Thursday, April 30, 2015

Upaya Meramu Pakan Ikan Tanpa Minyak dan Tepung Ikan

April 30, 2015 Posted by Media Penyuluhan Perikanan Pati No comments
Sampai saat ini para peneliti belum menemukan pengganti minyak ikan sebagai penyuplai utama asam lemak omega-3 rantai panjang yang tidak jenuh (highly unsaturated fatty acids, HUFA) terutama asam eikosapentanat (EPA, C20:5n-2) dan dokosaheksanat (DHA, C22:6n-3), baik untuk ikan budidaya maupun untuk konsumsi manusia. Seperti diketahui bahwa keberadaan kedua asam lemak tersebut sangat dibutuhkan oleh ikan budidaya laut untuk kelangsungan hidup dan pertumbuhannya.
Umumnya ikan laut tidak bisa mensintesa EPA dan DHA sendiri dan juga tidak bisa diperoleh dari minyak nabati. Sehingga tidak mengherankan bila budidaya ikan laut sangat membutuhkan pakan dengan bahan penyusun dari ikan hasil tangkapan di laut yang biasanya memiliki harga lebih murah (mis. anchovy, sarden, dan mackerel) daripada ikan budidaya, maka kegiatan budidaya ikan laut sering diistilahkan sebagai aktivitas “memproduksi ikan dengan ikan”.
Asam lemak omega-3 EPA dan DHA juga sangat dibutuhkan oleh tubuh manusia, terutama pada masa pertumbuhan bayi. Kedua asam lemak ini banyak berguna dalam sistem pertahanan tubuh (immune system) terhadap penyakit, anti-kanker, dan berfungsi penting dalam sistim syaraf, otak dan mata. Asam lemak ini juga dapat mencegah penyakit jantung akibat kolesterol dan tekanan darah tinggi. Juga berguna dalam pengobatan penyakit rematik, memperlancar aliran darah, dan mempertinggi daya pembelajaran janin/bayi. Dengan demikian, sangat dianjurkan untuk mengkonsumsi ikan lebih banyak daripada daging hewan lainnya.
Meskipun kontroversial, akhir-akhir ini banyak ahli nutrisi mempertanyakan kelebihan bahan makanan ikan atau penggunaan minyak ikan dalam pakan sehubungan dengan tingginya kadar residu beberapa bahan kimia yang berbahaya bagi manusia di dalam tubuh ikan, seperti dioxin dan polychlorinated byphenyls (PCBs). Kadar kontaminasi bahan kimia dalam tubuh ikan budidaya adalah lebih tinggi daripada ikan dari alam seperti yang telah dilaporkan pada ikan salmon dalam Jurnal Science (Hites et al., 2004).
Lebih lanjut dilaporkan bahwa ikan salmon dari Eropa mengandung bahan kontaminasi lebih tinggi daripada yang Amerika Utara dan Selatan. Di alam, ikan karnivora yang berukuran lebih besar memiliki kandungan dioxin dan PCBs lebih tinggi daripada ikan yang berukuran lebih kecil. Hal ini disebabkan karena bahan kimia tersebut sebagian besar terakumulasi dalam tubuh organisme, sehingga semakin tinggi trofik level, semakin tinggi pula kadar akumulasi bahan kimia tersebut. Sementara itu, kadar dioxin dan PCBs pada tumbuh-tumbuhan atau minyak nabati jauh lebih rendah daripada yang dikandung oleh minyak ikan.
Baru-baru ini, beberapa pendekatan yang telah dicoba untuk mengurangi atau bahkan menghilangkan minyak ikan dalam pakan, dan untuk mengurangi kontaminasi bahan kimia dalam tubuh ikan akan diulas seperti di bawah ini.
Substitusi minyak/protein nabati
Selain karena stok ikan laut dunia sebagai sumber utama bahan pakan ikan budidaya adalah semakin menurun akibat over-fishing dan faktor alam, untuk mengurangi kandungan bahan kimia seperti dioxin dan PCBs dalam tubuh ikan budidaya, beberapa peneliti di Eropa sudah mencoba mensubstitusi minyak ikan dengan minyak nabati seperti minyak sawit (palm oil), minyak biji rami (linseed oil) atau minyak lobak (rapeseed oil). Akan tetapi substitusi tersebut tidak bisa menggantikan semua minyak ikan dalam pakan. Dan khusus untuk tahap pembenihan, pengkayaan (enrichment) EPA dan DHA pakan makanan larva ikan laut belum bisa dihindari.
Di Jepang, penelitian subtitusi minyak ikan dengan minyak nabati bisa dikatakan tidak ada, meskipun hampir semua kebutuhan minyak ikan mereka impor dari negera-negara Amerika Latin. Mereka lebih konsentrasi pada penelitian yang diarahkan untuk meningkatkan kelangsungan hidup larva, pertumbuhan, dan kualitas daging ikan yang dihasilkan. Juga, membuat pakan ikan yang ramah lingkungan (“eco-friendly diet”), misalnya untuk mengurangi loading fosfor dan ammonia dari ikan ke perairan.
Meskipun penggantian minyak ikan dengan minyak nabati sampai 50% tidak mempengaruhi pertumbuhan ikan, akan tetapi kandungan asam lemak EPA dan DHA dalam tubuh ikan turun drastis. Hal tersebut disebabkan karena ikan laut tidak bisa mensintesa sendiri EPA dan DHA dari asam lemak C18 yang banyak dikandung oleh tumbuh-tumbuhan. Jenis ikan budidaya yang telah diketahui tidak memiliki atau sangat rendah aktivitas enzimnya yang bekerja dalam sintesa EPA dan DHA adalah ikan sebelah (turbot) untuk enzim elongase (Ghioni et al., 1999), dan ?5-desaturase untuk ikan kakap (gilthead sea bream) (Mourente et al., 1993).
Ikan salmon menunjukkan kemampuan sedikit lebih besar dalam memanfaatkan minyak nabati. Meskipun demikian, kandungan EPA dan DHA ikan salmon juga menurun bila hanya diberi pakan dengan minyak nabati dan terus menerus. Untuk mengembalikan kandungan EPA dan DHA mendekati ikan yang diberi pakan dengan minyak ikan, Bell et al., (2003) menyarankan perlakuan “wash out”, yaitu mengganti pakan yang mengandung minyak nabati dengan pakan yang mengandung minyak ikan beberapa bulan sebelum panen dilakukan. Substitusi minyak ikan dengan minyak nabati juga telah menurunkan kadar dioxin dan PCBs pada ikan salmon (Bell et al., 2004).
Selain masalah asam lemak omega-3 di atas, kandungan asam amino tepung nabati juga tidak selengkap dengan tepung ikan yang kaya akan amino esensial seperti lysine dan methionine. Protein nabati juga tidak bisa dimanfaatkan dengan baik oleh ikan. Dengan demikian, ketergantungan ikan budidaya pada tepung ikan juga masih sangat tinggi. Aplikasi bioteknologi yang bisa meningkatkan kemampuan ikan memanfaatkan minyak/protein nabati mungkin akan membatu mengurangi ketergantungan tersebut. Hal ini menjadi tantangan bagi para bioteknologist untuk menemukan faktor pembatas dalam sistem metabolisme protein yang terlibat dalam pencernaan pakan nabati.
2. Memelihara ikan jenis karnivora lebih boros
Saat ini, salah satu jenis ikan yang menjadi ikan budidaya unggulan yang telah ditetapkan oleh Departemen Perikanan dan Kelautan (DKP) adalah ikan kerapu. Walau harga ikan kerapu relatif mahal dibandingkan dengan ikan budidaya laut lainnya, tetapi kita tahu bahwa ikan ini adalah ikan jenis karnivora dan sampai saat ini ikan kerapu belum bisa memanfatkan pakan buatan.
Akibatnya, hampir semua daerah yang mengembangkan ikan kerapu menggunakan pakan berupa ikan rucah mentah. Harga ikan rucah memang murah dan masih relatif mudah diperoleh. Akan tetapi selain suplainya sangat tergantung musim, juga kualitasnya sangat bervariasi. Ikan rucah juga bisa sebagai sumber panyakit yang bisa menular ke ikan budidaya.
Dengan hanya memberikan pakan berupa ikan rucah ditambah beberapa sumber protein nabati seperti kedele, untuk memproduksi ikan kerapu dengan bobot 0,5 kg, dibutuhkan sekitar 6 kg ikan rucah. Bisa dibayangkan berapa banyak ikan rucah yang dibutuhkan untuk mencukupi kebutuhan budidaya ikan kerapu yang sudah digongkan oleh DKP tersebut.
Pada beberapa daerah yang suplai ikan rucahnya sudah tidak mencukupi, misalnya di Riau, ikan kerapu diberi pakan berupa ikan tongkol/tuna yang mentah yang berukuran kecil. Mereka mengorbankan ikan tongkol kecil karena harganya lebih murah daripada ikan kerapu hidup. Mereka lupa bahwa ikan tongkol/tuna yang kecil merupakan cikal tongkol/tuna ukuran besar. Bila kegiatan budidaya seperti itu terus berjalan dan menjadi intensif, maka stok ikan tongkol/tuna di perairan kita akan menurun drastis dalam waktu yang singkat.
Untuk itu menjadi tantangan bagi Tim Rusnas DKP program ikan kerapu untuk membuat pakan buatan yang disenangi oleh ikan kerapu dalam waktu yang tidak terlalu lama. Strategi yang pernah dilakukan pada ikan ekor kuning (yellowtail) atau kakap merah (red seabream) di Jepang yang pada awalnya tidak bisa memanfaatkan pakan buatan menjadi terbiasa, bisa ditiru untuk ikan kerapu.
3. Melirik ikan jenis herbivora/omnivora
Ikan air tawar pada umumnya mampu mensintesa omega-3 EPA dan DHA dari asam lemak C18. Sehingga mereka tidak begitu membutuhkan suplai minyak/tepung ikan dalam makanannya. Oleh karena itu, pengembangan budidaya ikan yang bersifat herbivora atau omnivora sebagai sumber protein hewani, dapat menjadi alternatif pengganti budidaya ikan jenis karnivora.
Beberapa peneliti Jepang sudah mulai memikirkan untuk mengembangkan ikan-ikan herbivora. Akan tetapi mereka tidak punya banyak pilihan jenis ikan. Ikan tilapia yang telah menunjukkan pertumbuhan dan kualitas daging yang bagus walau hanya diberi makan berupa plankton, tidak bisa hidup bebas di alam Jepang dengan temperatur yang sangat bervariasi tergantung musim. Selain itu, orang Jepang tidak begitu senang makan ikan air tawar.
Sebaliknya, beberapa jenis ikan air tawar yang telah lama kita kembangkan, seperti ikan tilapia, mujair, gurame, ikan mas dan ikan patin, bisa lebih ditingkatkan produksinya, baik melalui perbaikan sistem budidaya atau pun dengan aplikasi bioteknologi. Ada beberapa jenis ikan air tawar, seperti tilapia dan mujair, mampu hidup pada rentang salinitas yang luas. Ikan-ikan seperti ini dapat kita kembangkan untuk masa depan.
Beberapa hasil penelitian bioteknologi pada tanaman telah menunjukkan adanya peningkatan daya tahan terhadap kadar garam tinggi. Teknik ini mungkin bisa digunakan untuk meningkatkan daya adaptasi ikan air tawar pada salinitas air payau atau bahkan air laut untukmengantisipasi semakin sempitnya lahan budidaya air tawar.
4. Bioteknologi dalam budidaya ikan
Ikan air tawar umumnya mengandung omega-6 lebih banyak daripada omega-3.Sebaliknya, ikan laut mempunyai omega-3 lebih banyak. Asam lemak omega-6 banyak kita dapatkan dari sayur-sayuran, dan jarang orang kekurangan asam lemak kelompok ini. Meskipun ikan air tawar bisa memproduksi sendiri asam lemak omega-3, tetapi kadar asam lemaknya jauh lebih rendah dibandingkan dengan apa yang ada pada ikan laut.
Ikan laut banyak mengandung omega-3 bukan sebagai hasil produksi sendiri, tetapi hanya mengakumulasikan asam lemak tersebut di dalam tubuhnya secara selektif dari makanan yang dimakan. Hal ini yang menyebabkan ikan laut yang dibudidayakan tidak bisa terlepas dari suplai EPA dan DHA dalam makanannya, khususnya pada fase pembenihan. Sehingga peningkatan produksi akuakultur yang berlipat ganda dalam dua dasawarsa terakhir ini merupakan salah satu penyebab cepatnya penurunan stok ikan laut dunia (Naylor et al., 2000).
Salah satu bentuk kemajuan bioteknologi yang mungkin dapat digunakan untuk membantu memecahkan masalah pakan ikan laut dan juga suplai EPA dan DHA untuk manusia adalah melalui modifikasi sistem metabolisme asam lemak pada ikan. Dengan cara melipatgandakan jumlah copy gen yang bekerja dalam sintesa asam lemak HUFA, maka kadar EPA dan DHA dalam tubuh ikan meningkat sebesar 1,4 dan 2,1 kali lipat daripada ikan biasa (Alimuddin et al., 2005).
Pada penelitian itu, masih digunakan ikan air tawar sebagai model. Dengan cara yang sama, strain ikan laut yang bisa mensintesa EPA/DHA sendiri berpeluang besar untuk dibuat. Aplikasi teknologi ini pada ikan laut akan membuka peluang pengembangan budidaya ikan laut lebih besar lagi tanpa harus mengorbankan ikan berukuran kecil lebih banyak lagi. Juga dengan membudidayakan ikan laut jenis ini, kebutuhan akan minyak ikan menjadi menurun atau mungkin semuanya bisa digantikan oleh minyak nabati. Dengan kata lain biaya pakan ikan budidaya yang bisa melebihi 50% biaya produksi dapat ditekan sehingga kegiatan budidaya menjadi lebih ekonomis.
(Sumber : Simposium Nasional Bioteknologi Dalam Akuakultur, Juli 2006)
“Membuat pakan sendiri,” banyak pembudidaya ikan berpikir apa bisa membuat pakan ikan sendiri untuk peliharaan ikan? Tentunya bisa. Melihat sekarang pakan atau pellet terus naik harganya dan makin tidak terjangkau para petani budidaya ikan.
Pellet ukuran 5ml, 3 ml, 1.5 ml
Meskipun beberapa pakan buatan sendiri diakui masih kurang berkualitas dari pakan buatan pabrik tapi tidak menutup kemungkinan pakan buatan sendiri lebih baik, lebih segar jika bahan-bahan pembuatan pakan tersedia dan mutu yang baik.
Pakan yang baik memenuhi nutrisi ikan. Mengenal kebutuhan nutrisi ikan merupakan landasan dalam pembuatan pakan ikan sendiri, setiap ikan membutuhkan nilai gisi yang berbeda, kebutuhan protein, lemak dan serat ikan nila atau tilapia berbeda dengan ikan lele.
Ikan lele memerlukan lebih sedikit nilai nutrisi dibanding dengan ikan nila, gurame, ikan mas dan sebagainya.
Pakan yang memiliki keseimbangan protein, lemak, dan serat untuk kebutuhan ikan tertentu akan memacu pertumbuhan ikan yang cepat besar, akan tetapi bila nutrisi yang dibutuhkan ikan kurang maka pertumbuhan ikan akan lambat berakibat pada biaya dan waktu panen yang cukup lama.
Sering terjadi ikan dipanen pada umur 6 bulan menjadi 8 bulan untuk ikan nila berukuran 500 gr. Karena nilai protein dan lemak serta serat yang kurang.
Kandungan nutrisi pakan ikan buatan sendiri dibagi dua bagian sesuai dengan umur ikan.
ikan nila yang berumur 1-3 bulan nilai protein antara 35%-50%.
Ikan nila yang berumur 4 bulan keatas 25%-30% . lihat table untuk lebih lanjut.
Setelah mengetahui kebutuhan ikan, kita perlu mempelajari bahan-bahan dan kandungan gisi setiap bahan yang tersedia. Hampir semua bahan dasar yang dibutuhkan dalam pembuatan pakan ikan sendiri tersedia di seluruh pelosok nusantara. Seperti, jagung, dedak kuning, tepung ikan, ampas tahu, limbah udang, bungkil, dan lainnya. Bahan-bahan tersebut memiliki nilai gisi yang cukup untuk kebutuhan ikan. Lihat table1. kandungan gisi bahan-bahan pembuatan pakan.
Kandungan Protein Bahan Makanan Ikan    
Nama Bahan     Protein     Lemak     Serat
Tepung Teri     63.71     4.21     3.6
Tepung Udang     47.47     8.95     4.49
Tepung Darah     80.85     5.61     0
Tepung bekicot     39     9.33     1.05
Tepung Ikan     62.99     6.01     3.6
Tepung Kedelai     46.8     5.31     3.54
Tepung Terigu     12.27     1.16     0
Dedak Halus     13.3     2.4     9.4
Tepung Jagung     9.5     3.22     1.76
Tepung singkong     0.85     0.3     0
Bungkil Kelapa     24.0     8.0     10
Tepung Ayam Segar     15.51     0.21     0.36
Jika di daerah anda tidak memiliki satu atau dua bahan yang tertera di atas anda masih tetap bisa membuat pellet ikan, dengan tiga macam saja tentu bisa juga. Dengan memperhatikan kebutuhan ikan, maka pakan ikan dapat diupayakan. Ingat lebih baik dengan bahan tiga macam yang ketersediaannya berkelanjutan lebih baik daripada lima atau enam baham campuran yang kadang tersedia dan kadang tidak. Sebaiknya jangan membuat pakan dengan campuran bahan pakan yang terus berubah-ubah menjaga agar ikan tidak stress oleh karena perubahan bahan pembuatan pellet.
Bahan     Lemak     Protein     Bahan/KG
Ikan     6.0     55.0     100
Dedak     2.4     13.3     100
Jagung     4.5     9.8     100
Kedelai     1.3     46.8     100
Kopra     16.7     79.4     100
Table2.
Bagaimana mencampur bahan pakan ikan sesuai dengan kebutuhan nutrisi ikan nila? Ada banyak cara untuk menghitung dan menkombinasiakan bahan pakan yang memenuhi standar yang di tentukan.
Misalnya kita akan membuat pakan dengan nilai protein 40%, lemak 5% dengan bahan yang tersedia; tepung ikan, jagung giling, dan ampas tahu
lihat contoh table formula campuran bahan pakan.
Bahan     Jumlah campuran     Harga Bahan     Kandungan Nutrisi
%     Cost (RP/100 kg)     Lemak (%)     protein (%)
Ikan     30.0         1.80     16.50
Dedak     0.0         0.00     0.00
Jagung     20.0         0.90     1.96
Kedelai     50.0         0.65     23.40
Kopra                 0.00
   
