Thursday, May 31, 2012

IKAN TUNA YANG SANGAT BERMANFAAT BAGI MANUSIA

May 31, 2012 Posted by Media Penyuluhan Perikanan Pati 1 comment


Ikan tuna merupakan salah satu ikan ekonomis penting. Ikan tuna pada umumnya dimanfaatkan untuk produksi pengalengan dan pembekuan. Produk beku dalam bentuk utuh maupun dalam bentuk loin beku. Produk ikan tuna beku sebagian besar hanya memanfaatkan daging ikannya saja, sedangkan sisa-sisa pemanfaatan lain berupa kepala, sirip dan tulang belum dimanfaatkan secara optimal. Saat ini kepala, sirip dan tulang hanya dibuat tepung ikan. 
Tulang ikan dapat dimanfaatkan menjadi gelatin, Eastoe (1977) menyatakan bahwa di dalam tulang terdapat kolagen sebesar 18,6 % dari 19,86 % unsur organik protein kompleks. Secara umum fungsi gelatin untuk produk pangan adalah sebagai zat pengental, penggumpal, pengemulsi, penstabil, pembentuk busa, menghindari sineresis, pengikat air, memperbaiki konsistensi, pelapis tipis, pemerkaya gizi, pengawet, dan lain-lain (Hermanianto, 2004).
Selama ini sumber utama gelatin yang banyak dimanfaatkan adalah berasal dari kulit dan tulang sapi atau babi. Penggunaan kulit dan tulang babi tidak menguntungkan bila diterapkan pada produk pangan di negara-negara yang
1) Staf Pengajar Program Studi Teknologi Hasil Perairan FPIK IPB
2) Alumni Program Studi Teknologi Hasil Perikanan FPIK IPB
 mayoritas penduduknya beragama Islam seperti Indonesia, karena babi  diharamkan untuk dimakan. Oleh karena itu, perlu dikembangkan gelatin dari sumber hewan lain. Salah satu yang berprospek untuk dikembangkan adalah gelatin tulang dan kulit ikan. Oleh karena itu pemanfaaatan limbah tulang ikan tuna menjadi produk gelatin menjadi sangat penting untuk dilakukan. 
 Penelitian ini bertujuan untuk mengetahui karakteristik fisika kimia gelatin  dari tulang ikan tuna dengan beberapa konsentrasi asam klorida.
METODOLOGI
Bahan dan Alat 
 Bahan penelitian yang digunakan meliputi bahan utama untuk pembuatan gelatin yaitu tulang ikan tuna yang diperoleh dari PT Bonecom, asam klorida teknis dan akuades. Bahan-bahan untuk analisis yaitu asam klorida, asam sulfat, asam asetat, pelarut hexana, natrium asetat, natrium hidroksida, etanol 95%, tablet
kjeltab (CuSO4 dan K2SO4).
Peralatan utama dibutuhkan yaitu neraca analitik, pH meter, tanur, desikator, oven, heater, termometer, blender, peralatan mikro kjeldahl, peralatan soxhlet, cawan alumunium, Rheoner RE3305, Brookfield Synchro-Lectric Viscometer, dan Kettler Whitenes Powder.
Metode Penelitian
Penelitian ini dilakukan dalam dua tahap. Penelitian tahap pertama yaitu membuat gelatin dengan perlakuan  perendaman dalam  asam klorida dan suhu ekstraksi. Penelitian tahap kedua adalah menganalisis karakteristik sifat kimia fisika gelatin terpilih yang dibandingkan dengan gelatin  tulang ikan kakap merah (Hadi, 2005) dan gelatin tulang ikan patin (Nurilmala, 2004). 
Pembuatan gelatin dari tulang ikan tuna dilakukan dengan metode asam yang dimodifikasi (Hadi, 2005). Tahapan utama proses pembuatan gelatin ini adalah degrasssing (perebusan) selama 30 menit dengan suhu 80 oC; demineralisasi atau perendaman tulang ikan tuna menggunakan asam klorida. Konsentrasi asam klorida yang digunakan berkisar antara 4 %-6 % (v/v) dengan lama perendaman 2 hari, setiap 24 jam larutan perendaman diganti; dan dilanjutkan dengan pemanasan pada suhu  80-90 oC.
Penelitian tahap pertama diawali dengan melakukan analisis proksimat pada bahan baku tulang ikan tuna kering, yang meliputi kadar air, kadar abu, kadar protein dan kadar lemak. Selanjutnya adalah pembuatan gelatin dari tulang ikan tuna dengan perlakuan pertama pada proses demineralisasi atau perendaman tulang ikan tuna menggunakan asam klorida, dengan perbandingan tulang ikan dan larutan perendaman adalah 1: 4. Konsentrasi asam klorida yang digunakan adalah  4, 5, dan  6 % dengan lama perendaman 2 hari. Setiap 24 jam larutan perendaman diganti dan pemanasan dengan suhu ekstraksi 80 oC, 85 oC dan 90 oC merupakan perlakuan yang kedua. Untuk mengetahui perbedaan antar perlakuan dilakukan pengamatan berupa uji fisik yang meliputi identifikasi gelatin, rendemen, pH, viskositas, dan kekuatan gel. 
Penelitian tahap kedua merupakan analisis produk gelatin yang terpilih dari penelitian tahap pertama. Hasil analisis ini dibandingkan parameter mutunya  dengan gelatin tulang ikan kakap merah (Hadi, 2005) dan gelatin tulang ikan patin (Nurilmala, 2004). Parameter yang dibandingkan meliputi analisis proksimat gelatin (kadar air, abu, lemak dan protein) (AOAC, 1995) dan sifat fisikakimianya meliputi kekuatan gel (Gaspar, 1998), viskositas (British Standard 757, 1975),  pH (British Standard 757, 1975), titik gel (Suryaningrum dan Utomo, 2002), titik leleh (Suryaningrum dan Utomo, 2002), titik isoelektrik (Wainewright, 1977), derajat putih(Kett Digital Whitness Powder) dan asam amino (AOAC, 1995).
HASIL DAN PEMBAHASAN
Penelitian Tahap Pertama 
Analisis proksimat
Pada penelitian pertama dilakukan analisis proksimat tulang ikan tuna kering dengan tujuan untuk mengetahui kandungan protein, lemak, air dan abu.
