Tuesday, April 30, 2013

MENGENAL IKAN JENIS PELAGIS IKAN LAYANG

April 30, 2013 Posted by Media Penyuluhan Perikanan Pati 1 comment
Status Sumberdaya Perikanan Pelagis Kecil
Sumberdaya ikan pelagis merupakan salah satu sumberdaya perikanan yang   umumnya hidup pada lapisan permukaan dan terdiri dari banyak spesies yang berukuran badannya relatif tetap kecil  meskipun telah dewasa (Dwiponggo,1983)
Sumberdaya ikan pelagis kecil diduga merupakan salah satu sumberdaya perikanan yang paling melimpah di perairan Indonesia. Sumberdaya ini merupakan sumberdaya neritik, karena terutama penyebarannya adalah di perairan dekat pantai. Di daerah – daerah dimana terjadi proses pengadukan massa air (upwelling), sumberdaya ini dapat membentuk biomasaa yang sangat besar (Csirke dalam Merta,dkk.,1999).
Ikan-ikan pelagis kecil  yang tergolong kedalam ordo Perciformes terdiri dari ikan-ikan karanggid  yang hidup di paparan benua seperti ikan layang, selar, kuwe dan lain-lain dan skombroid seperti kembung,tenggiri serta berbagai jenis ikan tuna oseanik,  setuhuk , layaran, dan lain-lain. Diantara famili dalam ordo Perciformes yang terdapat di paparan benua dan perairan pantai, maka ikan layang dan selar, kembung dan tenggiri  mendominasi wajah ekosistem pelagis perairan Indonenesia. Ikan-ikan karanggid bersifat aktif pada malam hari di samping sebagai perenang yang aktif  (Widodo ,1991).
Kondisi dari berbagai jenis sumberdaya ikan pelagis kecil di wilayah perairan Indonesia bagian barat, terutama di Utara Jawa, Selat Bali dan bagian selatan Sulawesi telah mengalami tekanan eksploitasi yang intensif. Sebaliknya hampir di seluruh perairan wilayah Indonesia bagian timur, sumberdaya ikan yang sama masih belum diusahakan secara optimal.
Sumberdaya ikan pelagis kecil di perairan Laut Jawa pada dasarnya mempunyai potensi yang besar. Pemanfaatan sumberdaya ikan tersebut dapat mendukung  serta mengembangkan perekonomian. Apabila dilihat dari tingkat pemanfaatan sumberdaya ikan pelagis kecil  di Laut Jawa, telah melebihi daya dukungnya  yaitu sudah 200 %, hal ini ditandai dengan menurunnya hasil tangkapan dan ukuran individu yang tertangkap (Ditjen Perikanan Tangkap, 2002).
Sumberdaya ikan pelagis kecil di Laut Jawa dan sekitarnya terdiri dari komunitas ikan pelagis pantai (Sardinella spp,Rastrellinger spp,Selar spp, Dusumieria acuta) ikan pelagis neritik dan oceanik (Decapterus russelli, D.macrosoma, Selar crumenopthalmus, Rastrelliger kanagurta, Amblygaster sirm) (Potier, dkk.,1988).  Lima spesies utama hasil tangkapan pukat cincin yaitu ikan layang (Decapterus ruselli dan Decapterus macrosoma) , Banyar (Rastrelliger  kanagurta),     Selar (Selar crumenopthalmus), siro (Amblygaster sirm). Ikan-ikan tersebut memberi kontribusi lebih 90 % dari seluruh hasil tangkapan, kecuali di zona penangkapan Utara Jawa Tengah sampai Karimunjawa (Suwarso,dkk.,2003).
Pada umumnya secara substansial peningkatan produksi ikan pelagis kecil di Laut Jawa pada akhir-akhir ini tidak hanya kearah perluasan daerah penangkapan saja, tetapi juga  pergantian/perubahan dalam upaya penangkapan yaitu dari usaha perikanan demersal ke usaha perikanan pelagis kecil, pada saat penghapusan trawl.di Laut Jawa.
Kekhawatiran terhadap tekanan sumberdaya ikan pelagis kecil, yaitu rata-rata umur ikan lebih muda banyak yang tertangkap dan  menimbulkan  adanya  upaya peningkatan laju eksploitasi  serta  akan menimbulkan rekruitmen over fishing, berhubung ukuran pertama kali ikan yang  tertangkap  (Lc)  lebih  besar daripada pertama kali matang gonade (Lm)   serta  penetapan spesifik daerah pemijahan dari hasil tangkapan purse seine masih sulit dilaksanakan  (Widodo,1991).
Potensi lestari sumberdaya perikanan pelagis kecil di Laut Jawa diperkirakan sekitar 340.000 ton per tahun dengan tingkat pengusahaan sudah mencapai 130,26 %, beberapa jenis ikan pelagis kecil yang telah mengalami pengusahaan yang berlebihan, yakni ikan layang, tembang, sero dan selar (Azis.,dkk dalam Fauzi.,2005). Hal ini terbukti secara biofisik antara lain (i) menurunnya hasil tangkapan per hari (ii) menurunnya ukuran rata-rata ikan yang mendominasi hasil tangkapan (iii) semakin jauhnya daerah penangkapan (Widodo,1988).
2.2 Status Perikanan Ikan Layang
Usaha perikanan ikan layang (Decapterus spp), menggunakan alat     tangkap berupa jaring purse seine dengan ukuran mata jaring  15 mm, panjang jaring sekitar 300 – 400 meter pada kedalaman 50 – 70 meter, yang merupakan salah satu  usaha perikanan yang paling utama di Laut Jawa  dan menduduki rangking pertama baik dalam jumlah dan nilai produksinya.  Kelimpahan usaha perikanan ini tergantung dari 2 (dua) jenis spesies ikan layang yaitu (1) ikan layang atau “Indian Scad”  (Decapterus russselli) atau menurut Gushiken  dalam Widodo (1991) sering salah dalam mengidentifikasi sebagai Decapterus maruadsi,  yang hanya dijumpai  di perairan pantai Jepang dan China  yang mendominasi dalam usaha penangkapan  (2) ikan layang deles atau “Short fin scad” Decapterus macrosoma.  Stok kedua spesies  terkonsentrasi di bagian timur paparan Laut Jawa  yaitu  dari Kepulauan Karimun Jawa, kearah barat sampai bagian timur P.Lari-larian.
