Tuesday, December 31, 2013

SEBARAN IKAN CUCUT

December 31, 2013 Posted by Media Penyuluhan Perikanan Pati 2 comments


Di antara beberapa sumber protein hewani yang ada, ikan mempunyai prospek yang sangat cerah untuk dikembangkan sebagai sumber protein murah. Hal ini dimungkinkan karena Indonesia memiliki areal  perikanan  laut lebih dari 3  juta km yang merupakan 70% dari luas teritorial Indonesia dengan potensi perikanan sekitar  6  juta  ton per tahun. Sampai saat ini  yang  telah  dimanfaatkan  baru  sekitar satu juta ton per tahun (WAHYUNI1986).
Ikan cucut salah satu penghuni laut yang cukup dikenal dan disegani para nelayan Ikan     ini mempunyai indera pencium yang sangat tajam, melebihi indera penglihatan dan indera pendengaran sehingga dapat mengetahui posisi mangsanya dengan tepat. Semua jenis ikan cucut bersifat car- nivora artinya he wan pemakan daging. Akan tetapi ada kecenderungan ikan ini bersifat omnivora, karena dalam kenyataan ikan ini memakan semua jenis makanan, termasuk kaleng-kaleng bekas dan botol- botol plastik. Cucut berukuran relatif besar, umumnya memanfaatkan ikan termasuk juga cumi-cumi sebagai makanan utamanya, se- lain itu cucut juga memakan burung laut, zooplankton, penyu dan nekton. Nama lain dari cucut adalah "hiu". Istilah cucut dan hiu sesungguhnya  mempunyai arti yang sama. Ikan ini termasuk dalam kelas Elasmobranchii yang berarti ikan bertulang rawan. Diduga di dunia terdapat sekitar 250 - 300 jenis ikan cucut, 29 jenis di anta-ranya telah diketahui hidup di perairan Indonesia. Beberapa contoh nania cucut yang terdapat di perairan Indonesia antara lain adalah hiu botol (Squalus acanthias), hiu kepala niartil (Sphyrna sp), hiu anjing (Squalus sp), hiu malani dan sebagainya.
SEBARAN DAN PERIKANAN CUCUT
Cucut atau hiu dapat hidup di berbagai tempat, ada yang hidup di perairan laut dalam, di permukaan atau di perairan dang- kal. Penangkapan hiu umumnya dilakukan dengan pancing (handline), rawai (long line), jaring insang (gill net), pukat (trawl) dan dapat juga dengan pancing tonda. Penang- kapan hiu di Indonesia setiap tahun mening- kat jumlahnya.
MANFAAT IKAN CUCUT
Tidak seperti jenis he wan lain, hampir seluruh tubuh cucut dimanfaatkan, mulai dari daging, bisa hati, tulang-tulang sampai pada siripnya tidak ada yang dibuang.
Dibandingkan dengan  jenis  ikan  lain, maka ikan cucut merupakan ikan yang serba guna. Hampir semua bagian tubuhnya mulai dari ujung kepala sampai ujung ekornya dapat dimanfaatkan, juga termasuk "jeroan" atau organ dalamnya. Bagian tubuh yang terpenting yang mempunyai nilai ekonomi penting (paling tinggi) adalah sirip dan hati- nya. Bagian-bagian yang lain merupakan bagian yang kurang begitu penting ditinjau dari segi komersial saat ini. Akan tetapi sebetulnya dapat dimanfaatkan secara lebih efisien, agar bernilai guna tinggi.
Daging Cucut
Secara umum daging ikan cucut mem- punyai  nilai  gizi  yang  cukup  baik,  yaitu rata-rata  mengandung 20  % protein,  1,5  % mineral dan 0,3 %lemak (WAHYUNI1986). Walaupun kandungan proteinnya tinggi, te- tapi sampai saat ini daging cucut belum da- pat dimanfaatkan secara optimal. Hal ini disebabkan adanya kendala berupa kandung- an ureanya yang sangat tinggi, sehingga da- lam pengolahan dagingnya mudah rusak dan berbau pesing (amoniak). Ikan bertulang rawan seperti halnya ikan cucut ini, niemang mempunyai kandungan urea yang cukup tinggi,  yaitu antara 2 - 2 , 5  %. Sedangkan ikan bertulang keras, seperti sehari-hari kita  makan,  hanya  mengandung  sekitar 0,05 %. Setelah ikan mati, maka urea yang terkandung di dalam daging ikan diubah oleh enzim urease membentuk senyawa karbondioksida dan amonia. Selain mempunyai kadar urea yang tinggi ikan bertulang rawan juga mengandung trimetilamin oksida (TMAO)  yang  tinggi,  yaitu  antara  500  - 1500 ing/100 gram. TMAO selanjutnya akan diuraikan oleh aktivitas mikroba menjadi trimetilamin (TMA) yang mempunyai bau seperti anomia.