Total     100         3.35     41.86
Tabel3.
Ingredient     Inclution Rate     Inclution     Contribution to
%     Cost (RP/100 kg)     Lipid (%)     Protein (%)
Ikan     30.0         1.80     16.50
Dedak     50.0         1.20     6.65
Jagung     20.0         0.90     1.96
Kedelai             0.00     0.00
Kopra                 0.00
       
Total     100     Rp     3.90     25.11
Tabel4.
Contoh campuran bahan diatas hanya terdiri dari tiga bahan: tepung ikan, jagung halus, dan ampas tahu. Tentu saja anda bisa membuat dengan model campuran yang lain akan tetapi tepung ikan bahan utama yang harus ada dalam setiap pembuatan pakan ikan karena tepung ikan menimbulkan aroma yang dapat merangsang napsu makan ikan dan akan lebih baik lagi bila di tambahkan dua persen minyak ikan pada campuran pembuatan pellet ikan. Perhitungan diatas adalah perhitungan kasar. Kualitas bahan dan lain unsur lain dapat mempengaruhi nilai kandungan gisi setiap bahan.
Setelah ditentukan bahan yang akan di gunakan kita sampai pada proses pencampuran sebagai berikut;
Sediakan tempat yang bersih untuk mengaduk sebanyak 100 kg .
Campurkan setiap bahan yang sudah ditentukan dalam kilogram.
Aduk sampai semua bahan sudah tercampur dengan mereta.
Sediakan wadah untuk persiapan pencetakan bahan menjadi berbentuk pellet.
Mesin pencetak pellet ada dua macam; pencetak pellet basah dan mesin pencetak pellet kering. Biasanya mesin pencetak basah tidak bisa untuk mencetak pellet kering akan tetapi mesin pencetak pellet kering bisa mencetak pellet basah.
Desain pencetak pellet basah umumnya lebih murah dan mesin ini banyak di buat dalam negeri oleh bengkel-benkel industri kecil tapi, ada juga diantara mereka yang memproduksi mesin pencetak pellet kering dan harganya dua sampai tiga kali lipat, karena pembuatanya lebih mahal.
Dalam proses pencetakan pellet basah hendaknya campuran air pada bahan jangan terlalu banyak atau sampai encer.
Pellet akan terbentuk jika campuran tidak encer.
Percobaan berulang-ulang akan menghasilkan takaran air yang tepat.
Tuangkan bahan yang sudah dicampur ke mesin pencetak sedikit demi sedikit untuk melihat hasil cetakan apakah sudah bagus atau belum, tambahkan air jika mesin kelihatan bekerja terlalu berat atau jika terlalu encer tambahkan bahan kering yang sudah dicampur.
Budidaya ikan nila akan lebih banyak menguntungkan jika pakan ikan dibuat sendiri. Makanan ikan merupakan biaya yang paling banyak dikeluarkan dalam usaha budidaya ikan.

