Monday, December 31, 2012

Pengertian Alat Tangkap Huhate (Pole and Line)

December 31, 2012 Posted by Media Penyuluhan Perikanan Pati No comments
Huhate (Skipjack pole and line) atau umumnya lebih dikenal dengan “pole and line” adalah cara pemancingan dengan menggunakan pancing yang dikhususkan untuk menangkap ikan cakalang yang banyak digunakan di perairan Indonesia. Selanjutnya dikatakan juga menurut Ayodhoya, (1981), pole and line umum digunakan untuk menangkap ikan cakalang (Katsuwonus pelamis) sehingga dengan kata perikanan pole and line sering pengertian kita ke arah perikanan cakalang, sungguhpun dengan cara pole and line juga dilakukan penangkapan albacore, mackerel dan lain sebagainya.
Alat tangkap yang umum digunakan oleh para nelayan di kawasan Timur Indonesia salah satunya adalah Pole and line. Studi yang dilakukan Bustaman S dan Hurasan (1997) menunjukkan bahwa ada tujuh jenis alat tangkap yang digunakan untuk menangkap ikan tuna/cakalang. Diantara ketujuh jenis alat tangkap tersebut, Pole and line, Long line dan Trawl line merupakan tiga jenis alat tangkap yang paling produktif untuk menangkap ikan tersebut (Winarso, 2004).
Untuk Cakalang, alat yang berperan besar dalam penangkapan adalah Pole and line, tonda dan pancing ulur (Ditjen Perikanan, 1989).
Di antara sekian banyak alat tangkap ikan untuk tujuan komersial yang paling sederhana dan murah harganya adalah pole and line ini. Peralatan yang hanya terdiri dari tiga komponen pokok yang ukurannya juga tidak terlalu besar dan khusus ini adalah joran, tali dan pancing saja. Joran bisa dibuat dari bambu yang ruasnya tidak terlalu panjang, tebal dan lurus, panjangnya sekitar 4-6 meter. Memang ada jenis bambu yang untuk joran pole and line ini sangat baik, karena mempunyai daya lentur yang tinggi (Surur, 2007).
Menurut Ditjen Perikanan (1989), sebagai penangkap ikan, alat ini sangat sederhana desainnya. Hanya terdiri dari joran, tali dan pancing. Tetapi sesungguhnya sangat komplek karena dalam pengoperasiannya memerlukan umpan hidup untuk merangsang kebiasaan menyambar pada ikan sebelum pemancingan dilakukan serta semprotan air untuk mempengaruhi visibility ikan terhadap kapal dan para pemancing.
Huhate atau pole and line khusus dipakai untuk menangkap cakalang. Oleh karena digunakan hanya untuk menangkap cakalang, maka alat ini sering disebut “pancing cakalang”. Huhate dioperasikan sepanjang siang hari pada saat terdapat gerombolan ikan di sekitar kapal. Alat tangkap ini bersifat aktif, kapal akan mengejar gerombolan ikan, setelah gerombolan ikan berada di sekitar kapal lalu diadakan pemancingan. (http://fiqrin.wordpress.com/)
Ada beberapa keunikan dari alat tangkap huhate. Bentuk mata pancing huhate tidak berkait seperti lazimnya mata pancing. Mata pancing huhate ditutupi bulu-bulu ayam atau potongan rafia yang halus agar tidak tampak oleh ikan. Bagian haluan kapal huhate mempunyai konstruksi khusus, dimodifikasi menjadi lebih panjang, sehingga dapat dijadikan tempat duduk oleh pemancing. Kapal huhate umumnya berukuran kecil. Di dinding bagian lambung kapal, beberapa cm di bawah dek, terdapat sprayer dan di dek terdapat beberapa tempat ikan umpan hidup. Sprayer adalah alat penyemprot air (http://fiqrin.wordpress.com/).
Pemancingan dilakukan serempak oleh seluruh pemancing. Pemancing duduk di sekeliling kapal dengan pembagian kelompok berdasarkan keterampilan memancing yaitu :
1.             Pemancing I adalah pemancing paling unggul dengan kecepatan mengangkat mata pancing berikan sebesar 50-60 ekor per menit. Pemancing I diberi posisi di bagian haluan kapal, dimaksudkan agar lebih banyak ikan tertangkap.
2.             Pemancing II diberi posisi di bagian lambung kiri dan kanan kapal.
3.             Pemancing III berposisi di bagian buritan, umumnya adalah orang-orang yang baru belajar memancing dan pemancing berusia tua yang tenaganya sudah mulai berkurang atau sudah lamban
(http://fiqrin.wordpress.com/).
Menurut Surur (2007), hal yang perlu diperhatikan adalah pada saat pemancingan dilakukan jangan ada ikan yang lolos atau jatuh kembali ke perairan, karena dapat menyebabkan gerombolan ikan menjauh dari sekitar kapal. Umpan yang digunakan adalah umpan hidup, dimaksudkan agar setelah ikan umpan dilempar ke perairan akan berusaha kembali naik ke permukaan air. Hal ini akan mengundang cakalang untuk mengikuti naik ke dekat permukaan. Selanjutnya dilakukan penyemprotan air melalui sprayer. Penyemprotan air dimaksudkan untuk mengaburkan pandangan ikan, sehingga tidak dapat membedakan antara ikan umpan sebagai makanan atau mata pancing yang sedang dioperasikan. Umpan hidup yang digunakan biasanya adalah teri (Stolephorus commersoni).