Sejak pertama kapal purse seine dioperasikan  di Perairan Laut Jawa  pada   tahun 1971, daerah  penangkapan utamanya yaitu di perairan pantai yang landai sebelah Timur  Laut Jawa,  yaitu mulai dari Kepulauan Karimun Jawa  yang berbatasan dengan perairan bagian barat P. Bawean dan Massalembo bagian timur. Sejak purse seine dioperasikan hasil tangkapannya meningkat terus menerus dari tahun ketahun. Sejak tahun 1982 daerah penangkapan telah meluas kearah timur  sampai Matasiri  dan akhirnya sampai P. Lari-larian di Selat  Makassar.
Dengan ditemukan  daerah penangkapan baru yakni sekitar perairan Matasiri sampai perairan Lari-larian di Selat Makassar produksi naik,  yaitu dari  40.000 ton (1982)  menjadi 100.000 ton (1985).  Namun beberapa tahun terakhir produksi ikan layang secara nasional mengalami penurunan hingga 52.000 ton (1988) dan selanjutnya naik lagi menjadi 65.000 ton pada tahun 1989  (Widodo,1991). Demikian juga ikan layang yang didaratkan di PPN Pekalongan selama 10 (sepuluh) tahun terakhir  juga mengalami penurunan yaitu dari 55.817 ton pada tahun 1994 menjadi
22.793 ton  pada tahun 2003 dengan rata-rata penurunan 9,47 % per tahun
(PPN Pekalongan, 2005)
Dalam kurun waktu 10 tahun tersebut,  hasil tangkapan ikan layang  dengan kapal purse seine, rata-rata per bulannya mengalami penurunan  sampai titik terendah, yaitu  terjadi pada  bulan Pebruari ketika angin berembus sangat kencang mencapai klimaks.  Hal ini yang mengakibatkan hasil tangkapan rendah dalam bulan Pebruari – Maret yang secara rinci dapat dilihat pada lampiran 2 (PPN Pekalongan, 2005). Penyebab rendahnya hasil tangkapan ini, tidak hanya karena angin kencang  dan gelombang yang kuat, tetapi juga  kondisi biologi  ikan dalam bulan-bulan tersebut   rata-rata panjang ikan layang  (Decapterus spp) yang tertangkap berukuran  minimum (Widodo,1988).
Menurut Statistik Perikanan Indonesia 1991–2001 (Ditjen Perikanan Tangkap,2003), perkembangan hasil tangkapan ikan layang  mengalami fluktuasi, yaitu mengalami peningkatan dari 213.274 ton (1991) menjadi 277.593 ton pada tahun 1998. Kemudian mulai tahun 1999 sampai 2001,  hasil tangkapan menurun  yaitu dari 261.138 ton menjadi 258.393 ton namun  penurunan  ini diikuti dengan peningkatan jumlah kapal purse seine dari 9.924 buah pada tahun 1999 menjadi 13.485 buah pada tahun 2001. Secara rinci dapat dibaca pada  Lampiran 2. 
Dari data tersebut  secara nasional sumberdaya ikan layang menunjukkan adanya penurunan . Bahkan fluktuasi penurunan sumberdaya ikan layang ini sudah dimulai sejak tahun tahun 1982 Hal ini sesuai hasil penelitian   Nurhakim,dkk (1987) yang menyatakan bahwa usaha penangkapan ikan layang di Laut Jawa telah menunjukkan gejala upaya penangkapan yang berlebih, sehingga apabila penangkapan ikan terus masih berkembang, maka dikawatirkan akan merugikan usaha
penangkapan dan sumberdaya perikanan itu sendiri.
2.3 Biologi Ikan Layang
        a.  Diskripsi dan Sistematika
Ikan layang (Decapterus spp) merupakan salah satu komunitas perikanan   pelagis kecil yang penting di  Indonesia. Ikan yang tergolong suku Carangidae ini bisa hidup bergerombol . Ukurannya sekitar 15 centimeter meskipun ada pula yang bisa mencapai 25 centimeter . Ciri khas yang sering dijumpai pada ikan layang ialah terdapatnya sirip kecil ( finlet) di belakang sirip punggung dan sirip dubur dan terdapat sisik berlingin yang tebal (lateral scute)  pada bagian garis sisi (lateral line)

Saturday, April 20, 2013

PEMBENIHAN IKAN Corydoras Paleatus

April 20, 2013 Posted by Media Penyuluhan Perikanan Pati 1 comment
Corydoras paleatus, ikan yang berasal dari La Plata, Brasil, ini juga dikenal dengan nama Preppered Corydoras. Corydoras paleatus mudah memijah walaupun berada di lingkungan pemeliharaan yang terbatas, namun lingkungan yang disenanginya bersuasana damai dan tenang.
Dalam upaya memelihara corydoras paleatus, kualitas air harus dijaga (usahakan suhu 28-30 °C & pH 4-6) dan kebersihannya juga perlu diperhatikan sehingga perlu mengganti air secara rutin maksimal dua hari sekali. Jumlah air yang diganti adalah 2/3 bagian, sisa pakan dan kotoran yang ada di dasar akuarium harus selalu dibersihkan dengan cara menyipon.