Wednesday, April 29, 2015

LAPORAN GENETIK PEMULIAAN IKAN

April 29, 2015 Posted by Media Penyuluhan Perikanan Pati No comments
PENDAHULUAN
A. Latar Belakang
Produk-produk dari usaha perikanan, termasuk budidaya ikan/non ikan akan memberikan sumbangan yang penting dalam memenuhi salah satu kebutuhan pokok manusia yaitu berupa bahan pangan.Parabudidayawan ikan tentu akan selalu berusaha meningkatkan produksinya dengan mutu produk yang sebaik-baiknya dan dengan mengeluarkan biaya yang serendah-rendahnya.
Dalam usaha perikanan untuk meningkatkan hasil dan sekaligus memperbaiki mutu hasil dari ikan yang dibudidayakan dapat diterapkan 2 cara. Pertama denga meningkatkan kebutuhan ikan yang sebaik-baiknya seperti pakan, pemeliharaaan ikan. Kedua yaitu dengan mencoba mengmebangbiakan ikan yang mempunyai bakat keturunan leih banyak produksinya atau mulai mencoba mengembangbiakan ikan yang lebih menguntungkan jika ditinjau dari sudut ekonomi. Menjadi tugas pembenihan dan sekaligus sebagai budidayawan ikan untuk selalu meningkatkan bakat keturunan berbagai jenis ikan dengan mendayagunakan metode-metode pembenihan yang tepat guna.
Melalui mata kulish seleksi ikan ini, dapat lebih memahami apa yang dimaksud dengan heritabilitas dan program-program breeding dalam upaya perbaikan genetika untuk meningkatkan produktifitas. Pada hakikatnya menurunya sifat itu tiada lain dari pewarisan sifat-sifat induk kepada keturunannya. Guna mendapatkan bagaimana pengetahuan tentang ilmu genentika untuk memperbaki sifat-sifat ikan yang kurang baik, maka ditunjang dengan pelaksanaan praktikum.
Pada praktikum ke-1 dilaksanakan penghitungan nilai heritabilitas ikan nila di cianjur yang berasal dari 2 populasi yang berbeda yaitu lembur tengah dan cimenteng., sehingga dapat diketahui seberapa besar pewaarisan sifat induk kepada keturunan. Kegiatan ini akan dibahas pada bagian I.
Pada bagian 2, 3, 4 akan membahas praktikum mengenai 2 program breeding yaitu Cross breeding dan gynogenesis. Dalam praktikum ini dapat diteliti bagaimana susunan suatu populasi secara menyeluruh dapat berubah melalui pemilihan bibit/ seleksi dan persilangan yang digambar menurut ciri-ciri kualitatif.
Sedangkan pada bagian 5 dan 6 akan membahas praktikum mengenai dampak dari program breeding. Dalam praktikum ini dapat diketahui apakah terjadi inbreeding pada suatu populasi ikan yang ditandai dengan fitness dan karakter fenotif yang beragam.
Dari beberapa praktikum yang telah dilaksanakan, dapat diuraikan lebih mudah daripada teori, sehingga untuk itu diperlukan informasi yang real dan diuraikan dengan sejelas-jelasnya dalam sebuah laporan praktikum.
B. Tujuan
Adapun tujuan dari pelaksanaan praktikum seleksi ikan ini, sbb:
Mengetahui tingkat/nilai heritabilitas ikan nila di cianjur
Mengetahui teknik dalam mengaplikasikan program breeding
Dapat mengaplikasikan program breeding, guna meningkatkan produktifitas
Mengetahui dampak dari beberapa program breeding
Mengetahui keunggulan dan kekurangan dari program breeding ikan dapat dilakukan dengan program breeding.
TINJAUAN PUSTAKA
Pada prinsipnya konsep breeding induk udang introduksi sederhana, namun memerlukan waktu untuk melakukan seleksi dengan tetap mempertahankan sifat unggul tertentu dari ikan/udang introduksi tersebut (Subaidah, 2006).
A. Heritabilitas
Menurut D. Minkema dalam dasar genetika pembudidayaan ternak (1987 : 115) menyatakan bahwa variansi dari nilai bibit merupakan bagian dari seluruh variansi kefenotifan yang disebut tingkat keturunan (heritability). Tingkat keturunan adalah pengertian yang sangat banyak dipakai dalam sifat-sifat kaimat/dinyatakan dengan lambing h2. Jadi tingkat keturunan adalah bagi variansi yang berwujud dalam nilai bibit dalam populasi/ukuran bagi variansi antara rata-ratanya sifat keturunan dari berbagai individu.
Lebih lanjut dalam dasar genetika pembudidayaan ternak menrangkan bahwa tingkat keturunan sebagai bagian dari kelebihan/kekurangan yang tampak pada induk yang diteruskan kepada keturunannya. Selain itu tingkat keturunan daaat dipakai untuk meramalkan kemajuan yang dapat dicapai dengan seleksi.
Tingkat keturunan mengambil nilai antara 0 dan 1, karena ia mengenai sebagian variasi seluruhnya. Jika nilai h2 dari suatu ciri adalah 0, maka seleksi atas ciri ini tidak akan memberikan hasil satupun, karena semua hewan mempunyai nilai bibit yang sama, yaitu rata-rata mempunyai sifat keturunan yang sama. Jika h2=1, maka semua variansi bersendi pada perbedaan nilai bibitnya dan dapatlah seleksi cepat menghasilkan hasil baik.
Dengan melakukan seleksi kearah tertentu meningkatkan kehomozigotan dalam populasi dan variasi nilai bibit berkurang. Akibatnya ialah nilai h2 itu bahkan 0, semua variasi nilai bibit telah lenyap. Tentu saja ciri-ciri dalam suatu garis murni masih tetap ditentukan oleh factor keturunan.
Tingkat keturunan yang efektif memuat disamping variansi kegenotifan tambahan sebagian dari variansi sebagai akibat dari interksi bukan alel. Pengukuran h2 untuk mengetahui besarnya keragaman fenotif yang diakibatkan oleh aksi genotif/ menggambarkan tentang persentasi keragaman fenotif yang diwariskan dari induk kepada keturunannya. Lebih jelas lagi dalam lembar kerja praktikum menjelaskan bahwa nilai h2=0 berarti karakter yang diwariskan pada keturunannya semuanya diakibatkan oleh keragaman lingkungan tidak ada pengaruh genetic, begitupula seblaiknya. Nilai heriditas dikelompokan menjadi 3, yaitu:
Rendah (mempunyai nilai 0 – 0,1)
Medium (mempunyai nilai 0,1 – 0,3)
Tinggi (mempunyai nilai 0,3 – 1,0)
B. Cross Breeding
Menurut D. Minkema (1987 : 172), menyatakan bahwa cara yang dapat digunakan untuk memperbaiki susunan genetika hewan-hewannya yaitu system perkawinan ini merupakan cara mengawinkan hewan-hewan atau mengkombinasikannya. Perkawinan sedarah mengantarkan pada kehomozigotan sehingga akan diikuti dengan degenerasi persedarahan/depresi persedarahan yaitu kemunduran daya hidup.
Lebih lanjut dalam dasar genetika pembudidayaan ternak (1987:173) menjelaskan bahwa persilangan adalah perkawinan antara individu yang kurang rapat hubungannya dari rata-rata populasi. Persilangan biasanya diikuti dengan peningkatan daya hidup. Hasil dari persilangan mempunyai kesuburan, daya tumbuh dan daya tahan yang tinggi. Gejala ini disebut heterosis/keunggulan bastar. Heterosis adalah hasil persilangan dari garis keturunan sedarah yang lebih/kurang kuatnya pada berbagai varietas/hewan.
Perkawinan sedarah dan persilangan lebih bermanfaat daripada seleksi biasa tanpa perkawinan sedarah, jika ada kemungkinan dominasi berlebihan, jadi apabila genotype heterozigot lebih baik daripada ke-2 homozigot. Dengan melakukan seleksi dapat menjadikan semuanya homozigot. Akan tetapi jika ada kemungkinan bagi dominasi berlebihan, maka yang heterozigot lebih baik daripada kedua homozigot. Kemunduran akibat perkawinan sedarah dan heterosis adalah 2 gejala yang bertentangan yang mempunyai sebab-sebab genetic yang sama. Hal ini sangat erat berhubungan dengan variasi kegenotipean bukan tambahan dengan variasi sebagai akibat dari kedominanan. Perkawinan sedarah juga akan mengakibatkan bertambah frekuensi kehomozigotan dan frekuensi keheterozigotan berkurang.
Out breeding adalah mengawinkan antara individu-individu yang tidak sekerabat (berbeda induknya) masih dalam satu varietas/beda varietas. Out breeding akan menghasilkan heterozigositas yang akan menguatkan individu-individunya terhadap perubahan lingkungan. Hibridisasi adalah perkawinan antara spesies yang berbeda. Hibridisasi/persilangan merupakan suatu upaya untuk mendapatkan kombinasi antara populasi yang berbeda untuk menghasilkan keturunan yang mempunyai sifat unggul. Hibridisasi dapat dilakukan dengan 2 cara, yaitu :
Interspesifik hibridisasi, yaitu perkawinan antara spesies yang berbeda
Intraspesifik hibridisasi, yaitu perkawinan dalam 1 spesies
C. Gynogenesis       
Gynogenesis adalah proses terbentuknya zigot tanpa kontribusi material genetic dari sperma dan perkembangan embrio hanya dikontrol oleh material genetic dari sel telur (Sumantadinata, 2005).
Gynogenesis merupakan salah satu cara untuk memperbaiki mutu genetika ikan dengan tujuan akhir adalah mendapatkan induk-induk ikan yang telah baik mutu genetisnya. Lebih lanjut Cherfas (1981) menyatakan bahwa teknik gynogenesi merupakan salah satu teknik secara terkontrol untuk mendapatkan induk murni.
Menurut Moav (1976) dalam menghasilkan benih unggul adalah dengan cara menghibridkan induk-induk murni yang berkerabat jauh yang akan memanfaatkan sifat heterosis maksimal pada turunannya. Rakitan teknologi gynogenesis telah didapatkan oleh Balitkanwar dan yang terbaik adalah dengan metode kejutan panas, khususnya pada ikan mas.
Gynogenesis juga dapat didefinisikan sebagai suatu proses penurunan sifat maternal secara total melalui perkembangan telur tanpa kontribusi sperma secara genetic untuk menjadi embrio. Dengan cara gynogenesis suatu populasi yang mempunyai homozigositas tinggi dan bahkan klon dapat diperoleh jauh lebih cepat daripada metode sib mating (perkawinan sekerabat). Gynogenesis buatan memungkinkan untuk dilakukan pada semua spesies ikan yang telah dapat dilakukan pembuahan buatan. Gynogenesis pada dasarnya merupakan suatu perlakuan untuk mengatasi 2 masalah dalam proses pembentukan zygote, yaitu menon-aktifkan material genetic sperma dan merangsang diploidisasi untuk terbentuknya zigot.
Lebih rinci lagi Ir. Gusrina menjelaskan juga bahwa dalam gynogenesis ikan mas ada 2 proses yang harus dilakukan, yaitu:
Radiasi
Proses untuk menon-aktifan material genetika sperma yang akan digunakan untuk membuahi telur. Proses ini dapat dilakukan dengan menggunakan sinar gamma, sinar X dan sinar UV. Ke-3 sinar tersebut lebih murah, mudah didapatkan, efisien dan lebih aman disbanding dengan sinar lainnya.
Perlakuan radiasi sperma tidak mengakibatkan berkurangnya pembuahan telur. Sperma tersebut masih mampu berfungsi sebagai trigger perkembangan embrio. Dengan adanya radiasi proses pembuahan akan menghasilkan individu betina.
Diploidisasi
Merupakan kegiatan yang sangat penting dalam proses gynogenesis karena dengan proses ini akan menghasilkan individu normal 2-n.
Proses diploidisasi dilakukan dengan memberikan kejutan pada saat yang tepat. Kejutan yang dapat diberikan dalam proses ini ada 3 macam, yaitu:
– Kejutan dingin (cold shock)
– Kejutan panas (hot shock)
– Tekanan (pressure)
D. Toleransi Salinitas
Toleransi salinitas merupakan salah satu karakter fisiologis penting pada ikan (Chiyokubo et al, 1998). Analisa genetic dengan menggunakan toleransi salinitas telah dilakukan pada ikan teleost dan dapat menjelaskan perkembangan genetic dari ikan-ikan gupi liar (Poecilia reticulate) dan ikan-ikan gupi yang telah didomestikasi. Toleransi salinitas diukur dengan menghitung waktu yang dibutuhkan ikan untuk bertahan hidup sejak dipindahkan dari air tawar ke air laut yang bersalinitas 35 permil. Dari hasil penelitian Chiyokubo et al (1998) telah terjadi penurunan toleransi salinitas secara individu yang diakibatkan oleh depresi inbreeding pada generasi kedua. Depresi inbreeding dapat dilihat dari karakter yang berkaitan dengan fitness individu seperti kelangsungan hidup, pertumbuhan dan kemampuan telur menetas (Kincaid et al dalam Chiyokubo et al, 1998).
E.  Karakter Fenotif
Karakter adalah sifat fisik dan psikis bagian-bagian tubuh/jaringan. Karakter  tersebut diatur oleh banyak macam gen, atau satu gen saja. Karekter dibedakan menjadi 2 kelompok, yaitu : karakter kualitatif dan karakter kuantitatif (Yatim,1996).
Menurut Martojo (1990), adapun beda karakter kualitatif dan kuantitatif sbb:
Sifat kuantitatif dipengaruhi oleh sejumlah besar pasangan gen, dimana masing-masing dapat berperan secara aditif, dominan dan epistatik dan bersama-sama dengan pengaruh lingkungan menghasilkan ekspresi fenotif sebagai sifat kuantitatif.
Keragaman sifat kuantitatif bersifat kontinu berkisar di antara nilai minimum dan maksimum dan menggambarkan suatu distribusi normal.
Karena jumlah yang besar dan saham setiap alel yang kecil, maka peranan gen secara sepasang demi sepasang tidak penting. Hal itu berbeda dari sifat kualitatif yang hanya dipengaruhi oleh satu atau dua pasang gen. Pengaruh lingkungan terhadap sifat kuantitatif relative lebih besar.
Karakter fenotif ikan nila Gift yang telah diamati menurut Murniati (1999) antaralain adalah letak jari-jari sirip, posisi sirip, bentuk dan jumlah LL, sirip punggung, badan dan ekor.
F. Sex Reversal
Menurut Anonim (2006) Sex reversal (monosex) adalah suatu teknologi yang membalikkan arah perkembangan kelamin menjadi berlawanan. Cara ini dilakukan pada waktu menetas gonad ikan belum berdifferensiasi secara jelas menjadi jantan atau betina tanpa merubah genotifnya. Dalam penerapan sex reversal hormon dapat diberikan beberapa cara yang didasarkan pada efektifitas, efisiensi, kemungkinan polusi dan biaya. Menurut Anonim (2001), terdapat dua metoda penghormonan terhadap larva ikan, yakni:
Metoda perendaman (dipping), yaitu dengan cara merendamkan larva ikan ke dalam larutan air yang mengandung 17 α metyltestoesteron dengan dosis 1,0 gram/liter air.  Metode ini dapat diaplikasikan pada embrio, dan pada larva ikan yang masih belum mengalami diferensiasi jenis kelamin (sex), dan lama perendaman tergantung dosis hormon yang diaplikasikan, dimana semakin banyak dosis hormon maka semakin singkat waktu perendaman dan demikian juga sebaliknya.
Metoda oral (melalui pakan), yaitu dengan mencampur hormon 17 α metyltestoesteron secara merata dengan pakan dengan dosis 40 mg/kg pakan.
III. METODOLOGI
A. Waktu dan Tempat
Pelaksanaan praktikum mata kuliah Seleksi ikan ini dilaksanakan selama trisemester 7, yakni dimulai dari tanggal 3 Oktober 2006 hingga tanggal 20 Januari 2007. Bertempat di Hatchery Instalansi Perikanan PPPG Pertanian Cianjur.
B. Alat dan Bahan
Alat dan bahan yang digunakan dalam setiap praktikum berbeda. Adapun rincian alat dan bahan yang digunakan pada setiap praktikum, sbb:
Heriditas
Alat :     Bahan :
– Baskom plastic (2 buah)
– Seser
– Timbangan
– Alat ukur (penggaris)
– Tissu
– Alat tulis
– Bak penampungan sementara
– Mangkok
– Air sebagai media
– Benih ikan nila lembur tengah (30 ekor)
– Benih ikan nila cimenteng (30 ekor)
Cross Breeding
Alat :    
– Bak pemijahan
– Kakaban
– Timbangan
– Tali rafia
– Batu
– Seser
– Alat tulis
Bahan :
– Induk lele ♀ hitam (w= 0,9 kg)
– Induk lele ♂ putih (w= 0,8 kg)
– Ovaprim
– Aquabides