Kandungan urea ikan cucut dapat dihilangkan dengan beberapa cara, yaitu : pencucian dengan air dingin secara berulang- ulang, perendaman dengan larutan garam, perendaman dalam larutan asam, atau peren- daman dalani suasana basa. Dengan menu- runnya kadar urea, maka hilanglah hambatan dalani memanfaatkan daging cucut, sehingga dapat dijadikan sebagai sumber protein yang murah. Kurangnya pengetahuan tentang cara menghilangkan bau inilah yang menyebab- kan daging ikan cucut selama ini tidak disu- kai oleh masyarakat, Beberapa daerah di Indonesia Bagian Timur, cucut ditangkap hanya untuk diambil hati dan siripnya saja, sedangkan daging dan bagian-bagian lainnya dibuang begitu saja.
Para nelayan Indonesia menangkap ikan cucut hanya untuk mendapatkan dagingnya saja, kemudian diolah menjadi ikan asin atau sebagian kecil ada juga yang dipindang (terutama di daerah Jawa barat), sedangkan hatinya belum mereka manfaatkan, karena mereka pada umumnya belum tahu cara-cara pengolahan serta manfaatnya. Beberapa tempat misalnya di pelabuhan Ratu (Jawa Barat) ada juga nelayan yang telah mengolah hati cucut dengan cara dan peralatan yang sangat sederhana. Sudah tentu dengan cara yang demikian mutu minyak yang dihasilkan jauh dari apa yang telah disyaratkan. Hati ikan cucut memerlukan penanganan yang khusus, sebab kan- dungan lemak hati ikan cucut ini cukup tinggi, yang mengakibatkan oksidasi mudah terjadi, sehingga hati cucut ini cepat sekali membusuk.
Sirip ikan cucut
Sirip dari semua jenis ikan cucut mempunyai nilai komersial tinggi sebagai bahan makanan, kecuali jenis ikan "Nurse Shark"  Gynglymastoma cirratum (BEAUMARIAGE 1968; KREUZER and AHMED 1978). Jenis ikan cucut ini siripnya tidak mengandung gelatine, oleh karena itu tidak mempu- nyai nilai komersial untuk dimanfaatkan sebagai makanan. Sirip cucut sangat disukai oleh bangsa-bangsa Tionghoa, Jepang, Filipi- na sebagai sup ("fins soup") dengan harga yang cukup tinggi. Ada 4 (empat) golongan ikan cucut menurut tingkatan harga dari siripnya, yaitu :
1. Tingkat paling mahal, adalah sirip cucut darijenis-jenis :
-   cucut martil (Sphyrna sp.).
-   cucut mako (Isurus).
-   cucut biru (Prionace).
2. Tingkat  utama (grade   1),  adalah sirip cucut dari jenis-jenis:
-   cucut putih (Carcharodon sp.).
—cucut thresher (Alopias sp.).
3. Tingkat  sedang  (grade 2), adalah  sirip cucut darijenis-jenis:
-   cucut  moncong putih (Carcharhinus sp.).
-   cucut macan (Galeocerdo).
4. Tingkat  bawah  (grade  3), adalah  sirip cucut darijenis-jenis:
-   cucut-cucut  yang  masih muda/kecil.
Selain dari jenisnya, harga sirip cucut juga ditentukan oleh ukuran sirip itu sendiri. Satu set sirip cucut lengkap yang siap untuk dijual terdiri dari 2 sirip dada, sirip punggung I dan II serta 1 sirip kaudal. Sirip cucut me- rupakan bahan sup yang lezat. Setelah dio- lah, sirip-sirip ini akan membentuk serat- serat kolagen yang menyerupai bihun. Indonesia telah mengekspor sirip cucut ke- ring yang umumnya berasal dari daerah Sula- wesi Selatan, Irian Jaya, Sulawesi Utara, Sumatera  Utara, dan Jakarta ke berbagai negara, seperti : Malaysia, Hongkong, Singa- pura. Berawal dari tahun 1983 hingga tahun 1986 ekspor ikan cucut telah meningkat dari 333.713 kg. (atau senilai 6.000.301$ U.S.) meningkat menjadi 429.248 kg. (atau senilai 1.033.711 $ U.S.). Sayangnya hingga saat ini ekspor tersebut baru dilaku- kan  dalam bentuk  sirip  kering.  Diharapkan dengan sedikit sentuhan tekhnologi, kita dapat mengekspornya dalam bentuk serpih- an-serpihan menyerupai bihun yang siap untuk dibuat masakan (sup) sehingga mempunyai nilai tambah yang lebih baik.
Kulit Ikan Cucut
Kulit ikan cucut merupakan bahan yang penting dibandingkan kulit-kulit lain yang berasal dari laut. Kulit ikan cucut dimanfaatkan menjadi kulit tersamak. Kulit tersaniaknya digolongkan sebagai kulit yang istimewa (special leather) (KREUZER & AHMED 1978). Di Indonesia, penelitian penyamakan kulit ikan cucut telah dilaku- kan oleh YUNIZAL & NASRAN (1982), yang mengatakan bahwa secara organolep- tik kulit nientah yang langsung dimasak memberikan hasil kulit termasuk yang cukup baik, yaitu catnya rata, mengkilap, sedikit mengkerut serta lunak. Sedangkan persya- ratan niutu kimia dari kulit tersamak mem- berikan hasil yang memenuhi standar mutu kulit sapi, seperti halnya hasil samakan kulit hewan lain, hasil samakan kulit hewan cucut dapat juga dibuat barang-barang in- dustri kulit, seperti tas, sepatu, dompet, dan lain-lainnya. Salah satu produk dari kulit ikan cucut adalah "broso leather" dimana sisiknya tidak dihilangkan, tetapi diproses sampai mengkilap, biasanya dipakai sebagai pelengkap busana bagi wanita. Kulit semacam ini tergolong sebagai jenis kulit yang mahal.
