Sunday, March 30, 2014

STRATEGI DAYA SAING PRODUK PERIKANAN MENUJU PASAR BEBAS ASEAN

March 30, 2014 Posted by Media Penyuluhan Perikanan Pati No comments
Pertumbuhan ekonomi adalah proses perubahan kondisi perekonomian suatu negara secara berkesinambungan menuju keadaan yang lebih baik selama periode tertentu. Pertumbuhan ekonomi dapat diartikan juga sebagai proses kenaikan kapasitas produksi suatu perekonomian yang diwujudkan dalam bentuk kenaikan pendapatan nasional. Adanya pertumbuhan ekonomi merupakan indikasi keberhasilan pembangunan ekonomi. Dalam menghadapi pasar bebas ASEAN pada era pasar bebas regional dan menuju pasar bebas internasional, perlu dilakukan langkah-langkah untuk meningkatkan daya saing produk perikanan, diantaranya: (1) pengembangan upaya-upaya dalam rangka mempertahankan dan meningkatkan produksi baik dari segi kuantitas maupun kualitas; (2) peningkatan produksi dan daya saing produk perikanan yang diikuti dengan standar kualitas produk sekaligus peningkatan efisiensi usaha perikanan; (3) penyesuaian, persiapan dan perbaikan regulasi baik secara kolektif maupun individual (reformasi regulasi); (4) peningkatan kualitas sumber daya manusia baik dalam birokrasi maupun dunia usaha ataupun professional; (5) penguatan posisi usaha skala menegah, kecil, dan usaha pada umumnya; (6) penguatan kemitraan antara publik dan sektor swasta; (7) penciptaan iklim usaha yang kondusif dan mengurangi ekonomi biaya tinggi; (8) pengembangan sektor-sektor prioritas yang berdampak luas dan komoditi unggulan; (9) penyediaan kelembagaan dan permodalan yang mudah diakses oleh pelaku usaha perikanan dari berbagai skala; dan (10) perbaikan dukungan infrastruktur, transportasi atau logistik, perangkat hukum, penyediaan energi, dan pengembangan industri terpadu.
Kata kunci: pertumbuhan ekonomi, daya saing produk perikanan, pasar bebas ASEAN 
PENDAHULUAN
Pertumbuhan ekonomi adalah proses perubahan kondisi perekonomian suatu negara secara berkesinambungan menuju keadaan yang lebih baik selama periode tertentu. Pertumbuhan ekonomi dapat diartikan juga sebagai proses kenaikan kapasitas produksi suatu perekonomian yang diwujudkan dalam bentuk kenaikan pendapatan nasional. Adanya pertumbuhan ekonomi merupakan indikasi keberhasilan pembangunan ekonomi.
Pada tahun 1960-an kondisi perekonomian Indonesia, Malaysia, Taiwan, Korea dan China tidak jauh berbeda, namun pada tahun 2013 telah terdapat kesenjangan pendapatan per kapita yang tinggi antar negara tersebut. Seiring dengan berjalannya waktu pendapatan per kapita penduduk Indonesia menduduki peringkat terendah. Berdasarkan latar belakang tersebut perlu dilakukan pengkajian mengenai: faktor penyebab kesenjangan pertumbuhan ekonomi antar negara, dan cara mengejar ketertinggalan pertumbuhan ekonomi Indonesia, serta upaya-upaya peningkatan daya saing produk perikanan menuju pasar bebas ASEAN.
PERMASALAHAN
Permasalahan yang akan dikaji dalam makalah ini adalah sebagai berikut:
1. Apa yang menjadi penyebab kesenjangan pertumbuhan antar negara?
2. Jelaskan mengapa pertumbuhan ekonomi Indonesia lebih lambat dari negara ASEAN lainnya?
3. Bagaimana cara mengejar ketertinggalan pertumbuhan ekonomi Indonesia?
4. Bagaimana daya saing produk perikanan menuju pasar bebas ASEAN?
LANDASAN TEORI
Teori Pertumbukan Ekonomi Klasik
Menurut Sadono Sukirno (2005): Pandangan Adam Smith Adam Smith merupakan ahli ekonomi yang pertama kali mengemukakan kebijksanaan laissez-faire, dan merupakan ahli ekonomi yang banyak berfokus pada permasalahan pembangunan. Inti dari proses pertumbuhan ekonomi menurut Smith dibagi menjadi dua aspek utama yaitu pertumbuhan output total dan pertumbuhan penduduk.
Mengenai peranan penduduk dalam pembangunan ekonomi, Smith berpendapat bahwa perkembangan penduduk akan mendorong pembangunan ekonomi. Penduduk yang bertambah akan memperluas pasar, maka akan meningkatkan spesialisasi dalam perekonomian tersebut. Perkembangan spesialisasi dan pembagian kerja akan mempercepat proses pembangunan ekonomi karena adanya spesialisasi akan meningkatkan produktivitas tenaga kerja dan mendorong perkembangan teknologi.
Sedangkan pandangan David Ricardo mengenai proses pertumbuhan ekonomi tidak jauh berbeda dengan pendapat Adam Smith yang berfokus pada laju pertumbuhan penduduk dan pertumbuhan output. Selain itu Ricardo juga mengungkapkan adanya keterbatasan faktor produksi tanah yang bersifat tetap sehingga akan menghambat proses pertumbuhan ekonomi. Proses pertumbuhan ekonomi menurut David Ricardo dalam buku Sadono Sukirno (2005) yaitu:
1. Pada permulaannya jumlah penduduk rendah dan kekayaan alam masih melimpah sehingga para pengusaha memperoleh keuntungan yang tinggi. Karena pembentukan modal tergantung pada keuntungan, maka laba yang tinggi tersebut akan diikuti dengan pembentukan modal yang tinggi pula. Pada tahap ini maka akan terjadi kenaikan produksi dan peningkatan permintaan tenaga kerja.
2. Pada tahapan kedua, karena jumlah tenaga kerja diperkerjakan bertambah, maka upah akan naik dan kenaikan upah tersebut akan mendorong pertambahan penduduk. Karena luas tanah tetap, maka makin lama tanah yang digunakan mutunya akan semakin rendah. Akibatnya, setiap tambahan hasil yang diciptakan oleh masingmasing pekerja akan semakin berkurang. Dengan semakin terbatasnya jumlah tanah yang dibutuhkan, maka harga sewa lahan akan semakin tinggi. Hal ini akan mengurangi keuntungan pengusaha yang menyebabkan pengusaha tersebut mengurangi pembentukan modal dan menurunkan permintaan tenaga kerja yang berakibat pada turunnya tingkat upah.
3. Tahap ketiga ditandai dengan menurunnya tingkat upah dan pada akhirnya akan berada pada tingkat minimal. Pada tingkat ini, perekonomian akan mencapai stationary state. Pembentukan modal baru tidak akan terjadi lagi karena sewa tanah yang sangat tinggi menyebabkan pengusaha tidak memperoleh keuntungan.
Menurut Teori Pertumbuhan Ekonomi Klasik, pertumbuhan ekonomi bergantung pada faktor-faktor produksi (Sadono Sukirno, 2005).
Persamaannya adalah :
Y = f(K, L, R, T)
Y = tingkat pertumbuhan ekonomi
K = jumlah barang modal yang tersedia dan digunakan
L = jumlah dan kualitas tenaga kerja yang digunakan
R = jumlah dan jenis kekayaan yang digunakan
T = tingkat teknologi yang digunakan
Pandangan Robert Malthus  dalam teorinya, Malthus mengemukakan penduduk akan mempengaruhi tingkat pertumbuhan ekonomi dimana pertambahan penduduk meningkat secara deret ukur sedangkan pertambahan bahan makanan meningkat secara deret hitung. Seperti halnya David Ricardo, Malthus berbeda pendapat dengan Smith yang belum menyadari hukum hasil yang semakin berkurang, perkembangan penduduk akan mendorong pembangunan ekonomi karena dapat memperluas pasar.
Sedangkan Ricardo dan Malthus, perkembangan penduduk yang berjalan dengan cepat akan memperbesar jumlah hingga menjadi dua kali lipat dalam satu generasi sehingga dapat menurunkan kembali tingkat pembangunan ekonomi ke taraf yang lebih rendah. Pada tingkat ini, pekerja akan menerima upah yang sangat minim atau upah subsisten (Sadono Sukirno, 2005).
Teori Pertumbuhan Ekonomi Menurut Neoklasik
Teori ini dikembangkan oleh Robert M. Solow (1970) dan T.W Swan (1956). Model Solow-Swan menggunakan unsur pertumbuhan penduduk, akumulasi kapital, kemajuan teknologi dan besarnya output yang saling berinteraksi. Teori ini menggunakan model fungsi produksi yang memungkinkan adanya subtitusi antara kapital dan tenaga kerja. Hal ini memungkinkan fleksibilitas dalam rasio modal output dan rasio modal-tenaga kerja. Teori Solow- Swan melihat bahwa dalam banyak hal mekanisme pasar dapat menciptakan keseimbangan sehingga campur tangan pemerintah tidak diperlukan. Campur tangan pemerintah hanya sebatas pada kebjakan fiskal dan moneter (Tarigan, 2005).