Induk Corydoras paleatus baru dapat dipijahkan saat usia minimal 10 bulan dengan ukuran kurang lebih 7 cm. Ikan jantan memiliki ciri tubuh bagian atas berwarna hijau olive kegelapan atau cokelat olive, sedangkan bagian bawah kuning pucat, sirip dorsal, anal, dan ekor berwarna abu-abu sedikit bebercak gelap. Ikan betina memiliki bentuk tubuh yang membesar di bagian perut (seperti diamond), sedangkan yang jantan runcing (seperti terpedo).
Latar Belakang
Corydoras panda yang berasal dari Rio Ucayali mulai dikenal tahun 1995. Warna tubuhnya kekuningan atau coklat muda dengan tanda hitam menyilang di bagian mata, sirip punggung dan pangkal ekor. Paduan warna di tubuhnya tersebut menyebabkan penampilannya mirip seperti binatang panda, sehingga dinamakan corydoras panda. Sistematika corydoras menurut Hoedemen (1975)  sebagai berikut :
Filum               : Chordata
Kelas               : Osteichthyes
Subkelas          : Actinopterygii
Ordo                : Siluriformes         
Subordo          : Siluroidei
Famili              : Callichthyidae
Genus              : Corydoras
Tujuan
Pembenihan Corydoras Panda ini bertujuan sebagai literatur didalam pembenihan dan pengembang biakan ikan.
Morfologi
   Ciri-ciri morfologi dari genus Corydoras ini antara lain tubuhnya pendek dan gemuk, punggung lebih melengkung dibanding perut, kedua sisi ikan dilengkapi dengan lempengan seperti tulang yang tersusun dalam dua baris, serta pada rahang atas dan bawah terdapat dua pasang kumis. Ukuran tubuh ikan ini berkisar 2,5-12 cm dengan ukuran mayoritas 5-7 cm. Corydoras ada sekitas 100 spesies atau jenis. Setiap jenisnya memiliki ciri khas yang membedakan satu dengan yang lainnya, terutama dari warna tubuhnya yang bervariasi. Namun dari sekian banyak jenisnya tersebut, hanya ada beberapa jenis saja yang terkenal. Umumnya jenis corydoras yang dikenal tersebut mudah berkembangbiak. Beberapa jenis yang sudah dikembangkan secara massal di Indonesia diantaranya :  Corydoras panda, Corydoras paleatus, Coridoras sterbai, Corydoras albino dan Corydoras bronze.
2.2. Seleksi dan Pengelolaan Induk
Induk yang dipijahkan yaitu induk yang berumur 7 bulan keatas atau dengan panjang tubuh 3 – 4,5 cm. Ikan jantan memiliki bentuk tubuh seperti terpedo. Bagian dari belakang insang meruncing hingga ke ekor. Tubuh ikan jantan lebih langsing dan ukurannya lebih kecil daripada betina. Sirip dorsalnya tampak lebih runcing, sementara induk betina memiliki tubuh yang lebih besar dibanding jantan dan perutnya tampak membundar karena berisi telur.
          Pemeliharaan induk dilakukan dengan cara bersama antara jantan dan betina dalam satu akuarium, selama pemeliharaan induk diberi pakan berprotein tinggi untuk menjaga kualitas dan kuantitas telur, yang didapat dari pakan alami berupa tubifex (cacing sutera) atau larva chironomus (cacing darah).
         Penggantian air harus dilakukan setiap hari untuk menjaga kualitas induk dan kualitas air.
2.3. Proses Pemijahan
Corydoras mengeluarkan telurnya secara parsial, maka setiap hari dapat ditemukan telur yang menempel pada rumbai-rumbai rafia dan pada kaca akuarium bagian atas atau didasar akuarium. Waktu pemijahan terjadi menjelang pagi atau pada pagi hari, saat berpijah corydoras perlu ketenangan atau suasana yang tenang. Keberhasilan saat memijah dapat diamati dari telur yang menempel pada substrat, jika telur berwarna bening maka mutu telur bagus, sedangkan jika berwarna putih maka mutu telur tidak bagus, kemudian substrat yang sudah ditempeli telur diambil/diangkat dan dipindahkan ketempat penetasan berupa akuarium.
Karena pemijahannya bersifat masal dalam satu wadah maka perbandingan antara jantan dan betina adalah satu banding satu. Saat memijah mulut betina mendekati bagian genital jantan untuk menghisap sperma jantan agar dapat mengumpulkan sperma jantan di dalam mulutnya. Sesaat kemudian betina meninggalkan jantannya, dari mulut induk betina tersebut sperma jantan akan dikeluarkan bersamaan dengan telur-telur dari dalam tubuhnya, kemudian ditempelkan pada substrat, dengan demikian telur sudah terbuahi. Jumlah telur yang mampu dihasilkan untuk satu ekor induk yaitu sebanyak 200 – 300 butir telur.
Penetasan Telur
         Telur-telur corydoras panda yang berada di tempat penetasan (berupa akuarium) dengan ukuran 100 cm x 50 cm x 50 cm dengan ketinggian air 35 cm, akan menetas menjadi benih pada hari ke 4 (empat). Sementara substrat yang telur-telurnya sudah menetas segera diangkat dan dicuci bersih sebelum digunakan lagi. Pencucian tersebut bertujuan untuk menghilangkan sisa-sisa telur yang tidak menetas dan membersihkan jamur yang menempel pada substrat.
         Benih yang baru menetas tidak langsung diberi pakan karena benih tersebut masih membawa kuning telur sebagai makanannya, pada hari ketiga baru diberikan pakan berupa artemia dengan dosis 75 gr. Pakan artemia diberikan secara rutin selama 7 hari, pada hari ke 8 sampai hari ke 14 diberi campuran antara artemia dengan cacing sutera yang diblender  atau dihaluskan, dengan dosis satu sendok teh cacing sutera per akuarium.
Pendederan
         Pendederan merupakan tahapan pemeliharaan benih corydoras setelah dirawat di akuarium selama 7 – 10 hari. Pendederan ini dilakukan hingga benih berukuran sekitar 1,75 cm atau selama 1 – 1,5 bulan. Wadah pendederan dapat berupa bak semen, fiberglas, atau akuarium.