Klasifikasi Huhate (Pole and Line)
   Menurut Direkorat Kapal Perikanan dan Alat Penangkap Ikan (2009),  berdasarkan Statistik Indonesia alat tangkap huhate termasuk dalam kelompok pancing. Alat tngkap ini disebut juga pancing “gandar” karena menggunakan gandar “walesan” atau “joran” atau tangkin. Sedangkan berdasarkan FAO, penggolongan alat tangkap ikan menurut (Nedelec, 1996); dalam International Standart Statistical Classification On Fishing Gear (ISSCFG) Pole and Line termasuk dalam kelompok alat tangkap pancing berjoran biasa.
Konstruksi Huhate (Pole and Line)
Menurut Surur (2007) konstruksi Pole and Line terdiri dari tiga komponen pokok yang ukurannya tidak terlalu besar dan khusus ini adalah joran, tali dan pancing.
1.             Joran panjangnya sekitar 4-6 meter, ada sejenis bambu untuk Pole and line yang sangat baik dipakai untuk joran karena mempunyai daya lentur yang tinggi. Diameter joran berkisar 5-6 cm dan diujungnya 2,5 - 2 cm, sehingga sesuai untuk pegangan orang Asia pada umumnya.
2.             Tali pancing yang digunakan berdiameter sekitar 1 mm dari bahan nylon. Sekarang banyak yang menggunakan monofilament dengan diameter yang sama. Panjang tali tidak lebih panjang dari panjang joran.
3.             Pancing yang digunakan untuk Pole and Line ini juga khusus, tidak menggunakan janggut. Untuk menambah berat pancing, pada bagian shank dipasang pemberat yang berupa besi yang dilapis bagan anti karat yang mengkilat. Penambahan berat pancing juga diperlukan mengingat pancing Pole and Line juga dipasangi bulu ayam atau bulu burung sebagai umpan.
Pengoperasian                                                               
Operasi penangkapan tentunya dimulai dari persiapan-persiapan terutama perbekalan dan perlengkapan, persiapan itu meliputi : bahan makanan, es, lampu, dan bahan bakar minyak, alat navigasi, persiapan mesin, persiapan pengaturan alat tangkap dan bahan lainnya (Sadhori 1985).
Menurut Malawa dan Sudirman (2004), setelah persiapan yang harus dilakukan di laut adalah  mempersiapkan peralatan penangkapan yang menunjang keberhasilan penangkapan ikan cakalang serta penyediaan umpan hidup. Adanya faktor umpan hidup membuat cara penangkapan ini menjadi agak rumit. Hal ini disebabkan karena umpan hidup tersebut harus sesuai dalam ukuran dan jenis tertentu, disimpan, dipindahkan, dan dibawa dalam keadaan hidup
Operasi penangkapan dengan huhate dilakukan dengan cara mencari dan memburu kelompok ikan cakalang. Pencarian gerombolan ikan dilakukan oleh seorang pengintai yang tempatnya biasa berada di anjungan kapal dan menggunakan teropong  (Mallawa dan Sudirman, 2004).
Keberadaan ikan cakalang dapat dilihat melaui tanda-tanda antara lain: adanya buih atau cipratan air, loncatan ikan cakalang ataupun gerombolan burung-burung yang terbang menukik ke permukaan laut dimana gerombolan ikan berada.
Setelah menemukan gerombolan ikan, yang harus diketahui adalah arah renang kemudian mendekati gerombolan ikan tersebut. Sementara pemancing sudah bersiap masing-masing pada sudut kiri, kanan, dan haluan kapal.
Pelemparan umpan dilakukan oleh boi-boi setelah diperkirakan ikan telah berada dalam jarak jangkauan lemparan, kemudian ikan dituntun ke arah haluan kapal. Pelemparan umpan ini diusahakan secepat mungkin sehingga gerakan ikan dapat mengikuti gerakan umpan menuju haluan kapal. Pada saat pelemparan umpan tersebut, mesin penyemprot sudah dihidupkan agar ikan tetap berada di dekat kapal. Pada saat gerombolan ikan berada dekat haluan kapal, maka mesin kapal dimatikan. Sementara jumlah umpan yang dilemparkan ke laut dikurangi, mengingat terbatasnya umpan hidup. Selanjutnya, pemancingan dilakukan dan diupayakan secepat mungkin mengingat kadang-kadang gerombolan ikan tiba-tiba menghilang terutama jika ada ikan yang berdarah atau ada ikan yang lepas dari mata pancing dan jumlah umpan yang sangat terbatas. Hal lain yang perlu diperhatikan pada saat pemancingan adalah menghindari ikan yang telah terpancing jatuh kembali ke laut. Hal ini akan mengakibatkan gerombolan ikan yang ada akan melarikan diri ke kedalaman yang lebih dalam dan meninggalkan kapal, sehingga mencari  lagi gerombolan ikan yang baru tentu akan mengambil waktu. (Mallawa dan Sudirman, 2004).