Dalam hal ini, peranan teori ekonomi Neo Klasik tidak terlalu besar dalam menganalisis pembangunan daerah karena teori ini tidak memiliki dimensi spasial yang diinginkan. Namun,demikian, teori ini memberikan dua konsep pokok dalam pembangunan ekonomi daerah yaitu keseimbangan dan mobilitas faktor produksi. Artinya sistem perekonomian akan mencapai keseimbangan alamiahnya jika modal bisa mengatur tanpa pembatasan. Oleh karena itu, modal akan mengalir dari daerah yang berupah tinggi menuju ke daerah yang berupah rendah (Arsyad, 1999).
Dalam bentuknya yang lebih formal, model pertumbuhan Neo Klasik Solow memakai fungsi agregat standar (Todaro dan Stepehen C. Smith, 2006) :
Y = Produk Domestik Bruto
K = stok modal fisik dan modal manusia
L = tenaga kerja non terampil
A = konstanta yang merefleksikan tingkatan tekonologi dasar
eµt = melambangkan tingkat kemajuan teknologi
a   = melambangkann elastisitas output terhadap model, yaitu persentase kenaikan PDB  yang bersumber dari 1% penambahan modal fisik dan modal manusia.
Menurut teori pertumbuhan Neo Klasik Tradisional, pertumbuhan output selalu bersumber dari satu atau lebih dari 3 (tiga) faktor yaitu kenaikan kualitas dan kuantitas tenaga kerja, penambahan modal (tabungan dan investasi) dan penyempurnaan teknologi (Todaro dan Stepehen C. Smith, 2006).
Teori Pertumbuhan Baru (New Growth Theory). 
Teori ini memberikan kerangka teoritis untuk menganalisis pertumbuhan yang bersifat endogen. Pertumbuhan ekonomi merupakan hasil dari dalam sistem ekonomi. Teori ini menganggap bahwa pertumbuhan ekonomi lebih ditentukan oleh sistem produksi, bukan berasal dari luar sistem. Kemajuan bidang teknologi merupakan hal yang endogen, pertumbuhan merupakan bagian dari keputusan dalam pendapatan apabila modal yang tumbuh bukan hanya modal fisik saja tapi menyangkut modal manusia.
Akumulasi modal merupakan sumber utama pertumbuhan ekonomi. Definisi modal/kapital diperluas dengan mamasukan model ilmu pengetahuan dan modal sumber daya manusia. Perubahan teknologi bukan sesuatu yang berasal dari luar model atau endogen tapi teknologi merupakan dari proses pertumbuhan ekonomi. Dalam teori pertumbuhan endogen, peran investasi dalam modal fisik dan modal manusia turut menentukan pertumbuhan ekonomi jangka panjang. Tabungan dan investasi dapat mendorong pertumbuhan ekonomi yang berkesinambungan (Mankiw, 2003).
PEMBAHASAN
Faktor Penyebab Kesenjangan Pertumbuhan Antar Negara
Beberapa faktor yang menyebab kesenjangan pertumbuhan antar negara, diantaranya adalah: (1) kesenjangan kemiskinan, (2) kondisi fisik geografis Indonesia yang luas dan kurang lancarnya mobilisasi barang dan jasa, (3) jebakan fiskal, (4) kurang meratanya pembangunan, (5) hambatan budaya, (6) geopolitik, (7) kurangnya inovasi, dan (8) jebakan demografi (perbedaan tingkat pertumbuhan dan struktur kependudukan, perbedaan tingkat pendidikan dan kesehatan, perbedaan kondisi ketenagakerjaan). Faktor-faktor tersebut sejalan dengan pendapat Sjafrizal (2012) dan Arsyad (1999).
Menurut Sjafrizal (2012): Beberapa faktor utama yang menyebabkan terjadinya ketimpangan antar wilayah menurut Sjafrizal (2012) yaitu :
1. Perbedaan kandungan sumber daya alam. Perbedaan kandungan sumber daya alam akan mempengaruhi kegiatan produksi pada daerah bersangkutan. Daerah dengan kandungan sumber daya alam cukup tinggi akan dapat memproduksi barang-barang tertentu dengan biaya relatif murah dibandingkan dengan daerah lain yang mempunyai kandungan sumber daya alam lebih rendah. Kondisi ini mendorong pertumbuhan ekonomi daerah bersangkutan menjadi lebih cepat. Sedangkan daerah lain yang mempunyai kandungan sumber daya alam lebih kecil hanya akan dapat memproduksi barang-barang dengan biaya produksi lebih tinggi sehingga daya saingnya menjadi lemah. Kondisi tersebut menyebabkan daerah bersangkutan cenderung mempunyai pertumbuhan ekonomi yang lebih lambat.
2. Perbedaan kondisi demografis. Perbedaan kondisi demografis meliputi perbedaan tingkat pertumbuhan dan struktur kependudukan, perbedaan tingkat pendidikan dan kesehatan, perbedaan kondisi ketenagakerjaan dan perbedaan dalam tingkah laku dan kebiasaan serta etos kerja yang dimiliki masyarakat daerah bersangkutan. Kondisi demografis akan berpengaruh terhadap produktivitas kerja masyarakat setempat. Daerah dengan kondisi demografis yang baik akan cenderung mempunyai produktivitas kerja yang lebih tinggi sehingga hal ini akan mendorong peningkatan investasi yang selanjutnya akan meningkatkan penyediaan lapangan kerja dan pertumbuhan ekonomi daerah tersebut.
3. Kurang lancarnya mobilitas barang dan jasa. Mobilitas barang dan jasa meliputi kegiatan perdagangan antar daerah dan migrasi baik yang disponsori pemerintah (transmigrasi) atau migrasi spontan. Alasannya adalah apabila mobilitas kurang lancar maka kelebihan produksi suatu daerah tidak dapat di jual ke daerah lain yang membutuhkan. Akibatnya adalah ketimpangan pembangunan antar wilayah akan cenderung tinggi, sehingga daerah terbelakang sulit mendorong proses pembangunannya.
4. Konsentrasi kegiatan ekonomi wilayah. Pertumbuhan ekonomi akan cenderung lebih cepat pada suatu daerah dimana konsentrasi kegiatan ekonominya cukup besar. Kondisi inilah yang selanjutnya akan mendorong proses pembangunan daerah melalui peningkatan penyediaan lapangan kerja dan tingkat pendapatan masyarakat.
5. Alokasi dana pembangunan antar wilayah. Alokasi dana ini bisa berasal dari pemerintah maupun swasta. Pada sistem pemerintahan otonomi maka dana pemerintah akan lebih banyak dialokasikan ke daerah sehingga ketimpangan pembangunan antar wilayah akan cenderung lebih rendah. Untuk investasi swasta lebih banyak ditentukan oleh kekuatan pasar. Dimana keuntungan lokasi yang dimiliki oleh suatu daerah merupakan kekuatan yang berperan banyak dalam menark investasi swasta. Keuntungan lokasi ditentukan oleh biaya transpor baik bahan baku dan hasil produksi yang harus dikeluarkan pengusaha, perbedaan upah buruh, konsentrasi pasar, tingkat persaingan usaha dan sewa tanah. Oleh karena itu investai akan cenderung lebih banyak di daerah perkotaan dibandingkan dengan daerah pedesaan.
Menurut Adelman dan Morris (1973) dalam Arsyad (1999) mengemukakan 8 faktor yang menyebabkan ketidakmerataan distribusi pendapatan di negara-negara sedang berkembang, yaitu:
1. Pertambahan penduduk yang tinggi yang mengakibatkan menurunnya pendapatan per kapita;
2. Inflasi di mana pendapatan uang bertambah tetapi tidak diikuti secara proporsional dengan pertambahan produksi barang-barang;
3. Ketidakmerataan pembangunan antar daerah;
4. Investasi yang sangat banyak dalam proyek-proyek yang padat modal (capital intensive), sehingga persentase pendapatan modal dari tambahan harta lebih besar dibandingkan dengan persentase pendapatan yang berasal dari kerja, sehingga pengangguran bertambah;
5. Rendahnya mobilitas sosial;
6. Pelaksanaan kebijaksanaan industri substitusi impor yang mengakibatkan kenaikan hargaharga barang hasil industri untuk melindungi usaha-usaha golongan kapitalis;
7. Memburuknya nilai tukar (term of trade) bagi negara-negara sedang berkembang dalam perdagangan dengan negara-negara maju, sebagai akibat ketidak elastisan permintaan negara-negara terhadap barang ekspor negara-negara sedang berkembang; dan
8. Hancurnya industri-industri kerajinan rakyat seperti pertukangan, industri rumah tangga, dan lain-lain.
