Monday, February 27, 2012

PEMBERIAN PAKAN DAN PEMANENAN PADA BUDIDAYA CHLORELLA (PAKAN ALAMI)

February 27, 2012 Posted by Media Penyuluhan Perikanan Pati No comments
Chlorella merupakan salah satu jenis fitoplankton yang banyak digunakan untuk berbagai keperluan, salah satunya digunakan sebagai makanan rotifera atau sebagai media budidaya larva ikan.
Budidaya Chlorella dapat dilakukan dalam skala laboratorium dan skala lapangan. Dalam budidaya Chlorella di skala laboratorium digunakan wadah berupa erlenmeyer. Hasil budidaya pada skala laboratorium pada umumnya digunakan sebagai stock untuk budidaya massal. Dalam kegiatan budidaya skala laboratorium wadah harus dibersihkan dan disanitasi. Umumnya pencucian dapat menggunakan deterjen dan dibilas sampai bersih kemudian dikeringkan. Setelah kering kemudian wadah disanitasikan dengan cara direbus pada suhu 1100C.
Air yang digunakan juga harus bersih. Air yang digunakan dapat berupa air sumur atau air mata air atau akuades. Untuk air mata air atau air sumur sebaik air difilter terlebih dahulu untuk menyaring partikel yang tersuspensi dalam air. Selajutnya air juga harus disanitasi dengan cara merebus air sampai mendidih, sehingga air yang digunakan bebas dari kontaminasi plankton lain. Selanjutnya erlenmeyer yang sudah diisi air sebanyak satu liter ditempatkan pada rak yang dilengkapi dengan selang aerasi dan lampu neon. Hal ini dilakukan supaya cahaya cukup untuk proses fotosintesis Chlorella, yang memerlukan intensitas cahaya antara 2500 – 5000 lux dan agar Chlorella tidak mengendap. Dalam budidaya di dalam laboratorium sebaiknya dilakukan pada suhu antara 21-250C, dengan tujuan agar pertumbuhannya tidak terlalu cepat.
Setelah persiapan wadah selesai kemudian dilakukan pemupukan. Pemupukan ini dilakukan agar kebutuhan unsur hara dari Chlorella terpenuhi sehingga Chlorella dapat berkembang. Adapun pupuk yang dapat digunakan untuk skala laboratorium ini adalah pupuk Walne, seperti yang tertera pada
Klasifikasi dan Morfologi
Nama Chlorella berasal dari zat bewarna hijau (chlorophyll) yang juga berfungsi sebagai katalisator dalam proses fotosintesis (Steenblock 2000). Chlorella sp. (Gambar 1) oleh Bold dan Wynne (1985) dikategorikan ke dalam kelompok alga hijau yang memiliki jumlah genera sekitar 450 dan jumlah spesies lebih dari 7500.
Nama alga hijau diberikan karena kandungan zat hijau (chlorophyll)  yang dimilikinya sangat tinggi, bahkan melebihi jumlah yang dimiliki oleh beberapa tumbuhan tingkat tinggi. Klasifikasi Chlorella sp. menurut Bold dan Wynne (1985) adalah sebagai berikut:
Divisi : Chlorophyta
Kelas : Chlorophyceae
Ordo    : Chlorococcales
Famili : Oocystaceae
Genus : Chlorella
Spesies : Chlorella sp.
Bentuk umum sel-sel Chlorella adalah bulat atau elips (bulat telur), termasuk fitoplankton bersel tunggal (unicellular) yang soliter, namun juga dapat dijumpai hidup dalam koloni atau bergerombol. Diamater sel umumnya berkisar antara 2-12  mikron, warna hijau karena pigmen yang mendominasi adalah klorofil (Bold 1980). Chlorella sp. merupakan organisme eukariotik (memiliki inti sel) dengan dinding sel yang tersusun dari komponen selulosa dan pektin sedangkan protoplasmanya berbentuk cawan (Isnansetyo dan Kurniastuty 1995).
2.1.2   Habitat dan Ekologi
Berdasarkan habitat hidupnya Chlorella dapat dibedakan menjadi Chlorella air tawar dan Chlorella air laut. Chlorella air tawar dapat hidup dengan kadar salinitas hingga 5 ppt. Contoh Chlorella yang hidup di air laut adalah Chlorella vulgaris, Chlorella pyrenoidosa, Chlorella virginica dan lain-lain (Isnansetyo dan Kurniastuty 1995). Umumnya Chlorella bersifat planktonis yang melayang di dalam perairan, namun beberapa jenis Chlorella juga ditemukan mampu bersimbiosis dengan hewan lain misalnya Hydra dan beberapa Ciliata air tawar seperti Paramecium bursaria ( Dolan  1992).
Untuk budidaya Chlorella skala massal dapat digunakan wadah berupa bak fiber atau bak beton yang berbentuk bulat atau persegi.
