Monday, September 30, 2013

BUDIDAYA IKAN KAKAP MERAH Lutjanus sebae Karya ilmiah : Regina Melianawati1 and Restiana Wisnu Aryati2

September 30, 2013 Posted by Media Penyuluhan Perikanan Pati 2 comments
I. PENDAHULUAN
Ikan kakap merah merupakan salah satu komoditas perikanan laut yang bernilai ekonomis tinggi. Pada ukuran konsumsi, harga ikan kakap merah di pasar internasional 5,50-18,10 US$ (Sugama dan Priono, 2003). Di pasar lokal harganya cukup bervariasi antar daerah. Di Jawa barat, misalnya, harga ikan kakap merah mencapai Rp 35.000/kg (Yasad, 2011) sedangkan di Lampung dapat mencapai Rp 40.000-50.000/kg
(berita.manadotoday.com, 2011). Ikan ini dapat dipasarkan dalam keadaan hidup maupun dalam bentuk fillet (Sarwono et al., 1999). Tingginya permintaan pasar berimbas terhadap peningkatan penangkapan ikan kakap merah dari tahun ke tahun (Marzuki dan Djamal, 1992). Jenis ikan kakap merah yang umum tertangkap adalah Lutjanus malabaricus, L.johni, L. sanguineus, dan L.sebae (Badrudin dan Barus, 1989). 
Lutjanus sebae merupakan ikan kakap merah yang memiliki habitat luas. Ikan ini dapat hidup di perairan tropis dan subtropis, pada kedalaman sekitar 100 meter dengan habitat terumbu karang dan juga dasar perairan berpasir (fishindex.blogspot.com , 2011). Juvenilnya dapat ditemui pada perairan teluk yang dangkal, laguna atau terumbu karang dan kadang-kadang dapat pula ditemui pada perairan payau. Ikan yang sudah dewasa, yang sudah lebih dari 18 inchi (45,72 cm), akan beruaya ke perairan yang lebih dalam selama musim panas dan beruaya kembali ke perairan yang lebih dangkal pada musim dingin. Ikan dewasa tersebut dapat bersifat soliter maupun berkelompok dengan yang seukuran (Scott, 2007).
L. sebae yang dewasa berwarna merah gelap sedangkan juvenilnya berwarna merah muda dengan band berwarna merah gelap. Bagian sirip punggung, sirip, dubur, dan bagian atas sirip ekor berwarna gelap. Ikan kakap merah L.sebae yang masih kecil atau pada ukuran juvenil memiliki bentuk yang indah sehingga juga laku sebagai ikan hias dan harganya dapat mencapai 2,25 dollar per ekor (Sukarno et al., 1981). 
Ikan ini termasuk jenis karnivor dan makanan utamanya meliputi jenis ikan kecil,              udang   dan        cumi-cumi
(marinedepotlive.com, 2006). Di alam ikan ini dapat tumbuh hingga mencapai ukuran maksimum panjang 116 cm, berat 32,7 kg dan berumur maksimal 35 tahun (www.fishbase.org, 2011; Scott, 2007). Pemijahannya dapat berlangsung sepanjang tahun (hobiikan.blogspot.com, 2011).
Untuk mereduksi kegiatan penangkapan ikan kakap merah di alam namun tetap dapat memenuhi permintaan pasar maka usaha budidaya perlu dikembangkan. Ikan kakap merah sebenarnya memiliki beberapa sifat yang menguntungkan untuk usaha budidaya, diantaranya adalah memiliki pertumbuhan yang relatif cepat, toleran terhadap kekeruhan dan salinitas, sifat kanibalismenya rendah, relatif tahan terhadap penyakit, dapat dipelihara dalam kepadatan yang tinggi serta memiliki respon baik terhadap pakan buatan (empangku.blogspot.com. , 2011). Namun hingga saat ini belum banyak informasi teknis untuk mendukung usaha budidayanya. Jenis ikan kakap merah yang telah berhasil dibudidayakan secara luas adalah L.argentimaculatus, yang di beberapa tempat disebut sebagai kakap tambak dan L.johni, yang sering disebut kakap jenaha (Sunyoto dan  Mustahal, 1997). 
Ikan kakap merah L.sebae juga sudah mulai dirintis usaha budidayanya sejak tahun 2001 di Gondol Bali. (Imanto et al., 2001; Suastika et al., 20011,2; Suastika et al., 2002). Kegiatan budidaya sendiri meliputi pemeliharaan induk, larva dan benih. Telur yang dihasilkan oleh induk yang sudah terdomestikasi dalam bak pemeliharaan merupakan salah satu faktor kunci keberhasilan budidaya. Larva yang baru menetas memiliki pakan endogen berupa kuning telur dan butir minyak. Pakan endogen tersebut merupakan sumber energi larva sebelum larva mengkonsumsi pakan yang berasal dari luar tubuhnya (Slamet et al., 1996). Ketepatan waktu pemberian pakan dengan jenis pakan yang sesuai bagi larva, juga merupakan kunci keberhasilan dalam budidaya. Pakan awal yang umum digunakan bagi larva ikan laut adalah pakan alami berupa zooplankton rotifer Brachionus rotundiformis antara lain karena ukurannya relatif kecil, gerakan renangnya relatif lambat sehingga mudah dimangsa larva, mudah dicerna, mudah dikembangbiakkan dan mempunyai kandungan gizi yang cukup tinggi
(Lubzens et al., 1989). Pemeliharaan larva berlangsung hingga larva telah mengalami metamorphosis menjadi juvenil atau bentuk ikan muda.
