang berwenang memberikan tugas untuk melaksanakan Temu KIPRAH paling lambat dua (2) minggu setelah pelaksanaan. Untuk mendukung isi dan materi laporan perlu dilengkapi dengan dokumentasi.
3. Evaluasi dan Bimbingan Lanjutan
a. Evaluasi
1) Evaluasi pelaksanaan difokuskan pada kesiapan pelaksanaan, pelaksanaan dan rencana tindak lanjut;
2) Evaluasi perkembangan dilakukan untuk mengetahui sejauh mana substansi Temu KIPRAH bermanfaat untuk memecahkan masalah yang dihadapi saat identifikasi dilakukan serta mengetahui penetrasi teknologi kepada pelaku utama yang dilakukan oleh peserta serta menggali umpan balik terhadap kinerja teknologi yang telah didiseminasikan; dan
3) Evaluasi perkembangan dilaksanakan secara periodik dan berkesinambungan. Tahap pertama, evaluasi dilakukan minimal 3 bulan setelah kegiatan Temu KIPRAH dan tahap berikutnya setiap 6 bulan sekali. Evaluasi perkembangan cukup dilakukan 3 kali.
b. Bimbingan Lanjutan
Bimbingan lanjutan diperlukan dalam rangka penerapan rumusan teknologi hasil temu KIPRAH yang dilakukan oleh penyuluh perikanan.
4. Manfaat
1. Diketahuinya inovasi teknologi (hasil penelitian dan hasil percontohan yang telah direkomendasi),
2. Adanya informasi untuk penyempurnaan teknologi yang direkomendasikan,
3. Kemudahan untuk mendapatkan informasi teknologi dan umpan balik,
4. Kinerja kegiatan penyuluhan perikanan efektif
RANGKUMAN
Temu KIPRAH adalah suatu pertemuan pejabat fungsional Kementerian Kelautan dan Perikanan (peneliti/litkayasa, perekayasa, widiyaswara, instruktur, guru dan dosen), pemangku kepentingan dengan kelompok pelaku utama dan pelaku usaha yang didampingi oleh penyuluh perikanan untuk mengidentifikasi, merumuskan dan memecahkan masalah penerapan teknologi perikanan yang dihadapi pelaku utama dan pelaku usaha untuk meningkatkan produksi yang dilakukan secara partisipasif melalui praktek langsung di lahan usaha. 16 Setelah mempelajari materi ini, Penyuluh Perikanan mampu mengetahui dan menerapkan Particaipatory Rural Appraisal (PRA) dalam Temu KIPRAH.
PENERAPAN PARTICIPATORY RURAL APPRAISAL (PRA) DALAM TEMU KIPRAH
Identifikasi dan Analisa Potensi Wilayah
Tujuan dari kegiatan ini adalah untuk mengetahui kondisi potensi perikanan yang terdiri sumberdaya alam, sumberdaya manusia dan sumberdaya penunjang yang mempengaruhi pra-produksi, produksi, pasca produksi sampai pemasaran pada kelompok masyarakat sasaran program pada tingkat kelompok pelaku utama, termasuk masalah yang dihadapi, potensi yang dimiliki yang bisa digunakan untuk pemberdayaan dan peningkatan kesejahteraan masyarakat.
Teknik dan alat analisa yang digunakan dalam identifikasi dan analisa potensi wilayah, antara lain:
§ Informasi dasar dan latar belakang desa/wilayah/kawasan.
§ Teknik-teknik PRA.
§ Analisa pohon masalah dan pohon tujuan.
§ Analisa penentuan skala prioritas kegiatan Pemberdayaan Masyarakat.
Peran masyarakat sebagai faktor utama dalam memberdayakan dirinya sangat penting pada tahap analisa dan interpretasi serta membahas perbaikan kegiatan ini, karena mereka lebih paham untuk menjawab pertanyaan ”mengapa demikian” dan bagaimana memperbaikinya”.
Secara garis besar Proses Umum Penerapan Pra untuk Penjajagan Kebutuhan dan Perecanaan Kegiatan/Program dapat dilihat pada bagan berikut: 18 PERSIAPAN PENGKAJIAN DESA (PRA) PELAKSANAAN PENGKAJIAN DESA Oleh Tim PRA TINDAK LANJUT PENERAPAN PRA Pleno Desa, dan Tim PRA sebagai Pemandu EVALUASI KEGIATAN PRA SARAN – SARAN PENYESUAIAN KEGIATAN PROGRAM LEMBAGA PENGKAJIAN LAPORAN PENGKAJIAN DAN PERENCANAAN KEGIATAN DESA EVALUASI KEGIATAN PRA BERSAMA MASYARAKAT Oleh tim PRA terdiri dari staf Badan/Dinas Perikanan, Lembaga Masyarakat, Lembaga Mitra Oleh Tim PRA sebagai Penyaji Pleno Desa dan Tim PRA sebagai Pemandu PENYUSUNAN RENCANA KEGIATAN DESA Diskusi Kelompok Pelaku Utama dan Tim PRA sebagai Pemandu Pengorganisasian & Pelaksanaan Kegiatan Program oleh Masyarakat bersama Pendamping Monitoring Program secara Partisipatif Evaluasi Program secara Partisipatif
a. Tujuan
Tujuan dari kegiatan ini adalah untuk mengetahui informasi dasar dan latar belakang desa/wilayah/kawasan
b. Bahan
Kertas panel/Koran dan alat tulis (spidol)
c. Hal-hal yang perlu dipersiapkan
Sebelum pertemuan, kumpulkan informasi dan data-data dari instansi terkait seperti desa, kecamatan, dinas yang membidangi kelautan dan perikanan, dan penyuluh perikanan perikanan.
d. Metode
Diskusi kelompok, penyampaian gagasan, dan dialog terbimbing.
e. Data Sekunder
Data potensi desa, keterangan penyuluh perikanan, data dari dinas yang membidangi kelautan dan perikanan, data dari BPS dan sumber data lain yang relevan.
f. Narasumber
Penyuluh perikanan, aparat desa, petugas instansi terkait lainnya, PKK, dan lain-lain.