Kapal Huhate (Pole and Line)
Skipjack pole and line adalah jenis kapal yang digunakan untuk menangkap ikan cakalang (Katsuwonus pelamis). Tipe kapal jenis ini memerlukan palka ikan, tangki untuk menyimpan umpan hidup serta system sirkulasi airnya, pipa - pipa dan pompa untuk memercikan air, tempat duduk untuk pemancing serta geladak kapal untuk tempat menjatuhkan ikan hasil pancingan.
Jenis kapal yang digunakan dalam operasi penangkapan ikan cakalang adalah pole and line tipe skipjack fishing boat. Kapal ini memiliki persyaratan tertentu yaitu pada haluan kapal dibuat anjungan yang mencuat kedepan untuk tempat pemancingan (tempat duduk pemancing), memiliki bak tempat umpan hidup (live bait tank), tempat penyimpanan hasil tangkapan, mempunyai system penyemburan air/spoit (water pump) dan palka yang dapat menampung ikan hasil tangkapan. Ayodhoya, (1981)
Menurut Subani dan Barus, (1989), bentuk kapal cakalang mempunyai beberapa pengkhususan, antara lain:  
1.   Di bagian atas dek kapal bagian depan terdapat plataran (plat form)   dimana pada tempat tersebut para pemancing melakukan pemancingan.
2.   Dalam kapal harus tersedia bak-bak untuk menyimpan ikan umpan hidup.
3.   Kapal cakalang perlu dilengkapi dengan sistem semprotan air (water splinker system) yang dihubungkan dengan suatu pompa. Kapal cakalang yang umumnya digunakan mempunyai ukuran 20 GT dengan kekuatan 40 – 60 HP.
          Menurut Ben – Yami, FAO, (1980) dalam perkembangannya huhate dapat diklasifikasikan kedalam 3 (tiga) kategori yaitu :
1.       Huhate (Skipjack Pole and line) Industri
          Dalam operasi penangkapan mengunakan kapal lebih dari 100 GT, bahan terbuat dari besi dengan dilengkapi palka pendingin (freezer).
2.       Huhate (Skipjack Pole and line) Skala Besar
          Dalam operasi penangkapan menggunakan kapal mulai dari 10 s/d 100 GT, kebanyakan kapal terbuat dari kayu atau fibreglass.
3.       Huhate (Skipjack Pole and line) Skala Kecil
          Dalam operasi penangkapan menggunakan kapal kecil dari 5 GT yang terbuat dari kayu atau fibreglass.
Kapal Pole and Line









Gambar 1. Sketsa kapal Pole and Line (Direktorat Jenderal Perikanan,1994)
Alat bantu penangkapan
          Menurut Subani dan Barus, (1989), berhasil tidaknya tiap usaha penangkapan ikan di laut pada dasarnya adalah bagaimana mendapatkan daerah penangkapan (fishing ground), gerombolan ikan dan keadaan potensinya, untuk kemudian dilakukan operasi penangkapannya. Adapun alat-alat bantu penangkapan yang digunakan dalam menunjang kegiatan penangkapan adalah sebagai berikut:
1.             Rumpon
Menurut Sudirman dan Mallawa, (2004) Rumpon biasanya juga disebut dengan Fish Agregation Device (FAD) yaitu suatu alat bantú penangkapan yang berfungsi untuk memikat ikan agar berkumpul dalam suatu catchbie area.
Ada beberapa prediksi mengapa ikan senang berada di sekitar rumpon :
1.       Rumpon merupakan tempat berkumpulnya plankton dan ikan – ikan kecil lainnya, sehingga mengundang ikan – ikan yang lebih besar untuk tujuan feedingi,
2.       Merupakan suatu tingkah laku dari berbagai jenis ikan untuk berkelompok di sekitar kayu terapung (seperti jenis – jenis tuna dan cakalang). Dengan demikian, tingkah laku ikan ini dimanfaatkan untuk tujuan penangkapan.
 Kepadatan gerombolan ikan pada rumpon diketahui oleh nelayan berdasarkan buih atau gelembung – gelembung udara yang timbul di permukaan air, warna air yang gelap kerena pengaruh gerombolan ikan atau banyaknya ikan – ikan yang bergerak di sekitar rumpon.
Pengunaan rumpon secara tradisional di indonesia telah lama dilakukan terutama para nelayan dari Mamuju, Sulawesi Selatan dan Jawa Timur, sedangkan penggunaan rumpon secara modern baru dimulai pada tahun 1980 oleh Lembaga Penelitian Perikanan Laut, Monintja dan zulkarnain (1995). Selanjutnya menurut Subani dan Barus, (1989), dilihat dari kedalaman air dimana rumpon ditanam (dipasang) dibedakan antara rumpon laut dangkal dan rumpon laut dalam atau yang dikenal dengan payaos.