Penelitian ini bertujuan untuk memaparkan teknologi budidaya ikan kakap merah L.sebae yang dilakukan di Balai Besar Penelitian dan Pengembangan Budidaya Laut Bali. Dengan mengetahui teknologi budidaya yang telah ada maka diharapkan adanya pengembangan budidaya tersebut secara lebih luas. 
 II. METODE PENELITIAN
 2.1. Telur
Telur yang digunakan berasal dari hasil pemijahan secara alami induk ikan kakap merah L.sebae yang dipelihara dalam tangki beton bervolume 100 m3 dengan sistem sirkulasi. Telur yang sudah terkumpul dalam kantong telur (egg collector) diambil secara hati-hati menggunakan serok telur kemudian dimasukkan dalam bak fiberglass volume 200 L untuk dilakukan seleksi antara telur yang fertil dan infertil. Telur yang fertil kemudian ditetaskan dalam tangki inkubator dan suhu penetasan diatur pada kisaran 28-29oC. Larva yang menetas selanjutnya dipindahkan ke dalam tangki pemeliharaan larva yang terbuat dari polyethylene bervolume 500 liter.
 2.2.  Tangki Pemeliharaan Larva
Pemeliharaan larva dilakukan di dalam hatchery yang tertutup (indoor hatchery). Bak pemeliharaan larva bervolume 500 liter, terbuat dari bahan polietylene, berwarna hitam, berbentuk bulat dan mengerucut pada bagian dasarnya. Pencahayaan untuk setiap bak pemeliharaan larva berasal dari dua buah lampu TL 40 watt dan satu buah lampu halogen 100 watt. Pencahayaan buatan tersebut dipertahankan pada intensitas 400 lux selama 24 jam. Media pemeliharaan dilengkapi pula dengan aerasi kecepatan lemah.
 2.3.  Pakan dan Pergantian Air
Selama pemeliharaan larva, digunakan fitoplankton dan zooplankton. Fitoplankton Nannochloropsis ocullata mulai ditambahkan ke dalam media pemeliharaan pada saat larva berumur 2 hari. Pada umur 2 hari sore hari larva mulai diberi pakan alami berupa rotifer Brachionus rotundiformis dengan kepadatan 10-15 individu/ml dan copepod Tisbe holuthuriae stadia naupli dan copepodit dengan kepadatan 1-2 individu/ml. Pemberian rotifer ini kemudian meningkat setelah larva mencapai umur 10 hari keatas. Pemberian kedua jenis pakan tersebut dilakukan tiga kali dalam sehari yaitu pada pukul  08:00, 13:00 dan 19:00. Naupli artemia dengan kepadatan 2 individu/ml mulai diberikan pada saat larva telah berumur 16-18 hari. Pemberian naupli artemia ini dilakukan dua kali dalam sehari. Disamping pakan alami, larva juga diberi pakan buatan berupa mikro pellet komersial mulai umur 12-15 hari.  Waktu pemberian artemia dan pakan buatan disesuaikan dengan kondisi dan pertumbuhan larva. 
Pergantian air dilakukan mulai hari ketujuh dan diatur sebanyak 20% per hari. Persentase pergantian air semakin ditingkatkan sejalan dengan meningkatnya umur larva. Pada saat dilakukan pemberian pakan, pergantian air dihentikan sementara selama kurang lebih satu jam dan setelah itu dilakukan pergantian air kembali dengan pengaturan debit yang sama seperti sebelumnya.
 2.4.  Parameter 
Beberapa parameter yang diamati meliputi penyerapan pakan endogen, pemilihan jenis pakan alami, pertumbuhan larva serta sintasan larva dan benih. Penyerapan pakan endogen diamati dengan cara mengambil 5 ekor ikan kakap merah sebagai sampel, kemudian dilakukan pengukuran terhadap panjang dan lebar kuning telur serta diameter butir minyak yang ada pada larva tersebut. Pertumbuhan larva diamati dengan cara mengambil 5 ekor ikan kakap merah sebagai sampel, kemudian dilakukan pengukuran terhadap panjang totalnya. Setelah diukur, kemudian dilakukan pembedahan pada saluran pencernaan larva untuk mengamati jenis pakan alami yang dipilih oleh larva. Semua pengamatan tersebut dilakukan dengan stereoskopis mikroskop Olympus yang telah dilengkapi dengan micrometer sebagai alat ukur. Volume kuning telur dan volume butir minyak dihitung berdasarkan rumus yang diuraikan oleh Blaxter dan Hempel (1963) dalam Kohno et al. (1986).
 III.  HASIL DAN PEMBAHASAN
 3.1.  Penyerapan Pakan Endogen
Larva kakap merah, L. sebae yang baru menetas memiliki pakan endogen berupa kuning telur sebesar 179x10-3- 183 x10-3 mm3  dan butir minyak  0,66x10-3- 0,67x10-3 mm3. Pakan endogen tersebut merupakan satu-satunya sumber energi bagi larva sebelum larva mampu mengkonsumsi pakan yang berasal dari luar tubuhnya. Volume kuning telur larva kakap merah tersebut relatif lebih besar dibandingkan volume kuning telur larva kakap merah, L.argentimaculatus yang berkisar 0,149-0,182 x 10-4 mm3, (Doi dan Singhagraiawan, 1993).