Minyak Hati Ikan Cucut
Hati ikan cucut banyak mengandung minyak yang dapat digunakan sebagai bahan obat-obatan telah lama diketahui. Minyak hati ikan cucut yang umurnnya dikenal adalah sebagai sumber vitamin A. Pada saat ini hanya sejumlah kecil saja dari minyak hati ikan cucut ini dipergunakan di dalam industri tekstil, industri cat, serta sebagai minyak pelumas untuk alat-alat atau mesin dengan jumlah gesekan serta panas yang terbatas. Dean cucut dari jenis-jenis tertentu minyak hatinya dapat dipakai sebagai bahan obat, yaitu antara lain Galeus glaucus (black shark), Isurus glaucus (pako shark), Muste- lus manazo (smooth-hound shark), Sphyr- nidae (hammerhead shark).
Gigi Ikan Cucut
Cucut yang tumbuh sempurna dapat menghasilkan ± 150 gigi yang baik, Gigi-gigi yang memenuhi standar untuk dijual, pan- jangnya sekitar 1,5 inci dan biasanya yang baik ialah gigi dari jenis mako. Gigi ikan cucut dapat dioiah menjadi perhiasan (asessori) seperti kalung, gelang, anting, cincin, kancing baju dan sebagainya. Sedang- kan tulangnya dapat dimanfaatkan sebagai bahan perekat dan bahan baku farmasi. Ususnya dapat dioiah menjadi bahan baku pembuat insulin, juga organ ini dapat dipero- leh enzini protease yang banyak dimanfaat- kan dalam industri pangan dan non pangan.
Sumber Squalene
Squalene adalah suatu hasil ekstraksi minyak hati ikan cucut penghuni perairan laut dalam (antara 600 - 1000 m). Hal ini diperkirakan bahwa squalene sangat dibutuhkan oleh ikan yang bersangkutan guna melengkapi fungsi biologisnya sehubungan dengan kehidupan mereka di perairan laut
dalam. Jenis cucut yang mempunyai kan- dungan squalene yang cukup tinggi adalah dari marga Cetorhinus. Squalene dapat di- pergunakan secara luas dalam industri far- masi,  industri kosmetika, industri bahan- bahan  lamia,  pabrik  cat dan  sutera  tiruan. Squalene merupakan suatu bentuk senyawa yang tidak stabil, dengan rumus kimia C30H50. Senyawa ini harus diproses lagi dengan jalan "hydrogenasi" yang dapat me- rubah  senyawa  squalene yang  tidak  stabil menjadi senyawa yang stabil yaitu C30H62 dan lebih dikenal sebagai "perhydrosqua- lene". Squalene atau persqualene (C30H62) merupakan senyawa kimia hidrokarbon- siklis serta mempunyai ikatan molekul tunggal. Bahan ini dalam industri kosmetika dapat dipergunakan sebagai bahan penghalus kulit.
Penyakit kekurangan vitamin A pada anak-anak pra sekolah merupakan masalah yang sangat serius di Indonesia (ABDUR- RACHMAN & SALEH 1976). Ini merupakan hal yang sangat tragis sekali, karena sebenarnya alam negeri kita kaya akan bahan-bahan sumber vitamin A, patut disa- yangkan  bahwa  sampai  saat  ini  belum banyak perhatian diarahkan untuk memanfaat- kan bahan-bahan sumber vitamin A seperti "Cod Liver Oil" dan sebagainya. Salah satu sumber vitamin A yang perlu mendapat perhatian ialah minyak hati ikan. Minyak hati ikan ini dengan mudah diperoleh dari jenis-jenis ikan tertentu yang banyak ter- dapat di perairan Indonesia. Salah satu jenis ikan yang mempunyai prospek sangat baik sebagai penghasil minyak hati ikan ialah ikan hiu (shark).
Ikan cucut adalah ikan yang relatif mudah ditangkap dan terdapat dalam jum- lah yang cukup besar di perairan Indonesia (ABDURACHMAN&SALEH1976). Adapun jenis-jenis ikan cucut yang banyak tertangkap antara lain ialah : hiu martil (Hammerhead  shark  atau  Zygaena  sp.),  hiu caping        (Galeorphynus australis),         hiu gergaji            (Lamnanasus), hiu parang (Alopias vulpinus) dan hiu biru (Prionace  glauca).  Hati  dari jenis cucut ini mempunyai kadar minyak antara 20 — 60  %,  sedangkan  kandung-an  vitamin  A pada minyak yang dihasilkan antara 2.000 - 153.000  i.u. (RAHARDJO 1974 dalam ABDURACHMAN & SALEH 1976).


