Tuesday, March 31, 2015

COREMAP (Coral Reef Rehabilitation and Management Program),

March 31, 2015 Posted by Media Penyuluhan Perikanan Pati No comments
Apa itu COREMAP?
COREMAP (Coral Reef Rehabilitation and Management Program), atau Program Rehabilitasi dan Pengelolaan Terumbu Karang, adalah program jangka panjang yang diprakarsai oleh Pemerintah Indonesia dengan tujuan untuk melindungi, merehabilitasi, dan mengelola pemanfaatan secara lestari terumbu karang serta ekosistem terkait di Indonesia, yang pada gilirannya akan menunjang kesejahteraan masyarakat pesisir.
Pentahapan
COREMAP pada awalnya direncanakan untuk 15 tahun, yang terdiri dari tiga tahap, yang berturut-turut mempunyai tujuan sebagai berikut:
  • Tahap I, Tahap Inisiasi (1998 – 2001): untuk menetapkan landasan kerangka kerja sistem nasional terumbu karang;
  • Tahap II, Tahap Akselerasi (2001 – 2007): untuk menetapkan sistem pengelolaan terumbu karang yang andal di daerah-daerah prioritas;
  •  Tahap III, Tahap Pelembagaan (2007 – 2013): untuk menetapkan sistem pengelolaan terumbu karang yang andal dan operasional, dengan pelaksanaan terdesentralisasi, dan telah melembaga.
Setelah COREMAP dimulai kemudian terjadi perubahan besar dalam tata pemerintahan di Indonesia, dimana pemenrintahan yang sebelumnya mempunyai kewenangan yang sangat sentralistik menjadi terdesentralisasi. Sebagai akibatnya, implementasi program juga harus disesuaikan, dengan perubahan pentahapan sebagai berikut:
Tahap  I, Tahap Inisiasi (1998 – 2004);
Tahap II , Tahap Desentralisasi dan Akselerasi (2004 – 2009)
Tahap III, Tahap Pelembagaan (2010 – 2015).
Visi Program
Apa yang diharapkan setelah program ini berakhir:
  • Kekayaan  terumbu karang dan ekosistem terkait dapat dilestarikan;
  • Masyarakat pesisir mencapai keseimbangan antara lingkungan hidup dan kesejahteraan mereka;
  •  Masyarakat pesisir telah berdaya untuk melindungi sendiri lingkungan mereka;
  • Masyarakat pesisir tidak lagi terasing dari pembangunan;
  • Kesadaran dan perilaku masyarakat semakin baik terhadap terumbu karang;
  • Orang luar dapat menghargai apa yang telah dilakukan masyarakat untuk melindungi terumbu karang;
  • Terciptanya pendekatan kerjasama dan partisipasi antara masyarakat, LSM, dan Pemerintah, untuk mencapai tujuan bersama;
  • Perilaku destruktif (seperti pemboman) telah merupakan masa lalu;
  • Nelayan telah dapat memanen ikan tak jauh dari pantai, tak perlu lagi berlayar jauh untuk itu;
  • Anak-anak dapat bermain di pantai yang indah.
Pendanaan
COREMAP didanai oleh Pemerintah Indonesia dengan mendapat dukungan dari beberapa donor yakni: World Bank, Asia Development Bank, dan AusAID (Australia Agency for International Development). Yang terakhir ini terlibat hanya dalam COREMAP Tahap I saja.
Lembaga Pelaksana
Lembaga Pelaksana (Executing Agency) untuk COREMAP Tahap I adalah LIPI (Lembaga Ilmu Pengetahuan Indonesia). Dengan didirikannya departemen baru DKP (Departemen Kelautan dan Perikanan) tahun 1999, Lembaga Pelaksana untuk COREMAP Tahap II dialihkan ke departemen yang baru ini. Meskipun demikian, LIPI tetap merupakan bagian dari Program ini, yang kegiatannya  lebih difokuskan pada bidang Informasi Ilmiah dan Pelatihan (CRITC) serta pendidikan.Dalam implementasi program, Lembaga Pelaksana bekerjasama erat dengan lembaga-lembaga pemerintah terkait, baik di Pusat maupun di Daerah. Kerjasama dengan LSM dan masyarakat lokal juga dikembangkan.
Sejarah
  • Ide awal yang mencetuskan gagasan Program Rehabilitasi dan Pengelolaan Terumbu Karang bermula dari keprihatinan para peneliti kelautan Indonesia akan nasib terumbu karang yang kondisinya makin memburuk
  • Pada tahun 1980-an Indonesia ikut terlibat dalam Program ASEAN-Australia, Living Coastal Resources, untuk memantau dan mengevaluasi sumberdaya laut di Asia Tenggara.
  • Survei pendahuluan yang dilakukan oleh para peneliti Indonesia tahun 1984 mencuatkan fakta yang sangat mengkhawatirkan, yang menunjukkan kondisi terumbu karang di Indonesia yang dalam keadaan baik tinggal sekitar 5 %, lumayan 29 %, buruk 25 %, dan sangat burruk 40 %.
  • Temuan ini mengejutkan banyak orang termasuk para pengambil keputusan di negeri ini, yang kemudian menimbulkan kesadaran akan perlunya diambil tindakan-tindakan untuk melindungi dan melestarikan ekositem yang sangat berharga ini.
  • Dengan dorongan kuat dari BAPPENAS (Badan Perancang Pembangunan Nasional), penelitian-penelitian terumbu karang mulai ditingkatkan dengan melibatkan 10 universitas dari berbagai propinsi di Indonesia, yang kemudian hari membentuk simpul-simpul yang menuju ke pembangunan jejaring informasi terumbu karang yang merupakan cikal bakal bagi dikembangkannya CRITC (Coral Reef Information and Trainng Centre).
  • Telah disadari bahwa untuk melindungi dan mengelola terumbu karang diperlukan biaya tidak sedikit, dan karenanya perlu ada upaya untuk mencari sumber-sumber pendanaan.
  • Panitia Persiapan ditetapkan tahun 1994, dan konsep awal COREMAP (Coral Reef Rehabilitation and Management Program)  kemudian dirumuskan. Ternyata konsep ini mendapat tanggapan yang sangat psositif dari berbagai lembaga internasional, bahkan kesediaan untuk ikut berpartsipasi.
  • Tiga lembaga donor menyatakan kesediaan mereka untuk memberikan bantuan pendanaan untuk program ini yakni World Bank, Asia Development Bank, dan AusAID (Australia Agency for International Development).
  • Tanggal 1 September 1998, COREMAP kemudian secara resmi diluncurkan.