Volume kuning telur larva berkurang cepat selama 20 jam setelah penetasan karena pada saat itu terjadi penyerapan sebesar 90,2% terhadap kuning telur. Setelah waktu tersebut, penyerapan kuning telur berlangsung lambat. Kuning telur habis dalam waktu 60 jam setelah penetasan. Penyerapan butir minyak berlangsung lebih lambat daripada penyerapan kuning telur. Pada 20 jam setelah penetasan penyerapan butir minyak sebesar 36,2%. Penyerapan baru berlangsung cepat antara 20-30 jam setelah menetas yaitu sebesar 30,1%. Butir minyak hampir habis dalam waktu 80 jam setelah penetasan (Gambar 1). Pola penyerapan pakan endogen pada larva kakap merah L.sebae ini hampir sama dengan pola yang terjadi pada larva kakap merah L.argentimaculatus. Pada larva L. argentimaculatus, penyerapan kuning telur juga terjadi lebih cepat dibandingkan penyerapan butir minyaknya dan kuning telur habis terserap pada 72,5 jam setelah penetasan (Imanto et al., 2001). 
Apabila pakan endogen telah habis terserap, menandakan bahwa pada saat itu larva telah memerlukan pakan eksogen. Ketersediaan jenis pakan alami yang sesuai dengan ukuran lebar mulut larva dalam jumlah yang memadai pada periode waktu tersebut merupakan syarat mutlak yang harus terpenuhi untuk menjamin kelangsungan hidup larva selanjutnya. Dalam pemeliharaan ini, larva diberi pakan eksogen berupa pakan alami yang terdiri dari zooplankton rotifer dan copepod stadia naupli dan copepodit. Berdasarkan hasil observasi yang mengkaitkan antara penyerapan pakan endogen dan kelengkapan morfologis larva seperti telah sempurnanya pigmentasi mata dan bukaan mulut larva, maka pemberian pakan awal untuk larva kakap merah L.sebae sebaiknya dilakukan mulai 35 jam setelah larva menetas karena pada saat tersebut pakan endogen larva sudah sangat terbatas jumlahnya dan larva sudah mampu untuk mencari pakan dari luar tubuhnya (Imanto dan Melianawati, 2003). 
 3.2.  Pemilihan Jenis Pakan Alami
Larva kakap merah L.sebae nampak memiliki sifat memilih terhadap jenis zooplankton yang diberikan sebagai pakan alaminya (Gambar 2). Larva cenderung memilih naupli copepod dan rotifer sebagai pakannya hingga larva berumur 8 hari. Pemilihan terhadap kedua jenis pakan alami tersebut antara lain disebabkan karena ukurannya yang relatif lebih kecil. Rotifer yang digunakan pada pengamatan ini berukuran 70-120 µm dan Komposisi pakan alami yang cenderung dipilih larva adalah 89-93% rotifer dan 11-7% naupli copepod. Hal ini diduga dipengaruhi oleh ketersediaan masing-masing jenis pakan alami itu sendiri dalam media pemeliharaan. Dalam pemeliharaan ini ketersediaan rotifer dalam media pemeliharaan larva lebih banyak dibandingkan copepod. Akibatnya persentase pemilihan terhadap rotifer juga lebih tinggi dibandingkan terhadap copepod. 
sebae.
 Disamping itu, pola gerakan dan sebaran pakan alami diduga juga mempengaruhi larva dalam memilihnya. Rotifer cenderung berenang lambat dengan gerakan spiral dan menyebar ke seluruh bagian media pemeliharaan, sebaliknya naupli copepod cenderung berenang lebih aktif namun lebih banyak terdistribusi di lapisan permukaan saja. Kemampuan renang larva hingga berumur 8 hari masih cenderung pasif karena masih terbatasnya kelengkapan morfologis larva itu sendiri dan hal ini mengakibatkan kemampuan daya jelajah larva untuk mencari pakan juga masih terbatas. 
Akibatnya kecenderungan larva untuk memilih rotifer sebagai pakannya lebih besar dibandingkan memilih copepod karena distribusi rotifer lebih merata di semua bagian media pemeliharaan larva dan lebih mudah dimangsa oleh larva karena gerakan renangnya yang lebih lambat. 
Setelah larva berumur 12 hari, disamping rotifer dan naupli copepod, larva juga mulai memilih copepodit copepod sebagai pakannya. Copepodit berukuran lebih besar daripada naupli copepod dan bersifat benthic dengan menempel pada dinding tangki pemeliharaan. Larva yang berumur 16 hari sudah tidak memilih rotifer lagi namun cenderung memilih naupli artemia sebagai pakannya, disamping naupli dan copepodit copepod. Naupli artemia yang baru menetas panjang dan lebarnya masing-masing 630 dan 186 µm (Moretti et al., 1999). Naupli ini aktif berenang. Meskipun berukuran lebih kecil dari rotifer namun naupli copepod masih tetap dipilih larva sebagai pakannya. Pada larva umur 20 hari terlihat hanya copepodit dan naupli artemia saja yang dipilih dikonsumsi oleh larva. Naupli artemia cenderung lebih banyak dipilih oleh larva.
