Wednesday, November 30, 2011

MENGEMBANGKAN KONSEP PENGEMBANGAN KAWASAN WISATA BAHARI

November 30, 2011 Posted by Media Penyuluhan Perikanan Pati No comments
Indonesia merupakan negara kepuluan yang terdiri dari ribuan pulau dan di batasi dengan laut, keindahan alam bahari sangat luar biasa. Indonesia merupakan Negara kepulauan terbesar di dunia yang terdiri dari lebih 17.000 pulau dan memiliki panjang garis pantai 81.000 km yang merupakan terpanjang kedua di dunia setelah Kanada 81.000 km. Pengmbangan potensi alam masih sangat terbuka dan masih banyak langkah yang bisa di lakukan.
Sepanjang garis pantai tersebut terdapat wilayah pesisir yang relatif sempit namun mempunyai sumber daya pesisir yang kaya dan sangat rentan mengalami kerusakan jika pemanfaatannya   kurang memperhatikan kaidah-kaidah pengelolaan yang lestari.
Wilayah pesisir sebagai kawasan peralihan yang menghubungkan ekosistem darat dan ekosistem laut terletak antara batas sepandan dan ke arah darat sejauh pasang tertinggi dan ke arah laut sejauh 12 mil laut dari garis surut terendah sangat rentan terhadap kerusakan dan perubahan yang diakibatkan oleh berbagai aktivitas manusia di darat maupun di laut. 
Wilayah pesisir sebagai salah satu kekayaan dari sumber daya alam yang sangat penting bagi rakyat dan pembangunan nasional tersebut haruslah dikelola secara terpadu dan berkelanjutan serta optimal.
Kawasan pesisir adalah wilayah pesisir tertentu yang ditunjuk dan atau ditetapkan oleh pemerintah berdasarkan kriteria tertentu seperti karakter fisik, biologi, sosial dan ekonomi untuk dipertahankan keberadaannya sedangkan kawasan bahari adalah jenis pariwisata alternatif yang berkaitan dengan kelautan, baik di atas permukaan laut maupun kegiatan yang dilakukan di bawah permukaan laut.
Rencana pengembangan kawasan bahari harus dikaitkan dengan berbagai kepentingan yang mendasar, yaitu pemberdayaan masyarakat pesisir. Masyarakat pesisir adalah masyarakat yang memiliki banyak pengetahuan tentang kondisi obyektif wilayahnya, oleh Karena itu dalam pengembangan kawasan wisata bahari, senantiasa hendaknya di mulai pendekatan terhadap masyarakat setempat sebagai suatu model pendekatan perencanaan partisipatif yang menempatkan masyarakat pesisir memungkinkan saling berbagi, meningkatkan dan menganalisa pengetahuan mereka tentang bahari dan kehidupan pesisir, membuat rencana dan bertindak. 
Pembangunan yang berpusat pada masyarakat lebih menekankan pada pemberdayaan (empowerment), yang memandang potensi masyarakat sebagai sumber daya utama dalam pembangunan dan memandang kebersamaan sebagai tujuan yang akan dicapai dalam proses pembangunan. Masyarakat pesisir adalah termasuk masyarakat hukum adat yang hidup secara tradisional di dalam kawasan pesisir maupun di luar kawasan pasisir. Oleh karena itu dalam rangka pengelolaan kawasan wisata bahari maka prinsip dasar yang harus dikembangkan adalah: 
1.         Prinsip co-ownership yaitu bahwa kawasan wisata bahari adalah milik bersama untuk itu ada hak-hak masyarakat di dalamnya yang harus diakui namun juga perlindungan yang harus dilakukan bersama.
2.         Prinsip co-operation/co management yaitu bahwa kepemilikan bersama mengharuskan, pengelolaan pesisir untuk dilakukan bersama-sama seluruh komponen masyarakat (stakeholder) yang terdiri dari pemerintah, masyarakat dan organisasi non pemerintah (ORNOP) yang harus bekerja sama
3.         Prinsip co-responsibility yaitu bahwa keberadaan kawasan wisata bahari menjadi tanggung jawab bersama karena pengelolaan kawasan wisata bahari merupakan tujuan bersama
Ketiga prinsip tersebut dilaksanakan secara terpadu, sehingga fungsi kelestarian pesisir tercapai dengan melibatkan secara aktif peran serta masyarakat sekitar pesisir. Oleh karena itu agar masyarakat mampu berpartisipasi, maka perlu keberdayaan baik ekonomi, sosial dan pendidikan, untuk itu dibutuhkan peran pemerintah dalam memberdayakan masyarakat sekitar pesisir agar meningkatkan keseganteraannya melalui 6 prinsip pemberdayaan yaitu : 
1.         Modal masyarakat (social capital) merupakan kerjasama dan nilai-nilai yang disepakati 
2.         Infrastruktur dan pengembangan lembaga-lembaga kemasyarakatan informal yang berorientasi kepada kemajuan 
3.         Orientasi kepemilikan (asset orientation) yaitu pengembangan yang bertumpu pada penggalian kemampuan masyarakat sebagai model pengembangan 
4.         Kerjasama (collaboration) yaitu mengembangkan pola kerjasama yang tumbuh dari dalam 
5.         Visi dan tindakan strategis yaitu membangun visi, misi dan tindakan 
6.         Seni demokrasi, yaitu mengembangkan peran dan partisipatif yang tumbuh dari dalam 