Rumpon ini umumnya dipasang pada kedalaman antara 30 - 75 m. Setelah dipasang kedudukan rumpon yang ada mudah diangkat-angkat, tetapi ada juga yang bersifat tetap tergantung dari pemberat yang digunakan.
Rumpon yang beratnya antara 25 - 35 kg biasanya berupa jangkar, sedangkan rumpon yang beratnya antara 75 - 100 kg bahkan lebih terdiri dari batu-batu yang diikat satu sama lain atau dimasukkan di dalam suatu keranjang dari rotan, atau dapat juga terdiri dari cor - coran semen.
          Rumpon laut dalam (payaos) pelampungnya agak istimewa. Pelampungnya bisa terdiri dari 60 - 100 batang bambu yang disusun dan diikat menjadi satu sehingga membentuk rakit. Tali pemberat (tali yang menghubungkan antara pelampung dengan pemberat) dapat mencapai 1000 - 1500 m. Pemberatnya berkisar 1000 - 3500 kg terdiri dari batu-batu yang dimasukkan dalam keranjang rotan  atau berupa rangkaian ikatan batu gunung.
1.            Pila – pila
         Terletak pada kedua lambung kapal, sejajar dengan deck. Kadang–kadang pila-pila hanya pada salah satu sisi kapal.
         Pada bagian bawahnya terdapat pipa-pipa semprotan air, sehingga pemancing yang berdiri diatas terlindung dari penglihatanikan karena semprotan air tesebut tergantung dari panjang kapal, tetapi lebarnya antara 50 – 60 cm.
         Konstruksi dibuat sedemikian rupa, sehingga kuat menahan beban dari orang-orang yang berdiri disepanjang pila-pila tersebut. (Soepratman, 1982)
2.            Pipa penyemprot          
          Pipa penyemprotan digunakan untuk menyemprotkan air secara percikan ke permukaan air laut. Tujuannya adalah untuk mengelabui ikan-ikan seolah-olah pada permukaan air laut terdapat banyak ikan terutama pada cakalang. Pipa-pipa penyemprotan ditempatkan sepanjang pila-pila. Pipa tersebut bisa terbuat dari paralon atau dari besi dan pada bagian ujungnya dipasang kran untuk dipergunakan menyemprotkan air. Penyemprotan air terjadi karena dilengkapi dengan water pump (pompa air). (Dirjen Perikanan, 1994).
4.      Palkah ikan
          Palkah ini fungsinya untuk menempatkan ikan hasil tangkapan, disamping itu pula bisa digunakan untuk brine. (Dirjen Perikanan, 1994).
5.       Bak umpan      
         Bak umpan digunakan sebagai tempat umpan. Pada bak umpan tersebut sebaiknya diberi warna putih supaya lebih muda dan dengan lampu penerang di beberapa tempat masing-masing berkekuatan 50 watt. Fungsi dari lampu tersebut agar dapat memberikan fototaksis positif dari ikan, sehingga ikan-ikan tersebut dapat membentuk schooling yang baik. Apabila dalam bak umpan tidak dipasang lampu, maka dapat menyebabkan umpan banyak bergerak secara tidak menentu, antara umpan yang satu dengan lainnya saling bertubrukan dan membuat umpan tersebut rusak tidak dapat dipergunakan. (Dirjen Perikanan, 1994)
6.      Jaring tangguk/seser
         Jaring tangguk berguna untuk memojokkan umpan ke suatu sudut agar mudah di tangguk dengan churchill. Sedangkan seser yang besar berguna untuk memindahkan umpan hidup ke ember dan seser kecil digunakan untuk menyebar umpan. (http://fiqrin.wordpress.com/)
7.      Ember                                             
         Ember digunakan untuk mengangkat umpan hidup dari bagan nelayan ke dalam palka umpan, dan juga untuk berbagai keperluan. Ember ini juga menjadi ukuran dalam menentukan banyaknya umpan yang dimasukkan ke dalam palka umpan. (http://fiqrin.wordpress.com/)
8.      Umpan hidup
Jenis umpan hidup yang paling baik digunakan dalam perikanan Pole and line adalah ikan teri (Subani, 1973; Murdianto, Rosana dan Penturi, 1995 dalam Simbolon, 2003). Jenis ikan umpan tersebut sangat disenangi oleh cakalang karena memiliki sifat – sifat sebagai berikut :
1.    Berwarna terang dan memikat atau keputih – putihan sehingga mudah menarik perhatian ikan cakalang,
2.    Tahan terhadap lama di dalam bak penyimpanan pada saat pelayaran dari daerah penangkapan ikan umpan menuju daerah penangkapan cakalang,
3.    Umpan yang disebarkan di antara schooling cakalang memiliki sifat yang cenderung bergerak mendekati kapal untuk berlindung.
4.    Sisi umpan tidak mudah terkelupas, sehingga tingkat kecerahan warna dapat dipertahankan,
5.    Panjang (size) umpan hidup sesuai dengan ukuran yang disenangi oleh cakalang yang menjadi target penangkapan.
          Sesuai dengan sifat – sifat tersebut di atas, pemilihan jenis dan ukuran umpan yang sesuai perlu dilakukan secara seksama. Subani, (1973) dalam Simbolon, (2003) menyatakan bahwa ukuran umpan yang ideal dengan tipe badan memanjang (streem line) berkisar antara 7,5 – 10,0 cm. Selanjutnya disebutkan bahwa ukuran panjang umpan dengan tipe badan melebar sebaiknya berkisar antara 5,0 – 7,5 cm.
