Monday, September 29, 2014

Budidaya Cacing Sutra

September 29, 2014 Posted by Media Penyuluhan Perikanan Pati No comments


PENDAHULUAN
Cacing Sutra (Tubifex sp) mengandung sangat dibutuhkan sebagai pakan alami dalam kegiatan unit perbenihan, terutama pada fase awal (larva) karena memiliki kandungan nutrisi (protein 57% dan lemak 13%) yang baik untuk pertumbuhan ikan dan ukurannya sesuai dengan bukaan mulut larva, disamping itu harganya lebih murah dibanding artemia.
Sementara ketersediaannya masih mengandalkan pencarian tangkapan alam yaitu dari parit saluran air yang banyak mengandung bahan organik sisa limbah pabrik kacang, limbah pasar atau limbah rumah tangga yang mengalir di saluran pembuangan. Permasalahannya adalah cacing sutra di alam tidak selalu tersedia sepanjang tahun, terutama pada saat musim penghujan, dimana pada saat itu kegiatan pembenihan lele/patin/gurame/ikan lainnya banyak dilakukan. Bagi daerah diluar pulau Jawa seperi Sumatera, Kalimantan atau daerah lainnya yang banyak kegiatan pembenihan dan pembesaran, tetapi sulit memperoleh cacing sutera, maka budidaya ini  perlu menjadi salah satu solusi  yang perlu menjadi pertimbangan.
Cacing ini mudah dikenali dari bentuk tubuhnya yang seperti benang sutra dan berwarna merah kecoklatan karena banyak mengandung haemoglobin.
Seperti halnya hewan air lainnya, disini air memegang peranan penting terhadap kelangsungan hidup cacing. Berikut parameter optimal yang diubuthkan oleh cacing tanah.
Tubuhnya sepanjang 1 – 2 cm, terdiri dari 30 – 60 segmen atau ruas
      pH : 5,5 -8,0
      Suhu : 25 – 28 C
      DO(oksigen terlarut) : 2,5 – 7,0 ppm
      Amoniak : <3 span="">
Makanan cacing ini adalah bahan organik yang bercampur dengan lumpur atau sedimen di dasar perairan. Di dalam tubuh cacing ini terdapat mekanisme untuk memisahkan sedimen dengan makanan yang dibutuhkannya.
Cacing sutra (Tubifex sp) ini bersifat hermaprodit, pada satu organism mempunyai 2 alat kelamin. Cacing ini dapat dibudidayakan dan digunakan langsung untuk larva  ikan. Cacing ini dapat juga di simpan dalam bentuk beku (fresh) maupun kering (oven).
Klasifikasi cacing sutera:
Phylum            : Annelida,
Kelas               : Oligochaeta,
Ordo                : Haplotaxida,
Famili              : Tubificidae,
Genus              : Tubifex ,
Spesies : Tubifex sp.
B. Langkah-Langkah Budidaya Cacing Sutera
Untuk memulai usaha budidaya cacing sutera ini di perlukan persiapan-persiapan berikut ini.
1.      Persiapan Bibit
Bibit cacing sutera dapat kita peroleh dengan cara langsung mengambil dari alam atau juga bisa dengan membelinya di toko ikan hias. Setelah memperoleh bibit, sebaiknya baiknya bibit cacing di karantina dahulu karena ditakutkan membawa bakteri patogen.
2.      Persiapan Media Lahan
Dalam pembudidayaan cacing sutera ini diperlukan media lahan yaitu kubangan lumpur dengan ukuran 1 x 2 meter yang dilengkapi saluran pemasukan dan pengeluaran air berupa pipa. Pipa pengeluaran ini sebaiknya terbuat dari bahan paralon berdiameter 2 inci dengan panjang sekitar 15 cm. Tiap-tiap kubangan dibuat petakan petakan kecil ukuran 20 x 20 cm dengan tinggi tanggul 10 cm, antar tanggul diberi lubang dengan diameter 1 cm. Lahan di pupuk dengan dedak halus atau ampas tahu sebanyak 200 – 250 gr/M2 atau dengan pupuk kandang sebanyak 300 gr/ M2.
Proses pembuatan pupuknya adalah sebagai berikut :
§          Kotoran ayam yang sudah disiapkan, dijemur dibawah sinar matahari selama kurang lebih 6 jam.
§          Siapkan bakteri EM4 untuk memfermentasi kotoran ayam tersebut. Bakteri ini dapat di beli di toko pertanian atau toko peternakan atau balai peternakan.
§          Aktifkan bakterin dengan cara memasukan 1/4 sendok makan gula pasir + 4ml EM4 + dalam 300ml air. Campuran tersebut didiamkan selama 2 jam. 
§          Campurkan cairan tersebut ke dalam 10kg kotoran ayam yang sudah di jemur emudian aduk hingga rata.
§          Campuran tersebut kemudian dimasukan ke dalam wadah yang tertutup selama 5 hari
           Lahan direndam dengan air setinggi 5 cm selama 3-4 hari.
           Selama Proses Budidaya lahan dialiri air dengan debit 2-5 Liter / detik
Setelah melakukan persiapan dan menyediakan bahan-bahan diatas barulah kita bisa memulai proses pembudidayaan cacing sutera ini. Langkah-langkahnya adalah sebagai berikut.
§          Apabila matahari cukup terik, jemur kolam minimum sehari. Bersamaan dengan itu, kolam dibersihkan dari rumput atau hewan lain yang berpotensi menjadi hama bagi cacing sutra, seperti keong mas atau kijing. Sebaiknya juga dilakukan pengecekan kekuatan pipa pengeluaran. 
