Friday, February 27, 2015

PEMANFAATAN HORMON STEROID LIMBAH TESTIS SAPI UNTUK MASKULINISASI LOBSTER AIR TAWAR (Cherax Quadricarinatus)

February 27, 2015 Posted by Media Penyuluhan Perikanan Pati No comments
A. Latar Belakang
Lobster air tawar (Cherax quadricarinatus) memiliki beberapa kelebihan budidayanya, antara lain: relatif mudah dibudidayakan, dapat dijadikan udang hias, harga ukuran konsumsinya cukup tinggi, mengandung protein tinggi dan dagingnya lezat serta banyak disukai oleh konsumen (Wiyanto dan Hartono, 2003).
Salah satu cara yang dapat digunakan untuk menambah nilai ekonomis lobster air tawar adalah dengan mempercepat pertumbuhannya melalui pembalikan sex menjadi monosex jantan.  Pada lobster air tawar diketahui pertumbuhan jantan lebih cepat dibandingkan dengan yang betina.  Menurut Sukmajaya dan Suharjo (2003) bahwa lobster air tawar jantan berumur 7 – 8 bulan dapat mencapai berat rata – rata 30 gr/ekor, sedangkan betina hanya kurang lebih 20 gr/ekor.
Pertumbuhan lobster air tawar jantan lebih cepat dibandingkan lobster betina. Sehingga dengan memproduksi yang jantan saja, dapat meningkatkan hasil produksi.  Selain itu, permasalahan kedua adalah hormon dalam pembentukan maskulinisasi yang langka dan harga yang relatif tinggi sehingga dapat menghambat proses maskulinisasi. Oleh karena itu, penelitian ini menggunakan metiltestosteron alami dari limbah testis sapi buatan BATAN, selain murah, tingkat keberhasilan dalam pembentukan jantan juga tinggi yaitu melampaui angka 90% dibandingkan dengan metiltestosteron sintetik hanya sekitar 61,13%.  Dengan demikian, terjadi efisiensi biaya produksi dan keuntungan akan meningkat.
B. Tujuan dan Kegunaan
Tujuan penelitian ini adalah untuk menganalisis pengaruh hormon steroid limbah testis sapi dengan lama perendaman yang berbeda terhadap keberhasilan produksi maskulinisasi lobster air tawar jantan (Cherax quadricarinatus).
Kegunaan penelitian ini adalah tersedianya informasi dan benih lobster air tawar jantan melalui pemanfaatan hormone steroid limbah testis sapi.
C. Kerangka Pemikiran
Untuk menambah nilai ekonomis lobster air tawar dapat dilakukan dengan cara mempercepat pertumbuhannya melalui pembalikan sex menjadi monosex jantan.  Pada keturunan lobster air tawar secara normal, tidak selalu menghasilkan produksi yang 100% jantan semua.  Berdasarkan hukum Mendel I, menunjukkan bahwa hasil dari perkawinan antara jantan dan betina akan menghasilkan 50% jantan dan 50% betina.
Dalam proses perkembangan gonad dipengaruhi oleh differensiasi seks. Proses differensiasi seks sangat dipengaruhi oleh lingkungan dan hormon yang disintesis oleh individu tersebut.  Oleh sebab itu, agar lobster air tawar menjadi jantan semua, maka perlu ditambahkan hormon androgen yang dapat menghasilkan sel jantan.  Salah satu sumber hormon androgen yang kaya akan testosteron adalah pada limbah testis sapi.  Sehingga dengan penambahan tersebut, dimaksudkan agar lobster air tawar bisa menjadi 100% jantan semua.
D. METODELOGI
1. Waktu dan Tempat
Kegiatan penelitian “Pemanfaatan Hormon Steroid Limbah Testis Sapi Pada Produksi Maskulinisasi Lobster Air Tawar Jantan (Cherax Quadricarinatus)” dilaksanakan selama 3 bulan di Laboratorium Basah Perikanan, VEDCA Cianjur.
2. Alat dan Bahan
Alat yang digunakan terdiri dari: Akuarium ukuran 60x30x30 cm,Timbangan analitik, Toples kaca, Shelter, Blower, DO meter, pH meter. Sedangkan bahan terdiri dari: Benih lobster umur 10 hari, Hormon MT alami, Alkohol, Asetokarmin  dan Pakan pellet.
3. Prosedur
Adapun prosedur kerja dalam penelitian ini, yaitu:
Persiapan, meliputi persiapan akuarium untuk wadah perendaman (perlakuan) sebanyak 15 buah dengan volume air 5 liter, benih lobster air tawar umur 10 hari
Perlakuan dengan menggunakan hormon steroid limbah testis sapi dosis 2 ppm, dengan lama perendaman masing-masing perlakuan, sebagi berikut :
Perlakuan I selama 0 jam
Perlakuan II selama 12 jam
Perlakuan III selama 24 jam
Perlakuan IV selama 36 jam
Perlakuan V selama 48 jam
Pemeliharaan selama 45 hari
Pengamatan masing-masing perlakuan dengan parameter pengamatan tingkat keberhasilan maskulinisasi (pencatatan terhadap jumlah benih jantan dan betina), laju petumbuhan harian, sintasan dan analisa kualitas air. Rancangan percobaan menggunakan RAL dengan 5 perlakuan 3 kali ulangan.
4. Pengamatan
Adapun parameter yang diamati pada kegiatan penelitian tersebut dibagi menjadi dua yaitu :
1. Utama
Proses differensiasi pada jantan ditandai dengan munculnya spermatogonia serta pembentukan sistem vaskular pada testes sedangkan pada betina ditandai dengan meiosis oogonia atau perbanyakan sel-sel somatik membentuk rongga ovari.  Dalam perkembangan dan pertumbuhannya yaitu bahwa lobster air tawar jantan lebih cepat pertumbuhannya dibandingkan yang betina yaitu memiliki ukuran berat yang lebih besar dibandingkan betina
2. Pendukung
Hormon merupakan suatu zat kimia organik yang dihasilkan pada saat tertentu oleh sel-sel endokim dalam jumlah sedikit dan disalurkan melalui sistem vaskularis.  Hormon steroid limbah testis sapi kaya akan testosteron.  Tingginya konsentrasi menunjukkan jumlah hormon androgen penghasil sel jantan lebih banyak.  Pemberian hormon terdiri dari beberapa cara yaitu pemberian hormon melalui pakan buatan dan pakan alami, pemberian hormon dengan cara penyuntikan, dan pemberian hormon dengan cara perendaman pada stadia larva yaitu saat mulai kehilangan kuning telur, cara ini diyakini sangat efektif karena selain mudah menyiapkan hormon, sederhana dan tidak memerlukan waktu yang lama diduga juga bahwa pada stadia larva masih berada pada fase labil sehingga mudah dipengaruhi oleh rangsangan dari luar serta pada fase larva gonad belum terdifferensiasi seks, apakah jantan atau betina .
Benih Lobster
Dari table diatas diketahui bahwa :
1. Biaya Asset tetap   : Rp. 605.000,-
2. Biaya Produksi      : Rp. 749.400,-
Jumlah  : Rp. 1.354.400,-
F.  JADUAL KEGIATAN
No     Kegiatan     Bulan 1     Bulan 2     Bulan 3
1     2     3     4     1     2     3     4     1     2     3     4
1     Pembuatan proposal     Ö     Ö                                        
2     Persiapan alat bahan             Ö                                    
3     Perlakuan percobaan             Ö                                    
4     Pemeliharaan             Ö     Ö     Ö     Ö     Ö     Ö                
5     Pengamatan                                     Ö            
6     Evaluasi                                     Ö            
7     Pembuatan laporan                                         Ö     Ö     Ö
DAFTAR PUSTAKA
Oleh : NENI PUTRIANI
Febriandi, 2007. Pengaruh Pemberian Hormon Metiltestosteron dengan Dosis yang Berbeda terhadap Laju Pertumbuhan dan Kelulushidupan Benih Lobster Air Tawar (Cherax quadricarinatus). Skripsi. Fakultas Peternakan dan Perikanan. Universitas Muhammadiyah Malang
Hakim, R.H., 2008. Optimalisasi Pemberian Dosis Hormon Metiltestoteron Terhadap Keberhasilan Pembentukan Monosex Jantan Lobster Air Tawar (Cherax  quadricarinatus). Jurnal Protein Fakultas Peternakan dan Perikanan Universitas Muhammadiyah Malang. Vol. 15 No.1.
Mukti, A.T., Priambodo, B., Rustidja, dan Widodo, M.S., 2002. Optimalisasi Dosis Hormon Sintetis 17 α-Metiltestosteron dan Lama Perendaman Larva Ikan Nila (Oreochromis spp.) Terhadap Keberhasilan Perubahan Jenis Kelamin. http://digilib.brawijaya.ac.id/virtuallibrary/mlgserial/Pdf%Material/Biosain%20Edisi%20. diakses pada tanggal 15 April 2005
Setiawan, 2006. Teknik Pembenihan dan Cara Cepat Pembesaran Lobster Air Tawar. PT. AgroMedia Pustaka. Jakarta.
Satyantini, W.H., dan Mukti, A.T., 2006. Maskulinisasi Larva Lobster Air Tawar (Cherax quadricarinatus) dengan Penggunaan Hormon 17α– Metiltestosteron. Kumpulan Abstraksi Penelitian pada Seminal Nasional
Studivianto, G., 2007. Pengaruh perendaman benih lobster air tawar capit merah (Cherax quadricarinatus) pada umur yang berbeda dalam hormon sintetik 17 alpha metiltestosteron terhadap persentase kelamin jantan. Unair.
Zairin, M. Jr. 2004. Reversal Memproduksi Benih Ikan Jantan Atau Betina. Penebar Swadaya. Jakarta.