Wednesday, March 25, 2015

JENIS, CIRI-CIRI DAN MORFOLOGI DARI PARASIT PADA IKAN

March 25, 2015 Posted by Media Penyuluhan Perikanan Pati No comments
(GOLONGAN PROTOZOA, PLATYTHELMINTHES DAN CRUSTACEA SERTA JAMUR)
Protozoa    
Ichthyophthirius multifilis
Berbentuk oval atau bulat.
Diameter 50-1000µ.
Nucleus berbentuk spt kacang tanah
Tampak seperti bintik putih di dalam integument ikan.
Pergerakannya berputar secara perlahan dengan bantuan silia uniform yang terdapat di seluruh permukaan tubuhnya.
Ich dewasa mempunyai makronukleus berbentuk U sedangkan Ich muda makronukleus berbentuk bulat.
Inang: Ikan air tawar (terutama pada stadia benih)
Menginfeksi epidermis, sirip dan insang. Tetapi pada kasus epizootic ditemukan juga pada kornea mata, epitel hidung dan esophagus ikan
Cryptocaryon irritans.
Berbentuk oval, pada stadium belum dewasa cenderung berbentuk seperti buah pear
Diameter 43-189 mikron
Inang: Ikan air laut
Menyerang pada kulit, sirip dan insang ikan yaitu di bagian lapisan epidermis, di bawah lendir (mucus)
Chilodonella sp
Bentuk Oval seperti Jantung
Terdapat butiran sitoplasma & beberapa vakuola kecil
Makronukleus oval ukuran : 1/3 badan, bentuk bundar, terletak bervariasi
Terdapat silia, terletak paralel pada permukaan tubuh bak. Ventral
Terdapat kelompok Silia besar di sekitar lubang mulut
Ukuran tbh :      P = 40-70 µ
L = 30-58 µ
Terdapat vacuola kontraktil
Inang: Ikan air tawar / payau (terutama pada benih)
Menyerang pada insang, sirip dan kulit
Brooklynella sp
Berbentuk lonjong dan seperti kacang mirip dengan Chilodonella sp
Ukuran mencapai 60µ
Ada bulu rambut (cilia) sejajar memanjang
Sebuah macronucleus dan kantong berbentuk oval yang terlihat jelas
Inang: Ikan air laut spt Ikan kerapu, ikan damsel dll.
Menyerang pada kulit, sirip dan insang
Vorticella
Berbentuk lonceng
Bagian anterior bersilia
Mempunyai tangkai
Hidup soliter
Inang: Ikan air tawar
Menyerang pada telur ikan dan permukaan tubuh ikan
Epistylis
Berbentuk lonceng
Bagian anterior bersilia
Mempunyai tangkai dan bercabang
Hidup berkoloni
Inang: Ikan air tawar  (terutama pada ikan mujair, tawes, mas, gurami, nila dan nilem)
Menyerang pada kulit dan insang
Zoothamnium
Berbentuk lonceng
Bagian anterior bersilia
Mempunyai tangkai
Hidup berkoloni
Inang: Ikan dan
Udang
Menyerang permukaan tubuh
Trichodina sp
Bentuk cakram seperti lingkaran transparan dengan silia disekelilingnya
Diameter sekitar 100 mikron
Tubuh bagian bawah terdapat cilia lingkaran pelekat (adhesive disk) dan gigi pada bagian tengah
Inang: Ikan air tawar
(terutama ikan berumur 7 hari)
Menyerang tubuh dan sirip
Myxobolus
Mempunyai spora berbentuk lonjong
Mempunyai dua kapsul polar pd anterior,yang berpasangan bentuk labu berukuran sama, terletak pd sudut sumbu longitudinal dgn ujung posterior
Dinding katubt idakjelas
Inang: Ikan air tawar (terutama benih ikan mas umur 1 bulan)
Menyerang pada insang
Myxosoma
Mikrosporida berbentuk seperti biji semangka (kwaci)
Terbungkus dalam kista yang berisi ribuan sel parasit
Inang: Ikan air tawar (ikan mas)
Menyerang bagian daging ikan.
Hexamita
Bentuk tubuh seperti buah pir
Ukuran : 3 – 10 mikron
Mempunyai dua inti anterior berbentuk buah pir,
Mempunyai 6 flagella anterior
Mempunyai 2flagella posterior
Inang: Ikan air tawar dan laut
(contoh.ikan mas dan tawes
Menyerang pada alat pencernaan dan kantung empedu darah
Ichthyobodo necator
(nama sebelumnya Costia necatrix)
Berbentuk oval
Pergerakan cepat
Mempunyai flegella anterior pendekdan 2 flagella getar
Mempunyai sitostoma (unit melekat)
Ukuran: P : 1-25 mikron,
L : 5 –10 mikrom
Inang: Ikan air tawar (terutama ikan hias)
Menyerang pada kulit dan insang
Trypanosoma sp
Tubuh memanjang
Mempunyai satu flagella
Ujung anterior runcing dan posterior tumpul
Inang: Ikan air tawar dan laut
Menyerang pada plasma
darah
Apiosoma sp
Berbentuk seperti lonceng dan tidak bertangkai
Ukuran 50×20 mikron
Mempunyai satu baris silia pada peristoma
Inang: Ikan air tawar dan laut
Menyerang pada insang, kulit atau sirip.
Sanguinicola sp
Integument tanpa marjinal striations;
Denticulations di ujung anterior tubuh;
Struktur otot kecil di bawah mulut
Memiliki 6 usus Ceca; dalam rongga.
Inang: Ikan air tawar (khususnya ikan mas terutama pada stadia larva dan juvenil)
Menyerang pada sistem peredaran darah ikan (plasma darah)
2. Platythelminthes    
Dactylogirus
Bentuk pipih, bulat dan panjang
Pada tubuhnya memiliki 16 buah kait (hook), yaitu dua buah kait berukuran besar dan 4 buah kait berukuran kecil
Kepala berlobus 4 buah
Mempunyai usus yang bercabang dua. bersatu dibagian posterior.
Mempunyai 2-4 titik pigmen pigmen (mata)
Ovarinya berbentuk bulat oval, dan testisnya sepasang. Testes
Mempunyai alat penghisap (sucker) pada bagian depan dan belakang.
Pada bagian belakang berbentuk seperti martil dengan bentuk seperti jangkar pada tiap ujungnya,
Panjang tubuh antara 0,5 – 1,0cm
Inang: Ikan air tawar
Menyerang pada insang
Gyrodactylus
Berbentuk pipih
Berukuran kurang dari 1 mm
Bagian anterior bercabang dua dan pada tiap lobus terdapat alat kepala.
Bagian posterior terdapat haptor dengan pengait berukuran besar sebanyak 2 buah dan ditepi haptor terdapat 16 duri kecil
Bagian kepala tidak terdapat titik mata, hanya ada kelenjar.
Usus bercabang dua
Ovarium berbentuk V dan terletak di bagian ventral atau posterior dari testis
Inang: Ikan air tawar dan air laut
Menyerang pada kulit dan insang
Nematoda
Berbentuk bulat panjang dan kurus
Tidak bersegmen
Struktur tubuh terdiri dari dua tabung yaitu: tabung yang luar merupakan dinding tubuh dan tabung dalam merupakan alat pencernaan
Dinding tubuh tdr 3lapisan, kutikula, hypodermis&somatic musculature
Inang: Ikan air tawar
Menyerang pada saluran pencernaan (usus), hati dan otot
Cestoda
Tubuh pipih dorso-ventral dan memanjang seperti pita
Tubuh Bersegmen-segmen,
Tidak memiliki rongga tubuh, saluran pencernakan, sistem sirkulasi.
Tubuh terbagi menjadi tiga bagian, yaitu: kepala/scolex, collum/leher dan bagian tubuh/stobila yang terdiri dari banyak segmen.
Berukuran panjang 1-3 cm dan lebar 0,1-0,5 cm
Inang: Ikan air tawar (terutama pada ikan lele local, lele dumbo dan gabus)
Menyerang bagian usus
Trematoda
Memiliki alat pengisap.Alat pengisap terdapat pada mulut di bagian anterior
Permukaan tubuhnya tidak memiliki silia
Inang: Ikan air tawar dan laut
Menyerang pada hati, dan usus,
Benedenia seriolae
Berukuran 0,5-1,0 cm
Mempunyai alat penghisap pada bagian anterior
Mempunyai jangkar untuk menempel pada bagian posterior
Inang: Ikan air laut (terutama ikan kerapu)
Menyerang pada kulit ikan
3. Crustacea    
Argulus
Bentuk tubuh pipih bulat
Diameter tubuh ± 5 mm
Mempunyai tiga bagian tubuh, yaitu cephalothorax, thorax, dan abdomen.
Mempunyai sucker besar pada bagian ventral.
Mempunyai preoral dan proboscis untuk melukai dan menghisap sari makanan dari inang
Inang: Ikan air tawar (terutama ikan mas, gurame dan tambakan)
Menyerang pada kulit, sirip dan insang
Lernae
Bentuk bulat memanjang seperti cacing
Pada bagian kepala terdapat organ yang berbentuk seperti jangkar
Inang: Ikan air tawar (terutama pada benih ikan)
Menyerang pada badan, sirip, insang dan mata
Ergasilus
Cephalothorax  lebih besar ½ panjang tubuh
Mempunyai antena 6 segmen (2 pasang) dan terdapat kait
Inang: Ikan air tawar, laut dan payau
Menyerang bagian insang, sirip dan jaringan dekat mata
Isopoda
Berukuran panjang ±1 cm
Mempunyai sungut yang panjang dan halus serta mengarah ke belakang
Bagian cephalon tidak bersegmen, terdapat 2 pasang antenna dan mulut.
Bagian paraeon terdapat 7 segmen, dan appendix tiap segmen (paraeopod)
Bagian pleon terdapat 6 segmen yang terdiri dari1-5 pleopod dan yang ke 6 pleotelson
Inang: Ikan air tawar (terutama pada ikan mas, nila dan gurame)
Menyerang jaringan tubuh ikan dengan menghisap darah
4.Jamur/Fungi    
Saprolegnia sp
Mempunyai filamen, tidak bersekat koenositik
Mempunyai sporangium yang berdiameter 100 mikron, lebih lebar dari hifanya
Mempunyai rambut bengkok yang panjang
Ujung miseliumnya akan tampak sporangium yang menghasilkan zoospore
Miseliumnya berkembang di dalam substrat, sedangkan yang terlihat di luar substrat berfungsi untuk perkembangbiakan.
Inang: Ikan air tawar (termasuk telurnya)
Menyerang bagian tubuh yang terluka
Achiya sp
Sporangium terbentuk di ujung hifa,
Hifa bercabang dan transparan.
Memiliki tiga tahap zoospora yang disebut polyplanetism,
Pada reproduksi seksual, setiap oogonia menghasilkan 1-10 oospora
Inang: Ikan air tawar
Menyerang pada Kepala, tutup insang, sirip, dan bagian tubuh lainnya, serta menyerang telur
Aphanomyces sp
Memiliki miselium berdiameter 5-15 mikron dan sedikit bercabang.
Zoospora muncul pada ujung sporangium dalam bentuk memanjang kemudian menjadi kista di sekitar ujung sporangium.
Hifa bercabang, tidak bersepta, dan berpigmen
Inang: Ikan air tawar
(terutama pada ikan lele, gabus, betutu jelawat, lobster air tawar)
Menyerang pada organ persendian dan pergerakan
Ichthyophonus sp
Terbagi atas dua bentuk yaitu bentuk salmonid dan bentuk ikan aquarium.
Bentuk salmonid dicirikan oleh kemampuan menghasilkan hifa yang panjang dan tidak menimbulkan pigmentasi kist
Bentuk aquarium dicirikan omelanisasi hifa
Dinding sel tersusun oleh polisakharida dan sitoplasmanya mengandung glikogen
Inang: Ikan air laut
Menyerang  pada jaringan epitel kulit ( insang, usus, hati dan jantung dalam bentuk gumpalan granula).