2.         Tujuan dan Manfaat
1. Tujuan 
a.         Mengembangkan dan meningkatkan upaya memanfaatkan lingkungan alam pada umumnya dan lingkungan bahari pada khususnya sebagai sumber daya sosial dan ekonomi yang pengelolaannya tetap harus berwawasan lingkungan dan pembangunan berkelanjutan
b.         Memberikan gambaran mengenai pengelolaan wisata bahari secara tepat dan profesional, sehingga akan mampu mengembangkan adanya tuntutan konservasi dan menjaga kelestarian alam dengan mengikutsertakan peran serta masyarakat setempat guna membantu kesejahteraan masyarakat
c.         Mengkoordinasikan peran pihak-pihak yang berminat mengembangkan kawasan wisata bahari, di lingkungan wilayah setempat yang menjadikan wilayah tersebut sebagai salah satu daerah tujuan wisata bahari dengan melalui pola pengelolaan dalam bentuk corporate management.

2. Manfaat 
a.         Upaya pemanfaatan optimal potensi wisata bahari yang sekaligus menyelamatkan lingkungan biofrafisik dan lingkungan sosial ekonomi dan budaya serta
melestarikan sumber daya alam bahari 
b.         Menciptakan insentif secara efektif bagi pengelolaan kawasan wisata bahari tanpa mengabaikan nilai-nilai utama konservasi melalui pemanfaatan sumber daya berkelanjutan. Seperti pengembangan ekowisata yang memperhatikan kepekaan lingkungan 
c.         Melindungi dan mendorong pemanfaatan sumber daya alam hayati yang sesuai dengan praktek-praktek budaya, tradisional, masyarakat pesisir yang cocok dengan persyaratan konservasi atau pemanfaatan secara berkelanjutan 
d.         Mendorong pertumbuhan kepekaan masyarakat pesisir akan makna dan arti penting kawasan wisata bahari sebagai bagian peningkatan sosial, ekonomi masyarakat yang dihasilkan dari pertumbuhan dan perkembangan kedatangan wisatawan dan usaha pariwisata
3. Sasaran 
a.         Terwujudnya pengembangan kawasan wisata bahari yang didukung oleh masyarakat pesisir
b.         Terwujudnya pengetahuan, wawasan, sikap dan keterampilan masyarakat pesisir dalam pengelolaan kawasan wisata bahari 
c.         Terciptanya penataan kawasan wisata bahari yang sesuai dengan zonasi peruntukan lahan, daya dukung lahan dan kepemilikan lahan
d.         Terwujudnya tata cara pengelolaan kawasan wisata bahari yang berdasarkan kepada managemen
pengelolaan yang tepat
e.         Terwujudnya Brand image kepariwisataan Kabupaten
Sukabumi