Thursday, February 26, 2015

MANFAAT PRODUK HORMON JANTANISASI TERHADAP PRODUKSI IKAN BUDIDAYA

February 26, 2015 Posted by Media Penyuluhan Perikanan Pati 1 comment
PRODUK HORMON JANTANISASI
Budi daya perikanan (akuakultur) tidak terlepas dari unsur ketersediaan air, lahan, benih, dan pakan. Bertolak dari kebutuhan tersebut salah satu kegiatan penelitian BATAN diarahkan untuk mendukung peningkatan produksi ikan dengan penyedian pakan ikan yang dapat mempercepat pertumbuhan dan bobot badan ikan.
Terdapat perbedaan dalam hal kecepatan pertumbuhan dan bobot badan ikan karena lebih dari 50% ikan jantan lebih cepat tumbuh dari ikan betina, ini disebabkan karena ikan jantan seluruh energi dari pakan digunakan untuk pertumbuhan, juga ikan jantan lebih rakus dalam hal makan, sedang pada ikan betina energi dari pakan digunakan untuk pematangan telur, pengeraman telur dan pemeliharaan larva dalam mulutnya.
Maka dalam budidaya perikanan sangat diperlukan benih ikan jantan, akan tetapi untuk mendapatkan benih ikan yang sebagian besar jantan sangatlah sulit karena kita tidak bisa mengharapkan dari anakan ikan yang menetas pada waktu tertentu.
Bertolak dari hal tersebut diupayakanlah penggunaan teknik pejantanan ikan (sex reversal) dalam penyediaan benih ikan. Jantanisasi ikan bisa dilakukan pada berbagai jenis ikan konsumsi seperti ikan nila gift, nila merah, gurame, patin, lele, kerapu, juga bermacam ikan hias seperti cupang, lohan, ranbow, guppy, tetra kongo, koi dan lain-lain. Jantanisasi merupakan teknik menstimulus benih ikan ke arah jantan, dan untuk ini diperlukan hormon Jantanisasi ikan/ hormone testosterone alami.
Langkah selanjutnya dalam mendukung percepatan produksi ikan setelah dilakukan teknik jantanisasi dengan pemberian hormon alami dari bahan dasar testis ternak, telah disiapkan produk pakan ikan untuk memacu pertumbuhan/pembesaran ikan yaitu Stimulan Pakan Ikan (SPI). Keunggulan dari SPI ini dapat disimpan lebih lama dan tidak mengandung bakteri patogen, sehingga secara tidak langsung ikan lebih aman untuk dikonsumsi dan harganya lebih murah dibandingkan dengan pakan sejenis.
Apa itu hormon jantanisasi ikan?
Hormon jantanisasi ikan adalah hormon yang dihasilkan oleh testis ternak yang menyebabkan timbulnya ciri seks sekunder jantan/maskulinisasi.
Dari manakah hormon ini berasal?
Para peternak ikan mendapatkan produk hormon ini import dari China, Thailand, dan Jepang, biasanya diberi nama hormone 17 α metiltestosteron sehingga harga hormon relatif mahal, sulit didapat dan karena terbuat dari bahan sintetis kegunaannya sering dipertanyakan. Atas dasar itu BATAN mencoba memecahkan masalah tersebut dengan melakukan litbang untuk memproduksi Hormon “Jantanisasi Ikan” yang berisfat “alami” karena terbuat dari bahan dasar testis ternak, sehingga tidak mengandung bahan residu kimia.
Penggunaan teknik nuklir pada uji radio immuno assay (RIA) dengan menggunakan isotop yodium-125 dapat mengevaluasi hormon sehingga didapat konsentrasi yang sesuai untuk persentase jantanisasi ikan yang optimal, kemudian dari ekstrak jaringan testis didapat konsentrasi testosteron yang cukup tinggi, tingginya konsentrasi testosteron menunjukkan jumlah hormon androgen penghasil sel jantan lebih banyak. Dari beberapa testis hewan yang telah diuji ternyata kandungan kadar testosteron tertinggi terdapat pada testis ternak sapi yang selama ini menjadi limbah dan banyak tersedia di Indonesia. (Sumber : Batan) Selama ini produksi ikan nila jantan menggunakan hormon 17a metiltestosteron (SPO nila nomor 05a), namun sekarang sudah dilarang tertuang dalam Surat Keputusan Menteri Kelautan dan Perikanan Republik Indonesia, No: KEP/20/MEN/2003 dan diperbaharui dengan KEP/52/MEN/2014 pada 19 September 2014 tentang Klasifikasi Obat Ikan. Larangan penggunaan hormon 17α metiltestosteron karena bersifat karsinogenik dan tidak ramah lingkungan. Akhir-akhir ini Aromatase Inhibitor (AI) telah digunakan sebagai bahan penghambat sintesa estrogen dari androgen dan berdampak maskulinisasi pada tahap awal perkembangan pada ikan.
Aromatase Inhibitor merupakan bahan kimia non karsinogenik dan biodegradable, sehingga ramah lingkungan. AROMATASE merupakan enzim kompleks dari hemoprotein cytochrome P450 aromatase dan NADPH-cytochrome P450 reduktase, dimana berperan sebagai Katalisator konversi Androgen (Testoteron) menjadi Estrogen (Estradiol-17β) selama proses Steroidogenesis yang dapat mempengaruhi tingkah laku seks spesifik, perubahan kelamin dan mengatur reproduksi. Sedangkan AROMATASE INHIBITOR adalah suatu bahan yang menghambat kerja aromatase dalam sintesis estrogen melalui penghambatan proses transkripsi sehingga tidak terbentuk aromatase dan melalui persaingan dengan substrat alami (testosteron) sehingga aktivitas aromatase tidak berjalan. Hal ini menyebabkan dampak akan terjadi maskulinisasi pada periode kritis.
Penelitian penggunaan Aromatase Inhibitor pernah dilaksanakan di Balai Budidaya Air Tawar Jambi pada tahun 2009 bekerjasama dengan Fakultas Perikanan dan Ilmu Kelautan, Institut Pertanian Bogor. Aromatase Inhibitor yang digunakan adalah jenis Imidazole dengan dua metoda yaitu:
1) metode perendaman larva dengan dosis 25; 50 dan 75 mg/l; larva umur 1 hari setelah menetas direndam dalam larutan Aromatase Inhibitor selama 24 jam, dan
2)  pemberian Aromatase Inhibitor melalui pakan (oral feeding) dengan dosis 1.500; 1.750 dan 2.000 mg/kg pakan, benih umur 7-14 hari diberi pakan berhormon Aromatase Inhibitor selama 5 hari dengan frekuensi 3 kali/hari secara adlibitum.
Hasil penelitian menunjukan bahwa penggunaan Aromatase Inhibitor melalui perendaman larva dengan dosis 75 mg/l menghhasilkan ikan nila jantan sebesar 96,88%; sedangkan penggunaan Aromatase Inhibitor melalui pakan dengan dosis 2.000 mg/kg pakan menghasilkan prosentase jantan sebesar 97%. Penggunaan Aromatase Inhibitor berkorelasi positif dengan prosentase jantan yang dihasilkan, dimana semakin tinggi dosis hormon Aromatase Inhibitor, maka prosentase nila jantan pun semakin tinggi serta tidak berdampak terhadap kelangsungan hidup larva selama pemeliharaan. Aromatase Inhibitor dapat digunakan sebagai alternatif pengganti penggunaan 17 α metiltestosteron dalam sex reversal (maskulinisasi ikan nila).
Adapun jenis Aromatase Inhibitor yakni:
1. Aromatase Inhibitor Non Steroid, contoh: Imidazole (1,3-diaza-2,4-cyclopentadiene) dan Fadrozole
2. Aromatase Inhibitor Steroid, contoh: 1,4,6-androstatrien-3,17-dione (ATD) dan 4-hidroxy–androstenedione (4-OH-A).
Perlu diketahui, Aromatase Inhibitor Non Steroid lebih efektif dalam menghambat aktivitas Aromatase dibandingkan dengan Aromatase Inhibitor Steroid.
1. Aplikasi Aromatase Inhibiting melalui Pakan (Oral feeding)
A. Membuat pakan berhormon:
a. Bahan: Aromatase Inhibitor (AI), Air tawar dan Pakan crumbel
b. Alat: Timbangan, beker gelas  dan stearer, Sprayer volume 1 liter dan nampan
c. Langkah kerja:
1. Timbang Aromatase Inhibitor sebanyak A gr,
2. Ambil air tawar sebanyak 250 ml,
3. Larutkan Aromatase Inhibitor dengan air tawar dan mixer,
4. Masukan larutan Aromatase Inhibitor kedalam sprayer,
5. Ambil pakan crumbel halus sebanyak B kg masukan kedalam nampan,
6. Semprot pakannya dengan larutan Aromatase Inhibitor lalu diaduk hingga rata,
7. Angin-anginkan hingga kering.
B. Aplikasi
1. Benih ikan nila umur 7-14 hari setelah menetas,
2. Benih dipelihara dalam happa di kolam,
3. Diberi pakan berhormon selama 5 hari, 3 kali/hari secara adlibitum,
4. Selanjutnya benih ikan diberi pakan biasa.
Aplikasi Aromatase Inhibitor melalui Perendaman Larva
A. Membuat larutan hormon:
a. Bahan: Aromatase Inhibitor (AI) dan Air tawar
b. Alat: Timbangan, Beker gelas dan stearer, dan Akuarium serta peralatan aerasi
c. Langkah kerja :
1. Timbang Aromatase Inhibitor sebanyak A mg (target dosis yang diinginkan),
2. Larutkan Aromatase Inhibitor kedalam air tawar sebanyak 0,5 liter dan mixer,
3. Masukan larutan Aromatase Inhibitor kedalam akuarium/baskom yang berisi air tawar (volume air sesuai target dosis).
B. Aplikasi:
1. Ambil larva ikan nila umur 1 hari,
2. Masukan kedalam larutan Aromatase Inhibitor dalam akuarium/baskom,
3. Rendam selama  24 Jam sambil diberi aerasi,
4. Larva dipelihara dalam aquarium selama 1 minggu,
5. Selanjutnya larva dipindahkan kedalam happa dikolam,
6. Beri pakan seperti biasa.
Sumber:
Jurnal Akuakultur Indonesia, 6(1): 103 – 108 (2007)
Laporan Tahunan BBAT Jambi, 2009