§          Usai pengeringan dan penjemuran, usahakan kondisi dasar kolam bebas dari bebatuan dan benda-benda keras lainnya.
§          Dasar kolam diisi dengan lumpur halus yang berasal dari saluran atau kolam yang dianggap banyak mengandung bahan organik hingga ketebalan dasar lumpur mencapai 10 cm.
§          Masukkan kotoran ayam kering sebanyak tiga karung ukuran kemasan pakan ikan, kemudian sebar secara merata dan selanjutnya bisa diaduk-aduk dengan kaki.
§          Setelah dianggap datar, genangi kolam tersebut hingga kedalaman air maksimum 5 cm, sesuai panjang pipa pembuangan.
§          Pasang atap peneduh untuk mencegah tumbuhnya lumut di kolam.
§          Kolam yang sudah tergenang air tersebut dibiarkan selama satu minggu agar gas yang dihasilkan dari kotoran ayam hilang. Cirinya, media sudah tidak beraroma busuk lagi.
§          Tebarkan 0,5 liter gumpalan cacing sutra dengan cara menyiramnya terlebih dahulu di dalam baskom agar gumpalannya buyar.
§          Cacing sutra yang sudah terurai ini kemudian ditebarkan di kolam budi daya ke seluruh permukaan kolam secara merata.
§          Seterusnya atur aliran air dengan pipa paralon berukuran 2/3 inci.
§          Cacing Bisa dipanen setelah 8-10 hari.
REFERENSI
http://peluangusaha-oke.com/peluang-usaha-budidaya-cacing-sutra/ http://hobiikan.blogspot.com/2010/06/cara-pintar-budidaya-cacing-sutra.html http://www.kaskus.us/showthread.php?t=5659815

Friday, September 26, 2014

ARTEMIA DENGAN POLIKULTUR DENGAN PEMBUATAN GARAM

September 26, 2014 Posted by Media Penyuluhan Perikanan Pati No comments


Biologi Artemia Jenis Artemia
Artemia merupakan pakan alami penting untuk ikan dan udang, termasuk ikan hias. Artemia merupakan kelompok udang-udangan (Crustaceae) dari phylum Arthopoda, terdapat sekitar 50 strain (jenis).  Mereka berkerabat dekat dengan zooplankton lain seperti Copepode dan Daphnia (kutu air). Artemia hidup di danau-danau garam (berair asin) yang ada di seluruh dunia (Asia, China, Irak, Iran, Israel, Jepang, turki, Amerika: Great Salt Lake, Kanada, Australia).
Sista tertua Artemia pernah ditemukan oleh suatu perusahan pemboran yang bekerja disekitar Danau "Salt Great". Sista tersebut diduga berusia sekitar lebih dari 10.000 tahun (berdasarkan metoda "carbon dating"). Setelah diuji, ternyata sista-sista tersebut masih bisa menetas walaupun usianya telah lebih dari 10.000 tahun.
Artemia dapat hidup  dari kisaran 60 – 300 ppt (6°Be - 30°Be). Ukuran dewasa Artemia berkisar dari 10 – 20 mm, merupakan pemakan segalanya yang berukuran partikel dengan cara menyaringnya (filter feeder). Cara berkembang biak (reproduksi) dengan ovipar (bertelur) atau ovovivipar, yaitu pada ovipar telur menjadi sista ( telur Artemia terbungkus korion yang bersifat dorman, berdiameter 200 – 270 µm yang dapat hidup lama, sista menetas jika ada hidrasi dengan salinitas 30 - 35 ppt atau 3  -3,5°Be) dan ovovivipar telur segera menetas menjadi naupli.
Morfologi dan Siklus Hidup
Siklus hidup Artemia bisa dimulai dari saat menetasnya telur. Setelah 15 - 20 jam pada suhu 25°C telur akan menetas manjadi embrio. Dalam waktu beberapa jam embrio ini masih akan tetap menempel pada kulit telur. Pada fase ini embrio akan menyelesaikan perkembangannya kemudian berubah menjadi naupli yang sudah bisa berenang bebas. Pada awalnya naupli akan berwarna oranye kecoklatan akibat masih mengandung kuning telur. Artemia yang baru menetas tidak akan makan, karena mulut dan anusnya belum terbentuk dengan sempurna. Setelah 12 jam menetas mereka akan ganti kulit dan memasuki tahap larva kedua. Dalam fase ini mereka akan mulai makan, dengan pakan berupa mikro alga, bakteri, dan detritus organik lainnya. Pada dasarnya mereka tidak akan peduli (tidak pemilih) jenis pakan yang dikonsumsinya selama bahan tersebut tersedia di air dengan ukuran yang sesuai. Naupli akan berganti kulit sebanyak 15 kali sebelum menjadi dewasa dalam waktu 8 hari. Artemia dewasa rata-rata berukuran sekitar 8 mm, meskipun demikian pada kondisi yang tepat mereka dapat mencapai ukuran sampai dengan 20 mm. Pada kondisi demikian biomasnya akan mencapai 500 kali dibandingkan biomas pada fase naupli.
Dalam tingkat salinitas rendah dan dengan pakan yang optimal, betina Artemia bisa menghasilkan naupli sebanyak 75 ekor perhari. Selama masa hidupnya (sekitar 50 hari) mereka bisa memproduksi naupli rata-rata sebanyak 10 -11 kali. Dalam kondisi super ideal, Artemia dewasa bisa hidup selama 3 bulan dan memproduksi naupli atau sista sebanyak 300 ekor (butir) per 4 hari. Sista akan terbentuk apabila lingkungannya berubah menjadi sangat salin dan bahan pakan sangat kurang dengan fluktuasi oksigen sangat tinggi antara siang dan malam hari. Sista yang terbentuk ini dalam proses pengeringan (dehydration) yang tadinya berbentuk bulat akan berubah menjadi bentuk bola pingpong penyok.
