Wednesday, October 21, 2015

PENGELOLAAN SUMBER DAYA PERIKANAN BERKELANJUTAN

October 21, 2015 Posted by Media Penyuluhan Perikanan Pati No comments
Indonesia merupakan negara kepulauan terbesar di dunia dengan luas wilayah laut yang dapat dikelola sebesar 5,8 juta km2 yang memiliki keanekaragaman sumberdaya kelautan dan perikanan yang sangat besar. Potensi lestari sumber daya ikan atau maximum sustainable yield (MSY) di perairan laut Indonesia sebesar 6,5 juta ton per tahun, dengan jumlah tangkapan yang diperbolehkan sebesar 5,2 juta ton/tahun (80% dari MSY).   Kemudian, untuk besarnya potensi perikanan tangkap di perairan umum yang memiliki total luas sekitar 54 juta Ha, yang meliputi danau, waduk, sungai, rawa, dan genangan air lainnya, diperkirakan mencapai 0,9 juta ton ikan/tahun.   Sementara, untuk perikanan budidaya, potensi yang dimilikinya adalah a) perikanan budidaya air laut seluas 8,3 juta Ha (yang terdiri dari 20% untuk budidaya ikan, 10% untuk budidaya kekerangan, 60% untuk budidaya rumput laut, dan 10% untuk lainnya), b) perikanan budidaya air payau atau tambak seluas 1,3 juta Ha, dan c) perikanan budidaya air tawar seluas 2,2 juta Ha (yang terdiri dari kolam seluas 526,40 ribu Ha, perairan umum (danau, waduk, sungai dan rawa) seluas 158,2 ribu Ha, dan sawah untuk mina padi seluas 1,55 juta Ha).2  Berdasarkan data FAO (2014) pada tahun 2012 Indonesia menempati peringkat ke-2 untuk produksi perikanan tangkap dan peringkat ke-4 untuk produksi perikanan budidaya di dunia. Fakta ini dapat memberikan gambaran bahwa potensi perikanan Indonesia sangat besar, sehingga bila dikelola dengan baik dan bertanggungjawab agar kegiatannya dapat berkelanjutan, maka dapat menjadi sebagai salah satu sumber modal utama pembangunan di masa kini dan masa yang akan datang.
Potensi perikanan yang sangat besar tersebut dapat memberikan manfaat yang maksimal secara berkelanjutan bagi negara dan masyarakat Indonesia, bila dikelola dengan baik dan bertanggungjawab. Hal tersebut juga telah diamanatkan dalam Undang-Undang Republik Indonesia (UU RI) Nomor 45 tahun 2009 pasal 6 ayat 1 yang menegaskan bahwa pengelolaan perikanan ditujukan untuk tercapainya manfaat yang optimal dan berkelanjutan, serta terjaminnya kelestarian sumber daya ikan. Namun sayangnya, hingga kini sebagian besar aktivitas perikanan nasional faktanya belum memperlihatkan kinerja yang optimal, berkelanjutan, dan menjamin kelestarian sumber daya ikan seperti yang diamanatkan dalam UU RI No.45/1945 tersebut.  Sebagai gambaran pada perikanan tangkap, beberapa contohnya adalah: 1) masih maraknya aktivitas IUU fishing; 2) gejala lebih tangkap atau overfishing di beberapa perairan pantai Indonesia, akibat pemanfaatan sumber daya ikan yang umumnya masih bersifat open acces dan belum melaksanakan limited entry secara penuh; 3) masih terdapat penggunaan alat penangkapan ikan yang bersifat destruktif; dan 4) sistem pengawasan pemanfaatan sumber daya ikan yang masih lemah dan belum efektif.  Sementara pada perikanan budidaya, diantaranya adalah: 1) kebutuhan pakan yang masih tergantung dengan impor dari negara lain; 2) sebagian besar usaha perikanan budidaya di Indonesia belum menerapkan good aquaculture practices, sehingga aktivitasnya berdampak pada degradasi lingkungan yang cukup signifikan, yang akhirnya menimbulkan masalah penyakit, kematian massal, dan juga terjadinya pencemaran, baik dari limbah sisa pakan maupun dari limbah penggunaan obat-obatan yang tidak tepat jenis dan dosis; 3) masih sering terjadinya konversi lahan yang tidak sesuai dengan peruntukkannya, sehingga sering menjadi ancaman langsung mapun tidak langsung bagi keberlanjutan usaha perikanan budidaya; dan 4) ketersediaan induk ikan dan udang unggulan masih sangat terbatas. 
Tambahan pula, pembangunan perikanan di Indonesia hingga kini masih fokus pada pengembangan aspek ekonomi semata.  Hal ini tercermin dengan penggunaan indikator kinerja utama (IKU) untuk pembangunan perikanannya seperti tercantum dalam Rencana Strategis Kementerian Kelautan dan Perikanan (KKP) 2010-20142, yakni: 1) meningkatnya persentase pertumbuhan Produk Domestik Bruto (PDB) perikanan; 2) meningkatnya jumlah produksi perikanan; 3) meningkatnya nilai tukar nelayan (NTN) dan pembudidaya ikan (NTPi); 4) meningkatnya jumlah konsumsi ikan dalam negeri per kapita; 5) meningkatnya nilai ekspor hasil perikanan; 6) menurunnya jumlah kasus penolakan ekspor hasil perikanan per negara mitra; 7) bertambahnya luas Kawasan Korservasi Perairan yang dikelola secara berkelanjutan; 8) bertambahnya jumlah pulau-pulau kecil, termasuk pulau-pulau kecil terluar, yang dikelola; dan 9) meningkatnya persentase wilayah perairan bebas illegal fishing dan kegiatan yang merusak sumber daya kelautan dan perikanan. Padahal, dalam pembangunan berkelanjutan, termasuk bidang perikanan, tidak hanya aspek ekonomi semata yang perlu dikembangkan, namun juga aspek sosial dan ekologinya , agar aktivitasnya dapat berkelanjutan. Dari 9 IKU yang ditetapkan tersebut, terdapat 5 IKU (IKU 1, 2, 3, 5, dan 6) yang fokus pada aspek ekonomi, sedangkan untuk aspek sosial hanya 2 IKU (IKU 4 dan 8), dan aspek ekologi juga 2 IKU (IKU 7 dan 9).  Seharusnya dibuat IKU yang berimbang atau lebih baik lagi bila menggunakan IKU yg dapat mencerminkan 3 aspek utama keberlanjutan, yakni ekonomi, sosial, dan ekologi.  Sebagai salah satu contohnya adalah seperti IKU meningkatnya produksi perikanan, yang hanya mencerminkan aspek ekonomi semata, dapat diganti menjadi IKU maksimalnya produktivitas perikanan sesuai daya dukung lingkungan, yang akan mencerminkan aspek ekonomi melalui pencapaian usaha yang menguntungkan, aspek sosial melalui penjaminan lokasi daerah usaha perikanan, dan aspek ekologi melalui pengaturan jumlah input produksi yang sesuai daya dukung.         
Upaya memanfaatkan sumber daya ikan secara optimal, berkelanjutan, dan lestari merupakan tuntutan yang sangat mendesak bagi sebesarnya-besarnya kemakmuran rakyat, terutama untuk meningkatkan kesejahteraan nelayan dan pembudidaya ikan, pemenuhan kebutuhan gizi masyarakat, memperluas lapangan kerja dan kesempatan berusaha, serta peningkatan ekspor untuk menghasilkan devisa negara.  Berdasarkan hal ini, guna memberikan manfaat yang maksimal bagi masyarakat dan negara Indonesia serta menjamin keberlangsungan usaha perikanan itu sendiri, maka sudah seharusnya pembangunan dan aktivitas perikanan nasional secepatnya diarahkan untuk menerapkan kaidah-kaidah perikanan berkelanjutan. Pada dasarnya pembangunan berkelanjutan, termasuk bidang perikanan, mencakup tiga aspek utama, yaitu: ekologi, ekonomi, dan sosial.3  Tanpa keberlanjutan ekologi, misalnya penggunaan teknologi yang merusak atau tidak ramah lingkungan, akan menyebabkan menurunnya sumber daya ikan bahkan juga bisa punah, sehingga akibatnya kegiatan ekonomi perikanan akan terhenti dan tentu akan berdampak pula pada kehidupan ekonomi dan sosial masyarakat yang terlibat kegiatan perikanan.  Kemudian, tanpa keberlanjutan ekonomi, misalnya rendahnya harga ikan yang tidak sesuai dengan biaya operasional, maka akan menimbulkan eksploitasi besar-besaran untuk dapat menutup biaya produksi yang dapat merusak kehidupan ekologi perikanan.  Begitu pula tanpa keberlanjutan kehidupan sosial para stakeholder perikanan maka proses pemanfaatan perikanan dan kegiatan ekonominya akan menimbulkan berbagai konflik sosial di masyarakat penggunanya.  Dengan demikian, agar perikanan yang berkelanjutan tersebut dapat segera terwujud, maka tentunya harus diimbangi dengan regulasi dan kebijakan yang tepat dan efektif.  Oleh karena itu, Badan Perencanaan Pembangunan Nasional melalui Direktorat Kelautan dan Perikanan memandang perlu untuk melakukan “Kajian Strategi Pengelolaan Perikanan Berkelanjutan”.