Teknologi Bioflok : Teori dan Aplikasi dalam Perikanan Budidaya Sistem Intensif

December 31, 2013 Posted by Media Penyuluhan Perikanan Pati 1 comment


Teknologi bioflok (BFT) merupakan salah satu teknologi yang saat ini sedang dikembangkan dalam akuakultur yang bertujuan untuk memperbaiki kualilas air dan meningkatkan efisiensi pemanfaatan nutrient. Teknologi ini didasarkan pada konversi nitrogen anorganik terutama ammonia oleh bakteri heterotrof menjadi biomassa mikroba yang kemudian dapat dikonsumsi oleh organisme budidaya.
Intensifikasi membutuhkan lebih banyak input produksi terutama benih dan pakan serta sistem manajemen yang lebih baik. Pada sistem budidaya intensif, keberadaan dan ketergantungan terhadap pakan alami sangat dibatasi, sehingga pakan buatan menjadi satu-satunya sumber makanan bagi organisme yang dipelihara (Tacon, 1987). Organisme akuatik umumnya membutuhkan protein yang cukup tinggi dalam pakannya. Namun demikian organism akuatik hanya dapat meretensi protein sekitar 20 - 25% dan selebihnya akan terakumulasi dalam air (Stickney, 2005). Metabolisme protein oleh organisme akuatik umumnya menghasilkan ammonia sebagai hasil ekskresi. Pada saat yang sama protein dalam feses dan pakan yang tidak termakan akan diuraikan oleh bakteri menjadi produk yang sama. Dengan demikian semakin intensif suatu kegiatan budidaya akan diikuti dengan semakin tingginya konsentrasi senyawa nitrogen terutama ammonia dalam air (Avnimelech, 2007).
Agar tidak membahayakan organisme yang dibudidayakan, maka konsentrasi ammonia dalam media budidaya harus dibatasi. Pergantian air merupakan metoda yang paling umum dalam membatasi konsentrasi ammonia dalam air. Namun demikian metoda ini membutuhkan air dalam jumlah besar serta dapat mencemari lingkungan pcrairan sekitar jika air yang dibuang tidak diberi perlakuan lebih lanjut. Seiiring dengan berkembangnya akuakultur sistem intensif berbagai teknik pengolahan air untuk mengurangi konsentrasi ammonia dalam media budidaya telah dikembangkan salah satunya adalah teknologi bioflok.
Nitrogen dalam sistem akuakultur
Nitrogen dalam sistem akuakultur terutama berasal dari pakan buatan yang biasanya mengandung protein dengan kisaran 13 - 60% (2 - 10% N) tergantung pada kebutuhan dan stadia organisme yang dikultur (Avnimeleeh & Ritvo, 2003; Gross & Boyd 2000; Stickney, 2005). Dari total protein yang masuk ke dalam sistem budidaya, sebagian akan dikonsumsi oleh organisme budidaya dan sisanya terbuang ke dalam air. Proses metabolisme pakan yang dikonsumsi dalam tubuh organisme budidaya kemudian akan menghasilkan biomasa dan sisa metabolisme berupa urine dan feses. Protein dalam pakan akan dicerna namun hanya 20 - 30% dari total nitrogen dalam pakan dimanfaatkan menjadi biomasa ikan (Brune et al., 2003). Katabolisme protein dalam tubuh organisme akuatik menghasilkan ammonia sebagai hasil akhir dan diekskresikan dalam bentuk ammonia (NH3) tidak terionisasi melalui insang (Ebeling et al., 2006; Hargreaves, 1998). Pada saat yang sama, bakteri memineralisasi nitrogen organik dalam pakan yang tidak termakan dan feses menjadi ammonia (Gross and Boyd, 2000). Sebagai akibat dari berlangsungnya kedua proses ini, aplikasi pakan berprotein tinggi dalam sistem budidaya akan menghasilkan akumulasi ammonia baik sebagai hasil ekskresi dari organisme yang dikultur maupun hasil mineralisasi bakteri. Dalam air, ammonia berada dalam dua bentuk yaitu ammonia tidak terionisasi (NH3) dan ammonia terionisasi (NH4+). Jumlah total kedua bentuk ammonia ini disebut juga dengan total ammonia nitrogen atau TAN (Ebeling et al., 2006). Konsentrasi relatif dari kedua bentuk ammonia terutama tergantung pada pH, temperatur dan salinitas. Keberadaan ammonia tidak terionisasi di dalam media budidaya sangat dihindari karena bersifat toksik bagi organisme akuatik bahkan pada konsentrasi yang rendah. Stickney (2005) menyatakan bahwa konsentrasi ammonia dalam media budidaya harus lebih rendah dari 0,8 mg/L.