Artemia dewasa toleran terhadap kisaran suhu -18°C hingga 40 °C. Sedangkan temperatur optimal untuk penetasan sista dan pertumbuhan adalah 25 °C - 30 °C. Meskipun demikian hal ini akan ditentukan oleh strain masing-masing. Artemia menghendaki kadar salinitas antara 30 - 35 ppt, dan mereka dapat hidup di dalam air tawar salama 5 jam sebelum akhirnya mati.
Variable lain yang penting adalah pH, cahaya dan oksigen. Kisaran pH 8-9 merupakan kisaran yang paling baik untuk pertumbuhan Artemia, sedangkan pH di bawah 5 atau lebih tinggi dari 10 dapat membunuh Artemia. Cahaya minimal diperlukan dalam proses penetasan dan akan sangat menguntungkan bagi pertumbuhan mereka. Lampu standar oksigen harus dijaga dengan baik untuk pertumbuhan Artemia. Dengan suplai oksigen yang baik, Artemia akan berwarna kuning atau merah jambu. Warna ini bisa berubah menjadi kehijauan apabila mereka banyak mengkonsumsi mikro algae. Pada kondisi yang ideal seperti ini, Artemia akan tumbuh dan berkembang biak dengan cepat.
Apabila kadar oksigen dalam air rendah, dan air banyak mengandung bahan organik, atau apabila salintas meningkat, Artemia akan memakan bakteria, detritus, dan sel-sel kamir (yeast). Pada kondisi demikian mereka akan memproduksi hemoglobin sehingga tampakÊ berwarna merah atau oranye. Apabila keadaan ini terus berlanjut mereka akan mulai memproduksi sista.
Kegunaan Dan Kebutuhan Artemia
Artemia memiliki kegunaan/manfaat yang sangat besar dalam budidaya perikanan baik perikanan darat maupun laut. Naupli Artemia sebagai pakan dari berbagai jenis ikan dan krustase (udang), dalam bentuk sista setiap saat siap pakai sebagai pakan larva ikan/krustase serta memiliki nilai protein yang sangat tinggi > 40 %.
Kegunaan Dalam Industri Perikanan
Artemia sangat dibutuhkan dalam usaha budidaya perikanan baik budidaya laut maupun budidaya tawar terutama dalam pembenihan ikan dan udang karena size Artemia cocok dengan size bukaan mulut larva ikan atau udang. Artemia memiliki nutrisi alami yang baik dan dapat disediakan dalam jumlah yang cukup, tepat waktu dan berkesinambungan melalui telur dorman/sista yang dapat diawetkan. Alasan lain penggunaan Naupli  bagi pembenihan Ikan dan Udang antara lain: Nilai gizi yang cukup tinggi, terutama golongan marine spesies;  ukuran relatif kecil; pergerakan Nauplii cukup lambat sehingga mudah ditangkap; dapat diperhitungkan jumlah kebutuhan naupli; mudah dikultur; menetas dalam waktu yang hampir bersamaan; dan dapat dipergunakan sebagai media boosting nutrien maupun antibiotik atau bioencapsulations (Bruggeman, E., Sorgeloos, P., and Vanhaecke, P. 1980).
Pembenihan ikan dan udang selama ini tidak pernah terlepas dari kebutuhan makanan alami, baik phytoplankton maupun zooplankton. Perkembangan larva saat endogenous relatif tidak membutuhkan makanan dikarenakan cadangan makanan masih tersedia dengan cukup dalam tubuh larva, namun pada saat stadium exogenous, makanan dari luar sangat  dibutuhkan dimana pada stadium ini merupakan titik kritis bagi kehidupan larva (Bruggeman, E., Sorgeloos, P., and Vanhaecke, P. 1980. Nauplii Artemia mulai dibutuhkan umumnya pada stadium lanjutan, seperti saat mencapai Post Larva (PL) untuk udang, dan begitu juga untuk ikan-ikan lain, teknologi pemeliharaan
Menurut Prihadi, dkk (2005) pemerintah mengembangkan tambak  udang seluas 380.355 ha,  baik melalui teknologi intensifikasi maupun ekstensifikasi.  Kebutuhan benur untuk memenuhi luasan tambak tersebut diperkirakan sebesar 55.240 milyar ekor, sehingga untuk menunjang pakan alami benur yang ditebar dibutuhkan sista Artemia sebanyak 398 ton.  Sampai saat ini kebutuhan Artemia dipenuhi dengan impor padahal kita memiliki teknologi dalam budidaya Artemia di lahan garam yang sudah dikembangkan sejak tahun 1980 an.
Pemecahan masalah tersebut  dapat diatasi dengan 1) mengembangkan usaha budidaya Artemia baik secara ekstensif maupun intensif di tambak-tambak garam maupun intensif di dalam bak, 2) memperbaiki teknik penanganan telur dan penetasannya dan 3) menyebarkan bibit Artemia di perairan yang memenuhi syarat tetapi belum ada Artemia-nya.
Pengembangan budidaya Artemia di Indonesia agaknya cukup strategis karena kebutuhan sista setiap tahunnya cukup tinggi baik untuk kegiatan pembenihan ikan/udang air laut dan air tawar.  Budidaya Artemia memang sangat memungkinkan dilakukan pada salinitas tinggi, karena pada salinitas rendah masih terlalu banyak predator, sehingga tidak mungkin dibudidayakan.  Sedikitnya Artemia dapat dikembangkan pada salinitas minimal 70 ppt.