Wednesday, February 25, 2015

MENGENAL UDANG GALAH (MACROBRACHIUM ROSENBERGII)

February 25, 2015 Posted by Media Penyuluhan Perikanan Pati No comments
Udang galah (Macrobrachium rosenbergii) merupakan salah satu sumber daya ikan yang banyak dimanfaatkan. Udang galah mempunyai nilai ekonomis tinggi. Di Provinsi Riau, pasokan udang galah untuk memenuhikebutuhankonsumendidominansidarihasil tangkapan di perairan umum. Di Sungai Siak, udang galah dapat ditemukan di bagian hilir sampai hulu sungai.Utomo(2001)mengatakanbahwasiklushidup udang galah memerlukan dua habitat yaitu perairan air tawar dan payau. Udang galah tumbuh dewasa dankawindiperairantawar,dantelur menetassampai post larva berada di perairan payau.
Alat tangkap yang sering digunakan untuk menangkap udang galah oleh nelayan di perairan
SungaiSiak bagianhiliryaitusengkiraibilah(pot traps) , jala (cash net), pancing (hook), bubu gendang (pot) , dan rawai udang (shrimp long line). Rawai udang merupakan salah satu alat tangkap yang banyak digunakan. Untuk mengetahui teknik penangkapan udanggalahmenggunakanrawaiudang,makatahun 2007 telah dilakukan suatu pengamatan di Sungai Siak bagian hilir di Desa Valas, Kecamatan Air Hitam, ProvinsiRiau.Pengamatandilakukanempatkaliyaitu masing-masing dua kali pada musim penghujan (bulan September dan Oktober) dan dua kali pada musim kemarau (bulan Juni dan Agustus). Tujuan pengamatan adalah untuk mempelajari desain dan konstrusi rawai udang, cara pengoperasian rawai udang serta hasil tangkapan rawai udang di daerah pengamatan.
Udang galah adalah komoditi ikan air tawar yang bisa di pasarkan baik untuk keperluan didalam ataupun luar negeri. ukurannya mulai 100 gr s. d. 200 gr per ekor. apalagi udang yang tertangkap diperairan umum bisa meraih 300 gr per ekor. udang galah bisa dipelihara di kolam-kolam oleh beberapa pembydidaya udang, baik dengan polikultur ataupun monokultur dengan biaya yang cukup rendah hingga bisa menambah pendapatan pembudidaya.
POKOKBAHASAN
Lokasi Penangkapan
Hasil pengamatandengan menggunakanalat global positioning system menunjukanbahwanelayanDesa Valas,ProvinsiRiaumelakukanpenangkapanudang galahmenggunakanrawaidiSungaiSiakadalahpada daerah dengan posisi 00.33.124 LU-101.24.007 BT dan sekitarnya yang diambil dari Google Earth tahun 2007 (Gambar 2). Lokasi ini merupakan bagian hilir dari Sungai Siak yang dipengaruhi fluktuasi pasang surut air laut.
1-4
Konstruksi Rawai Udang
Satu unit alat tangkap rawai udang galah yang dioperasikannelayanDesaValasdiSungaiSiakterdiri atas tiga bagian utama yaitu tiang bambu atau unjar, tali utama, dan paku sebagai pengait umpan. Tiang bambu mempunyai Ø 8-10 cm dan panjang 3-4 m atau tergantung kedalaman perairan sungai. Tali utama terbuat dari bahan serat rosela atau sejenis serat sebagai bahan utama karung goni diameter tali 3 mm dan panjang tali 50 m dan paku baja ukuran 2 inci.Sebanyak 48buahpaku dikaitkan sepanjangtali cabangyangsatudenganlainnya1m.Pakuberfungsi untuk mengkaitkan umpan yaitu potongan kelapa ukuran3x3cm.Rawaiudanggalahyangdioperasikan nelayan Desa Valas di Sungai Siak tidak dilengkapi mata pancing sebagaimana konstruksi rawai pada umumnya. Salah satu bagian terpenting pada kontruksi rawai adalah mata pancing (Latief & Wijopriono, 1993; Wudianto et al., 1995; Susanto et al., 1988). Fungsi pancing digantikan dengan paku yang berfungsi sebagai pengait umpan. Gambar 3 konstruksi alat tangkap rawai udang galah di Sungai Siak. Konstruksi demikian menunjukan bahwa rawai udang tergolong alat tangkap yang khas.
Selainalat tangkaptersebutdi atas,perlengkapan lain yang diperlukan pada rawai udang galah adalah serok/seser atau disebutsanggi yang berguna untuk menangkapudangyangtelahmemakanumpanrawai. Wahanayangdigunakanuntukmengoperasikanrawai udang galah di Sungai Siak adalah perahu dayung ukuran pxlxd (6,0x0,8x0,5) m.
Cara Pengoperasian Bubu Udang
Rawai udang galah di Sungai Siak dioperasikan pada malam hari setelah matahari terbenam. Rawai pasang di tepi sungai dengan jarak 2 m dari pinggir sungaidengan kedalamanair1-3m. Rawaidipasang sejajar arah aliran sungai yaitu dari hulu ke hilir.
Bagianrawaiyangpertamadipasangadalahduatiang bambu(unjar)dengancaraditancapkansecaravertikal padadasarperairan.Pemasangantiangbambuberdiri kokoh untuk mengantisipasi terjangan arus aliran sungai. Jarak antar tiang sekitar 50 m. Selanjutnya dipasangtaliutamayangtelahdikaitipakudanumpan potongan kelapa. Tali utama dipasang dengan cara mengikatkan salah satu ujungnya pada satu tiang bambu (unjar) dan ujung lainnya pada unjar lainnya yangtelahdipasangsebelumnya.Taliutamadiikatkan secara strike pada tiang-tiang bambu (unjar) 50-60 cm di bawah permukaan air sungai.