g. Materi
Sebagai acuan dalam perencanaan dan penilaian dampak program, sangat penting diketahui informasi mengenai kondisi dasar wilayah 20
sasaran (intervensi) program. Informasi yang perlu digali antara lain sebagai berikut:
Jenis Data dan Informasi Yang Dibutuhkan Jenis informasi
Rincian
Kegiatan
Kondisi potensi kelautan dan perikanan desa secara detail
Kondisi geografis, biofisik, kesuburan lahan, topografi peta wilayah usaha perikanan, kelembagaan kelautan dan perikanan, kondisi sarana dan prasarana perikanan, area konservasi perikanan
- Pengumpulan data primer dan sekunder
- Pengolahan data
- Pembuatan Peta wilayah perikanan
Data demografi
Jumlah penduduk menurut jenis kelamin, umur tingkat pendidikan, dan pekerjaan, Jumlah keluarga miskin,
Rata-rata luas pemilikan lahan/sarana usaha perikanan
Pengumpulan dan pengolahan data
Data produksi perikanan
Jumlah pelaku utama, jenis usaha, luas lahan/jumlah sarana, rata-rata produksi perikanan, penguasaan teknologi
Pengumpulan dan pengolahan data produksi perikanan
Data situasi gender
Analisa pembagian peran dan tugas dalam keluarga antara laki-laki dan perempuan dalam beberapa aspek kegiatan masyarakat.
Data dari masyarakat ttg
Uraian tugas laki-laki dan tugas perempuan
Data Pemasaran dan Lembaga keuangan
Kondisi Mekanisme pemasaran, lembaga pelayanan ekonomi, kios, KUD, pasar
Pengumpulan dan pengolahan data tentang:
Cara pemasaran hasil usaha (langsung atau lewat tengkulak). Kondisi kios, pasar gudang, dll

Friday, September 18, 2015

SISTEM PENYULUHAN DENGAN MENERAPKAN PEMDIDIKAN PADA ORANG DEWASA

September 18, 2015 Posted by Media Penyuluhan Perikanan Pati No comments
Sistim pendidikan Orang Dewasa. Dalam sistim penyuluhan perikanan yang dikenal sebagai sistim pendidikan non formal yang dapat diterapkan kepada kelompok atau masyarakat, tentu saja menggunakan berbagai methode Penyuluhan  yang dalam pelaksanaannya perlu dengan menggunakan Prinsip pendidikan orang dewasa yang juga  disesuaikan dengan situasi dan kondisi masyarakat setempat. Pada postingan kali ini kita akan memberikan informasi pengetahuan dan membahas mengenai sistimpendidikan orang Dewasa dalam proses pembelajaran,  karena untuk merubah perilaku ditungkat pengetahuan, ketrampilan maupun sikap terhadap peningkatan kemampuan masyarakat melalui kelompok tentu diperlukan methode yang tepat yaitu dengan prinsip pendidikan Orang dewasa, sehingga apa yang menjadi visi dan misi untuk merubah perilaku tersebut dapat diterima oleh kelompok sebagai anggota dalam masyarakat. Dalam pelaksanaannya kita tetap juga harus mengenal Sistim pembelajarannya, dengan methode apa yang sesuai, selain juga menggunakan dan melakukan Implementasi Prnsip-prinsip pendidikan orang dewasa, karena Pada dasarnya "orang dewasa" memiliki banyak pengalaman baik dalam bidang pekerjaannya maupun pengalaman lain dalam kehidupannnya.  Tentu saja untuk menghadapi Kelompok sebagai peserta masyarakat yang memimliki  pendidikan yang pada umumnya adalah "orang dewasa" dibutuhkan suatu strategi dan methode pendekatan yang berbeda dengan "pendidikan dan pelatihan" ala bangku sekolah, atau pendidikan konvensional yang sering disebut dengan pendekatan Pedagogis. Dalam  praktek "pendekatan pedagogis" yang diterapkan dalam pendidikan dan pelatihan seringkali tidak cocok. Untuk itu, dibutuhkan suatu pendekatan yang lebih cocok dengan "kematangan", "konsep diri" peserta dan "pengalaman peserta". Di dalam dunia pendidikan, strategi dan pendekatan ini dikenal dengan sistim "Pendidikan Orang Dewasa" (Adult Education).
Pengertian
Malcolm Knowles dalam publikasinya yang berjudul "The Adult Learner, A Neglected Species" mengungkapkan teori belajar yang tepat bagi orang dewasa. Sejak saat itulah istilah "Andragogi" makin diperbincangkan oleh berbagai kalangan khususnya para ahli pendidikan.
Andragogi berasal dari bahasa Yunani kuno "aner", dengan akar kata andr- yang berarti laki-laki, bukan anak laki-laki atau orang dewasa, dan agogos yang berarti membimbing atau membina, maka andragogi secara harafiah dapat diartikan sebagai ilmu dan seni mengajar orang dewasa. Sedangkan istilah lain yang sering dipergunakan sebagai perbandingan adalah "pedagogi", yang ditarik dari kata "paid" artinya anak dan "agogos" artinya membimbing atau memimpin. Maka dengan demikian secara harafiah "pedagogi" berarti seni atau pengetahuan membimbing atau memimpin atau mengajar anak.
Karena pengertian pedagogi adalah seni atau pengetahuan membimbing atau mengajar anak maka apabila menggunakan istilah pedagogi untuk kegiatan pelatihan bagi orang dewasa jelas tidak tepat, karena mengandung makna yang bertentangan. Pada awalnya, bahkan hingga sekarang, banyak praktek proses belajar dalam suatu pendidikan yang ditujukan kepada orang dewasa, yang seharusnya bersifat andragogis, dilakukan dengan cara-cara yang pedagogis. Dalam hal ini prinsip-prinsip dan asumsi yang berlaku bagi pendidikan anak dianggap dapat diberlakukan bagi kegiatan pendidikan bagi orang dewasa.