Saat ini pengembangan budidaya Artemia merupakan momentum yang sangat tepat, dimana industri garam kurang menggairahkan karena harga jual yang rendah selain tataniaga yang belum memihak kepada petambak garam. Pada saat musim garam (tahun 2003) harga garam mencapai Rp. 50,- per kg, sementara produksi per 1,0 Ha unit garam maksimal menghasilkan 100 ton/tahun, sehingga harga produksi hanya mencapai 5 juta rupiah.  Karena tidak ada pilihan lain bagi petambak, maka produksi garam masih terus dilakukan walaupun memperoleh penghasilan yang sangat minim.
Harapan ke depan, dengan adanya kegiatan pengembangan budidaya Artemia-garam ini , ketersediaan sista maupun biomassa Artemia di dalam negeri dapat ditingkatkan, sehingga impor Artemia yang selama ini dilakukan dapat dikurangi dan harga Artemia di dalam negeri dapat ditekan sesuai dengan kemampuan daya beli masyarakat pembudidaya.
.Nilai Ekonomi Artemia
Mengingat kegunaan Artemia dalam industri hatchery perikanan sangat tinggi maka kebutuhan Artemia dalam pasar perikanan pun sangat bagus. Dengan sendirinya nilai ekonomi Artemia sangat bagus dimana semua yang dihasilkan dalam budidaya Artemia baik itu sista dan biomassa-nya termanfaatkan dan memiliki nilai ekonomi dalam industri perikanan dengan harga jual yang memuaskan.
Konstruksi tambak garam dan Artemia lebih baik menggunakan konstruksi tangga dengan memanfaatkan adanya aliran air berjalan secara alamiah (gravitasi) dikarenakan biaya lebih murah dengan tidak memerlukan pompa lagi dalam memindahkan air laut.
Prinsip dasar dari proses pembuatan garam yang dilakukan adalah menghasilkan garam yang kualitasnya lebih baik. Untuk itu, diperlukan studi lapangan yang menunjang kualitas garam dengan mendapatkan lokasi penggaraman yang ideal, antara lain kondisi lahan/tanah yang digunakan, kemiringan, uji laboratorium, termasuk kondisi iklim dan sebagainya, sehingga dihasilkan garam sesuai kualitas yang diharapkan. Syarat lokasi untuk konstruksi pembuatan tambak garam yang baik adalah sebagai berikut:
1.         Data iklim dan cuaca yang diperlukan yaitu :
®         Evaporasi / penguapan tinggi (rata-rata > 650 mm/tahun)
®         Kecepatan dan arah angin (>5 m/detik)
®         Suhu udara (>32C)
®         Penyinaran matahari (100%)
®         Kelembaban udara (<50 h="" span="">
®         Curah hujan (rendah yaitu antara 1000 -1300 mm/tahun atau 100 mm/bulan)
®         Musim kemarau panjang yang kering tanpa diselingi hari hujan, untuk menghasilkan produksi garam yang normal, diperlukan kemarau kering yang terus menerus atau jumlah hari tanpa hujan minimal 140 hari (14 dekade)
2.         Air laut sebagai air baku dalam pembuatan garam harus memenuhi persyaratan :
®         Kadar garam tinggi dan tidak tercampur aliran air dari muara sungai yang tawar
®         Jernih dan tidak tercampur dengan lumpur maupun sampah
®         Pada saat air laut pasang, mudah mengalir ke saluran dan petak penampungan sehingga tidak sulit untuk dipompa ke areal ladang garam
®         Kondisi pasang surut dan salinitas air laut. Diperlukan kondisi dengan beda pasang maksimum dan surut minimum sekecil mungkin dan salinitas air laut sebagai bahan baku garam antara 25  - 35 ppm.
3.         Struktur dan morfologi tanah untuk ladang garam : tanah harus kedap air, ketinggian maksimal 3 meter diatas permukaan rerata air laut dan harus cukup luas, sebaiknya untuk luas ladang garam perorangan antara 2 - 5 Ha, sedangkan perusahaan besar minimal 4000  Ha.
4.         Topografi:
®         Dikehendaki tanah yang landai atau kemiringan kecil.
®         Untuk mengatur tata aliran air dan meminimilisasi biaya konstruksi
5.         Sifat fisis tanah:
®         Permeabilitas rendah
Pasir    : Permeabilitas tinggi Tanah liat : Permeabilitas rendah Retak pada kelembaban rendah
Untuk peminihan tanah liat untuk penekanan resapan air (kebocoran) Untuk meja garamcampuran pasir dan tanah liat guna kualitas dan kuantitas hasil produksi
5. Saluran yang baik
Agar tanah pada kolam pengkristalan tetap keras dan tidak lembek (karena kontak langsung dengan air garam), maka pada kolam-kolam pengkristalan harus memiliki saluran-saluran pengumpul/pembuang larutan garam sisa. Sehingga kristalkristal garam yang telah terbentuk pada kolam-kolam pengkristalan tidak tercampur dengan air larutan garam sisa yang juga akan melembekkan lapisan tanah serta membuat permukaan kolam pengkristalan tidak rata.