Monday, October 19, 2015

ANALISIS TEMATIK WILAYAH PENGELOLAAN PERIKANAN

October 19, 2015 Posted by Media Penyuluhan Perikanan Pati No comments
Indikator Habitat
Sebagai negara kepulauan, Indonesia memiliki potensi sumberdaya ikan yang sangat besar dan keanekaragaman hayati yang tinggi. Perairan Indonesia memiliki 27.2% dari seluruh spesies flora dan fauna yang terdapat di dunia, meliputi 12% mammalia, 23.8 % amphibia, 31.8% reptilia, 44.7% ikan, 40% moluska, dan 8.6% rumput laut. Adapun potensi sumberdaya ikan meliputi, sumberdaya ikan pelagis besar, sumberdaya ikan pelagis kecil, sumberdaya udang penaeid dan krustasea lainnya, sumberdaya ikan demersal, sumberdaya moluska dan teripang, cumi-cumi, sumberdaya benih alam komersial, sumberdaya karang, sumberdaya ikan konsumsi perairan karang, sumberdaya ikan hias, penyu, mammalia, dan rumput laut. 
Produksi perikanan tangkap di laut diklasifikasikan menurut kelompok jenis ikan, yaitu: ikan pelagis besar, pelagis kecil, demersal, ikan karang, udang, lobster, cumi-cumi, kekerangan dan teripang, binatang air lainnya, dan rumput laut. Data produksi ikan  pelagis dihitung dari data perikanan tangkap di laut kabupaten/kota tersebut. Selain itu, data produksi ikan pelagis juga diperoleh dari data produksi ikan pelagis di kabupaten sekitarnya. Hal ini dikarenakan beberapa kapal penangkap ikan di kabupaten/kota tersebut yang beroperasi di perairan kabupaten/kota disekitarnya.  Sedangkan untuk data ikan demersal diperoleh dari data produksi perikanan tangkap di laut kabupaten/kota yang bersangkutan. 
Ikan pelagis besar tersebar hampir diseluruh wilayah pengelolaan perikanan, namun tingkat pemanfaatan dari masing-masing wilayah berbeda-beda. Jenis-jenis ikan pelagis yang terdapat di perairan Indonesia antara lain, madidihang, tuna mata besar, tuna sirip biru selatan, albakora, setuhuk, layaran, cakalang, tongkol, dan cucut. Sumberdaya ikan pelagis kecil merupakan sumberdaya neritik yang penyebarannya berada di perairan dekat pantai, di daerah dimana terjadi proses penaikan massa air. Makanan utama bagi ikan pelagis kecil adalah plankton, sehingga kelimpahannya sangat dipengaruhi oleh faktor lingkungan. Sumberdaya ini dapat membentuk biomassa yang sangat besar sehingga menjadi salah satu sumberdaya perikanan yang paling melimpah di perairan Indonesia. Jenis-jenis ikan pelagis kecil antara lain ikan layang, teri, lemuru, tembang, kembung, dan ikan terbang. Sumberdaya ikan demersal di Indonesia terdiri dari banyak jenis dan menyebar hampir diseluruh wilayah pengelolaan, namun produktivitasnya berbeda di tiap wilayah. Jenis-jenis ikan demersal antara lain kakap merah/bambangan, gerot-gerot, manyung, kurisi, beloso, kuniran, layur, dan pepetek.
Terumbu karang di perairan Indonesia terdiri dari 12 famili, 52 marga dengan jumlah jenis lebih dari 600 spesies. Sebaran karang di Indonesia lebih banyak terdapat di sekitar Pulau Sulawesi, Laut Flores, Laut Banda, dan perairan Papua. Selain itu, terdapat pula di Kepulauan Seribu, bagian barat Sumatera sampai Pulau weh, Kepulauan Riau, Pulau Bangka dan Belitung, Kepulauan Karimunjawa, Teluk Lampung, Bali, Lombok, Nusa Tenggara Timur, Biak, Teluk Cendrawasih, serta Kepulauan Maluku. Sumberdaya karang memiliki nilai dan arti penting dari segi ekonomi, sosial, dan budaya. Selain itu, sumberdaya karang banyak memberi manfaat bagi organisme laut, yaitu sebagai tempat tinggal, tempat mencari makan (feeding ground), tempat memijah (spawning ground), tempat pengasuhan (nursery ground), tempat berlindung, tempat berlangsungnya proses biologi, kimiawi, dan fisik secara cepat sehingga produktivitasnya tinggi.
Indikator habitat yang tercakup dan dianalisis dalam kajian Ecosystem Approach to Fisheries Management (EAFM) ini meliputi pencemaran dan potensi pencemaran, kondisi tutupan lamun, tutupan terumbu karang, luasan dan kerapatan mangrove, produktifitas estuari, keberadaan habitat penting, laju sedimentasi, dan pengaruh global warming. 
Secara umum, kondisi habitat di 11 Wilayah Pengelolaan Perikanan (WPP) seluruh Indonesia menunjukkan kategori sedang dengan total skor 213.  Wilayah pengelolaan perikanan bagian barat dan tengah Indonesia menunjukkan kondisi buruk sampai sedang, sedangkan di wilayah Indonesia bagian timur menunjukkan kondisi sedang sampai baik. Hanya WPP 712, yaitu wilayah perairan sekitar Laut Jawa yang memperlihatkan kondisi buruk, sedangkan WPP lainnya di bagian barat Indonesia masuk dalam kategori sedang. Sebagian besar wilayah perairan Indonesia bagian timur masuk dalam kategori baik (Gambar 4-1). Secara detail, kondisi masing-masing WPP dapat dijelaskan sebagai berikut.
WPP 571 mencakup area Selat Malaka dan Laut Andaman dalam tiga wilayah administratif provinsi yaitu Nangroe Aceh Darussalam, Riau, dan Sumatera Utara. Kondisi habitat di dalam WPP 571 ini tergolong sedang (skor 212,5) dengan areal tutupan terumbu karang yang rendah, rentan terhadap pencemaran perairan, namun baik dalam produktifitas estuari dan mempunyai level sedimentasi yang rendah.
WPP 572 mencakup area Samudera Hindia sebelah Barat Sumatera dan Selat Sunda. Wilayah ini meliputi area 6 provinsi yaitu Nangroe Aceh Darussalam, Sumatera Utara, Sumatera Barat, Bengkulu, Lampung, dan Banten. Kondisi domain habitat dalam WPP 572 ini tergolong sedang (skor 187,5) dengan tutupan terumbu karang dan padang lamun yang relatif rendah, banyak bukti coral bleaching, namun rendah pencemaran, produktifitas estuari yang tinggi, serta level sedimentasi yang rendah.
WPP 573 mencakup area Samudera Hindia sebelah selatan Jawa hingga sebelah selatan nusa tenggara, Laut sawu, dan Laut Timor bagian Barat. WPP ini mencakup Banten, DKI Jakarta, Jawa Barat, Jawa Tengah, DI Yogyakarta, Jawa Timur, Bali, Nusa Tenggara Barat, dan Nusa Tenggara Timur. Kondisi habitat di sekitar WPP 573 termasuk kategori buruk (skor 150) dimana pencemaran rendah, tutupan habitat lamun, coral, dan mangrove rendah, namun mempunyai laju sedimentasi yang rendah.
WPP 711 mencakup area yang cukup luas dari Selat Karimata, Laut Natuna, sampai dengan Laut China Selatan. WPP ini meliputi area 10 provinsi yaitu Riau, Kepulauan Riau, Jambi, Sumatera Selatan, Kepulauan Bangka Belitung, DKI Jakarta, Jawa Barat, Jawa Tengah, Kalimantan Barat, dan Kalimantan Tengah. Kondisi habitat di WPP 711 tergolong dalam kategori baik (skor 250). 