Volume wadah untuk budidaya Chlorella secara massal berkisar antara 500 l (minimal) dan 200 ton. Selanjutnya kedalaman air minimal dalam wadah budidaya adalah 40 cm. Hal ini dimaksudkan agar suhu dalam wadah tidak terlalu tinggi pada siang hari dan tidak terlalu dingin pada malam hari.
Untuk skala masal wadah biasanya ditempatkan di luar ruangan dan mendpat cukup cahaya matahari
Dalam budidaya Chlorella skala massal disamping volume dan kedalaman air, bentuk permukaan bak juga harus mendapatkan perhatian. Permukaan bak sebaiknya mampunyai bentuk yang licin agar supaya mudah dibersihkan dari kotoran atau lumut. Bak dibersihkan dengan cara menyikat dinding dan dasar bak sampai semua kotoran hilang.
Sama halnya seperti budidaya dalam laboratorium, air yang akan digunakan dalam budidaya massal juga harus disanitasi. Pada umumnya air tawar yang digunakan dapat bersumber dari air sumur. Air yang digunakan terlebih dahulu dibersikan dengan jalan penyaringan (pembersihan air secara fisik). Penyaringan air tawar dapat dilakukan dengan filter pasir sebelum masuk ke dalam bak budidaya dan pada ujung saluran/selang air yang akan dimasukkan ke bak, perlu diberi kantung penyaring dengan ukuran lubang 25 mm. Hal ini dilakukan untukmencegah masuknya zooplankton melalui air yang akan memakan fitoplankton. Setelah air disaring secara fisik air juga harus disanitasi untuk mematikan fitoplankton lain dan telur-telur zooplankton yang lolos saringan.
Sanitasi dapat dilakukan dengan menggunakan chlorine dengan dosis 30 ppm (30 g/ton air). Pada umumnya bak budidaya diisi air sebanyak 85-90% dari kapasitas. Sebagai contoh pada bak berukuran 20 ton, hanya diisi air tawar sebanyak 18 ton. Air disanitasi dengan menggunakan chlorine 30 ppm selama 6 jam. Setelah chlorine dimasukkan, air diaerasi sampai chlorine tercampur rata diseluruh badan air dan setelah itu aerasi dimatikan. Untuk menetralkan chlorine, air diberi Na–thiosulfate 10 ppm dan diaerasi kuat.
Setelah air dibersihkan dan disanitasi kemudian air diaeresi kembali. Untuk bak berukuran besar sebaiknya setiap jarak 1 meter diberi satu titik aerasi. Setelah air diaerasi kemudian dilakukan pemupukan. Pemupukan dilakukan dengan tujuan agar unsur hara yang dibutuhan Chlorella dapat terpenuhi sehingga dapat menghasilkan Chlorella dengan kepadatan yang tinggi. Adapun pupuk yang digunakan untuk skala masal berbeda dengan pupuk yang digunakan dalam skala laboratorium. Hal ini dilakukan dengan pertimbangan faktor ekonomis.
Adapun pupuk yang digunakan dalam skala massal dapat dilihat pada Tabel 2.
Tabel 2. Berbagai kombinasi pupuk untuk media Chlorella
Sesuai bahan yang tersedia, jenis pupuk yang akan digunakan dapat dipilih diantara kombinasi pupuk di atas. Satu hari setelah pemupukan kemudian bibit Chlorella dapat ditebar. Jumlah bibit yang ditebar harus mencukupi. Sebagai contoh bibit dengan volume 1 liter tidak bisa digunakan untuk dijadikan bibit pada skala massal. Hal ini disebabkan pencapaian waktu yang dibutuhkan untuk mencapai popolasi puncak lama. Oleh karena itu perlu dilakukan upscaling ( budidaya pada volume wadah yang berurutan mulai dari yang terkecil sampai terbesar) yang akan dijelaskan kemudian.
Selama budidaya Chlorella dilakukan, aerasi perlu diberikan agar terjadi pencampuran air, sehingga semua sel Chlorella bisa mendapatkan pupuk yang diperlukan. Selain itu aerasi berguna untuk menghindari stratifikasi suhu air, dan memberikan kesempatan terjadinya pertukaran gas, dimana udara adalah sebagai sumber gas CO2 untuk keperluan fotosintesis Chlorella, sekaligus untuk mencegah naiknya pH air. Fitoplankton dapat mentolerir pH air 7–9 dan optimum pada pH 8,2 – 8,7.
SUMBER:
Jusadi D., 2003.  Modul Budidaya Rotifera - Budidaya Pakan Alami Air Tawar. Direktorat Pendidikan Menengah Kejuruan, Direktorat Jenderal Pendidikan Dasar dan Menengah, Jakarta.
Coutteau, P. 1996. Micro–algae, p. 7–48. In P. Lavens and P. Sorgeloos (eds) Manual on the production and used of live food for aquaculture. FAO Fisheries Technical Paper 361.