Dalam sistem akuakultur, secara alami terjadi siklus nitrogen dalam air (Gambar 1) dengan  input  nitrogen paling utama berasal dari pakan buaian (Crab et al., 2007). Dari sejumlah pakan yang dimasukkan kc kolam, sebagian tidak termakan oleh ikan, sementara pakan yang dikonsumsi sebagian dikonversi mcnjadi biomasa ikan dan sebagian lagi diekskresikan sebagai ammonia atau dikeluarkan sebagai feses. Pakan yang tidak termakan dan feses akan tcrdckomposisi oleh bakteri yang diikuti dengan pelepasan ammonia yang kemudian terakumulasi dalam air bersaraa dengan hasil ekskresi ikan. Melalui peranan bakteri nitrifikasi dan denitrifikasi yang terdapat dalam air dan sedimcn, TAN dalam air kemudian dapat ditransformasi menjadi nitrit, nitrat dan gas nitrogen (Ebeling et al., 2006; Hargreaves, 1998). Selain itu TAN dan nitrat dapat diasimilasi oleh fitoplankton atau tanaman yang terdapat dalam air yang kemudian dapat dimanfaatkan oleh organisme budidaya yang memang dapat memanfaatkannya. Secara garis besar ketiga proses alami konversi N tersebut dikelompokkan menjadi tiga yaitu konversi secara fotoautotrofik oleh alga dan tanaman air, secara kemoautotrofik melalui oksidasi oleh bakteri nitrifikasi dan immobilisasi secara heterotrofik oleh bakteri heterotrof (Ebeling et al., 2006).
Crab et at. (2007) menyatakan bahwa eliminasi kelebihan N terutama ammonia, nitrit dan nitrat dalam sistem budidaya dapat dikelompokkan menjadi dua, yaitu eliminasi N di luar wadah budidaya dan di dalam wadah budidaya. Eliminasi N di luar wadah budidaya dibedakan menjadi beberapa jenis seperti kolam perlakuan (atau reservoir) dan kombinasi bak sedimentasi dan bak nitrifikasi (biofilter). Sementara eliminasi N dalam wadah budidaya dilakukan dengan prinsip utama konversi N oleh bakteri heterotrof dan fitoplankton. Dua metoda eliminasi N dalam media budidaya yang sedang berkembang adalah sistem perifiton dan teknologi bioflok
Teknologi Bioflok
Teknologi bioflok merupakan salah satu alternatif baru dalam mengalasi masalah kualitas air dalam akuakultur yang diadaptasi dari teknik pcngolahan limbah domestik secara konvensional (Avnimelech, 2006; de Schryver et al., 2008). Prinsip utama yang diterapkan dalam teknologi ini adalah manajemen kualitas air yang didasarkan pada kemampuan bakteri heterotrof untuk memanfaatkan N organik dan anorganik yang terdapat di dalam air.
Pada kondisi C dan N yang seimbang dalam air, bakteri heterotrof yang merupakan akan memanfaatkan N, baik dalam bentuk organik maupun anorganik, yang terdapat dalam air untuk pembentukan biomasa sehingga konsentrasi N dalam air menjadi berkurang (de Schryver et al., 2008). Secara teoritis, pemanfaatan N oleh bakteri heterotrof dalam sistem akuakultur disajikan dalam reaksi kimia berikut (Ebeling et al., 2006):
NH4+ + 1.18C6H12O6 + HC03- +  2.06O2             C5H7O2N + 6.06H2O + 3.07CO2
Dari persamaan tersebut maka dapat diketahui bahwa secara teoritis untuk mengkonversi setiap gram N dalam bentuk ammonia, diperlukan 6,07 g karbon organik dalam bentuk karbohidrat, 0,86 karbon anorganik dalam bentuk alkalinitas dan 4,71 g oksigen terlarut. Dari persamaan ini juga diperoleh bahwa rasio C/N yang diperlukan oleh bakteri heterotrof adalah sekitar 6. Goldman (1987) menyatakan bahwa pada substrat dengan rasio C/N sama dengan atau lebih dari 10, bakteri heterotrof tidak akan meregenerasi ammonia dari hasil kalabolisme bahan organik (asam amino) dan sebaliknya akan memanfaatkannya untuk membentuk sel baru. Sebaliknya, pada rasio C/N yang rendah (<1 10="" 2006="" akan="" ammonia="" aplikasi="" argreaves="" atau="" avnimelech="" bahwa="" bakteri="" bioflok="" c="" diupayakan="" heterotrof="" ke="" lebih.="" lingkungannya="" maka="" melepaskan="" mencapai="" menyatakan="" rasio="" span="" teknologi="" untuk="">
Teknologi bioflok, sering disebut juga dengan teknik suspensi aktif (activated suspension technique, AST), menggunakan aerasi konstan untuk memungkinkan terjadinya proses dekomposisi secara aerobik dan menjaga flok bakteri berada dalam suspensi (Azim et al., 2007). Dalam sistem ini, bakteri heterotrof yang tumbuh dengan kepadatan yang  tinggi   berfungsi  sebagai bioreaktor yang mengontrol kualitas air terutama konsentrasi N serta sebagai sumber protein bagi organisme yang dipelihara.
Pembentukan bioflok oleh bakteri terutama bakteri heterotrof secara umum bertujuan untuk meningkatkan pemanfaatan nutrien. menghindari stress lingkungan dan predasi (Bossier & Verstraete, 1996; de Schryver et al., 2008). Flok bakteri tersusun atas campuran berbagai jenis mikro-organisme (bakteri pembentuk flok, bakteri filamen, fungi), partikel-partikel tersuspensi, berbagai koloid dan polimer organik, berbagai kation dan sel-sel mati (Jorand et al., 1995, Verstraete, et al., 2007; de Schryver et al., 2008) dengan ukuran bervariasi dengan kisaran 100 - 1000 µm (Azim et al., 2007; de Schryver et al., 2008). Selain flok bakteri, berbagai jenis organisme lain juga ditemukan dalam bioflok scperti protozoa, rotifer dan oligochaeta (Azim et al., 2007; Ekasari, 2008).