3.3.  Pertumbuhan Larva 
Larva ikan kakap merah, L.sebae yang baru menetas memiliki ukuran panjang    total       2,44-2,64 mm.
Dibandingkan dengan larva kakap merah L.argentimaculatus, ukuran larva L.sebae tersebut relatif lebih besar karena larva L.argentimaculatus yang baru menetas  berukuran  panjang total 2,17-2,44 mm (Imanto et al., 2001), di Lampung 1,15 mm (Hartanti, 2000), sedangkan di Thailand 1,56 - 1,87 mm  (Doi dan  Singhagraiwan, 1993).
Selama masa pemeliharaan larva kakap merah menunjukkan pola pertumbuhan exponensial mulai dari menetas hingga menjadi juvenil. Hal ini ditunjukkan dengan peningkatan ukuran panjang total larva sejalan dengan pertambahan umurnya dan lama waktu pemeliharaan (Gambar 3).
Pemeliharaan larva umumnya berlangsung selama 25-30 hari.  Periode larva akan berakhir apabila larva telah mengalami metamorfosis menjadi bentuk juvenil. Lama waktu pemeliharaan larva antara lain dipengaruhi oleh kondisi biologis larva itu sendiri dan kondisi lingkungan.
 3.4.  Sintasan Larva dan Benih 
Larva kakap merah L.sebae memiliki tingkat kesulitan yang cukup tinggi dalam proses pemeliharaannya. Belum diketahui pasti faktor penyebabnya namun larva ini nampak lebih sensitif dibandingkan dengan larva kakap merah  L.argentimaculatus. Oleh karenanya, sintasan benih yang dihasilkan masih relatif rendah dan berfluktuasi. Dalam beberapa kali pemeliharaan diperoleh sintasan 0,41-2,10% (Imanto et al., 2002); 0,39-1,56% (Melianawati et al., 2006) dan
0,42-2,00% (Asliantia, 2008). Peningkatan sintasan pernah dilakukan dengan penambahan bahan pengkaya seperti emulsi kuning telur dan gonad kerang melalui proses bioenkapsulasi kepada zooplankton rotifer. Hasilnya menunjukkan bahwa dengan penambahan emulsi kuning telur dan gonad tiram, sintasan larva mencapai 1,61% dan 1,92%. Sedangkan sintasan larva yang tidak diberi penambahan bahan pengkaya tersebut hanya 0,51% (Asliantib, 2008). 
Sintasan kakap merah L. sebae pada stadia benih sudah cukup tinggi. Pada beberapa kali pemeliharaan, diperoleh sintasan 84-96% (Melianawati et al., 2005), 84,5-94% (Aslianti et al., 2009) dan 94-100% (Aslianti et al., 2011).
 IV. KESIMPULAN
 Penyerapan pakan endogen larva kakap merah Lutjanus sebae yang berupa kuning telur dan butir minyak, masingmasing berlangsung selama 60 dan 80 jam setelah penetasan.Jenis pakan alami yang cenderung dipilih oleh larva mulai umur 4 hingga 20 hari berturut-turut adalah rotifer, copepod dan naupli artemia.
Pola       pertumbuhan    larva      hingga menjadi benih adalah eksponensial.
Sintasan               larva      yang      dihasilkan berkisar 0,39-2,10%, sedangkan sintasan benih 84-100%. 
 DAFTAR PUSTAKA
 Aslianti, T. 2008a. Produksi benih ikan kakap merah Lutjanus sebae secara terkontrol. Prosiding Seminar Nasional Perikanan dan Kelautan, Universitas Brawijaya. I:249-253.
Aslianti, T. 2008b. Pertumbuhan dan kelangsungan hidup benih ikan kakap merah, Lutjanus sebae berdasarkan jenis pakan yang diberikan pada stadia awal. Prosiding Seminar Nasional
Biodiversitas II, Fakultas Sains dan Teknologi, Universitas Airlangga, Surabaya. Hlm.:187-192.
Aslianti, T., Afifah, dan M. Suastika. 2009. Pemanfaatan minyak buah merah, Pandanus cocoideus Lam dan carophyll pink dalam ransum pakan yuwana ikan kakap merah, Lutjanus sebae. J. Riset Akuakultur, 4(2):191-200.
Aslianti, T., Afifah, dan A. Priyono. 2011. Ekspresi beberapa jenis bahan karotenoid dalam pakan pada performansi warna benih ikan kakap merah (Lutjanus sebae). Berkala Penelitian Hayati (Edisi Khusus), 4B:51-57.
Badrudin, M. dan H.R. Barus. 1989. Stok ikan bambangan (Lutjanidae) di perairan Pantai Utara Rembang, Jawa Timur. J. Penelitian Perikanan Laut, 53:61-68.
Berita.manadotoday.com. Cuaca buruk, tangkapan kakap merah nelayan Lampung minim. Diakses 06-092011.
Doi, M. and Singhagraiwan. 1993. Biology and culture of the red snapper, Lutjanus argentimaculatus. The research project of fishery resource development in the kingdom of Thailand. The Eastern marine fisheries development center (EMDEC), Department of fisheries, ministry of agriculture and cooperatives, Thailand. 51p.
Empangku.blogspot.com. Budidaya kakap merah. Penebar swadaya dalam empangku.blogspot.com. Diakses 21-09-2011.