Pertumbuhan Ekonomi Indonesia dibandingkan Negara ASEAN Lainnya
Dengan menggunakan teori endogen yang disampaikan Mankiw (2003), maka dapat dirumuskan beberapa penyebab yang mengakibatkan pertumbuhan ekonomi Indonesia lebih lambat dari negara ASEAN lainnya, diantaranya:
1. Masih rendahnya sistem produksi
Rendahnya system produksi antara lain dipengaruhi oleh: skala usaha yang masih didominasi UMKM, dan kehati-hatian pihak perbankan dan lembaga keuangan untuk mengeluarkan kredit usaha.
2. Belum optimalnya penguasaan dan pemanfaatan ilmu pengetahuan dan teknologi
Hal ini dapat dilihat pada: (1) belum optimalnya mekanisme intermediasi iptek yang menjembatani interaksi antara kapasitas penyedia iptek dengan kebutuhan pengguna; lembaga keuangan modal ventura dan start-up capital yang mendukung pembiayaan inovasi-inovasi baru belum terbangun dan masih lemahnya sinergi kebijakan iptek, pendidikan, dan industri yang berakibat pada rendahnya kontribusi iptek nasional di sektor produksi yang ditunjukkan oleh rendahnya efisiensi dan produktifitas, serta minimnya kandungan teknologi dalam produk industri nasional; (2) belum berkembangnya budaya iptek di kalangan masyarakat karena pola pikir masyarakat belum berkembang ke arah yang lebih suka mencipta daripada sekadar memakai, lebih suka membuat daripada sekadar membeli, serta lebih suka belajar dan berkreasi dari pada sekadar menggunakan teknologi seadanya; (3) belum optimalnya peran iptek dalam mengatasi degradasi fungsi lingkungan hidup yang ditunjukkan oleh masih lemahnya peran iptek dalam mengantisipasi dan menanggulangi bencana alam.
3. Masih rendahnya investor dalam negeri.
Sampai dengan tahun 2011, Kantor Pusat Informasi Pasar Modal (PIPM) mencatat pasar modal di Indonesia sebanyak 63 % dikuasai oleh investor asing, sementara untuk investor yang ada di dalam negeri hanya mengambil andil sekitar 37 % atau kurang dari 1 % dari seluruh penduduk Indonesia.
4. Belum optimalnya peningkatan sumber daya manusia dan penyerapan tenaga kerja
Masalah ketenagakerjaan dalam pembangunan Indonesia hingga kini masih merupakan tantangan yang harus dihadapi dan diselesaikan, mengingat semakin meningkatnya jumlah angkatan kerja baru yang memasuki pasar kerja. Hal ini berkaitan dengan upaya penyediaan dan penciptaan lapangan kerja baru, peningkatan mutu tenaga kerja serta upaya perlindungan tenaga kerja.
Cara Mengejar Ketertinggalan Pertumbuhan Ekonomi Indonesia
Beberapa cara yang dapat dilakukan untuk mengejar pertumbuhan ekonomi Indonesia, antara lain:
1. Optimalisasi pengelolaan kekayaan sumber daya alam, dengan tetap memperhatikan kelestariaannya.
2. Peningkatan kualitas sumber daya manusia sesuai dengan kebutuhan industry dan globalisasi, karena Indonesia merupakan negara dengan penduduk terbanyak ke-4 di dunia.
3. Mendorong perekonomian melalui investasi sebagai alat pembentukan modal dan peningkatan produksi. Investasi yang didorong tidak hanya di pusat tapi juga harus dapat menarik investasi ke daerah. Hal ini dimaksudkan agar percepatan pembangunan ekonomi dapat merata, tidak hanya terfokus di pusat saja.
4. Pemerintah daerah perlu memetakan potensi daerah yang dimiliki yang bisa menjadi daya tarik investasi. Daya tarik investasi menjadi penting agar pemerintah daerah mampu menyusun strategi dan perencanaan investasi daerah yang efisien.
Daya Saing Produk Perikanan Menuju Pasar Bebas ASEAN
Dalam menghadapi pasar bebas ASEAN pada era pasar bebas regional dan menuju pasar bebas internasional, perlu dilakukan langkah-langkah untuk meningkatkan daya saing produk perikanan, diantaranya:
1. Pengembangan upaya-upaya dalam rangka mempertahankan dan meningkatkan produksi baik dari segi kuantitas maupun kualitas. Produk perikanan budidaya Indonesia saat ini telah menjadi salah satu produk perdagangan global yang sangat dibutuhkan dan diperhitungkan. Indonesia sebagai negara produsen perikanan budidaya terbesar di dunia setelah China.
2. Peningkatan produksi dan daya saing produk perikanan harus diikuti dengan standar kualitas produk sekaligus peningkatan efisiensi usaha perikanan. Kualitas produk perikanan budidaya hanya dapat dijaga melalui sistem pengawasan yang efektif dan efisiensi usaha budidaya hanya dapat diperoleh melalui integrasi usaha yang dapat dilakukan melalui pembentukan kelompok budidaya yang kuat, penerapkan sertifikasi Cara Budidaya Ikan yang Baik (CBIB) maupun Cara Pembenihan Ikan yang Baik (CPIB) yang saat ini mampu menjaga kualitas produk budidaya baik benih maupun konsumsi.
3. Penyesuaian, persiapan dan perbaikan regulasi baik secara kolektif maupun individual (reformasi regulasi);
4. Peningkatan kualitas sumber daya manusia baik dalam birokrasi maupun dunia usaha ataupun professional;
5. Penguatan posisi usaha skala menegah, kecil, dan usaha pada umumnya;
6. Penguatan kemitraan antara publik dan sektor swasta;
7. Menciptakan iklim usaha yang kondusif dan mengurangi ekonomi biaya tinggi
8. Pengembangan sektor-sektor prioritas yang berdampak luas dan komoditi unggulan;
9. Penyediaan kelembagaan dan permodalan yang mudah diakses oleh pelaku usaha perikanan dari berbagai skala.
10.Perbaikan dukungan infrastruktur, transportasi atau logistik, perangkat hukum, penyediaan energi, dan pengembangan industri terpadu.
KESIMPULAN
Banyak cara yang dapat dilakukan untuk mengejar pertumbuhan ekonomi Indonesia, antara lain: (a) optimalisasi pengelolaan kekayaan sumber daya alam, dengan tetap memperhatikan kelestariaannya; (b) peningkatan kualitas sumber daya manusia sesuai dengan kebutuhan industry dan globalisasi; (c) mendorong perekonomian melalui investasi sebagai alat pembentukan modal dan peningkatan produksi; dan (d) pemerintah daerah perlu memetakan potensi daerah yang dimiliki yang bisa menjadi daya tarik investasi.
Dalam menghadapi pasar bebas ASEAN pada era pasar bebas regional dan menuju pasar bebas internasional, perlu dilakukan langkah-langkah untuk meningkatkan daya saing produk perikanan, diantaranya: (1) pengembangan upaya-upaya dalam rangka mempertahankan dan meningkatkan produksi baik dari segi kuantitas maupun kualitas; (2) peningkatan produksi dan daya saing produk perikanan yang diikuti dengan standar kualitas produk sekaligus peningkatan efisiensi usaha perikanan; (3) penyesuaian, persiapan dan perbaikan regulasi baik secara kolektif maupun individual (reformasi regulasi); (4) peningkatan kualitas sumber daya manusia baik dalam birokrasi maupun dunia usaha ataupun professional; (5) penguatan posisi usaha skala menegah, kecil, dan usaha pada umumnya; (6) penguatan kemitraan antara publik dan sektor swasta; (7) penciptaan iklim usaha yang kondusif dan mengurangi ekonomi biaya tinggi; (8) pengembangan sektor-sektor prioritas yang berdampak luas dan komoditi unggulan; (9) penyediaan kelembagaan dan permodalan yang mudah diakses oleh pelaku usaha perikanan dari berbagai skala; dan (10) perbaikan dukungan infrastruktur, transportasi atau logistik, perangkat hukum, penyediaan energi, dan pengembangan industri terpadu.
DAFTAR PUSTAKA
Arsyad, Lincoln. 1999. Ekonomi Pembangunan. Edisi Keempat. Sekolah Tinggi Ilmu Ekonomi YKPN Yogyakarta.
Mankiw, N. Gregory. 2003. Teori Makro Ekonomi Terjemahan, PT. Gramedia Pustaka Utama, Jakarta.
Sadono Sukirno, 2005. Pengantar Teori Mikro Ekonomi. Jakarta : PT Raja Grafindo Persada.
Sjafrizal. 2012. Ekonomi Wilayah dan Perkotaan. Jakarta: PT Rajagrafindo Persada
Tarigan, Robinson, 2005. Ekonomi Regional Teori dan Aplikasi. Jakarta: PT Bumi Aksara
Todaro, Michael P dan Smith, Stephen C. 2006. Pembangunan Ekonomi, Jakarta: Erlangga.