Tuesday, March 24, 2015

MENGEMBANGKAN BUDIDAYA BELUT

March 24, 2015 Posted by Media Penyuluhan Perikanan Pati No comments
BUDIDAYA IKAN BELUT ( Synbranchus )
1. SEJARAH SINGKAT
Belut  merupakan  jenis  ikan  konsumsi  air  tawar  dengan  bentuk  tubuh  bulat memanjang yang hanya memiliki sirip punggung dan tubuhnya licin. Belut suka memakan anak-anak ikan yang masih kecil. Biasanya hidup di sawah-sawah, di rawa-rawa/lumpur  dan  di  kali-kali  kecil.  Di  Indonesia  sejak  tahun  1979,  belut mulai  dikenal  dan  digemari,  hingga  saat  ini  belut  banyak  dibudidayakan  dan menjadi salah satu komoditas ekspor.
2. SENTRA PERIKANAN
Sentra  perikanan  belut  Internasional  terpusat  di  Taiwan,  Jepang,  Hongkong, Perancis dan Malaysia. Sedangkan sentra perikanan belut di Indonesia berada di  daerah  Yogyakarta  dan  di  daerah  Jawa  Barat.  Di  daerah  lainnya  baru merupakan tempat penampungan belut-belut tangkapan dari alam atau sebagai pos penampungan.
3. JENIS
Klasifikasi belut adalah sebagai berikut:
Kelas        : Pisces
Subkelas     : Teleostei
Ordo        : Synbranchoidae
Famili          : Synbranchidae
Genus           : Synbranchus
Species         : Synbranchus  bengalensis  Mc  clell  (belut  rawa);  Monopterus albus  Zuieuw  (belut  sawah);  Macrotema  caligans  Cant  (belut kali/laut)
Jadi  jenis  belut  ada  3  (tiga)  macam  yaitu  belut  rawa,  belut  sawah  dan  belut kali/laut.  Namun  demikian  jenis  belut  yang  sering  dijumpai  adalah  jenis  belut sawah.
4.    MANFAAT
Manfaat dari budidaya belut adalah:
1) Sebagai penyediaan sumber protein hewani.
2) Sebagai pemenuhan kebutuhan sehari-hari.
3) Sebagai obat penambah darah.
5. PERSYARATAN LOKASI
1) Secara klimatologis ikan belut tidak membutuhkan kondisi iklim dan geografis yang spesifik. Ketinggian tempat budidaya ikan belut dapat berada di dataran rendah  sampai  dataran  tinggi.  Begitu  pula  dengan  kelembaban  dan  curah hujan tidak ada batasan yang spesifik.
2) Kualitas  air  untuk  pemeliharaan  belut  harus  bersih,  tidak  terlalu  keruh  dan tidak   tercemar   bahan-bahan   kimia   beracun,   dan   minyak/limbah   pabrik. Kondisi tanah dasar kolam tidak beracun.
3) Suhu udara/temperatur optimal untukpertumbuhan belut yaitu berkisar antara 25-31 0 C.
4) Pada prinsipnya kondisi perairan adalah air yang harus bersih dan kaya akan osigen  terutama  untuk  bibit/benih  yang  masih  kecil  yaitu  ukuran  1-2  cm. Sedangkan  untuk  perkembangan  selanjutnya  belut  dewasa  tidak  memilih kualitas air dan dapat hidup di air yang keruh.
6. PEDOMAN TEKNIS BUDIDAYA
6.1. Penyiapan Sarana dan Peralatan
1) Perlu  diketahui  bahwa  jenis  kolam  budidaya  ikan  belut  harus  dibedakan antara  lain:  kolam  induk/kolam  pemijahan,  kolam  pendederan  (untuk  benih belut berukuran 1-2 cm), kolam belut remaja (untuk belut ukuran 3-5 cm) dan kolam   pemeliharaan   belut   konsumsi   (terbagi   menjadi   2. Tahapan yang masing-masing dibutuhkan waktu 2 bulan yaitu                                                                                           untuk  pemeliharaan  belut
TTG BUDIDAYA PERIKANAN
1) Ukuran  5-8  cm  sampai  menjadi  ukuran  15-20  cm  dan  untuk  pemeliharan
belut dengan ukuran 15-20 cm sampai menjadi ukuran 30-40 cm.
2) Bangunan  jenis-jenis   kolam    belut   secara    umum   relatif   sama    hanya dibedakan oleh ukuran, kapasitas dan daya tampung belut itu sendiri.
3) Ukuran  kolam  induk  kapasitasnya  6  ekor/m2.  Untuk  kolam  pendederan
(ukuran  belut  1-2  cm)  daya  tampungnya  500  ekor/m2.  Untuk  kolam  belut remaja  (ukuran  2-5  cm)  daya  tampungnya  250  ekor/m2.  Dan  untuk  kolam belut  konsumsi  tahap  pertama  (ukuran  5-8  cm)  daya  tampungnya  100 ekor/m2.  Serta  kolam  belut  konsumsi  tahap  kedua  (ukuran  15-20cm)  daya tampungnya 50 ekor/m2, hingga panjang belut pemanenan kelak berukuran 3-50 cm.
4) Pembuatan  kolam  belut  dengan  bahan  bak  dinding  tembok/disemen  dan dasar bak tidak perlu diplester.
5) Peralatan  lainnya  berupa  media  dasar  kolam,  sumber  air  yang  selalu  ada, alat  penangkapan  yang  diperlukan,  ember  plastik  dan  peralatan-peralatan lainnya.
6) Media   dasar   kolam   terdiri   dari   bahan-bahan   organik   seperti   pupuk kandang,  sekam padi  dan  jerami  padi.  Caranya  kolam  yang  masih  kosong untuk lapisan pertama diberi sekam padi setebal 10 cm, diatasnya ditimbun dengan pupuk kandang setebal 10 cm, lalu diatasnya lagi ditimbun dengan ikatan-ikatan merang atau jerami kering. Setelah tumpukan-tumpukan bahan organik selesai dibuat (tebal seluruhnya sekitar 30 cm), berulah air dialirkan kedalam kolam secara perlahan-lahan sampai setinggi 50 cm (bahan organik +  air). 
Dengan  demikian  media  dasar  kolam  sudah  selesai,  tinggal  media tersebut   dibiarkan  beberapa   saat   agar  sampai  menjadi  lumpur   sawah. Setelah itu belut-belut diluncurkan ke dalam kolam.
6.2. Penyiapan Bibit
1) Menyiapkan Bibit
a. Anak belut yang sudah siap dipelihara secara intensif adalah yang berukuran 5-8 cm. Di pelihara selama 4 bulan  dalam  2  tahapan  dengan masing-masing tahapannya selama 2 bulan.
b) Bibit bisa  diperoleh  dari  bak/kolam  pembibitan  atau  bisa  juga  bibit diperoleh dari sarang-sarang bibit yang ada di alam.