Fishindex.blogspot.com.              Emperor              red snapper (Lutjanus sebae). Diakses 23-08-2011.
Hartanti, D.F. 2000. Teknik pembenihan dan cara pemeliharaan larva kakap merah (Lutjanus argentimaculatus) sampai umur 9 hari di Balai Budidaya Laut Lampung. Laporan praktek kerja lapangan. Universitas Diponegoro. Semarang. 52hlm.
Hobiikan.blogspot.com.                Kakap    merah. Diakses 23-08-2011.
Imanto, P.T., R. Melianawati, M. Suastika, dan J.H. Hutapea. 2001. Pola pemangsaan larva ikan kakap merah (Lutjanus sp.) menunjang managemen pemeliharaan larva. Laporan teknis proyek inventarisasi dan evaluasi potensi sumberdaya kelautan. Gondol-Bali. Tahun Anggaran 2001. Hlm.:9-26. Tidak dipublikasi.
Imanto, P.T., R. Melianawati, M. Suastika, D.F. Hartanti, dan R.W. Aryati. 2002. Produksi massal larva ikan kakap merah. Laporan teknis proyek inventarisasi dan evaluasi potensi sumberdaya kelautan. Gondol-Bali. Tahun Anggaran 2002. Hlm.:340-345. Tidak dipublikasi.
Imanto, P.T. dan R. Melianawati. 2003. Perkembangan awal larva kakap merah  Lutjanus sebae. J. Penelitian Perikanan Indonesia, 9(1):11-20.
Kohno, H., S. Hara, and Y. Taki. 1986. Early larval development of the seabass Lates calcarifer with emphasis on the transition of energy sources. Bulletin of the Japanese Society of Scientific Fisheries, 52(10):1719-1725.
Lubzen, E., A. Tandler, and G. Minkoff.
1989. Rotifer as food in aquaculture. Hydrobiologia, 186/187:399-400.
Marinedepotlive.com.   Emperor              red snapper. Diakses 15-05-2006.
Marzuki, S. dan R. Djamal, 1992. Penelitian penyebaran, kepadatan stok dan beberapa parameter biologi induk kakap merah dan kerapu di perairan Laut Jawa dan Kepulauan Riau. J. Penelitian Perikanan Laut, 68:49-65.
Melianawati, R., R. Andamari, P.T. Imanto, dan M. Suastika. 2005. Pertumbuhan benih kakap merah Lutjanus sebae dalam skala budidaya. Prosiding pertemuan ilmiah tahunan ISOI, Surabaya. Hlm.:101-105.
Melianawati, R., P.T. Imanto, R.W. Aryati, dan M. Suastika. 2006.
Pemeliharaan larva kakap merah
Lutjanus sebae dan L. argentimaculatus pada hatchery tertutup sebagai upaya konservasi sumberdaya hayati laut. Prosiding pertemuan ilmiah tahunan III Ikatan Sarjana Oseanologi Indonesia. Hlm.:141-148.
Moretti, A., M.P. Fernandez-Criado, G. Cittolin, and R. Guidastri. 1999. Manual on hatchery production of seabass and gilthead seabream. Volume I. Rome. FAO. 194p.
Sarwono, H.A., H. Minjoyo, dan Sudjiharno. 1999. Penerapan rekayasa teknologi pemeliharaan larva ikan kakap merah, Lutjanus johni secara massal di bak terkendali. Bulletin budidaya laut 12, Lampung. Hlm.:9-14.
Scott, B.M. 2007. Keeping the Emperor
Snapper               Lutjanus               sebae.
www.tfhmagazine.com. Diakses 2308-2011.
Slamet, B., Tridjoko, A. Prijono, T. Setiadharma, dan K. Sugama. 1996. Penyerapan nutrisi endogen, tabiat makan dan perkembangan morfologi larva kerapu bebek (Cromileptes altivelis). J. Penelitian Perikanan Indonesia, 2(2):13-21.
Suastika, M., P.T. Imanto, R. Melianawati, dan Yunus. 2001a. Pemijahan induk kakap merah melalui stimulasi acute hormon gonadotropin. Laporan teknis proyek  inventarisasi dan evaluasi potensi sumberdaya kelautan. Gondol-Bali. Tahun  Anggaran
2001. Hlm.:2-8. Tidak dipublikasi.
Suastika, M., Yunus, R. Melianawati, dan P.T. Imanto. 2001b. Pertumbuhan larva ikan     kakap    merah dengan pengaturan pakan, intensitas dan waktu pencahayaan. Laporan teknis proyek inventarisasi dan evaluasi potensi sumberdaya kelautan. Gondol-Bali. Tahun Anggaran 2001. Hlm.:27-32. Tidak dipublikasi.
Suastika, M., Yunus, dan P.T. Imanto. 2002. Pengamatan pada parameter lingkungan  dalam kaitannya dengan suksesi pemijahan dan produksi telur ikan kakap merah. Laporan teknis proyek inventarisasi dan evaluasi potensi sumberdaya kelautan. Gondol-Bali. Tahun Anggaran 2002.  Hlm.:320-325.
Tidak dipublikasi.
Sugama, K. dan B. Priono. 2003. Pengembangan budidaya ikan kerapu di Indonesia. Warta Penelitian Perikanan Indonesia edisi akuakultur, 9(3):20-22.