Setelahrawaiterpasang, makapengambilanhasil tangkapan udang dilakukan setiap sekiran 30 menit sekali. Udang yang telah memakan umpan tidak cepat-cepat melepaskan diri dan kesempatan tersebut digunakan nelayan untuk menangkapnya dengancara menyeroknyadenganseser atausanggi yang telah disediakan. Setiap 30 menit nelayan mendekatisetiapumpanyangterkaitpakusepanjang tali utama dengan menggunakan perahu dayung. Udang yang tertangkap disimpan dalam keadaan hidupdengancaramemasukankedalam wadahyang berisi air tawar bersih dengan jumlah yang cukup. Hanya udang ukuran dewasa yang diambil, udang ukuran kecil yangmudadikembalikan lagi kesungai. Penangkapan udang galah dengan rawai udang tergolong metode penangkapan yang selektif dan ramahlingkungan karena hanyaudang dewasayang ditangkap.
Hasil Tangkapan
Hasil tangkapan udang galah memakai rawai udang di Sungai Siak dapat dilihat pada Tabel 1, 2, 3 dan4.BulanJuni2007hasiltangkapansatuunitrawai udang 142 kg yang terdiri atas 55 kg kategori udang induk dan 87 kg kategori udang dewasa. Bulan Agustus 2007 hasil tangkapan satu unit rawai udang 145 kg yang terdiri atas 65 kg kategori udang induk dan80kgkategoriudangdewasa.Penangkapanbulan JunidanAgustusmewakilipenangkapanpadamusim penghujan. Bulan September 2007 hasil tangkapan satu unit rawai udang 136 kg yang terdiri atas udang induk ukuran kisaranpanjang15-30cm sebanyak 51 kg dan udang dewasa ukuran panjang 85 kg. Bulan Oktober 2007 hasil tangkapan satu unit rawai udang 135 kg yang terdiri atas 52 kg kategori udang induk dan 83 kg kategori udang dewasa. Kedua bulan tersebut mewakili penangkapan pada musim kemarau. Jika dilihat dari jumlahnya hasil tangkapannya,penangkapanpadamusim penghujan jumlahnya lebih besar dibanding pada musim kemarau.
Penangkapan Udang Galah .......... Bagian Hilir, Provinsi Riau (Bahri, S. & A. Saiyani)
Tabel 1. Hasil tangkapan udang galah di Sungai Siak, bulan Juni 2007
No.    Kisaran ukuran panjang (cm)    Jumlah (kg)    Keterangan
1.
2.
3.    15-30
10-15
0    55
87
0    Kategori induk udang
Kategori udang dewasa
Kategori udang muda/juwana
    Jumlah    142   
Tabel 2. Hasil tangkapan udang galah di Sungai Siak, bulanAgustus 2007

No.    Kisaran ukuran panjang (cm)    Jumlah (kg)    Keterangan
1.    15-30
2.    10-153.    0    65
80
0    Kategori induk udang
Kategori udang dewasa
Kategori udang muda/juwana
Jumlah    145   
Tabel 3. Hasil tangkapan udang galah di Sungai Siak, bulan September 2007

No.    Kisaran ukuran panjang (cm)    Jumlah (kg)    Keterangan
1.    15-30
2.    10-153.    0    51
85
0    Kategori induk udang
Kategori udang dewasa
Kategori udang muda/juwana
Jumlah    136   
Tabel 4. Hasil tangkapan udang galah di Sungai Siak, bulan Oktober 2007

No.    Kisaran ukuran panjang (cm)    Jumlah (kg)    Keterangan
1.
2.
3.    15-30
10-15
0    52
83
0    Kategori induk udang
Kategori udang dewasa
Kategori udang muda/juwana
Jumlah        135   
KESIMPULAN
1.    Rawai udang untuk menangkap udang galah di SungaiSiak tergolongalattangkapikanyangkhas karenatidak dilengkapimatapancing.Fungsimata pancing digantikan oleh paku sebagai pengait umpan.
2.    Rawaiudangmerupakanalattangkapyangselektif dan ramah lingkungan untuk mengeksploitasi udang galah di Sungai Siak. Karena alat tangkap ini hanya menangkap udang galah kategori induk dan dewasa dan tidak menangkap udang muda atau juwana.
3.    Hasiltangkapanudanggalahdengan rawaiudang di Sungai Siak pada musim penghujan lebih banyak dibanding pada musim kemarau.
PERSANTUNAN
Makalah ini merupakan hasil dari kegiatan penelitian karakteristik habitat, identifikasi dan domestikasiikanBelidadiPerairanUmum Indonesia. T.A.2006.BalaiPenelitianPerikananPerairanUmumPalembang.
DAFTARPUSTAKA
Latief, H. H. & Wijopriono. 1993. Pengamatan terhadapbeberapaaspek operasionalrawaidasar di Juwana, Jawa Tengah. Jurnal Penelitian Perikanan Laut. Balai Penelitian Perikanan Laut. Jakarta.(81): 29-39.
Susanto, K., C. Nasution, & T. Harifi. 1988. Penggunaanmutepadarawaidasarkonvensional. Jurnal Penelitian Perikanan Laut. Balai Penelitian Perikanan Laut. Jakarta. (49): 61-73.
1-4
Utomo, A. D. 2001. Ruaya dan pertumbuhan udang galah (Macrobrachium roserbergii) di Sungai Lempuing Sumatera Selatan. Tesis. Program Pascasarjana. Institut Pertanian Bogor. Bogor. 78 pp.
Wudianto, Mahiswara, & M. Linting. 1995. Pengaruh ukuran mata pancing rawai dasar terhadap hasil tangkapan. Jurnal Penelitian Perikanan Laut. Balai Penelitian Perikanan Laut. Jakarta. (1): 5867.