WPP 712 mencakup area di sekitar Laut Jawa dan meliputi 8 provinsi. Kedelapan provinsi tersebut adalah Lampung, Banten, DKI Jakarta, Jawa Barat, Jawa Tengah, dan Jawa Timur, Kalimantan Tengah dan Kalimantan Selatan. Kondisi habitat di WPP 712 tergolong dalam kategori buruk (skor 112,5) dengan tutupan habitat mangrove, lamun, dan terumbu karang yang rendah, produktifitas estuari yang rendah, serta laju sedimentasi yang tinggi akibat kerusakan lahan atas. 
WPP 713 mencakup area Selat Makassar, Teluk Bone, Laut Flores, dan Laut Bali.  WPP ini meliputi provinsi Jawa Jawa Barat, Jawa Tengah, Jawa Timur, Bali, Nusa Tenggara Barat, Nusa Tenggara Timur, Kalimantan Timur, Kalimantan Selatan, Sulawesi Tengah, Sulawesi Barat, Sulawesi Tenggara, dan Sulawesi Selatan. Kondisi habitat di WPP 713 tergolong dalam kategori sedang (skor 187,5) dengan tutupan habitat lamun yang rendah, tutupan mangrove dan terumbu karang sedang, namun ada indikasi habitat resistant dan resilience terhadap pengaruh global warming. 
WPP 714 mencakup area sekitar Teluk Tolo dan Laut Banda pada 6 provinsi. Keenam provinsi tersebut adalah Nusa Tenggara Timur, Sulawesi Tengah, Sulawesi Selatan, Sulawesi Tenggara, Maluku, dan Maluku Utara. Kondisi habitat di WPP 714 tergolong dalam kategori sedang (skor 175). Walaupun mempunyai tutupan mangrove yang rendah, tutupan coral dan lamun yang sedang, kondisi perairan wilayah ini masih relatif baik. 
WPP 715 ini meliputi Teluk Tomini, Laut Maluku, Laut Halmahera, Laut Seram, dan Teluk Berau yang tercakup dalam wilayah administrasi 7 provinsi. Ketujuh provinsi tersebut adalah Sulawesi Utara, Gorontalo, Sulawesi Tengah, Sulawesi Tenggara, Maluku, Maluku Utara, dan Papua Barat. Kondisi habitat di WPP 715 tergolong dalam kategori baik (skor 250). Hampir semua indikator habitat menujukkan kondisi yang sedang sampai baik.
WPP 716 ini meliputi Laut Sulawesi dan sebelah utara Pulau Halmahera yang tercakup dalam wilayah administrasi 5 provinsi. Kelima provinsi tersebut adalah Kalimantan Timur, Gorontalo, Sulawesi Utara, Sulawesi Tengah, dan Maluku Utara. Kondisi habitat di WPP 716 tergolong dalam kategori baik (skor 262,5). Hampir semua indikator habitat menujukkan kondisi yang sedang sampai baik.
Cakupan WPP 717 meliputi Teluk Cenderawasih dan Samudera Pasifik yang berada dalam provinsi Maluku Utara, Papua, dan Papua Barat. Kondisi habitat di WPP 717 tergolong dalam kategori baik (skor 275). Hampir semua indikator habitat menujukkan kondisi yang sedang sampai baik, kecuali terdapat potensi pencemaran di beberapa wilayah dimana terdapat industri besar. Selain itu, luasan tutupan lamun di WPP ini relatif sedang.
WPP 718 mencakup area Teluk Aru, Laut Arafuru, dan Laut Timor bagian Timur yang meliputi Provinsi Sulawesi Tenggara, Maluku, Papua, dan Papua Barat. Kondisi habitat di WPP 718 masuk dalam kategori baik (skor 262,5) dimana hampir setiap indikator habitat masih berada dalam kondisi baik, kecuali bahwa di WPP ini mempunyai potensi pencemaran karena keberadaan industri besar. Selain itu, dalam WPP ini juga mempunyai kerapatan mangrove yang relatif sedang saja.
Hasil analisis komposit untuk indikator habitat yang diterapkan untuk masing-masing WPP dapat dilihat pada Tabel 4-1 – Tabel 4-11. 
Tabel 4-1. Analisis Komposit Habitat WPP 571
INDIKATOR HABITAT    DEFINISI/
PENJELASAN    MANFAAT    MONITORING/ PENGUMPULAN    KRITERIA    UNIT DATA    BOBOT    SKOR    NILAI    FLAG
1.    Pencemaran perairan*)     Limbah B3 (bahan
berbahaya & beracun), teridentifikasi secara klinis, audio dan atau visual.    -    Melihat kualitas dan kesehatan lingkungan perairan
-    Melihat tingkat
pencemaran    Data sekunder, sampling, monitoring dan atau
survey    1= tercemar; 2=tercemar sedang; 3= tidak tercemar    Selat Malaka rentan thd pencemaran    12.5    2    25   
2.    Status lamun    Luasan  tutupan, densitas dan jenis Lamun.    -    Mengetahui kualitas dan produktivitas perairan.
-    Mengetahui keberhasilan rekruitmen
-    Mengetahui daerah pemijahan dan asuhan    Survey dan data sekunder, CITRA SATELIT.    1=tutupan rendah, ≤29,9%; 2=tutupan sedang, 30-49,9%; 3=tutupan tinggi, ≥50%    Luasan dan tutupan lamun sedang di bagian utara Sumatera    12.5    2    25   
3.    Status mangrove    Kerapatan, keragaman, dan jenis mangrove    -    Mengetahui kualitas dan produktivitas perairan.
-    Mengetahui keberhasilan rekruitmen
-    Mengetahui daerah pemijahan dan asuhan    Survey dan data sekunder, CITRA SATELIT, foto udara    1=kerapatan rendah, <1000 10001500="" 2="kerapatan" 3="kerapatan" 50-75="" ha="" pohon="" sedang="" tinggi="" tutupan="">1500 pohon/ha, tutupan >75%    Luasan mangrove
sedang di bagian utara
Sumatera    12.5    2    25   
                1 = INP rendah; 2 = INP sedang; dan 3 =
INP tinggi    INP sedang               
4.    Status terumbu karang     -       Luasan tutupan karang keras hidup (hard coral cover).    -    Mengetahui kualitas dan produktivitas perairan.
-    Mengetahui keberhasilan rekruitmen
-    Mengetahui daerah pemijahan dan asuhan    Survey dan data sekunder, CITRA SATELIT, foto udara    1=tutupan rendah, <25 2="tutupan" br="">sedang, 25-49,9%; 3=tutupan tinggi,
>50 %    Tutupan coral rendah
<25 12.5="" 1="" br="" nbsp="">1=indeks keanekaragaman rendah; 2 = indeks keanekaragaman sedang; dan 3 = indeks keanekaragaman tinggi    keanekaragaman karang rendah                
Tabel 4-1. (Lanjutan) Tabel 4-2. Analisis Komposit Habitat WPP 572
INDIKATOR HABITAT    DEFINISI/ PENJELASAN    MANFAAT    MONITORING/ PENGUMPULAN    KRITERIA    UNIT DATA    BOBOT    SKOR    NILAI    FLAG
1.    Pencemaran perairan*)     Limbah B3 (bahan
berbahaya & beracun), teridentifikasi secara klinis, audio dan atau visual.    -    Melihat kualitas dan kesehatan lingkungan perairan
-    Melihat tingkat
pencemaran    Data sekunder, sampling, monitoring dan atau survey    1= tercemar; 2=tercemar sedang; 3= tidak tercemar    Pencemaran dan potensinya relatif rendah    12.5    3    37.5   
2.    Status lamun    Luasan  tutupan, densitas dan jenis Lamun.    -    Mengetahui kualitas dan produktivitas perairan.
-    Mengetahui keberhasilan rekruitmen
-    Mengetahui daerah pemijahan dan asuhan    Survey dan data sekunder, CITRA SATELIT.    1=tutupan rendah, ≤29,9%;
2=tutupan sedang, 30-49,9%;
3=tutupan tinggi, ≥50%    Perairan Samudera dengan tutupan lamun rendah    12.5    1    12.5   
3.    Status mangrove    Kerapatan, keragaman, dan jenis mangrove    -    Mengetahui kualitas dan produktivitas perairan.