Namun karena orang dewasa sebagai individu yang sudah mandiri dan mampu mengarahkan dirinya sendiri, maka dalam andragogi yang terpenting dalam proses interaksi belajar adalah kegiatan belajar mandiri yang bertumpu kepada warga belajar itu sendiri dan bukan merupakan kegiatan seorang guru mengajarkan sesuatu (Learner Centered Training / Teaching)
Asumsi-Asumsi Pokok
Malcolm Knowles dalam mengembangkan konsep andragogi, mengembangkan empat pokok asumsi sebagai berikut:
Konsep Diri
Asumsinya bahwa kesungguhan dan kematangan diri seseorang, bergerak dari ketergantungan total (realita pada bayi) menuju ke arah pengembangan diri sehingga mampu untuk mengarahkan dirinya sendiri dan mandiri. Dengan kata lain dapat dikatakan bahwa secara umum konsep diri anak-anak masih tergantung sedangkan pada orang dewasa konsep dirinya sudah mandiri. Karena kemandirian inilah orang dewasa membutuhkan untuk mendapatkan penghargaan orang lain sebagai manusia yang mampu menentukan dirinya sendiri (Self Determination) dan mampu mengarahkan dirinya sendiri (Self Direction). Apabila orang dewasa tidak menemukan dan menghadapi situasi dan kondisi yang memungkinkan timbulnya penentuan diri sendiri dalam suatu pelatihan, maka akan menimbulkan penolakan atau reaksi yang kurang menyenangkan. Orang dewasa juga mempunyai kebutuhan psikologis agar secara umum menjadi mandiri, meskipun dalam situasi tertentu boleh jadi ada ketergantungan yang sifatnya sementara.
Hal ini menimbulkan implikasi dalam pelaksanaan praktek pendidikan, khususnya yang berkaitan dengan iklim dan suasana pembelajaran dan diagnosa kebutuhan serta proses perencanaan pendidikan.
Peranan Pengalaman
Asumsinya adalah bahwa sesuai dengan perjalanan waktu seorang individu tumbuh dan berkembang menuju ke arah kematangan. Dalam perjalanannya, seorang individu mengalami dan mengumpulkan berbagai pengalaman pahit-getirnya kehidupan, dimana hal ini menjadikan seorang individu sebagai sumber belajar yang kaya, dan pada saat yang bersamaan individu tersebut memberikan dasar yang luas untuk belajar dan memperoleh pengalaman baru. Oleh sebab itu, dalam teknologi pembelajaran orang dewasa, terjadi penurunan penggunaan teknik transmittal seperti yang dipergunakan dalam pelatihan konvensional dan menjadi lebih mengembangkan teknik yang bertumpu pada pengalaman. Dalam hal ini dikenal dengan "Experiential Learning Cycle" (Proses Belajar Berdasarkan Pengalaman).
Hal ini menimbulkan implikasi terhadap pemilihan dan penggunaan metoda dan teknik pembelajaran. Maka, dalam praktek pelatihan lebih banyak menggunakan diskusi kelompok, curah pendapat, kerja laboratori, sekolah lapangan (field school), melakukan praktek dan lain sebagainya, yang pada dasarnya berupaya untuk melibatkan peranserta atau partisipasi peserta pelatihan.
Kesiapan Belajar
Asumsinya bahwa setiap individu semakin menjadi matang sesuai dengan perjalanan waktu, maka kesiapan belajar bukan ditentukan oleh kebutuhan atau paksaan akademik ataupun biologisnya, tetapi lebih banyak ditentukan oleh tuntutan perkembangan dan perubahan tugas dan peranan sosialnya
Hal ini berbeda pada seorang anak, umumnya seorang anak belajar karena adanya tuntutan akademik atau biologisnya. Tetapi pada orang dewasa, kesiapan belajar ditentukan oleh tingkatan perkembangan mereka yang harus dihadapi dalam peranannya sebagai kader, pekerja, orang tua atau pemimpin organisasi.
Hal ini membawa implikasi terhadap materi pembelajaran dalam suatu pendidikan tertentu. Dalam hal ini tentunya materi pembelajaran perlu disesuaikan dengan kebutuhan yang sesuai dengan peran sosialnya.
Orientasi Belajar
Asumsinya, pada anak (yang belajar) orientasi belajarnya ‘seolah-olah’ sudah ditentukan dan dikondisikan untuk memiliki orientasi yang berpusat pada materi pembelajaran (Subject Matter Centered Orientation). Sedangkan pada orang dewasa, memiliki orientasi belajar cenderung berpusat pada pemecahan permasalahan yang dihadapi (Problem Centered Orientation). Hal ini dikarenakan belajar bagi orang dewasa merupakan kebutuhan untuk menghadapi permasalahan yang dihadapi dalam kehidupan keseharian, terutama dalam kaitannya dengan fungsi dan peranan sosial orang dewasa.
Selain itu, perbedaan asumsi ini disebabkan juga karena adanya perbedaan perspektif waktu. Bagi orang dewasa, belajar lebih bersifat untuk dapat dipergunakan atau dimanfaatkan dalam waktu segera. Sedangkan anak, penerapan apa yang dipelajari masih menunggu waktu hingga dia lulus dan sebagainya. Sehingga ada kecenderungan pada anak, bahwa belajar hanya sekedar untuk dapat lulus ujian dan memperoleh sekolah yang lebih tinggi.
Hal ini menimbulkan implikasi terhadap sifat materi pembelajaran atau pelatihan bagi orang dewasa, yaitu bahwa materi tersebut hendaknya bersifat praktis (menjawab kebutuhan) dan dapat segera diterapkan di dalam kenyataan sehari-hari.
Beberapa Implikasi Untuk Praktek
Dari uraian tersebut dapat disimpulkan sementara beberapa perbedaan teoritis dan asumsi yang mendasari andragogi dan pedagogi (konvensional) yang menimbulkan berbagai implikasi dalam praktek
Dalam pedagogi atau konsep pendidikan konvensional, karena berpusat pada materi pembelajaran (Subject Matter Centered Orientation) maka implikasi yang timbul pada umumnya peranan guru, pengajar, pembuat kurikulum, evaluator sangat dominan. Pihak murid atau peserta belajar lebih banyak bersifat pasif dan menerima. Paulo Freire, menyebutnya sebagai "Sistem Bank" (Banking System). Hal ini dapat terlihat pada hal-hal sebagai berikut:
Penentuan mengenai materi pengetahuan dan ketrampilan yang perlu disampaikan yang bersifat standard dan kaku.