Tuesday, February 24, 2015

BUDIDAYA IKAN - POLYPTERUS ALIAS IKAN NAGA

February 24, 2015 Posted by Media Penyuluhan Perikanan Pati No comments
Ikan Polypterus atau biasa disebut sebagai ikan naga merupakan ikan hias eksotis. Polypterus alias ikan naga merupakan ikan yang aslinya banyak ditemukan hidup di habitat air tawar Afrika dan daerah aliran sungai Nil, terutama di daerah rawa-rawa, lebung dan sekitar muara. Palmas merupakan ikan yang tergolong dalam Family Polypteridae (Bichir), artinya ikan bersirip banyak. Ikan ini termasuk ikan primitif dan sering disebut sebagai "snake like fish" (ikan mirip ular). Penyebaran adalah di Afrika Barat.
Ikan palmas adalah ikan dari Family Polypteridae (Bichir), artinya ikan bersirip banyak. Berdasarkan etimologi, nama genus Polypterus berasal dari bahasa Yunani, yaitu kombinasi kata poli (banyak) dan kata pteron (sayap atau sirip). Sehingga dikatakan ikan Polypterus adalah ikan “Bersirip banyak". Ikan ini merupakan salah satu jenis ikan purba/jurasic fish. Penyebaran adalah di Afrika Barat. Palmas adalah ikan pemangsa (predator), carnivora. Ikan ini mempunyai kemampuan untuk mengambil udara dengan alat yang telah termodifikasi sedemikan rupa menyerupai paru-paru, palmas juga mampu bertahan hidup pada perairan yang sangat minim oksigen, disamping itu ia mampu untuk merayap diatas tanah dengan menggunakan sirip dadanya yang kuat.
Kebiasaan Hidup dan Habitat
Ikan Polypterus aktif di malam hari, dan makan beberapa vertebrata kecil, crustasea, dan serangga. Ikan naga, Polypterus, juga memiliki empat pasang lengkung insang. ikan naga Tubuh ikan Polypterus rata-rata memiliki panjang sekitar 30 cm, tetapi dapat mencapai panjang maksimal 97 cm. Ikan naga hidup secara optimal pada kisaran suhu air 16 - 27°C dan pada kisaran pH 6,5 - 7. Ikan naga (Polypterus) adalah ikan carnivora, mereka lebih menyukai makanan dalam kondisi hidup berupa ikan-ikan kecil, selain itu juga mau memakan makanan berupa daging yang berasal dari udang ataupun ikan. ikan naga Apabila dilihat dari cara bergeraknya di dalam air, ikan Polypterus alias ikan naga berbeda dengan jenis ikan hias lainnya. Ikan naga tidak berenang cepat dengan sirip dan ekornya, akan tetapi ikan Polypterus bergerak dengan berjalan di dasar air menggunakan siripnya. Dengan cara bergerak seperti itu, ikan naga memang lebih tampak seperti seekor "ular naga" yang berjalan di bawah air, daripada seekor ikan.
Morfologi dan anatomi
Ikan naga, Polypterus, memiliki tubuh memanjang dengan satu susunan sirip punggung (finlet) yang unik dan terdiri dari beberapa bagian dengan yang jumlah bervariasi antara 7-18, di samping sirip punggung itu sendiri. Masing-masing finlet di punggung memiliki ujung-ujung bifida (doubleedged), dan beberapa sirip hanya dengan duri keras, dan selebihnya sirip dengan duri-duri lunak.
Tubuh ikan Polypterus ditutupi oleh sisik-sisik ganoid seperti tulang dan trapesium yang tebal. ikan naga Struktur rahang ikan naga, Polypterus, lebih menyerupai ikan tetrapoda daripada ikan teleostei. Ikan naga juga memiliki beberapa karakteristik primitif lainnya, seperti sirip dada berupa daging yang sekilas mirip dengan ikan bersirip lobus. Ikan Polypterus juga memiliki sepasang spirakel menyerupai celah yang digunakan untuk menghembuskan udara, dua paru-paru dengan lempengan gular dan ventral ganda (paru-paru kiri lebih kecil dari bagian kanan), yang memungkinkan ikan naga untuk mendapatkan oksigen dari udara ketika berada di perairan dengan sedikit oksigen, dengan cara berenang cepat ke permukaan dan kembali ke bawah.
Kingdom
: Animalia
Phylum
: Chordata
Subphylum
: Vertebrata
Class
: Actinopterygii
Subclass
: Chondrostei
Order
: Polypteriformes
Family
: Polypteridae
Genus
: Polypterus
Species
: P. Palmas
Binomial name Polypterus palmas Ayres, 1850
Palmas adalah ikan pemangsa (predator), carnivora. Ikan ini mempunyai kemampuan untuk mengambil udara dengan alat yang telah termodifikasi sedemikan rupa menyerupai paru-paru, disamping itu ia mampu untuk merayap diatas tanah dengan menggunakan sirip dadanya yang kuat. Oleh karenanya dalam mememihara palmas dianjurkan agar memberikan penutup yang baik untuk mencegah ikan tersebut kabur. Palmas dapat dipelihara bersama-sama dengan ikan golongan Cichlidae yang memiliki ukuran lebih besar.
Panjang rata-rata ikan palmas adalah 30 cm. Hidup pada kisaran pH 6.5 - 7, dan temperatur 16-27 ° C. Sebagai carnivora, pakan utama palmas adalah pakan hidup berupa ikan kecil, atau daging-dagingan lain seperti daging udang atau daging ikan. ikan naga Polypterus adalah genus ikan air tawar dalam keluarga bichir (Famili Polypteridae) dari Ordo Polypteriformes. Ikan dalam genus ini hidup di beberapa daerah di Afrika.
Berdasarkan etimologi, nama genus Polypterus berasal dari bahasa Yunani, yaitu kombinasi kata poli (banyak) dan kata pteron (sayap atau sirip). Sehingga dikatakan ikan Polypterus adalah ikan “Bersirip banyak". ikan naga Kebun binatang Basel telah berhasil memijahkan ikan Polypterus yang langka ini. Pada bulan Desember 2005 beberapa telur Polypterus “ditetaskan” dan pada awal tahun 2006 enam larva Polypterus berhasil menetas. Dalam waktu 2 bulan keenam benih Polypterus mencapai ukuran sekitar 10 cm. ikan naga Dari penampilannya ikan Polypterus alias ikan naga memang tidak seperti ikan hias lainnya. Pada umumnya ikan hias memberikan daya tarik dari bentuknya yang unik dan warna tubuhnya yang cerah dan indah, akan tetapi tidak demikian halnya dengan ikan Polypterus. Kebanyakan orang memelihara ikan Polypterus alias ikan naga bukan dikarenakan daya tarik warna tubuhnya. ikan naga Ikan naga, Polypterus, memiliki tubuh memanjang dengan satu susunan sirip punggung (finlet) yang unik dan terdiri dari beberapa bagian dengan yang jumlah bervariasi antara 7-18, di samping sirip punggung itu sendiri. Masing-masing finlet di punggung memiliki ujung-ujung bifida (doubleedged), dan beberapa sirip hanya dengan duri keras, dan selebihnya sirip dengan duri-duri lunak. Tubuh ikan Polypterus ditutupi oleh sisik-sisik ganoid seperti tulang dan trapesium yang tebal. ikan naga Struktur rahang ikan naga, Polypterus, lebih menyerupai ikan tetrapoda daripada ikan teleostei. Ikan naga juga memiliki beberapa karakteristik primitif lainnya, seperti sirip dada berupa daging yang sekilas mirip dengan ikan bersirip lobus. Ikan Polypterus juga memiliki sepasang spirakel menyerupai celah yang digunakan untuk menghembuskan udara, dua paru-paru dengan lempengan gular dan ventral ganda (paru-paru kiri lebih kecil dari bagian kanan), yang memungkinkan ikan naga untuk mendapatkan oksigen dari udara ketika berada di perairan dengan sedikit oksigen, dengan cara berenang cepat ke permukaan dan kembali ke bawah. Ikan Polypterus aktif di malam hari, dan makan beberapa vertebrata kecil, krustasea, dan serangga. Ikan naga, Polypterus, juga memiliki empat pasang lengkung insang. ikan naga Tubuh ikan Polypterus rata-rata memiliki panjang sekitar 30 cm, tetapi dapat mencapai panjang maksimal 97 cm. Ikan naga hidup secara optimal pada kisaran suhu air 16 - 27°C dan pada kisaran pH 6,5 - 7.
Ikan naga (Polypterus) adalah ikan carnivora, mereka lebih menyukai makanan dalam kondisi hidup berupa ikan-ikan kecil, selain itu juga mau memakan makanan berupa daging yang berasal dari udang ataupun ikan. ikan naga Apabila dilihat dari cara bergeraknya di dalam air, ikan Polypterus alias ikan naga berbeda dengan jenis ikan hias lainnya. Ikan naga tidak berenang cepat dengan sirip dan ekornya, akan tetapi ikan Polypterus bergerak dengan berjalan di dasar air menggunakan siripnya. Dengan cara bergerak seperti itu, ikan naga memang lebih tampak seperti seekor "ular naga" yang berjalan di bawah air, daripada seekor ikan. Terdapat kurang lebih sebelas spesies ikan Polypterus (ikan naga) yang berhasil teridentifikasi, dengan beberapa sub-species di dalamnya, yaitu ikan naga Polypterus ansorgii Boulenger Polypterus bichir Lacépède Polypterus bichir bichir Lacépède Polypterus bichir katangae Pol Polypterus bichir lapradei Steindachner Polypterus delhezi Boulenger Polypterus endlicheri Heckel Polypterus endlicheri congicus Boulenger Polypterus endlicheri endlicheri Polypterus mokelembembe Schliewen & Schäfer Polypterus ornatipinnis Boulenger, Polypterus palmas Ayres Polypterus palmas buettikoferi Steindachner Polypterus palmas palmas Ayres Polypterus palmas polli J. P. Gosse Polypterus retropinnis Vaillant Polypterus senegalus Cuvier Polypterus senegalus meridionalis Poll Polypterus senegalus senegalus Cuvier Polypterus teugelsi Britz Polypterus weeksii Boulenger ikan naga Ikan Polypterus alias ikan naga cukup populer di kalangan penggemar ikan hias langka. Ikan naga idealnya dipelihara di dalam akuarium dengan ukuran panjang dan tinggi lebih dari 1 m. Ikan Polypterus mempunyai kemampuan untuk melompat keluar apabila ukuran akuarium terlalu kecil. Ikan naga merupakan ikan predator (pemangsa), oleh karena itu sebaiknya ikan naga tidak dipelihara bersama-sama dengan ikan akuarium lainnya yang berukuran lebih kecil.
Daftar Pustaka :
Kunjungi sumbernya di: http://kuliah-ikan.blogspot.com/2012/04/polypterus-alias-ikan-naga.html#.VZPvMFJ_lT8
Hak Cipta http://kuliah-ikan.blogspot.com/ Apabila anda meng-copy, mohon dicantumkan blog ini dan link-nya sebagai sumber referensi