c. Pemilihan  bibit  bisa  diperoleh  dari  kolam  peternakan  atau  pemijahan. Biasanya  belut  yang  dipijahkan  adalah  belut  betina  berukuran  ± 30  cm dan belut jantan berukuran ±  40 cm.
d. Pemijahan  dilakukan  di  kolam  pemijahan  dengan  kapasitas  satu  ekor pejantan  dengan  dua  ekor  betina  untuk  kolam  seluas  1  m2.  Waktu pemijahan   kira-kira   berlangsung   10   hari   baru   telur-telur   ikan   belut berkisar   1,5–2,5   cm.  
Dalam   ukuran   ini   belut   segera   diambil   untuk ditempatkan  di  kolam  pendederan  calon  benih/calon  bibit.  Anak  belut dengan ukuran  sedemikian tersebut diatas  segera  ditempatkan  di  kolam pendederan  calon  bibit  selama  ±   1  (satu)  bulan  sampai  anak  belut tersebut  berukuran  5-8  cm.  Dengan  ukuran  ini  anak  belut  sudah  bisa diperlihara  dalam  kolam  belut  untuk  konsumsi  selama  dua  bulan  atau empat bulan.
2) Perlakuan dan Perawatan Bibit
Dari hasil pemijahan anak belut ditampung di kolam pendederan calon benih selama 1 bulan. Dalam hal ini benih diperlakukan dengan secermat mungkin agar tidak banyak yang hilang. Dengan perairan yang bersih dan lebih baik lagi apabila di air yang mengalir.
6.3.  Pemeliharaan Pembesaran
1) Pemupukan
Jerami  yang  sudah  lapuk  diperlukan  untuk  membentuk  pelumpuran  yang subur dan pupuk kandang juga diperlukan sebagai salah satu bahan organik utama.
2) Pemberian Pakan
Bila  diperlukan  bisa diberi makanan tambahan berupa  cacing,  kecoa,  ulat besar(belatung) yang diberikan setiap 10 hari sekali.
3) Pemberian Vaksinasi
4) Pemeliharaan Kolam dan Tambak
Yang  perlu  diperhatikan  pada  pemeliharaan  belut  adalah  menjaga  kolam agar tidak ada gangguan dari luar dan dalam kolam tidak beracun.
7. HAMA DAN PENYAKIT
7.1.  Hama
1) Hama pada belut adalah binatang tingkat tinggi yang langsung mengganggu kehidupan belut.
2) Di alam bebas dan di kolam terbuka, hama yang  sering  menyerang  belut antara  lain:  berang-berang,  ular,  katak,  burung,  serangga,  musang  air  dan ikan gabus.                                                                                                                              Hal. 4/ 6
3) Di pekarangan,   terutama   yang   ada di perkotaan, hama yang sering menyerang hanya katak dan kucing. Pemeliharaan belut secara intensif tidak banyak diserang hama.
7.2.  Penyakit
Penyakit   yang   umum   menyerang   adalah   penyakit   yang   disebabkan   oleh organisme  tingkat  rendah  seperti  virus,  bakteri,  jamur,  dan  protozoa  yang berukuran kecil.
8.  PANEN
Pemanenan belut berupa 2 jenis yaitu :
1) Berupa benih/bibit yang dijual untuk diternak/dibudidayakan.
2) Berupa  hasil  akhir  pemeliharaan  belut  yang  siap  dijual  untuk  konsumsi
(besarnya/panjangnya sesuai dengan permintaan pasar/konsumen).
Cara   Penangkapan   belut   sama   seperti   menangkap   ikan   lainnya   dengan peralatan antara lain: bubu/posong, jaring/jala bermata lembut, dengan pancing atau kail dan pengeringan air kolam sehingga belut tinggal diambil saja.
9.    PASCAPANEN
Pada  pemeliharaan  belut  secara  komersial  dan  dalam  jumlah  yang  besar, penanganan pasca panen perlu mendapat perhatian yang serius. Hal ini agar belut  dapat  diterima   oleh   konsumen   dalam   kualitas   yang   baik,   sehingga mempunyai jaringan pemasaran yang luas.
10.  ANALISIS EKONOMI BUDIDAYA
10.1. Analisis Usaha Budidaya
Perkiraan analisis budidaya belut selama 3 bulan di daerah Jawa  Barat pada tahun 1999 adalah sebagai berikut:
1) Biaya Produksi
a. Pembuatan kolam tanah 2 x 3 x 1, 4 HOK @ Rp.7.000,-     Rp.     28.000,-
b. Bibit 3.000 ekor x @ Rp. 750,-     Rp.     225.000,-
c. Makanan tambahan (daging kelinci 3 ekor) @ Rp.15.000,-Rp.       45.000,-
d. Lain-lain     Rp.     30.000,-
Jumlah Biaya Produksi     Rp.     328.000,-
2) Pendapatan: 3000 ekor = 300 kg x @ Rp. 2.500,-             Rp.    750.000,-                                                                                                                                      Hal. 5/ 6
3) Keuntungan     Rp.     422.000,-
4) Parameter Kelayakan Usaha
2,28
10.2. Gambaran Peluang Agribisnis
Budidaya  ikan  belut,  baik  dalam  bentuk  pembenihan  maupun  pembesaran mempunyai prospek yang cukup baik. Permintaan konsumen akan keberadaan ikan  belut  semakin  meningkat.  Dengan  teknik  pemeliharaan  yang  baik,  maka akan diperoleh hasil budidaya yang memuaskan dan diminati konsumen.
11.  DAFTAR PUSTAKA
1) Satwono,  B.  1999.  Budidaya  Belut  dan  Tidar.  Penerbit  Penebar  Swadaya
(Anggota IKAPI). Jakarta.
2) Ronni Hendrik S. 1999. Budidaya Belut. Penerbit Bhratara, Jakarta
12.  KONTAK HUBUNGAN
Proyek    Pengembangan   Ekonomi   Masyarakat    Pedesaan   –    BAPPENAS; Jl.Sunda Kelapa No. 7 Jakarta, Tel. 021 390 9829 , Fax. 021 390 9829
Jakarta, Maret 2000
Sumber    
Proyek Pengembangan Ekonomi Masyarakat Pedesaan, Bappenas Editor    
Kemal Prihatman
KEMBALIKE MENU                                                                                                                                        Hal. 6/6
Kantor Deputi Menegristek Bidang Pendayagunaan dan Pemasyarakatan Ilmu Pengetahuan dan Teknologi
Gedung II BPP Teknologi Lantai 6, Jl. M.H. Thamrin 8 Jakarta 10340
Tel. 021 316 9166~69, Fax. 021 316 1952, http://www.ristek.go.id
TTG BUDIDAYA PERIKANAN
BUDIDAYA IKAN BELUT ( Synbranchus )