Penentuan dan pemilihan prosedur dan mekanisme serta alat yang perlu (metoda & teknik) yang paling efisien untuk menyampaikan materi pembelajaran.
Pengembangan rencana dan bentuk urutan (sequence) yang standard dan kaku
Adanya standard evaluasi yang baku untuk menilai tingkat pencapaian hasil belajar dan bersifat kuantitatif yang bersifat untuk mengukur tingkat pengetahuan.
Adanya batasan waktu yang demikian ketat dalam "menyelesaikan" suatu proses pembelajaran materi pengetahuan dan ketrampilan.
Dalam andragogi, peranan guru, pengajar atau pembimbing yang sering disebut dengan fasilitator adalah mempersiapkan perangkat atau prosedur untuk mendorong dan melibatkan secara aktif seluruh warga belajar, yang kemudian dikenal dengan pendekatan partisipatif. Dalam  proses belajarnya melibatkan elemen-elemen:
Menciptakan iklim dan suasana yang mendukung proses belajar mandiri.
Menciptakan mekanisme dan prosedur untuk perencanaan bersama dan partisipatif.
Diagnosis kebutuhan-kebutuhan belajar yang spesifik.
Merumuskan tujuan-tujuan program yang memenuhi kebutuhan-kebutuhan belajar.
Merencanakan pola pengalaman belajar.
Melakukan dan menggunakan pengalaman belajar ini dengan metoda dan teknik yang memadai.
Mengevaluasi hasil belajar dan mendiagnosis kembali kebutuhan-kebutuhan belajar, sebagai sebuah proses yang tidak berhenti.
Oleh karena itu, dalam memproses interaksi belajar dalam pendidikan orang dewasa, kegiatan dan peranan fasilitator bukanlah memindahkan pengetahuan dan ketrampilan kepada peserta pelatihan. Peranan dan fungsi fasilitator adalah mendorong dan melibatkan seluruh peserta dalam proses interaksi belajar mandiri, yaitu proses belajar untuk memahami permasalahan nyata yang dihadapinya, memahami kebutuhan belajarnya sendiri, dapat merumuskan tujuan belajar, dan mendiagnosis kembali kebutuhan belajarnya sesuai dengan perkembangan yang terjadi dari waktu ke waktu.
Dengan begitu maka tugas dan peranan fasilitator bukanlah memaksakan program atau kurikulum dari atas atau dari NGO  yang dibuat di balik meja –yang berjarak/terlepas – dari  kebutuhan dan permasalahan yang dihadapi peserta belajar.
Langkah-Langkah Pokok Dalam Proses belajar  Partisipatif (Andragogi)
Berdasarkan pada implikasi andragogi untuk praktek dalam proses pembelajaran kegiatan pelatihan, maka perlu ditempuh langkah-langkah pokok sebagai berikut:
1.    Menciptakan Iklim Pembelajaran yang Kondusif
Ada beberapa hal pokok yang dapat dilakukan dalam upaya menciptakan dan mengembangkan iklim dan suasana yang kondusif untuk proses pembelajaran, yaitu:
Pengaturan Lingkungan Fisik
Pengaturan lingkungan fisik merupakan salah satu unsur dimana orang dewasa merasa terbiasa, aman, nyaman dan mudah. Untuk itu perlu dibuat senyaman mungkin:
Penataan dan peralatan hendaknya disesuaikan dengan kondisi orang dewasa.
Alat peraga dengar dan lihat yang dipergunakan hendaknya disesuaikan dengan kondisi fisik orang dewasa.
Penataan ruangan, pengaturan meja, kursi dan peralatan lainnya hendaknya memungkinkan terjadinya interaksi sosial.
Pengaturan Lingkungan Sosial dan Psikologis
Iklim psikologis hendaknya merupakan salah satu faktor yang membuat orang dewasa merasa diterima, dihargai dan didukung. Untuk itu diperlukan:
1. Fasilitator lebih bersifat membantu dan mendukung.
2. Mengembangkan suasana bersahabat, informal dan santai.
3. Menciptakan suasana demokratis dan kebebasan untuk menyatakan pendapat tanpa rasa takut.
4. Mengembangkan semangat kebersamaan.
5. Menghindari adanya pengarahan dari siapapun.
6. Menyusun kontrak belajar yang disepakati bersama
2. Diagnosis Kebutuhan Belajar
Dalam andragogi tekanan lebih banyak diberikan pada keterlibatan seluruh warga/peserta belajar di dalam suatu proses melakukan diagnosis kebutuhan belajarnya:
Melibatkan seluruh pihak terkait (stakeholder) terutama pihak yang terkena dampak langsung atas kegiatan itu.
Membangun dan mengembangkan suatu model kompetensi atau prestasi ideal yang diharapkan
Menyediakan berbagai pengalaman yang dibutuhkan.
Lakukan perbandingan antara yang diharapkan dengan kenyataan yang ada, misalkan kompetensi tertentu.
3. Proses Perencanaan
Dalam perencanaan pendidikan hendaknya melibatkan semua pihak terkait, terutama yang akan terkena dampak langsung atas kegiatan pendidikan tersebut. Tampaknya ada suatu "hukum" atau setidak tidaknya suatu kecenderungan dari sifat manusia bahwa mereka akan merasa 'committed' terhadap suatu keputusan apabila mereka terlibat dan berperanserta dalam pengambilan keputusan. Untuk itu diperlukan:
Libatkan peserta untuk menyusun rencana pendidikan, baik yang menyangkut penentuan materi pembelajaran, penentuan waktu dan lain-lain.
Temuilah dan diskusikanlah segala hal dengan berbagai pihak terkait menyangkut pendidikan tersebut.