Sukarno, M. Hutomo, M.K. Moosa, dan P. Darsono. 1981. Terumbu karang di Indonesia, sumberdaya, permasalahan dan pengelolaannya. LON-LIPI. Jakarta.  112hlm.
Sunyoto, P. dan Mustahal. 1997. Pembenihan ikan laut ekonomis: kerapu, kakap, beronang. Penebar Swadaya. Jakarta. 84hlm.
www.fishbase.org. Lutjanus sebae
(Cuvier, 1816). Diakses 23-08-2011.
Yasad, A. 2011. Harga ikan basah di Indramayu naik. www.antarajawabarat. com. Diakses 06-092011.

Sunday, September 29, 2013

RESPONS FISIOLOGI DAN LAJU PERTUMBUHAN JUVENIL IKAN BANDENG PADA UMUR BERBEDA

September 29, 2013 Posted by Media Penyuluhan Perikanan Pati No comments


Pemeliharaan Hewan Uji
Ikan uji yng digunakan adalah benih ikan bandeng yang berumur 20, 30 dan 40 hari setelah menetas sebanyak 300 ekor di pelihara dalam akuarium dengan menggunakan air yang bersalinitas 39 ppt. Pakan yang digunakan pada penelitian ini ialah pakan coomfeed nomor LA 7K dengan kandungan prorein 16,94%, lemak 0,88% dan air 7,66%.

Prosedur Penelitian
Benih ikan bandeng umur 20, 30 dan 40 hari dipelihara sebanyak 100 ekor untuk setiap kelompok umur. Selanjutnya benih ikan bandeng mulai dibantut hingga berumur 25, 35 dan 45 hari. Pengukuran konsumsi oksigen dilakukan setiap hari sebanyak 3 kali ulangan dan pengukuran bobot badan basah dilakukan sekali sehari. Kemudian pada saat benih bandeng berumur 26, 36 dan 46 hari perlakuan pembantutan dihentikan dan benih bandeng mulai diberi pakan berumur 20, 30 dan 40 hari. Pengukuran konsumsi oksigen dilakukan setiap hari sebanyak 3 kali ulangan dan pengukuran bobot badan basah dilakukan sekali sehari. Untuk pengukuran kualitas air dilakukan satu kali sehari. Parameter yang di ukur adalah salinitas dengan menggunakan hard refraktometer, dengan menggunakan DO meter.

Konsumsi Oksigen dan bobot basah
Konsumsi oksigen di ukur setiap hari dengan metode tertutup (Kurokuraet al., 1995) sebagai berikut: mengisi bobot respirasi hingga penuh dan diusahan agar tidak timbul gelembung udara, kemudian secara perlahan-lahan dimasukan 5 ekor benih bandeng lalu botol ditutup rapat. Bagian pinggir botol respirasi diisolasi untuk mencega terjadinya difusi oksigen dari luar. Benih ikan bandeng kemudian diadaptasikan selama 10 menit. Air yang berasal dari botol respirasi ditampung dalam botol sampel untuk mengukur konsumsi oksigen akhir ikan. Konsumsi oksigen awal diperoleh dari pengukuran oksigen air yang menuju botol respirasi. Konsumsi oksigen tanpa benih (test blank) juga diukur sebagai kontrol penelitian setiap hari benih ikan bandeng di timbang dengan menggunakan timbangan elektrik untuk memperoleh data bobot badan basah ikan bandeng rata-rata. Data disajikan dalam µI O2 . mg bobot basah-1 jam -1 dan µI O2 . ikan-1  jam -1 . selain iti diadakan pengamatan tingkah laku selama penelitian.
 Pengukuran Peubah
Laju konsumsi oksigen ditentukan berdasarkan jumlah konsumsi oksigen yang diukur pada awal dan akhir pengukuran, dihitung dengan menggunakan formula yang dikemukakan oleh Djawad et al,. (1996). Laju pertumbuhan bobot benih ikan bandeng dihitung dengan menggunakan rumus pertumbuhan harian spesifik yng dikemukakan oleh Zonneveld et al,. (1991). Sintasas benih ikan bandeng selama penelitian, dihitung dengan menggunakan rumus yang dikemukakan oleh Effendie (1979).
Konsumsi Oksigen
Berdasarkan pengamatan selama penelitian, konsumsi oksigen benih ikan bandeng yang dibantut pada semua kelompok umur sisajikan dalam bentuk grafik (Gambar 1,2 dan 3). Berdasarkan ketiga gambar tersebut di atas terlihat bahwa pada awal pelaparan hari 0 sampai hari ke-1 terjadi peningkatan konsumsi oksigen pada semua kelompok umur ikan yang diteliti. Hal ini kemungkinan di proses adaptasi lingkungan dari aquarium ke botol respirator sehingga menyebabkan aktivitas atau kecepatan renangnya juga meningkat. Kondisi ini sejalan dengan hasil penelitiaan Schaeperculus (1933) dalam Hoar dan Randall (1969) yang melaporkan bahwa konsumsi oksigen ikan tench (Tinca tinca) mengalami peningkatan sebanyak 3 kali setelah dilakukan pemindahan dari tambak ke tangki.
Pada Tabel 1 memperlihatkan rata-rata tingkat konsumsi oksigen benih ikan bandeng yang dilaparkan sedangkan Tabel 2 merupakan rata-rata tingkat konsumsi oksigen pada awal pemberian pakan sampai akhir penelitian.