Saturday, March 29, 2014

BAGAIMANA MEMAHAMI TEKNIK PENEBARAN BENIH PADA PEMBESARAN IKAN LELE

March 29, 2014 Posted by Media Penyuluhan Perikanan Pati No comments
A. Memilih Benih
Benih yang siap tebar adalah benih yang berukuran 3-5 cm dan 5-8 cm, benih ditebarkan dengan kepadatan per m2 bervariasi tergantung jenis biota yang akan dipelihara. Agar hasil dari kegiatan pembesaran memuaskan maka benih yang dipilih adalah benih yang unggul.
Ciri-ciri benih yang baik yaitu :
1. Mempunyai ukuran yang seragam
2. Sehat dan tidak cacat atau luka
3. Bergerak aktif dan lincah
Cara menguji respon benih yang sehat yaitu:
1. Alirkan air ke wadah pemeliharaan  atau  penampungan kemudian amati, benih yang sehat akan bergerak melawan arus
2. Saat pemberian pakan benih yang sehat akan responsive yaitu dengan menghampiri pakan dengan cepat saat pakan diberikan
3. Benih yang sehat akan menyebar atau menjauhi sumber gangguan jika ada gangguan
Kriteria Benih lele yang baik menurut SNI: 01-6484.2- 2000
Kriteria
Satuan
Pendederan I
Pendederan II
Pendederan III
Pendederan IV
B. Aklimatisasi
Sebelum benih ditebar ke dalam kolam maka perlu dilakukan aklimatisasi terlebih dahulu. Tujuannya yaitu untuk menyesuaikan suhu dalam kantong dengan suhu kolam pemeliharaan agar benih ikan yang ditebar tidak stress karena terjadi perbedaan suhu yang mendadak. Proses aklimatisasi suhu adalah sebagai berikut:
1. Meletakkan kantong packing yang berisi benih ke dalam kolam tempat benih akan ditebar.
2. Biarkan  kantong  packing  mengapung  di  permukaan  air selama 10-15 menit atau sampai kantong berembun.
3. Jika kantong sudah berembun itu merupakan tanda bahwa suhu kantong dan suhu kolam relatif sama dan tutup kantong dapat dibuka.
C. Penebaran Benih
Penebaran benih dilakukan saat suhu air rendah kolam masih rendah yaitu pada pagi hari antara pukul 06.00 – 07.00 atau pada sore hari di atas pukul 16.00. Tujuannya agar benih
tidak stres akibat suhu tinggi. Benih yang ditebar terlalu siang dapat menjadi stres akibat kepanasan. Berikut adalah cara benebaran benih;
1. Membuka tutup kantong packing benih yang sudah berembun
2. menggulung kantong plastik packing sampai mendekati permukaan air kantong
3. Percikkan air kolam sedikit demi sedikit ke dalam kantong dengan menggunakan tangan
4. Miringkan kantong packing sampai sebagian kantong tenggelam
5. Biarkan benih keluar dengan sendirinya. Setelah terlihat benih berani berenang keluar kantong sendiri itu merupakan tanda bahwa kondisi air pada kantong sudah relative sama dengan air pada kolam.
Pada awal pemeliharaan, ketinggian air dipertahankan minimal 70 cm, dan bila masa pemeliharaan telah telah mencapai dua bulan ketinggian air dinaikan, sehingga menjelang pemeliharaan empat bulan ketinggian diusahakan mencapai 1,5 m.
Khusus penebaran benih di KJA benih di tebar di dalam hapa untuk memudahkan pengontrolan dan pada umumnya mata jaring KJA berukuran besar sehingga jika langsung dilepas maka ikan akan lolos dari jaring.
Tabel 2. Standar penebaran ikan lele
Padat
Tebar
Satuan
P I
P II
P III
P  IV
PB 1
PB 2
Lele
ekor/m2
100
50
25
20
10-15
3-5
Ukuran minimum
cm 0,75-1
1-3
3-5
5-8
10-15
100-150
Cara mengukur  panjang  total  ikan  menurut SNI: 01- 6484.4-2000 yaitu dengan membentangkan tubuh ikan kemudian ukur ikan mulai dari ujung mulut sampai ujung ekor menggunakan jangka sorong atau penggaris yang dinyatakan dalam satua centimater atau millimeter.
SUMBER:
http//pusdik.kkp.go.id
PusdikKP, 2012. Modul Teaching Factory "Pembesaran Ikan Air Tawar". Pusat Pendidikan Kelautan dan Perikanan, Badan Pengembangan SDM Kelautan dan Perikanan, Jakarta.
Diposkan oleh Fahrur Razi, SST di 08.53 Tidak ada komentar: Kirimkan Ini lewat EmailBlogThis!Berbagi ke TwitterBerbagi ke FacebookBagikan ke Pinterest
Link ke posting ini
Reaksi:     
TEKNIK PRODUKSI TELUR PADA PEMBENIHAN IKAN LELE
A. Menyeleksi Induk
Tujuan dari seleksi induk adalah mendapatkan induk yang sehat, tidak cacat dan memiliki pertumbuhan yang baik sehingga layak untuk dijadikan induk dan siap untuk dipijahkan.
Prosedur kerja untuk menyeleksi induk :
1. Keringkan kolam pemeliharaan induk.
2. Tangkap induk jantan maupun betina dari kolam pemeliharaan secara hati - hati dengan menggunakan seser induk (berbahan halus).
3. Siapkan wadah sementara untuk meletakkan induk yang ditangkap seperti tong, bak fiberglass, drum dan sebagainya yang sudah diisi air.
4. Letakkan induk jantan dan betina ke dalam wadah yang sudah disiapkan secara terpisah.
5. Seleksi tingkat kematangan gonad induk dengan cara melihat urogenitalnya dan meraba bagian perut induk, dengan kondisi induk sehat, tidak cacat dan badan secara
keseluruhan mulai dari ujung mulut sampai ujung sirip ekor harus mulus (tidak ada luka) sesuai dengan persyaratan SNI.
Tabel  4.  Ciri  -  ciri  induk  ikan  lele  yang  matang  gonad sesuai SNI
No
Induk lele
1. Jantan : urogenital berwarna merah dan meruncing serta panjangnya sudah melampaui pangkal sirip ekor
2. Betina  :  perut  membesar  dan  terasa  lunak  serta  bila diurut ke arah anus akan mengeluarkan telur berwarna hijau kekuningan
Ciri - ciri induk lele yang matang gonad adalah sebagai berikut :
a. Bentuk tubuh : bagian kepala pipih horisontal, bagian badan bulat memanjang dan bagian ekor pipih vertikal.
b. Kesehatan : anggota atau organ tubuh lengkap, tubuh tidak cacat dan tidak ada kelainan bentuk, alat kelamin tidak cacat (rusak), tubuh tidak ditempeli jasad patogen, insang bersih, tubuh tidak bengkak/memar dan tidak berlumut, tutup insang normal dan tubuh berlendir.
c. Induk jantan yang matang gonad :
1) Alat kelamin  tampak  jelas,  meruncing,  berwarna kemerahan terletak di dekat lubang anus.
2) Jika perut diurut akan keluar cairan sperma berwarna keputih - putihan.
3) Tulang kepala lebih pipih dan ukurannya lebih kecil.
4) Warna tubuh lebih gelap.
d. Induk betina yang matang gonad :
1) Alat kelaminnya membulat dan berwarna kemerahan terletak di dekat lubang anus,lubangnya agak membesar sebagai jalan keluarnya telur.
2) Bentuk perut membesar, jika diraba terasa lembek.
3) Bila perut diurut ke arah anus akan keluar telur.
4) Tulang kepala agak cembung dan ukurannya lebih besar.
5) Warna tubuh lebih terang, gerakannya lamban dan jinak.
6) Ambil sampel telur dengan cara memasukkan selang kanulasi < 8 cm kedalam lubang urogenital induk betina untuk mengambil sampel telur dengan cara menyedot   dengan   menggunakan   mulut   sampai sampel telur keluar.
7) Ambil 30 butir sampel telur, amati sampel telur yang diambil  sesuaikan  dengan  warna  dan  fase telur yang siap dipijahkan (lihat tabel 5).
Telur muda
Telur muda cenderung ukuran kurang seragam 2.