Monday, March 23, 2015

MENGEMBANGKAN BISNIS IKAN MAS

March 23, 2015 Posted by Media Penyuluhan Perikanan Pati No comments
Ikan mas (Cyprinus carpio) didatangkan ke Indonesia dari Eropa dan Tiongkok. Menurut catatan sejarah, sejak tahun 1860 masyarakat Ciamis, Jawa Barat, sudah menguasai cara membenihkan ikan mas dengan bantuan kakaban. Suatu alat yang terbuat dari ijuk untuk meletakkan telur hasil pembuahan.
Budidaya ikan mas idealnya dilakukan pada ketinggian 150-1000 meter dpl. Suhu ideal untuk pertumbuhan ikan mas berada pada rentang 20-25oC dengan pH air berkisar 7-8.
Dewasa ini, usaha budidaya ikan mas terbagi dalam dua segmen, yakni usaha pembenihan dan pembesaran. Usaha pembenihan menghasilkan bibit ikan untuk dibesarkan lebih lanjut. Pangsa pasar usaha pembenihan adalah petani ikan yang menekuni usaha pembesaran. Sedangkan usaha pembesaran menghasilkan ikan ukuran konsumsi, pangsa pasarnya konsumen akhir.
Pembenihan ikan mas
Untuk memulai usaha budidaya ikan mas, hal pertama yanng harus disiapkan adalah memilih bibit atau calon indukan. Calon indukan ini diusahakan harus dari keturunan yang memiliki sifat unggul. Sehingga menghasilkan benih yang memiliki produktivitas tinggi.
Calon indukan ikan mas dipelihara dalam kolam pembibitan, dipisahkan antara indukan jantan dan betina. Pemisahan dilakukan sampai kedua indukan siap memijah. Proses pemijahan atau perkawinan ikan mas dilakukan di kolam khusus. Kolam tersebut harus dilengkapi dengan kakaban, tempat untuk menempelkan telur hasil pembuahan.
Untuk mengetahui lebih detail mengenai cara membenihkan ikan mas, silahkan baca ulasan kami sebelumnya tentang pembenihan ikan mas.
Pembesaran ikan mas
Benih yang digunakan dalam usaha budidaya ikan mas biasanya berukuran 10-12 cm atau berbobot sekitar 80-100 gram per ekor. Ukuran benih sebesar ini diharapkan sudah cukup kuat untuk dibesarkan. Sehingga risiko kegagalan bisa ditekan. Lama pembesaran ikan mas berkisar 2-3 bulan.
Budidaya ikan mas bisa dilakukan dalam berbagai teknik seperti metode air deras, air tenang atau tumpang sari. Medium atau tempatnya bisa berupa kolam tanah, kolam tembok, kolam terpal, sawah, keramba dan jaring apung.
a. Kolam tanah (air tenang)
Sebagian besar petani melakukan budidaya ikan mas di kolam air tenang dengan lantai tanah. Kolam tanah banyak dipakai karena cara membuatnya mudah dan biaya pembuatannya murah, silahkan lihat cara membuat kolam tanah.
Terdapat dua tipe kolam tanah, yakni kolam tanah dengan tanggul tanah dan kolam tanah dengan tanggul tembok atau batu. Kolam tanah mempunyai keunggulan bisa menyediakan pakan alami bagi ikan. Berbagai organisme selain ikan, seperti cacing atau tumbuhan air bisa tumbuh subur di dasar kolam. Tipe kolam ini membantu mengurangi biaya pakan.
Berikut ini langkah-langkah persiapan untuk budidaya ikan mas di kolam tanah:
Sebelum kolam digunakan, lakukan terlebih dahulu pembajakan dasar kolam, penjemuran, pegapuran, pemupukan dan penggenangan air. Persiapan ini membutuhkan waktu 1-2 minggu, tergantung cuaca saat penjemuran kolam. Detailnya silahkan baca persiapan kolam tanah untuk budidaya ikan.
Gunakan benih ikan mas berukuran 100 gram per ekor. Kapasitas kolam tanah untuk budidaya ikan mas sebesar 1-2 ekor/m2.
Berikan pakan utama berupa pelet dengan kadar protein 25%. Dosis pemberian pakan sebanyak 3-4% dari bobot ikan. Misalnya, untuk ikan dengan bobot 100 gram berikan pakan 3-4 gram pelet per ekor per hari. Bila kita menanam 1000 ekor ikan berarti dibutuhkan pakan 3-4 kg per hari.
Frekuensi pemberian pakan 3 kali sehari, diberikan pagi, siang dan sore hari.
Setiap 2 minggu lakukan penimbangan bobot tubuh ikan mas. Ambil beberapa ekor secara acak, timbang. Lalu sesuaikan jumlah pakan yang diberikan.
Dalam waktu 3 bulan, bobot ikan akan naik menjadi sekitar 300-400 gram per ekor. Dengan ukuran sebesar ini ikan sudah bisa dipanen. Bila terus dipelihara, biaya pakan menjadi tidak ekonomis lagi kecuali harga ada tawaran harga jual ikan yang lebih tinggi.
b. Kolam air deras
Kolam air deras adalah tempat budidaya ikan dengan sirkulasi air yang cepat. Untuk membuat kolam air deras diperlukan debit air besar dan arus yang kuat. Kelebihan budidaya ikan mas di kolam air deras adalah ikan akan terus bergerak sehingga nafsu makannya besar. Selain itu kadar oksigen terlarut dalam kolam air deras relatif lebih tinggi. Sehingga kolam air deras mempunyai kapasitas padat tebar ikan yang lebih besar dibanding kolam air tenang.
Luas kolam air deras biasanya berukuran kecil, tidak sebesar kolam air tenang. Lahan atau areal kolam dipetak-petakkan menjadi ukuran kolam yang kecil-kecil agar aliran air bisa tetap deras. Kedalaman kolam dibuat lebih dalam dibanding kolam air tenang. Dinding kolam terbuat dari tembok untuk mencegah erosi akibat kikisan air.
Berikut ini hal-hal yang harus diperhatikan dalam budidaya ikan mas di kolam air deras:
Kolam air deras membutuhkan debit air yang besar sekitar 25-100 liter/detik. Pastikan sumber air tetap lancar.
Gunakan benih ikan dengan bobot 100 gram/ekor. Kapasitas penebaran benih di kolam air deras adalah 30-60 ekor/m2. Semakin deras aliran air, kapasitasnya semakin besar.
Berikan pakan dengan kandungan protein 25-30%. Pelet yang diberikan harus bisa bertahan dalam air, tidak mudah hancur karena aliran air cukup kencang.
Dosis pemberian akan adalah 4% dari bobot tubuh ikan. Timbang sebagian ikan setiap dua minggu sekali untuk menyesuaikan jumlah pakan.
Pemberian pakan bisa dengan cara ditebar atau menggunakan wadah almunium yang diletakan di atas kolam dengan pendulum menjulur ke dalam air. Pakan akan jatuh bila ikan menggerak-gerakkan pendulum.
Frekuensi pemberian pakan 3 kali sehari, pagi, siang dan sore.
Budidaya ikan mas bisa dipanen setelah 2,5-3 bulan, dengan hasil 3-4 kali lipat dari bobot awal.
c. Jaring apung
Budidaya ikan mas di jaring apung biasanya dilakukan di waduk-waduk besar dan danau. Jaring terbuat dari bahan polyethylene yang tahan lama. Jaring dibuat menggantung pada kerangka rakit berbentuk segi empat. Kedalaman jaring apung maksimal 3 meter.
Bahan yang digunakan untuk kerangka kolam adalah biasanya bambu atau kayu. Kerangka tersebut mengapung di atas air dengan bantalan dari drum atau jeriken. Agar kerangka tidak terbawa arus air, harus dipasang jangkar yang menambat ke dasar kolam. Jaring apung biasanya dilengkapi dengan saung yang digunakan penunggu atau menyimpan peralatan dan pakan.
Berikut ini hal-hal yang harus diperhatikan dalam budidaya ikan mas di jaring apung:
Gunakan jaring berukuran 1,5 cm. Kedalaman jaring apung 3 meter.
Gunakan benih berukuran 100 gram per ekor. Kapasitas padat tebar jaring apung sekitar 30 ekor/m2.
Pakan berupa pelet dengan kadar protein 25%.
Jumlah pakan yang dibutuhkan setiap hari adalah 4% dari bobot tubuh ikan. Timbang sebagian ikan setiap dua minggu untuk menyesuaikan jumlah pakan.
Frekuensi pemberian pakan 3 kali sehari.
Ikan mas bisa dipanen setelah 3 bulan dengan ukuran 300-400 gram/ekor.
Pengendalian hama dan penyakit
Usaha budidaya ikan mas berkembang sangat pesat.  Seiring dengan itu, penyebaran penyakit pun menjadi resiko yang wajib diperhitungkan. Untuk meminimalkan resiko, setiap pembudidaya perlu mengetahui berbagai penyakit yang biasa menyerang ikan mas. Lebih detail, silakan baca hama dan penyakit ikan mas.
Panen budidaya ikan mas
Secara umum tingkat keekonomian pembesaran ikan mas berada pada kisaran 300-400 gram per ekor. Bobot ikan dibawah itu, masih punya potensi untuk dibesarkan. Sedangkan bila melebihi bobot tersebut, ikan mas sudah tidak ekonomis lagi untuk dibesarkan. Porsi pakan yang dikonsumsi ikan sudah tidak sebanding lagi dengan pertumbuhan dan harga jual ikan.
Semakin lama waktu pembesaran semakin besar biaya operasional yang harus dikeluarkan. Biaya pemeliharaan, khususnya untuk pakan akan semakin besar dengan meningkatnya bobot ikan per ekor.
Namun hal tersebut masih tergantung pada kondisi pasar. Bila ada pasar yang mau menerima ikan mas berukuran besar dengan harga per kilogramnya lebih mahal, pembesaran masih layak.
Waktu yang dibutuhkan untuk budidaya ikan mas dari ukuran 100 gram per ekor, sampai ukuran siap konsumsi 300-400 gram ekor sekitar 2-3 bulan. Dalam kurun waktu tersebut bobot ikan akan tumbuh 3-4 kali lipat.