– Air sebagai media
– Selang aerasi
– Batu aerasi
– Spuit
– Sikat
– Lap kering
– Bak penampungan sementara
Gynogenesis
Alat :    
– Gelas ukur
– Mangkok
– Bulu ayam (2 buah)
– Spuit
– Kotak UV
– Panci
– Kompor
– Nampan
– Petridis (2 buah)
Bahan :
– Induk ♀ = 1,5 kg dan 1,2 kg
– Induk ♂ = 3,2 kg (5 ekor)
– Ovaprim
– Larutan fisiologis
– Aquabides
– Termos nasi
– Termometer
– Lap kain
– Seser
– Aquarium
– Mikroskop
– Kaca
– Tissue
– Air panas 400C
– Air dingin 320C
– Telur ikan mas
– Sperma ikan mas
Toleransi Salinitas
Alat :     Bahan :
– Hand Refractometer
– Toples plastic (uk.5 liter)
– Stop watch
– Ember
– Alat tulis
– Ikan gupi (10 ekor)
– Garam dapur
– Air
Karakter Fenotif
Alat :     Bahan :
– Baki plastik
– Dissecting set
– Alat ukur (penggaris)
– Tissu
– Timbangan
– Ember
– Alat tulis
– Ikan nila
Sex Reversal
Alat :     Bahan :
– Seser
– Aquarium
– Baskom plastik
– Ember
– Aerator
– Timbangan
– Larva ikan nila (umur 3 hari)
– Hormon 17α-Methyl Testoteron
– Pakan
– Air bersih
– Alkohol 70%
C. Prosedur Kerja
1. Heritabilitas
Adapun prosedur kerja dalam menghitung h2, sbb:
Tangkap dan ambil benih ikan nila yang berasal daru 2 populasi berbeda di bak penampungan sementara dengan menggunakan seser
Pilih secara acak (sehingga dapat mewakili dari ke 2 populasi tersebut) dan ambil benih tersebut sebanyak @ populasi 30 ekor
Masukkan kedalam baskom plastic yang telah berisi air
Timbang biomassa ikan dan lakukan juga pengukuran tubuh ikan dari ke dua populasi tersebut dan catat hasilnya
Lakukan penghitungan berat tubuh, panjang tubuh (bakudan total) pada setiap populasi dan catat hasilnya
Hitung nilai h2 dari sample benih ikan nila tersebut dengan menggunakan perhitungan statistika yaitu Rancangan Acak Lengkap (RAL)/computer
Catat hasil penghitungannya.
2. Cross Breeding
Adapun prosedur kerja dalam menghitung melakukan cross breeding, sbb:
Persiapkan alat dan bahan yang akan digunakan dalam praktikum.
Tangkap dan ambil sepasang induk lele (♀ hitam dan ♂ putih) dari bak penampungan sementara dengan menggunakan seser.
Timbang biomassa ke-2 induk tersebut dengan menggunakan timbangan dan catat hasilnya.
Masukkan ke-2 induk tersebut kedalam bak penampungan secara terpisah.
Lakukan pemijahan secara buatan dengan menyuntikan ovaprim pada ke-2 induk tersebut.
Setelah itu masukan ke-2 induk tersebut kedalam bak pemijahan yang telah dilengkapi dengan kakaban.
Tutup bak pemijahan dengan menggunakan terpal, untuk menghindari ikan lele loncat keluar bak.
Setelah 24 jam, amati hasil pemijahan dari metode cross breeding.
Angkat kakaban dari bak pemijahan ke bak penetasan.
Amati perkembangan telurnya selama 24 jam
Pemeliharaan larva
3. Gynogenesis
Adapun prosedur kerja dalam gynogenesis, sbb:
Siapkan alat dan bahan yang akan digunakan dalam praktikum
Lakukan pemijahan buatan dengan melakukan penyuntikan ovaprim sebanyak 2 kali dengan dosis sesuai dengan aturan yang telah ditentukan.
Stripping induk betina setelah 6 jam dari penyuntikan ke II dan letakkan telur tersebut di mangkok (tutup rapat mangkon tersebut).
Setelah itu stripping pada induk jantan untuk mendapatkan sperma dan letakkan di mangkok.
Lakukan pengenceran sperma 1 : 100 (1 cc sperma : 99 cc larutan fisiologis)
Ambil dan masukan sperma yang telah diencerkan tadi kedalam Petridis dengan ketebalan 1 mm
Radiasi sperma selama 1,5 menit dengan menggunakan kotak UV yang terlebih dahulu telah di hidupkan selama 1 jam.
Campurkan sperma yang telah diradiasi dengan telur dan aduk sampai rata
Ambil dan letakkan telur yang telah terbuahi sperma tadi pada lempengan kaca (usahakan agar telur-telur tersebut tersebar merata tidak menumpuk).
Masukan lempengan kaca tersebut kedalam aquarium dengan suhu air 320C selama 3 menit.
Setelah itu beri kejutan panas dengan cara merendam telur-telur yang telah terbuahi sperma non aktif dalam air panas (400C) selama 3 menit.
Kemudian angkat dan masukan kembali lempengan kaca tersebut kedalam aquarium, untuk selanjutnya terjadi proses penetasan.
Amati proses perkembangan telurnya.
Pengamatan larva yang menetas
Pemeliharaan larva (pemberian pakan, pengelolaan kualitas air)
4. Toleransi Salinitas
Adapun prosedur kerja dalam toleransi salinitas, sbb:
Siapkan alat dan bahan yang akan digunakan dalam praktikum.
Bersihkan toples yang akan digunakan dalam praktikum dengan menggunakan spon pembersih dan bilas dengan air bersih
Isi toples tersebut dengan air sampai ketinggian 30 cm
Masukkan garam dapur ke dalam aquarium secukupnya sampai diperoleh salinitas air didalam aquarium sebesar 35 permil
Masukkan ikan gupi sebanyak 10 ekor kedalam toples yang telah disiapkan dan perhatikan serta catat waktu pemasukkan.
Amati tingkah laku ikan gupi tersebut dan catat waktu yang dibutuhkan oleh ikan tersebut untuk dapat bertahan hidup di dalam toples serta catat waktu yang dibutuhkan sampai ikan tersebut mati semua.
Buat histogram dari data tersebut. emberian pakan, pengelolaan kualitas air).
5. Karakter Fenotif
Adapun prosedur kerja dalam karakter fenotif, sbb:
Siapkan alat dan bahan yang akan digunakan dalam praktikum.
Ambilah ikan nila sebanyak 30 ekor dan simpan pada ember yang berisi air
Lakukanlah perhitungan terhadap karekter morfometrik yaitu panjang tubuh (panjang total) dan berat badan, serta karakter meristik yang terdiri dari jumlah jari-jari sirip punggung (Dorsal/D), sirip dada (pectoral/P), sirip perut (Ventral/V), sirip dubur (Anal/A), sirip ekor (Caudal/C).
Catat semua data dan lakukan perhitungan asimetri organ berpasangan dengan membandingkan jumlah sirip sebelah kanan dan kiri untuk jari lemah sirip dada dan perut
Timbanglah berat badan ikan tersebut dan catat, kemudian bedahlah ikan tersebut untuk menetukan jenis kelamin
Identifikasi jenis ikan nila tersebut dengan hasil perhitungan yang telah dilakukan dan diskusikan.
6. Sex Reversal
Adapun prosedur kerja dalam sex reversal, sbb:
Siapkan alat dan bahan yang akan digunakan dalam praktikum.
Bersihkan akuarium dengan dicuci hingga bersih, kemudian isi dengan air bersih hingga ketinggian 40 cm.
Ambil benih ikan nila sebanyak 50 ekor
Timbanglah biomassa benih tersebut yang akan diberi perlakuan penghormonan yaitu dengan cara mengambil dan menimbang beberapa sampel  untuk kemudian hasil penimbangan sampel dibagi dengan jumlah rata-rata larva sampel untuk mendapatkan berat rata-rata larva, selanjutnya hitunglah jumlah populasi larva,  lalu kalikan dengan berat rata-rata larva untuk mendapatkan berat total larva.
Timbanglah pakan yang dibutuhkan untuk larva sesuai dengan dosis yang sudah ditentukan (Feeding rate 30 – 40% per bobot biomassa/hari) dikalikan selama 10 hari pemberian pakan.
Siapkanlah larutan alkohol dengan konsentrasi 70% sesuai dengan kebutuhan.
Siapkanlah hormon yang akan digunakan sesuai kebutuhan.  Misalnya jumlah kebutuhan pakan 250gram, dosis penghormonan 40 mg/kg pakan, maka timbanglah hormon sebanyak 10 mg.
Larutkanlah hormon tadi ke dalam alkohol tersebut sebanyak 10 ml ( 1mg/ml), lalu simpan dalam botol berwarna gelap (tidak bening).
Campurlah larutan hormon dengan pakan dengan cara menggunakan hand sprayer disemprotkan secara merata pada pakan.  Untuk menghilangkan alkohol angin-anginkanlah pakan tersebut sampai bau alkoholnya sudah tidak menyengat lagi.
Simpanlah hormon yang sudah dianginkan pada kantong plastik yang berwarna gelap dengan ditutup rapat-rapat baik sebelum maupun sesudah digunakan, atau dapat juga disimpan dalam refrigerator (+ 4o C)
D. Variabel Pengamatan
1. Heritabilitas
Dari kegiatan praktikum ini, parameter yang diamati yaitu berat tubuh dan panjang tubuh meliputi panjang baku dan panjang total.
2. Cross breeding
Dari kegiatan praktikum Cross breeding parameter yang diamati yaitu hatching rate dan  factor genetic yang dibawa  benih yang menetas dari persilangan dalam antara induk lele hitam dan induk lele putih.
3. Gynogenesis
Variabel pengamatannya yaitu melakukan pengamatan berapa persentasi telur yang menetas pada metoda gynogenesis serta faktor genetik yang dibawa oleh larva yang menetas kemudian selain itu mengetahui terjadinya kontribusi dari sperma/tidak. Indikator jika tidak terjadi kontribusi sperma maka larva yang dihasilkan 100% betina.
4. Toleransi Salinitas
Variabel pengamatannya yaitu mengadalah waktu yang dibutuhkan oleh ikan guppy untuk bertahan hidup dalam waktu tertentu. Kemudian apakah ikan guppy tersebut telah terjadi pembuhan secara inbreeding atau tidak. Jika terjadi inbreeding maka indikatornya adalah daya tahan tubuh ikan guppy sangat rentan terhadap perubahan lingkungan.
5. Karakter Fenotif
Variabel pengamatan yang dilakukan adalah melakukan pengukuran panjang tubuh (panjang total) dan berat badan, serta karakter meristik yang terdiri dari jumlah jari-jari sirip punggung (Dorsal/D), sirip dada (pectoral/P), sirip perut (Ventral/V), sirip dubur (Anal/A), sirip ekor (Caudal/C).
6. Sexreversal
Variabel yang diamati adalah dengan persentase perubahan larva yang dilakukan sexreversal. Dengan cara memberikan pakan berhormon yang bertujuan untuk membalikan arah kelamin menjadi berlawanan. Pemeliharaan larva dilakukan selama 10 hari.
E. Analisa Data
1. Heritabilitas
Guna mendapatkan data yang akurat dalam perhitungan nilai h2, maka digunakan rumus-rumus dalam perhitungan nilai h2, sbb :
1. FK               =  (Yij)2
r x t
2. JKT             = ∑ (Yi2) – FK
3. JKP             =  ∑ (Yij)2   –  FK
r
4. JKG             = JKT – JKP
5. h2                = JKP
JKT
Ket :
FK       = Faktor koreksi
JKT     = Jumlah kaudrat total
JKP     = Selisih antara kuadrat jumlah data yang di jumlahkan  dengan FK
JKG     = Selisih JKT dengan JKP
h2        = Nilai heriditas
2.   Karakter Fenotipe
Fam = ∑ (L-R)
N Fan = ∑ ZN
Ket :
Fam : Fluktuasi asimetri magnitude ( besaran)
Fan : Fluktuasi asimetri number (bilangan)
L   : Jumlah organ sisi kiri
R   : Jumlah organ sisi kanan
Z   : Jumlah individu asimetri untuk ciri meristik
R   : Jumlah sample
IV. HASIL DAN PEMBAHASAN
A. Hasil
Adapun hasil yang didapat dari praktikum mata kuliah seleksi ikan, sbb:
1. Heritabilitas
Melalui data-data pada ketiga table diatas, maka didapatkan hasil sbb:
a) Heritabilitas Panjang Total
FK             =  (Yij)2
r x t = 184599
30 x 2 = 3076,65
JKT  = ∑ (Yi2) – FK = 3138,04 – 3076,65 = 61,39
JKP           =  ∑ (Yij)2   –  FK
r = 92506,62  – 3076,65
30 = 6,9
JKG            = JKT – JKP
= 61,39 – 6,9 = 54,49
h2                     =  JKP
JKT = 6,9 61,39 = 0,1
b)     Heritabilitas Panjang baku
FK             =  (Yij)2
r x t

= 115532
30 x 2 = 1925,53
JKT           = ∑ (Yi2) – FK
= 1980,07 – 1925,53 = 54,54
JKP           =  ∑ (Yij)2   –  FK
r = 57972,05  – 1925,5330 = 6,87
JKG           = JKT – JKP
= 54,54 – 6,87 = 47,67
h2              =  JKP
JKT = 6,87 54,54 = 0,12
c)      Heritabilitas Berat badan
FK             =  (Yij)2
r x t
= 167036
30 x 2 = 2783,93
JKT           = ∑ (Yi2) – FK
= 3273,27 – 2783,93
= 489,34
JKP           =  ∑ (Yij)2   –  FK
r = 84733,09  – 2783,9330 = 40,51
JKG           = JKT – JKP
= 489,34 – 40,51
= 448,83
h2              =  JKP
JKT = 40,51 489,34 = 0,08
2. Cross breeding
Penyuntikan 14.00 WIB
Suhu Air                : 30 o C
Dosis lele hitam     : 0,4 ml ovaprim x 0,9 kg = 0,36 ml
Dosis lele putih     : 0,1 ml ovaprim x 0,8 kg = 0,08 ml  +
0,44 ml + 0,06 ml aquades
3. Gynogenesis
Berat induk jantan            : 2,7 kg sebanyak 2 ekor @ 1,5 kg dan 1,2 Kg
Berat induk betina            : 3,2 kg sebanyak 6 ekor @ 0,5 kg
Dosis ovaprim dengan lar. Fisiologis: @ lar. 0,4 ml dan 0,8 ml.
Dosis penyuntikan : 0,2 ml untuk @ induk
4. Toleransi Salinitas
Tinggi air                           : 30 cm
Garam                               : 100 gr
Salinitas                             : 35 ppt
Jumlah ikan                       : 10 ekor (♂= 6 ekor dan ♀= 4 ekor)
1. Ikan kecil    : 3 ekor
2. Ikan besar    : 3 ekor
3. Ikan sedang : 4 ekor
Waktu masukkan ikan       : 10. 59 WIB
Tabel . Data pengamatan kondisi ikan terhadap perlakuan salinitas
Menit ke-
Keadaan Ikan
1Sebagian ikan berada dipermukaan Pergerakan normal
2 Sirip ekor dan punggung tampak menutup
3 Berenang mulai tidak seimbang
  Sirip ekor dan punggung masih menutup
  1 ekor ikan tampak mulai kolep
4 50% ikan tampak mulai kolep
5 Produksi lendir mulai meningkat
7 1 ekor ikan berada didasar
  Sebagian berenang dipermukaan
8
    2 ekor ikan tampak kolep
    1 ekor ikan jatuh kedasar
10
100% ikan tenang dipermukaan
12
Overkulum mengembang
13
100% ikan tampak mulai kolep
14
1 ekor ikan jatuh kedasar
15
80% tenang dipermukaan
20% ikan bergerak naik turun
17
5 ekor ikan kehilangan keseimbangan
18
20% terdapat luka pada punggung
19
100% masih tenang dipermukaan
20
Warna tubuh ikan pucat
Ikan meluncur kesana kemari
Berenang tidak seimbang
21
Keseimbangan tubuh berkurang
24
1 ekor ikan mati
26
1 ekor ikan mati
28
1 ekor ikan mati dan warna tubuh pucat
30
1 ekor ikan mati
33
1 ekor ikan mati
35
1 ekor ikan mati
37
Megap-megap dan 1 ekor mati
38
1 ekor ikan besar mati
39
1 ekor ikan mati
40
1 ekor ikan mati
5.   Karakter Fenotif
Tabel. Data pengukuran Meristik dan morfometrik
No
Pj Total
Berat
Sirip Dada
Sirip Perut
Tulang rusuk
Tapis Insang
Kr   
Kn
Kr
Kn
Kr
Kn
Kr
Kn
18,4
11