Selama pemeliharaan, corydoras akan lebih banyak memanfaatkan dasar perairan. Oleh karena itu, padat penebarannya jangan telalu tinggi, cukup sekitar 1.000 – 2.000 ekor/m². Jika kepadatannya terlalu tinggi, ikan akan bersaing memperoleh pakan.
Tinggi air medianya pun disarankan tidak terlalu tinggi, yaitu sekitar 10 cm. Hal ini disebabkan ikan akan sering naik ke permukaan air untuk mengambil oksigen dari udara. Bila tinggi airnya melebihi tinggi ideal, dikhawatirkan akan banyak energi yang terbuang. Pakan yang digunakan selama masa pendederan ini adalah cacing sutera. Dosis secukupnya saja sesuai kebutuhan ikan. Sesuai pengalaman, biasanya dosisnya sekitar 10% dari bobot total ikan. 
Kualitas Air
         Kualitas air selama pemeliharaan benih harus selalu dijaga kebersihannya sehingga perlu diadakan penggantian air secara rutin sehari atau dua hari sekali, jumlah air yang diganti adalah 2/3 bagian, karena benih corydoras menyukai air yang bening dan bersih maka sisa pakan dan kotoran yang ada di dasar akuarium harus selalu dibersihkan/dibuang dengan cara menyipon. Parameter air yaitu suhu 28°C – 30°C, pH 4 – 6, Kesadahan 2 – 4, Oksigen 2 – 5.
Pemijahan
Waktu pemijahan terjadi menjelang pagi hari atau pada pagi hari, saat memijah corydoras perlu ketenangan atau suasana yang tenang. Ikan ini akan mengeluarkan telurnya secara bertahap, maka jangan heran setiap harinya Anda ditemukan telur menempel pada rumbai-rumbai rafia dan pada kaca akuarium bagian atas atau didasar akuarium.
Keberhasilan saat memijah dapat diamati dari telur yang menempel pada substrat, jika telur berwarna bening maka mutu telur bagus sedangkan yang berwarna putih maka mutu telur tidak bagus. Saat memijah mulut betina mendekati bagian genitikal jantan untuk menghisap sperma jantan agar dapat mengumpulkan sperma jantan di dalam mulutnya.
Sesaat kemudian betina meninggalkan jantannya, dari mulut betina tersebut sperma jantan akan dikeluarkan bersamaan dengan dikeluarkannya telur-telur dari dalam tubuhnya kemudian ditempelkan pada substrat, dengan demikian telur sudah terbuahi. Jumlah telur yang mampu dihasilkan untuk satu ekor induk yaitu sebanyak 200-350 butir telur.
Penetasan
Siapkan akuarium dengan ukuran 100 x 50 x 50 cm dengan ketinggian air 35 cm, telur-telur corydoras paleatus akan menetas menjadi benih pada hari keempat. Sementara substrat yang telur-telurnya sudah menetas segera diangkat dan dicuci bersih sebelum digunakan lagi.
Benih yang baru menetas jangan langsung diberi pakan, jika sudah memasuki hari ketiga baru berikanlah pakan berupa artemia dengan dosis 75 gr. Pakan artemia diberikan secara rutin selama 7 hari, pada hari ke 8 sampai hari ke 14 diberi campuran antara artemia dengan cacing sutera yang dihaluskan dengan dosis satu sendok teh cacing sutera per akuarium
orydoras paleatus yang berasal dari La Plata Brasil, dikenal juga dengan nama Preppered Corydoras. Jenis ini mudah memijah walaupun berada di lingkungan pemeliharaan yang terbatas. Lingkungan yang disenaginya bersuasana damai dan tenang.
Sistematika Corydoras
            Sistematika corydoras menurut Hoedemen (1975) sebagai berikut :
§  Filum                 : Chordata
§  Kelas                 : Osteichthyes
§  Subkelas          : Actinopterygii
§  Ordo                  : Siluriformes
§  Subordo            : Siluroidei
§  Famili                : Callichthyidae
§  Genus               : Corydoras
§  Species             : Corydoras paleatus
II. SELEKSI Induk
            Induk dapat dipijahkan minimal pada umur 10 bulan atau berukuran 7-8 cm.
Tubuh bagian atas hijau olive kegelapan atau cokelat olive, sedangkan bagian bawah kuning pucat. Sirip dorsal, anal, dan ekor berwarna abu-abu sedikit bebercak gelap. Ikan betina memiliki bentuk tubuh yang membesar di bagian perut (seperti diamond), sedangkan yang jantan runcing (seperti terpedo).
III. Pemijahan
            Corydoras mengeluarkan telurnya secara bertahap, maka setiap hari ditemukan telur menempel pada rumbai-rumbai rafia dan pada kaca akuarium bagian atas atau didasar akuarium. Waktu pemijahan terjadi menjelang pagi hari atau pada pagi hari, saat memijah corydoras perlu ketenangan atau suasana yang tenang. Keberhasilan saat memijah dapat diamati dari telur yang menempel pada substrat, jika telur berwarna bening maka mutu telur bagus sedangkan yang berwarna putih maka mutu telur tidak bagus,
            Proses pemijahan , saat memijah mulut betina mendekati bagian genitikal jantan untuk menghisap sperma jantan agar dapat mengumpulkan sperma jantan di dalam mulutnya. Sesaat kemudian betina meninggalkan jantannya, dari mulut betina tersebut sperma jantan akan dikeluarkan bersamaan dengan dikeluarkannya telur-telur dari dalam tubuhnya kemudian ditempelkan pada substrat, dengan demikian telur sudah terbuahi. Jumlah telur yang mampu dihasilkan untuk satu ekor induk yaitu sebanyak 200-350 butir telur. Dengan perbandingan  1:1.