-    Mengetahui keberhasilan rekruitmen
-    Mengetahui daerah pemijahan dan asuhan    Survey dan data sekunder, CITRA SATELIT, foto udara    1=kerapatan rendah, <1000 10001500="" 2="kerapatan" 3="kerapatan" 5075="" br="" ha="" pohon="" sedang="" tinggi="" tutupan="">>1500  pohon/ha, tutupan >75%    Kerapatan sedang di beebrapa pulau-pulau
kecil    12.5    2    25   
                1 = INP rendah; 2 = INP sedang; dan 3 = INP tinggi    INP mangrove tergolong sedang               
4.    Status terumbu karang     -       Luasan tutupan karang keras hidup (hard coral cover).    -    Mengetahui kualitas dan produktivitas perairan.
-    Mengetahui keberhasilan rekruitmen
-    Mengetahui daerah pemijahan dan asuhan    Survey dan data sekunder, CITRA SATELIT, foto udara    1=tutupan rendah, <25 br="">2=tutupan sedang, 25-49,9%;
3=tutupan tinggi, >50%    Sebaran terumbu di beberapa pulau kecil dengan tutupan yang rendah     12.5    1    12.5   
1=indeks keanekaragaman rendah; 2 = indeks keanekaragaman sedang; dan 3 = indeks keanekaragaman tinggi    keanekaragaman karang relatif rendah               
Tabel 4-2. (Lanjutan) Tabel 4-3. Analisis Komposit Habitat WPP 573
INDIKATOR HABITAT    DEFINISI/
PENJELASAN    MANFAAT    MONITORING/ PENGUMPULAN    KRITERIA    UNIT DATA    BOBOT    SKOR    NILAI    FLAG
1.    Pencemaran perairan*)     Limbah B3 (bahan berbahaya & beracun), teridentifikasi secara klinis, audio dan atau visual.    -    Melihat kualitas dan kesehatan lingkungan perairan
-    Melihat tingkat
pencemaran    Data sekunder, sampling, monitoring dan atau survey    1= tercemar; 2=tercemar sedang; 3= tidak tercemar    Beberapa daerah rentan thd pencemaran dari industri    12.5    2    25   
2.    Status lamun    Luasan  tutupan, densitas dan jenis Lamun.    -    Mengetahui kualitas dan produktivitas perairan.
-    Mengetahui keberhasilan rekruitmen
-    Mengetahui daerah pemijahan dan asuhan    Survey dan data sekunder, CITRA SATELIT.    1=tutupan rendah, ≤29,9%;
2=tutupan sedang, 3049,9%; 3=tutupan tinggi,
≥50 %    Tutupan lamun rendah <29 12.5="" 1="" br="" nbsp="">3.    Status mangrove    Kerapatan, keragaman, dan jenis mangrove    -    Mengetahui kualitas dan produktivitas perairan.
-    Mengetahui keberhasilan rekruitmen
-    Mengetahui daerah pemijahan dan asuhan    Survey dan data sekunder, CITRA SATELIT, foto udara    1=kerapatan rendah, <1000 10001500="" 2="kerapatan" 50-="" br="" ha="" pohon="" sedang="" tutupan="">75%; 3=kerapatan tinggi,
>1500 pohon/ha, tutupan
>75 %    Kerapatan mangrove rendah    12.5    1    12.5   
                1 = INP rendah; 2 = INP sedang; dan 3 = INP tinggi    INP mangrove rendah               
4.    Status terumbu karang     -       Luasan tutupan karang keras hidup (hard coral cover).    -    Mengetahui kualitas dan produktivitas perairan.
-    Mengetahui keberhasilan rekruitmen
-    Mengetahui daerah pemijahan dan asuhan    Survey dan data sekunder, CITRA SATELIT, foto udara    1=tutupan rendah, <25 br="">2=tutupan sedang, 2549,9%; 3=tutupan tinggi,
>50 %    Tutupan karang rendah    12.5    1    12.5   
1=indeks keanekaragaman rendah; 2 = indeks keanekaragaman sedang; dan 3 = indeks keanekaragaman tinggi    Keanekaragaman karang rendah               
Tabel 4-3. (Lanjutan) Tabel 4-4. Analisis Komposit Habitat WPP 711
INDIKATOR HABITAT    DEFINISI/
PENJELASAN    MANFAAT    MONITORING/ PENGUMPULAN    KRITERIA    UNIT DATA    BOBOT    SKOR    NILAI    FLAG
1.    Pencemaran perairan*)     Limbah B3 (bahan berbahaya & beracun), teridentifikasi secara klinis, audio dan atau visual.    -    Melihat kualitas dan kesehatan lingkungan perairan
-    Melihat tingkat pencemaran    Data sekunder, sampling, monitoring dan atau survey    1= tercemar; 2=tercemar sedang; 3= tidak tercemar    Tingkat pencemaran relatif masih rendah    12.5    3    37.5   
2.    Status lamun    Luasan  tutupan, densitas dan jenis Lamun.    -    Mengetahui kualitas dan produktivitas perairan.
-    Mengetahui keberhasilan rekruitmen
-    Mengetahui daerah pemijahan dan asuhan    Survey dan data sekunder, CITRA SATELIT.    1=tutupan rendah, ≤29,9%;
2=tutupan sedang, 3049,9%; 3=tutupan tinggi,
≥50 %    Banyak pulau kecil dengan tutupan lamun sedang    12.5    2    25   
3.    Status mangrove    Kerapatan, keragaman, dan jenis mangrove    -    Mengetahui kualitas dan produktivitas perairan.
-    Mengetahui keberhasilan rekruitmen
-    Mengetahui daerah pemijahan dan asuhan    Survey dan data sekunder, CITRA SATELIT, foto udara    1=kerapatan rendah, <1000 10001500="" 2="kerapatan" 50-="" br="" ha="" pohon="" sedang="" tutupan="">75%; 3=kerapatan tinggi,
>1500 pohon/ha, tutupan
>75 %    Banyak daerah dengan kerapatan mangrove tinggi    12.5    3    37.5   
1 = INP rendah; 2 = INP sedang; dan 3 = INP tinggi    INP mangrove tinggi               
INDIKATOR HABITAT    DEFINISI/
PENJELASAN    MANFAAT    MONITORING/ PENGUMPULAN    KRITERIA    UNIT DATA    BOBOT    SKOR    NILAI    FLAG
4.    Status terumbu karang     -       Luasan tutupan karang keras hidup (hard coral cover).    -    Mengetahui kualitas dan produktivitas perairan.
-    Mengetahui keberhasilan rekruitmen
-    Mengetahui daerah pemijahan dan asuhan    Survey dan data sekunder, CITRA SATELIT, foto udara    1=tutupan rendah, <25 br="">2=tutupan sedang, 2549,9%; 3=tutupan tinggi,
>50%    Terumbu karang tepi (Fringing reefs) banyak di pulau-pulau
kecil dengan tutupan sedang    12.5    2    25   
                1=indeks keanekaragaman rendah; 2 = indeks keanekaragaman sedang; dan 3 = indeks keanekaragaman tinggi    Keanekaragaman karang sedang               
5.    Status dan produktivitas Estuari    Tingkat produktivitas perairan estuari    -    Mengetahui kualitas dan produktivitas perairan.
-    Mengetahui daerah
asuhan    Survey dan data sekunder, CITRA SATELIT, foto udara    1-produktivitas rendah;
2=produktivitas sedang;
3= produktivitas tinggi    Produktifitas estuari tinggi    12.5    3    37.5   
    Laju sedimentasi perairan    Mengetahui kualitas perairan    Survey, monitoring dan data sekunder, CITRA SATELIT, foto udara    1=laju sedimentasi rendah; 2=laju sedimentasi sedang; dan 3=laju sedimentasi tinggi    banyak estuari dengan
laju sedimentasi relatif sedang    12.5    2    25   
6.    Habitat penting (spawning ground, nursery ground, feeding ground).    Luasan, waktu, siklus, distribusi, larva drift, dan spill over.     Memberikan solid basis bagi open close area season    Fish Eggs and Larva survey, GIS dgn informasi Citra Satelit, Informasi Nelayan, SPAGs
(Kerapu dan kakap)    1=tidak diketahui adanya habitat penting; 2=diketahui adanya habitat penting tapi tidak dikelola dengan baik; 3 = diketahui adanya habitat penting dan dikelola dengan baik    Beberapa habitat penting seperti penyu dan mamalia laut    12.5    2    25
Penyusun
Direktorat Sumberdaya Ikan, Direktorat Jenderal Perikanan Tangkap, Kementerian Kelautan dan Perikanan Agus Apun Budhiman, Hary Christijanto, Siti Kamarijah, Ganef Hari Budoyo

Sunday, October 18, 2015

PENDAMPINGAN PELAKU UTAMA DAN USAHA PERIKANAN MELALUI PENYULUHAN PERIKANAN

October 18, 2015 Posted by Media Penyuluhan Perikanan Pati No comments
Perikanan adalah kegiatan manusia yang berhubungan dengan pengelolaan dan pemanfaatan sumberdaya hayati perairan. Sumberdaya hayati perairan tidak dibatasi secara tegas dan pada umumnya mencakup ikan, amfibi, dan berbagai avertebrata penghuni perairan dan wilayah yang berdekatan, serta lingkungannya. Di Indonesia, menurut UU RI no. 9/1985 dan UU RI no. 31/2004, kegiatan yang termasuk dalam perikanan dimulai dari praproduksi, produksi, pengolahan sampai dengan pemasaran, yang dilaksanakan dalam suatu sistem bisnis perikanan. Dengan demikian, perikanan dapat dianggap merupakan usaha agribisnis.