Terjemahkan kebutuhan-kebutuhan yang telah diidentifikasi ke dalam tujuan yang diharapkan dan ke dalam materi belajar.
Tentukan pembagian tugas dan tanggung jawab yang jelas di antara pihak terkait siapa melakukan apa dan kapan.
4. Memformulasikan Tujuan
Setelah menganalisis hasil-hasil identifikasi kebutuhan dan permasalahan yang ada, langkah selanjutnya adalah merumuskan tujuan yang disepakati bersama dalam proses perencanaan partisipatif. Dalam merumuskan tujuan hendaknya dilakukan dalam bentuk deskripsi tingkah laku yang akan dihasilkan untuk memenuhi kebutuhan tersebut di atas. Dalam setiap proses belajar, tujuan belajar hendaklah mencakup tiga hal pokok yakni: kognitif, afektif, dan psikomotorik.
5. Mengembangkan Model Umum
Ini merupakan aspek seni dan arsitektural dari perencanaan pendidikan dimana harus disusun secara harmonis antara beberapa kegiatan belajar seperti kegiatan diskusi kelompok besar, kelompok kecil, urutan materi dan lain sebagainya. Dalam hal ini tentu harus diperhitungkan pula kebutuhan waktu dalam membahas satu persoalan dan penetapan waktu yang sesuai.
6. Menetapkan Materi dan Teknik Pembelajaran
Dalam menetapkan materi dan metoda atau teknik pembelajaran hendaknya memperhatikan hal-hal sebagai berikut:
Materi pembelajaran hendaknya ditekankan pada pengalaman-pengalaman nyata dari peserta belajar.
Materi belajar hendaknya sesuai dengan kebutuhan dan berorientasi pada aplikasi praktis. Bukan berarti materi yang disusun hanya bersifat pragmatis.
Metoda dan teknik yang dipilih hendaknya menghindari teknik yang bersifat pemindahan pengetahuan dari fasilitator kepada peserta, tetapi akan lebih baik jika bersifat mendorong ketajaman analisis dan metodologi.
Metoda dan teknik yang dipilih hendaknya tidak bersifat satu arah namun lebih bersifat partisipatif, atau dalam bahasa Freire “dialogis”.
7. Peranan Evaluasi
Pendekatan evaluasi secara konvensional (pedagogi) kurang efektif untuk diterapkan bagi orang dewasa. Untuk itu pendekatan ini tidak cocok dan tidaklah cukup untuk menilai hasil belajar orang dewasa. Ada beberapa pokok dalam melaksanakan evaluasi hasil belajar bagi orang dewasa yakni:
Evaluasi hendaknya berorientasi kepada pengukuran perubahan perilaku setelah mengikuti proses pembelajaran / pelatihan.
Sebaiknya evaluasi dilaksanakan melalui pengujian terhadap dan oleh peserta belajar itu sendiri (Self Evaluation).
Perubahan positif perilaku merupakan tolok ukur keberhasilan.
Ruang lingkup materi evaluasi "ditetapkan bersama secara partisipatif" atau berdasarkan kesepakatan bersama seluruh pihak terkait yang terlibat.
Evaluasi ditujukan untuk menilai efektifitas dan efisiensi penyelenggaraan program pendidikan yang mencakup kekuatan maupun kelemahan program.
Menilai efektifitas materi yang dibahas dalam kaitannya dengan perubahan sikap dan perilaku.

Thursday, September 17, 2015

KEUNGGULAN KHAS SIFAT IKAN NLA GIFT (Oreochromis niloticus)

September 17, 2015 Posted by Media Penyuluhan Perikanan Pati No comments
TINJAUAN PUSTAKA
A. Taksonomi dan Morfologi Ikan Nila Gift (Oreochromis niloticus) Klasifikasi Ikan Nila Gift (Oreochromis niloticus), menurut Trewavas
(1983)  dalam Suyanto (2005) sebagai berikut:
Filum        : Chordata
Sub Filum    : Vertebrata
Klas        : Pisces
Subkelas    : Acanthopterigii
Ordo        : Percomorphi
Sub Ordo    : Percoidea
Famili        : Cichlidea
Genus        : Oreochromis
Spesis        : Oreochromis niloticus
Arie (1999), menyatakan ikan Nila Gift (Oreochromis niloticus)  mempunyai bentuk tubuh lebih pendek dari pada ikan nila lokal (Oreochromis sp), atau dalam bahasa Inggris Nile Tilapia. Tubuhnya lebih tebal, warna tubuhnya hitam keputihan, kepalanya relatif kecil, sisik berukuran besar, kasar, tersusun rapi, matanya besar, menonjol dan bagian tepinya berwarna putih. Gurat sisi (linea lateralis) terputus di bagian tengah badannya, dagingnya cukup tebal dan tidak terdapat duri-duri halus di dalamnya.
Morfologi ikan Nila Gift (Oreochromis niloticus) dapat dilihat pada
Sebagaimana umumnya ikan nila biasa, ikan Nila Gift (Oreochromis niloticus) memiliki lima buah sirip, yakni sirip punggung      
(dorsal fin), sirip dada (pectoral fin), sirip perut (ventral fin), sirip anus (anal fin) dan sirip ekor (caudal fin). Sirip punggungnya memanjang dari bagian atas tutup insang hingga bagian atas sirip ekor, terdapat juga sepasang sirip dada dan sirip perut yang berukuran kecil. Sirip anusnya hanya satu buah dan berbentuk agak panjang, sedangkan sirip ekornya berbentuk bulat dan hanya berjumlah satu buah (Suyanto, 1994).
Arie (1999), menyatakan bahwa jenis kelamin ikan Nila Gift (Oreochromis niloticus), dapat dibedakan dari tanda pada tubuh bagian luar,yaitu bentuk, warna dan alat kelamin. Ikan Nila Gift (Oreochromis niloticus), jantan memiliki tubuh yang lebih tinggi dan lebih membulat, warna lebih cerah serta memiliki satu lubang kelamin yang berbentuk memanjang, dimana fungsinya sebagai tempat mengeluarkan sperma dan air seni. Ikan Nila Gift (Oreochromis niloticus), betina bertubuh lebih rendah atau lebih memanjang, warna lebih gelap serta lubang kelamin dua, yaitu satu untuk mengeluarkan telur dan satu lagi untuk mengeluarkan air seni.