Sunday, February 26, 2012

PERLAKUAN GELONDONGAN KERAPU SUNU (Plectropomus leopardus) DENGAN PERSENTASE PERGANTIAN AIR BERBEDA

February 26, 2012 Posted by Media Penyuluhan Perikanan Pati No comments


Ikan kerapu sunu (Plectropomus leopardus) yang dikenal dengan kerapu bintang termasuk satu diantara komoditas ekspor unggulan Indonesia dari budidaya laut (marine fin-fish culture). Warna merah pada kerapu sunu merupakan daya tarik tersendiri bagi beberapa negara importir seperti Hongkong dan China, yang sebagian besar masyarakatnya masih meyakini bahwa warna merah identik dengan keberuntungan, sehingga pangsa pasar kerapu sunu di kedua negara tersebut sangat tinggi dan merupakan negara tujuan ekspor yang potensial (Sidik, 2002; Nurjana, 2006). 
Kerapu sunu dalam budidayanya memiliki prospek pengembangan yang sangat baik, karena tehnik produksi benih secara masal telah dikuasai dan dapat diterapkan di hatchery skala rumah tangga (Aslianti et al., 2009a). Permintaan pasar terhadap kerapu sunu terutama dalam keadaan hidup sangat tinggi (Sutarmat et al., 2007) dan terus meningkat, sementara pemenuhan melalui penangkapan di alam sangat tidak disarankan, karena memiliki banyak resiko yang merugikan diantaranya adalah jumlah tidak kontinyu, ukuran tidak seragam, resiko cacat fisik saat penangkapan dan dampak tertinggi adalah berkurangnya populasi di alam. Hal ini memberikan peluang cukup besar bagi kegiatan budidaya sekaligus meningkatkan pasok yuwana yang kontinyu, namun faktor kualitas tetap menjadi prioritas yang perlu diperhatikan mengingat persaingan pasar yang semakin ketat (Nurjana, 2010).
Dalam usaha pembesaran kerapu sunu di Keramba Jaring Apung (KJA) hingga mencapai ukuran konsumsi (300400gr) biasanya memerlukan waktu pemeliharaan yang cukup lama dan memiliki resiko kematian yang tinggi. Oleh karenanya upaya penggelondongan perlu dilakukan agar waktu pemeliharaan di KJA dapat dipersingkat dan diperoleh produksi yang tinggi dengan kualitas dan tampilan yang proporsional. Langkah awal yang harus dilakukan dalam mempersiapkan yuwana sebagai benih untuk pembesaran di KJA antara lain ukuran yang seragam, tidak cacat tubuh dan ikan sudah terbiasa mengkonsumsi pakan buatan (Sutarmat, 2005). Uji coba pendederan dalam wadah terkontrol dengan berbagai ukuran hingga pembesarannya di KJA telah dilakukan Sutarmat dan Ismi (2007), namun tingkat kelangsungan hidup yang dihasilkan belum stabil (Suwirya et al., 2006), dan masih perlu dilakukan perbaikan yang mengarah pada peningkatan produksi 
Dalam kegiatan budidaya, selain pakan yang memerlukan biaya ±60% dari total biaya operasional, faktor lingkungan juga merupakan sarana yang tidak kalah pentingnya, mengingat air sebagai media tempat ikan dipelihara juga merupakan media tumbuh bagi berbagai macam mikroorganisme baik yang pathogen maupun nonpathogen. Sedangkan di alam, golongan ikan kerapu umumnya hidup di perairan karang, bersifat menyendiri dan lebih menyukai habitat yang bersih dengan kondisi perairan yang stabil (Aslianti et al., 1998). Mengantisipasi sifat alami ikan kerapu tersebut, pergantian air merupakan faktor penting dalam menjaga kestabilan kualitas air selama pemeliharaan dalam wadah terkontrol. Oleh karenanya pengelolaan lingkungan pemeliharaan kerapu sunu melalui pergantian air yang kontinyu dengan prosentase yang optimal diharapkan dapat mengurangi kendalakendala ekstrim yang terjadi.
Dengan melihat permasalahan yang cukup konkrit dan tuntutan peluang pasar yang memerlukan solusi secara cepat, maka perlu dilakukan penelitian penggelondongan kerapu sunu dalam wadah terkontrol melalui perbaikan lingkungan sampai mencapai ukuran siap tebar (± 150gr) sehingga masa pemeliharaan di KJA dapat dipersingkat. Penelitian bertujuan untuk mendapatkan informasi pemeliharaan gelondongan kerapu sunu dalam wadah terkontrol, serta kendala yang dihadapi selama pemeliharaan sehingga resiko yang mungkin terjadi pada budidaya pembesaran di KJA dapat diperkecil.
 II.       BAHAN DAN METODE  
2.1.      Persiapan wadah