         Masalah utama yang sering dialami dalam perikanan pole and line adalah ketersediaan umpan hidup pada waktu – waktu tertentu dan tingginya tingkat kematian umpan dalam bak penyimpanan di atas kapal. Di lain pihak, kegiatan operasi penangkapan cakalang dengan pole and line  tidak akan berhasil apabila umpan hidup tidak tersedia dalam jumlah yang memadai. Dengan demikian, umpan hidup merupakan salah satu faktor pembatas (limiting factor) paling penting dalam perikanan pole and line (Gafa dan Merta, 1987 dalam Simbolon, 2003).
Penangkapan umpan hidup
          Alat tangkap yang sangat umum digunakan untuk menangkap ikan umpan hidup adalah jaring yang dioperasikan dari pantai atau kapal, jaring lampara, purse seine, dan ring net, jaring yang digerakkan (drive in net) dan lift net, termasuk stickheld dipnet dan jaring kantong (FAO, 1980).
Pemeliharaan umpan hidup di dalam tangki kapal
          Beberapa faktor yang berpengaruh terhadap kelangsungan hidup ikan umpan di dalam palka umpan dikapal antara lain kandungan oksigen didalam air dan konsumsi oksigen, penyinaran, suhu air dan kualitas air beserta perubahannya.
          Sebagai awal pertimbangan tentunya bagaimana memindahkan umpan secara aman kedalam tangki umpan bahwa alat yang sebaiknya digunakan adalah keranjang. Dalam tahap ini diperlukan seorang pembantu yang cermat dalam menjaga ikan umpan karena memerlukan beberapa perlakuan yang cukup penting dalam hal pengawasan dan mengarahkan agar pencemaran yang timbul sekecil mungkin yang diakibatkan kotoran ikan dan sisik ikan yang terlepas.
          Menurut FAO (1980), selain itu kondisi lingkungan dapat dibuat lebih mendukung dengan cara meningkatkan sejumlah oksigen kedalam tangki umpan, menurunkan temperatur, menurunkan salinitas dan pada saat yang sama menghindari kepadatan ikan dan menghindari rangsangan untuk membantu agar mereka menjadi tenang.
Penanganan ikan hasil tangkapan
          Cara penanganan yang dipilh umumnya sesuai kondisi yang dikehendaki pasar dengan prinsip yang sama yaitu menjaga mutu ikan agar tetap segar, sehat, aman dan menarik saat disajikan sehingga harganya mampu bersaing saat  dipasarkan dan dapat menguntungkan bagi produsennya. 
         Selain itu prinsip penanganan ikan lainnya yang harus dilakukan, antara lain menjaganya dari benturan atau tekanan fisik yang dapat melukai tubuh ikan atau membuat dagingnya memar, melindungi dari sinar panas matahari langsung dan mencegahnya dari kontaminasi bahan-bahan yang kotor dan berbahaya. (Prayitno, 2004-website: www.cofish.net).
         Keberhasilan  penanganan ikan di atas kapal untuk menjaga mutunya sangat ditentukan oleh :
1.    Kesadaran dan pengetahuan semua ABK untuk melaksanakan cara penangkapan ikan dengan es secara benar,
2.    Kelengkapan sarana penyimpana di atas kapal yang memadai, seperti:
        palkah yang berisi es atau peti wadah ikan yang berisolasi dengan       kapasitas yang cukup sesuai dengan ukuran kapal.
3.    Kecukupan jumlah es yang dibawa saat berangkat menangkap ikan di  laut.
          Prinsip penanganan ikan di atas kapal untuk ikan ukuran besar (kurang dari 10 kg) menurut Prayitno (2004), adalah sebagai berikut:
1. Ikan-ikan berukuran besar umumnya ditangkap dengan alat tangkap pancing dan biasanya masih dalam keadaan hidup saat diangkat dari air, untuk ini ikan harus segera dibunuh dengan memukul kepalanya atau dengan cara lain yang tidak merusak fisik ikan.
2. Segera mendinginkannya dengan mencelupkan ikan di bak chiling yang telah diisi air es sambil menunggu saat penyiangannya. Suhu air akan selalu terjaga pada suhu 00C.
3. Melakukan penyiangan (buang insang dan isi perut, dan untuk ikan-ikan besar juga mengiris sebagian operculum dan membuang sirip) dan membuang darahnya. Pembersihan dilakukan dengan mencucinya memakai air dingin yang telah didinginkan dengan es.
4. Selanjutnya ikan disusun secara bercampur dan berselang-seling dengan es curah.
Daerah Penangkapan
Menurut Direktorat Jenderal Perikanan Tangkap (2005), penagkapan ikan dengan alat tangkap huhate hanya diijinkan pengoperasiannya di wilayah perairan tertentu dan ZEEI Laut Sulawesi dan ZEEI Samudera Pasifik.