Telur yang siap dipijahkan
Ukuran seragam dan tidak mudah pecah 3.
Telur tua
Telur mudah pecah bila disentuh
8) Selanjutnya, ukur diameternya menggunakan mikroskop yang  dilengkapi  mikrometer,  sesuaikan  diameter hasil pengukuran dengan kriteria diameter telur yang sesuai SNI (lihat tabel 6).
9) Timbang induk jantan dan betina yang terseleksi dengan menggunakan timbangan.
10) Ukur panjang induk menggunakan penggaris. Cara mengukur panjang standar induk sesuai dengan SNI, yaitu : mengukur panjang standar dilakukan dengan mengukur jarak antara ujung mulut sampai dengan pangkal ekor.
Kriteria induk sesuai SNI
B. Memijahkan Induk Ikan Lele
Pemijahan induk ikan lele umumnya dilakukan secara alami dan semi alami. Pemijahan alami biasanya dilakukan pada jenis - jenis ikan tertentu saja yaitu ikan yang mudah dipijahkan sepanjang tahun seperti ikan mas, tawes, gurame,  lele  dan  lain  sebagainya.  Sebaliknya  pemijahan ikan semi buatan umumnya dilakukan terhadap ikan yang dipelihara  dalam  lingkungan  yang  tidak  sesuai  dengan faktor lingkungannya di alam.
Prosedur kerja untuk memijahkan induk :
1. Siapkan wadah pemijahan
a. Wadah pemijahan sesuai dengan SNI, yaitu wadah pemijahan, penetasan dan pemeliharaan larva dapat berupa bak, baik dengan menggunakan hapa atau tidak.
b. Mengeringkan  wadah  pemijahan  dengan  menutup saluran        pemasukan   air   dan   membuka   saluran pengeluaran air.
c. Membersihkan  kotoran  yang  ada  didasar  maupun dinding wadah dengan cara menyikat dengan sikat dan         spon      pembersih.      Bersihkan      dengan pencampuran desinfektan : kaporit 100 ppm atau diterjen 30 ppm.
d. Membilas  dengan  air  bersih  sampai  kotoran  yang menempel pada dasar dan dinding wadah hilang.
e. Membiarkan air sampai habis dan bilas dengan air bersih.
f. Mengeringkan kolam selama 1 hari agar terbebas dari bau kaporit atau diterjen.
2. Isi air ke dalam wadah pemijahan dengan menggunakan air yang sudah diendapkan dalam tandon air minimal selama 24 jam.
Tahap-tahap mengisi air dalam wadah pemijahan adalah:
a. Menutup saluran pengeluaran air.
b. Mengisi air dengan cara membuka saluran pemasukan air atau dengan bantuan pompa air ke dalam wadah pemijahan dengan ketinggian air sesuai dengan  SNI.  Ketinggian  air  pemijahan  yang  sesuai SNI untuk ikan lele adalah 25 - 40 cm.
c. Menutup saluran pemasukan air bila air telah mencapai sesuai yang diiinginkan.
d. Memeriksa saluran pengeluaran air untuk memastikan tidak ada kebocoran.
3. Tempatkan titik aerasi secara merata kedalam media pemijahan.
4. Lakukan pemijahan induk yang terseleksi baik secara alami maupun semi alami, caranya sebagai berikut :
a. Pemijahan alami
Memijahkan ikan secara alami dilakukan dengan cara memanipulasi lingkungan tanpa perlakuan perangsangan hormon. Persiapan wadah pemijahan yang telah dilakukan merupakan manipulasi lingkungan.
Langkah - langkah melakukan pemijahan alami :
1) Memasukkan kakaban sebagai tempat menempelnya telur dengan jumlah cukup menutupi 75 % dasar kolam.
2) Meletakkan kakaban 5 diatas dasar kolam dan diberikan pemberat berupa batu.
3) Menyusun kakaban berjajar memenuhi dan mengikuti panjang kolam agar tidak ada telur yang tidak menempel.
4) Memasukkan induk jantan dan betina yang terseleksi pada sore hari pukul 15.00 - 17.00 ke dalam wadah pemijahan  dengan  padat  tebar sesuai SNI (lihat tabel 7).
5) Menutup wadah pemijahan.
6) Membiarkan proses pemijahan selama ± 24 jam.
7) Melakukan pengecekan pada pagi harinya.
8) Selanjutnya, memindahkan  indukan  yang  telah memijah dari kolam pemijahan ke dalam wadah pemeliharaan induk.
b. Pemijahan semi alami
Langkah - langkah dalam melakukan pemijahan semi alami, yaitu :
1) Memasukkan kakaban sebagai tempat menempelnya telur dengan jumlah cukup menutupi 75 % dasar kolam.
2) Meletakkan kakaban 5 cm diatas dasar kolam dan diberikan pemberat berupa batu.
3) Menyusun kakaban berjajar memenuhi dan mengikuti panjang kolam agar tidak ada telur yang tidak menempel.
4) Menyiapkan peralatan dan bahan untuk pemijahan semi alami seperti : spuit, HCG (human chorionic gonadotropin), aquades atau larutan garam fisiologis 0,7 %. Gunakan alat suntik yang sudah dibersihkan/dicuci dengan air panas atau gunakan alat yang baru.
5) Menimbang induk betina dengan timbangan dan tentukan dosis ovaprim.
a) Dosis hormon buatan 0,3 - 0,5 cc per 1 kg berat induk.
b) Menyedot hormon dengan spuit sebanyak dosis yang diperlukan.
c) Setelah itu, menyedot aquades atau larutan garam fisiologis 0,7 % dengan jarum yang sama sebanyak dosis hormon yang disedot tadi.
6) Induk yang terseleksi disuntik dengan cara sebagai berikut :
a) Menyuntik induk yang akan dipijahkan pada sore hari jam 16.00 - 17.00.
b) Mengambil induk yang akan disuntik kemudian pada bagian kepala ditutup menggunakan kain basah.
c) Melakukan penyuntikan secara hati - hati disekitar sirip punggung kedalam daging induk (intramuscular) dengan memasukkan jarum suntik dengan kemiringan 30 - 45° sedalam ± 2 - 2,5 cm.
d) Setelah hormon didorong masuk, lalu jarum dicabut dan bekas suntikan tersebut ditekan/ditutup dengan jari beberapa saat agar hormon tidak keluar.
7) Memasukkan induk jantan dan betina yang telah disuntik pada sore hari pukul 15.00 - 17.00 ke dalam wadah pemijahan dengan padat tebar harus sesuai dengan SNI (lihat tabel 7).
Tabel 7. Padat tebar untuk pemijahan induk lele sesuai SNI
No
Induk lele
1. Padat tebar induk 1 kg induk betina/m² dengan perbandingan bobot  jantan : betina 1 : 2
2. Perbandingan jumlah jantan : betina adalah 1 : 1 - 3
8)  Menutup wadah pemijahan.
9)  Membiarkan proses pemijahan selama ± 24 jam.
10)  Melakukan pengecekan pada pagi harinya.
11)  Memasukkan kembali induk yang telah memijah ke dalam wadah pemeliharaan induk.
C. Menghitung Derajat Pembuahan (Fertilisasi Rate)
Derajat   pembuahan   (fertilisasi   rate)   adalah   derajat tingkat pembuahan telur yang telah dihasilkan. Langkah - langkah perhitungannya, sebagai berikut :
1. Ambil sampel telur hasil pemijahan secara acak sebanyak
5 titik.
2. Hitung jumlah telur dari sampel yang diambil.
3. Amati telur sampel secara visual atau secara mikroskopik satu persatu untuk mengetahui apakah telur dibuahi atau
tidak. Telur yang tidak dibuahi bercirikan dengan warna putih susu atau sedikit keruh dan terkadang ditumbuhi jamur, sedangkan telur yang dibuahi berwarna terang dan bersih.
4. Hitung jumlah telur yang dibuahi.
SUMBER:
http//pusdik.kkp.go.id
PusdikKP, 2012. Modul Teaching Factory "Pembenihan Ikan Air Tawar". Pusat Pendidikan Kelautan dan Perikanan, Badan Pengembangan SDM Kelautan dan Perikanan, Jakarta.