Kegiatan penelitian diawali dengan pencucian wadah penelitian berupa tiga (3) unit bak fiber kapasitas 4 m3 berbentuk segi empat berukuran 2x2x1m, dengan cara menyikat dan menyemprot dengan air tawar, kemudian dikeringkan selama satu hari. Hal ini untuk menghindari kemungkinan kontaminasi parasit. Selanjutnya wadah diisi air laut bersalinitas 30-33 ppt sampai ketinggian air 75 cm. Pengaturan pipa dan batu aerasi disesuaikan dengan kebutuhan dan diatur sedemikian rupa sehingga pasok oksigen yang mengalir dalam bak diharapkan dapat memenuhi kebutuhan ikan. Demikian juga pengaturan debit air masuk (inlet) dan keluar (outlet) disesuaikan dengan perlakuan dengan cara terlebih dahulu memposisikan stop kran yang disesuaikan dengan jumlah air masuk per menit, sehingga dalam waktu 24 jam (sehari semalam) diharapkan air dapat terganti sesuai perlakuan.
 2.2.     Hewan uji.
Hewan uji (kerapu sunu) yang telah melalui seleksi (keseragaman ukuran dan kondisi fisik) dimasukkan kedalam masing-masing bak dengan kepadatan 200 ekor. Rata-rata panjang total (TL) dan berat tubuh (BW) awal adalah 16.6±0.5cm dan 72.2±7.6g. Selama pemeliharaan, ikan diberi pakan komersial berbentuk pellet berdiameter ±5 mm dengan kandungan protein 42%, lemak 10%, abu 13%, dan kadar air 10% (Aslianti et al., 2009b). Pakan diberikan dua kali sehari sebanyak 3-5% dari bobot biomasa (±500 gr) dengan cara menebar hingga ikan tidak merespon (ad-libitum). Sisa pakan ditimbang untuk mengetahui jumlah pakan yang terkonsumsi setiap hari serta dilakukan penghitugan pada akhir penelitian untuk mengetahui nilai rasio konversi pakannya. Penelitian dilakukan selama 2 bulan dengan menggunakan sistim air mengalir dan persentase pergantian air merupakan perlakuan yaitu A (200%/hari); B (300%/hari) dan C(400%/hari).
Penyiponan dasar bak dilakukan setiap 2 hari untuk membersihkan sisa metabolisme berupa faeses ataupun sisa pakan yang tidak terkonsumsi oleh ikan. 
 2.3.     Parameter yang diamati
Pengamatan pertumbuhan dilakukan setiap bulan melalui pengukuran panjang total dan berat tubuh terhadap 20 ekor sampel (10% dari jumlah biomas) yang diambil secara acak dari masingmasing perlakuan. Untuk mengetahui efektifitas pakan terhadap pertumbuhan dilakukan dengan cara menghitung rasio konversi pakan (FCR), sedangkan kualitas air diamati secara kontinyu setiap minggu sebagai data pendukung meliputi oksigen terlarut (DO), ammonia (NH3-N), nitrit (NO2-N) dan pH. 
 2.4.     Analisa data
Semua data yang diperoleh dihimpun secara tabulasi dan dianalisis secara diskriptif serta diolah dengan menggunakan program microsoft Excel.
 III.      HASIL DAN PEMBAHASAN
Hasil pengamatan terhadap pertumbuhan panjang dan berat mutlak, kelangsungan hidup dan rasio konversi pakan gelondongan kerapu sunu dari masing-masing perlakuan tertera pada Tabel 1.
 Dari Tabel 1. diketahui bahwa persentase kenaikan pertumbuhan perlakuan C baik terhadap panjang total (30.18%) maupun berat tubuh (117.23%) terlihat lebih tinggi dari pada perlakuan
Tabel 1. Pertumbuhan panjang dan berat mutlak, kelangsungan hidup dan rasio konfersi                  pakan  kerapu sunu dari masing-masing perlakuan
 Parameter       A  (200%/day)            B 
(300%/day)     C  (400%/day) 
Panjang total awal/Initial length (cm)             16.60  16.60  16.60 
Panjang total akhir/Final length (cm  19.08  19.51  21.61 
Pertambahan panjang/TL gain (%)      14.94  17.53  30.18 
Berat tubuh awal/Initial weight (g)     72.20  72.20  72.20 
Berat tubuh akhir/Final weight (g)      132.20             140.96             156.84 
Pertambahan berat/BW gain (%)        83.10  95.24  117.23 
Kelangsungan hidup/SR (%)  93        95.5     97 
Rasio konfersi pakan/FCR      1.05     1.21     1.34 
 Tabel 2. Hasil rata-rata pengamatan kualitas air yang dilakukan setiap tiga hari dari                      masing-masing perlakuan
 Parameter       A  (200%/day)            B 
(300%/day)     C  (400%/day) 
Suhu maximum/Temp. max (o C)       28.50 ± 0.16    28.28 ± 0.19    27.96 ± 0.23 
Suhu minimum/Temp. min (oC)          26.64 ± 0.21    26.98 ± 0.45    27.30 ± 0.42  
Salinitas/Salinity (ppt)             32.4 ± 1.61      32.4 ± 1.61      32.40 ± 1.61 
pH       7.78 ± 0.30      7.51 ± 0.23      7.05 ± 0.10 
DO/Disolve Oksigen (mg/L)  6.39 ± 0.13      6.72 ±0.31       7.10 ± 0.29 
NO2/Nitrite (mg/L)     1.50 ± 0.25      1.26 ± 0.04      0.69 ± 0.13 
NH3/Amonium (mg/L)           1.83 ± 0.06      1.57 ± 0.08      0.98 ± 0.05 
 Jurnal Ilmu dan Teknologi Kelautan Tropis, Vol. 2, No. 2, Desember 2010