Sunday, March 22, 2015

Industri Ikan Cakalang

March 22, 2015 Posted by Media Penyuluhan Perikanan Pati No comments


I. PENDAHULUAN
Industri perikanan berbasis pengolahan ikan cakalang asap merupakan salah satu industri tertua dan masih sangat tradisional dalam proses pengolahannya. Setiap proses pengolahan ikan cakalang asap akan menghasilkan hasil samping berupa kepala, insang, telur dan isi perut. Pires et al. (2012) menyatakan bahwa hasil samping berbasis protein dari industri pengolahan dapat dijadikan pangan dan pakan serta memiliki potensi suplemen bioaktif dan pangan fungsional.
Pemanfaatan hasil samping berbasis protein terus dikembangkan,salah satunya adalah konsentrat protein ikan (KPI). Menurut Ibrahim (2009), konsentrat protein ikan merupakan produk yang dihasilkan dengan cara menghilangkan lemak dan air, sehingga menghasilkan konsentrat protein yang tinggi. Kebanyakan produk ini diaplikasikan ke dalam makanan yang berkarbohidrat tinggi. Pembuatan konsentrat protein ikan merupakan inovasi pengembangan bentuk protein yang mudah untuk diaplikasikan kedalam produk pangan berprotein rendah. 
FAO (1976) mengklasifikasikan KPI menjadi tiga tipe, yaitu (1) Tipe A, merupakan tepung yang tidak berasa ikan, tidak berwarna serta tidak berbau, dengan kadar protein minimal 67,7% dan kandungan lemak maksimal 0,75%. KPI dapat dicampurkan pada hampir semua produk makanan dengan konsentrasi 510%, tanpa mengurangi daya terima konsumen terhadap produk tersebut; (2) KPI Tipe B, yaitu yang diperoleh dengan cara menghilangkan lemaknya melalui proses ekstraksi, sampai diperoleh produk dengan kandungan lemak kurang dari 3%. Flavor ikan masih tampak dalam sebagian besar makanan yang ditambahkan KPI; (3) KPI Tipe C, merupakan tepung ikan yang biasa diproduksi secara higienis, dengan kan-dungan lemak lebih besar dari 10%, serta bau dan flavor ikan yang tajam.
Telur ikan cakalang merupakan hasil samping industri pengolahan ikan asap yang berpotensi sebagai sumber bahan baku pembuatan KPI karena mengandung protein yang tinggi. Kapasitas produksi industri pengolahan ikan asap setiap harinya sekitar 60-80 ekor dan menghasilkan hasil samping sekitar 20-30% berupa jeroan, isi perut dan telur ikan. Menurut Intarasirisawat et al. (2011), telur ikan cakalang mengandung protein yang tinggi, yaitu 21,5%. Beberapa penelitian telah memanfaatkan telur ikan sebagai bahan pembuatan konsentrat protein telur ikan (KPTI) diantaranya: cathfish roe (Sathivel et al., 2009), telur ikan mrigal (Cirrhinus mrigala) (Chalamaiah et al., 2011), Telur ikan Channa striatus dan Labeo rohita (Galla et al., 2012), telur ikan tuna dan  kakap merah (Wiharja et al., 2013). Penelitian ini bertujuan untuk menentukan proses ekstraksi terbaik melalui metode deffating untuk pembuatan konsentrat protein telur ikan dengan memanfaatkan telur ikan cakalang sebagai bahan baku dan menentukan karakterisasi sifat fungsionalnya. 
II. METODE PENELITIAN
2.1. Bahan Baku
Bahan utama yang digunakan dalam penelitian ini adalah telur ikan cakalang yang diperoleh dari hasil samping industri pengolahan ikan cakalang asap di Desa Galala Kota Ambon, Provinsi Maluku. Pelarut yang digunakan dalam proses ekstraksi adalah isopropil alkohol (IPA) dan etanol.
 Telur ikan cakalang segar diuji proksimat (AOAC, 2005) awal untuk mengetahui komposisi kimianya. Telur ikan kemudian dicuci hingga bersih dengan air dingin ( suhu 10 oC), setelah itu diblender hingga lumat. Telur ikan lumat siap diekstrak menjadi konsentrat protein.
2.2.  Ekstraksi Konsentrat Protein Telur Ikan Cakalang (KPTI)
Proses ekstraksi KPTI berdasarkan metode Sikorski dan Nazck (1981) yang dimodifikasi. Telur ikan  lumat diekstrak dengan metode deffating menggunakan pelarut IPA dan etanol dengan perbandingan telur ikan lumat dan pelarut adalah 1:3 (b/v) untuk menghilangkan lemak dan air. Ekstraksi dilakukan dengan lama ekstraksi selama 1, 2 dan 3 jam, kemudian disaring menggunakan kertas saring. Endapan hasil penyaringan dikeringkan dengan menggunakan cabinet dry pada suhu 45±2oC selama 4 jam. Hasil pengeringan ditepungkan dengan menggunakan dishmill dan diayak dengan saringan ukuran 60 mesh.
2.3. Uji Organoleptik (Soekarto dan Hubies, 1982)
Pengujian organoleptik untuk sampel konsentrat protein telur ikan menggunakan uji skoring terhadap bau. Skor yang diberikan sebagai berikut: 1=bau ikan sangat kuat, 2=bau ikan kuat, 3=bau ikan lemah, 4=bau ikan sangat lemah dan 5=tidak berbau ikan. Sampel disajikan secara acak dengan memberikan kode angka pada sampel. Para panelis berasal dari mahasiswa Teknologi Hasil Perikanan, berjumlah 30 penelis. 
2.4.  Derajat Putih (Faridah et al., 2006)
Alat yang digunakan untuk mengukur derajat putih adalah whiteness meter. Contoh sebanyak 3 g ditempatkan dalam satu wadah.suhu sampel diseimbangkan dengan meletakkan wadah sampel diatas tester, kemudian wadah berisi sampel beserta cawan berisi standar (berupa serbuk BaSO4) dimasukkan ke dalam tempat pengukuran dan alat akan menampilkan nilai derajat putih dan nomor urutan pengukuran. 
2.5.  Proksimat (AOAC, 2005)
Pengujian komposisi kimia bahan baku telur ikan cakalang dan KPTI menggunakan metode AOAC (2005) yang terdiri dari kadar protein, kadar lemak, kadar air, kadar abu dan karbohidrat (by difference).
2.6.  Densitas kamba (Wirakartakusumah et al., 1992) 
Sebanyak 10 g sampel diukur volumenya dengan gelas ukur 50 ml.
Densitas kamba dinyatakan dalam g/ml.
 Densitas kamba (g/ml) = berat bahan (g) / volume bahan (ml)
 2.7. Kapasitas Emulsi (Yatsumatsu et al., 1972)
Kapasitas emulsi diukur dengan cara 5 g konsentrat protein telur ikan ditambah-kan 20 ml air dan 20 ml minyak jagung, kemudian dihomogenisasi selama 1 menit dan disentrifus pada 7500 rpm selama 5 menit. Kapasitas  emulsi dihitung dengan menggunakan rumus:
 Kapasitas Emulsi = (volume emulsi
setelah disentrifus/volume awal) x 100
2.8.  Daya Buih (Huda et al., 2012)
Tepung KPTI 1 g ditambahkan ke dalam 10 ml air dan dihomogenisasi selama satu menit. Campuran larutan KPTI dipindahkan ke dalam 25 ml beaker glass. Kapasitas busa dilihat dari busa yang terbentuk dibandingkan dengan kapasitas volume awal. Stabilitas busa merupakan rasio dari kapasitas busa selama waktu observasi dibandingkan dengan kapasitas busa awal.
2.9.  Daya Serap Air (Beuchat, 1977)
Derajat putih (%) = (derajat putih/110 x                dengan  spatula dan didiamkan pada suhu
                                100) kamar selama 30 menit. Setelah itu            disentrifus pada 3.000 rpm selama 30
Jurnal Ilmu dan Teknologi Kelautan Tropis, Vol. 5, No. 2,                
Sampel sebanyak 1g dimasukkan ke dalam tabung sentrifus lalu ditambah dengan 10 ml akuades, kemudian diaduk menit. Volume air bebas atau yang tidak terserap oleh sampel diukur dengan gelas ukur. Perhitungannya sebagai berikut:
 Daya serat air (ml/g) = (berat awal+air terserap) – (berat akhir+air tak terserap)
2.10.   Daya Serap Lemak (Beuchat,1977)
Sampel sebanyak 1 g dimasukkan kedalam tabung sentrifus lalu ditambahkan dengan 10 ml minyak nabati, kemudian diaduk dengan spatula dan didiamkan pada suhu kamar selama 30 menit. Setelah itu disentrifus pada 3.000 rpm selama 30 menit.  Volume minyak yang bebas atau tidak terserap oleh sampel, diukur dengan gelas ukur.
Perhitungannya sebagai berikut:
Daya serap minyak (g/g) = (volume awal – volume akhir) / berat sampel
 2.11.  Komposisi Asam Amino (AOAC, 1995)
Sampel            sebanyak         0,5       g dimasukkan ke dalam gelas piala 25 ml kemudian ditambahkan HCl 6 N sebanyak 10 ml. Gelas piala dipanaskan selama 24 jam pada suhu 100oC. Sampel disaring dan diambil filtratnya. Filtrat ditambahkan
5 ml larutan pengering (metanol, picolotiocianat, tri-etilamin) kemudian dikeringkan. Larutan derivatisasi (metanol, Na-asetat, dan trietilamin) ditambahkan dan sampel didiamkan selama 20 menit. Larutan asetat 1 M sebanyak 200 ml ditambahkan dan sampel siap diinjeksikan ke HPLC. 
Kondisi alat HPLC sebagai berikut : temperatur pada suhu ruang, kolom yang digunakan adalah pico tag 3,9 x 150 mm, kecepatan aliran 1,5 ml/menit, batas tekanan 3000 psi, program gradien, fase gerak asetonitril 60% dan buffer natrium asetat 1 M, dan detektor sinar UV dengan panjang gelombang 254 nm.
 Asam amino(%) = (luas area sample/luas area standar) x (konsentrasi standar/bobot
sample) x BM x FK X 100
 Asam Amino (mg/g protein) = (1000 x kadar asam amino (%)) / kadar protein(%)
 Dimana: FK = faktor koreksi, BM = berat molekul.

2.12. Analisis Data
Rancangan percobaan yang digunakan adalah rancangan acak lengkap faktorial (RAL) menurut Steel and Torrie (1993) dengan 2 taraf dan 2 ulangan. Jika terdapat pengaruh (p<0 13.="" 14="" dan="" data="" dengan="" dianalisis="" dilakukan="" duncan.="" lanjut="" maka="" menggunakan="" minitab="" semua="" span="" spss="" style="mso-spacerun: yes;" uji=""> 
III. HASIL DAN PEMBAHASAN

3.1.  Komposisi Proksimat Telur Ikan            Cakalang
Bahan baku yang digunakan untuk membuat konsentrat protein adalah hasil samping telur ikan cakalang (Katsuwonus pelamis) disajikan pada Tabel 1. 
Tabel 1. Komposisi proksimat telur ikan           Cakalang
Komposisi       Persentase (%bb)
Protein             19,81 ± 0,54
Lemak             3,41 ± 0,22
Air       71,32 + 0,16
Abu     2,04 + 0,70
KH (by difference)     1,53 + 0,53

Komposisi proksimat telur ikan cakalang menunjukkan bahwa telur cakalang tergolong memiliki kandungan protein yang tinggi yaitu 19,81%. Hasil penelitian ini tidak jauh berbeda dengan hasil penelitian Intarasirisawat et al. (2011) yang juga menkaji komposisi gizi telur ikan cakalang meliputi kandungan protein 20,15%, lemak 3,39%, abu 1,94%, air 72,17% dan KH 2,35%. Ditambahkan pula bahwa telur ikan cakalang memiliki kandungan protein yang lebih tinggi dan lemak yang rendah dibandingkan dengan jenis tuna lain seperti tongol (Thunnus tonggol) dan bonito (Euthynnus affinis). 
Variasi komposisi kimia telur ikan dipengaruhi oleh faktor biologi mencakup jenis spesies, kematangan gonad, makanan, musim, lokasi memijah dan kondisi pengolahan (Mohmoud et al., 2008). Sahena et al., (2009) mengatakan bahwa kuantiti dan komposisi lemak ikan berbeda pada spesies dan habitat. Menurut Venugoval (2008) bahwa ikan yang tergolong berlemak rendah mempunyai kadar lemak kurang dari 3%, berlemak sedang memiliki kadar lemak 3-5% dan berlemak tinggi mempunyai kadar lemak lebih dari 7%.