Tabel 1. Rata-rata Tingkat  Konsumsi Oksigen Benih Ikan Bandeng yang dilaparkan.
 
Umur (hari)
Konsumsi Oksigen (µL O2 /mg bobot basah /jam)
0
1
2
3
4
5
20
0,702
1, 179
1,556
1,786
1, 785
1,777
30
-
0,673
0,724
0,738
0,836
0,834
40
-
0,214
0,253
0,388
0,367
0,334

 
Tabel 2 rata-rata tingkat konsumsi oksigen benih ikan bandeng pada awal pemberian pakan sampai akhir penelitian.
Umur (hari)
Konsumsi Oksigen (µL O2 /mg bobot basah /jam)
0
1
2
3
4
5
20
0,702
1, 179
1,556
1,786
1, 785
1,777
30
-
0,673
0,724
0,738
0,836
0,834
40
-
0,214
0,253
0,388
0,367
0,334
            Dari tabel 1 terlihat bahwa pada hari ke-1 sampai ke-3 terjadi penurunan konsumsi oksigen pada benih ikan bandeng umur 30 dan 40 hari. Sedangkan pada benih umur 20 hari terjadi penurunan konsumsi oksigen sampai hari ke-4. Penurunan konsumsi oksigen ini disebabkan karena kondisi tubuh benih ikan bandeng yang semakin lemah akibatnya kurangnya energi sehingga aktivitasnya menjadi lambat. Hal yang sama terjadi pada borok trout yang mengalami penurunan konsumsi oksigen akibat berkurangnya energi pada tiga hari pertama dari pelaparan (Arthur dalam Hoar dan Randall 1969).
            Pada benih yang berumur 20 hari terlihat adanya penurunan tingkat konsumsi oksigen secara terus menerus mulai dari hari ke-1 sampai ke-4. Hal ini disebabkan karena rendahnya energi yang ada di dalam tubuhnya akibat proses pelaparan. Jika dihubungkan dengan tingkat metabolisme dimana ikan kecil memiliki tingkat metabolisme yang lebih tinggi dari pada ikan yang besar. Sehingga kebutuhan enrgi pada ikan kecil lebih besar karena energi tersebut digunakan untuk pertumbuhan, ativitas dan pembentukan jaringan baru. Hal ini sejalan dengan pernyataan Fujaya (1999) bahwa pada keadaan cukup makan ikan akan mengkonsumsi makan hingga memenuhi kebutuhan energinya. Pengamatan diatas sesuai pula dengan penelitian pada ikan mas dengan bobot 12 gr, tingkat metaboliknya sebesar 24,48 kkal dalam 24 jam/kg dari berat badan, sedangkan pada ikan dengan bobot 600 gr. Hanya 7,79 kkal. (Schaeperculus 1933 dalam Hoar dan Randall, 1969).
            Masih dari tabel 1 terlihat bahwa pada benih berumur 30 hari dan 40 hari yang terjadi peningkatan konsumsi pada benih berumur 30 hari dan 40 hari yang disebabkan karena tingkah laku benih ikan yng mengalami stress. Kondisi ini dapat dimungkinkan karena tekanan fisiologi benih berat atau serius atau di bandingkan dengan kondisi ketika konsumsi oksigen mengangalami penurunan (Djawd et al., 1982). Hal ini dapat juga terjadi terjadi karena pada saat ikan dipuasakan akan terjadi penurunan karbohidrat dan lemak semakin rendah tetapi penggunaan oksigen menjadi lebih meningkat (Anonim 1999).
            Pada hari ke-5 terjadi penurunan konsumsi oksigen pada benih umur 30 dan 40 hari. Hal ini di mungkinkan karena tubuh ikan semakin lemah dan cadangan makanan sudah berkurang atau habis akibatnya menjadi kematian bagi ikan tersebut pada benih bandeng lebih dari 50%. Pada saat pelaparan ada masa dimana dalam tubuh terjadi proses glikogenogenesis yang merupakan proses pembentukan glikogen dan sebaliknya glikenolisis yang merupakan proses pemecahan glikogen menjadi bentuk glukosa dalam sel, sehingga glukosa ini dapat digunakan sebagai cadangan makanan yang menyebabkan konsumsi oksigen berflukturasi.
       Dari tabel 2 terlihat bahwa setelah dilakukan pemberian pakan pada ketiga kelompok umur benih, terjadi peningkatan konsumsi oksigen yang sangat cepat diiringi dengan meningkatnya aktivitas (kecepatan renang) dari ikan. Hal ini sesuai dengn penyataan Davis (1953) dalam Hoar dan Randall (1969) yang telah melakukan penelitian terhadap kebutuhan oksigen ikan air tawar setelah diberi pakan. Hasil penelitiannya menunjukan bahwa peningkatan kebutuhan oksigen dapat terjadi akibat faktor pemberian pakan, terkejut dan stree akibat perubahan lingkungan.
            Peningkatan konsumsi oksigen serta kecepatan renang secara terus menerus menyebabkan kelelahan dan menimbulkan oxygen debt (utang oksigen).
 Menurut Lockwood (1967) metabolisme makanan merupakan salah satu faktor yang mempengaruhi laju pemanfaatan oksigen terlarut. Organisme yang aktif makan atau dalam keadaan kenyang akan menggunakan oksigen terlarut yang lebih banyak dibandingkan dengan organisme yang lapar pada sepesies danu ukuran yang sama.