A (14.94% dan 83.10%) maupun B (17.53% dan 95.24%). Demikian juga tingkat kelangsungan hidup yang dicapai perlakuan C lebih tinggi (97%) dari pada perlakuan A (93%) ataupun B (95,5%). Hal ini menunjukkan bahwa pergantian air sebesar 400% setiap hari terbukti sangat mendukung pertumbuhan maupun kelangsungan hidup kerapu sunu. Makin tinggi persentase pergantian air dalam penelitian ini mempunyai dampak yang positip terhadap kestabilan kualitas air pemeliharaan. Kondisi air yang kotor akibat terakumulasinya sisa metabolisme ataupun kotoran lain yang terdapat dalam bak, akan terganti secara cepat jika persentase pergantian air cukup tinggi, sehingga diprediksi dapat menghambat tumbuhnya parasit (jamur ataupun bakteri). Kondisi ini didukung dari hasil pengamatan kualitas air yang dilakukan setiap tiga hari yang menunjukkan bahwa kandungan nitrit dan ammonia cenderung menurun dengan meningkatnya persentase pergantian air (Tabel 2). 
Tingginya kandungan nitrit dan ammonia pada perlakuan A dan B diduga sebagai akibat adanya proses pembusukkan serta penguraian sisa metabolisme yang mengendap di dasar bak. Pengendapan terjadi akibat jumlah pergantian air yang kurang mencukupi sehingga badan air tidak cukup mampu mendorong sisa metabolisme ke-arah saluran pembuangan. Kondisi ini akan semakin buruk apabila air laut yang mengalir saat itu dalam keadaan keruh yang biasa terjadi akibat adanya hujan. Mekanisme toksisitas dari nitrit dapat berpengaruh terhadap transportasi oksigen dalam darah dan kerusakan jaringan tubuh ikan. Sesuai pendapat Boyd (1990) yang menyatakan bahwa kandungan ammonia dalam media pemeliharaan merupakan hasil metabolisme ikan, pembusukan senyawa organik dan bakteri. Amonia adalah hasil utama penguraian protein dan merupakan racun bagi ikan, karenanya kandungan ammonia dianjurkan tidak lebih dari 1 mg/L (Pescod, 1973 dalam Aslianti , et al. 1998). Tingginya kandungan nitrit dan ammonia pada perlakuan A dan B diduga berpengaruh terhadap kelangsungan hidup ikan sehingga lebih rendah dari pada C. Namun demikian kondisi suhu, salinitas, pH dan DO nampak masih mendukung kehidupan ikan. Kualitas air yang baik dan stabil sangat berpengaruh terhadap kesehatan ikan yang pada gilirannya dapat meningkatkan kelangsungan hidupnya. 
Ditinjau dari hubungan partumbuhan panjang dan berat tubuh secara linier (Gambar 1) pada perlakuan C (pergantian air 400%/hari) diperoleh persamaan regresi Y=1.6972X+120.24 dengan R2 = 0.9354. Hal ini menunjukkan bahwa antara pertumbuhan panjang dan berat tubuh kerapu sunu pada perlakuan C terdapat korelasi yang positif, yang berarti bahwa pergantian air sebesar 400%/hari tidak saja berpengaruh terhadap pertumbuhan panjang tetapi juga berpengaruh terhadap pertumbuhan berat dengan tingkat korelasi sebesar 93.54%.
 Dari hasil pengamatan selama pemeliharaan gelondongan kerapu sunu dalam wadah terkontrol terdapat beberapa ekor ikan yang mengalami kematian. Hingga akhir penelitian kematian paling banyak terjadi pada perlakuan A (14 ekor), sedangkan B (9 ekor) dan C (6 ekor). Dari hasil deteksi laboratorium diketahui bahwa kematian umumnya disebabkan oleh penyakit infeksi bakteri gram negatif yang merupakan penyakit utama kerapu sunu.
 Gejala kematian ditandai dengan ikan tidak nafsu makan dan berenang lemah, cenderung sering berada di permukaan air, menyendiri, dan terdapat luka pada permukaan kulit (Gambar 2a). Infeksi bakteri diduga berasal dari lingkungan pemeliharaan (air) yang juga merupakan media hidup bagi semua mikroorganisme baik yang patogen maupun nonpatogen. Semakin tinggi persentase pergantian air terlihat semakin sedikit jumlah ikan yang mati karena dengan semakin cepat air media terganti maka kemungkinan ikan terinfeksi parasit yang ada dalam air media semakin kecil. Penanggulangan pertama yang dilakukan adalah dengan merendam ikan yang sakit dengan 100 ppm formalin selama 1 jam atau dalam larutan streptomysin 1 gram dalam 100 liter air laut selama 1 jam serta memisahkan ikan yang sakit dari yang lainnya (Sutarmat et al., 2007). 
Selain itu pada akhir penelitian juga ditemukan beberapa ekor ikan dengan performansi mulut yang abnormal (deformity) yaitu antara mulut bagian atas dan bawah tidak simetris (Gambar 2b). Kondisi ini dapat menyebabkan ikan tidak bisa merespon pakan dengan sempurna yang pada gilirannya dapat mengakibatkan kematian. Sesuai pendapat Kordi (2004), yang menyatakan bahwa ikan yang cacat akan mengalami kesulitan dalam mendapatkan makanannya, sehingga ikan akan mengalami keterlambatan pertumbuhan (kerdil), memiliki daya tahan tubuh yang rendah dan akan sangat mudah diserang penyakit. 