Hasil analisis proksimat tulang ikan tuna dapat dilihat pada Tabel 1.
Tabel 1. Proksimat tulang ikan tuna
Parameter     Jumlah (%)
Protein     26,02
Lemak     8,01
Abu     52,36
Air     12,57
Rendemen gelatin
Berdasarkan hasil penelitian, diperoleh nilai rata-rata rendemen gelatin yang berkisar antara 3,8 % - 11,4 %. Hasil rendemen dalam bentuk histogram dapat dilihat pada Gambar 1.
Gambar 1. Histogram rata-rata rendemen gelatin tulang ikan tuna                            
(Thunnus sp.)
Gelatin dapat diperoleh dengan cara denaturasi panas dari kolagen.  Berdasarkan hasil penelitian terlihat kecenderungan bahwa semakin tinggi konsentrasi asam klorida, maka rendemen yang dihasilkan makin tinggi. Tingginya rendemen yang dihasilkan diduga karena pengaruh jumlah ion H+ yang menghidrolisis kolagen dari rantai triple heliks menjadi rantai tunggal yaitu gelatin lebih banyak, semakin tinggi suhu ekstraksi akan menyebabkan kolagen terurai menjadi gelatin lebih banyak. Kencenderungan ini mencapai batasnya apabila ion H+ yang berlebih disertai suhu yang tinggi mendenaturasi kolagen yang terhidrolisis. Konsentrasi asam yang berlebih dan suhu yang tinggi menimbulkan adanya hidrolisis lanjutan sehingga sebagian gelatin turut terdegradasi dan menyebabkan turunnya jumlah gelatin. Konversi kolagen menjadi gelatin dipengaruhi oleh suhu, waktu pemanasan dan pH (Courts, 1977). 
Nilai pH gelatin
Hasil penelitian menunjukkan bahwa nilai pH gelatin berkisar antara         4,46-4,89. Nilai ini masih memenuhi standar gelatin tipe A (gelatin dengan proses asam) yaitu antara 3,8-6,0 (Tourtellote, 1980). Nilai pH gelatin dalam histogram dapat dilihat pada Gambar 2.
Gambar  2. Histogram pH gelatin tulang ikan tuna (Thunnus sp.)
Rendahnya nilai pH pada gelatin tulang ikan tuna diakibatkan oleh penggunaan asam kuat (asam klorida). Hal ini diduga bahwa masih ada sisa-sisa asam klorida yang digunakan pada saat proses demineralisasi masih terbawa pada saat proses ekstraksi, yang akan mempengaruhi tingkat keasaman pada gelatin yang dihasilkan. 
Viskositas gelatin
 Hasil penelitian menunjukkan nilai rata-rata viskositas berkisar antara 3,56,8 centipoise (cP). Nilai ini masih sesuai dengan standar yang ditetapkan oleh Tourtellote (1980) yaitu 2,0-7,5. Hasil viskositas disajikan pada Gambar 3.
Secara keseluruhan semakin meningkatnya suhu ekstraksi maka semakin rendah nilai viskositasnya. Hal ini diduga karena pemanasan yang tinggi mengakibatkan terjadinya hidrolisis lanjutan pada kolagen yang sudah menjadi gelatin sehingga akan memutuskan rangkaian asam amino yang berdampak pada rendahnya viskositas. Semakin panjang rantai asam amino gelatin maka nilai viskositas gelatin akan semakin besar (Stansby, 1977). 
Gambar 3. Histogram rata-rata viskositas gelatin tulang ikan tuna (Thunnus sp.) 
Kekuatan gel
 Nilai kekuatan gel berkisar antara 40-290 bloom. Menurut Tourtellote (1980) kekuatan gel standar gelatin sebesar 75-300 bloom. Hasil kekuatan gel dalam bentuk histogram dapat dilihat dalam Gambar 4.
 Gambar 4. Kekuatan gel gelatin tulang ikan tuna (Thunnus sp.)
 Hasil penelitian menunjukkan semakin tinggi suhu ekstraksi maka nilai kekuatan gel semakin rendah. Hal ini disebabkan semakin tinggi suhu ekstraksi maka akan terjadi hidrolisis lanjutan pada kolagen yang sudah menjadi gelatin dan menyebabkan pendeknya rantai asam amino sehingga kekuatan gelnya rendah.
Berdasarkan penelitian tahap pertama didapatkan perlakuan terpilih untuk pembuatan gelatin yaitu konsentrasi HCl 6 %, dengan suhu ekstraksi 80 oC.
Perlakuan ini terpilih karena mempunyai nilai rendemen yang baik dan memiliki nilai sifat-sifat fisik memenuhi standar berdasarkan Tourtellote (1980).
Penelitian Tahap Kedua
Analisis proksimat
Gelatin tulang ikan tuna yang terpilih (kombinasi perlakuan perendaman HCl 6 % dengan suhu ekstraksi 80 oC) dilakukan analisis  proksimat yang meliputi kadar air, abu, lemak dan protein. Hasil analisis proksimat gelatin tulang ikan tuna, kakap merah (Hadi, 2005), dan patin (Nurilmala, 2004) dapat dilihat pada Tabel 2.
Tabel 2. Analisis proksimat gelatin tulang ikan tuna
Parameter
(%)                                           Gelatin        
    Tuna     Kakap merah     Patin     SNI (1995)
Kadar air      6,54     6,73     9,26     maks 16 %
Kadar abu     1,93     0,88     2,26     Maks 3,25 %
Kadar lemak      0,42     0,16     1,95     -
Kadar Protein      91,01     86,61     85,91     -

Kadar air
 Nilai kadar air dari ketiga gelatin tersebut masih memenuhi standar mutu gelatin yaitu maksimal 16 % (SNI, 1995) dan standar JECFA (2003) yaitu maksimum 18 %. Dengan kadar air sebesar 6,54 % ini, gelatin dari tulang ikan tuna cenderung menyerap air jika disimpan pada suhu ruang untuk mencapai titik keseimbangan dengan kelembaban udara lingkungan. Pada kadar air 13 % dan suhu 25 oC gelatin mencapai titik keseimbangan dengan kelembaban udara lingkungan.