IV. Penetasan Telur
            Telur-telur corydoras paleatus yang berada di tempat penetasan (berupa akuarium) dengan ukuran 100 cm x 50 cm x 50 cm dengan ketinggian air 35 cm, akan menetas menjadi benih pada hari ke 4 (empat). Sementara substrat yang telur-telurnya sudah menetas segera diangkat dan dicuci bersih sebelum digunakan lagi.
            Benih yang baru menetas tidak langsung diberi pakan karena benih tersebut masih membawa kuning telur sebagai makanannya, pada hari ketiga baru diberikan pakan berupa artemia dengan dosis 75 gr. Pakan artemia diberikan secara rutin selama 7 hari, pada hari ke 8 sampai hari ke 14 diberi campuran antara artemia dengan cacing sutera yang diblender
atau dihaluskan, dengan dosis satu sendok teh cacing sutera per akuarium.
V. Kualitas Air
            Kualitas air selama pemeliharaan benih harus selalu dijaga kebersihannya sehingga perlu diadakan penggantian air secara rutin sehari atau dua hari sekali, jumlah air yang diganti adalah 2/3 bagian, karena benih corydoras menyukai air yang bening dan bersih maka sisa pakan dan kotoran yang ada di dasar akuarium harus selalu dibersihkan/dibuang dengan cara menyipon. Parameter air yaitu :
a. Suhu 28°C – 30°C                      c. Kesadahan 2 – 4                       
b. pH 4 – 6                                         d. Oksigen 2 – 5.
  DAFTAR PUSTAKA
Lesmana Darti Satyani, Mencegah dan Menanggulangi Penyakit Ikan Hias, Jakarta, Penebar Swadaya, 2003.
Mudjiutami Endang, Ikan Hias Air Tawar Corydoras, Jakarta, Penebar Swadaya, 2000.

Thursday, April 18, 2013

Enzim Pencernaan Pada Usus Ikan Mas (Cyprinus carpio)

April 18, 2013 Posted by Media Penyuluhan Perikanan Pati No comments


Karbohidrat adalah kelompok nutrien yang penting dalam susunan makanan, sebagai sumber kalori. Sumber karbohidrat diantaranya gula pasir, buah-buahan, madu, sayuran, susu, dan produk olahannya. Makanan yang berasal dari hewan, misalnya daging atau ikan mengandung sangat sedikit karbohidrat kecuali sejumlah kecil glikogen. Bahan-bahan makanan di atas tidak dapat diserap dalam bentuk alami melalui mukosa saluran pencernaan dan karena alasan ini, bahan-bahan tersebut tidak berguna sebagai zat nutrisi tanpa proses pencernaan, baik pencernaan mekanik maupun pencernaan kimiawi. Proses pencernaan kimiawi sesungguhnya sangat sederhana, karena pada ketiga jenis zat makanan utama (karbohidrat, protein, dan lemak) terjadi proses hidrolisis dasar yang sama (Guyton, 1997).
Pada sebagian vertebrata, khususnya mamalia, pencernaan makanan secara kimiawi mulai terjadi di rongga mulut dimana yang dicerna pertama kali adalah karbohidrat. Kemudian hasil hidrolisis karbohidrat akan menuju ususs halus untuk dicerna menjadi molekul yang lebih sederhana lagi. Usus halus merupakan tempat terjadinya absorbsi makanan, karena itulah dapat dikatakan bahwa sebenarnya pencernaan makanan secara kimiawi berpusat di usus halus (intestinum), terutama pada spesies ikan. Hal tersebut dikarenakan proses pencernaan kimiawi pada ikan baru di mulai di bagian ususnya karena rongga mulut ikan tidak memilki kelenjar saliva yang mampu menghasilkan amilase saliva. Karena itulah dilakukan percobaan ini dimana tujuannya adalah menganalisis enzim pencernaan makanan yang terdapat di usus ikan, khususnya ikan mas (Cyprinus carpio) serta menguji fungsi empedu dalam sistem pencernaan.
Permasalahan yang timbul pada percobaan ini adalah bagaimana mengetahui macam-macam enzim pencernaan paa usus ikan mas (Cyprinus carpio) serta bagaimana mengetahui fungsi empedu bagi sistem pencernaan.
Sistem pencernaan merupakan suatu proses pemecahan senyawa kompleks menjadi suatu molekul yang lebih sederhana. Praktikum sistem pencernaan kali ini lebih menekankan pada analisis enzim pada usus ikan mas (Cyprinus carpio) dimana tujuannya adalah untuk mengetahui macam-macam enzim pencernaan makanan yang terdapat pada usus ikan serta mengetahui fungsi empedu dalam proses pencernaan makanan.
Secara umum, sistem pencernaan dibedakan atas sistem pencernaan intraseluler dan ekstraseluler. Invertebrata pada umumnya memiliki sistem pencernaan yang sangat sederhana, bahkan tidak memiliki organ-organ pencernaan yang spesifik. Misalnya sponge yang mencerna makanannya dengan menggunakan sel kolar. Di dalam sel kolar tersebut terdapat vakuola makanan yang mengandung enzim-enzim pencernaan dan pada akhirnya makanan akan disebarkan ke seluruh tubuh Sponge. Sedangkan pencernaan ekstraseluler merupakan sistem pencernaan yang berlangsung di luar sel dan dilakukan oleh semua vertebrata, termasuk ikan mas (Cyprinus carpio).
Hidayati (2007) mengemukakan bahwa sistem pencernaan vertebrata terdiri dari serangkaian organ yang meliputi saluran pencernaan yang berawal dari mulut dan berakhir di anus serta adanya organ asesoria berupa kelenjar pencernaan yang berupa pankreas dan hati. Sementara itu hal yang paling mendasari perbedaan sistem pencernaan intraseluler dan ekstraseluler adalah bentuk molekul organik yang dicerna. Pada sistem pencernaan intraseluler molekul organik yang dicerna adalah molekul organik kompleks, sedangkan pada sistem pencernaan ekstraseluler molekul organik yang dicerna adalah molekul organik sedrehana.