Umumnya, perikanan dimaksudkan untuk kepentingan penyediaan pangan bagi manusia. Selain itu, tujuan lain dari perikanan meliputi olahraga, rekreasi (pemancingan ikan), dan mungkin juga untuk tujuan membuat perhiasan atau mengambil minyak ikan.
Usaha perikanan adalah semua usaha perorangan atau badan hukum untuk menangkap atau membudidayakan (usaha penetasan, pembibitan, pembesaran) ikan, termasuk kegiatan menyimpan, mendinginkan, pengeringan, atau mengawetkan ikan dengan tujuan untuk menciptakan nilai tambah ekonomi bagi pelaku usaha (komersial/bisnis).
Potensi sumberdaya kelautan dan perikanan di kabupaten Pati dengan panjang pantai sepanjang ± 60 Km, luasan tambak air payau 10.000 Ha, kolam air tawar 350 Ha, garam dan pengolahan hasil perikanan. Sedangkan di Indonesia sangat besar, dengan garis pantai sepanjang 81.000 km, dan luas perairan laut sekitar 5,8 juta km2, luas hamparan budidaya yang lebih dari 15,59 juta hektar, serta luas perairan umum 5,4 juta ha (data tahun 2009), mampu memberikan manfaat dengan perkiraan nilai ekonomi sebesar US$ 82 miliar per tahun.
Sejalan dengan kondisi di atas, keberadaan penyuluh perikanan memegang peranan yang sangat penting dalam melakukan pembinaan dan pendampingan kepada nelayan, pembudidaya ikan, dan pengolah ikan serta pelaku usaha bidang perikanan lainnya. Selanjutnya, diharapkan memberi manfaat yang nyata kepada para pelaku utama dan pelaku usaha tersebut untuk dapat mengelola usahanya secara efektif, efisien, dan menguntungkan, sehingga pada gilirannya berdampak pada meningkatnya kesejahteraannya serta terjaganya sumberdaya laut dan ikan yang lestari.
Peranan penting lain yang dilakukan penyuluh di  perikanan adalah melakukan pendampingan usaha, terkait dengan teknologi, informasi dan kebijakan pemerintah di bidang kelautan dan perikanan melalui penyelenggaraan penyuluhan yang efektif. Dalam melaksanakan perannya tersebut, penyuluh perikanan melakukan tugas membina, memfasilitasi dan mendampingi pelaku bisnis perikanan untuk dapat berusaha lebih baik agar dapat memanfaatkan sumberdaya kelautan dan perikanan yang lebih berdayaguna, berhasilguna, dan dapat meningkatkan kesejahteraan keluarganya. Sejalan dengan itu, penyuluh  perikanan yang diperlukan adalah penyuluh yang profesional, artinya penyuluh tersebut harus merupakan ahli penyuluhan di bidang kelautan dan perikanan, dan spesialis di bidang kelautan dan perikanan. Hal ini juga amat terkait dengan karakteristik yang khas dari kelautan dan perikanan, yang berbeda dengan kegiatan non kelautan dan perikanan.
Dari berbagai pertimbangan di atas, dalam menangani penyuluhan di bidang kelautan dan perikanan cakupannya memiliki beberapa kekhasan yang menjadi pembeda dengan bidang lainnya antara lain yaitu:
1 Dari aspek legislasi ada Undang-Undang yang menaungi penyuluhan kelautan dan perikanan, yaitu Undang-Undang Nomor 31 tahun 2004 tentang Perikanan, Undang-Undang Nomor 16 Tahun  2006 tentang Sistem Penyuluhan Pertanian, Perikanan, dan Kehutanan, dan Undang-Undang Nomor 27 tahun 2007 tentang Pengelolaan Wilayah pesisir dan Pulau-Pulau Kecil.
2 Dari aspek kelembagaan, selama 2 kabinet dan juga rencana Undang-Undang kementerian/departemen ke depan, ada departemen yang khusus mengemban dan menaungi pelaksanaan tugas dan fungsi tersebut dan menjadi instansi pembina bagi sumber daya manusia yang menjalankan tugas dan fungsi penyuluh  perikanan, yaitu Departemen Kelautan dan Perikanan.
3 Secara biofisik, sifat, karakteristik, dan bentuk kegiatan kelautan dan perikanan sangat spesifik dengan ketergantungan tinggi terhadap musim dan iklim sehingga dalam pengelolaan sumberdaya menjadi kompleks dan cukup pelik, yaitu:
a. Kegiatan kelautan dan perikanan berisiko tinggi (risky), sehingga harus dapat menjadi layak kelola (manageable);
b. Kegiatan kelautan dan perikanan relatif membutuhkan investasi tinggi (relatively high investment), sehingga harus menjadi layak akses (accessible); dan
c. Kegiatan kelautan dan perikanan cenderung membutuhkan penerapan ilmu pengetahuan dan teknologi yang spesifik (specific knowledge and technology), sehingga harus adaptif dan aplikatif di tingkat pengguna (adaptable and applicable).
Dengan situasi dan kondisi di atas, maka keberadaan para penyuluh  perikanan amat diperlukan, guna menjalankan fungsi intermediasi antara pelaku utama dan pelaku usaha dengan sumber permodalan, teknologi, dan informasi.
a. Tingginya variabilitas dalam kegiatan kelautan dan perikanan berdampak pada tingginya keberagaman penyebaran penggunaan dan penanganan sumberdaya alam, yang berbeda dengan usaha non kelautan dan perikanan yang relatif seragam.
b. Dalam pengelolaan aspek kelautan, maka penanganannya merupakan bagian yang integral dan tidak dapat dipisah dari aspek perikanan. Di samping itu, secara khusus pengelolaan kelautan sangat terkait dengan aturan internasional, seperti UNCLOS 82-UU No. 17/85 termasuk zona ekonomi eksklusif (ZEE), Agenda of Science for Environment and Development into the 21st Century (ASCEND 21/Agenda 21), aturan illegal, unreported, and unregulated fishing (IUU), serta Code of Conduct for Responsible Fisheries (CCRF), yang didalamnya terdapat isu-isu strategis yang berhubungan dengan kedaulatan bangsa dan negara, antara lain isu batas negara, pengelolaan sumberdaya kelautan dan perikanan, serta pengelolaan sumberdaya manusia dan sumberdaya alam pulau-pulau kecil;
c. Secara keilmuan, eksistensi ilmu kelautan dan perikanan yang tersebar di berbagai perguruan tinggi merupakan kecabangan ilmu tersendiri, termasuk fungsi penyuluhan perikanan.