Komposisi organisme dalam flok akan mempengaruhi struktur bioflok dan kandungan nutrisi bioflok (Izquierdo, et al., 2006; Ju et al., 2008). Ju et al. (2008) melaporkan bahwa bioflok yang didominasi oleh bakteri dan mikroalga hijau mengandung protein yang lebih tinggi (38 dan 42% protein) daripada bioflok yang didominasi oleh diatom (26%).
Kondisi lingkungan abiotik juga berpengaruh terhadap pembentukan bioflok seperti rasio C/N, pH, temperatur dan kecepatan pcngadukan (de Scryver et al., 2008; Van Wyk & Avnimeleeh, 2007).
Sementara menurut de Schryver et al. (2008), mekanisme pembentukan flok oleh komunitas bakteri merupakan proses yang kompleks yang merupakan kombinasi berbagai fenomena fisika, kimia dan biologis seperti interaksi permukaan bakteri secara fisik dan kimiawi, dan quorum sensing sebagai kontrol biologis.
Aplikasi teknologi bioflok dalam akuakultur
Hingga saat ini teknologi bioflok telah diaplikasikan pada budidaya ikan dan udang seperti nila, sturgeon, snook, udang putih dan udang windu (Arnold et al., 2009;
Avnimeleeh, 2005, 2007; Burford et al., 2003,  2004;  Hari  et al.,  2004;  Serfling, 2006).
Beberapa penelitian menunjukkan bahwa aplikasi teknologi bioflok berperan dalam perbaikan kualitas air, peningkatan biosekuriti, peningkatan produktivitas. peningkatan efisiensi pakan serta penurunan biaya produksi melalui penurunan biaya pakan (Avnimelech, 2007; Crab et al., 2008, 2009; Ekasari, 2008; Hari et al., 2006, Kuhn et al., 2009; Taw, 2005).
Kemampuan bioflok dalam mengontrol konsentrasi ammonia dalam sistem akuakultur secara teoritis maupun aplikasi telah terbukti sangat tinggi. Secara teoritis Ebeling et al. (2006) dan Mara (2004) menyatakan bahwa immobilisasi ammonia oleh bakteri heterotrof 40 kali lebih cepat daripada oleh bakteri nitrifikasi. Secara aplikasi de Schryver et al. (2009) menemukan bahwa bioflok yang ditumbuhkan dalam bioreaktor dapat mengkonversi N dengan konsentrasi 110 mg NH4/L hingga 98% dalam sehari. Penelitian ini menunjukkan bahwa bioflok memiliki kapasitas yang besar dalam mengkonversi nitrogen anorganik dalam air, sehingga dapat memperbaiki kualitas air dengan lebih cepat. Hasil-hasil penelitian mengenai aplikasi bioflok dalam kegiatan akuakultur secara langsung juga menunjukkan bahwa kualitas media pemcliharaan, pertumbuhan dan efisiensi pakan udang windu yang dipelihara dengan peningkatan rasio C/N secara signifikan lebih baik daripada kontrol (Hari et al. 2004,2006; Samocha et al., 2007). Peningkatan efisiensi pakan juga ditunjukkan oleh beberapa penelitian aplikasi bioflok (Azim & Little, 2008; Hari et al., 2004, 2006). Hal ini menunjukkan bahwa keberadaan bioflok sebagai suplemen pakan telah meningkatkan efisiensi pemanfaatan nutrien pakan secara keseluruhan, Beberapa penelitian menunjukkan bahwa bioflok dapat dimanfaatkan, baik secara langsung maupun sebagai tepung untuk bahan baku pakan (Azim & Little, 2008; Ekasari, 2008; Kuhn et al., 2008; 2009). Adapun kandungan nutrisi bioflok umumnya beragam pada setiap penelitian (Tabel 1) namun dapat mememuhi kebutuhan organisme akuatik pada umumnya, Craig & Helfrich (2002) menyatakan bahwa pakan ikan  sebaiknya mengandung 18 - 50% protein, 10 - 25% lemak, 15 - 20% karbohidrat, <8 1="" 2009="" 20="" 240="" 25="" abu="" aerasi="" al.="" amp="" aplikasi="" atau="" avnimelech="" bahwa="" baik="" biaya="" bioflok="" budidaya="" dalam="" dan="" dapat="" dari="" data="" dengan="" di="" diberi="" digunakan="" dikembangkan="" dikombinasikan="" dikurangi="" dilakukannya="" diperlukan="" diperoleh="" ditambahkan="" diujicobakan="" energi="" et="" fcr="" hingga="" ikan="" indonesia="" ini="" isotop="" juga="" kepadatan="" kg="" kochba="" kontrol.="" kurang="" lebih="" melaporkan="" memanfaatkan="" menggunakan="" menunjukkan="" menurunkan="" mg="" mineral.="" n="" nila="" nitrogen="" oleh="" pada="" pakan.="" panen="" parsial.="" parsial="" pemanenan="" pemanfaatan="" pembuatan="" penelitian="" pertumbuhan="" produksi="" protein="" putih="" secara="" sejumlah="" setara="" sistem="" span="" substitusi="" tambak="" taw="" teknologi="" telah="" tepung="" tinggi="" udang="" uhn="" untuk="" vitamin="" yang="">
Pertumbuhan bioflok dalam sistem akuakultur dipcngaruhi oleh fakior kimia, fisika dan biologis dalam air. Beberapa faktor yang perlu diperhatikan untuk mendorong pembentukan bioflok dalam sistem budidaya diantaranya adalah pcrgantian air seminimal mungkin hingga mendekati nol, aerasi kuat serta peningkatan rasio C/N (Van Wyk & Avnimelech, 2007). Menurut Van Wyk & Avnimelech (2007) karakteristik sistem bioflok adalah kebutuhan oksigen yang tinggi dan laju produksi biomas bakteri yang tinggi. Oleh karena itu dalam sistem ini diperlukan aerasi dan pengadukan yang kuat untuk menjamin kebutuhan oksigen baik dari organisme budidaya maupun biomas bakteri serta untuk memastikan bahwa bioflok tetap tersuspensi dalam air dan tidak mengendap. intensitas pengadukan dan kandungan oksigen juga mempengaruhi struktur dan komposisi bioflok (de Schryver et al., 2008). Intensitas pengadukan yang terlalu tinggi dapat mempengaruhi ukuran bioflok sedangkan kandungan oksigen yang terlalu rendah dapat menyebabkan dominasi bakteri  filamen pada bioflok yang akan menyebabkan bioflok cenderung terapung.