Kadar abu
 Kadar abu dari ketiga jenis gelatin tulang ikan ini  berbeda-beda, gelatin ikan tuna mempunyai nilai kadar abu 1,93 %, kadar abu gelatin ikan  kakap merah 0,88 % dan kadar abu ge1atin  ikan patin 2,26 %.  Ketiga nilai ini masih memenuhi standar SNI (1995) yaitu maksimum 3,35 % dan JECFA (2003) yaitu maksimum 2 %.
Kadar lemak
Berdasarkan hasil penelitian diketahui bahwa kadar lemak gelatin dari bahan dasar tulang ikan tuna mempunyai nilai yang cukup tinggi sebesar 0,42 % dibandingkan dengan gelatin dari bahan tulang ikan kakap merah, yaitu sebesar     0,16 %. Hal ini dikarenakan kandungan bahan dasar yang berbeda kadar lemaknya, kadar lemak tulang ikan tuna lebih besar dibandingkan dengan kadar lemak ikan kakap merah yang sebesar 4,12 %.
Kadar protein
Hasil pengukuran kadar protein dari ketiga jenis bahan tulang yang berbeda didapatkan nilai tertinggi pada gelatin dengan bahan dasar tulang ikan tuna, yaitu sebesar 91,01 %. Tingginya kadar protein pada gelatin dari bahan dasar tulang tuna diduga berasal dari bahan dasarnya sendiri yang mempunyai kadar protein yang tinggi. Ikan tuna banyak mengandung protein yang merupakan ikan pelagis.
Sifat Fisika-Kimia
 Hasil penelitian sifat fisika-kimia gelatin tulang ikan tuna, ikan kakap merah (Hadi, 2005), dan ikan patin (Nurilmala, 2004) dapat dilihat pada Tabel 3.
Tabel 3. Perbandingan sifat fisika-kimia gelatin tulang ikan tuna, ikan kakap  merah dan ikan patin

Parameter         Gelatin    
    Tuna     Kakap merah     Patin
Kekuatan gel (bloom)     175     226,8*)     279,1*)
Viskositas (cP)     6,9     6,7     4,17
pH     4,89     5,05     4,61
Titik gel (oC)     7,61     8,4     8,2
Titik leleh (oC)     19,84     24,6     24
Titik isoelektrik     7     7     8
Derajat Putih (%)     10,7     37,63     -
*) pengukuran menggunakan TA-XT plus texture analyzer
Titik gel gelatin
 Titik gel adalah suhu pada waktu dimana larutan gelatin mulai membentuk gel. Berdasarkan  hasil pengukuran terlihat nilai titik gel yang berbeda-beda, yaitu  berkisar 7,61-8,4 oC. Nilai titik gel gelatin dari bahan dasar tulang tuna lebih rendah hal ini dapat dilihat juga dari nilai kekuatan gel yang lebih rendah dibandingkan yang lainnya. Titik gel gelatin dipengaruhi oleh konsentrasi gelatin, pH dan besarnya molekul gelatin (Stansby,1977).
Titik leleh gelatin
Titik leleh adalah suhu ketika gelatin yang telah membentuk gel mencair ketika dipanaskan (Stansby, 1977). Berdasarkan hasil pengukuran diperoleh titik leleh gelatin dari bahan dasar tulang ikan tuna mempunyai nilai yang lebih rendah dibandingkan yang lainnya, yaitu 19,84 oC, sedangkan gelatin tulang ikan kakap merah    sebesar 24,6 oC, dan gelatin tulang ikan patin sebesar 24 oC. Semakin besar titik leleh, maka titik gel juga semakin besar.
Titik isoelektrik protein
Berdasarkan hasil penelitian dan pengujian titik isoelektrik menunjukkan bahwa gelatin tulang ikan tuna sama dengan gelatin tulang ikan kakap merah dan lebih rendah dibandingkan dengan titik isoelektrik gelatin tulang ikan patin. Titik isoelektrik gelatin berkisar antara 4,8-9,4. Gelatin yang dihasilkan dengan proses asam mempunyai titik isoelektrik yang lebih tinggi dibandingkan gelatin yang dihasilkan dengan proses basa (Poppe, 1992).
Derajat putih
Hasil pengukuran derajat putih menunjukkan bahwa nilai derajat putih gelatin tulang ikan tuna lebih rendah dibandingkan dengan gelatin ikan kakap merah. Hal ini disebabkan bahan baku yang digunakan pada proses pembuatan gelatin tulang ikan tuna tidak menggunakan bahan baku yang segar seperti yang dilakukan pada ikan kakap merah. Bahan baku  pada pembuatan gelatin tulang ikan tuna tidak terlalu berwarna putih tapi sedikit kecoklatan. Kesegaran bahan baku akan mempengaruhi mutu dari gelatin tersebut. Pada proses pengeringan pada gelatin tulang ikan tuna menggunakan suhu yang lebih tinggi dibandingkan dengan proses pembuatan gelatin tulang ikan kakap merah.
Asam amino gelatin
Hasil analisis asam amino gelatin tulang ikan tuna, ikan kakap merah (Hadi, 2005), dan ikan patin (Nurilmala, 2004) dapat dilihat pada Tabel 4.
Tabel 4. Analisis asam amino gelatin tulang ikan tuna, ikan kakap merah dan ikan patin

No     Jenis asam amino     Ikan tuna (%)     Ikan kakap merah (%)     Ikan patin (%)
1     Asam aspartat     5,646     4,70     4,53
2     As. glutamat     8,410     8,85     9,30
3     Serin     5,306     -     2,00
4     Histidin     6,885     -     0,01
5     Arginin     5,559     7,78     8,23
6     Treonin     4,23     2,66     2,55
7     Alanin     3,78     10,02     10,31
8     Tirosin     4,51     0,46     0,09
9     Glisin     11,795     21,57     22,97
10     Prolin     10,545     10,9     12,17
11     Valin     3,97     1,79     1,34
12     Methionin     1,72     1,40     0,37
13     Sistein     2,305     -     0,06
14     Isoleusin     5,246     0,79     1,07
15     Leusin     3,245     2,23     -
16     fenilalanin     1,57     1,78     2,01
17     Lisin     1,077     3,34     1,89
18     Hidroksiprolin     5,395     6,93     6,25

Gelatin tulang ikan tuna mempunyai nilai glisin, prolin dan hidroksiprolin yang lebih rendah dibandingkan dengan gelatin tulang ikan kakap dan ikan patin. Rendahnya nilai glisin, prolin dan hidroksiprolin menyebabkan nilai kekuatan gel, titik leleh dan titik gel gelatin tulang ikan tuna lebih rendah dibandingkan dengan gelatin tulang ikan kakap dan gelatin tulang ikan patin. Semakin besar nilai asam amino glisin, prolin dan hidroksiprolin maka nilai kekuatan gel, viskositas, titik leleh dan titik gel akan semakin tinggi. Menurut Stansby (1977) semakin panjang rantai asam amino gelatin maka nilai viskositas dan kekuatan gel akan semakin besar.