Friday, March 28, 2014

MANFAAT PENGUKUSAN KIJING

March 28, 2014 Posted by Media Penyuluhan Perikanan Pati 1 comment


Pengukusan adalah proses pemanasan yang sering diterapkan dengan menggunakan  banyak air, tetapi air tidak bersentuhan  langsung dengan produk. Bahan   makanan   dibiarkan   dalam   panci   tertutup   dan   dibiarkan   mendidih. Pengukusan sebelum penyimpanan  bertujuan untuk mengurangi kadar air dalam bahan baku sehingga tekstur bahan menjadi kompak. Suhu air pengukusan yang digunakan  harus  lebih  tinggi  dari  66  0C  tetapi  kurang  dari  82  0C.  Proses pengukusan dapat menurunkan kadar zat gizi makanan, yang besarnya tergantung pada cara mengukus dan jenis makanan yang dikukus. Keragaman susut zat gizi di antara  berbagai  cara  pengukusan  terutama  terjadi  akibat  degradasi  oksidatif. Proses pengolahan  dengan pengukusan  memiliki susut zat gizi yang lebih kecil dibandingkan dengan perebusan (Harris & Karmas 1989).
Pengukusan  tradisional  dilakukan  menggunakan  air panas  atau uap panas sebagai medium penghantar panas. Faktor yang mempengaruhi susut gizi selama pengukusan  dengan  air  adalah  faktor  yang  mempengaruhi  pemindahan  massa yaitu luas permukaan, konsentrasi zat terlarut dalam air panas dan pengadukan air. Selain  itu  ada  beberapa   metode  pengukusan   yang  sering  digunakan   yaitu, pengukusan dengan uap panas, pengukusan dengan gelombang mikro dan pengukusan dengan gas panas (Harris & Karmas 1989).
Pengukusan dengan uap panas menghasilkan retensi zat gizi larut air yang lebih besar dibandingkan dengan pengukusan menggunakan air karena adanya pemanasan yang merata hampir di seluruh bagian bahan. Pada pengukusan konvensional,   pada   bagian   tepi   bahan   akan   mengalami   pengukusan   yang berlebihan,  sedangkan  pada  bagian  tengah  hanya  mengalami  pengukusan  yang sedikit (pengukusan tidak merata) (Harris & Karmas 1989).
Pengukusan dengan gelombang mikro telah diterapkan untuk produk makanan. Metode ini dipakai karena energi gelombang mikro tidak mempengaruhi peningkatan degradasi komponen makanan secara langsung selain melalui peningkatan  suhu. Walaupun  metode ini memiliki  retensi zat gizi yang lebih besar dibandingkan dengan metode pengukusan menggunakan air panas dan uap panas, tetapi  biaya yang dibutuhkan sangat mahal (Harris & Karmas 1989).
Pengukusan  dengan gas panas juga telah dikembangkan,  terutama untuk mengurangi  efluen yang timbul selama pengukusan.  Meskipun  digunakan  suhu sampai  121  0C,  suhu  produk  tidak  akan  melampaui  100  0C  karena  terjadi penguapan  cairan di permukaan.  Produk yang dikukus  menggunakan  air panas atau   gas   panas   tidak   memiliki   perbedaan   nyata   dari   kandungan   gizinya (Harris & Karmas 1989).
Pada  umumnya  kerang  dimakan  mentah  atau  dikukus  pada  suhu  70 0C sampai cangkang kerang terbuka. Pengukusan  kerang pada suhu 100 0C selama 5   menit   dapat   mematikan   virus   hepatitis   yang   terkandung   pada   kerang (Budiati 2003).