Pakan buatan yang digunakan dalam kegiatan akuakultur umumnya mengandung protein yang cukup tinggi dengan kisaran 18 - 50% (Craig & Helfrich, 2002) dengan rasio C/N kurang dari 10 (Azim et al., 2007). Hal ini tentunya berdampak pada keseimbangan rasio C/N dalam media budidaya, sehingga untuk penerapan teknologi bioflok, rasio C/N perlu ditingkatkan lagi. Peningkatan rasio C/N dalam air untuk menstimulasi pertumbuhan bakteri heterotrof dapat dilakukan dengan mengurangi kandungan protein dan meningkatkan kandungan karbohidrat dalam pakan (Azim et al., 2007; Tacon et al., 2004) atau dengan menambahkan sumber karbohidrat secara langsung ke dalam air (Avnimelech, 2007: Samocha et al., 2007). Sumber karbohidrat dapat berupa gula sederhana seperti gula pasir atau molase (Ekasari, 2008; Kuhn et al., 2008, 2009; Samocha et al., 2007), atau bahan-bahan pati seperti tepung tapioka, tepung jagung, tepung terigu dan sorgum (Avnimelech, 1999; Hari et al., 2004; Van Wyk & Avnimelech, 2007).
Penambahan kandungan karbohidrat dalam pakan tentunya akan merubah komposisi pakan secara keseluruhan sehingga diperlukan adanya penyesuaian bahan-bahan tertentu dalam pakan seperti peningkatan kadar vitamin dan mineral. Menurut Avnimelech (1999) jumlah karbohidrat yang ditambahkan untuk mendorong pembentukan bioflok dapat dihitung dengan  menggunakan rumus berikut:
Karbohidrat (kg)= Pakan (kg) x % N dalam pakan x % ekskresi N/0,05
Penggunaan sumber karbon juga perlu memperhatikan beberapa faktor diantaranya kecepatan pemanfaatan karbohidrat oleh bakteri, kandungan protein dalam sumber karbohidrat itu sendiri, kecernaan karbohidrat oleh organisme budidaya, serta harga per unit karbohidrat. Sumber karbon juga dapat mempengaruhi kandungan nutrisi bioflok seperti yang ditunjukkan dalam Tabel 1 (Crab et al., 2009; de Schryver et al., 2008; Ekasari, 2008). Selain aerasi dan pengadukan,  dan penambahan   karbon,   pembentukan  dan  struktur bioflok juga dipengaruhi oleh faktor kimia, fisika dan biologis lain scpcrti laju akumulasi bahan organik, temperatur dan pH (de Schryver et a/., 2008).
Selain melalui pengamatan visual dan mikroskopik (Gambar 2), pembentukan dan keberadaan bioflok dalam sistem akuakultur dapat diketahui melalui pengukuran beberapa parameter kimia dan fisika air. Parameter kimia yang sering digunakan sebagai indikator utama keberadaan bioflok meliputi chemical oxygen demand (COD), atau jumlah oksigen yang diperlukan untuk mengoksidasi seluruh bahan organik dalam sampel secara kimiawi, dan biological oxygen demand (BOD) atau jumlah oksigen yang diperlukan oleh mikroorganisme untuk mengkonversi bahan organik melalui proses biokimia. Pada akuakutur dengan sistem bioflok, kebutuhan akan oksigen akan meningkat terutama disebabkan oleh tingginya kepadatan bakteri heterotrof di dalam air dan tentunya berpengaruh pada nilai COD maupun BOD. Parameter fisika yang dapat digunakan untuk mendetcksi keberadaan bioflok adalah suspended solids (SS)f volatile suspended solids (VSS), floc volume index (FVI). Salah satu karakter utama sistem bioflok adalah tingginya padatan tersuspensi terutama VSS yang merupakan indikator tingginya bahan organik tersuspensi dalam air.