Kandungan logam berat (Hg)
Berdasarkan hasil pengukuran kandungan merkuri di dalam gelatin tidak terdeteksi. Kandungan merkuri yang negatif pada gelatin tulang ikan tuna menunjukkan bahwa bahan baku tulang ikan tuna dan proses pembuatan gelatin tidak tercemar.
KESIMPULAN 
Tulang ikan tuna dapat dibuat menjadi gelatin  menggunakan asam klorida dengan konsentrasi 4 %, 5 % dan 6 % dan menggunakan suhu ekstraksi 80 oC, 85
ooC dan 90 C.
Diantara ketiga kondisi tersebut, HCl 6 % dengan suhu ekstraksi 80 0C merupakan kondisi terbaik.  Gelatin yang dihasilkan dengan metode ini mempunyai karakteristik sebagai berikut : titik gel  7,61 0C, titik leleh  19,84 0C, titik isoelektrik pada pH 7 dan derajat putih 10,7 %. Asam amino glisin merupakan asam amino yang utama yang terdapat dalam gelatin tulang ikan tuna ini. Gelatin tulang ikan tuna memiliki nilai derajat putih, kekuatan gel, titik gel dan titik leleh yang lebih rendah dibandingkan dengan gelatin tulang ikan kakap merah dan gelatin tulang ikan patin. Gelatin tulang ikan tuna memiliki nilai viskositas yang lebih tinggi dibandingkan dengan gelatin tulang ikan kakap dan gelatin tulang ikan patin.
Berdasarkan hasil yang diperoleh, maka saran yang dapat diberikan pada penelitian ini adalah: (a) diperlukan penelitian lebih lanjut untuk mengetahui masa simpan  dan (b) perlunya penelitian lebih lanjut terhadap aplikasi gelatin tulang ikan tuna.
DAFTAR PUSTAKA
[AOAC]  Association of Official Analytical and Chemists. 1995.  Official Methods of Analysis the 16th ed.  Virginia: Inc. Arlington.
British Standard 757. 1975.  Sampling and testing of gelatin. Di dalam The Science and Technology of Gelatin. Ward  AG dan Courts A, editors. New York: Academic Press. 
Courts  A dan Johns. P. 1977. Relationship between collagen and gelatin. Di dalam The Science and Technology of Gelatin. Ward AG dan Courts A, editors. New York: Academic Press. 
Eastoe J E. 1977. The Chemical examination of gelatin. Di dalam The Science and Technology of Gelatin. Ward  AG dan Courts A, editors. New York: Academic Press. 
 JECFA. 2003. Edible gelatin. Di dalam Compendium of Food Additive Specifications Addendum 7. Rome, Italy
Gaspar C,  Laureno O dan  Sousa I.1998.  Production of reduced calorie grape juice jelly with gellan, xanthan and locust bean gums.  Sensory and Objective Analysis of Texture. Original Food Research and Technology Vol.206. Lisboa: Springer.
Hadi S. 2005. Karakteristik fisikokimia gelatin dari tulang kakap merah (Lutjanus sp.) serta pemanfaatanya dalam produk jelly. [Skripsi]. Bogor: Departemen Teknologi Hasil Perikanan, Fakultas Perikanan dan Ilmu Kelautan, IPB.
Hermanianto  J. 2004. Gelatin: Keajaiban dan resiko kehalalannya. Di dalam pks-anz.org. 24 Januari 2005.
Nurilmala  M. 2004. Kajian potensi limbah tulang ikan keras (Teleostei) sebagai sumber gelatin dan karakterisasinya. [Tesis]. Bogor: Sekolah Pascasarjana, IPB.
Poppe J. 1992. Gelatin. Di dalam Thickening and Gelatin Agents for Food. Imeson A (ed.). London: Blackie Academic and Professional.
 SNI 06-3735. 1995. Mutu dan Cara Uji Gelatin. Jakarta: Badan Standarisasi Nasional.
 Stansbsy, G. 1977. The gelatin gel and the sol-gel transformation. Di dalam The Science and Technology of Gelatin. Ward AG dan  Courts A, editors. New York: Academic Press.
Suryaningrum T D dan Utomo B S D. 2002.  Petunjuk analisa rumput laut dan hasil olahannya . Jakarta: Pusat Riset Pengolahan Produk dan Sosial Ekonomi Perikanan dan Kelautan.
Tourtellote, P. 1980. Gelatin. Di dalam McGraw Hill Encyclopedia of Science and Technology of Gelatin. London: Academic Press. 
Wainewright F W.  1977.  Physical test for gelatin and gelatin products. Di dalam The Science and Technology of Gelatin. Ward AG dan Courts A. editors. New York: Academic Press.

Sunday, May 27, 2012

CARA PENINGKATAN KUALITAS AIR TAMBAK DENGAN PENGAPURAN

May 27, 2012 Posted by Media Penyuluhan Perikanan Pati No comments
Latar belakang
Persiapan tambak atau kolam yang sangat luas seperti wilayah Desa Talun sangat penting untuk diberi perlakuan pengapuran disamping pengeringan dan pengolahan dasar tambak.
Menurut Kordi et.al. (2010), Lahan hutan mangrove yang baru dibuka untuk tambak umumnya memiliki keadaan tanah asam. tanah-tanah yang asam di daerah payau muncul karena beberapa hal. biasanya pada tanah-tanah pantai yang baru terbentuk seringkali ion-ion pyrit terakumulasi. Selama tanah yang mengandung pyrit ini muncul, tanah demikian sangat peka terhadap perubahan yang kecil sekalipun. Bila lahan tambak diairi, pyrit akan teroksidasi dan menghasilkan asam sulfurik atau asam sulfat yang menyebabkan keasaman tanah menjadi sangat rendah. Keasaman tanah yang rendah dapat berasal dari keasaman air tambak yang sangat rendah karena pencucian dasar tambak atau oleh aliran air hujan dari tanggul selama badai.