METODOLOGI
Waktu dan Tempat
Penelitian ini dilaksanakan pada bulan Maret sampai Mei 2009 di Laboratorium  Karakteristik  Bahan Baku Hasil Perairan,  Departemen  Teknologi Hasil  Perairan,  Fakultas  Perikanan  dan  Ilmu  Kelautan,  Laboratorium  Biologi Hewan Pusat Penelitian Sumberdaya Hayati             dan Bioteknologi-Lembaga Penelitian dan Pemberdayaan Masyarakat, Laboratorium Pengolahan Pangan, Departemen Ilmu Teknologi Pangan, Fakultas Teknologi Pertanian, Laboratorium Pengujian   Balai   Besar   Penelitian   Pengembangan   Pasca   Panen   Pertanian, Cimanggu, Bogor.
3.2.   Alat dan Bahan
Alat yang digunakan dalam penelitian ini antara lain alat bedah, termometer, mortar,   timbangan   digital   dan   timbangan   analitik,   cawan   porselen,   oven, desikator,  tabung  reaksi,  gelas  erlenmeyer,  tabung  kjeldahl,  destilator,  buret, tabung sokhlet, pemanas, tanur, sentrifuse, syringe dan HPLC.
Bahan-bahan yang digunakan pada penelitian ini, yaitu kijing lokal (Pilsbryoconcha exilis) yang diperoleh dari perairan Situ Gede, Bogor, air untuk pengukusan dan bahan untuk analisis yakni, akuades, H2SO4, NaOH, HCl, pelarut heksana,  NaCl,           kertas  saring  Whatman,  Na-asetat,  metanol,  pikolotiosianat, triethylamin, air suling, pereaksi Carrez 1, pereaksi Carrez 2, buffer natrium karbonat, larutan dansil klorida dan larutan metilamin hidroklorida.
3.3.   Metode Penelitian
Penelitian  ini  dilakukan  dalam  beberapa  bagian  meliputi  pengambilan sampel  kijing  lokal  (Pilsbryoconcha  exilis)  dari  perairan  Situ  Gede,  Dramaga, Bogor,  identifikasi, penentuan ukuran dan bobot (panjang, lebar, tinggi dan bobot total), pengukusan, penghitungan rendemen tubuh (daging, jeroan, cangkang) dan analisis  kimia  yaitu,  analisis  proksimat,  protein  larut  air  (PLA),  protein  larut garam (PLG) serta asam amino dan taurin.
Analisis kimia:
1.  Analisis proksimat
2.  Analisis PLG dan PLA
3.  Analisis asam amino dan taurin
Analisis kimia:
1.  Analisis proksimat
2.  Analisis PLG dan PLA
3.  Analisis asam amino dan taurin
Identifikasi
Sampel  kijing  yang  telah  didapat  kemudian  diidentifikasi  menggunakan buku  identifikasi  (Pennak  1953)  dengan  cara  mencocokkan  ciri-ciri  yang  ada dengan buku identifikasi sesuai dengan spesies kijing tersebut.
Pengukusan
Daging kijing segar dipisahkan  dari cangkang  dan jeroannya,  kemudian dilembutkan  menggunakan  mortar.  Daging  yang  telah  lembut  dimasukkan  ke dalam plastik dan ditutup rapat serta di beri kode yang jelas sebagai daging segar. Pengukusan   dengan  air  dilakukan   selama  10  menit  pada  suhu  80-100  0C (Papadopoulou   et   al.   2003).   Kemudian   kijing   diambil   dagingnya   untuk dilembutkan  menggunakan  mortar.  Daging  yang  telah  lembut  dimasukkan  ke
dalam plastik dan ditutup rapat serta diberi kode yang jelas sebagai daging yang telah mengalami pengukusan. Sebelum dan sesudah proses pengukusan selalu dilakukan   penimbangan   untuk   mengetahui   ada   tidaknya   penambahan   atau penyusutan berat kijing.
Rendemen
Rendemen  dihitung  sebagai  persentasi  bobot  bagian  tubuh  kijing  dari bobot awal.  Adapun perumusan matematik adalah sebagai berkut:
Rendemen  (%) = Bobot contoh (g) x 100% Bobot total (g)
Analisis Kimia
Analisis kimia pada daging kijing lokal terdiri dari analisis proksimat, PLA, PLG serta asam amino dan taurin
Analisis proksimat
Analisis  proksimat  yang dilakukan  terhadap  kijing            meliputi:  kadar  air, abu, protein dan lemak.
1)         Analisis kadar air (AOAC 1995)
Tahap   pertama   yang   dilakukan   untuk   menganalisis   kadar   air   adalah mengeringkan   cawan   porselen   dalam  oven  pada  suhu  102-105   0C  selama
30 menit. Cawan tersebut diletakkan ke dalam desikator (kurang lebih 30 menit) hingga  dingin  dan  ditimbang  hingga  beratnya  konstan.  Kemudian  cawan  dan sampel seberat 1-2 gram ditimbang setelah terlebih dahulu dihomogenkan. Cawan dimasukkan  ke  dalam  oven  dengan  suhu  102-105  0C  selama  6  jam.  Cawan tersebut dimasukkan  ke dalam desikator dan dibiarkan hingga dingin kemudian ditimbang.
2)         Analisis kadar abu (AOAC 1995)
Cawan  abu porselen  dikeringkan  di dalam oven selama  30 menit dengan suhu 105 oC, lalu didinginkan dalam desikator kemudian ditimbang. Sampel sebanyak 1-2 gram yang telah dihomogenkan  dimasukkan  ke dalam cawan abu porselen. Cawan abu porselen dipijarkan dalam tungku pengabuan bersuhu sekitar
105 0C sampai tidak berasap. Selanjutnya cawan tersebut dimasukkan ke dalam tanur pada suhu 600 0C selama 2-3 jam. Proses pengabuan dilakukan sampai abu berwarna  putih.  Setelah  itu  cawan  abu  porselin  didinginkan  dalam  desikator selama 30 menit, kemudian ditimbang beratnya.
Perhitungan kadar abu :

% Kadar abu = C − A x100 %
B − A
Keterangan:     A   =  Berat cawan abu porselen kosong (gram)

B   =  Berat cawan abu porselen dengan sampel (gram)

C   =  Berat     cawan abu      porselen           dengan            sampel             setelah dikeringkan (gram).

3)         Analisis kadar protein (AOAC 1995)

Prinsip  dari  analisis  protein,  yaitu  untuk  mengetahui  kandungan  protein kasar  (crude  protein)  pada  suatu  bahan.  Tahap-tahap  yang  dilakukan  dalam analisis protein terdiri dari tiga tahap, yaitu destruksi, destilasi, dan titrasi.
(1). Tahap destruksi
Sampel  ditimbang  seberat  0,5  gram,  kemudian  dimasukkan  ke dalam  tabung  kjeltec.  Satu  butir  kjeltab  dimasukkan  ke  dalam  tabung tersebut dan ditambahkan 10 ml H2SO4.  Tabung yang berisi larutan tersebut dimasukkan ke dalam alat pemanas dengan suhu 410 oC ditambahkan 10 ml air. Proses destruksi dilakukan sampai larutan menjadi bening.
(2). Tahap destilasi

Isi labu dituangkan ke dalam labu destilasi, lalu ditambahkan dengan aquades (50 ml). Air bilasan juga dimasukkan  ke dalam alat destilasi dan ditambahkan larutan NaOH 40 % sebanyak 20 ml.
Rendemen Kijing lokal (Pilsbryoconcha exilis)
Rendemen adalah persentase suatu bahan baku yang dimanfaatkan. Rendemen  merupakan  suatu  parameter  yang  paling  penting  untuk  mengetahui nilai ekonomis  dan efektifitas  suatu  produk  atau bahan.  Rendemen  yang dapat diperoleh dari kijing lokal segar dan kukus berupa cangkang, daging dan jeroan. Rendemen kijing merupakan bagian tubuhnya yang masih bisa dipergunakan yang diperoleh   dengan   cara   membedah   kijing,   memisahkan   bagian   isi   dengan cangkang, kemudian bagian isi dipisahkan  antara bagian daging dan jeroannya. Rendemen  daging  kijing  dihitung  berdasarkan  persentase  perbandingan  bobot daging yang sudah diambil dari cangkang dan dipisahkan dengan jeroan terhadap bobot kijing segar
Kandungan PLA pada daging kijing segar sebesar 2,54%. Dari hasil penelitian,  maka terdapat korelasi antara nilai PLA dan nilai protein total pada kijing lokal. PLA yang dihasilkan memiliki nilai yang lebih kecil daripada nilai protein total atau sebesar 28,54% dari protein total. Hal ini terjadi karena protein yang terhitung hanya PLA saja tanpa mengikutsertakan PLG.
Umumnya  kandungan  PLA  pada  kekerangan  sebesar  41%  dari  total protein  kasar  (Okuzumi   dan  Fujii  2000).  Perbedaan   kandungan   PLA  pada kekerangan  disebabkan  karena adanya perbedaan  jenis, habitat atau lingkungan hidup dan     kondisi fisiologis         berupa makanan          yang    dicerna            sehingga mengakibatkan komposisi gizi yang terkandung berbeda.
Penurunan kandungan PLA terjadi pada daging kijing yang telah mengalami  pengukusan  yaitu  menjadi  1,42%.  Penurunan  kelarutan  protein  ini terjadi  sebanyak   1,12%.  Hal  ini  disebabkan   oleh  terjadinya   koagulasi   dan denaturasi protein. Pada saat pengukusan, PLA terlepas dari daging karena larut dengan air dan ikut keluar terbawa oleh uap air sehingga kandungannya  dalam daging kijing menurun.  Kelarutan  protein tergantung  dari suhu, semakin  tinggi suhu maka semakin banyak pula protein yang terdenaturasi (Sikorski et al.1981).