Teknologi bioflok di masa depan
Dengan berbagai kelebihan yang telah dijelaskan di atas maka jelaslah bahwa teknologi bioflok merupakan salah satu alteraatif teknologi untuk kegiatan akuakultur yang ramah lingkungan dan berkesinambungan. Namun demikian dalam aplikasi langsung pada akuakultur sistem intensif masih ditemukan beberapa permasalahan dan aspek kajian yang membutuhkan penelitian lebih lanjut seperti kebutuhan energi untuk aerasi dan pengadukan, kestabilan sistem, kandungan nutrisi bioflok serta pengaruh bioflok terhadap transmisi dan infeksi penyakit.
Kepadatan bakteri yang tinggi dalam air akan menyebabkan kebutuhan oksigen yang lebih tinggi sehingga aerasi untuk penyediaan oksigen dalam penerapan teknologi bioflok merupakan salah satu kunci keberhasilan. Selain berperan dalam penyediaan oksigen, aerasi juga berfungsi untuk mengaduk (mixing) air agar bioflok yang tersuspensi dalam kolom air tidak mengendap.
Pengendapan bioflok di dasar wadah harus dihindari selain untuk mencegah terjadinya kondisi anaerobik di dasar wadah akibat akumulasi bioflok, juga untuk memastikan bahwa bioflok tetap dapat dikonsumsi oleh organisme budidaya. Untuk tercapainya tujuan aerasi ini, maka metoda aerasi yang paling tepat untuk sistem bioflok perlu dikaji lebih dalam lagi baik dari segi teknis maupun ekonomis.
Seperti yang dijelaskan pada uraian di atas bahwa pembentukan bioflok merupakan mekanisme yang kompleks yang melibatkan berbagai aspek fisika, kimia dan biologis, sehingga pembahan pada salah satu parameter akan mempengaruhi parameter lain. Azim & Little (2008) menemukan bahwa kualitas air di wadah pemeliharaan dengan perlakuan teknologi bioflok pada pemeliharaan ikan nila cenderung tidak stabil. Tingginya aktivitas respirasi mikroba dalam sistem bioflok juga menyebabkan terjadinya fluktuasi pada pH dan alkalinitas (Azim et al., 2007). Meningkatnya kekeruhan akibat tingginya padatan tersuspensi juga dapat berpengaruh pada kemampuan melihat beberapa jenis ikan sehingga berpengaruh pada jumlah pakan yang dimakan. Laju akumulasi bahan organik, laju konsumsi bioflok oleh organisme budidaya serta laju peningkatan biomas bakteri merupakan faktor-faktor yang harus diketahui untuk mengontrol konsentrasi flok yang optimum dalam air. Jika laju akumulasi bahan organik tinggi maka laju peningkatan biomas bakteri akan tinggi pula. Jika hal ini tidak diikuti dengan laju konsumsi bioflok oleh organisme budidaya maka akan terjadi akumulasi bioflok yang berlebihan yang akhirnya justru akan membuat sistem budidaya menjadi tidak stabil.
Salah satu solusi alternatif dari dua permasalahan di atas adalah dengan memisahkan reaktor bioflok dengan wadah
pemeliharaan (Azim & Little, 2008). Dengan cara tersebut, bioflok dapat berfungsi sebagai biofilter scperti halnya dalam sistem resirkulasi. Bioflok yang dihasilkan dari reaktor ini kemudian dapat dimanfaatkan langsung sebagai pakan untuk organisme budidaya atau dibuat menjadi tepung untuk bahan baku pakan (Kuhn et at., 2008,2009). Tabel 1 menunjukkan bahwa kandungan nutrisi bioflok cenderung tidak stabil dan dipengaruhi oleh berbagai faktor seperti sumber karbon dan komposisi biologisnya. Informasi mengenai kandungan nutrisi bioflok juga masih terbatas pada kandungan nutrisi ulama seperti protein kasar, lemak kasar, kadar abu dan karbohidrat. 
Dengan demikian penelitian lanjutan aspck nutrisi bioflok masih perlu dilakukan. Penelitian oleh de Schryver et al. (2009) menunjukkan bahwa bioflok mengandung poly-b-hydroxybutyrate (PHB) berkisar antara 0,9 hingga 16% yang cukup memadai untuk memenuhi kebutuhan ikan akan PHB yang tidak lebih dari 1%. PHB merupakan produk polimer intraselular yang dihasilkan oleh berbagai jenis mikroorganisme sebagai bentuk simpanan energi dan karbon (Defoirdt et al., 2007). Polimer ini diduga mempunyai efek pencegahan dan pengobatan terhadap infeksi Vibrio serta manfaat prebiotik dalam akuakultur (Defoirdt et at., 2007; de Schryver et al., 2008).
KESIMPULAN
Secara teoritis maupun aplikasi, penerapan teknologi bioflok dapat meningkatkan kualitas air melalui pengontrolan konsentrasi ammonia dalam air dan meningkatkan efisiensi pemanfaatan nutrien melalui pemanfaatan bioflok scbagai sumber pakan bagi organisme yang dibudidayakan.