Monday, February 23, 2015

MENGENAL ALAT TANGKAP TRAWL

February 23, 2015 Posted by Media Penyuluhan Perikanan Pati No comments
Kata “ trawl “ berasal dari bahasa prancis “ troler “ dari kata “ trailing “ adalah dalam bahasa inggris, mempunyai arti yang bersamaan, dapat diterjemahkan dalam bahasa Indonesia dengan kata “tarik “ ataupun “mengelilingi seraya menarik “. Ada yang menterjemahkan “trawl” dengan “jaring tarik” , tapi karena hampir semua jarring dalam operasinya mengalami perlakuan tarik ataupun ditarik , maka selama belum ada ketentuan resmi mengenai peristilahan dari yang berwenang maka digunakan kata” trawl” saja.
Dari kata “ trawl” lahir kata “trawling” yang berarti kerja melakukan operasi penangkapan ikan dengan trawl, dan kata “trawler” yang berarti kapal yang melakukan trawling. Jadi yang dimaksud dengan jarring trawl ( trawl net ) disini adalah suatu jaring kantong yang ditarik di belakang kapal ( baca : kapal dalam keadaan berjalan ) menelusuri permukaan dasar perairan untuk menangkap ikan, udang dan jenis demersal lainnya. Jarring ini juga ada yang menyangkut sebagai “jaring tarik dasar”.
Stern trawl adalah otter trawl yang cara operasionalnya ( penurunan dan pengangkatan ) jaring dilakukan dari bagian belakang ( buritan ) kapal atau kurang lebih demikian. Penangkapan dengan system stern trawl dapat menggunakan baik satu jarring atau lebih.
2. Sejarah Alat Tangkap
Jaring trawl yang selanjutnya disingkat dengan “trawl” telah mengalami perkembangan pesat di Indonesia sejak awal pelita I. Trawl sebenarnya sudah lama dikenal di Indonesia sejak sebelum Perang Dunia II walaupun masih dalam bentuk ( tingkat ) percobaan. Percobaan-percobaan tersebut sempat terhenti akibat pecah Perang Dunia II dan baru dilanjutkan sesudah tahun 50-an ( periode setelah proklamasi kemerdekaan ). Penggunaan jaring trawl dalam tingkat percobaan ini semula dipelopori oleh Yayasan Perikanan Laut, suatu unit pelaksana kerja dibawah naungan Jawatan Perikanan Pusat waktu itu. Percobaan ini semula dilakukan oleh YPL Makassar (1952), kemudian dilanjutkan oleh YPL Surabaya.
Menurut sejarahnya asal mula trawl adalah dari laut tengah dan pada abad ke 16 dimasukkan ke Inggris, Belanda, Prancis, Jerman, dan negara Eropa lainnya. Bentuk trawl waktu itu bukanlah seperti bentuk trawl yang dipakai sekarang yang mana sesuai dengan perkembangannya telah banyak mengalami perubahan-perubahan, tapi semacam trawl yang dalam bahasa Belanda disebut schrol net.
3. Prospektif Alat Tangkap
Perkembangan teknologi menyebabkan kemajuan- kemajuan pada main gear, auxillary gear dan equipment lainny. Pendeteksian letak jaring dalam air sehubungan depth swimming layer pada ikan, horizontal opening dan vertical opening dari mulut jaring, estimate catch yang berada pada cod end sehubungan dengan pertambahan beban tarik pada winch, sudut tali kekang pada otter board sehubungan dengan attack angel, perbandingan panjang dan lebar dari otter board, dan lain-lain perlengkapan.
Demikian pula fishing ability dari beberapa trawler yang beroperasi di perbagai perairan di tanah air, double ring shrimp trawler yang beroperasi di perairan kalimantan, irian jaya dan lain-lain sebagainya. Perhitungan recources sehubungan dengan fishing intensity yang akan menyangkut perhitungan- perhitungan yang rumit, konon kabarnya sudah mulai dipikirkan. Semakin banyak segi pandangan, diharapkan perikanan trawl akan sampai pada sesuatu benntukl yang diharapkan.
B. KONSTRUKSI ALAT TANGKAP
1. Konstruksi Umum Gambar 1
2. Detail Konstruksi Gambar 2
3. Gambar Teknis Gambar 3
4. Bahan dan Spesifikasi Gambar 4
5. Karakteristik
berdasarkan letak penarikan jaring yang dilakukan di kapal kita mengenal adanya stern trawl, dimana jaring ditarik dari buritan ( dalam segi operasionalnya ). Dimana banyak kapal trawl yang menggunakan cara ini, adapun karakteristik dari stern trawl ini antara lain:
Ø Stern trawl tidak seberapa dipengaruhi oleh angin dan gelombang dalam pelepasan jaring, tidak memerlukan memutar letak kapal
Ø Warp berada lurus pada garis haluan buritan sehingga tenaga trawl winch dapat menghasilkan daya guna maksimal sehingga pekerjaan melepas/ menarik dari jaring memerlukan waktu yang lebih sedikit, yang berarti waktu untuk jaring berada dalam air ( operasi ) lebih banyak
Ø Trawl winch pada stern trawl terpelihara dari pengaruh angin dan gelombang, dengan demikian dalam cuaca buruk sekalipun operasi masih dapat dilakukan dengan mudah
Ø Pada stern trawl akibat dari screw current jaring akan segera hanyu, demikian pula otter boat segera setelah dilepas akan terus membuka
Ø Karena letak akan searah dengan garis haluan- buritan, maka di daerah fishing ground yang sempit sekalipun operasi masih mungkin dilakukan, dengan perkataan lain posisi jaring sehubungan dengan gerakan kapal lebih mudah diduga
Ø Pada stern trawl, pada waktu hauling ikan-ikan yang berada pada cod end tidak menjadikan beban bagi seluruh jaring, karena cod end tersendiri ditarik melalui slip way, dengan demikian jaring dapat terpelihara
C. HASIL TANGKAPAN
Yang menjadi tujuan penangkapan pada bottom trawl adalah ikan-kan dasar ( bottom fish ) ataupun demersal fish. Termasuk juga jenis-jenis udang ( shrimp trawl, double ring shrimp trawl ) dan juga jenis-jenis kerang. Dikatakan untuk periran laut jawa, komposisi catch antara lain terdiri dari jenis ikan patek, kuniran, pe, manyung, utik, ngangas, bawal, tigawaja, gulamah, kerong-kerong, patik, sumbal, layur, remang, kembung, cumi,kepiting, rajungan, cucut dan lain sebagainya.
Catch yang dominan untuk sesuatu fish ground akan mempengaruhi skala usaha, yang kelanjutannya akan juga menetukan besar kapal dan gear yang akan dioperasikan.
D. DAERAH PENANGKAPAN