Atas dasar perbedaan: fungsi produksi pada proses budidaya, penangkapan, dan pengolahan hasil ikan; karakteristik yang khas dari nelayan dan masyarakat pesisir, terutama sikap dan perilakunya; tingkat mobilitas yang tinggi para nelayan;  keterbatasan kuantitas dan kualitas aparat perikanan di berbagai daerah; dan potensi unsur swasta untuk berperan dalam penyuluhan; maka diperlukan Sistem Penyuluhan Perikanan yang spesifik. Untuk itu, karakteristik sistem penyuluhan perikanan yang produktif, efektif, efisien, dinamis dan profesional dalam sektor kelautan dan perikanan mensyaratkan:
1. Bertumpu kepada sumber daya ikan dan bersifat pemanfaatan bersama (open access and common property );
2. Bertumpu kepada sentra-sentra kegiatan kelautan dan perikanan;
3. Bertumpu kepada geografis wilayah negara kepulauan;
4. Keterpaduan program yang berwawasan bisnis kelautan dan perikanan dan kelestarian lingkungan;
5. Didukung oleh profesionalisme penyuluh.
6. Digerakkan oleh kepemimpinan para pelaku utama;
7. Bertumpu pada kekuatan kerja sama;
8. Bertumpu pada otonomi daerah;
9. Diwadahi oleh kekuatan kelembagaan; dan
10. Dilayani oleh kesatuan korps penyuluh;
Selama ini penyuluh perikanan merupakan bagian dari penyuluh pertanian, dalam jabatan fungsional rumpun ilmu hayat, sebagaimana tertuang dalam Keputusan Menko WASBANGPAN NO 19 TAHUN 1999. Dalam pelaksanaannya para penyuluh yang menangani kelautan dan perikanan tidak fokus di bidangnya, karena harus menangani tugas secara polivalen dan bukan spesialisasi. Hal ini mengakibatkan capaian kegiatannya selama ini menjadi kurang berdaya guna dan berhasil guna serta pelaksanaan tugas penyuluh bidang perikanan menjadi tidak profesional.
Untuk itu, sistem penyuluhan kelautan dan perikanan diarahkan untuk mengembangkan profesionalisme penyuluh sebagai profesi yang mandiri, melalui pengembangan keahlian dan keberpihakan kepada nelayan, pembudidaya ikan, dan pengolah ikan, serta meningkatkan citra penyuluhan. Dengan demikian, maka sangat diperlukan keberadaan penyuluh fungsional yang berkualitas dibidangnya, dengan jumlah yang proporsional dan tidak berlebihan, sehingga efisien dan efektif dalam memberikan pelayanan.

Saturday, October 17, 2015

MENGENAL PENGERTIAN BOD, COD

October 17, 2015 Posted by Media Penyuluhan Perikanan Pati No comments
Kehidupan mikroorganisme, seperti ikan dan hewan air lainnya, tidak terlepas dari kandungan oksigen yang terlarut di dalam air, tidak berbeda dengan manusia dan mahluk hidup lainnya yang ada di darat, yang juga memerlukan oksigen dari udara agar tetap dapat bertahan. Air yang tidak mengandung oksigen tidak dapat memberikan kehidupan bagi mikro organisme, ikan dan hewan air lainnya. Oksigen yang terlarut di dalam air sangat penting artinya bagi kehidupan.
Untuk memenuhi kehidupannya, manusia tidak hanya tergantung pada makanan yang berasal dari daratan saja (beras, gandum, sayuran, buah, daging, dll), akan tetapi juga tergantung pada makanan yang berasal dari air (ikan, kerang, cumi-cumi, rumput laut, dll).
Tanaman yang ada di dalam air, dengan bantuan sinar matahari, melakukan fotosintesis yang menghasilkan oksigen. Oksigen yang dihasilkan dari fotosintesis ini akan larut di dalam air. Selain dari itu, oksigen yang ada di udara dapat juga masuk ke dalam air melalui proses difusi yag secara lambat menembus permukaan air. Konsentrasi oksigen yang terlarut di dalam air tergantung pada tingkat kejenuhan air itu sendiri. Kejenuhan air dapat disebabkan oleh koloidal yang melayang di dalam air oleh jumlah larutan limbah yang terlarut di dalam air. Selain dari itu suhu air juga mempengaruhi konsentrasi oksigen yang terlarut di dalam air. Tekanan udara dapat pula mempengaruhi kelarutan oksigen di dalam air. Tekanan udara dapat pula mempengaruhi kelarutan oksigen di dalam air karena tekanan udara mempengaruhi kecepatan difusi oksigen dari udara ke dalam air.
Kemajuan industri dan teknologi seringkali berdampak pula terhadap keadaan air lingkungan, baik air sungai, air laut, air danau maupun air tanah. Dampak ini disebabkan oleh adanya pencemaran air yang disebabkan oleh berbagai hal seperti yang telah diuraikan di muka. Salah satu cara untuk menilai seberapa jauh air lingkungan telah tercemar adalah dengan melihat kandungan oksigen yang terlarut di dalam air.
Pada umumnya air lingkungan yang telah tercemar kandungan oksigennya sangat rendah. Hal itu karena oksigen yang terlarut di dalam air diserap oleh mikroorganisme untuk memecah/mendegradasi bahan buangan organik sehingga menjadi bahan yang mudah menguap (yang ditandai dengan bau busuk). Selain dari itu, bahan buangan organik juga dapat bereaksi dengan oksigen yang terlarut di dalam air organik yang ada di dalam air, makin sedikit sisa kandungan oksigen yang terlarut di dalamnya. Bahan buangan organik biasanya berasal dari industri kertas, industri penyamakan kulit, industri pengolahan bahan makanan (seperti industri pemotongan daging, industri pengalengan ikan, industri pembekuan udang, industri roti, industri susu, industri keju dan mentega), bahan buangan limbah rumah tangga, bahan buangan limbah pertanian, kotoran hewan dan kotoran manusia dan lain sebagainya.
Dengan melihat kandungan oksigen yang terlarut di dalam air dapat ditentukan seberapa jauh tingkat pencemaran air lingkungan telah terjadi. Cara yang ditempuh untuk maksud tersebut adalah dengan uji :
COD, singkatan dari Chemical Oxygen Demand, atau kebutuhan oksigen kimia untuk reaksi oksidasi terhadap bahan buangan di dalam air.
BOD singkatan dari Biological Oxygen Demand, atau kebutuhan oksigen biologis untuk memecah bahan buangan di dalam air oleh mikroorganisme.Biological Oxygen Demand (BOD), Chemical Oxygen Demand (COD), and Total Suspended Solid (TSS) sebagai Indikator Limbah Cair
Air limbah adalah air yang bercampur zat padat (dissolved dan suspended) yang berasal dari kegiatan rumah tangga, pertanian, perdagangan dan industri. Oleh karena itu, dipastikan bahwa air buangan atau air limbah industri bisa menjadi salah satu penyebab air tercemar jika tidak diolah sebelum dibuang ke badan air.
Komposisi air limbah sebagian besar terdiri dari air (99,9 %) dan sisanya terdiri dari partikel-partikel padat terlarut (dissolved solid) dan tersuspensi (suspended solid) sebesar 0,1 %.
Partikel-partikel padat terdiri dari :
• Zat organik (± 70 %)
o Protein (± 65 %)
o Karbohidrat (± 25 %)
o Lemak (± 10 %).
o Zat anorganik (± 30 %)
o Protein (± 65 %)
o Karbohidrat (± 25 %)
o Lemak (± 10 %).
v Zat-zat organik tersebut sebagian besar mudah terurai (biodegradable) yang merupakan sumber makanan dan media yang baik bagi bakteri dan mikroorganisme lain.
v Zat-zat anorganik terdiri dari grit, salts dan metals (logam berat) yang merupakan bahan pencemar yang penting. Solids (dissolved dan suspended) sangat cocok untuk menempel dan bersembunyinya mikroorganisme baik yang bersifat saprophit mau pun pathogen .
Terdapat beberapa parameter yang umum digunakan sebagai indikator kualitas air limbah diantaranya adalah (Alaerts dan Santika, 1987) :
BOD (Biological Oxygen Demand)
BOD merupakan parameter pengukuran jumlah oksigen yang dibutuhkan oleh bekteri untuk mengurai hampir semua zat organik yang terlarut dan tersuspensi dalam air buangan, dinyatakan dengan BOD5 hari pada suhu 20 °C dalam mg/liter atau ppm. Pemeriksaan BOD5 diperlukan untuk menentukan beban pencemaran terhadap air buangan domestik atau industri juga untuk mendesain sistem pengolahan limbah biologis bagi air tercemar. Penguraian zat organik adalah peristiwa alamiah, jika suatu badan air tercemar oleh zat organik maka bakteri akan dapat menghabiskan oksigen terlarut dalam air selama proses biodegradable berlangsung, sehingga dapat mengakibatkan kematian pada biota air dan keadaan pada badan air dapat menjadi anaerobik yang ditandai dengan timbulnya bau busuk.