Terjadinya performansi yang abnormal belum diketahui penyebabnya secara pasti, namun diduga adanya faktor genetis dari induk sebagai penghasil telur. Oleh karenanya dalam proses pembenihan, tahap seleksi telur sangat penting sebelum dilakukan penebaran dalam wadah pemeliharaan larva. Tingkat pembuahan telur yang optimal dengan daya tetas mencapai 90% umumnya menghasilkan benih yang normal. Namun demikian deformity pada mulut biasanya ditemukan justru setelah ikan bertumbuh menjadi gelondongan. Diduga selain faktor genetis, juga faktor nutrisi pakan selama pemeliharaan kurang mendukung (malnutrition), sehingga dapat memicu terjadinya ketidaknormalan pada mulut. Dengan demikian pemeliharaan gelondongan kerapu sunu dalam wadah terkontrol hingga mencapai ukuran ± 150 gram memberikan dampak positif terhadap tingkat selektifitas performansi ikan sebelum ditebar di KJA. Selain waktu pemeliharaan di KJA hingga mencapai ukuran konsumsi dapat dipersingkat, juga performansi yang dihasilkan sesuai dengan selera pasar. 
 Gambar 2. Penyakit bakteri gram negatif yang menimbulkan luka pada permukaan                                         tubuh kerapu sunu (a), dan kerapu sunu yang mengalami deformity pada                        mulut unsimetris (b)
Jurnal Ilmu dan Teknologi Kelautan Tropis, Vol. 2, No. 2, Desember 2010
 IV. KESIMPULAN
 Pergantian air dalam pemeliharaan gelondongan kerapu sunu secara terkontrol merupakan faktor penting yang mendukung kelangsungan hidup maupun pertumbuhannya. 
Kelangsungan hidup dan pertumbuhan ikan yang dipelihara dengan pergantian air 400%/hari lebih tinggi (SR 97%; TL 21.61±0,54 cm, BW 156.84±1.05g) dari pada pergantian air 300% (SR 95.5%; TL 19.51±0.52 cm;
BW 140.96±0.08 g) ataupun 200% (SR 
93%; TL 19.08±0.30 cm; BW
132.2±2.65 g). 
Pergantian air hingga 400%/hari dapat menghindarkan ikan dari serangan parasit sehingga ikan bertumbuh normal dan memperkecil jumlah ikan yang cacat tubuh (deformity). 
 DAFTAR PUSTAKA
 Aslianti,          T.,        K.M.    Setiawati         dan Wardoyo.             1998.   Pengaruh
Peningkatan Pergantian Air terhdap Pertumbuhan dan Sintasan Larva Kerapu Bebek, Cromileptes altivelis. Prosiding Seminar Teknologi Perikanan Pantai. Denpasar-Bali, 6-7 Agustus 1998.
hal 173-177.
Aslianti, T., P.T. Imanto, dan M. Suastika. 2009a. Dampak Minyak
Buah Merah, Pandanus conoideus Lam pada Performansi Yuwana Kerapu Sunu, Plectropomus leopardus. Jurnal Perikanan, 
XI(1):1-8.
Aslianti T, Afifah dan M. Suastika. 2009b. Pemanfaatan Minyak Buah Merah, Pandanus conoideus Lam dan Carophyll Pink dalam Ransum Pakan Yuwana Ikan Kakap Merah, Lutjanus sebae. Jurnal Riset Akuakultur, 4(2):191-200.
Boyd, C.E. 1990. Water Quality in Ponds for Aquaculture. Alabama : Auburn University. 482p.
Kordi, M.G.H. 2004. Penanggulangan Hama dan Penyakit Ikan. Jakarta. PT Rineka Cipta dan PT Bina
Adikarsa. Hal 68.
Nurjana, M.L. 2006. Indonesian Aquaculture Development. Innovative and Eco-friendly Technologies for the Production of Safe
Aquaculture    Food.   Food    &
Fertilizer Technology Center For The Asian and Pacific Region (FFTC-ASPAC)/RCA.
International Workshop. Den-pasar Bali, Indonesia. December 4-8, 2006. pp 81-100.
Nurjana, M. L. 2010. Proyeksi produksi perikanan budidaya menurut komoditas utama 2009 s/d 2014.  Materi presentasi pada acara Forum Inovasi dan Teknologi Akuakultur. Puriskan Budidaya. Bandar Lampung, 20-24 April
2010.
Sidik. 2002. Alternatif Kebijakan Budidaya Ikan Kerapu Masya-rakat Nelayan dalam Pengem-bangan Industri Perikanan Kerapu. Majalah Ilmiah Analisis Sistem, 4(IX):104-109
Sutarmat, T. 2005. Analisis Finansial Produksi Yuwana Kerapu Macan (Epinephelus fuscoguttatus) dengan Pakan Pelet Komersial dan Ikan Rucah dalam Keramba Jaring Apung. Jurnal Perikanan,
VII(2):144-150. 
Sutarmat, T. dan S. Ismi. 2007. Variasi ukuran tubuh benih pada pendederan ikan kerapu sunu (Plectropomus leopardus). Buku Pengembangan Teknologi Budidaya Perikanan. Balai Besar Riset Perikanan Budidaya Laut. Badan Riset Kelautan dan Perikanan. hal 59-63.