Telah dikatakan sebelumnya bahwa percobaan ini ditekankan untuk mengetahui analisis enzim pada usus ikan, yaitu ikan mas. Secara umum, proses pencernaan ikan sama dengan vertebrata lainnya. Akan tetapi, ikan memilki beberapa variasi, terutama dalam hubungannya dengan cara memakan. Kebanyakan cara ikan mencari makanan dengan menggunakan mata. Pembauan dan persentuhan digunakan juga untuk mencari makan terutama oleh ikan pemakan dasar dalam perairan yang kekurangan cahaya. Ikan pemakan plankton memiliki mulut relatif kecil dan umumnya tidak dapat dotonjolkan ke luar. Rongga mulut bagian dalam dilengkapi dengan jari-jari tapis insang yang panjang dan lemas untuk menyaring plankton yang dimakan. Mekanisme tersebutlah yang digunakan ikan mas dalam mencari makanannya. Berbeda dengan mamalia, pada ikan pencernaan secara kimiawi dimulai di lambung (untuk ikan karnivora/ herbivora cenderung karnivora) atau di bagian depan usus halus (untuk ikan herbivora/ omnivora cenderung herbivora), bukan di bagian rongga mulut. Hal tersebut dikarenakan ikan tidak memilki kelenjar air liur yang dapat menhhasilkan enzim saliva (Fujaya, 2004).
 Menurut Effendie (2002), ikan mas dapat memakan plankton dan dapat pula memakan invertebrata kecil. Atas dasar inilah maka dapat dikatakan bahwa ikan mas merupakan ikan omnivora dengan sistem pencernaan di antara karnivora dan herbivora. Namun karena ikan mas tidak memilki lambung maka dapat dikatakan bahwa ikan mas merupakan ikan omnivora yang cenderung herbivora. Hal tersebut dapat dibuktikan melalui hasil praktikum ini yaitu ketika ikan mas dibedah dan diamati organ dalamnya tidak ditemukan adanya lambung, tetapi bagian depan usus halus terlihat membesar dan bagian tersebut lebih dikenal dengan istilah “lambung palsu”. 
Selain adanya “lambung palsu” bukti bahwa ikan mas adalah omnivora cenderung herbivore adalah usus halus memilki panjang yang melebihi panjang baku tubuh ikan. Pada pengukuran yang telah dilakukan diketahui bahwa tubuh ikan mas yang digunakan memiliki panjang baku 19 cm, sedangkan panjang ususnya mencapai 50 cm atau hampir tiga kali lipat dari panjang tubuhnya. Usus yang panjang tersebut bertujuan untuk mendapatkan hasil hidrolisis makromolekul makanan secara maksimal (Fujaya, 2004).
Telah dijelaskan sebelumnya bahwa pencernaan makanan adalah penyerdehanaan makanan yang pada awalnya berupa molekul komplek menjadi molekul sederhana. Dalam proses pencernaan,komponen makanan berupa protein, lemak, dan karbohidrat harus dipecah menjadi senyawa-senyawa sederhana yang merupakan komponen penyusunnya. Nutrien berbentuk sederhana itulah yang nantinya dapat diserap oleh eritrosit dan diedarkan ke seluruh tubuh yang selanjutnya digunakan untuk mensintesis senyawa baru (anabolisme) atau dioksidasi untuk menghasilkan energi (katabolisme).
Di dalam lambung, protein akan mengalami denaturasi oleh kerja HCl dan dihidrolisis oleh pepsin menjadi peptid. Pencernaan di dalam lambung ini merupakan suatu persiapan untuk pencernaan di dalam usus. Kemudian di dalam usus peptid akan mengalami hidrolisis dimana prosesnya dilakukan oleh enzim karboksipeptidase, tripsin, khimotripsin, elastase sebagai katalisatornya menjadi polipeptid, tripeptid, dan dipeptid. Selanjutnya oligopeptid tersebut akan dihidrolisis oleh enzim peptidase menjadi bentuk tripeptid dan dipeptid hingga akhirnya menjadi asam amino. Fujaya (2004) menjelaskan bahwa pencernaan protein ikan yang tidak berlambung seperti ikan mas terjadi di usus depan dan diperankan oleh enzim protease yang berasal dari pankreas.
Fujaya (2004) mengemukakan bahwa ada dua proses penting dalam pencernaan lemak yaitu emulsifikasi oleh garam empedu dan pencernaan oleh lipase. Emulsifikasi menyebabkan bahan hasil pencernaan berbentuk butiran halus dengan permukaan yang lebih luas sehingga memaksimalkan aktivitas enzim. Meskipun intensitasnya rendah, pencernaan lemak dimulai di lambung dan akan dicerna secara intensif di bagian usus. Hidrolisis lemak oleh lipase akan menghasilkan monogliserid dan asam lemak yang berukuran kecil dan disebut micel. Partikel lemak dalam bentuk micel inilah yang siap diserap oleh dinding usus (enterosit).
Pencernaan karbohidrat yaitu pati dan glikogen dimulai oleh amilase saliva di dalam rongga mulut dan terus berlanjut di dalam usus halus. Amilase pankreas menghidrolisis pati , glikogen, dan polisakarida yang lebih kecil menjdi disakarida, termasuk maltosa. Enzim maltase akan menyempurnakan dan menyelesaikan pencernaan maltosa dan memecahnya menjadi dua molekul glukosa (galaktosa) yang merupakan gula sederhana. Selain maltase, pada usus halus terdapat pula enzim disakaridase lainnya yaitu laktose dan sukrose. Laktose akan menghidrolisis laktosa (gula susu) menjadi glukosa, sedangkan sukrose/sukrase/invertase akan menghidrolisis sukrosa menjadi fruktosa. Menurut Campbell (2004), disakaridase tersebut dibuat dan berada dalam membran dan matriks ekstraseluler yang menutupi epitelium usus halus. Pengkondisian tersebut dikarenakan membran dan matriks ekstraseluler usus halus adalah tempat penyerapan gula.