COD (Chemical Oxygen Demand)
COD adalah jumlah oksigen yang dibutuhkan untuk mengoksidasi zat-zat organik yang terdapat dalam limbah cair dengan memanfaatkan oksidator kalium dikromat sebagai sumber oksigen. Angka COD merupakan ukuran bagi pencemaran air oleh zat organik yang secara alamiah dapat dioksidasi melalui proses biologis dan dapat menyebabkan berkurangnya oksigen terlarut dalam air.
TSS (Total Susppended Solid)
Zat yang tersuspensi biasanya terdiri dari zat organik dan anorganik yang melayang-layang dalam air, secara fisika zat ini sebagai penyebab kekeruhan pada air. Limbah cair yang mempunyai kandungan zat tersuspensi tinggi tidak boleh dibuang langsung ke badan air karena disamping dapat menyebabkan pendangkalan juga dapat menghalangi sinar matahari masuk kedalam dasar air sehingga proses fotosintesa mikroorganisme tidak dapat berlangsung.
Total Suspended Solid atau padatan tersuspensi total (TSS) adalah residu dari padatan total yang tertahan oleh saringan dengan ukuran partikel maksimal 2μm atau lebih besar dari ukuran partikel koloid. Yang termasuk TSS adalah :
a. Lumpur,
b. Tanah liat,
c. Logam oksida,
d. Sulfida,
e. Ganggang,
f. Bakteri dan jamur.
TSS umumnya dihilangkan dengan flokulasi dan penyaringan. TSS memberikan kontribusi untuk kekeruhan (turbidity) dengan membatasi penetrasi cahaya untuk fotosintesis dan visibilitas di perairan. Sehingga nilai kekeruhan tidak dapat dikonversi ke nilai TSS. Kekeruhan adalah kecenderungan ukuran sampel untuk menyebarkan cahaya. Sementara hamburan diproduksi oleh adanya partikel tersuspensi dalam sampel. Kekeruhan adalah murni sebuah sifat optik. Pola dan intensitas sebaran akan berbeda akibat perubahan dengan ukuran dan bentuk partikel serta materi. Sebuah sampel yang mengandung 1.000 mg / L dari fine talcum powder akan memberikan pembacaan yang berbeda kekeruhan dari sampel yang mengandung 1.000 mg / L coarsely ground talc . Kedua sampel juga akan memiliki pembacaan yang berbeda kekeruhan dari sampel mengandung 1.000 mg / L ground pepper.  Meskipun tiga sampel tersebut mengandung nilai TSS yang sama.
Perbedaan antara padatan tersuspensi total (TSS) dan padatan terlarut total  (TDS) adalah berdasarkan prosedur penyaringan. Padatan selalu diukur sebagai berat kering dan prosedur pengeringan harus diperhatikan untuk menghindari kesalahan yang disebabkan oleh kelembaban yang tertahan atau kehilangan bahan akibat penguapan atau oksidasi.
Prinsip analisa TSS sebagai berikut :
Contoh uji yang telah homogen disaring dengan kertas saring yang telah ditimbang. Residu yang tertahan pada saringan dikeringkan sampai mencapai berat konstan pada suhu 103ºC sampai dengan 105ºC. Kenaikan berat saringan mewakili padatan tersuspensi total (TSS). Jika padatan tersuspensi menghambat saringan dan memperlama penyaringan, diameter pori-pori saringan perlu diperbesar atau mengurangi volume contoh uji. Untuk memperoleh estimasi TSS, dihitung perbedaan antara padatan terlarut total dan padatan total.
  TSS (mg/L) = (A-B) X 1000 / V
Dengan pengertian
A = berat kertas saring + residu kering (mg)
B = berat kertas saring (mg)
V = volume contoh (mL

Friday, October 16, 2015

Mengenal Ikan Kerapu Macan (Epinephelus fuscoguttatus)

October 16, 2015 Posted by Media Penyuluhan Perikanan Pati No comments
A.  Klasifikasi dan Morfologi Ikan Kerapu Macan (Epinephelus fuscoguttatus)
Ikan kerapu macan di pasaran internasional dikenal dengan nama flower atau carped cod, nama lokal (Gorontalo) Goropa. Berdasarkan Standar Nasional Indonesia (SNI) 01-6488. 1-2000, (2005) klasifikasi ikan kerapu macan sebagai berikut :
Phylum      : Chordata
 Subphylum     : Vertebrata
 Classis     : Osteichtyes
 Subclassis     : Actinopterigi
 Ordo         : Percomorphi
 Subordo     : Percoidae
 Familia     : Serranidae
 Genus         : Epinephelus
 Spesies     : Epinephelus fuscoguttatus,Forskal
Nama lain ikan kerapu macan berdasarkan Food Agricultural Organization (FAO) (2005) :
Inggris     : Marbled – brown grouper
Prancis     : Merau marron
Spanyol     : Mero manchado
Menurut Subyakto dan Cahyaningsih (2005) bahwa ikan kerapu macan ini memiliki bentuk tubuh memanjang dan gepeng (compressed), tetapi kadang-kadang ada juga agak bulat. Mulutnya lebar serong ke atas dan bibir bawahnya menonjol ke atas. Rahang bawah dan atas dilengkapi gigi-gigi geratan yang berderet dua baris, ujungnya lancip, dan kuat. Sementara itu, ujung luar bagian depan dari gigi baris luar adalah gigi - gigi yang besar. Badan kerapu macan ditutupi oleh sisik yang mengkilap dan bercak loreng mirip bulu macan.Menurut Kordi (2001), bentuk tubuh ikan kerapu macan menyerupai kerapu lumpur, tetapi tubuh kerapu macan lebih tinggi. Kulit tubuh ikan kerapu macan dipenuhi dengan bintik-bintik gelap yang rapat. Sirip dadanya  berwarna kemerahan, sedangkan sirip-sirip yang lain mempunyai tepi coklat kemerahan. Pada garis rusuknya, terdapat 110 - 114 buah sisik. Lebih jelasnya dapat dilihat pada Gambar 1.
B. Penyebaran dan Habitat
Daerah penyebaran kerapu macan adalah Afrika Timur, Kepulauan Ryukyu
(Jepang Selatan), Australia, Taiwan, Mikronesia, dan Polinesia. Weber dan Beaufort (1931) dalam Subyakto dan Cahyaningsih (2005) menyatakan bahwa perairan di Indonesia yang memiliki jumlah populasi kerapu cukup banyak adalah adalah Pulau Sumatera, Jawa, Sulawesi, Pulau Buru, dan Ambon. Salah satu indikatornya adalah perairan karang, Indonesia memiliki perairan karang yang cukup luas sehingga potensial sumber daya ikannya sangat besar (Tampubolon dan Mulyadi, 1989). 
Ikan kerapu muda umumnya hidup di perairan karang pantai dengan kedalaman 0,5 - 3,0 m. Habitat yang paling disenangi adalah perairan pantai di dekat muara sungai. Setelah menginjak dewasa beruaya (berpindah) ke perairan yang lebih dalam, yaitu di kedalaman 7 - 40 m, biasanya perpindahan ini berlangsung pada siang dan sore hari. Habitat benih ikan kerapu macan adalah pantai yang banyak ditumbuhi algae jenis reticulate dan Gracillaria sp. Setelah dewasa hidup di perairan yang lebih dalam dengan dasar pasir berlumpur (www.marintekprogressio.or.id, 1996). Parameter biologis yang cocok untuk pertumbuhan ikan kerapu yaitu temperature antara 24 - 32 0C, salinitas antara     30 - 33 ppt, oksigen terlarut lebih besar dari 3,5 ppm dan pH antara7,8 - 8,0 (Chua and Teng, 1978 dalam Antoro, dkk, 1998).
C. Kebiasaan Makan
Ikan kerapu macan dikenal sebagai predator atau piscivorous yaitu pemangsa jenis ikan-ikan kecil, zooplankton, udang-udangan, invertebrata, rebon dan hewan-hewan kecil lainnya (Kordi, 2001). Ikan kerapu macan termasuk jenis karnivora dan cara makannya memangsa satu per satu makanan yang diberikan sebelum makanan sampai ke dasar, sedangkan larva ikan kerapu pemakan larva moluska (trokofor), rotifer, microcrustacea, copepoda dan zooplankton       
(www. marintekprogressio.or.id, 1996). 