4. Konsep pengembangan kawasan wisata bahari
Masyarakat pesisir adalah masyarakat yang tidak dapat dipisahkan dari kehidupannya di sepanjang hari dengan kehidupan yang dihasilkan oleh laut. Laut adalah tempat dimana mereka mengelola kehidupannya, mengembangkan kreativitas dan inovasi untuk mengoptimalkan potensi kelautan sebagai bagian yang tidak terpisahkan dari mereka dalam berperan serta baik dalam konservasi lingkungan, pemanfaatan lingkungan dan pengelolaan lingkungan. Pemanfaatan secara optimal terhadap potensi kelautan, tidak berarti melupakan faktor yang sangat penting bagi nilai pengembangan kawasan wisata bahari yang berkelanjutan, yaitu upaya perbaikan terhadap kawasan yang rusak dan keanekaragaman potensinya telah berkurang.
Pengembangan kawasan wisata bahari adalah satu bentuk pengelolaan kawasan wisata yang berupaya untuk memberikan manfaat terutama bagi upaya perlindungan dan pelestarian serta pemanfaatan potensi dan jasa lingkungan sumber daya kelautan. Di lain pihak masyarakat dapat merasakan manfaatnya secara langsung pada usaha pariwisata melalui terbukanya kesempatan kerja dan usaha yang pada gilirannya akan mampu meningkatkan pendapatan masyarakat dan pemerintah.

5. Pendekatan pengembangan wisata bahari
a.         Pengembangan kawasan wisata bahari lebih diarahkan dan dipergunakan menuju upaya pengembangan kawasan wisata ramah lingkungan. Pengembangan kawasan wisata bahari harus menghindari pencemaran dan perusakan lingkungan hidup dan pemborosan sumber daya alam bahari
b.         Pengembangan kawasan wisata bahari perlu mengetengahkan faktor kewaspadaan terhadap dampak lingkungan menjadi sangat penting, terutama dari kunjungan wisatawan yang tidak terkendali guna memelihara keberlanjutan kualitas lingkungan hidup/sumber daya alam wisata tropika khususnya dan menjamin pembangunan (ekonomi) berkelanjutan.
c.         Analisis data potensi dan pemanfaatan sumber daya untuk mengidentifikasikan nilai-nilai yang berpengaruh terhadap kelangsungan pemeliharaan dan pengembangan sumber stakeholder cakupan identifikasi tersedia dan maupun untuk budi daya perairan, wisata pemukiman, bisnis rekreasi atau industri 
d.         Pengembangan kawasan wisata bahari memiliki keterkaitan luas dengan peran masyarakat pesisir, oleh karena itu dalam pengembangan kawasan wisata bahari dibutuhkan penentuan zonasi yang tepat dari setiap wilayah diperlukan untuk tidak menjadi benturan kepentingan antara zona pertumbuhan pemukiman dengan zonasi kawasan wisata bahari yang dikelola dan dimanfaatkan bagi kegiatan rekreasi 
e.         Pengembangan prasarana yang dapat mendorong pertumbuhan antar wilayah melalui sistem prioritas pengembangan kawasan wisata bahari berdasarkan tipe, potensi dan karakter alam yang dimiliki oleh masingmasing kawasan