Secara garis besarnya, cakalang mempunyai daerah penyebaran dan migrasi yang luas, yaitu meliputi daerah tropis dan sub tropis dengan daerah penyebaran terbesar terdapat disekitar perairan khatulistiwa. Daerah penangkapan merupakan salah satu faktor penting yang dapat menentukan berhasil atau tidaknya suatu operasi penangkapan. Dalam hubungannya dengan alat tangkap, maka daerah penangkapan tersebut haruslah baik dan dapat menguntungkan. Dalam arti ikan berlimpah, bergerombol, daerah aman, tidak jauh dari pelabuhan dan alat tangkap mudah dioperasikan. (Waluyo, 1987).
Lebih lanjut Paulus (1986), menyatakan bahwa dalam memilih dan menentukan daerah penangkapan, harus memenuhi syarat-syarat antara lain :
1)      Kondisi daerah tersebut harus sedemikian rupa sehingga ikan dengan mudah datang dan berkumpul.
2)      Daerahnya aman dan alat tangkap mudah dioperasikan.
3)      Daerah tersebut harus daerah yang secara ekonomis menguntungkan.
Menurut Monintja et al, 2001 dalam Simbolon (2003), potensi cakalang di Indonesia sebagian besar terdapat di perairan kawasan timur indonesia. Daerah penangkapan yang potensial bagi ikan tersebut di KTI terdapat di perairan Sulawesi Utara, Halmahera, Maluku dan Irian Jaya dengan basis penangkapan masing – masing di Bitung, Ternate, Ambon dan Sorong. Wilayah yang memiliki potensi cakalang di kawasan barat indonesia terdapat di perairan selatan Jawa Barat (Pelabuhan Ratu), Sumatera Barat dan Aceh
Musim penangkapan ikan cakalang di perairan indonesia pada umumnya dapat dilakukan sepanjang tahun, namun puncak musim penangkapan sering kali bervariasi menurut wilayah perairan.

Sunday, December 30, 2012

IKAN SILI TERANCAM PUNAH DI BUMI INDONESIA

December 30, 2012 Posted by Media Penyuluhan Perikanan Pati 2 comments


Sili termasuk ikan sungai yang banyak dijumpai di Sumatera, Kalimantan, dan Jawa. Karena bentuknya panjang seperti belut dan berduri, anggota dari famili Mastacembelidae itu populer disebut spiny eel alias belut berduri. Hasil penelitian Fishbase – lembaga pusat informasi ikan dalam naungan organisasi pangan dunia (FAO) – menunjukkan terdapat  83 spesies sili di dunia. Dari jumlah itu 15 jenis di antaranya hidup di sungai tawar di Asia, termasuk 10 jenis di tanahair, seperti Macrognathus aculeatus, M. maculatus, dan Mastacembelus unicolor – ketiganya ada di Jawa.
Ikan sili sudah lama terkenal di Jawa dan beberapa daerah luar jawa sejak dulu kala. Hanya keberadaan ikan sili yang semakin sedikit semakin lama akan semakin sedikit dan bisa-bisa terancam punah. Sili termasuk ikan sungai yang banyak dijumpai di Sumatera, Kalimantan, dan Jawa. Karena bentuknya panjang seperti belut dan berduri, anggota dari famili Mastacembelidae itu populer disebut spiny eel alias belut berduri. Hasil penelitian Fishbase – lembaga pusat informasi ikan dalam naungan organisasi pangan dunia (FAO) – menunjukkan terdapat  83 spesies sili di dunia. Dari jumlah itu 15 jenis di antaranya hidup di sungai tawar di Asia, termasuk 10 jenis di tanahair, seperti Macrognathus aculeatus, M. maculatus, dan Mastacembelus unicolor – ketiganya ada di Jawa.
Namanya pendek dan singkat : sili. Namun, Macrognathus armatus itu cukup tenar di jagad maya ikan hias negeri Barrack Obama. Ikan pipih panjang bermotif batik zigzag itu laku keras sebagai pengisi akuarium air tawar. Sebagai ikian konsumsi ikan sili sangat enak, bila di pecel dengansambal terasi sangat nikimat.
Ikan sili masih sering di jumpai di sungai di daerah Talun, Kayen Kab.Pati, dan kadang kala ada di pasar’
Sili termasuk ikan sungai yang banyak dijumpai di Sumatera, Kalimantan, dan Jawa. Karena bentuknya panjang seperti belut dan berduri, anggota dari famili Mastacembelidae itu populer disebut spiny eel alias belut berduri. Hasil penelitian Fishbase – lembaga pusat informasi ikan dalam naungan organisasi pangan dunia (FAO) – menunjukkan terdapat  83 spesies sili di dunia. Dari jumlah itu 15 jenis di antaranya hidup di sungai tawar di Asia, termasuk 10 jenis di tanahair, seperti Macrognathus aculeatus, M. maculatus, dan Mastacembelus unicolor – ketiganya ada di Jawa.