5


8
   

9
   

7
   

28
   

26
   

8
   

8

2
   

8,6
   

11
   

8
   

8
   

5
   

5
   

30
   

26
   

8
   

8

3
   

8,6
   

12
   

8
   

8
   

5
   

6
   

14
   

14
   

8
   

8

4
   

8,4
   

8
   

5
   

6
   

4
   

4
   

29
   

27
   

8
   

8

5
   

9,6
   

17
   

6
   

6
   

3
   

3
   

26
   

26
   

6
   

6

6
   

8,5
   

11
   

8
   

9
   

10
   

7
   

30
   

26
   

8
   

8

7
   

8,4
   

10
   

8
   

10
   

5
   

5
   

14
   

15
   

4
   

4

8
   

7,5
   

8
   

8
   

8
   

6
   

6
   

14
   

16
   

4
   

4

9
   

8,4
   

10
   

8
   

10
   

5
   

5
   

29
   

25
   

4
   

4

10
   

9,1
   

14
   

10
   

10
   

4
   

5
   

14
   

12
   

4
   

4

11
   

9
   

14
   

11
   

8
   

5
   

5
   

15
   

10
   

4
   

4

12
   

8
   

10
   

11
   

10
   

6
   

6
   

13
   

13
   

4
   

4

13
   

8,5
   

13
   

8
   

6
   

7
   

5
   

14
   

14
   

8
   

8

14
   

8,9
   

14
   

10
   

8
   

5
   

5
   

14
   

14
   

8
   

8

15
   

9,5
   

15
   

10
   

10
   

6
   

6
   

15
   

12
   

4
   

4

16
   

8,2
   

11
   

10
   

10
   

5
   

4
   

15
   

14
   

5
   

4

17
   

8,5
   

11
   

7
   

7
   

4
   

4
   

14
   

13
   

6
   

5

18
   

8,2
   

11
   

8
   

7
   

4
   

5
   

14
   

14
   

8
   

8

19
   

8,5
   

14
   

8
   

10
   

4
   

6
   

18
   

18
   

8
   

8

20
   

7,7
   

10
   

12
   

11
   

5
   

5
   

15
   

14
   

4
   

5

21
   

8,5
   

11
   

9
   

7
   

4
   

5
   

14
   

15
   

4
   

4

22
   

8,0
   

10
   

12
   

12
   

5
   

5
   

18
   

16
   

8
   

8

23
   

8,0
   

10
   

8
   

7
   

4
   

4
   

14
   

14
   

4
   

4

24
   

8,0
   

10
   

8
   

9
   

5
   

4
   

18
   

18
   

4
   

4

25
   

8,2
   

10
   

6
   

6
   

4
   

4
   

15
   

14
   

4
   

4

26
   

8,6
   

9
   

11
   

12
   

6
   

6
   

30
   

26
   

4
   

4

27
   

7,8
   

9
   

9
   

10
   

5
   

6
   

14
   

15
   

4
   

4

28
   

8,0
   

13
   

11
   

7
   

6
   

5
   

14
   

16
   

8
   

8

29
   

8,3
   

11
   

12
   

11
   

5
   

5
   

29
   

25
   

8
   

8

30
   

8
   

10
   

9
   

10
   

6
   

6
   

14
   

14
   

4
   

4

      Perhitungan :

    a.      Sirip dada

Penghitungan FAm

FAm
   

=
   

∑ (L – R)

n

FAm
   

=
   

4

30

FAm
   

=
   

0,13

Penghitungan FAn

FAn
   

=
   

∑ Z

n

FAn
   

=
   

20

30

FAn
   

=
   

0,66



    b.      Sirip Perut

Penghitungan FAm

FAm
   

=
   

∑ (L – R)

n

FAm
   

=
   

4

30

FAm
   

=
   

0,13

Penghitungan FAn

FAn
   

=
   

∑ Z

n

FAn
   

=
   

10

30

FAn
   

=
   

0,33





    c.       Tapis Insang

Penghitungan FAm

FAm
   

=
   

∑ (L – R)

n

FAm
   

=
   

1

30

FAm
   

=
   

0,03

Penghitungan FAn

Fan
   

=
   

∑ Z

n

FAn
   

=
   

3

30

FAn
   

=
   

0,1

6. Sex Reversal

    Berat ikan                                      = 0,015gr/ekor
    berat total 40 ekor                         = 0,6176 gr
    dosis hormon                                 = 0,0248 mg/gr
    pakan perhari 30% x 0,6176         = 0,185 gr/hari
    total pakan 0,185 gr/hari x 15 hari = 2,755 gr
    kebutuhan hormon 0,04 mg/gr pakan x 2,755 gr = 0,111 mg

 B.           Pembahasan

1.      Heritabilitas

Berdasarkan hasil penghitungan yang telah diuraikan diatas, maka diketahui bahwa untuk ikan nila yang berada di kawasan cianjur yang mana diwakili oleh 2 populasi yang berbeda yaitu lembur tengah dan cimenteng memiliki nilai h2 sebesar 0,1 sehingga berada kelompok rendah berdasarkan penggolongan tingkat heritabilitas. Hal ini berarti keragmana fenotif/karakter yang diwariskan oleh induknya di akibatkan oleh keragaman lingkungan tidak ada pengaruh genetic.

Dengan demikian, berdasarkan nilai h2 yang didapat, maka untuk melakukan pemulian ikan nila di cinajur dapat dilakukan melalui program breeding yaitu selective breeding dengan cara seleksi family. Jika dilakukan dengan cara individu maka hasil seleksi tersebut tidak akan baik karena ikan tersebut memiliki nilai h2 < 0,25.

Selain itu juga, hasil h2 dari ikan nila di cianjur menunjukan bahwa telah terjadi inbreeding (silang dalam) dalam program pengembangbiakannya sehingga akan mengakibatkan tingginya homozogisitas, yang tentunya akan mengakibatkan lemhanya daya tahan tubuh terhadap perubahan factor lingkungan (fitness rendah).

2.      Cross breeding

Cross breeding adalah persilangan antara induk yang berbeda spesies agar didapatkan kombinasi dari sifat unggul induknya. Dalam praktikum ini dilakukan cross breeding dimana genetika fenotif qualitative induk jantan albino disilangkan dengan induk betina berwarna hitam. Hal ini bertujuan untuk mendapatkan kombinasi antara populasi yang berbeda untuk mendapatkan benih yang unggul mewarisi sifat dari ke-2 induknya serta mempunyai heterozigositas tinggi sehingga benih-benih yang dihasilkan akan mempunyai daya tahan (fitness) yang kuat terhadap perubahan lingkungan. Indikator keberhasilan dari cross breeding adalah benih yang dihasilkan mempunyai kualitas yang baik karena akan membawa sifat unggul bawaan dari induknya.

Berdasarkan hasil praktikum, diketahui bahwa fertilisasi dari pemijahan tersebut baik. Hal ini ditandai dengan adanya telur yang menempel di kakaban. Namun hal tersebut tidak menjadi jaminan bahwa telur akan menetas. Karena seperti yang terjadi pada praktikum ini, ternyata telur tersebut tidak menetas bahkan ditumbuhi oleh jamur.

Jika dikaji lebih lanjut, ternyata banyak hal yang menjadi penyebab kegagalan penetasan telur, yaitu :

1. Faktor Internal (hormone dan kuning telur)

Hormon yang mempengaruhi adalah hormone yang dihasilkan oleh kelenjar hifopisa dan tyroid yang berperan dalam proses metamorfosa, sedangkan kuning telur berkaitan dengan perkembangan embrio.

2. Faktor eksternal

Faktor ini memegang peranan penting dalam proses penetasan telur. Hal ini dikarenakan proses penetasan akan berlangsung cepat jika pada suhu tinggi, karena pada suhu yang tinggi akan mempercepat proses metabolisme sehingga perkembangan embrio akan lebih cepat. Hal tersebut tidak demikian pada praktikum ini, karena meskipun suhu penetasan optimal tetapi pada kenyataannya telur-telur tersebut tidak juga menetas. Mungkin hal ini disebabkan adanya fluktuasi suhu pada malam hari yang terlalu drastis sehingga mengakibatkan kematian embrio yang menjadi penyebab gagalnya penetasan. Selain itu juga kadar alkalinitas yang tinggi, mengakibatkan terhambatnya penetasan telur, karena adanya partikel kapur yang menempel pada telur yang dapat membuat embrio dalam cangkang kekurangan oksigen dan akhirnya menyebabkan kematian embrio dalam cangkang.

3. Kuantitas sperma yang kurang, sehingga tidak semuanya telur dapat terbuahi.

3.      Gynogenesis

Melalui kegiatan praktikum ini, dapat diketahui bahwa rangkaian kegiatan metode gynogenesis dimulai dari tahap :

1.   Hypopisasi

Pada praktikum ini induk betina disuntik dengan mempergunakan ovaprim dibagian intramuskular. Frekuensi penyuntikan dilakukan dua kali, yaitu ½  dosis pada penyuntikan pertama (jam 01.15) dan 6 jam kemudian dilakukan penyuntikan kedua sebanyak 1 ½  dosis (jam 08.30). Setelah penyuntikan, induk betina dan jantan  disimpan didalam bak terpisah, ditunggu sampai terjadi ovulasi. Ovulasi terjadi (10-12) jam sejak penyuntikan pertama pada suhu (25-29) o C

2.   Radiasi Sperma

Setelah ovulasi, maka pada saat yang sama ditempatkan terpisah dilakukan pengambilan spema induk jantan dengan cara stripping. Kemudian sperma tersebut diencerkan dengan menggunakan larutan fisiologis dengan perbandingan 1 : 100 (1 cc sperma : 99 cc lart fisiologis) yang selanjutnya dimasukkan di cawan petri dan radiasi tepat dibawah lampu ultra violet dengan jarak penyinaran ± 15 cm, untuk diradiasi selama 1,5 menit.

3.   Fertilisasi telur

Fertilisasi telur dilakukan dengan cara buatan yaitu dengan mencampurkan sperma yang sudah diradiasi kedalam mangkok berisi telur dan diaduk secara merata menggunakan bulu ayam. Telur yang telah dibuahi kemudian ditebar secara merata pada lempengan kaca yang telah disiapkan di dalam akuarium. Jika penyebarannya menumpuk akan mengakibatkan kegagalan dalam penetasan, akibat tertumpuk dengan telur yang lain.

4.   Kejutan Suhu

Kejutan suhu adalah mendiploisasi telur. Pada praktikum ini menggunakan kejutan suhu panas dengan caranya merendam telur yang di buahi sperma non aktif didalam air panas selama 40 o C selama 1,5 menit.

5.   Penetasan

Selama penetasan berlangsung, air diakuarium tetap di jaga kualitasnya, dengan cara pemberian aerasi secara kontinui. Namun pada praktikum ini, hal yang penting diingat bahwa antara induk jantan dan betina sebelumnya diletakkan pada tempat yang terpisah. Hal ini untuk menghindari perkawinan sendiri. Selain sebaiknya penyuntikan dilakukan dibagian punggung, karena bagian tersebut merupakan bagian yang aman.

Penyuntikan pada praktikum ini dilakukan 2 kali. Hal ini dikarenakan setelah 6 jam dari penyuntikan pertama, ternyata induk jantan maupun betina belum ovulasi. Sehingga dilakukan penyuntikan kedua.

Setelah penyuntikan ke-2, maka masing-masing induk tersebut dilakukan stripping. Berdasarkan hasil pengamatan secara visual, telur yang dihasilkan dari induk betina memiliki kualitas dan kuantitas yang baik. Indikatornya yaitu telur berwarna agak kekuning-kuningan dan diameter telur seragam dan besar. Begitu juga dengan sperma yang dihasilkan oleh induk jantan. Sehingga jika dilihat berdasarkan kualitas dan kuantitas sperma dan telur, akan mendapatkan hasil yang baik.

Tujuan sperma di masukan ke dalam petridis dengan ketebalan 1 mm adalah agar sperma tersebut semua terkena radiasi sehingga bersifat non aktif. Selain itu juga lama penyinaran hanya 1,5 menit. Hal ini tidak sesuai dengan pendapat Aninomus (2001) yang menyatakan bahwa lama penyinaran 10 menit. Hal ini tidak dilakukan karena beranggapan waktu tersebut terlalu lama dalam penyinaran yang dapat menyebabkan matinya sperma.

Dalam praktikum ini juga dilakukan pengamatan perkembangan telur selama 24 jam, dimulai setelah pemberian kejutan suhu hingga pukul 6 pagi. Adapun tahapan perkembangan telur, sbb:

Telur yang telah dibuahi kemudian

 Fase cleavage

Morula

Blastula

Grastula

Penutupan blastopore

Perkembangan kepala dan ekor

Siap Menetas
4. Toleransi Salinitas
Berdasarkan pengamatan dapat diketahui bahwa pada awal ikan dimasukkan kedalam media yang mempunyai salinitas 35 ppt, sudah mulai melakukan adaptasi fisiologis yang ditandai dengan ikan berenang dipermukaan. Namun tingkah laku itu hanya beberapa menit saja.
Ikan gupi terlihat mulai kehilangan kesimbangan yaitu pada menit ke-4. Tetapi itu hanya satu ikan saja sedangkan yang lain masih mampu bertahan dengan menunjukkan tingkah laku adaptasi fisiologis yang sama.
Kemampuan ikan gupi tersebut bertahan pada salinitas tinggi cukup baik, ditunjukan dengan lamanya ikan tersebut kolep. Kondisi tersebut terjadi mulai pada menit ke-24 sampai pada menit ke-41 dimana semua ikan gupi tersebut mati. Akibat tidak mampu lagi mentolerir kondisi demikian.
Dengan demikian menunjukkan bahwa dalam waktu tertentu ikan mampu beradaptasi dengan lingkungan yang mempunyai salinitas yang tinggi meskipun akhirnya mati. Sehingga berdasarkan lama waktu kematian ikan guppy dapat dilihat bahwa ikan guppy tersebut masih diperoleh dari perkawinan individu-individu yang sekerabat (inbreeding). Hasil dari perkawinan inbreeding ini akan menghasilkan kehomozigositasan yang tinggi sehingga individu – individu yang dihasilkan tidak kuat terhadap perubahan lingkungan.
5. Karakter Fenotipe
Berdasarkan praktikum pengamatan karakter fenotipe pada ikan nila maka didapatkan hasil pengukuran Fam(Fluktuasi asimetri magnitude besaran) dan Fan (Fluktuasi asimetri number atau bilangan) pada organ yang berpasangan dengan nilai mendekati nol. Hal ini berarti tidak terjadi inbreeding, karena ditunjukan dengan kenormalan jumlah pada organ berpasangan
6. Sexreversal
Pada praktikum ini, menggunakan metode pemberian pakan berhormon sebanyak 3 kali sehari (0,185 gr/hari). Hormon yang dipakai adalah hormone 17 α – Methyl Testoteron dengan tujuan untuk menghasilkan benih yang berkelamin jantan. Hal ini disebabkan ikan nila jantan lebih cepat pertumbuhannya  dibandingkan ikan nila betina.
Namun hasil dari kegiatan praktikum ini belum dapat diketahui dan diteliti lebih lanjut, mengingat adanya keterbatasan waktu praktikum.
V. PENUTUP
A. Kesimpulan
Adapun kesimpulan yang didapat dari kegiatan praktikum mata kuliah seleksi ikan adalah, sbb:
Ikan nila di cianjur telah terjadi inbreeding ditandai dengan rendahnya nilai h2 yaitu berkisar antara 0,08 s/d 0,12.
Rendahnya nilai h2 akan mengakibatkan juga tingginya homozigositas yang akan mempengaruhi fitness sehingga kurang mampu mengatasi perubahan olah factor lingkungan.
Dengan nilai h2 antara 0,08 s/d 0,12 dapat dilakukan perbaikan genetika melalui program breeding yaitu selective breeding dengan cara seleksi familiy
Persilangan antara dua spesies ikan yang berbeda berdaarkan sifat unggulnya akan mendapatkan benih dengan kombinasi sifat unggul dari induknya.
Faktor penyebab gagalnya penetasan pada praktikum ini adalah salah satunya suhu dan alkalinitas air .
Selain itu kualitas dan kuantitas sperma dapat juga menjadi factor penyebab gagalnya penetasan.
Informasi mengenai kualitas air pada saat melakukan program breeding sangat penting karena itu merupakan factor penunjang keberhasilan dalam program breeding.
Melalui karakter fenotif yang dihasilkan oleh keturunanya dapat dipastikan apakah telah terjadi inbreeding atau tidak
Lamanya waktu ikan bertahan terhadap perubahan lingkungan menunjukan bahwa tidak terjadi inbreeding.
Pembalikan arah kelamin membutuhkan waktu lama sehingga baru dapat diketahui hasilnya.
B. Saran
Adapun saran yang ingin penulis sampaikan, sbb:
Diperlukannya kelengkapan sarana dan prasarana praktikum sehingga kegiatan praktikum dapat berjalan dengan lancar
Diperlukannya kerjasama yang kondusif antara rekan dalam satu kelompok maupun dengan dosen sehingga pelaksanaan praktikum berjalan dengan baik.
Diperlukannya ketelitian dan keseriusan dalam melaksanakan praktikum.
Berdo’a sebelum dan sesudah melakukan kegiatan merupakan kewajiban.
April 22, 2011  neniputrianivedca   Meninggalkan komentar   
Kategori: Genetika Pemuliaan Ikan
Manajemen Kesehatan Ikan
Perkembangan sub sektor perikanan khususnya budidaya ikan air tawar di Indonesia memiliki potensi sangat besar melalui ekstensifikasi maupun intensifikasi. Hal ini tidak terlepas dari permintaan pasar domestik maupun ekspor terhadap komoditas tersebut. Namun kegiatan budidaya ikan air tawar di Indonesia saat ini, mempunyai kendala yang dapat mengakibatkan kegagalan produksi, diantaranya adalah serangan penyakit.
Penyakit merupakan salah satu penyebab kegagalan budidaya ikan air tawar di Indonesia, selain pencemaran lingkungan dan pakan. Penyakit yang menyerang ikan air tawar yang utama adalah dari golongan bakteri antara lain, Aeromonas sp., Pseudomonas sp., dan Streptococcus sp., sehingga tidak jarang pembudidaya ikan air tawar mengalami kerugian secara finansial.
Berbagai usaha telah dilakukan untuk mengatasi masalah penyakit ikan air tawar, antara lain dengan menciptakan lingkungan yang optimal, karantina, vaksinasi, desinfeksi wadah, dan penggunaan antibiotik.
Dekade ini, penggunaan antibiotik adalah primadona bagi pengendalian penyakit bakterial dalam budidaya ikan air tawar di Indonesia. Tetapi penggunaan antibiotik dengan dosis yang tidak tepat dapat menimbulkan dampak negatif seperti resistensi bakteri, pencemaran lingkungan, serta timbulnya residu pada ikan dan tubuh manusia.
Berdasarkan hal tersebut, maka salah satu alternatif penanggulangan penyakit bakterial ikan air tawar adalah dengan menggunakan tanaman obat yaitu salah satunya bawang putih (Allium sativum),. Tanaman obat tersebut sebagai bahan alami yang murah, aman dan ramah lingkungan. Namun, selama ini tanaman obat kurang dimanfaatkan secara optimal dalam sektor budidaya perikanan karena kurangnya informasi mengenai hal tersebut. Melalui praktikum ini didapatkan pengetahun mengenai bioaktif khususnya bawang putih yang dipaparkan dalam bentuk laporan praktikum.
1. Ekstraksi Bawang Putih
* Disiapkan bawang putih
* Dicuci bawang putih dengan air hingga bersih
* Ditiriskan/dikeringanginkan bawang putih selama 15 menit
* Dipotong ukuran kecil-kecil dengan talenan
* Ditimbang bawang putih sebanyak 10 gr
* Dihancurkan hingga halus
* Ditambahkan dengan methanol
* Diambil cawan petri lalu pisahkan ekstraknya
* Dimasukkan ekstrak bawang putih ke dalam falcon
* Disimpan dalam kulkas
2. Uji zona hambat
* Dikultur bakteri pada Media zobelt cair 0.7 %
* Dipersiapkan paper disk dan memotong nya dengan pemotong binder
* Diukur kepadatan bakteri dengan spektrofotometer λ = 625 nm
* Di inokulasi v. harveyi ke zobelt 0.7 % agar hingga kepadatan akhir 10 7 sel/ml
* Dituang Zobelt 0.7 ke zobelt 1.5 % hingga membentuk double layer agar
* Dimasukkan paper disk ke double layer zobelt
* Dimasukkan ekstrak daun jambu biji , methanol, dan antibiotik
* Di inkubasi dalam suhu ruang selama 24 jam (posisi petri disk jangan terbalik)
* Diamati ada atau tidaknya zona hambat disekitar paper disk
* Diukur diameter zona hambat dengan penggaris apabila ada
Oleh
NENI PUTRIANI