Tuesday, November 29, 2011

IDENTIFIKASI JENIS IKAN ANEMON (Amphiprioninae) DAN ANEMON SIMBIONNYA DI KEPULAUAN SPERMONDE, SULAWESI SELATAN

November 29, 2011 Posted by Media Penyuluhan Perikanan Pati No comments




I. PENDAHULUAN
 Ikan merupakan organisme yang jumlah biomassanya terbesar dan juga organisme besar yang mencolok yang dapat ditemui di ekosistem terumbu karang.  Banyaknya celah dan lubang yang terdapat di daerah terumbu karang memberikan tempat tinggal, perlindungan, tempat mencari makan dan berkembang biak bagi ikan dan hewan invertebrata yang berada disekitarnya (Nybakken dan Bertness, 2004).  Lebih dari 4000 species ikan (atau sekitar 18%        dari jumlah species ikan yang ada di seluruh dunia) dapat ditemukan di daerah terumbu karang.  Umumnya ikan-ikan yang hidup di daerah terumbu karang ini berukuran kecil dan menetap sepanjang hidupnya di daerah tersebut.  Salah satu jenis ikan karang yang hidup di daerah terumbu karang adalah ikan-ikan dari Familia Pomacentridae, subfamilia Amphiprioninae.
Semua ikan dalam subfamilia Amphiprioninae hidup bersimbiosis dengan anemon laut (Dunn, 1981; Fautin, 1991) dalam hubungan simbiosis mutualisme (Fautin dan Allen, 1992) sehingga kelompok ikan ini juga dikenal sebagai ikan anemon (anemonefish).  Pola warnanya yang indah, kemampuannya untuk hidup dalam akuarium dan hubungan simbiosis yang menarik dengan anemon membuat ikan ini sangat diminati oleh pencinta ikan hias laut (Fautin dan Allen, 1997).  Akibat kepopularannya, ikan anemon dijuluki juga ‘ikan mas’ akuarium air laut (Hoff, 1996).  
Kepulauan Spermonde,yang oleh masyarakat di kepulauan ini dikenal dengan nama Pulau-pulau Sangkarang, adalah gugusan pulau-pulau yang terletak di pesisir barat daya Pulau Sulawesi.  Mata pencaharian utama penduduk di Kepulauan Spermonde adalah sebagai nelayan yang memanfaatkan sumberdaya wilayah pesisir.  Menurunnya hasil tangkapan ikan di daerah sekitar Kepulauan Spermonde memaksa hanya nelayan dengan modal menengah hingga besar yang dapat tetap melaut, sedangkan yang hanya bermodalkan perahu kecil tanpa motor harus mencari sekitar pulau saja.  Alternatif lain muncul seiring dengan meningkatnya jumlah pemelihara ikan hias air laut di seluruh dunia (Ziemann, 2001).  Permintaan yang meningkat akhirnya berdampak juga terhadap ikanikan terumbu karang yang tadinya tidak dieksploitasi karena tidak dikonsumsi.
Ikan-ikan anemon termasuk yang paling terkena imbas dari trend ini, karena permintaan dunia yang memang tinggi untuk kelompok ikan ini (Wood, 2001; Wabnitz, 2003).  Selain itu, ketergantungannya terhadap anemon membuat ikan ini mudah untuk ditangkapi karena di alam ikan ini tidak pernah jauh meninggalkan anemon simbionnya. 
Meskipun telah dikenal dan dieksploitasi untuk keperluan ekspor, belum ada data akurat tentang jenis ikan anemon yang dapat ditemukan di pulau-pulau Kepulauan Spermonde.
Diketahui di dunia terdapat 28 jenis ikan anemone dari 2 genera yaitu genus Amphiprion dengan 27 species dan genus Premnas dengan 1 species (Allen, 1991) yang tersebar di seluruh dunia.  Menurut Allen (1991) di Indonesia ditemukan 9 species yaitu Amphiprion akallopsis, A. clarkii, A. ephippium, A. frenatus, A. melanopus, A. ocellaris, A. periderion, A. polymnus, A. sebae, dan A. sandaracinos, lalau oleh Kuiter dan Tonozuka (2001) ditambahkan dengan  A. percula. 
Semua ikan anemon hidup bersimbiosis mutualistik dengan anemon tertentu (Allen, 1991).  Dalam simbiosis ini, ikan mendapat proteksi dan memakan material non-metabolik yang dikeluarkan oleh anemon.  Di sisi lain, anemon ‘dibersihkan’ dan dilindungi dari predator oleh ikan simbionnya (Randall dan Fautin, 2002).  
Upaya identifikasi suatu organisme diperlukan dalam pengenalan jenis berdasarkan sifat-sifat morfologi, anatomi, bahkan perilaku organisme tersebut.  Identifikasi didasarkan pada karak-ter fisik dari bagian-bagian tubuh.  Untuk ikan kelompok Amphiprioninae, karakter yang umum digunakan adalah perpaduan antara penggunaan karakter morfometrik, meristik dan pola pewarnaan tubuh
(Allen, 1991).