Ikan hias
Dua dari tiga suku famili Mastacembelidae, yaitu Macrognathus dan Mastacembelus terdapat di Indonesia. Hanya suku Sinobdella yang tidak ditemukan di Indonesia. Macrognathus dan Mastacembelus sepintas sama, perbedaannya terletak pada jumlah spina – duri – di punggung. Macrognathus memiliki 31 duri, Mastacembelus 33 duri. Keduanya mempunyai sosok tubuh menarik. Bentuknya ramping seperti sabuk dengan balutan warna di sekujur tubuh. Di Amerika Serikat dan negara Uni Eropa mereka mengisi akuarium-akuarium di ruang tamu.
Yang tak kalah menarik Mastacembelus erythrotaenia. Sebagai ikan hias, tubuhnya yang pipih dengan motif batik hitam, merah, serta strip kuning terlihat sempurna. Keindahan tubuhnya kian kentara saat ditaruh pada akuarium minim cahaya. Semburat merah dan kuning terpancar dari tubuhnya yang mencapai panjang 55 cm itu bak kilatan api. Oleh karena itu, julukan belut berduri api melekat pada Mastacembelus.
Sili lainnya Macrognathus zebrinus, memiliki sisik bermotif batik bak zebra. Sedangkan Mastacembelus unicolor, bermotif  lurik  bagai selembar tenunan kain batik, dan Macrognathus siamensis bermotif menyerupai merak jantan yang tengah mengembangkan ekor. Itulah sebabnya siamensis dijuluki peacock eel alis belut merak.
Terancam punah
Sejatinya dari ketiga spesies sili yang ada di Jawa belum masuk daftar Red List (spesies yang terancam keberadaannya, red) yang dikeluarkan oleh lembaga konservasi alam dunia International Union for Conservation of Nature (IUCN) pada 2010. Namun, hasil penelitian yang dilakukan sejak 2000 di sungai-sungai di Jawa Tengah, populasi tilan – sebutan sili di Sumatera – berada di ujung tanduk.
Penelitian yang dilakukan di Sungai Serayu, Klawing, Banjaran, Mengaji, dan Logawa – semuanya di Kabupaten Banyumas dan Purbalingga Jawa Tengah – tak satu pun dari lokasi itu bisa ditemukan lebih dari 10 ikan. Rata-rata 3 – 4 ekor di setiap tempat dengan jantan lebih dominan. Lebih tragis lagi Macrognathus maculatus, hanya ditemukan 1 ekor di hilir Sungai Serayu.
Cemaran pestisida, herbisida, dan pemakaian pupuk berlebih ke sungai menjadi penyebab terancamnya habitat alami sili. Belum lagi, limbah rumahtangga yang dibuang ke sungai, menjadi sumber pencemaran. Dan yang tak kalah penting: rusaknya tepian dan dasar sungai akibat aktivitas penambangan pasir dan batu. Di sepanjang Sungai Serayu, Logawa, dan Klawing truk pengangkut pasir dan batu lazim ditemui hilir-mudik. Pasir yang diambil dari sungai dapat merusak habitat sili yang menyukai kondisi dasar sungai berlumpur, pasir, serta kaya serasah daun. Lewat penelitian ekologi diharapkan populasi sili meningkat dan memperkaya pilihan hobiis ikan hias. (Dr rer. nat W. Lestari, MSc dan Drs Sugiharto MSi, staf pengajar Laboratorium Ekologi, Fakultas Biologi, Universitas Jenderal Soedirman, Purwokerto)
Perlu banyak dikembangkan usaha budidaya ikan sili dengan membuat pembenihan dan pendederan ikan tersebut. Ikan sili durinya di bagian tengan sehingga bagi yang menikmati ikan tersebut sebagai konsumsi terasa enak tanpa resiko terkena duri ikan.
KESIMPULAN DAN SARAN
1. Kesimpulan
Berdasarkan  hasil  penelitian  ini,  maka  dapat  disimpulkan  beberapa  hal agai berikut :
Sampel ikan rawa yang diteliti diperoleh dari perairan rawa di Selatan Kalimantan, tepatnya di Kota Pelaihari, Kabupaten Tanah Laut, Propinsi Kalimantan Selatan, terdiri dari 5 spesies, yaitu M. erythrotaenia (ikan sili), H. fortis (ikan baung), C. micropeltes (ikan toman), C. striatus (ikan haruan), dan C. lucius (ikan kehung). Sampel ikan memiliki panjang 25,50-42,00 cm, bobot tubuh utuh 152,00-343,00 g dan bobot fillet daging 42,00-150,00 g. Dari perbandingan antara bobot daging fillet dengan bobot ikan utuh didapat persentase rendemen produksi fillet sebesar 27,63-43,73%.
Ikan rawa yang diteliti memiliki kandungan proksimat yang bervariasi, yaitu kadar air sebesar 74,23-78,84%, kadar abu 0,99-4,13%, kadar lemak sebesar 0,45-3,24%, dan kadar protein 15,85-21,74%.