B. Habitat Ikan Nila Gift (Oreochromis niloticus)
Ikan Nila Gift (Oreochromis niloticus), dikenal sebagai ikan yang sangat tahan terhadap perubahan lingkungan hidup, karena ikan ini dapat hidup di air tawar, air payau dan air laut. Ikan Nila Gift (Oreochromis niloticus), air tawar dapat dipindahkan ke air asin dengan proses adaptasi secara bertahap, dengan cara salinitasnya dinaikkan sedikit demi sedikit. Pemindahan secara mendadak ke dalam air yang salinitasnya berbeda dapat mengakibatkan stress dan kematian pada ikan (Suyanto, 1994).
Arie (1999) menyatakan bahwa habitat yang ideal untuk ikan Nila Gift (Oreochromis niloticus), adalah perairan tawar yang memiliki suhu antara
140C - 380C, atau suhu optimal 250C - 300C. Kisaran salinitas (kadar garam) yang ditoleransi untuk pertumbuhan ikan Nila Gift (Oreochromis niloticus) adalah 0 - 15‰.
Tempat hidup ikan Nila Gift (Oreochromis niloticus), biasanya berada pada perairan yang dangkal dengan arus yang tidak begitu deras.                            
Ikan Nila Gift (Oreochromis niloticus), tidak menyukai hidup di perairan yang bergerak (mengalir), namun jika dilakukan perlakuan terhadap ikan Nila Gift (Oreochromis niloticus) seperti pengadaptasian terhadap lingkungan air yang mengalir, maka ikan Nila Gift (Oreochromis niloticus), juga bisa hidup baik, pada perairan yang mengalir tersebut (Rukmana, 2004).
C. Pakan dan Kebiasaan Makan
Ikan dapat tumbuh optimal jika memperoleh makanan dalam jumlah yang cukup dan gizi seimbang, dengan kata lain ikan membutuhkan makanan yang lengkap dalam jumlah yang cukup (Mudjiman, 2004). Lebih lanjut dinyatakan bahwa jumlah ransum dan komposisi gizi yang dibutuhkan oleh seekor ikan berbeda-beda dan selalu berubah. Perbedaan tersebut dipengaruhi oleh jenis ikan, umur ikan dan ketersediaan makanan alami di dalam tempat pemeliharaannya.
Ikan Nila Gift (Oreochromis niloticus), termasuk kedalam golongan ikan pemakan segala atau (omnivora), sehingga ikan ini dapat mengkonsumsi makanan berupa hewan atau tumbuhan (Khairuman dan Amri, 2003). Lebih lanjut dinyatakan bahwa ikan Nila Gift (Oreochromis niloticus), yang masih berukuran benih menyukai makanan alami berupa zooplankton misalnya Rotifera sp, Moina sp, dan Daphnia sp, juga fitoplankton. Selain itu, ikan Nila Gift (Oreochromis niloticus) juga suka memangsa alga atau lumut yang menempel pada substrat di habitat hidupnya, siput, jentik-jentik serangga, kelekap, hydrilla, sisa-sisa dapur dan buah-buahan, serta daun-daun lunak yang jatuh ke dalam air. Jika telah mencapai ukuran dewasa, ikan Nila Gift (Oreochromis niloticus), bisa diberi makanan tambahan berupa pellet.
Menurut Arie (1999), pellet yang diberikan sebagai pakan tambahan untuk ikan Nila Gift harus mengandung protein yang tinggi, minimal 25%. Pellet yang diberikan dapat berupa tepung maupun butiran. Namun, bisa juga diberikan dedak halus jika pellet tidak tersedia, meskipun kandungan proteinnya tidak sekomplit pellet, ikan Nila Gift (Oreochromis niloticus) sangat menyukai dedak halus tersebut. Banyaknya pakan tambahan yang diberikan 2-3% dari berat biomassa ikan.
Ikan Nila Gift (Oreochromis niloticus), lebih suka berkawanan di tengah atau di dasar kolam jika dalam kondisi kenyang. Berdasarkan beberapa penelitian yang ada, bahwa kebiasaan makan ikan Nila Gift (Oreochromis niloticus), berhubungan dengan suhu perairan dan intensitas cahaya matahari. Pada siang hari dimana intensitas cahaya matahari cukup tinggi dan suhu air meningkat, ikan Nila Gift (Oreochromis niloticus), lebih agresif terhadap makanan. Sebaliknya, dalam keadaan mendung atau hujan bahkan pada malam hari, ikan Nila Gift (Oreochromis niloticus), menjadi kurang agresif terhadap makanan (Andrianto, 2005).
D. Pertumbuhan dan Kelangsungan Hidup
Pertumbuhan merupakan suatu perubahan bentuk akibat pertambahan panjang, berat dan volume dalam periode tertentu secara individual. Pertumbuhan juga dapat diartikan sebagai pertambahan jumlah sel-sel secara mitosis yang pada akhirnya menyebabkan perubahan ukuran jaringan. Pertumbuhan bagi suatu populasi     adalah     pertambahan     jumlah     individu,     dimana     faktor yang mempengaruhinya dapat berupa faktor internal dan eksternal. Faktor internal meliputi umur, keturunan dan jenis kelamin, sedangkan faktor eksternal meliputi suhu, makanan, penyakit, media budidaya, dan sebagainya (Effendi, 1978).
Menurut Khairuman dan Amri (2003), menyatakan bahwa laju pertumbuhan tubuh ikan Nila Gift (Oreochromis niloticus), yang dibudidayakan tergantung dari pengaruh fisika dan kimia perairan serta interaksinya. Laju pertumbuhan ikan Nila Gift (Oreochromis niloticus), lebih cepat jika dipelihara di kolam yang airnya dangkal dibandingkan di kolam yang airnya dalam. Penyebabnya adalah karena di perairan yang dangkal, pertumbuhan tanaman air sangat cepat sehingga ikan Nila Gift (Oreochromis niloticus) menjadikannya sebagai makanan. 