Tanah-tanah asam dapat pula menyebabkan rendahnya produktivitas tambak. asam sulfurik yang terbentuk karena teroksidasinya pyrit akan mempengaruhi mineral-mineral tanah. Pembebasan besi dan aluminium akan mengikat fosfat dan hara alga esensial lainnya yang akan menyebabkan rendahnya produktivitas alami tambak. Akibatnya, pemupukan tidak berdaya guna. Kekurangan makanan alami demikian menyebabkan pertumbuhan alga melambat.
Akibat lain kehadiran asam sulfat menyebabkan lambatnya pertumbuhan tanaman penutup pematang sehingga pematang mudah tererosi. Oleh karena itu, kita perlu memperbaiki pematang agar tanah-tanah pematang tidak jatuh ke dalam tambak. Tanah-tanah pematang yang mengandung asam sulfat, aluminium aktif, dan besi bila tercuci lewat erosi dan masuk ke dalam tambak dapat memperburuk kondisi kualitas air.
Tanah asam sulfat tidak baik untuk lokasi tambak. Namun, untuk menjadikannya produktif dan dapat digunakan, kita perlu melakukan pengapuran. Dengan pengapuran, sifat keasaman tanah akan rusak sehingga pH tanah naik menjadi netral atau basa. oleh karena itu, makalah ini akan membahas tentang pengapuran tambak yang baik sehingga tambak menjadi produktif.
1.2    Rumusan masalah
1.         Apa itu pengapuran?
2.         Apa jenis-jenis kapur yang dipakai dalam pengapuran beserta dosisnya?
3.         Bagaimana teknik pengapuran dan faktor yang harus diperhatikan?
Pembahasan
2.1    Pengertian Pengapuran
Pengapuran adalah pemberian kapur ke dalam tanah pada umumnya bukan karena tanah kekurangan unsur Ca tetapi karena tanah terlalu masam. Oleh karena itu pH tanah perlu dinaikkan agar unsur-unur hara seperti P mudah diserap tanaman dan keracunan Al dapat dihindarkan (Hardjowigeno, 1992).
Menurut Ratnawati (2008), Pengapuran adalah salah satu bentuk dari remediasi selain pengoksidasian dan pembìlasan tanah Untuk mengatasi Permasalahan utama pada tambak tanah sulfat masam antara lain: pH rendah (S 3,5); kurang tersedia fosfor (P), kalsium (Ca), dan magnesium kandungan unsur molibdium (Mo) dan besi (Fe) serìng berlébihan sehingga dapat meracuni organisme; serta kelarutan aluminium (Al) sering tinggi sehingga merupakan penghambat ketersediaan P. Penambahan pupuk, terutama yang mengandung P sering tidak bermanfaat pada tanah masam ini bila unsur-unsur toksìk sepertì AI, Fe, dan Mn thdak diatasi.
2.2    Fungsi Pengapuran
Pengapuran berguna untuk memperbaiki keasaman (pH) dasar tambak. dasar tambak yang ber-pH rendah dapat menyebabkan rendahnya pH air tambak. oleh karena itu, perbaikan pH air tambak harus dimulai dari perbaikan pH tanah dasar tambak. selain untuk memperbaiki keasaman dasar tambak, kapur juga berfungsi sebagai desinfektan dan penyedia unsur hara (fosfor) yang dibutuhkan plankton. tanah dasar tambak yang mengandung pirit harus direklamasi terlabih dahulu selama kurang lebih 4 bulan sebelum diberi kapur sejumlah 2-2,5 ton/ha (Suyanto et.al 2009).
Kapur yang digunakan di tambak berfungsi untuk meningkatkan kesadahan dan alkalinitas air membentuk sistem penyangga (buffer) yang kuat, meningkatkan pH, desinfektan, mempercepat dekomposisi bahan organik, mengendapkan besi, menambah ketersediaan unsur P, dan merangsang pertumbuhan plankton serta benthos (Chanratchakool, 1995).
Menurut kordi et al (2010), fungsi pengapuran antara lain:
1)      Meningkatkan pH tanah dan air
2)      Membakar jasad jasad renik penyebab penyakit dan hewan liar
3)      Mengikat dan mengendapkan butiran lumpur halus
4)      Memperbaiki kualitas tanah
5)  Kapur yang berlebihan dapat mengikat fosfat yang sangat dibutuhkan untuk pertumbuhan plankton
Manfaat pengapuran menurut murtidjo (1988) diantaranya:
1)      menormalkan asam-asam bebas dalam air, sehingga pH meningkat
2)      mencegah kemungkinan terjadinya perubahan pH air atau tanah yang mencolok
3)  mendukung kegiatan bakteri pengurai bahan organik sehingga garam dan zat hara akan terbebas.
4)      mengendapkan koloid yang melayang layang dalam air tambak
2.3    Teknik-Teknik Pengapuran
Menurut Mahyudin (2008), Pemberian kapur dilakukan dengan cara disebar merata di permukaan tanah dasar kolam. setelah pengapuran selesai, tanah dasar kolam dibalik dengan cangkul sehingga kapur bisa lebih masuk ke dalam lapisan tanah dasar. pengapuran untuk kolam semen dan terpal dilakukan dengan cara dinding kolam dan dasar terpal dikuas dengan kapur yang telah dicampuri air .
Menurut kordi et al (2010). Sebelum mengapurnya, kita harus mengeringkan tambak terlebih dahulu. Tebarkan kapur secara merata di permukaan tambak dengan jumlah yang disesuaikan dengan luas tambak dan tekstur tanah. Kapur yang diperlukan adalah kapur pertanian atau kapur lain dengan takaran disesuaikan dengan pH tanah.
Menurut Ratnawati (2008), Pengapuran yang dilakukan dìbagi atas 2 tahap yaitu pengapuran dasar dan pengapuran susulan. Pengapuran dasar dìlakukan setelah pengerìngan tambak dengan dosis 1.000--1.875 kg/ha yang ditebaŕ secara merata ke permukaan tanah dasar tambak,‘tergantung pH tanah dasar tambak.