3.2.  Penentuan Konsentrat Protein            Telur Ikan Cakalang Terbaik
Penentuan mutu KPI dilakukan berdasarkan syarat FAO (1976) yang meliputi kadar protein, kadar lemak, nilai bau dan derajat putih. Hasil penelitian menunjukkan bahwa jenis pelarut dan lama ekstraksi berpengaruh secara nyata (p<0 kadar="" kandungan="" protein="" span="" style="mso-spacerun: yes;" terhadap="">  lemak dan derajat putih yang dihasilkan sedangkan untuk nilai bau tidak berpengaruh secara nyata (p>0,05). 
Syarat mutu KPI ialah memiliki kadar protein minimal 67,5%, lemak maksimal  0,75%, tidak berbau amis dan memiliki warna yang baik. Kadar protein tertinggi yang diperoleh pada perlakuan IPA dengan lama ekstraksi 2 jam yaitu 72,47% dan tidak berbeda nyata dengan perlakuan IPA dengan lama ekstraksi 3 jam. Hasil yang diperoleh lebih rendah dibandingkan hasil penelitian Galla et al. (2012) dan Chamalaiah et al. (2011) dengan nilai protein 75-90%. Balaswamy et al. (2007) menyatakan bahwa persentase protein dari beberapa konsentrat protein telur ikan menunjukkan kandungan protein yang tinggi. Selain itu, kandungan kadar protein yang berbedabeda pada beberapa konsentrat protein dipengaruhi oleh beberapa faktor diantaranya jenis ikan, cara ekstraksi, jenis pelarut, lama ekstraksi dan cara pengeringan (Gambar 1). 
Kadar lemak terendah diperoleh pada perlakuan IPA lama ekstraksi 3 jam yaitu 2,78% lebih rendah dibanding Chamalaiah et al. (2011) dengan kadar lemak 8,8% pada konsentrat protein telur ikan mgiral. Hal ini dikarenakan proses ekstraksi berulang yang mampu mendegradasi lemak, semakin lama ekstraksi akan menghasilkan kadar lemak yang rendah. Menurut Tirtajaya et al. (2008), kemampuan masing-masing pelarut untuk mengagregasi protein serta mengekstraksi lemak dan air berbeda sehingga akan mempengaruhi kadar protein dan lemak konsentrat protein yang dihasilkan. Pelarut alkohol merupakan pelarut organik bersifat polar yang memiliki kemampuan untuk memisahkan fraksi gula larut air dan lemak tanpa melarutkan proteinnya (Amoo et al., 2006) (Gambar 2). 
 Derajat putih adalah analisis yang menentukan keputihan suatu bahan yang sangat erat dengan daya terima konsumen. Nilai derajat putih tertinggi diperoleh pada perlakuan IPA lama ekstraksi 3 jam.  Peningkatan warna putih disebabkan oleh berkurangnya kadar lemak setelah di-ekstrak. Semakin lama ekstraksi dapat memberikan warna yang lebih baik. Nilai derajat putih yang dihasilkan lebih rendah dibandingkan dengan hasil penelitian Wiharja et al. (2013) untuk telur ikan tuna dan kakap merah yang menghasilkan nilai derajat putih 64,34% dan 65,42%. Windsor (2001) menerangkan bahwa kandungan lemak pada ikan dan by-product perikanan cenderung berwarna kuning, sehingga dilakukan ekstraksi untuk menghasilkan konsentrat protein dengan kecerahan yang baik. Ditambahkan pula bahwa terlarutnya

Jurnal Ilmu dan Teknologi Kelautan Tropis, Vol. 5, No. 2,             
menunjukkan berbeda nyata (p<0 span="">
menunjukkan berbeda nyata (p<0 span="">

pigmen carotenoid  pada lemak yang terdapat dalam telur ikan terekstrak selama proses ekstraksi. Hasil analisis derajat putih  KPTI  cakalang disajikan pada Gambar 3.
Nilai bau ditentukan secara organoleptik dengan menggunakan uji skoring. Skala yang digunakan adalah 1-5, semakin kecil nilai maka semakin berbau ikan dan sebaliknya semakin besar nilai maka semakin tidak berbau ikan. Nilai tertinggi bau diperoleh ada perlakuan IPA lama ekstraksi 3 jam. Tujuan lain proses ekstraksi adalah menghilangkan bau amis. Menurut Rawdkuen et al. (2009) bahwa proses ekstraksi tidak hanya mampu menghilangkan lemak akan tetapi juga menghilangkan material-material lain seperti darah, pigmen dan bahan penyusun bau. Hasil analisis skoring bau  KPTI cakalang dapat dilihat pada Gambar 4.
Berdasarkan hasil uji parameter KPI maka perlakuan IPA dengan lama ekstraksi 3 jam merupakan perlakuan terpilih yang menghasilkan KPTI dengan mutu yang baik yang nantinya akan dikarakterisasi sifat fungsionalnya. KPTI yang dihasilkan merupakan KPI tipe B karena masih memiliki kadar lemak dibawah 3%. 



Gambar 3. Hasil analisis kadar derajat putih KPTI Cakalang (     : Etanol,      : isopropil alkohol). Angka-angka yang dikuti huruf superskrip berbeda (a,b) menunjukkan berbeda nyata (p<0 span="">

nyata (p>0,05)

                  urnal Ilmu dan Teknologi Kelautan Tropis, Vol. 5, No. 2,                       

Karakterisasi
3.3.  Karakterisasi Konsentrat  
        Protein Telur Ikan cakalang
Setelah diperoleh perlakuan terbaik dalam ekstraksi KPTI cakalang, maka pada tahap selanjutnya dilakukan karakterisasi sifat fungsionalnya (Tabel 2).
Daya serap air didefinisikan sebagai kemampuan pangan untuk menahan air yang ditambahkan dan yang ada dalam bahan pangan itu sendiri selama proses yang dilakukan terhadap pangan. Hasil penelitian menunjukkan daya serap air KPTI cakalang adalah 1,53 g/ml (setiap 1,53 g KPTI cakalang mampu menyerap 1 ml air). Wiharja et al. (2013) melaporkan daya serap air pada konsentrat protein telur ikan tuna dan kakap merah adalah 5,38 g/ml dan 6,25 g/ml. Hal ini memperlihatkan bahwa KPTI cakalang memiliki daya serap air yang sangat lebih baik dibandingkan dengan KPTI tuna dan kakap merah. Pengikatan air oleh KPTI disebabkan karena adanya asam amino yang bersifat polar yang mampu mengikat molekul air.

Tabel 2.  Karakterisasi sifat fungsional 
               KPTI Cakalang

Sifat fungsional           Nilai
Daya serap air (ml/g)   1,57±0,01
Daya serap minyak (g/g)         1,82±0,01
Kapasitas emulsi (%)   81,65±0,24
Densitas kamba (g/ml)            0,51±0,00
Kapasitas buih (ml)     1,90±0,21
Stabilitas buih (10 menit)        0,22±1,06 

Daya serap minyak adalah sifat yang dapat menunjukkan adanya interaksi suatu bahan terhadap minyak (Santoso et al., 2009). Hasil penelitian menunjukkan bahwa daya serap minyak KPTI cakalang adalah 1,82 (g/g), ini berarti setiap 1,82 g KPTI mampu menyerap 1 g minyak. Hal ini lebih kecil dibandingkan dengan hasil penelitian Pires et al. (2012) yang menghasilkan daya serap minyak 4,67 g/g pada tepung hidrolisis protein ikan Hake dan tidak jauh berbeda dengan hasil penelitian Wiharja et al. (2013) yang menghasilkan KPTI tuna dan kakap merah dengan daya serap minyak 1,77 g/g dan
1,89 g/g. 
Kapasitas emulsi yang baik bila bahan dapat menyerap air dan minyak secara seimbang. Chalamaiah et al. (2011) menyatakan bahwa kapasitas emulsi protein bergantung pada keseimbangan ikatan hidrofilik dan lipofilik. Kapasitas emulsi konsentrat protein telur yang rendah disebabkan karena pada titik isoelektrik terjadi dispersi pada air. Hasil penelitian menunjukkan bahwa kapasitas emulsi KPTI cakalang adalah 81,65%.
Densitas kamba merupakan perbandingan antara berat bahan dengan volume ruang yang ditempati dan dinyatakan dalam satuan g/ml. Suatu bahan dinyatakan kamba (bulky) bila nilai densitas kambanya kecil (Rieuwpassa 2005). Hasil penelitian menunjukkan bahwa nilai densitas kamba KPTI cakalang adalah 0,51 g/ml lebih kecil bila dibandingkan dengan hasil penelitian Chamalaiah et al. (2011) yaitu 0,77 g/ml untuk KPTI mragal (Cirrhinus mrigala).
Kekuatan protein dalam memerangkap gas merupakan faktor utama yang menentukan karakteristik dari buih protein. Chamalaiah et al. (2011) menyatakan bahwa kapasitas buih bergantung pada fleksibilias molekul dan sifat fisiko kimia protein. Hasil penelitian menunjukkan bahwa kapasitas buih KPTI cakalang adalah 1,90 ml dan stabilitas buihnya pada menit ke 10 adalah 0,22. 
3.4.  Komposisi Asam Amino KPTI 
        Cakalang
http://itk.fpik.ipb.ac.id/ej_itkt52
Protein merupakan molekul yang terbentuk dari asam-asam amino pada bahan pangan. Menurut Vaclavik dan Christian (2008) protein terdiri atas asam amino yang tergabung melalui ikatan peptida. Asam-asam amino pembentuk protein terdiri dari asam amino esensial, asam amino non esensial dan asam amino semi esensial. Jumlah asam amino yang terdapat dalam KPTI cakalang adalah 849,70 g/g protein. Komposisi asam amino KPTI cakalang terpilih dapat dilihat pada Tabel 3.

Tabel 3.  Komposisi asam amino KPTI 
               Cakalang.