Holliday  (1969),  menyatakan  bahwa  kemampuan  ikan  untuk  bertahan  pada media bersalinitas tergantung pada kemampuan untuk mengatur cairan tubuh sehingga mampu mempertahankan tingkat tekanan osmotik yang mendekati normal. Kesempurnaan organ dari ikan uji merupakan salah satu faktor utama yang mendukung keberhasilan dari adaptasi ikan-ikan uji yang digunakan terhadap perlakuan yang diberikan.
Ikan nila merupakan ikan yang dikenal sebagai ikan Euryhalin. Untuk ikan-ikan Euryhalin, memiliki kemampuan yang cepat menyeimbangkan tekanan osmotik dalam tubuhnya dengan media (isoosmotik). Ikan nila dikenal hanya mendiami perbatasan atau pertemuan antara air laut dengan air tawar sehingga dapat bertahan dipelihara dalam tambak air payau yang dapat menyesuaikan dirinya dengan kadar garam 0-15‰ (Soesono, 1977).                
Dari pernyataan diatas maka dapat dikatakan bahwa ikan akan memiliki tingkat kelangsungan hidup optimal jika dipelihara pada salinitas 0‰ (air tawar) hingga air bersalinitas 15‰.  Hal ini sesuai dengan penyataan Rudhy dan Hunaina (2008) bahwa sintasan di atas 80%  dikatakan ikan nila dapat hidup dengan baik.
E. Salinitas dan Osmoregulasi pada Ikan
Salinitas merupakan parameter penunjuk jumlah bahan terlarut dalam air. Salinitas pada umumnya dinyatakan sebagai berat jenis (specific gravity), yaitu rasio antara berat larutan terhadap berat air murni dalam volume yang sama. Beberapa ikan air tawar dapat menerima (toleran) terhadap kehadiran sejumlah kecil natrium dalam bentuk garam (Anonim, 2003).  Menurut Holliday (1969) dalam Asmawi (1983), salah satu aspek fisiologis yang dipengaruhi salinitas adalah tekanan dan konsentrasi osmotik serta konsentrasi ion dalam cairan tubuh.
Osmoregulasi bagi ikan adalah upaya ikan mengontrol keseimbangan air dan ion antara di dalam tubuh dan lingkungan melalui mekanisme pengaturan tekanan osmotik (Marshall, et al, 2006, dalam Fitria, 2012).  Selanjutnya dinyatakan bahwa ginjal akan memompakan kelebihan air tersebut sebagai air seni.  Ginjal mempunyai glomeruli dalam jumlah yang banyak dengan diameter yang besar.  Hal ini bertujuan untuk menahan garam-garam tubuh agar tidak keluar dan sekaligus memompa air seni sebanyak-banyaknya.  Air seni yang keluar dari tubuh ikan sangat encer dan mengandung sejumlah kecil senyawa nitrogen.  Proses osmeregulasi juga menghasilkan produk buangan seperti feses dan amoniak, sehingga media pemeliharaan akan berwarna keruh sebagai akibat banyak feses yang dikeluarkan ikan.  Dampak dari ekskresi nitrogen tersebut akan mempengaruhi kehidupan ikan di dalamnya yaitu terhadap kondisi ambient, yang pada akhirnya berpengaruh terhadap pertahanan tubuhnya.  Setelah melewati batas toleransi, maka ikan tersebut mengalami kemtian. Mengingat tidak semua ikan mengalami kematian, maka dapat dipastikan bahwa daya toleransi pada populasi ikan dalam wadah berbeda-beda.  Hal ini diduga karena perbedaan kondisi tubuh saat sebelum dimasukkan dalam media termasuk intensitas parasit, tingkat stress dan lain-lain.  Untuk air tawar, organ yang terlibat dalam osmoregulasi antara lain insang, usus dan ginjal.
Defenisi osmoregulasi sendiri adalah proses pengaturan tekanan osmotik yang berlangsung di dalam tubuh organisme (Taufik & Kusrini, 2006).  Dua kategori dalam menghadapi tekanan osmotik air media yaitu osmoregulator dan osmokonformer.  Osmoregulator adalah orgenisme air yang secara osmotik stabil (mantap), selalu berusaha mempertahankan cairan tubuhnya pada tekanan osmotik yang relative konstan, tidak perlu harus sama dengan tekanan osmotik air media hidupnya.  Osmokonformer adalah organism air yang secara osmotik labil dan mengubah-ubah tekanan cairan tubuhnya untuk menyesuaikan dengan tekanan osmotik air media hidupnya.  Dalam kondisi perairan tidak menentu baik hipertonik maupun hipotonik, ikan akan berusaha mempertahankan tekanan osmotik cairan tubuhnya.  Tekanan osmotik lingkungan tergantung dari salinitas (Taufik & Kusrini, 2006).
Setiap menghadapi masalah osmoregulasi sebagai respon atau tanggapan terhadap perubahan, organisme mempunyai kemampuan yang berbeda-beda untuk osmotik lingkungan eksternalnya.  Perubahan konsentrasi ini cenderung mengganggu kondisi internal yang mantap.  Untuk menghadapi masalah ini organisme melakukan pengaturan tekanan osmotik dengan cara mengurangi gradient osmotik antara cairan tubuh dengan lingkungannya, melakukan pengambilan garam secara selektif.  Pada organism akuatik seperti ikan, terdapat beberapa organ yang berperan dalam pengaturan tekanan osmotik atau osmoregulasi agar proses fisiologis di dalam tubuhnya dapat berjalan normal.  Osmoregulasi ikan dilakukan oleh organ-organ ginjal, insang, kulit dan saluran pencernaan (Ongko, et al., 2009, dalam Fitria, 2012)
Perubahan kadar salinitas mempengaruhi tekanan osmotik cairan tubuh ikan, sehingga ikan melakukan penyesuaian atau pengaturan kerja osmotik internalnya agar proses fisiologis di dalam tubuhnya dapat bekerja secara normal kembali (Stickney, 1979).  Selanjutnya dinyatakan, apabila salinitas semakin tinggi, ikan akan berupaya terus agar kondisi homeostatis dalam tubuhnya tercapai hingga batas toleransi yang dimilikinya.  Kerja osmotik memerlukan energi yang tinggi pula.