 Adapun cara-cara pengapuran t`mbak agar memperoleh hasil yang baik, menurut murtidjo (1988) diantaranya:
1. Tanah dasar tambak setelah pengeringan digali dengan kedalaman sekitar 0,1 meter, selanjutnya dicampur dengan kapur dan diaduk
2.      Pengadukan harus baik dan benar hingga merupakan adonan yang homogen serta sempurna
3.     setelah adonan sempurna, bisa dikembalikan dan diratakan pada dasar tambak
4.      pengapuran dilakukan setiap musim penebaran benur atau nener

 Menurut Kholis  (2010), Pemberian kapur dilakukan dengan cara disebar merata dipermukaan tanah dasar kolam. setelah pengapuran selesai, tanah dasar kolam dibalik dengan menggunakan cangkul sehingga kapur bisa lebih masuk ke dalam lapisan tanah dasar, pengapuran untuk kolam semen dan terpal dilakukan dengan cara dinding kolam dan terpal dikuas dengan kapur yang telah dicampur air.
Cara Pengapuran Tambak menurut Tim Perikanan WWF Indonesia (2011) yaitu periksa pH tanah pada beberapa titik yang berbeda pada dasar tambak dengan menggunakan alat pengukur pH hingga sesuai dengan yang diharapkan.
pH 4-5 digunakan kapur 500 - 1000 kg/ha.
pH 5-6 digunakan kapur
250 - 500 kg/ha.
pH > 6 digunakan dolomit 100 – 250 kg/ha.
Pemberian kapur harus disesuaikan dengan tekstur dan pH tanah. Kemudian dolomit/kapur ditebarkan ke seluruh dasar dan pematang tambak dan tambak siap diisi sampai ketinggian yang dinginkan.
2.4    Jenis-Jenis Kapur Yang Biasa Dipakai Dalam Pengapuran Tambak
Menurut Ratnawati (2008), jenis kapur yang digunakan pada kegiatan budidaya udang tradisional plus ini adalah kapur dolomite (Ca Mg(CO3)2, karena kapur ini memiliki pengaruh yang lebih lama, mudah diperoleh, meninggalkan residu dan kecepatan reaksìnya lebih lambat, sertajuga mengandung Mg selaìn Ca.
Menurut Kholis  (2010), Jenis kapur yang biasa digunakan untuk pengapuran kolam adalah kapur aktif atau kapur tohor (CaO) dan kapur pertanian (CaCO3) atau CaMg(CO3)2. Kapur tohor atau kapur sirih adalah kapur yang pembuatannya melaluin proses pembakaran. bahan penyusunnya berupa batuan tohor gunung dan kulit kerang. Kapur pertanian adalah kapur karbonat yang bahan penyusunnya berupa batuan kapur tanpa melaluin proses pembakaran, tetapi langsung digiling. terdapat dua macam kapur pertanian, yaitu kalit dan dolomit. kalsit bahan bakunya didominasi oleh kandungan karbonat dan sedikit magnesium (CaCO3), sementara dolomit bahan bakunya didominaso oleh kalsium karbonat dan magnesium karbonat (CaMg(CO3)2).
Menurut Rezqi (2009), Bentuk kapur yang paling tepat digunakan pada air payau atau salin (air laut) adalah kapur bakar CaO atau kapur hidrat Ca(OH)2, karena kalsium karbonat CaCO3 kurang larut dalam air laut.Sumber : Chanratchakool, (1995) dalam Rezqi (2009)
Jenis kapur yang dapat diaplikasikan di tambak TSM menurut Sammut et.al. (2011) yaitu kapur karbonat, kapur oksida dan kapur hidrat.
·           Kapur karbonat : kapur karbonat diperoleh dengan menggiling batu kapur tanpa pemanasan. yang tergolong kapur karbonat adalah:Kalsit (CaCO3) dan dolomit (CaMg(CO3)2)
·         Kapur oksida : kapur ini diproduksi setelah pemanasan kapur karbonat. kapur oksida dikenal pula sebagai kapur bakar atau kapur tohor (CaO)
·           Kapur hidrat : kapur ini diperoleh dengan menambahkan air pada kapur oksida. kapur hidrat dikenal pula dengan nama kapur bangunan atau kapur tembok Ca(OH)2
Kesesuaian jenis kapur untuk digunakan sebagai material penertal tergantung pada beberapa faktor antara lain kekuatan menetralisir, harga, tingkat reaksi dengan tanah, tingkat kehalusan butir, dan kemudahan untuk digunakan/tidak beresiko. Biasanya dolomit dan kalsit yang lebih umum digunakan oleh para petani tambak dengan alasan tersebut di atas. Kapur dolomit memiliki pengaruh lebih lama, mudah diperoleh, tidak meninggalkan residu dan kecepatan reaksi lebih lambat.
2.5    Dosis Kapur Dalam Pengapuran Tambak
Sebelum menentukan dosis kapur pada persiapan tambak, maka perlu diketahui cara pengukuran pH menggunakan pH meter. Setelah nilai pH tanah diketahui maka dosis kapur yang digunakan disesuaikan dengan tingkat keasaman tanah. Sumber: Amrullah (1997) dalam Enny et.al. (2009)
Menurut Amri (2002), kebutuhan kapur per hektar tambak tergantung dari derajat keasaman tanah tambak (pH). Umumnya, tambak yang sudah beberapa kali digunakan untuk pemeliharaan udang akan ber-pH rendah karena telah terjadi proses pembusukan bahan organik berupa sisa pakan dan kotoran udang sehhngga menghasilkan asam dari proses oksidasi. semakin rendah pH tanah, jumlah kapur yang diperlukan juga semakin banyak. tabel berikut menunjukkan keperluan kapur berdasarkan jenis tanah untuk meningkatkan pH tanah dasar tambak sehingga menjadi normal.
Sumber: Pedoman budidaya tambak, deptan dalam Amri (2002)
2.6    Metode Penentuan Dosis Kapur
Istilah kebutuhan kapur digunakan untuk menyatakan jumlah kapur yang harus diberikan pada tanah untuk pertanaman tertentu. Kebutuhan kapur juga digunakan untuk menyatakan jumlah kapur atau kesetaraannya yang harus diberikan pada tanah untuk menaikan pH tanah menjadi pH 5,5 dari pH 3,75. Angka-angka yang diperoleh dari suatu carapenentuan kebutuhan kapur harus dikalikan dengan indeks netralisasi, tergantung pada susunan serta kehalusan bahan yang digunakan dalam pengapuran dan jumlah yang mungkin dapat tercuci.(Kaderi,2001)
Penentuan kebutuhan kapur menurut Kaderi et. al. (2001),
a.       Penentuan Kebutuhan Kapur Dengan Penambahan Larutan NaOH 0,05 N.