   .         . Teknologi Budidaya Artemia Di Lahan Pegaraman
Teknologi budidaya Artemia di lahan pegaraman merupakan salah satu dari pemanfaatan pemodelan garam bermutu dengan teknik biofiltrasi dari Artemia itu sendiri. Artemia di inokulasi (menebar bibit Artemia hidup baik dalam stadia nauplii, Artemia muda maupun dewasa kedalam media/tambak garam) dalam petak peminihan (petak evaporasi) I dan diharapkan dipanen pada petak peminihan II, sehingga diharapkan air laut yang masuk kedalam petak kristalisasi sudah bersih dari mineral Mg, Ca dan lumpur yang dapat menghasilkan garam dengan kristal besar dan bersih. Untuk lebih jelasnya tahapan teknologi budidaya Artemia di lahan pegaraman.
Persyaratan Dan Pemilihan Lokasi
Persyaratan dan pemilihan lokasi pada budidaya Artemia dilahan pegaraman sama dengan pemilihan lokasi pada lahan pegaraman itu sendiri (dapat dilihat pada sub.bab 2.1 Konstruksi Tambak Garam). Disini budidaya Artemia merupakan suatu usaha terpadu dalam meningkatkan kualitas dan kuantitas mutu garam dengan produk samping Artemia yang memiliki nilai ekonomi tinggi. Secara umum persyaratan dan pemilihan 30 -40 cm, memiliki iklim seperti curah hujan rendah, suhu tinggi (sinar matahari), kelembaban rendah, angin kencang dan terjaga dari hewan dan tanaman pengganggu.
Sumber Artemia didapat dari pembelian sista Artemia dalam kaleng yang kemudian ditetaskan dalam wadah plastik sebagai bibit yang kemudian diinokulasi (ditebar) dalam petak peminihan I (petak evaporasi I).
Tahapan Budidaya
Persiapan Tambak Garam Untuk Artemia
Kriteria Pemilihan Lokasi Tambak untuk Pemeliharaan Artemia
1.         Tersedianya air laut dengan kadar salinitas yang tinggi.  Diperlukan sumber air dengan salinitas 70 ppt yang dapat diperoleh melalui proses penguapan tambak garam (tetapi air buangan dari petak kristalisasi tidak diperbolehkan untuk digunakan karena bersifat toksik bagi Artemia). 
2.         Kedalaman air yang cukup yaitu sekurangnya 30-40 cm untuk mencegah terjadinya peningkatan suhu air terlalu tinggi.
3.         Memungkinkan penambahan air secara teratur sekali dalam seminggu tanpa mengganggu pengoperasian proses produksi garam
4.         Struktur tambak tidak poros agar mampu mempertahankan salinitas dan kedalaman air
5.         Air yang digunakan tidak berasal dari sumber yang terkontaminasi atau tercemar termasuk diantaranya adalah pestisida pertanian
Penyiapan Tambak
1. Disain Tambak
Tambak harus memiliki kedalaman 40 cm atau lebih. Jika tambak yang ada dangkal maka harus digali untuk mendapatkan kedalaman yang cukup.
Memiliki struktur pemasukan air dapat berupa pintu air seperti pada tambak ikan ataupun dapat berupa pipa yang dipasang di pematang tambak.  Apapun, air harus dapat dimasukkan ke dalam tambak secara teratur.
Struktur tanah tambak tidak poros tetapi liat dan bukan pasir
2.         Pemasukan Air (Water Intake)
Inokulasi naupli Artemia hanya dilakukan ketika salinitas air mencapai 100-110 ppt.  Sumber air dapat berasal dari penguapan air tambak garam.  Untuk menghemat salinitas awal sebaiknya tidak kurang dari 70-80 ppt.  Air masuk ke tambak Artemia harus disaring dengan saringan dengan ukuran mesh tidak lebih besar dari 1 mm untuk mencegah masuknya ikan predator atau larva ikan yang dapat tumbuh besar di dalam tambak.
3.         Pemupukan
Pada saat inokulasi, makanan untuk naupli Artemia sudah harus tersedia agar kelangsungan hidup Artemia terjamin.  Jika tingkat kekeruhan air 40 cm atau lebih tinggi, tambak harus dipupuk agar phytoplankton dapat tumbuh lebih baik.
Persiapan tambak garam-Artemia sama dengan persiapan pada lahan tambak garam dimana pemanfaatan untuk budidaya Artemia dipergunakan adalah petak evaporasi I dan II (petak peminihan I dan II) sedangkan untuk kultur plankton dapat dilakukan pada waduk (bozeem) yang digunakan sebagai pakan Artemia atau penambahan bungkil kelapa atau dedak.
Persiapan / Perbaikan Tambak yang dapat dilakukan antara lain adalah:
Pemadatan dan perbaikan pematang keliling dengan konstruksi kemiringan pematang 30º, menghindari kebocoran dengan membuat saluran irigasi
Pengeringan dasar tanah (selama 1 – 3 minggu) Pengapuran (200 – 700 kg/Ha)
Pemupukan: Pupuk kandang (300 – 1000 kg/Ha), Urea (100 – 500 kg/Ha) dan TSP (50 – 200 kg/Ha) Pembasmian hama (saponin/brestan 5 – 30 mg/L)
Inokulasi Artemia
Sebelum inokulasi Artemia dilakukan di lahan garam, sista sebagai bibit harus didekapsulisasi dan ditetaskan dalam wadah plastik (Gambar 23 dan 24).
Dekapsulisasi merupakan suatu proses untuk menghilangkan lapisan terluar dari sista Artemia yang "keras" (korion). Proses ini setidaknya akan mempermudah "bayi" Artemia untuk keluar dari "sarang"nya. Disamping itu proses ini juga sekaligus merupakan proses disinfeksi terhadap kontaminan seperti bakteri, jamur.