(2)        Kandungan protein larut garam (PLG)

Protein larut garam merupakan bagian terbesar dalam jaringan daging komoditas  hasil perairan yang berfungsi untuk kontraksi otot. Protein ini dapat diekstrak  dengan  larutan  garam netral  yang berkekuatan  ion sedang  (>0,5  M). PLG berperan penting dalam penggumpalan dan pembentukan gel pada saat pengolahan (Suzuki 1981). Kandungan PLG kijing lokal (Pilsbryoconcha  exilis)
yang segar dan telah mengalami proses pengukusan
(a)        Asam amino esensial dan non esensial
Hasil  analisis  asam  amino  menunjukkan  adanya  17  asam  amino  pada kijing  lokal  yang  terdiri  dari  9  asam  amino  esensial  dan  8  asam  amino  non esensial. Asam amino esensial meliputi: histidin, arginin, treonin, valin, metionin, isoleusin, leusin, fenilalanin dan lisin. Sedangkan 8 asam amino non esensial meliputi:  asam aspartat,  asam glutamat,  serin, glisin, alanin, prolin, tirosin dan sistein.  Pada  umumnya  kandungan  asam  amino  bebas  yang  terdiri  dari taurin, asam glutamat, glisin, lisin dan alanin berperan penting dalam memberikan cita rasa serta flavor pada ikan dan kekerangan (Young je et al.2005)
Kandungan  asam  amino  esensial  yang  tertinggi  pada  kijing  segar  dan dikukus   yaitu   leusin.   Leusin   merupakan   asam   amino   yang  paling   banyak terkandung   pada  bahan   pangan   sumber   protein   (Walsh   2002  diacu  dalam Wahyuni  2008).  Sedangkan  asam amino  non esensial  yang paling  tinggi  yaitu asam glutamat. Namun secara keseluruhan komposisi asam glutamat pada kijing lokal  lebih  tinggi  dibandingkan  asam  amino  lainnya  yaitu  sebesar  1,182%. Tingginya  asam  glutamat  pada  kijing  lokal  menyebabkan  dagingnya  beraroma gurih dan berasa manis (Nurjanah  et al. 2008). Kandungan  asam glutamat dan asam aspartat lebih tinggi dibanding asam amino non esensial lain karena pada proses analisisnya menggunakan metode hidrolisis asam yang mempunyai derajat hidrolisis yang lebih tinggi sehingga kandungan asam amino tersebut lebih tinggi. Asam  amino  glutamin  dan  asparagin  mengalami  reaksi  deaminasi  membentuk asam glutamat dan asam aspartat.
Pada daging kijing lokal yang diuji hampir semua jenis asam amino esensial dihasilkan kecuali triptofan. Hal ini terjadi karena triptofan mengalami kerusakan saat  proses  hidrolisis  protein.  Adapun  tidak  teridentifikasinya  beberapa  asam amino lainnya diduga karena kandungan asam amino tersebut sangat rendah. Rendahnya  kandungan  asam amino tersebut  menyebabkan  puncak (peak) asam amino  yang  terekam  pada  kromatogram  tidak  dapat  dibedakan  dari  puncak pengaruh  noise  HPLC  atau  telah  terjadi  kerusakan  asam  amino  pada  tahap hidrolisis protein, pengeringan dan derivatisasi.
Berdasarkan  Gambar 19, terjadi penurunan nilai kandungan asam amino pada kjing lokal yang mengalami proses pengukusan. Semua asam amino esensial dan non esensial mengalami penurunan. Perubahan gizi yang terjadi pada bahan pangan sumber protein selama pengolahan umumnya disebabkan oleh denaturasi protein, reaksi Maillard dan rasemisasi asam amino (Muchtadi 1989).
Purnomo   (1996)   diacu   dalam   Ridwan   (2006)   menyatakan   bahwa pengolahan   daging   dengan   menggunakan   suhu   tinggi   akan   menyebabkan denaturasi  protein  sehingga  terjadi  koagulasi  dan  menurunkan  solubilitas  atau daya kemampuan  larutnya.  Reaksi  Maillard  yaitu  reaksi  antara  protein  dengan gula  pereduksi  yang  merupakan  sumber  utama  menurunnya  nilai  gizi  protein selama pengolahan  (Muchtadi 1989). Pada reaksi Maillard terjadi pembentukan pigmen berwarna coklat yang disebut melanoidin. Reaksi ini dapat menyebabkan perubahan warna daging kijing menjadi berwarna coklat setelah dilakukan pengukusan. Penurunan nilai gizi protein akibat reaksi Maillard menyebabkan penurunan daya cerna protein yaitu lisin dan sistin menjadi rusak akibat bereaksi dengan karbonil atau dikarbonil dan aldehid, serta penurunan availabilitas semua asam amino (Muchtadi 1989). Adanya perlakuan panas terutama apabila terdapat lipid atau gula pereduksi dapat menyebabkan  terjadinya rasemisasi asam amino perubahan bentuk L menjadi bentuk D) sehingga daya cerna protein menurun dan ketersediaan asam amino ikut menurun (Muchtadi 1989).
Kandungan asam amino dalam daging kijing sangat bervariasi tergantung dari jenis kijing, ukuran kijing, habitat dan musim (Suhardjo et al. 1977).
Kesimpulan
Situ Gede, Bogor memiliki potensi komoditas hasil perairan berupa kerang air tawar yaitu kijing lokal (Pilsbryoconcha exilis). Rendemen tertinggi dari kijing lokal terdapat pada cangkang yaitu sebesar 51,93%. Penyusutan rendemen kijing lokal terjadi selama proses pengukusan sebesar 29,73%. Komposisi kimia kijing lokal berdasarkan basis kering terdiri dari kadar air 441,71%, kadar abu 16,68%, kadar lemak 5,85%, kadar protein 48,21% dan karbohidrat 29,26%.
Kandungan  PLG lebih besar 1,5 kali lipatnya dari PLA. Protein daging kijing lokal terdiri dari 17 asam amino, yaitu 9 asam amino esensial dan 8 asam amino non esensial, sehingga daging kijing lokal dapat dikatakan sebagai profil protein   sempurna   (complete   protein).   Secara   keseluruhan   komposisi   asam glutamat pada kijing lokal lebih tinggi dibandingkan  asam amino lainnya yaitu
1,182%.  Kandungan  taurin pada kijing lokal lebih tinggi daripada  udang yaitu 0,087%.
Secara keseluruhan komposisi kimia, komposisi protein larut air dan protein  larut  garam  serta  asam  amino  dari  kijing  lokal  mengalami  penurunan selama proses pengukusan.