Peralatan dan bahan yang digunakan:
Timbagan dengan ketelitian 10 mg; mesin pengocok ; pH-meter dengan gelas elektrode; pipet dan botol kocok; botol semprot plastik; larutan NaOH 0,05 N. NaOH sebanyak 2,0 g dilarutkan dengan air destilasi kedalam labu ukur 1 liter sampai tanda garis.
Cara kerja:
1)      Timbang contoh tanah dengan berat 10 g sebanyak 6 contoh kemudian dimasukkan masing-masing ke dalam 6 buah botol kocok.
2)      Ke dalam 6 botol yang telah berisi contoh tanah diberi larutan NaOH 0.05 N masing-masing 0, 4, 8, 12, 16, dan 20 ml.
3)      Ditambahkan air destilasi 25, 21, 17 . 13, 9, 5 ml sehingga jumlah menjadi 25 ml, yaitu setara dengan 0, 2, 4, 6, 8 dan pengekstrak dalam botol 10 ton kapur per hektar .
4)      Botol dikocok selama 1 jam dengan mesin pengocok.
5)      pH ditetapkan dengan pH-meter
6)      Dibuat kurva pH dan jumlah penambahan larutan NaOH 0,05 N (ml). SUPING (1998), menyatakan kebutuhan kapur dapat dihitung berdasarkan hasil penambahan NaOH:
Berdasarkan kurva ph yang dubuat dari data tabel3 dengan penambahan naoh 0,05n dapat dihitung jumlah kapur yang diperlukan untuk mencapai ph yang diinginkan
b.      Penentuan Kebutuhan Kapur Dengan Inkubasi
Peralatan dan bahan yang digunakan:
Timbagan dengan ketelitian 10 mg; gelas erlenmeyer dengan tutup karet; mesin pengocok; pH-meter dengan gelas elektrode ; pipet dan botol kocok; botol semprot plastik ; kapur pertanian .
Cara kerja:
1     1)    Contoh tanah basah 100 g dimasukkan ke dalam erlenmeyer, 7 gelas per contoh.
2  2)    Ke dalam gelas erlenmeyer yang telah berisi contoh tanah diberi kapur pertanian 0; 0,1 ; 0,2 ; 0,4; 0,6; 0,8 dan 1,0 g ke dalam gelas erlenleyer, yang setara dengan 0, 2, 4, 8, 12, 16 dan 20 ton kapur pertanian per hektar (dengan perhitungan lapisan olah 20 cm dan bobot isi (BD = bulk density) 1g/cm3.
3  3) Tanah dan kapur pertanian diaduk, kemudian diberi air sampai mencapai kapasitas lapang, keadaan air yang optimum untuk pertumbuhan jasad hidup dalam tanah.
4  4)  Gelas ditutup dan ditempatkan di ruangan yang teduh.
5  5)  Setelah 2 minggu inkubasi, diambil sebanyak 3 g tanah untuk penetapan pH-nya.
6  6)  Tanah dimasukan 3 g ke dalam botol kocok.
7  7)  Ditambahkan 3 ml air aquadest/air hujan.
8  8)  Botol dikocok .
9  9)  pH ditetapkan dengan pH meter .
1  10)  Berdasarkan data di atas dibuat kurva pH.
Kebutuhan kapur dapat dilihat dari kurva yang mencerminkan hubungan antara pH dan jumlah kapur yang dibutuhkan untuk mencapai pH yang dikehendaki (WIDJAYA, 1996) .
sumber : Kaderi et al. (2010)
Berdasarkan kurva pH yang dibuat dari data Tabel 2 dengan masa inkubasi selama 2 minggu dapat dihitung jumlah kapur yang diperlukan untuk mendapatkan pH 5.5 dari pH awal 3,75 pada lokasi Belawang sebanyak 16,6 ton/ha kapur.
2.7    Faktor-Faktor Yang Perlu Diperhatikan Dalam Pengapuran Tambak
Kolam hendaknya dicangkul terlebih dahulu agar proses pengapuran menjadi lebih sempurna. yanah yang dicangkul kurang lebih mencapai kedalaman 20cm dan diberi air sehingga menjadi macak-macak (becek). selanjutnya kapur ditebarkan secara merata  (Afrianto 1992).
Menurut Murtidjo (2002), agar dapat diperoleh manfaat pengapuran yang sempurna, perlakuan yang diperlukan adalah sebagai berikut
     Tanah dasar tambak digali sedalam kurang lebih 0,10m, kemudian dicampur dengan kapur dan diaduk
    Pengadukan harus dilakukan secara merata, sehingga didapat adonan yang homogen dan sempurna
    Adonan yang sudah sempurna dapat dikembalikan dan diratakan pada pelataran tambak
Untuk tambak yang bertanah asam, pengapuran tambak harus dilakukan setiap musim tanam. dengan demikian, produktivitas tambak tetap terjamin
Beberapa hal yang perlu diperhatikan menurut Soemarno 2012 :
1.     Idealnya paling lambat pengapuran dilakukan 2 minggu sebelum tanam, karena bahan kapur termasuk bahan yang lambat bereaksi dengan tanah.
2.       Setelah pengapuran sebaiknya tanah dicangkul (dibajak) agar kapur bisa merata masuk dekat zona perakaran.
3.        Pengairan setelah pengapuran sangat diperlukan.
4.        Peningkatan pH tidak bisa terjadi seketika, melainkan pelan dan bertahap.
5.    Dosis kapur disesuaikan pH tanahnya, tetapi sebagai pedoman praktis dosis berkisar 500 kg/Ha 2 ton/Ha.
Catatan :
Dolomit juga harus secara rutin digunakan pada tanah pH normal, karena unsur Ca dan Mg pada dolomit sangat dibutuhkan tanaman.
Beberapa kriteria yang perlu dijadikan patokan sebelum melaksanakan pengapuran menurut Sualia et.al (2010), adalah :
      Pemberian kapur dilakukan saat dasar tambak kering, setelah pembilasan. Jenis dan Jumlah Kapur Dasar yang Dibutuhkan berdasarkan pH Tanah di Daerah Mangrove.