Untuk ilustrasi cara melakukan dekapsulisasi sista Artemia sebanyak 5 gram adalah: Rendam 5 g sista Artemia (kurang lebih 1.5 sendok teh) dalam 400 ml air tawar, beri aerasi, dan biarkan selama 1-2 jam, hingga sista tersebut mengalami hidrasi dengan baik. Hal ini ditandai dengan bentuk sista yang sudah membentuk bulatan sempurna. Kemudian tambahkan larutan pemutih sebanyak 27 ml. Penambahan pemutih akan menyebabkan sista berubah warna menjadi coklat kemudian manjadi putih dalam waktu kurang lebih 2 menit. Selanjutnya dalam 5-7 menit sista akan berubah warna menjadi oranye. Apabila 95% sista telah berwarna oranye hentikan reaksi; kemudian segera cuci dengan air bersih sampai bau klorin hilang. Sista sekarang siap ditetaskan atau bisa disimpan dalam kulkas untuk selama 1 minggu. Apabila akan disimpan lebih lama, sista perlu didehidrasi kembali dengan menggunakan larutan garam 30%. Setelah didehidrasi, sista dapat disimpan dalam kulkas untuk selama 2-3 bulan.
Setelah didekapsulisasi sista Artemia siap ditetaskan. Sista Artemia dapat ditetaskan secara optimal, apabila syarat-syarat yang diperlukannya dapat dipenuhi. Beberapa syarat tersebut adalah:
Salinitas antara 20-30 ppt (2-3 °Be) atau 1-2 sendok teh garam per liter air tawar bisa ditambahkan Magnesium Sulfat (konsentrasi 20 %) atau 1/2 sendok teh per liter air.
Suhu air 26 - 28 °C. Disarankan untuk memberikan sinar selama penetasan untuk merangsang/mempercepat proses penetasan.
Aerasi yang cukup, untuk menjaga oksigen terlarut sekitar 3 ppm pH 8.0 atau lebih, apabila pH drop dibawah 7.0 dapat ditambahkan soda kue untuk menaikkan pH.
Kepadatan sekitar 2 gram per liter. Sebelumnya dapat dilakukan proses dekapsulisasi untuk melunakan cangkang.
Penetasan Sista
Persiapan wadah penetasan yaitu bak plastik/fiber 50 – 300 L Aerasi menggunakan blower 25 -50 watt Media penetesan bersalinitas 26 – 30 ppt
Suhu media 26 – 32 ºC
Kepadatan penetasan sista antara 1500 – 2000 mg/L Periode penetasan antara 18 -24 jam
Kepadatan penebaran antara 100 -300 nauplius/L
Setelah ditetaskan Artemia dapat diinokulasi dalam petak peminihan I (petak evaporasi I) dan dipelihara dari gangguan hewan dan pemantauan dalam salinitas baik untuk Artemia juga untuk garam sebagai hasil utama dari usaha ini.
Manajemen Budidaya dan Produksi Artemia .Manajemen Budidaya Artemia
Dalam manajemen budidaya Artemia pada tambak garam tahapan yang dilakukan dapat dilihat pada Gambar 25 dan Gambar 26 Manajemen tambak sangat menentukan dalam pemeliharaan Artemia.  Beberapa tahapan manajemen tambak dalam pemeliharaan Artemia meliputi tahap persiapan, tahap pertumbuhan, tahap ovovivipar, tahap peningkatan salinitas dan tahap ovipar.
Tahap persiapan
®         Isi tambak dengan air laut dengan salinitas tinggi dan biarkan mengalami penguapan
®         Tambak telah siap mencapai salinitas 100 – 110 ppt dengan kedalaman air sekitar 30-40 cm dan tidak ada lagi predator
®         Jika makanan dalam air dirasa tidak cukup perlu dilakukan pemupukan.
®         Laksanakan inokulasi naupli Artemia ke dalam tambak
Tahap Pertumbuhan
Pertahankan salinitas pada kisaran salinitas 110-120 ppt melalui pemasukan air baru sehingga memungkinkan naupli Artemia yang diinokulasikan tumbuh menjadi dewasa
Tahap Ovovivipar
Salinitas masih tetap dipertahankan 110 -120 ppt hingga populasi Artemia dewasa bertambah melalui reproduksi ovovivipar.  Agar dapat mencapai kondisi optimal, densitas Artemia harus dapat mencapai 40 individu atau lebih per liter.
Tahap Peningkatan Salinitas
Salinitas air tambak ditingkatkan hingga mencapai 150 ppt melalui penguapan, tetapi kedalaman air tetap dipertahankan.
Tahap Ovipar
Pertahankan salinitas pada tingkat 150 ppt melalui penambahan air secara teratur.  Salinitas yang lebih tinggi akan merangsang terjadinya reproduksi ovipar sehingga sebagian besar populasi akan menghasilkan sista.  Pertahankan pada kondisi ini sepanjang cuaca memungkinkan, dan terus dilakukan pemanenan sista 
Beberapa catatan penting dalam manajemen tambak diantaranya adalah:
1)         melakukan pemeriksaan secara teratur kedalaman air tambak dan suhu air maksimum.  Kedalaman air tidak boleh kurang dari 30 cm dan suhu air harus lebih rendah dari 38°C;
2)         jika air tambak kurang subur perlu dilakukan pemupukan menggunakan pupuk anorganik ataupun pupuk organik.
Semua tahapan-tahapan yang dilakukan dalam skema Gambar 25 dan 26  harus dapat diatur dengan sebaiknya sehingga pemanenan yang dihasilkan baik
Produksi Dan Pemanenan Sista Artemia
Setelah diinokulasi dalam lahan garam pemeliharaan dilakukan dengan pemberian makanan tambahan dapat berupa bungkil kedelai, dedak, ampas tahu, bungkil kelapa, tepung terigu, tepung ikan, dll. Frekuensi waktu pemberian pakan adalah 1 - 4 kali/hari dengan dosis pemberian pakan adalah   1- 10 kg/Ha.