Analisis asam lemak menunjukkan bahwa beberapa spesies ikan rawa yang diteliti  mengandung  11  jenis  asam  lemak,  meliputi  asam  lemak  jenuh (SAFA) yang terdiri dari asam laurat, asam miristat, asam palmitat, dan asam stearat; asam lemak tak jenuh tunggal (MUFA) yang terdiri dari asam palmitoleat dan asam oleat, serta asam lemak tak jenuh jamak (PUFA) yang meliputi asam linoleat, linolenat, asam arakhidonat, asam eikosapentaenoat (EPA), dan asam dokosaheksaenoat (DHA). Asam lemak yang mendominasi adalah asam palmitat sebesar 8,86-19,99% (b/b) dan asam oleat yang temasuk kedalam golongan omega-9 sebesar 5,19-19,66% (b/b).
Timbal (Pb) dan kadmium (Cd) tidak terdeteksi oleh alat yang digunakan pada sampel yang dianalisis. Kandungan logam berat kadmium (Cd) dan timbal (Pb) berada di ambang batas aman konsumsi.
2. Saran
Saran yang dapat diberikan dari penelitian ini adalah :
Perlu dilakukan penelitian terhadap spesies lain yang tersebar di perairan rawa lokasi lain di Indonesia.
Perlu penelitian lebih lanjut tentang kandungan vitamin dan mineral lain yang diperlukan untuk kesehatan tubuh.
Perlu diteliti aspek biologi, daerah penyebaran, besarnya stok, teknologi pemanfaatan   yang   efisien, informasi pasar, dan kemungkinan produksi pertahun.
Untuk  mendapatkan hasil penelitian yang optimal, disarankan untuk menggunakan bahan baku sampel dalam kondisi yang segar dan kesegaran ikan harus terjaga dengan baik selama pasca penangkapan.Dua dari tiga suku famili Mastacembelidae, yaitu Macrognathus dan Mastacembelus terdapat di Indonesia. Hanya suku Sinobdella yang tidak ditemukan di Indonesia. Macrognathus dan Mastacembelus sepintas sama, perbedaannya terletak pada jumlah spina – duri – di punggung. Macrognathus memiliki 31 duri, Mastacembelus 33 duri. Keduanya mempunyai sosok tubuh menarik. Bentuknya ramping seperti sabuk dengan balutan warna di sekujur tubuh. Di Amerika Serikat dan negara Uni Eropa mereka mengisi akuarium-akuarium di ruang tamu.

Yang tak kalah menarik Mastacembelus erythrotaenia. Sebagai ikan hias, tubuhnya yang pipih dengan motif batik hitam, merah, serta strip kuning terlihat sempurna. Keindahan tubuhnya kian kentara saat ditaruh pada akuarium minim cahaya. Semburat merah dan kuning terpancar dari tubuhnya yang mencapai panjang 55 cm itu bak kilatan api. Oleh karena itu, julukan belut berduri api melekat pada Mastacembelus.
Sili lainnya Macrognathus zebrinus, memiliki sisik bermotif batik bak zebra. Sedangkan Mastacembelus unicolor, bermotif  lurik  bagai selembar tenunan kain batik, dan Macrognathus siamensis bermotif menyerupai merak jantan yang tengah mengembangkan ekor. Itulah sebabnya siamensis dijuluki peacock eel alis belut merak.
Terancam punah
Sejatinya dari ketiga spesies sili yang ada di Jawa belum masuk daftar Red List (spesies yang terancam keberadaannya, red) yang dikeluarkan oleh lembaga konservasi alam dunia International Union for Conservation of Nature (IUCN) pada 2010. Namun, hasil penelitian yang dilakukan sejak 2000 di sungai-sungai di Jawa Tengah, populasi tilan – sebutan sili di Sumatera – berada di ujung tanduk.
Penelitian yang dilakukan di Sungai Serayu, Klawing, Banjaran, Mengaji, dan Logawa – semuanya di Kabupaten Banyumas dan Purbalingga Jawa Tengah – tak satu pun dari lokasi itu bisa ditemukan lebih dari 10 ikan. Rata-rata 3 – 4 ekor di setiap tempat dengan jantan lebih dominan. Lebih tragis lagi Macrognathus maculatus, hanya ditemukan 1 ekor di hilir Sungai Serayu.
Cemaran pestisida, herbisida, dan pemakaian pupuk berlebih ke sungai menjadi penyebab terancamnya habitat alami sili. Belum lagi, limbah rumahtangga yang dibuang ke sungai, menjadi sumber pencemaran. Dan yang tak kalah penting: rusaknya tepian dan dasar sungai akibat aktivitas penambangan pasir dan batu. Di sepanjang Sungai Serayu, Logawa, dan Klawing truk pengangkut pasir dan batu lazim ditemui hilir-mudik. Pasir yang diambil dari sungai dapat merusak habitat sili yang menyukai kondisi dasar sungai berlumpur, pasir, serta kaya serasah daun. Lewat penelitian ekologi diharapkan populasi sili meningkat dan memperkaya pilihan hobiis ikan hias. (Dr rer. nat W. Lestari, MSc dan Drs Sugiharto MSi, staf pengajar Laboratorium Ekologi, Fakultas Biologi, Universitas Jenderal Soedirman, Purwokerto)