Menurut Suhidhir (2009), ikan nila pada umumnya hidup di air tawar.  Kondisi sel ikan air tawar memiliki kepekatan lebih tinggi dibanding media hidupnya.  Air masuk ke dalam tubuh ikan nila dari berbagai permukaan tubuh.  Untuk mengatasinya ikan nila harus banyak mengeluarkan urine dengan intensitas kehilangan garam.  Sel klorid dalam insang yang membantu transport garam      ini kembali.  Pada air payau dan laut, kondisi menjadi terbalik yakni cairan internal sel bersifat kurang pekat dibanding dengan media hidupnya.                 
Hal ini memungkinkan terjadinya dehidrasi sel, sehingga ikan nila harus banyak minum dan sedikit mengeluarkan urine.  Akibatnya garam dalam tubuh menjadi meningkat.  Namun perkembangan sel klorid yang cepat dapat mencukupi mampu mengatasi hal ini dengan cara transport aktif garam.
Stickney (1979) dalam Asmawi (1983), menyatakan bahwa ikan yang dipelihara pada kondisi salinitas yang sama dengan konsentrasi ion dalam darah akan lebih banyak menggunakan energi untuk pertumbuhan sedangkan semakin tinggi perbedaan antara kondisi salinitas dengan konsentrasi ion dalam darah maka ikan cenderung akan terganggu pertumbuhannya bahkan mengalami kematian.  Khairuman dan Amri (2003), menyatakan bahwa ikan Nila Gift (Oreochromis niloticus) lebih tahan terhadap lingkungan yang kurang baik dan memiliki toleransi salinitas pada kisaran 0-15‰, sehingga bisa dipelihara   di air payau.
F. Pertumbuhan Ikan Nila pada Media Bersalinitas
Suhidhir (2009), menyatakan beberapa penelitian menyatakan bahwa ikan nila dapat hidup di perairan tawar hingga laut, dengan rentang salinitas 0 – 35‰, dimana untuk hidup disalinitas yang lebih tinggi dari perairan tawar, ikan nila harus mengalami proses aklimatisasi terlebih dahulu.  Selanjutnya dinyatakan bahwa hasil penelitian yang diperoleh mengenai pengaruh salinitas terhadap pertumbuhan ikan nila adalah berbeda-beda.  Ada yang menyatakan bahwa seiring dengan pertambahan salinitas, terjadi penurunan tingkat pertumbuhan, namun beberapa peneliti ada yang berpendapat bahwa kemampuan pertumbuhan ikan nila di air payau dan air laut lebih cepat dari pada di air tawar.  Sementara peneliti lain mengatakan hal ini tergantung strain pakan dan lingkungan.
Hepher & Priguinin (1981) dalam Setiawati & Suprayudi (2003), menyatakan bahwa sepsis ikan nila mampu beradaptasi pada media bersalinitas tinggi, karena kemampuan osmoregulasinya cukup baik.  Demikian pula menurut Lim (1989) dalam Setiawati & Suprayudi (2003), bahwa walaupun habitat aslinya ikan nila ini adalah air tawar, namun ikan ini bersifat euryhalin.
Setiawati & Suprayudi (2003) melaporkan bahwa nilai laju pertumbuhan harian rata-rata ikan nila merah semakin meningkat dengan meningginya kadar salinitas mulai dari 10‰.  Dilaporkan pula bahwa laju pertumbuhan harian tertinggi yaitu pada salinitas 20‰, tetapi tidak berbeda dengan ikan yang dipelihara pada media bersalinitas 10‰ dan 15‰.  Adanya perbedaan laju pertumbuhan (p < 0,05) menunjukan bahwa ikan nila merah yang dipelihara pada media bersalinitas lebih baik dalam memanfaatkan sumber energi pakannya.
Selanjutnya dinyatakan bahwa diduga pada media 10 – 20‰, kondisi tekanan osmotik media mendekati tekanan osmotik tubuh ikan nila merah atau disebut isoosmotik.  Menurut Stickney (1979) dalam Setiawati & Suprayudi (2003), bahwa kondisi isoosmotik dapat meningkatkan pertumbuhan karena energi untuk kebutuhan osmoregulasi lebih kecil atau tidak ada, akibatnya energi untuk pertumbuhan tersedia dalam jumlah yang lebih besar.  Lebih lanjut dinyatakan bahwa peningkatan salinitas berperan terhadap pemanfaatan energi pakan, karena lebih banyak protein tersimban (diretensi) dan hanya sedikit yang terurai atau dimanfaatkan untuk energi dalam mempertahankan keseimbangan garam-garam tubuh.
Akbar (2012), menyatakan bahwa perbedaan pertumbuhan relatif pada media salinitas yang berbeda diduga terkait dengan takanan osmotik cairan tubuh dan lingkungan.  Semakin jauh perbedaan tekanan osmotik tubuh dengan tekanan osmotik lingkungan, maka akan semakin banyak beban kerja energi metabolisme yang dibutuhkan untuk melakukan osmoregulasi sebagai upaya adaptasi pada lingkungan yang bersalinitas (Smith, 1982; Fujaya, 2004; dalam Akbar, 2012).
Menurut Guner, et al., (2005) dalam Fitria (2012), salinitas yang terlalu tinggi dapat mempengaruhi pertumbuhan akibat efek salinitas yang mempengaruhi metabolisme terhadap perubahan fungsi pada sel klorid epitel insang dan aktifitas Na+K+-ATPase .  Pengaruh tersebut menyerap energi yang seharusnya untuk pertumbuhan dan digunakan sebagai sumber energi pada perubahan proses metabolism tersebut.