Didalam alat tangkap trawl yang memiliki syarat-syarat fishing ground, antara lain sebagai berikut:
q Dasar fishing ground terdiri dari pasir, Lumpur ataupun campuran pasir dan Lumpur.
q Kecepatan arus pada mid water tidak besar ( dibawah 3 knot ) juga kecepatan arus pasang tidak seberapa besar
q Kondisi cuaca,laut, ( arus, topan, gelombang, dan lain-lain ) memungkinkan keamanan operasi
q Perubahan milieu oceanografi terhadap mahluk dasar laut relatif kecil dengan perkataan lain kontinuitas recources dijamin untuk diusahakan terus-menerus
q Perairan mempunyai daya prokdutifitas yang besar serta recources yang melimpah
E.ALAT BANTU PENANGKAPAN
Pada umumnya kapal-kapal trawl ini digerakkan oleh diesel ataupun steam. Kapal dilengkapi dengan trawl winch, sebagai tenaga penggerak ada yang menggunakan steam engine ( 45-75 HP ) bagi stream trawl dan ada pula yang memakai motor dari 60-90 HP bagi diesel trawl. Winch ini dihubungkan dengan warp, dan untuk mengontrol panjang warp dipasang brake.
Besar jaring yang dipakai berbeda-beda, dan untuk menyatakan besar jaring dipakai penunjuk “ panjang dari head rope “ yang biasanya dengan satuan feet atau meter.
F. TEKNIK OPERASIONAL ( SHOOTING & HAULING )
(1) kecepatan/lama waktu menarik jaring
adalah ideal jika jaring dapat ditarik dengan kecepatan yang besar, tapi hal ini sukar untuk mencapainya, karena kita dihadapkan pada beberapa hal, antara lain keadaan terbukanya mulut jaring, apakah jaring berada di air sesuai dengan yang dimaksudkan ( bentuk terbukanya ), kekuatan kapal untuk menarik ( HP ), ketahanan air terhadap tahanan Air, resistance yang makin membesar sehubungan dengan catch yang makin bertambah, dan lain sebagainya. Faktor-faktor ini berhubungan antara satu dengan yang lainnya dan masing-masing menghendaki syarat tersendiri.
Pada umumnya jaring ditarik dengan kecepatan 3-4 knot. Kecepatan inipun berhubungan pula dengan swemming speed dari ikan, keadaa dasar laut, arus, angin, gelombang dan lain sebagainya, yang setelah mempertimbangkan factor-faktor ini, kecepatan tarik ditentukan .
Lama waktu penarikan di dasarkan kepada pengalaman-pengalaman dan factor yang perlu diperhatikan adalah banyak sedikitnya ikan yang diduga akan tertangkap., pekerjaan di dek, jam kerja crew, dan lain sebagainya. Pada umumnya berkisar sekitar 3-4 jam, dan kadang kala hanya memerlukan waktu 1-2 jam.
(2) panjang warp
factor yang perlu diperhatikan adalah depth,sifat dasar perairan ( pasir, Lumpur), kecepatan tarik. Biasanya panjang warp sekitar 3-4 kali depth. Pada fishing ground yang depthnya sekitar 9M ( depth minimum ). Panjang warp sekitar 6-7 kali depth. Jika dasar laut adalah Lumpur, dikuatirkan jaring akan mengeruk lumpu, maka ada baiknya jika warp diperpendek, sebaliknya bagi dasar laut yang terdiri dari pasir keras ( kerikil ), adalah baik jika warp diperpanjang.
Pengalaman menunjukkan bahwa pada depth yang sama dari sesuatu Fishing ground adalah lebih baik jika kita menggunakan warp yang agak panjang, daripada menggunakan warp yang terlalu pendek. Hal ini dapat dipikirkan sebagai berikut.bentuk warp pada saat penarikan tidaklah akan lurus, tetapi merupakan suatu garis caternian. Pada setiap titik –titik pada warp akan bekerja gaya- gaya berat pada warp itu sendiri, gaya resistance dari air, gaya tarik dari kapal/ winch, gaya ke samping dari otter boat dan gaya-gaya lainnya. Resultan dari seluruh gaya yang complicataed ini ditularkan ke jaring ( head rope and ground rope ), dan dari sini gaya-gaya ini mengenai seluruh tubuh jaring. Pada head rope bekerja gaya resistance dari bottom yang berubah-ubah, gaya berat dari catch yang berubah-ubah semakin membesar, dan gaya lain sebagainya.
Gaya tarik kapal bergerak pada warp, beban kerja yang diterima kapal kadangkala menyebabkan gerak kapal yang tidak stabil, demikian pula kapal sendiri terkena oleh gaya-gaya luar ( arus, angin, gelombang )
Kita mengharapkan agar mulut jaring terbuka maksimal, bergerak horizontal pada dasar ataupun pada suatu depth tertentu. Gaya tarik yang berubah-ubah, resistance yang berubah-ubah dan lain sebagainya, menyebabkan jaring naik turun ataupun bergerak ke kanan dan kekiri. Rentan yang diakibatkannya haruslah selalu berimbang. Warp terlalu pendek, pada kecepatan lebih besar dari batas tertentu akan menyebabkan jaring bergerak naik ke atas ( tidak mencapai dasar ), warp terlalu panjang dengan kecepatan dibawah batas tertentu akan menyebabkan jaring mengeruk lumpur. Daya tarik kapal ( HP dari winch) diketahui terbatas, oleh sebab itulah diperoleh suatu range dari nilai beban yan g optimal. Apa yang terjadi pada saat operasi penarikan, pada hakikatnya adalah merupakan sesuatu keseimbangan dari gaya-gaya yang complicated jika dihitung satu demi satu.
G. HAL YANG MEMPENGARUHI KEGAGALAN TANGKAPAN
Pada saat operasi, dapat terjadi hal-hal yang dapat menggagalkan operasi antara lain:
Ø Warp terlalu panjang atau speed terlalu lambat atau juga hal lain maka jaring akan mengeruk Lumpur
Ø Jaring tersangkut pada karang / bangkai kapal
Ø Jaring atau tali temali tergulung pada screw
Ø Warp putus
Ø Otterboat tidak bekerja dengan baik, misalnya terbenam pada lmpur pada waktu permulaan penarikan dilakukan
Ø Hilang keseimbangan, misalnya otterboat yang sepihak bergerak ke arah pihak yang lainnya lalu tergulung ke jaring
Ø Ubur-ubur, kerang-kerangan dan lain-lain penuh masuk ke dalam jaring, hingga cod end tak mungkin diisi ikan lagi.
Ø Dan lain sebagainnya.
DAFTAR PUSTAKA
Ayodhyoa,A.U.1983.Metode Penangkapan Ikan. Cetakan pertama. Faperik. IPB. Bogor
Subani,W. 1978. Alat dan Cara Penangkapan Ikan di Indonesia,jilid I. LPPL. Jakarta
The Gourack Ropework,Co.,ltd.1961. deep sea trawling and wing trawling
Ward,george,ed.1964. Stern trawling
Email : afiq_mbo@yahoo.com