            Asam amino
                         
                               mg/g         Protein 
                        Treonin            44,30 
                        Metionin          22,29 
                        Valin   48,47 
Asam amino    Phenilalanin     38,31 
esensial            Isoleusin          36,63 
                        Tirosin             37,05 
             
                       
                       Lisin   70,76 
-------------------------------
   Total             362,72 
             
                        Asam aspartat 77,59  Asam glutamat 118,54 
Asam amino    Serin    51,26 
Non esensial 
             
                       
                        Glisin  41,79 
Alanin             54,88 
--------------------------------
  Total              344,06 
Asam amino  Histidin             30,06 
Semi esensial Arginin 112,27 
                        --------------------------------
                          Total              142,92 
    Total asam amino                849,70 

Komposisi asam amino menentukan kualitas protein terutama asam amino esensial. Lisin merupakan asam amino esensial dengan jumlah tertinggi yaitu 70,76 mg/g protein dibandingkan dengan asam amino lain. Hussain et al. (2007) menyatakan bahwa ikan mengandung asam amino lisin dalam jumlah yang tinggi tetapi memiliki asam amino metionin yang rendah jika dibandingkan dengan beras dan bahan pangan sereal lainnya. Lisin merupakan salah satu asam amino yang memiliki kelebihan diantaranya perbaikan otot, penyerapan kalsium, sebagai antibodi, enzim dan hormon. Asam glutamat merupakan asam amino esensial dengan jumlah tertinggi yaitu 118,54 mg/g protein. Penelitian Galla et al. (2012) juga menemukan asam glutamat dalam jumlah tinggi pada KPTI Channa striatus dan Lates carcarifer masing-masing 113,4 mg/g protein dan 153,8 mg/g protein. Selain asam amino esensial dan non-esensial, asam amino lain yang terdapat pada KPTI cakalang adalah asam amino semi-esensial yang terdiri dari arginin (112,27 mg/g protein) dan histidin (30,64 mg/g protein).

IV. KESIMPULAN

Penggunaan isopropil alkohol sebagai pelarut dengan lama ekstraksi 3 jam pada proses deffating menghasilkan KPTI cakalang dengan kadar protein 71,79%, lemak 2,78%, nilai bau yang mendekati netral dan derajat putih yang baik. KPTI yang dihasilkan tergolong KPI tipe B. Secara fungsional KPTI yang dihasilkan memiliki kemampuan daya serap minyak, daya serap air, kapasitas emulsi dan densitas kamba yang baik untuk dijadikan bahan tambahan, substitusi dan bahan pengikat untuk aplikasi produk berbasis protein tinggi. KPTI memiliki 8 asam amino esensial, 5 asam amino non esensial dan 2 asam amino semi esensial yang sangat dibutuhkan oleh tubuh manusia.
DAFTAR PUSTAKA
[AOAC] Association of Official Analitical Chemist. 2005. Official methods of analysis of the association of official analytical chemist 18th edition.          Gaithersburg, AOAC
International, USA.
    Jurnal Ilmu dan Teknologi Kelautan Tropis, Vol. 5, No. 2,             
Karakterisasi
[AOAC] Association of Official Analytical   Chemists.        1995.   Official methods         of         analysis             the       the association of official analytical chemist 16th edition. VirginiaArlington, USA.
Amoo, I. A., O.O. Adebayo, and A.O. Oyeleye. 2006. Chemical evaluation of winged beans (Psophocarous tetragonolabus), Pitanga cherries (Eugenia uniflora) and Orchid fruit (Orchid fruit myristica) African. J. Food Agricultural Nutrition Development, 2:1-12.
Balaswamy, K., T. Jyothirmayi, and D. G. Galla. 2007. Chemical composition and some functional properties of fish egg (roes) protein concentrate of rohu (Labeo rohita). J. Food Sciences Technology, 44:293–296.
Beuchat, L.R. 1977. Functional and electrophoretic characteristics of succinylated peanut flour protein. J. Agricultural Food Chemistry, 25(6):258-261.
Chalamaiah, M., K. Balaswamy, G. N. Galla,P. G. Prabhakara Galla, and T. Jyothirmayi. 2011. Chemical composition and functional properties of Mrigal (Cirrhinus mrigala) egg protein concentrates and their application in pasta. J. Food
Sciences          Technology.    DOI
10.1007/s13197-011-0357-5.
Faridah, D.N., H.D. Kusumaningrum, N. Wulandari,            D.        Indrasti.           2006. Modul praktikum analisis pangan. Departemen Ilmu dan Teknologi Pangan.    Fakultas           Teknologi Pertanian. Institut Pertanian Bogor.
Bogor. 47hlm.
Galla, N.R., K. Balaswamy, A. Satyanarayana, and P.P. Galla. 2012. Physico-chemical,    amino acid composition,    functional        and antioxi-dant          properties        of         roe
protein concentrates obtained from channa striatus and lates calcarifer. Food Chemistry, 132:1171–1176.
Hussain, N., N. Akhtar, and S. Hussain. 2007. Evaluation of weaning food khitchri incorporated with different levels of fish protein concentrate. Animal Plant Sciences, 17(1-2):1217.
Huda, N., P. Santana, R. Abdullah, and T.A.            Yang. 2012.   Effect of
different dryoprotectant on funtional properties of thredfin bream surimi powder. J. Fisheries
Aquatic Sciences, 7(3):215-223.
Ibrahim,           M.S.    2009.   Evaluation       of production and quality of saltbiscuits supplemented with fish protein concentrate. World J. Dairy Food Sciences,4(1):28-31.
Intarasirisawat, R., S. Benjakul, and W. Visessanguan.         2011.   Chemical compositions of the roes from Skipjack, Tongol, and Bonito. Food Chemistry, 124:1328–1334.
Mahmoud,  K.A., M. Linder, J. Fanni, and M. Parmentier. 2008. Characterisation of the liid fractions obtained by proteolytic and chemical extractions from rainbow trout (Oncorchynchus mykiss). Procces Biochemistry, 43(4):276-383.
Pires,C., S. Costa, A.P. Batista, M.C. Nunes, A. Raymundo, and I.
Batista. 2012. Properties of protein powder prepared from Cape hake by-products. J. Food Enginering, 108:268–275.
Rawdkuen, S., S.U. Samart, S. Khamsorn, M. Chaijan, and S. Benjakul. 2009. Biochemical and gelling properties of Tilapia Surimi and protein recovered using an acid-alkaline process. Food Chemistry, 112:
112–119.
http://itk.fpik.ipb.ac.id/ej_itkt52
Rieuwpassa, F. 2005. Biskuit konsentrat protein ikan dan probiotik sebagai makanan tambahan untuk meningkatkan antibodi IgA dan status gizi balita. Disertasi. Sekolah Pascasarjana IPB. Bogor. 73hlm.
Sathivel, S., H. Yin, P.J. Bechtel, and J.M. King. 2009. Physical and nutritional properties of Catfish roe spray dried    protein             powder and its application in an emulsion system. J. Food Enginering, 95:76–81.
Soekarto, T. dan M.S. Hubies. 1982. Metodologi penelitian organoleptik.   Institut            Pertanian             Bogor. Bogor. 56hlm.
Santoso, J., E. Hendra, dan T.M. Siregar. 2009. Pengaruh substitusi susu skim dengan konsentrat protein ikan nila hitam (Oreochromis niloticus) terhadap karekteristik fisiko-kimia makanan bayi. J. Ilmu Teknologi Pangan, 7(1):87-107.
Sikorski, Z.E. and M. Naczk. 1981. Modification     of         technological properties of fish protein concentrates. Food Sciences Nutrition, 14:201–230.
Sahena. F., I.S.M. Zaidul, S. Jinap, N. Saari, H. Jahurul, and K.A. Abbas. 2009. PUFAs in fish: extraction, fractionation, importance in health. Comprehensive Reviews in Food
Sciencesand Food Safety, 8(2):59– 74. 
Tirtajaya, I., J. Santoso, dan K. Dewi. 2008. Pemanfaatan   konsentrat protein       ikan     patin    (Pangasius pangasius)       pada    pembuatan cookies coklat. J. Ilmu Teknologi Pangan, 6 (2):87-103.
Venugoval, V. 2008. Seafood processing; adding     value    through            quick freezing retortable packaging and cook chilling. New York.
Vaclavik, V.A., and E. W. Christian. 2008. Essential of food science (3rd ed.). New york. 
Wiharja, S. Y., J. Santoso, and L.A. Yakhin. 2013. Utilization of tuna and Red Snapper roe protein concentrate as emulsifier in mayonnaise. 13th ASEAN food conference, 9-13 September. Meeting future food demand: securrity and suctanaibillity. Singapore. 1-10pp.
Windsor,         M.L.    2001.   Fish     protein concentrate.    FAO    online. http://www. FAO.org. [2 Febuari 2013].
Wirakartakusumah, M. A., K. Abdullah, and A.M. Syarif. 1992. Sifat fisik pangan. Institut Pertanian Bogor. Bogor. 34hlm.
Yasumatsu, K., K. Sawada, S. Moritaka,
M. Misaki, J. Toda, T. Wada, and K. Ishi. 1972. Whipping and emulsifying properties of soybean products. J. Agriculture Bio Chemistry, 36:719-727.