Tampubolon dan Mulyadi (1989) menjelaskan bahwa spesies kerapu yang mempunyai panjang usus lebih panjang dibandingkan panjang tubuhnya, diduga memiliki pertumbuhan yang cepat. Hal ini disebabkan oleh aktifitas dan kebiasaan dalam tingkat pemilihan jenis makanan. Panjang usus relative ikan kerapu sebagai ikan karnivor berkisar 0,26 - 1,54 meter, selain itu usus ikan kerapu yang diamati memiliki lipatan-lip;atan yang dapat menambah luas permukaan usus ikan dan berfungsi sebagai penyerapan makanan.
Antoro et al. (1998) menyatakan bahwa kapasitas penyerapan makanan meningkat dengan meningkatnya luas permukaan dinding usus ikan melaui pengembangan klep spiral lipatan usus. Nybakken dalam Antoro dkk, (1998) menambahkan bahwa ikan kerapu cenderung menangkap mangsa yang aktif bergerak di dalam kolam air. Selain itu mereka juga mempunyai sifat buruk, yakni kanibalisme yang muncul pada larva kerapu macan akibat pasokan makanan yang tidak mencukupi.
D. Persyaratan Lokasi Pembenihan
Persyaratan lokasi pembenihan yang baik meliputi faktor teknis dan non teknis. Faktor teknis adalah segala persyaratan yang harus dipenuhi dalam kegiatan pembenihan ikan kerapu macan yang berhubungan langsung dengan aspek teknis dalam memproduksi benih (Subyakto dan Cahyaningsih, 2005). Berdasarkan Standar Nasional Indonesia (SNI) beberapa aspek penting yang harus dipenuhi adalah letak unit pembenihan di tepi pantai untuk memudahkan perolehan sumber air laut. Pantai yang tidak terlalu landai dengan kondisi dasar laut yang tidak berlumpur dan mudah dijangkau untuk memperlancar transportasi. Air laut harus bersih, tidak tercemar dengan salinitas 28 - 35 ppt. Sumber air laut dapat dipompa minimal 20 jam per hari. Sumber air tawar tersedia dengan salinitas maksimal 5 ppt. peruntukan lokasi sesuai dengan Rencana Umum Tata Ruang Daerah/Wilayah (RUTRD/RUTRW).
Faktor non teknis merupakan pelengkap dan pendukung faktor-faktor teknis dalam pemilihan lokasi pembenihan. Persyaratan lokasi yang termasuk dalam faktor non teknis meliputi beberapa kemudahan seperti sarana transportasi, komunikasi, instalasi listrik (PLN), tenaga kerja, pemasaran, laboratorium, asrama, tempat ibadah dan pelayanan kesehatan. Selain itu, hal lain yang dapat menunjang kelangsungan usaha yakni adanya dukungan dari pemerintah daerah setempat,     termasuk     dukungan     masyarakat     sekitar     (Subyakto     dan       
Cahyaningsih, 2005).
E. Pemeliharaan Benih
1. Persiapan Bak    
Minjoyo, dkk., (1998) menyatakan bahwa bak pemeliharaan benih biasanya berbentuk segi empat atau bulat dengan kedalaman air 1 - 1,5 m. Umumnya bak yang digunakan adalah 10 - 20 ton. Penggunaan bak yang berukuran besar bertujuan untuk mengurangi fluktuasi suhu, khususnya pada waktu larva masih berumur 0 - 10 hari. Terlebih dahulu, bak dibersihkan lalu dikeringkan dan dibilas dengan kaporit.
2. Padat Penebaran Benih 
 Padat penebaran benih yaitu banyaknya jumlah ikan yang ditebarkan per satuan luas atau volume. Apabila populasi atau padat penebaran terlalu padat, ikan sangat rentan untuk terserang penyakit. Penebaran benih yang terlalu padat bisa menyebabkan pertumbuhan lambat dan kematian tinggi selama pemeliharaan (Sudradjat, 2008). Selain itu, kepadatan yang tinggi akan menyebabkan kematian yang cukup tinggi pula. Kematian terjadi dikarenakan tingkat kompetisi yang tinggi, sehingga akhirnya memunculkan sifat kanibalisme benih ikan kerapu (Subyakto dan Cahyaningsih, 2003). Padat penebaran  ikan yang terlalu tinggi juga akan menyebabkan konsumsi makanan yang lebih rendah karena akan mengurangi keleluasaan ikan untuk bergerak ke arah makanan, sehingga pertambahan panjang dan berat benih ikan tidak diperoleh dengan optimal (Endrawati dkk., 2008). 
 Endrawati dkk., (2008) untuk mengetahui pertumbuhan juvenil ikan kerapu macan (Epinephelus fuscoguttatus) yang dipelihara dengan padat penebaran yang berbeda, maka percobaan dilakukan di akuarium berukuran        40 x 40 x 60 cm, dengan media air laut 10 liter.  Larva ikan kerapu yang digunakan berumur 4 minggu dengan panjang awal 2,33 cm dan berat 0,25 gram. Perlakuan yang diterapkan dengan tingkat kepadatan 5, 10 dan 15 ekor per aquarium, Pemeliharaan dilakukan selama 4 minggu. Hasil penelitian menunjukkan bahwa rata – rata pertambahan bobot dan panjang terbaik dicapai ikan kerapu macan (Epinephelus fuscoguttatus) dengan padat penebaran               5 ekor/wadah dengan berat 3,67 gram dan panjang 0.63 cm. Pertambahan bobot dan panjang terendah pada perlakuan 15 ekor/wadah sebesar 2,16 gram dan        0,5 cm.  Hal ini menunjukkan adanya persaingan dan kanibalisme. Dalam penelitian Supriyatna dkk (2008), pengaruh padat penebaran terhadap pertumbuhan ikan kerapu macan yang dipelihara dalam wadah terkontrol. Pengujian dilakukan dengan perlakuan kepadatan masing-masing 50, 100, 150 ekor dalam bak beton ukuran 4 m3, dengan bobot awal 33 – 43 gr dan panjang total 12 - 14 cm. Dengan padat penebaran 50 ekor/bak memperlihatkan panjang dan bobot yang baik dari pada ikan yang di pelihara dengan kepadatan 100 ekor maupun 150 ekor/bak.
3. Pakan
 Ikan kerapu merupakan ikan laut yang buas (karnivora) dan sifat kanibalisme akan muncul bila kekurangan pakan. Oleh sebab itu pakan yang diberikan harus cukup baik kuantitas maupun kualitasnya. Pemilihan jenis dan ukuran pakan yang tepat akan mempengaruhi efisiensi pemanfaatan pakan. Pakan yang digunakan dapat berupa pakan alami/pakan segar atau pakan buatan. Ikan rucah merupakan pakan segar yang biasa digunakan untuk ikan kerapu yang dibudidayakan dikurungan apung. Ikan rucah yang digunakan diusahakan agar dalam keadaan segar. Pakan ikan segar harus dicacah hingga ukurannya sesuai dengan bukaan mulut ikan. Apabila telah busuk atau rusak jangan dipakai karena dapat mengakibatkan kematian ikan, pakan di berikan dengan sistem addlibitum yaitu dimana memberi makan secara sedikit – sedikit sampai ikan tersebut kanyang (Sudirman dan Karim, 2008).
4. Pengelolaan Kualitas Air
Pada hari pertama setelah menetas dilakukan penyifonan untuk membuang cangkang dan telur yang menetas. Minjoyo dkk, (1998) menyatakan larva umur    2 - 7 hari tidak dilakukan penyifonan kerena masih dalam masa kritis sehingga sangat membutuhkan kondisi lingkungan yang stabil. Penyifonan dilakukan pada larva umur 8 - 20 hari tiap 3 hari sekali, larva umur 21 hari penyifonan dilakukan setiap 2 hari sekali. Pergantian air mulai dilakukan pada larva umur 8 - 15 hari sebanyak 5 - 10% tiap 3 hari sekali. Pada larva umur 15 - 25 hari sebanyak          10 - 25% dan umur 25 - 35 hari sebanyak 20 - 30% tiap hari sekali. Pada larva umur 35- 45 hari sebanyak 40 - 60% tiap hari.
5. Penyeragaman Ukuran (Grading)
Minjoyo dkk, (1998) menyatakan bahwa grading dimaksud untuk menyeragamkan ikan pemeliharaan yang ditempatkan dalam satu wadah dan bukan merupakan jalan pemecahan untuk mengatasi sifat kanibalmelainkan mengurangi sifat kanibalismenya. Sifat kanibal menurunkan tingkat populasi dan cara yang paling tepat untuk menguranginya adalah menyediakan pakan secara optimal. Grading pada ikan dilakukan pada waktu larva berumur 35 hari diman larva sudah menjadi benih.