    Pemberian kapur disarankan pada waktu dimana angin tidak berhembus kencang untuk mencegah kapur beterbangan keluar tambak. Tempatkan posisi tubuh yang membelakangi arah angin agar kapur tidak mengenai tubuh saat pemberian kapur.
    Sebarkan kapur semerata mungkin di dasar tambak dan pematang bagian dalam, terutama pada bagian caren atau bagian yang masih tergenang.
    Diamkan tambak selama beberapa hari setelah pengapuran, kemudian isi dengan air laut dan, jika memungkinkan, dilakukan pemeriksaan pH air. Diharapkan pH air telah mencapai 7,5-8,5 yang menunjukkan bahwa proses pengapuran telah berhasil.
3.1 Kesimpulan
    Berdasarkan pembahasan dari Bab II dapat disimpulkan sebagai berikut :
    Pengapuran adalah pemberian kapur ke dalam tanah pada umumnya bukan karena tanah kekurangan unsur Ca tetapi karena tanah terlalu masam
    Kapur yang digunakan di tambak berfungsi untuk meningkatkan kesadahan dan alkalinitas air membentuk sistem penyangga (buffer) yang kuat, meningkatkan pH, desinfektan, mempercepat dekomposisi bahan organik, mengendapkan besi, menambah ketersediaan unsur P, dan merangsang pertumbuhan plankton serta benthos
    Pemberian kapur dilakukan dengan cara disebar merata di permukaan tanah dasar kolam.
    Sebelum mengapurnya, kita harus mengeringkan tambak terlebih dahulu.
    jenis kapur yang digunakan pada kegiatan budidaya udang tradisional plus ini adalah kapur dolomite (Ca Mg(CO3)2
    Jenis kapur yang dapat diaplikasikan di tambak TSM menurut Sammut et.al. (2011) yaitu kapur karbonat, kapur oksida dan kapur hidrat.
    kebutuhan kapur per hektar tambak tergantung dari derajat keasaman tanah tambak (pH)
    Penentuan kebutuhan kapur menurut Kaderi et. al. (2001) adalah Dengan Penambahan Larutan NaOH 0,05 N dan Dengan Inkubasi.
3.2    Saran
Untuk menetralkan pH serta menambah produktivitas tambak, disarankan melakukan pengapuran secara rutin dengan jenis dan dosis sesuai dengan kebutuhan.
Daftar Pustaka
Afrianto E. Ir. dan Evi L. Ir. (1992). Pemeliharaan Kepiting. Penerbit Kanisius.Yogyakarta
Amri K, Ir. M.Si. (2002). Budi Daya Udang Windu secara Intensif. Agromedia pustaka.
Hardjowigeno, S. 1992. Ilmu Tanah. Mediyatama Sarana Perkasa. Jakarta
Kholis M, S.Pi, MM 2010. Agribisnis Patin. Penebar Swadaya. Jakarta
Kordi K, M. Ghufran H. (2010), Nikmat Rasanya, Nikmat Untungnya - Pintar Budidaya Ikan di    Tambak Secara intensif. Lily publisher. Yogyakarta
Murtidjo B. A. (2002) Budi Daya Dan Pembenihan Bandeng.Penerbit Kanisius.Yogyakarta
Mustafa A, Rachmansyah dan Anugriati (2010). Distribusi Kebutuhan Kapur Berdasarkan Nilai Spos Tanah Untuk Tambak Tanah Sulfat Masam Di Kabupaten Mamuju Provinsi Sulawesi Barat. Balai Riset Perikanan Budidaya Air Payau.
Ratnawati E. (2008). Budidaya Udang Windu (Penaeus Monodon) Sistem Seml­Intenslf Pada Tambak Tanah Sulfat Masam. Peneliti pada Balai Riset Perikanan Budidaya Air Payau. Maros. http://isjd.pdii.lipi.go.id/admin/jurnal/3108610.pdf . Diakses pada 8 Mei 2012 pukul 01.07 WIB
Rezqi V. S. K. (2009).Pengaruh Tiga Cara Pengolahan Tanah Tambak Terhadap Pertumbuhan Udang Vaname Litopenaeus vannamei. Program Studi Teknologi Dan Manajemen Akuakultur Departemen Budidaya Perairan Fakultas Perikanan Dan Ilmu Kelautan Institut Pertanian Bogor.
http://repository.ipb.ac.id/bitstream/handle/123456789/19449/C09rvs.pdf. Diakses pada 8 Mei 2012 pukul 20.04 WIB
Saefulhakim S,(1985). Efek Pengapuran Terhadap Fosfor Tersedia Pada Tanah. Fakultas Pertanian. IPB. http://repository.ipb.ac.id/bitstream/handle/123456789/36951/Kongres%20Nasional%204_sunsun%20Saefulhakim.pdf. Diakses pada 7 Mei 2012 pukul 21.24 WIB.
Sammut J Dr.,dan Mustafa A Ir., MS.(2011) Teknik Pengapuran Pada Pematang Tambak Tanah Sulfat Masam. Balai Riset Perikanan Budidaya Air Payau.Maros
Soemarno (2012), Kemasaman Tanah Dan Pengapuran.
http://marno.lecture.ub.ac.id/files/2012/02/MAES-PENGELOLAAN-kemasaman-tanah-dan-PENGAPURAN.ppt. Diakses pada 7 Mei 2012 pukul 21.40 WIB.
Sualia, I, Eko B.P., dan I N.N. Suryadiputra. (2010). Panduan Pengelolaan Budidaya Tambak Ramah Lingkungan di Daerah Mangrove. Wetlands International – Indonesia Programme. Bogor.
Suyanto R  Dra. Ny. S ,dan Takarina E. P., Ir. Msi. (2009). Panduan Budidaya Udang Windu
. Penebar Swadaya. Yogyakata.
Tim Perikanan WWF Indonesia (2011), Budidaya Udang Windu - Dengan Pemberian pakan dan Tanpa Aerasi.WWF-Indonesia.  http://awsassets.wwf.or.id/downloads/3_bmp_budidaya_udang_windu___dengan_pakan_tanpa_aerasi.pdf. diakses pada 7 Mei 2012 pukul 21.03