Artemia dalam waktu 3 – 4 minggu telah bertelur dimana tiap induk
Artemia akan menghasilkan 30 – 70 buah sista/nauplius dengan siklus reproduksi adalah antara 7 – 10 hari.
Sista yang telah keluar dari lapisan pembungkusnya (yolk suck) akan mengapung di sudut tambak. Pemanenan dilakukan setiap hari yaitu pada pagi dan sore hari. Pemanenan sista dilakukan dengan gayung dan dimasukkan dalam saringan bertingkat (250µm, 200 µm, 150 µm). Penanganan paska panen untuk sista dicuci hingga bersih dengan air bersalinitas antara 80 – 150 ppt. Sista bersih disimpan/direndam dalam larutan garam bersalinitas 150 – 250 ppt dan kualitas sista dapat bertahan dalam waktu 6 – 12 bulan  disebut dengan nama penyimpanan basah.
Sedangkan penyimpanan kering adalah dengan cara sista direndam air tawar selama 5 – 15 menit, cangkang yang mengapung dibersihkan, kemudian dipindahkan ke larutan garam 150 -250 ppt dan dibersihkan kembali sisa partikel-partikel kotoran lainnya yang tenggelam, dilakukan 3 kali pencucian ulang. Sista bersih siap dikeringkan dan dikemas vacuum, penyimpanan dengan cara ini dapat tahan sampai 3 tahun.
Produksi sista diperkirakan untuk luas tambak 1 ha produksi sista setiap siklusnya (7 – 10 hari)  adalah 50 -125 kg dengan nilai dalam rupiah 20 juta sampai 50 juta (Amarullah dan Sriyanto, 2006).
.Produksi Dan Pemanenan Biomassa Artemia
Selain sista yang dipanen juga dilakukan  panen biomass dengan menggunakan seser. Biomassa Artemia ini dapat langsung digunakan sebagai pakan dari juvenil ikan/udang atau ikan hias dan lainnya atau dapat dibuat flake Artemia yang pemanfaatannya dapat tahan lebih lama.
Perdagangan garam di Indonesia sampai saat ini masih sebagian besar impor dikarenakan produksi garam nasional tidak dapat memenuhi kebutuhan garam nasional. Garam impor untuk memenuhi kebutuhan industri sedangkan garam konsumsi dapat dipenuhi dari produksi garam lokal bahkan ada kecenderungan over stock saat ini karena merembesnya garam impor ke garam konsumsi sehingga mengganggu harga pasar garam konsumsi (Sungkowo, 2006). Pusat sentra garam di Indonesia adalah Jawa Timur dan Madura hal ini terlihat dalam Gambar 29 tentang jalur distribusi garam di Indonesia.
Pasar Produk Artemia
Produk Artemia yang dihasilkan adalah sista Artemia dan biomassanya. Semua itu sangat penting dalam pemanfaatannya dalam industri perikanan yang merupakan pakan dari benur atau larva serta anak ikan dari berbagai budidaya perikanan. Diketahui pada tahun 2003 menurut Prihadi, dkk 2005 bahwa pada tahun 2003 diperlukan 398 ton sista Artemia untuk 55,24 milyar ekor benur di tambak seluas 380.355  ha.
Kebutuhan Artemia sangat tinggi dari budidaya laut saja, yang selama ini dipenuhi dari impor, sehingga pasar produk Artemia masih terbuka sangat luas.
DAFTAR PUSTAKA
Abu dan kawan-kawan. 2002. Buku Panduan Pembuatan Garam Bermutu. Pusat Riset Wilayah Laut dan Sumberdaya Non Hayati. BRKP. Jakarta
Adisukresno, A. 1983. Mengenal Artemia. Balai Budidaya Air Payau, Jepara. 83 hlm.
Amarullah, Husni dan Sriyanto, B. 2006. Teknologi Garam-Artemia dan Produk
Terkait Lainnya. Badan pengkajian dan penerapan Teknologi. Makalah Workshop Masa Depan Industri Garam di Indonesia
Anand, T. 1979. Cyst Production Of Artemia salina In Salt Ponds In Thailand. National Freshwater Prawn Research and Training Centre Inland Fiseries Division, Departement of Fisheries Ministry of Agriculture and Cooperatives, Thailand.
Anonim. 1990. Basic Chemical Industries of Indonesia. The Federation of Basic Chemical Industries of Indonesia. Jakarta.
Anonim. 1993. Sodium Chloride dalam Chemical Index.
Anonim. Methods of Salt Production.
Anonim. Scientific Properties of Salt.
Anonim. The Salt Manufacturers’ Association. Manchester. United Kingdom.
APROGAKOP. 2000. Posisi Indonesia dan Pengaruh terhadap Industri di Indonesia. Departemen Kelautan dan Perikanan.
Baert, B., Bostels, P., And Sorgeloos, P. 1996. Pond Production on Manual on Production and Use of Live Food of Aquaculture. FAO Fisheries Technical Paper 361 , Rome.
Bagsaw, J. 1980. Biochemistry of Artemia Development Report on Symposium Held In Toronto (Canada) In July 1979. The Brine Shirmp Artemia : Universa Press, Wetteren, Belgium. (3).
BBAP, 1996. Pengembangan Usaha Produksi Kista Artemia Oleh Petambak Garam Di Madura. Balai Budidaya Air Payau, Direktorat Jendral Perikanan, Jepara.