Sutarmat, T., K. Suwirya, dan N. A. Giri. 2007.        Penelitian        pendahuluan pembesaran        kerapu sunu
(Plectropomus leopardus) dalam Keramba Jaring Apung. Buku Pengembangan Teknologi Budidaya Perikanan. Balai Besar Riset Perikanan Budidaya Laut.
BRKP. Hal 438-445.
 Suwirya, K., A. Priyono, A. Hanafi, R. Andamari, R. Melianawati, M. Marzuqi, K. Sugama dan N.A. Giri. 2006. Pedoman Teknis Pembenihan Ikan Kerapu Sunu (Plectropomus leopardus). Pusat Riset Perikanan Budidaya. Badan Riset Kelautan dan Perikanan. 18 hal.
 Jurnal Ilmu dan Teknologi Kelautan Tropis, Vol. 2, No. 2, Desember 2010

Friday, February 24, 2012

PEMBENIHAN IKAN TAWES (Puntius Javanicus. Blkr)

February 24, 2012 Posted by Media Penyuluhan Perikanan Pati No comments


Penyediaan benih yang bermutu dalam jumlah cukup dan kontinyu merupakan faktor penting dalam upaya pengembangan budidaya ikan konsumsi.
Usaha pembenihan banyak dilakukan di Kabupaten Magelang, seperti di Desa Paremono Kecamatan Mungkid oleh karena didukung ketersediaan air cukup baik musim kemarau maupun penghujan. Disamping itu usaha pembenihan dirasa lebih rnenguntungkan karena waktu yang digunakan relatif singkat kurang lebih 3 minggu - 1 bulan, serta pemasarannya pun mudah.
Pembenihan ikan tawes ada beberapa cara yaitu pembenihan ikan di kolam, pembenihan di sawah dan pembenihan di hapa. Ikan tawes adalah jenis ikan air tawar yang berwarna putih abu-abu, albino, berwarna abu-abu dengan bercak perak, dan ikan tawes dengan sirip perut relatif panjang. Ikan tawes merupakan salah ssatu jenis ikan herbivora. Pemijahan ikan tawes dapat dilakukan secara alami dan buatan. Induk yang digunakan dalam pemijahan mempunyai berat sekitar 300--500 g/ekor dan umur kematangan gonadnya 8--12 bulan. Jumlah telur yang dapat dihasikan sekitar 1000 butir/gram berat badan. Umumnya induk betina dapat menghasilkan telur hingga 20.000 butir/ekor/ Induk, pada umur produksi 2-3 tahun dengan berat 1 kg bisa menjapai jumlah telur 700.000 butir / induk.
Ikan tawes dalam habitat aslinya adalah ikan yang berkembang biak di sungai dan rawa – rawa dengan lokasi yang disukai adalah perairan dengan air yang jernih dan terdapat aliran air, mengingat ikan ini memiliki sifat biologis yang membutuhkan banyak oksigen. Jika ditempatkan dalam air yang miskin oksigen ia dengan mudahnya mati.
1.         PEMILIHAN INDUK
1)         Untuk mendapatkan benih yang berkualitas dan jumlah yang banyak dalam pembenihan Tawes perlu dipilih induk yang baik dengan ciri-ciri : a. Letak lubang dubur terletak relatif lebih dekat ke pangkal ekor
b.         Kepala relatif lebih kecil dan meruncing
c.         Sisik-sisiknya besar dan teratur
d.         Pangkal ekor lebar dan kokoh
2)         Pada umumnya ikan tawes jantan mulai dipijahkan pada umur kurang lebih 1 tahun, dan induk tawes betina pada umur kurang lebih 1,5 tahun. Untuk mengetahui bahwa induk ikan tawes telah matang kelamin dan siap untuk dipijahkan dengan tanda-tanda sebagai berikut : a. Induk betina
-           Perutnya mengembang kearah genetal (pelepasan) bila diraba lebih lembek
-           Lubang dubur berwarna agak kemerah-merahan
-           Tutup insang bila diraba lebih licin
-           Bila perut diurut dari arah kepala ke anus akan keluar cairan kehitamhitaman.
b.         lnduk jantan
-           Bila perut diurut dari arah kepala ke anus akan keluar cairan berwarna keputih-putihan (sperma)
-           Tutup insang bila diraba terasa kasar
1. Ciri-ciri Indukan Betina ikan Tawes :