Sunday, February 22, 2015

BUDIDAYA IKAN NILEM (Osteochilus hasselti)

February 22, 2015 Posted by Media Penyuluhan Perikanan Pati No comments
Ikan nilem ini mempunyai cita rasa yang sangat sepesifik dan gurih disbanding ikan air tawar lainnya karena ikan ini mengandung sodium glutamat dalam daging yang terbentuk alami yang mungkin disebkan pengaruh kebiasaan makan  pakan alami phito dan zoo plankton terutama ganggang yang tumbuh akibat pemupukan kolam. Menurut jangkaru (1989), ikan nilem tahan terhadap penyakit, ikan nilem termasuk dalam kelompok omnivora,  di alam makanannya berupa periphiton
Dan tumbuhan penempel dengan demikian ikan nilem dapat berfungsi sebagai pembersih jaring apung. Potensi lain yang dimiliki  ikan nilem sampai saat ini telurnya yang sangat digemari oleh masyarakat karena cita rasanya yang gurih dan telur ikan nilem ine telah di ekspor ke Negara lain seperti Singapura, Taiwan, Malaysia dan Hongkong yang katanya sebagai pengganti kapier dan sebagai bahan pembuat saos. Ikan nilem juga diolah menjadi dendeng, abon, pepes dan snek ikan (baby fish) terutama yang mempunyai ukuran 5-7 gram.
Dengan pertimbangan keunggulan komperatif tersebut diatas ikan nilem sangat memungkinkan  sekali untuk dibudidayakan dan dikembangkan diberbagai wilayah.
Ikan nilem adalah salah satu komoditas ikan air tawar yang belum banyak di budidayakan di berbagai wilayah dan saat ini ikan nilem baru banyak dikembangkan didaerah tasikmalaya.
MEMILIH INDUK YANG BAIK
Sebelum dilakukan pemijahan pemilihan induk adalah faktor penting. Keberhasilan pemijahan sangat ditentukan oleh kualitas induk dan lingkungan pemijahan induk harus memenuhi persyaratan yaitu:
Betina : Umurnya mencapai 1-1,5 tahun, berat badan sekitar 100 gram, bila diurut pelan-pelan keatrah genital ikan mengeluarkan cairan berwarna kekuning-kuningan.
Jantan : Perut mengembung dan terasa empuk ketika diraba, 8 bulan berat badan sekitar 100 gram, bila diurut perlahan-lahan kearah genital induk jantan akan mengeluarkan cairan seperti susu,
Dengan menejemen induk yang lebih intensif rematurasi induk ikan nilem diperlukan waktusekitar 3 bulan, dan dengan pakan yank intensif protein 30-42% sangat bagus untuk meningkatkan kualitas dan kuantitas telur dan benih yang dihasilkan.
PEMIJAHAN BUATAN
Metoda pemijahan ini adalah dengan penyuntikan menggunakan hormone reproduksi pada ikan jantan dan betina dengan tujuan agar menghasilkan pemijahan yang serentak dibandingkan dengan tanpa penyuntikan . Sistem ini akan memberikan hasil anakan yang dihasilkan lebih seragam dan akan memudahkan pemeliharaannya. Penyuntikan untuk ovulasi, menggunakan hormon ovaprim dengan dosis 0.3 ml/kg bobot ikan diberikan satu kali, sirip punggung. Pengeluaran telur (ovulasi) terjadi 9-11 jam setelah penyuntikan dan biasanya terjadi pada kisaran suhu air inkubasi 21-25°C.
Untuk mendapatkan jumlah sperma yang lebih banyak dapat dilakukan penyuntikan pada ikan jantan dengan ovaprim dosis 0.2 ml/kg dari bobot ikan. Pengeluaran sperma dilakukan sebelum pengeluaran telur (stripping betina), selanjutnya sperma diawetkan dalam larutan fisiologis atau larutan infuse NaCI 0.9% d encerkan 100 kali dan disimpan pada suhu antara 4-5°C (Legendre et al.1998), Pada kondisi demikian sperma nilem dapat bertahan hingga 8-12 jam dengan viabilitas > 80%.
PERSIAPAN PEMIJAHAN
Mengkoleksi telur dengan melakukan pemijahan atau “stripping” pada bagian perut ikan betina yang sudah di ovulasi.
1. Setelah diketaui terjadi ovulasi dibiarkan sekitar 30 menit - 1jam.
2. Melakukan stripping dan telur ditampung dalam wadah/Waskom.
3. Selanjutnya telur dan sperma dicampurkan dalam wadah dan diaduk secara perlahan menggunakan bulu ayam agar pembuahan dapat merata.
4. Tambahan air sumber yang bersih sebayak 1-2 kali volume telur untuk mengaktifkan sperma.
5. Proses pembuahan berlangsung selama 0.5 menit, setelah itu dilakukan pembilasan dengan air bersih untuk membuang sisa sperma yang mati.
6. Telur yang dibuahi beri tanda dg inti telur berkembang 3-5 kali dari diameter awal dan berwarna transparan. Melakukan aerasi selama 24 jam digunakan sebagai media penetasan.
7. Melakukan inkubasi telur dengan cara menebarkan telur kedalam akuarium.
8. Telur yang dibuahi menetas dala, 23-27 jam pada suhu inkubasi 21-27°C. Penetasan dapat juga dilakukan didalam corong penetasan system air mengalir.
PEMELIHARAAN LARVA
Pemeliharaan larva setelah menetas, larva siap diberi pakan dengan nauvili artemia setelah berumur 3-4 hari, dengan frekuensi setiap 4 jam. Selama 5 hari setelah itu ikan bias diberikan pakan buatan selama 15 hari dalam akuarium, setelah itu benih dideder kekolamk pendederan yang sudah dilakukan pemupukan, dengan pupuk TSP dan Urea masing-masing 10 g/m³, dilakukan pemupukan sebanyak ½ dosis dari pemupukan , selama pemeliharaan benih ikan diberikan pakan buatan sebanyak 4% dari bobot biomassa.
Pendederan ini berlangsung selama 3 bulan, biasanya dicapai ukuran benih 5-7 cm atau sekitar 5 gram dan siap dipanen. Hasil pemanenan ini benih diolah menjadi snek ikan/babyfish atau dibesarkan ke kolam pembesaran.