Bossuyt, E., and Sorgeloos, P. 1980. Technological Aspects Of The Batch Culturing Of Artemia in High Desities. The Brine Shirmp Artemia Universa Press. Vol. 3. Ecology, Aquaculture. Use in Culturing.
Bruggeman, E., Sorgeloos, P., and Vanhaecke, P. 1980. Improvments In The
Decapsulation Technique Of Artemia Cyst. The Brine Shirmp Artemia : Universa Press, Wetteren, Belgium. (3), pp. 262-268.
Cholik, F., dan Daulay, T. 1985.  Artemia Salina (Kegunaan, Biologi dan Kulturnya). Indonesia Fisheries Information System (12) : 26 hlm.
Daulay, T., dan Haniah, S. 1980. Kemungkinan Pemeliharaan Artemia sp di Kolam atau Tambak di Indonesia. Buletin Penelitian Perikanan. Majalah Ilmiah Perikanan Indonesia.
Dhont, J., and Lavens, P. 1986. Tank Production and Use Of ongrown Artemia. Laboratory of aquaculture and Artemia Reference Center. University Of Gent, BelgiumDirektorat Bina Pasar Dalam Negeri.
Deperindag. 2000. Perdagangan Garam di Indonesia. Departemen Kelautan dan Perikanan.
Direktorat Industri Kimia An Organik. Deperindag. 2000. Pertumbuhan Permintaan dan Penyediaan Garam serta Kebijaksanaan Penanganan Garam di Indonesia. Departemen Kelautan dan Perikanan.
Hernanto, B. 2006. Standar Kualitas Garam dan Produk Turunannya. Direktorat
Industri Kimia An Organik. Departemen Perindustrian. Makalah Workshop Masa Depan Industri Garam di Indonesia
Joko Wilarso. 1995. Peningkatan teknologi proses pengolahan garam rakyat menjadi garam industri dengan tenaga surya. Balai Penelitian dan Pengembangan Industri. Semarang.
Kontara, Mintardjo, Sumeru, dan Ranoemihardjo. 1987. Teknik Budidaya Artemia (Culture of Live Organisms with Special Reference to Artemia Culture). INFIS, Jakarta.
Lavens P., Baert P., Sorgeloos, P., dan Smets, J. 1985. New Development In The High Density Flo-throgh Culturing Of Brine Shirmp Artemia. Paper at 16th Annual Meeting Of The World Marinculture Society, Orlando, Florida. Hlm. 1-9.
Mai Soni, A.F., 1986.  Budidaya Artemia di Tambak Garam, Kabupaten Sampang,
Madura.  Balai Budidaya Air Payau Jepara. 15 p
Mai Soni, A.F., 2003.  Budidaya Artemia di Tambak Garam. Laporan Tahunan 2003. Balai Besar Pengembangan Budidaya Air Payau Jepara. 11 hal.
K.M. Mackay and R. Ann Mackay. 1974. Modern Inorganic Chemistry. Intertext Books. London.
Kerry Mgruder. Halite. Guidelines for Rock Collection.
Mukidjan, R.S. 2006. Kebijakan Ditjen Perdagangan Dalam Negeri di Bidang Bina Pasar dan Distribusi. Direktorat Bina Pasar Dalam Negeri. Departemen Perdagangan, RI. Makalah Workshop Masa Depan Industri Garam di Indonesia
Persoone, G. and Sorgeloos, P. 1980. General Aspects of ecology and biogeography of artemia. The Brine Shirmp Artemia : Universa Press, Wetteren, Belgium. (3), pp. 3-21.
Santos, C., Sorgeloos, P., Lavina, E., and Bernardino, A. 1980. Succesfull Inoculation of Artemia and Production Cyst in Philippines.. The Brine Shirmp Artemia : Universa Press, Wetteren, Belgium. (3), pp. 159-163.
Prihadi, dkk. 2005. Sistem Teknologi Budidaya Artemia di Tambak Garam di Indonesia. Presentasi
Proyek Penelitian Pertanian Menunjang Transmigrasi. 1980. Team of Reference. Type A. Publikasi LP. Tanah. Bogor.     
PT. Garam. 2000. Teknologi Pembuatan dan Kendala Produksi Garam di Indonesia. Departemen Kelautan dan Perikanan.
PT. Industri Soda Indonesia. 2000. Garam Produksi. Departemen Kelautan dan Perikanan.
Riley and Chester. 1971. Introduction to Marine Chemistry. Academic Press. London.
Riley and Skirrow. 1975. Chemical Oceanograpy. Academic Press. London.
Soil Survey Staff. 1975. Soil Taxonomy. A Basic System of Soil Classification for Making and Interfreting Soil Surveys USDA. Hand Book No.436.
Sungkowo, WB. 2006. Garam.  PT. Garam , Persero. Makalah Workshop Masa Depan Industri Garam di Indonesia
Syahfiri dkk (Editors). 1990. Basic Chemical Industries of Indonesia. The Federation of Basic Chemical Industries of Indonesia. Jakarta.
Wahyuadi, IGK. 2005. Manfaat, Distribusi dan Produksi Artemia Lokal. Dalam Temu Nasional Perbenihan Perikanan, Jepara 6-8 Desember 2005. Dirjen Perikanan Budidaya. Jawa Tengah.
Wahyuadi, IGK dan Agung Sudaryono. 2005. Inovasi Budidaya Artemia. Pusat Riset Perikanan Budiodaya. BRKP.
Welch, P.S. 1952. Limnology. Second Edition. New York. Toronto. London. McGrawHill, Book Company, Inc.