Tuesday, April 28, 2015

KERAGAAN DAN UPAYA PENINGKATAN KINERJA PENYULUHAN DALAM MENDORONG REFORMASI PENYULUHAN PERIKANAN

April 28, 2015 Posted by Media Penyuluhan Perikanan Pati No comments
I. LATAR BELAKANG
Pada tanggal 11 Juni 2005, Presiden RI telah mencanangkan Revitalisasi Pertanian,
Perikanan, dan Kehutanan (RPPK) sebagai salah satu dari Triple Track Strategy Kabinet Indonesia Bersatu dalam rangka pengurangan kemiskinan dan pengangguran serta peningkatan daya saing ekonomi nasional. Arah RPPK dijabarkan di sektor kelautan dan perikanan melalui revitalisasi perikanan, yang bertujuan untuk meningkatkan kesejahteraan nelayan, pembudi daya ikan, dan masyarakat pesisir lainnya serta pelaku ekonomi perikanan/kelautan, menyediakan lapangan kerja, kesempatan berusaha, serta meningkatkan konsumsi dan menyediakan bahan baku industri di dalam negeri dan penerimaan devisa, serta meningkatkan penerimaan negara/daerah melalui hasil perikanan.
Dengan demikian, pembangunan di sektor perikanan memerlukan berbagai upaya terobosan dan kebijakan yang berpihak kepada industri dalam negeri serta perencanaan strategik yang tepat, dengan bertumpu kepada tiga pilar pembangunan nasional, yaitu progrowth strategy (pertumbuhan ekonomi); pro-job strategy (penyerapan tenaga kerja); dan pro-poor strategy (pengentasan kemiskinan). Pencapaian ketiga aspek tersebut dapat diwujudkan dengan pengembangan industrialisasi perikanan nasional dari tingkat hulu sampai ke hilir dan dari skala kecil (rumah tangga) sampai ke skala produksi massal (industri), melalui peningkatan akselerasi pembangunan perikanan, peningkatan intensitas produksi, dan peningkatan nilai tambah produk-produk perikanan.
Guna merealisasikan upaya pencapaian tujuan revitalisasi perikanan diatas, diperlukan dukungan sumber daya manusia yang berkualitas dengan ciri-ciri profesional, kreatif, inovatif, kredibel, dan berwawasan global untuk dapat mendukung sistem bisnis perikanan mulai dari pra-produksi, produksi, pengolahan, dan pemasarannya. Sehubungan dengan itu, perlu dikembangkan sistem penyuluhan perikanan yang mampu memberdayakan pembudi daya ikan, nelayan, dan keluarganya, serta pelaku usaha perikanan lainnya. Sistem penyuluhan ini merupakan proses pembelajaran bagi pelaku utama dan pelaku usaha agar mereka mau dan mampu menolong serta mengorganisasikan dirinya dalam mengakses informasi pasar, teknologi, permodalan, dan sumber daya lain, sebagai upaya untuk meningkatkan produktivitas, efisiensi usaha, pendapatan, dan kesejahteraannya, serta meningkatkan kesadaran dalam pelestarian fungsi lingkungan hidup.
Keberadaan penyuluhan perikanan saat ini masih memerlukan perbaikan dan reformasi. Reformasi penyuluhan perikanan dimaksudkan untuk mendudukkan dan memberdayakan sekaligus memperbaharui penyuluhan perikanan sebagai bagian integral dari pembangunan kelautan dan perikanan. Artinya penyuluhan perikanan yang harus dilakukan dengan mengubah paradigma penyuluhan masa lalu (menganggap diri satu-satunya agent of change) menjadi lebih pragmatis dengan lebih mengedepankan pertimbangan responsif dan proaktif terhadap dinamika lingkungan strategis yang berkembang di masyarakat (clienteles). Untuk itu, sistem penyuluhan perikanan perlu dikembangkan agar sesuai dengan kebutuhan nelayan, pembudi daya, dan pengolah ikan dalam meningkatkan kompetensi ilmu dan teknologi, manajerial, bekerja dalam tim, berorganisasi, bermitra usaha, dan memiliki integritas moral yang tinggi.
II. KONDISI PENYULUHAN PERIKANAN
A. Kondisi Saat Ini 
Kementerian Kelautan dan Perikanan menghadapi tantangan dalam menggali potensi sumber daya perairan (laut dan perairan umum) yang memiliki nilai penting bagi peningkatan kesejahteraan masyarakat. Berdasarkan visi, misi, dan program KKP, maka diperlukan sistem dan kelembagaan penyuluhan untuk mengakselerasi perubahan prilaku baik pengetahuan, sikap, dan keterampilan ke arah yang lebih baik, khususnya pada pembudi daya ikan ikan, dan nelayan, serta masyarakat perikanan.
Kegiatan perikanan secara on-farm, memiliki kegiatan perikanan budidaya dan perikanan tangkap. Perikanan budidaya, khususnya di perairan tawar, memiliki pola aktivitas serupa dengan on-farm/off-farm komoditas pertanian. Untuk itu, konsep dasar penyuluhan perikanan budidaya hampir sama dengan konsep pertanian. Namun demikian, kegiatan penyuluhan perikanan untuk nelayan, pengolah hasil perikanan, dan masyarakat pesisir lainnya, memiliki karakteristik yang khas, sehingga membutuhkan implementasi di tingkat lapangan dengan penekanan metodologi dan peran penyuluh yang berbeda pendekatannya. Sedangkan untuk transfer teknologi sebaiknya ditumbuhkan penyuluh perikanan swadaya yang berasal dari kalangan nelayan sendiri.
Di samping itu, peranan ”Penyuluh Swasta” juga telah terbukti berhasil mewujudkan kesuksesan industri budi daya udang di seluruh Indonesia pada tahun 1980-an. Dengan demikian, pemerintah mengharapkan agar dalam Rancangan Undang-Undang Sistem Penyuluhan, disamping harus memuat prinsip-prinsip dasar penyuluhan yang bercirikan kebersamaan dengan sektor lain, juga diperlukan keluwesan untuk memberi peluang antisipasi jika terdapat kondisi yang berbeda, termasuk menoleh kepada potensi penyuluh swasta dan penyuluh swadaya.
Untuk mencapai tujuan pembangunan kelautan dan perikanan, maka pengembangan sumber daya manusia merupakan faktor kunci yang harus diperhatikan. Salah satu upaya dalam mewujudkan hal tersebut adalah melalui reformasi dan revitalisasi sistem penyuluhan perikanan yang komprehensif. Di sisi lain, selama ini penyuluhan perikanan merupakan bagian dari penyuluhan pertanian. Oleh karena sifat dan bentuk kegiatan perikanan sangat spesifik, maka diperlukan penyelenggarakan penyuluhan perikanan tersendiri untuk meningkatkan efektivitas dan efisiensi. Reformasi dan revitalisasi penyuluhan perikanan tersebut sangat diperlukan, karena pertimbangan berikut:
1.    Wawasan, pengetahuan, dan kesadaran sumber daya manusia perikanan masih perlu ditingkatkan. Di sisi lain, kesadaran kritis (critical awareness) masyarakat semakin meningkat di era reformasi sedangkan tingkat kepercayaan pada sistem birokrasi yang ada menurun, sehingga mereka berupaya mencari penyelesaian masalahnya dari berbagai sumber alternatif yang belum tentu dapat dipertanggungjawabkan keberadaannya. Masyarakat dari berbagai lapisan tersebut dalam mengakses informasi lokal, nasional, dan global makin mudah dan intensif, serta secara utuh/tanpa saringan; namun di sisi lain tingkat kedewasaan/kematangan masyarakat sangat beragam dalam mensikapinya, sehingga rentan terhadap konflik;
2.    Selama ini sistem penyuluhan yang ada bersifat polivalen sedangkan substansi perikanan bersifat khas, sebagaimana kita ketahui kondisi teknis, lingkungan, ekologis, dan sosial perikanan sangat spesifik; sehingga perlu tersedia kelembagaan, fasilitas, tenaga penyuluh, yang secara khusus menangani perikanan dan dapat dilaksanakan secara tersendiri;
3.    Keadaan saat ini, nelayan, pembudi daya ikan, dan pengolah ikan belum memanfaatkan teknologi terapan secara optimal untuk meningkatkan produktivitas dan kesejahteraannya; sehingga pengetahuan, keterampilan, sikap, dan motivasi mereka masih perlu ditingkatkan melalui penyuluhan. Di sisi lain, sistem penyuluhan perikanan baku yang disepakati belum efektif implementasinya, sehingga dalam pelaksanaanya belum diselenggarakan dalam konteks jejaring kerja.
4.    Saat ini terdapat perubahan sosial yang lebih demokratis dan tata pemerintahan yang lebih banyak melimpahkan kewenangan kepada daerah (prinsip otonomi daerah), sehingga memerlukan perubahan paradigma di kalangan pejabat, aparat, dan masyarakat. Namun demikian, implementasi otonomi daerah, berimplikasi pada penempatan kegiatan dan kelembagaan penyuluhan (termasuk perikanan) bukan sebagai prioritas penanganan, karena dianggap sebagai overhead cost daerah (kata lain dari menjadi beban daerah dan bukan pemasok PAD). Secara pemerintahan, maka keberadaan kelembagaan penyuluhan perikanan sebagai administrasi pangkal di daerah menjadi beragam.
5.    Tuntutan masyarakat terhadap sistem pemerintahan dan ketatanegaraan yang lebih demokratis, seiring dengan kesadaran untuk keluar dari keterpurukan ekonomi yang membebani dan fungsi birokrasi yang selama ini dianggap kurang berpihak pada rakyat. Adanya semangat dan kesadaran membangun masyarakat setempat serta akses informasi yang mudah didapat, juga gencarnya agen pemasaran swasta dan institusi pendidikan dan penelitian di sektor perikanan, telah menempatkan penyuluh fungsional PNS bukan satusatunya “Agent of Change”.
B. Kondisi Yang Diinginkan 
Atas dasar perbedaan: fungsi produksi pada proses budidaya, penangkapan, dan pengolahan hasil ikan; karakteristik yang khas dari nelayan dan masyarakat pesisir, terutama sikap dan perilakunya; tingkat mobilitas yang tinggi para nelayan;  keterbatasan kuantitas dan kualitas aparat perikanan di berbagai daerah; dan potensi unsur swasta untuk berperan dalam penyuluhan; maka diperlukan Sistem Penyuluhan Perikanan yang spesifik.
Untuk itu, karakteristik sistem penyuluhan perikanan yang produktif, efektif, efisien, dinamis dan profesional dalam sektor kelautan dan perikanan itu antara lain: 
1.    Sistem yang digerakkan oleh kepemimpinan nelayan, pembudi daya ikan, dan pengolah ikan. Semua keputusan program dan kegiatan menyelenggarakan penyuluhan perikanan dimulai dari nelayan, pembudi daya ikan, dan pengolah ikan, yang pada akhirnya dilaksanakan sendiri oleh, dari, dan untuk mereka sendiri. Para kontak tani/nelayan dan KTNA diberdayakan agar mampu bertindak sebagai penyuluh perikanan swadaya. Penyelenggaraan penyuluhan perikanan tersebut diarahkan agar mampu mendorong kemampuan nelayan, pembudi daya ikan, dan pengolah ikan membangun kerjasama dengan Perguruan Tinggi, Balai Penelitian, LSM, dan organisasi lain dalam kemitraan usaha sistem bisnis perikanan.
2.    Sistem yang bertumpu pada otonomi daerah. Sistem otonomi daerah, memungkinkan penyuluhan perikanan diarahkan untuk terselenggara melalui pendekatan spesifik lokalita dan keunggulan kompetitif wilayah, sehingga efisien dan efektif dalam penggunaan sumberdaya serta demokratisasi pembangunan perikanan dapat tercapai. Dengan demikian, hal yang paling penting justru terjadinya perubahan paradigma para aparatur di daerah untuk lebih banyak melayani masyarakat. 
3.    Sistem yang diwadahi oleh kekuatan kelembagaan. Sistem penyuluhan perikanan perlu diwadahi oleh suatu kelembagaan penyuluhan yang berfungsi sebagai unit pelayanan pendidikan/pembelajaran oleh penyuluh pemerintah, yang bekerjasama dengan penyuluh perikanan swadaya dan atau penyuluh perikanan swasta. Hal ini untuk memudahkan pembinan dan pengembangan profesionalisme penyuluh untuk pengembangan kepemimpinan nelayan, pembudi daya ikan, dan pengolah ikan.
4.    Sistem yang didukung oleh profesionalisme penyuluh perikanan. Sistem penyuluhan perikanan diarahkan untuk mengembangkan profesionalisme penyuluh sebagai profesi yang mandiri, melalui pengembangan keahlian dan keberpihakan kepada nelayan, pembudi daya ikan, dan pengolah ikan, serta meningkatkan citra penyuluhan. Dengan demikian, maka sangat diperlukan keberadaan penyuluh fungsional yang berkualitas dibidangnya, dengan jumlah yang proporsional dan tidak berlebihan, sehingga efisien dan efektif dalam memberikan pelayanan.
III.     PERMASALAHAN DAN TANTANGAN
Kementerian Kelautan dan Perikanan selama ini telah melaksanakan program-program pemberdayaan sumber daya manusia yang bersifat partisipatif dan demokratis. Namun demikian, masih terdapat beberapa permasalahan utama yang masih perlu diatasi antara lain berupa paradigma yang konservatif, ketenagaan, kelembagaan, penyelenggaraan, dan sumber daya penyuluhan perikanan.  
Paradigma konservatif penyuluhan yang masih berorientasi pada masa lalu, dan masih sering penanganan masalah penyuluhan dengan stigmatisasi rutinitas yang mengabaikan perubahan atau dinamika lingkungan strategis yang berkembang di masyarakat pada globalisasi.
Permasalahan di bidangketenagaan, antara lain: (1) penyebaran dan kompetensi tenaga penyuluh perikanan belum teridentifikasi dengan baik; (2) banyak alih tugas penyuluh perikanan ke jabatan lain yang tidak sesuai dengan kompetensi penyuluh perikanan; (3) rendahnya kemampuan dan kinerja penyuluh perikanan dalam menjalankan tugas dan menurunkan kredibilitas mereka di mata nelayan, pembudi daya ikan, pengolah ikan, dan pelaku usaha lainnya; (4) usia penyuluh fungsional perikanan sebagian besar diatas 45 tahun sehingga kurang dinamis kinerjanya; serta (5) rendahnya frekuensi/intensitas kunjungan penyuluh perikanan ke masyarakat karena dukungan biaya operasional untuk penyuluhan perikanan tidak memadai dan kurangnya kompetensi. 
Sedangkan permasalahan di bidang kelembagaan, antara lain: (1) fungsi penyuluhan perikanan di daerah belum berjalan optimal karena mandat untuk melaksanakan penyuluhan perikanan kurang tegas; (2) tidak ada kepastian bentuk kelembagaannya; (3) belum semua kecamatan memiliki Pos Pelayanan Penyuluhan Perikanan, dan beberapa bergabung di BPP, namun dengan tugas yang masih polivalen; (4) pimpinan/pengelola kelembagaan penyuluhan (termasuk perikanan) di kabupaten/kota banyak yang tidak memiliki latar belakang penyuluhan perikanan, sehingga kurang memahami pengelolaan kelembagaan dan penyelenggaraan penyuluhan; serta (5) sistem penyuluhan perikanan yang dimiliki dan dioperasionalkan baik oleh nelayan, pembudi daya ikan, pengolah ikan, maupun oleh swasta, belum dimanfaatkan secara optimal oleh Pemerintah sebagai mitra kerja sejajar untuk melayani nelayan, pembudi daya ikan, dan pengolah ikan. Namun seutuhnya, kita masih menunggu tindak lanjut keberadaan perpres tentang kelembagaan yang digodog MenPAN dan RB beserta timnya.
Permasalahan di bidang penyelenggaraan penyuluhan,antara lain:(1) penyelenggaraan penyuluhan perikanan masih bersifat parsial; (2) penyusunan program penyuluhan perikanan belum tersedia dan belum sesuai dengan kebutuhan lapangan serta belum didasarkan pada prinsip-prinsip penyusunannya; (3) belum mendorong kemitraan dengan nelayan, pembudi daya ikan, dan pengolah ikan, swasta, peneliti, dan Lembaga Swadaya Masyarakat (LSM) sebagai bagian dari jaringan penyuluhan perikanan; serta (4) materi dan metode penyuluhan perikanan belum sepenuhnya mendukung pengembangan perikanan sebagai komoditas unggulan di daerah, karena kurangnya dukungan informasi dan keterbatasan sumberdaya.
Permasalahan di bidangsumberdaya penyuluhan perikanan, antara lain: (1) terdapat kesenjangan antara kemajuan teknologi dengan aksesibilitas penyuluh untuk menguasainya; (2) terbatasnya sarana dan prasarana yang dimiliki penyuluh perikanan dalam melaksanakan tugas dan fungsinya; (3) terbatasnya dukungan penyuluhan perikanan yang bersumber baik dari pemerintah, propinsi dan kabupaten/kota maupun kontribusi dari nelayan, pembudi daya ikan, dan pengolah ikan dan swasta.
 Dengan adanya kompleksitas permasalahan dalam penyuluhan perikanan, maka situasi yang kita hadapi dalam memperbaiki carut marutnya penyuluhan tersebut seperti fenomena mengisi air dalam wadah ember yang bocor. Artinya, kita harus punya pilihan untuk mengganti, atau kita menggunakan ember yang ada dengan cara menambal dari kebocoran pada tingkat elevasi yang rendah ke paling tinggi sehingga permukaan air akan mencapai ketinggian optimal, dan bukan mengabaikannya. 
 Senada dengan itu, maka tantangan kita untuk memperbaiki penyuluhan perikanan perlu mengidentifikasi permasalahan yang paling mendasar dan paling mungkin segera ditangani, sambil terus membenahi kepada permasalahan berikutnya. Dengan kata lain penanganan penyuluhan perikanan harus banyak melakukan berbagai terobosan (break through) dan bukan menanganinya seperti kegiatan rutin atau business as usual.
Menyoroti kelembagaan dan ketenagaan penyuluhan, sampai saat ini, secara resmi dipersepsikan bahwa yang melakukan penyuluhan hanyalah instansi pemerintah. Dengan adanya berbagai kendala yang melilit tubuh lembaga penyuluhan, seperti terbatasnya dana anggaran, rendahnya gaji petugas pemerintah, dan terbatasnya kemampuan merekrut jumlah tenaga penyuluh sesuai kebutuhan, maka tuntutan akan adanya peyuluhan yang lebih intensif dan efektif guna menunjang sasaran penyuluhan yang lebih maju dalam kenyataannya sulit untuk dipenuhi. Di masa yang akan datang kendala tersebut sangat berpotensi terus terjadi, mengingat dana yang dikuasai oleh pemerintah harus dapat digunakan juga untuk membangun sektor-sektor lain secara proporsional dan pragmatis.