    Letak lubang dubur terletak relatif lebih dekat ke pangkal ekor
    Kepala relatif lebih kecil dan meruncing
    Sisik-sisiknya besar dan teratur
    Pangkal ekor lebar dan kokoh
    Perutnya mengembang kearah genetal (pelepasan) bila diraba lebih lembek
    Lubang dubur berwarna agak kemerah-merahan
    Tutup insang bila diraba lebih licin
    Bila perut diurut dari arah kepala ke anus akan keluar cairan kehitam- hitaman.

2. Ciri-ciri Indukan jantan ikan Tawes :

    Bila perut diurut dari arah kepala ke anus akan keluar cairan berwarna keputih-putihan (sperma)
    Tutup insang bila diraba terasa kasar
2.         PERSIAPAN KOLAM
1)         Kolam pemijahan ikan tawes sekaligus merupakan kolam penetasan dan kolam pendederan. Sebelum dipergunakan untuk pemijahan, kolam dikeringkan.
2)         Perbaikan pematang dan dasar kolam dibuat saluran memanjang ( caren/kamalir) dari pemasukan air kearah pengeluaran air dengan lebar  40 cm dan dalamnya 20-30 cm.
3.         PELEPASAN INDUK
1)         Induk ikan tawes yang telah terpilih untuk dipijahkan kemudian diberok, pemberokan dengan penempatan induk jantan dan betina secara terpisah selama 4-5 hari
2)         Setelah diberok kemudian induk ikan dimasukkan ke kolam pemijahan yang telah dipersiapkan
3)         Pemasukan induk ke kolam pada saat air mencapai kurang lebih 20 cm
4)         Jumlah induk yang dilepas induk betina 25 ekor dan induk jantan 50 ekor
5)         Pada sore hari kurang lebih pukul 16.00 air yang masuk ke kolam diperbesar sehingga aliran air lebih deras.
6)         Biasanya induk ikan tawes memijah pada pukul 19.00-22.00
7)         Induk yang akan memijah biasanya pada siang hari sudah mulai berkejarkejaran di sekitar tempat pemasukan air.
4.         PENETASAN TELUR
1)         Setelah induk ikan tawes bertelur, air yang masuk ke kolam diperkecil agar telur-telur tidak terbawa arus, penetasan dilakukan di kolam pemijahan juga
2)         Pagi hari diperiksa bila ada telur-telur yang rnenumpuk di sekitar kolam atau bagian lahan yang dangkal disebarkan dengan mengayun-ayunkan sapu lidi di dasar kolam
3)         Telur ikan tawes biasanya menetas semua setelah 2-3 hari
4)         Dari ikan hasil penetasan dipelihara di kolam tersebut selama kurang lebih 21  hari.
5.         PEMUNGUTAN HASIL BENIH IKAN
1)         Panen dilakukan pada pagi hari
2)         Menyurutkan/mengeringkan kolam
3)         Setelah            benih   berada dikamalir/dicaren,       benih   ditangkap        dengan menggunakan waring atau seser
4)         Benih ditampung di hapa yang telah ditempatkan di saluran air mengalir dengan aliran air tidak deras
5)         Benih lersebut selanjutnya dipelihara lagi di kolam pendederan atau dijual.
6.         PENDEDERAN
1)         Mula-mula kolam dikeringkan selama 2-3 hari
2)         Perbaikan pematang, pembuatan caren/saluran
3)         Dasar kolam diolah dicangkul, kemudian dipupuk dengan Urea & SP 36 1 0 gr/m2 dan pupuk kandang 1 - 1,5 kg/m2 tergantung kesuburannya.
4)         Setelah kolam dipupuk kemudian diairi setinggi 2-3 cm dan dibiarkan 2-3 hari kemudian air kolam ditambah sedikit demi sedikit sampai kedalaman 50 cm
5)         Kemudian benih ditebar di kolam pendederan dengan padat tebar 10-20 ekor/m2
6)         Pemeliharaan dilakukan kurang lebih 3 minggu - 1 bulan.
7)         Selanjutnya dapat dipanen dan hasil benih dapat dijual atau ditebar lagi di kolam pendederan II.