            Pada benih berumur 20 dan 40 hari pada hari ke-8 dan ke-9 terjadi penurunan konsumsi oksigen. Hal ini disebabkan karena terjadinya proses oksigen debt akibat adanya peningkatan konsumsi oksigen pada awal pemberian pakan. Oksigenbedt menggunakan basal metabolisme (resting) dan adanya faktor adaptasi ikan terhadap pakan sehingga konsumsi oksigennya menjadi stabil kembali.
            Sementara itu pada benih yang berumur30 hari terjadi penurunana konsumsi oksigen pada hari ke-10. Hal initerjadi karena pada saat benih diberi pakan, peningkatan konsimsi oksigen tidak terlalu tinggi. Gambar prafik menurun pada setiap kelompok umur juga dimungkinkankarena bertambahnya bobot benih bandeng yang dibantut. Hal ini sesuai dengan pernyataan Fujaya (1999) bahwa parubahan dari berat badan menyebabkan perubahan tingkat konsumsi oksigennya sangat kecil. Jika total konsumsi oksigen meningkat akibat meningkatnya ukur, maka konsumsi  oksigen per unit berat badan akan menurun.
            Pada fase muda, jumlah O2 bb-1 jam-1 lebih besar pemakaiannya dibandingkat dengan organisme yang lebih tua. Tingginya rata-rata penggunaan oksigen pada organisme lebih muda ini sejalan  dengan temuan imai (1974) yang menyatakan bahwa laju konsumsi oksigen per unit berat spesimen adalah lebih tinggi pada organisme yang lebih kecil dan spesimen yang lebih aktif.
Laju Pertumbuhan Bobot Benih Bandeng
       Hasil perhitungan laju pertumbuhan Spesifik Harian (SGR) benih ikan bandeng dapat dilihat pada Tabel 3. Dari tabel tersebut terlihat bahwa SGRnya tidak memperlihatkan peningkatan yang berarti. Hal ini disebabkan selain karena kualitas pakan yang rendah juga diduga sebagai akibat dari hormon pertumbuhan dalam tubuh benih bandeng yang terbatas serta singkatannya waktu pembantutan.
            Hewan-hewan yang diberi pakan kembali setelah sebelumnya dilaparkan atau diberi pakan yang tidak cukup, secara perlahan-lahan akan mengalami peningkatan konsentrasi RNA didalam jaringan. Kapasitas sintesia protein akan pulih kembali sejalan dengan pemberian pakan yang cukup menghasilkan peningkatan aktivitas, sintesa protein, pertumbuhan dan efisiensi konversi pakan (Jobling, 1994).
  Tabel 3. Laju Pertumbuhan Spesifikasi Harian Benih Ikan Bandeng yang Dibantut
Umur
Pertumbuhan Spesifikasi Harian
20 hari
0,03% hari
30 hari
0,04% hari
40 hari
0,05% hari
            Hal ini sesuai dengan Hoar dan Randall (1979) bahwa jika ikan dibatasi pakannya maka berat badannya menjadi berkurang dan setelah masa pelaparan selesai , pertambahan beratnya akan berlangsung dengan cepat. Sebai contoh dapat dilihat pada penelitian yang telah dilakuakan oleh Bombeo-Tuburan (1988) tentang The Effect of Stunting of Milk Fish yang mengalami kesimpulan bahwa ikan bandeng yang dibantut mengalami pertumbuhan yang lebih cepat dibandingkan dengan ikan bandeng yang tidak mengalami pembantutan. Penelitian yang mengemukakan lambatnya pertumbuhan bobot sebagai akibat dari hormon pertumbuhan yang terbatas juga terjadi pada penelitian pembantutan udang windu (Penaus monondon Fab) (Mengampa et al., 1990).
KESIMPULAN

Ikan bandeng merupakan suatu komoditas perikanan yang sudah lama dibudidayakan oleh petani tambak indonesia (Pirzan et al., 1989). Ikan ini juga merupakan jenis ikan ekonomis penting di sulawesi selatan karena terdapat digunakan sebagai sumber protein hewani yang relatif murah (Aslianti, 1995).
Berdasarkan ketiga gambar tersebut di atas terlihat bahwa pada awal pelaparan hari 0 sampai hari ke-1 terjadi peningkatan konsumsi oksigen pada semua kelompok umur ikan yang diteliti. Hal ini kemungkinan di proses adaptasi lingkungan dari aquarium ke botol respirator sehingga menyebabkan aktivitas atau kecepatan renangnya juga meningkat.
Pada benih umur 20 hari terjadi penurunan konsumsi oksigen sampai hari ke-4 Penurunan konsumsi oksigen ini disebabkan karena kondisi tubuh benih ikan bandeng yang semakin lemah akibatnya kurangnya energi sehingga aktivitasnya menjadi lambat. Sedangkan Pada benih yang berumur 20 hari terlihat adanya penurunan tingkat konsumsi oksigen secara terus menerus mulai dari hari ke-1 sampai ke-4. Hal ini disebabkan karena rendahnya energi yang ada di dalam tubuhnya akibat proses pelaparan. Jika dihubungkan dengan tingkat metabolisme dimana ikan kecil memiliki tingkat metabolisme yang lebih tinggi dari pada ikan yang besar.