Dalam kondisi seperti itu, suatu strategi penyuluhan perikanan perlu dikembangkan, yakni dengan mengajak, memberi kesempatan, bahkan berkolaborasi (kata lain menugasi) lembagalembaga di luar KKP untuk secara resmi ikut berpartisipasi aktif dalam penyuluhan perikanan. Sejak beberapa tahun yang lalu, beberapa pihak diluar KKP sebenarnya telah ikut melakukan penyuluhan perikanan, Kementerian terkait, perguruan tinggi, nelayan, pembudi daya, dan pengolah ikan maju, perusahaan-perusahaan yang bergerak di bidang perikanan, dan lain-lain. Namun pelaksanaanya belum atas dasar pembagian tugas dan koordinasi yang jelas dan resmi.
Aspek-aspek penting yang perlu dicermati dalam struktur kelembagaan penyuluhan di Kabupaten/Kota dalam rangka Reformasi dan Revitalisasi Penyuluhan Perikanan diantaranya, yaitu:
1.    Aspek fungsi manajemen penyelenggaraan penyuluhan perikanan seharusnya terintegrasi dengan pembangunan kelautan dan perikanan;
2.    Aspek aset yang dimiliki kelembagaan penyuluhan perikanan di Kabupaten/Kota harus didukung untuk mengoptimalkan kinerjanya sebagai penyelenggara penyuluhan perikanan;
3.    Aspek kinerja kelembagaan penyuluhan perikanan Kabupaten/Kota perlu ditata sehingga pasti tersedia, serta terintegrasi dengan penyusun dan pelaksana program pembangunan kelautan dan perikanan (Dinas teknis terkait);
4.    Aspek pembinaan dalam membangun kesatuan korps sesuai dengan misi penyuluhan perikanan perlu dilaksanakan dengan intensif;
5.    Aspek sumberdaya manusia perlu dikembangkan secara serius dan berkelanjutan.
 Kelima aspek tersebut diatas merupakan pusat perhatian mengembangkan kelembagaan penyuluhan perikanan yang menempatkan kembali posisi sentral kelembagaan penyuluhan perikanan sebagai motor penggerak pembangunan perikanan di bidang pengembangan sumberdaya manusia perikanan. Untuk itu, agar kelembagaan di Kabupaten/Kota dapat berfungsi sesuai dengan tuntutan Reformasi dan Revitalisasi Penyuluhan Perikanan, maka diperlukan adanya standarisasi minimal kelembagaan penyuluhan perikanan di Kabupaten/Kota.
IV. UPAYA NYATA PENINGKATAN KINERJA PENYULUHAN
Sejalan dengan situasi dan kondisi di atas, salah satu faktor yang sangat mendukung keberhasilan revitalisasi perikanan ini adalah keberhasilan dalam membangun dan menggerakkan sumber daya manusia kelautan dan perikanan. Dalam rangka mendukung keberhasilan pembangunan perikanan khususnya yang berkaitan dengan pembangunan sumber daya manusia, Pemerintah telah membentuk Badan Pengembangan Sumber Daya Manusia Kelautan dan Perikanan melalui Peraturan Presiden Nomor 80 Tahun 2005.  
Hal ini merupakan wujud kepedulian terhadap pembangunan kelautan dan perikanan pada umumnya, yang menempatkan secara khusus penyuluhan menjadi salah satu unsur kepentingan dari pembentukan Badan tersebut. Dengan demikian, keberadaan penyuluhan merupakan kegiatan yang paling strategis dalam sistem pembangunan nasional, terutama dalam mendukung keberhasilan revitalisasi perikanan yang berorientasi pada pro-poor, pro-job, dan pro-growth. Secara eksplisit, keberadaan Badan ini juga dimaksudkan dapat menjadi mediasi dan memfasilitasi dalam: 
1.    Meningkatkan penataan kelembagaan dan tata penyelenggaraan penyuluhan perikanan, sehingga dapat mempercepat peningkatan kompetensi tenaga penyuluh, efektif, dan efisien.
2.    Menyiapkan berbagai acuan teknis dan non teknis dalam melaksanakan penyelenggaraan penyuluhan perikanan, sehingga mampu menyelaraskan kebijakan penyuluhan perikanan nasional, dengan tidak mengabaikan adanya kondisi lokal spesifik yang berbeda pada berbagai daerah;
3.    Membantu terselenggaranya berbagai upaya dalam mewujudkan jejaring kerja penyuluhan perikanan baik nasional, regional, dan lokal.
Dalam kaitan tersebut, upaya nyata yang dilakukan guna meningkatkan kinerja penyuluhan dalam mendorong reformasi dan revitalisasi penyuluhan perikanan antara lain menyangkut aspek kelembagaan dan ketenagaan.
A. Kelembagaan Penyuluhan Perikanan
Penyelenggaraan penyuluhan perikanan telah mengalami proses transformasi. Sampai saat ini, banyak kegiatan yang telah dilaksanakan dalam penyuluhan perikanan. Salah satu faktor kunci keberhasilan penyuluhan perikanan adalah adanya kelembagaan penyuluhan perikanan yang tangguh sebagai unsur terdepan dalam meningkatkan kualitas sumberdaya manusia perikanan (nelayan, penyuluh, dan pelaku usaha lainnya).
Kelembagaan penyuluhan perikanan yang menjadi fokus dalam hal ini di tingkat Kabupaten/Kota, mengingat secara yuridis penyelenggaraan penyuluhan adalah dalam kewenangan kabupaten/kota. Disamping itu, menjadi suatu kepastian bahwa kabupaten/ kota lebih menguasai/mengerti permasalahan daerah dibanding Pusat/Daerah. 
Sampai saat ini, KKP telah menerima berbagai pemikiran yang terkait dengan penyempurnaan Rancangan Undang-Undang tentang Sistem Penyuluhan, yang mempertimbangkan berbagai perubahan dinamika lingkungan strategis. Pada masa ini terjadi perubahan mendasar dalam ketatanegaraan dan kondisi masyarakat yakni berkembangnya prinsip otonomi daerah, meningkatnya kesadaran masyarakat untuk berpartisipasi dalam pembangunan, serta kemajuan penguasaan teknologi informasi. Sejalan dengan pengajuan RUU tersebut, KKP juga melakukan berbagai forum pertemuan yang memberikan ruang gerak dalam menampung aspirasi dan inspirasi aparatur di daerah dan masyarakat, khususnya nelayan, pembudi daya ikan, pelaku usaha perikanan, akademisi, dan tentunya para penyuluh perikanan itu sendiri. Workshop sosialisasi RUU tersebut, telah diselenggarakan 20 kali di tingkat propinsi, 33 kali di tingkat kabupaten, dan 2 kali untuk tingkat nasional.
Guna mengakomodasikan pemikiran empirik di atas, dan setelah mendapatkan berbagai aspirasi dari aparatur di daerah dan masyarakat,  maka dipandang perlu untuk menyempurnakan hal berikut:
1.    Pada bagian penjelasan untuk pasal 10 ayat 2 tentang Kelembagaan Penyuluhan di tingkat Pusat berbentuk Badan yang bertanggung jawab kepada Menteri. Di propinsi berbentuk Badan yang bertanggung jawab kepada Gubernur. Di kabupaten/kota berbentuk Badan yang bertanggung jawab kepada Bupati/Walikota. Di kecamatan berbentuk Balai yang bertanggung jawab kepada kelembagaan penyuluhan di tingkat kabupaten/kota. Usul perbaikan agar di kabupaten/kota ditambah kata dapatberbentuk Badan yang bertanggung jawab kepada Bupati/Walikota. Bahkan bagi sektor kelautan dan perikanan akan lebih baik terintegrasi dalam Dinas Kelautan dan Perikanan.
2.    Usulan ini dimaksudkan agar memberikan ruang gerak kabupaten/kota menata kelembagaan penyuluhan sesuai kemampuan sumberdaya yang dimilikinya dan kondisi daerah masingmasing, khususnya menjawab tantangan di sektor perikanan yang khas dan spesifik.
3.    Dalam usulan perbaikan tersebut, KKP menganggap perlu adanya kelembagaan penyuluhan di kabupaten/kota, akan tetapi tidak harus berbentuk Badan. Kelembagaan tersebut dapat pula berupa kelembagaan yang merupakan unsur dari Dinas di kabupaten/kota (misalnya: Sub Dinas Penyuluhan atau Unit Pelaksana Teknis Daerah pada Dinas Kelautan dan Perikanan). Di samping itu, di tingkat Kabupaten/ Propinsi/Pusat dapat dibentuk Forum  Penyuluhan, sebagai wadah koordinasi.
4.    Terintegrasinya kelembagaan penyuluhan tersebut pada Dinas Kabupaten/ Kota memberikan keuntungan sebagai berikut:
a.    Dapat menghindari miskoordinasi antara kegiatan sektor oleh Dinas dengan kegiatan penyuluhan.
b.    Mengurangi permasalahan keterbatasan sumber daya (khususnya sumberdaya manusia dan dana) pada kabupaten/kota tertentu, yang banyak terdapat pada sektor perikanan.
B. Ketenagaan Penyuluhan Perikanan
Tujuan penyuluhan perikanan adalah meningkatnya pengetahuan, keterampilan, sikap dan motivasi masyarakat, khususnya nelayan, pembudi daya, pengolah ikan dan keluarganya, terutama dalam rangka meningkatkan pendapatan dan kesejahteraannya. Dari definisi itu terlihat bahwa khalayak yang disuluh meliputi seluruh lapisan masyarakat yang dapat dikelompokan sebagai berikut: nelayan, pembudi daya ikan, pengolah ikan, pedagang ikan, pengusaha perikanan, generasi muda, tokoh adat dan masyarakat, pemuka agama, aparatur pemerintah, dan kelompok masyarakat lainnya yang berkaitan secara langsung atau tidak dengan perikanan. Artinya sasaran/clienteles dari penyuluh begitu beragam dengan latar belakang yang berbeda pula.
Saat ini, keberadaan penyuluh perikanan berdasarkan data tahun 2014 sebanyak 3.200 orang, yang tersebar di Sumatera sebanyak 691 orang, Jawa 765 orang, Bali Nusa Tenggara 290 orang, Kalimantan 300 orang, Sulawesi 707 orang, dan Maluku-Maluku Utara-Papua 376 orang. Jika dilihat berdasarkan wilayah, maka jumlah penyuluh di wilayah Barat (SumateraJawa-Kalimantan) sebanyak 1.456 orang dan wilayah Timur (Sulawesi-Bali Nusa TenggaraPapua Maluku) 1.323 orang. Di samping jumlah yang terbatas, juga terjadi ketimpangan ratio jumlah penyuluh untuk daerah yang berpotensi besar tetapi ratio penyuluh kecil, sedangkan daerah yang sudah berpotensi biasa dengan ratio penyuluh besar. Tentu ratio ini perlu dikaji lebih jauh bi dai aspek kualiats`maupun kuantitas.
Pertanyaannya ketenagaan penyuluh perikanan seperti apa yang seharusnya kita miliki atau dengan kompetensi seperti apa? Perubahan cara pandang masyarakat yang semakin kritis, dan sistem pemerintahan yang bergeser dari sentralistik ke arah desentralistik yang lebih mengedepankan prinsip-prinsip otonomi daerah. Artinya permasalahan yang tingkat akar rumput menjadi kewenangan Bupati/Walikota yang tentu lebih paham perilaku masyarakat di kampungnya, dari pada Pemerintah Pusat di Jakarta. 
Senada dengan itu, dalam membangun sistem penyuluhan perikanan akan menjadi lebih kompleks di tingkat implementasinya di lapangan karena lebih merupakan kewenangan daerah. Pemerintah Pusat menyediakan pedoman, norma, dan standar penyuluhan perikanan, yang didukung dengan pembinaan sedangkan pelaksanaannya harus bersifat lokal spesifik dan sesuai permasalahan yang dihadapi. 
Pada saat ini, para pelaku penyuluh perikanan yang dikenal meliputi:
1.    Penyuluh Fungsional adalah Pegawai Negeri Sipil yang diangkat oleh pejabat yang berwenang dalam jabatan fungsional penyuluh.
2.    Penyuluh Swasta adalah seseorang yang diberi tugas oleh perusahaan yang terkait dengan usaha perikanan, baik secara langsung atau tidak langsung, melaksanakan tugas penyuluhan perikanan.
3.    Penyuluh Mandiri/Swadaya adalah seseorang yang atas kemauan sendiri melaksanakan penyuluhan perikanan.
Pemerintah Kabupaten/Kota harus lebih menyentuh akar permasalahan ketenagaan penyuluhan perikanan di wilayahnya, termasuk dalam memilih tenaga penyuluh perikanan yang bagaimana harus tersedia (out-sourcing atau in-sourcing) dalam jangka pendek, jangka menengah, dan jangka panjang. Walaupun pada hakekatnya setiap orang yang mempunyai pengetahuan tentang perikanan dan mampu berkomunikasi dapat menjadi penyuluh perikanan. Namun untuk rekruitmen dan mendanai opersionalisasinya harus menjadi tugas kolektif, yang ditanggung bersama antara Pemerintah Pusat, Pemerintah Daerah, dan masyarakat/swasta.
Saat ini, penyuluhan telah menjadi bidang kajian ilmiah. Wajarlah bila profesionalisme para penyuluh perlu dikembangkan, mengingat tugas penyuluhan di masa datang akan semakin luas, intensif, kompleks, sedangkan di lain pihak para nelayan, pembudi daya, dan pengolah ikan semakin pandai, maju, dan kritis. 
Pertanyaannya dalam menangani masalah ketenagaan penyuluhan perikanan, bukan hanya dapat melakukan rekruitmen dan menjadikannya terampil, tetapi mampukah kita membangun integritas dan profesionalisme para penyuluh yang ada, dan menjadikannya sebagai teladan bagi penyuluh juniornya.
Di sisi lain, dalam kenyataannya usaha perikanan pada saat ini didominasi oleh usaha perikanan kecil dengan tingkat pendidikan yang relatif rendah, sehingga untuk mengembangkan hal-hal yang bersifat inovatif menjadi kurang efisien dan berdampak pada rendahnya kualitas produk yang dihasilkan. Kondisi demikan berbanding lurus dengan peranan penyelenggaraan penyuluhan yang berkualitas dan dalam kuantitas yang proporsional, menjadi sangat diperlukan agar produksi yang dihasilkan oleh nelayan kecil dan pembudi daya-ikan kecil dapat ditingkatkan mutunya. Selanjutnya, pada gilirannya hasil tersebut dapat bersaing pada pasar yang lebih luas baik secara regional maupun internasional.
Cakupan tugas penyuluhan perikanan mengalami perubahan, dalam arti bertambah luas dan berat, yang tidak terbatas pada peningkatan produksi, tetapi juga usaha tani, pemasaran, pengolahan hasil perikanan, bisnis perikanan, dan lain sebagainya. Untuk melaksanakan tugas yang semakin luas, kiranya sangat wajar bila pihak pengusaha swasta dan BUMN yang bergerak dalam bisnis perikanan, produsen dan distributor sarana produksi perikanan, bertanggung jawab memberikan penyuluhan terkait dengan produk yang dijualnya.
Instansi-instansi, lembaga-lembaga dan organisasi-organisasi bidang perikanan yang memiliki potensi besar terlibat dalam penyuluhan perlu didekati secara resmi untuk berkolaborasi melaksanakan fungsi penyuluhan perikanan, seperti perguruan tinggi perikanan, lembaga perbankan, LSM, asosiasi komoditi perikanan, MPN, HNSI, berbagai media masa, Kementerian /LPND terkait. Di sisi lain, mediasi penyuluhan perikanan dapat dilakukan dengan memanfaatkan kelembagaan pendidikan dan sosial keagamaan, seperti sekolah, pondok pesantren, seminari, pasraman, dll. Lagi pula, segala ilmu dan teknologi perikanan bukanlah monopoli pihak tertentu saja, demikian pula pengetahuan dan tugas penyuluhan.
Adanya hal tersebut diatas, tidaklah berarti KKP akan kekurangan tugas untuk ditangani, namun sinergitas tugas pengemasan teknologi dan penyuntingan informasi perikanan atas dasar kondisi lokal yang selama ini agak terabaikan nantinya akan dapat ditangani dengan lebih tuntas.
Eksistensi sekolah tinggi/fakultas ilmu perikanan yang tersebar diseluruh nusantara amat perlu dimungkinkan kontribusi secara resmi dan legal dalam mengemban fungsi penyuluhan perikanan.
Untuk mendayagunakan potensi sumber daya perikanan serta menggerakkan seluruh potensi bangsa diperlukan upaya percepatan dan berbagai terobosan yang integratif sebagai suatu program nasional revitalisasi perikanan. Pelaksanaan program ini: (1) merupakan wujud dukungan politik, ekonomi dan sosial untuk menjadikan sektor perikanan sebagai salah satu prime mover pembangunan ekonomi nasional; (2) merupakan upaya untuk memacu pemanfaatan potensi sumber daya perikanan yang berwawasan lingkungan guna peningkatan kesejahteraan rakyat; serta (3) memacu meningkatnya sumbangan terhadap pertumbuhan ekonomi nasional. Sebagai sebuah gerakan nasional, yang menempatkan reformasi penyuluhan perikanan sebagai bagian inheren di dalamnya, maka program ini akan menjadi salah satu lokomotif bagi pengembangan ekonomi rakyat, oleh karena itu secara langsung maupun tidak langsung diperlukan adanya dukungan sektor lainnya.
Selama tahun 2014-2019, beberapa langkah operasional yang telah dilakukan KKP dalam meningkatkan kinerja penyuluhan perikanan, yaitu:
1.    Menerbitkan konsep penyelenggaraan penyuluhan perikanan berupa turunan atau derivasi UU no.16/2006 berupa 1 buah peraturan pemerintah dan 15 Peraturan Presiden RI, dan Keputusan Menteri KP/Peraturan Menteri KP;
2.    Sosialisasi Penyuluhan Perikanan Tingkat Nasional di berbagai propinsi dan kabupaten/kota pada tahun 2014-2019;
3.    Mengalokasikan sepeda motor bagi penyuluh perikanan sebanyak 919 unit dan 2.000 unit HP di Kabupaten/Kota dan UPT lingkup Badan Pengembangan SDM Kelautan dan Perikanan (2014-2019);
4.    Mengalokasikan bantuan tenaga penyuluh PNS (fungsional) 108 orang di Kabupaten/Kota dan UPT Badan Pengembangan SDM KP (2014-2019);
5.    Rekrutmen penyuluh perikanan tenaga kontrak sebanyak 2.000 orang di Kabupaten/Kota dan UPT secara progresif sejak tahun 2014-2019, diharapkan proses moratorium tidak menghambat ;
6.    Pembinaan Desa Mitra di setiap UPT lingkup Badan Pengembangan SDM Kelautan dan Perikanan sejak tahun 2014-2019;
7.    Bantuan Operasional Penyuluhan di lebih 360 Kabupaten/Kota bagi sekitar 3.200 penyuluh PNS dengan besaran bragam, yakni: Rp.340.000 per orang per bulan di Wilayah Barat, Rp.400.000 di Wilayah Tengah, dan Rp.480.000 di Wilayah Timur dapat disesuaikan (20142019); dan
8.    Penerbitan media penyuluhan berupa poster dan media cetak lainnya.