Pembuatan Ekstrak Usus
            Bahan utama pembuatan ekstrak usus adalah usus ikan dimana pada praktikum ini digunakan usus ikan mas (Cyprinus carpio). Langkah pertama yang dilakukan adalah membedah ikan mas yang telah dibeli sebelumnya pada bagian ventral di atas alas lilin. Pembedahan di bagian ventral dimaksudkan untuk menghindari rusak atau terputusnya usus ikan akibat pembedahan.
Setelah itu, usus halus diambil dengan cara memotong atau memisahkannya dari bagian akhir lambung dan bagian awal usus besar. Hal ini dikarenakan usus halus terletak diantara lambung dan usus besar. Namun, karena ikan mas hanya memiliki lambung palsu, pemotongan usus halus dilakukan dari bagian akhir pilorus dan bagian awal usus besar. Setelah usus terpisah dari organ-organ lainnya. Usus dicuci dengan menggunakan aquades. Kemudian diletakkan di dalam cawan Petri berisi 20 ml gliserin 50% untuk dicacah. Pencacahan usus halus ini bertujuan untuk mengeluarkan enzim-enzim pencernaan yang ada di dalamnya sehingga memudahkan proses pengujian selanjutnya. Pemakaian gliserin sendiri dimaksudkan untuk membantu proses peluruhan enzim pencernaan yang ada di usus halus.
Usus halus yang telah terpotong-potong (tercacah) kecil selanjutnya ditambahkan lima tetes toluen sembari dicacah hingga halus. Setelah benar-benar halus, usus dimasukkan ke dalam botol fial/botol film gelap (seluruh permukaannya tertutup lakban hitam) dan disimpan selama satu minggu (6-7 hari). Waktu satu minggu ini adalah waktu yang optimum bagi gliserin untuk meluruhkan enzim pencernaan pada usus halus. Pada saat inilah toluen memainkan perannya yaitu sebagai pengawet yang menjaga enzim dari kerusakan atau membusuk selama penyimpanan.
Anonim (2007) mengemukakan bahwa gula reduksi dengan larutan Benedict (campuran garam Kupri Sulfat, Natrium Sitrat, Natrium Karbonat) akan membentuk reaksi reduksi oksidasi dan dihasilkan endapan berwarna merah dari kupro oksida. Karena hasil percobaan ini membentuk endapan yang berwarna orange maka diindikasikan pula ada beberapa factor yang mempengaruhi hasil pengamatan. Factor utama adalah kekeliuran prosedur dimana seharusnya botol fial/film gelap berisi ekstrak usus diletakkan di tempat gelap pula seperti laci meja atau kolong tempat tidur, karena tempat gelap dapat memaksimalkan peluruhan enzim oleh gliserin, sedangkan pada praktikum ini sendiri botol fial tersebut hanya diletakkan di atas rak laboratorium diantara botol-botol lainnya. Indikasi kedua adalah kurang tingginya suhu saat pemanasan sehingga mengurangi aktivitas kerja enzim. Akan tetapi, percobaan ini tetap diasumsikan berhasil dan dinyatakan usus halus ikan positif mengandung enzim amilase.
Pembuktian Adanya Enzim Maltase
Jika pati dihidrolisis dengan enzim amilase akan dihasilkan maltosa dan maltosa akan dihidrolisis oleh enzim maltase menjadi galaktosa. Untuk membuktikan keberadaan enzim maltase tersebut dilakukan pengujian yang prosedurnya sama dengan proses pengujian keberadaan enzim amilase.
Hal yang dilakukan pertama kali adalah t abung reaksi A dan B diisi dengan 2 ml reagen Benedict. Sementara itu dua buah tabung lainnya, yaitu tabung C dan tabung D diisi dengan 2,5 ml larutan sukrosa 1%. Sukrosa adalah salah satu disakarida yang nantinya akan dihidrolisis oleh enzim maltase. Kemuadian pada tabung C ditambahkan 1 ml ekstrak usus dan tabung D ditambahkan 1 ml aquadest.
Pada pengujian ini tabung D merupakan kontrol atau pembanding pengamatan. Setelah penambahan ekstrak usus dan aquadest, kedua tabung (C dan D) digoyang-goyangkan secara perlahan selama 10 menit. Hal tersebut dimaksudkan untuk menghomogenkan larutan yang ada di dalamnya. Setelah 10 menit, lima tetes larutan dari tabung C dimasukkan ke dalam tabung A dan lima tetes larutan dari tabung D dimasukkan ke dalam tabung B. Kemudian, sama seperti perlakuan di uji enzim amilase kedua tabung (tabung A dan B) dipanasakan di atas bunsen dengan maksud mempercepat reaksi antara sukrosa dan enzim yang diindikasikan berada di ekstrak usus halus, yaitu enzim maltase.
Dari pengamatan yang telah dilakukan diperoleh hasil berupa perubahan warna pada larutan, baik pada tabung A maupun pada tabung B. Pada awalnya, kedua tabung berisi larutan yang berwarna biru (warna Benedict), tetapi beberapa menit setelah pemanasan, larutan di dalam tabung A berubah warna menjadi hijau  yang pada akhirnya terbentuk sedikit endapan berwarna orange di dasar tabung. Endapan tersebut diindikasikan sebagai hasil positif keberadaan enzim maltase pada usus halus ikan mas (Cyprinus carpio). Akan tetapi, sama seperti hasil pengamatan pembuktian enzim amilase hasil pengamatan pada pengujian ini bukanlah hasil maksimal dari suatu uji Benedict karena seharusnya warna endapan adalah merah bata. Walaupun begitu dapat dipastikan bahwa usus halus ikan mas mengandung enzim maltase.
Pembuktian Adanya Enzim Tripsin
Tripsin merupakan salah satu protease atau enzim yang menghidrolisis protein. Menurut Winarno (1995) tripsin lebih banyak digunakan dalam bidang bidang kedokteran daripada industri makanan. Tripsin merupakan endopeptidase yang bentuk inaktifnya disebut tripsinogen. Tripsin bekerja optimum pada pH asam / 1,8 (1,2 - 2).
Pembuktian adanya enzim tripsin pada usus halus ikan mas ini diawali dengan menyiapkan putih telur atau albumin yang telah diencerkan dengan aquadest. Setelah itu putih telur dimasukkan ke dalam dua buah tabung reaksi dimana setiap tabung reaksi diisi 1 ml putih telur. Kemudian kedua tabung reaksi dipanaskan di atas api bunsen. Tujuan pengenceran putih telur tadi akan terlihat pada saat pemanasan. Putih telur yang terlalu kental akan memadat dan mengendap di dasar tabung dengan warna orange kecoklatan. Jika hal itu terjadi maka proses hidrolisis albumin (putih telur) oleh enzim tripsin yang diindikasikan terkandung dalam usus ikan mas akan berjalan sangat lama atau bahkan tidak berhasil. Karena itulah dilakukan pengenceran dengan menggunakan aquadest. Penggunaan aquades sendiri dimaksudkan untuk meminimalkan terjadinya kontaminasi pada putih telur sehingga tidak mengganggu proses hidrolisis protein oleh tripsin.
Setelah itu salah satu tabung ditambahkan 1 ml ekstrak usus halus sedangkan tabung reaksi yang lain ditambahkan 1 ml aquadest. Tabung reaksi yang ditambahkan aquadest ini digunakan sebagai kontrol perlakuan. Setelah didiamkan selama sepuluh menit masing-masing tabung reaksi ditetesi 2-4 tetes reagen biuret. Pengamatan yang didapat adalah terbentuknya cincin ungu pada permukaan atas tabung reaksi (lihat gambar 4.2.) yang ditambahkan ekstrak usus halus, sedangkan tabung reaksi yang berperan sebagai kontrol tidak mengalami perubahan. Hasil tersebut menunjukkan bahwa pada usus ikan mas terdapat pula enzim tripsin yang berperan penting dalam memotong polipeptida protein menjadi ikatan-ikatan protein yang lebih kecil.
 Pengaruh Empedu Terhadap Lemak
Hampir semua lemak dalam suatu hidangan mencapai usus halus dalam kondisi belum tercerna sepenuhnya. Hal ini merupakan masalah bagi sistem pencernaan karena molekul lemak tidak larut dalam air. Akan tetapi, karena adanya garam-garam empedu yang berasal dari kantung empedu, lemak dapat dihidrolisis oleh lipase dengan segera sehingga dapat diserap dan diedarkan ke seluruh tubuh. Kenyataan tersebut merupakan bukti bahwa empedu memilki peranan penting paad sistem pencernaan, khususnya pencernaan lemak (Campbell, 2004).
Untuk mengetahui pengaruh penting empedu terhadap lemak dilakukanlah pengujian ini dimana empedu yang digunakan adalah empedu ayam. Alasannya adalah empedu ayam mudah di dapat tanpa harus memotong ayam sendiri karena di pasar-pasar tradisional empedu ayam adalah sampah buangan yang tidak dipakai. Dengan begitu tidak menyulitkan pengamat/praktikan ataupun merugikan pedagang. Setelah empedu mendapatkan empedu, isi dari empedu tersebut dikeluarkan dengan cara menggunting permukaannya dan menuangkan isinya ke dalam tabung reaksi atau mortar.
Setelah itu, cairan empedu yang berwarna hijau dimasukkan ke dalam tabung reaksi sebanyak 1 ml dan kemudian ditambahkan 1 ml aquadest sebagai pengencer sehingga didapatkan larutan empedu sebanyak 2 ml pada tabung reaksi tersebut (tabung A). Sementara itu, dimasukkan 2 ml aquades ke dalam tabung reaksi lain (tabung B) dimana tabung ini digunakan sebagai kontrol pengamatan. Selanjutnya masing-masing tabung ditambahkan 2 ml minyak goreng yang dianggap sebagai sumber lemak pada praktikum ini.
Kedua tabung tersebut kemudian dikocok dengan kuat dengan maksud menghomogenkan larutan yang ada di dalamnya karena sebelum pengocokan larutan di semua tabung reaksi membentuk dua buah lapisan. Pada tabung A lapisan atas adalah minyak dan lapisan bawah adalah cairan empedu, sedangkan pada botol B lapisan atas adalah minyak dan lapisan bawah adalah aquadest.
Hasil yang terlihat setelah pengocokan adalah isi dari tabung A tidak lagi membentuk dua lapisan, tetapi membentuk kompleks larutan dimana minyak tercampur oleh empedu. Sedangkan pada tabung tidak terjadi perubahan apapun. Akan tetapi, meskipun isi tabung A terlihat menyatu atau seperti larutan sebenarnya isi dari tabung A bukanlah suatu larutan, melainkan hanya sebuah emulsi lemak yang prosesnya dinamakan emulsifikasi.
Telah dijelaskan sebelumnya bahwa emulsifikasi ini merupakan proses pelapisan lemak untuk memperkecil ukuran lemak sehingga memiliki luas permukaan yang lebih besar. Dengan luas permukaan yang lebih besar ini enzim lipase akan lebih mudah menghidrolisis lemak dan lemak dapat dengan mudah diedarkan ke seluruh tubuh. Pada percobaan ini pelapis lemak adalah cairan empedu ayam sehingga dapat dikatakan bahwa cairan empedu adalah emulgator dan lebih lanjut lagi dapt dikatakan bahwa empedu berfungsi untuk membantu penyerapan lemak.