II.        METODE  PENELITIAN

Jurnal Ilmu dan Teknologi Kelautan Tropis, Vol. 2, No. 2, Desember 2010 11
Penelitian dilaksanakan dari bulan Juni sampai bulan Agustus 2009 pada 4 zona Kepulauan Spermonde yang berada dalam kawasan pemerintahan Provinsi Sulawesi Selatan.  Pengambilan sampel dilakukan pada tanggal 6 hingga 10 Juni 2009.  Untuk zona 1 diwakili oleh Pulau Samalona, zona 2 diwakili oleh P. Barrang lompo dan P. Koedingareng Keke sedangkan zona 3 diwakili oleh P. Badi.  Pulau Kapoposang dan P. Langkai adalah pulau-pulau yang mewakili zona 4 (Gambar 1).  Sampling dilakukan dengan cara menyelam menggunakan peralatan selam hingga kedalaman 25 meter.  Satu pulau pengamatan dibagi ke dalam 4 daerah untuk memudahkan sampling. Sampling dimulai dengan langsung turun ke kedalaman 25 meter sebagai posisi awal (starting point), lalu bergerak ke satu arah hingga batas daerah sampling.  Sampling dilanjutkan dengan berbalik ke arah diagonal mengikuti kontur perairan naik ke kedalaman 15 meter.  Lanjut lagi dengan cara yang sama ke kedalaman 5 meter dst. 
Ikan     anemon            yang    ditemukan diamati pola warna tubuh dan kecenderungan bentuk tubuh.  Pola warna ikan yang ditemukan kemudian dibandingkan dengan pola warna ikan pada gambar yang dibawa serta.  Setelah proses identifikasi visual selesai, ikan kemudian diambil gambarnya.  Bila Untuk identifikasi jenis, anemon yang berasosiasi dengan ikan giru dicatat lalu diambil gambarnya sebagai bahan re-check nantinya untuk keperluan identifikasi di laboratorium.  Pengukuran diameter anemon kemudian dilakukan lalu dilanjutkan dengan menghitung jumlah ikan yang ada dalam kelompok itu.  Data penunjang lainnya termasuk organisme lain yang ikut menghuni anemon (bila ada), kondisi ikan Amphiprion (bertelur atau tidak) dan kondisi ekologi sekitar anemon juga dicatat dan diamati.
Ikan yang identifikasi lapangannya dianggap meragukan, ditangkap untuk kemudian diidentifikasi lebih lanjut di laboratorium biologi laut dengan menggunakan kombinasi metode morfometrik dan meristik (Allen, 1991).
III.       HASIL DAN PEMBAHASAN
Di lokasi penelitian ditemukan tujuh jenis dari dua genera dari subfamilia Amphiprioninae, yaitu Amphiprion clarkii, A.melanopus, A. ocellaris, A. perideraion, A. polymnus, A. sandaracinos dan Premnas biaculeatus.  Ketujuh jenis Amphioprioninae yang ditemukan di lokasi penelitian dapat ditemukan di semua pulau lokasi penelitian yang masuk pada zona 1, 2 dan 3, namun pada zona 4, hanya ada 5 jenis yang ditemukan (Tabel 1).
Tabel 1. Penyebaran Amphiprioninae berdasarkan zona di Kepulauan Spermonde
Zona
Pulau
Jenis Amphiprioninae
Kedalaman (m)
1
Samalona
Amphiprion clarkii
1-10
Amphiprion melanopus
1-10
Amphiprion ocellaris
1- 10
Amphiprion perideraion
1- 10
Amphiprion polymnus
16
Amphiprion sandaracinos
1- 2
Premnas biaculeatus
1- 10
2
Kodingareng Keke dan Barrang
Lompo
Amphiprion clarkii
1- 19
Amphiprion melanopus
6
Amphiprion ocellaris
1- 13
Amphiprion perideraion
1- 12
Amphiprion polymnus
23
Amphiprion sandaracinos
2
Premnas biaculeatus
1- 15
 3
Pulau Badi
Amphiprion clarkii
1-19
Amphiprion melanopus
4-6
Amphiprion ocellaris
4- 11
Amphiprion perideraion
1- 15
Amphiprion polymnus
9
Amphiprion sandaracinos
3- 9
Premnas biaculeatus
2- 12
 4
Kapoposang & Langkai
Amphiprion clarkii
3-11
Amphiprion ocellaris
5 -15
Amphiprion perideraion
4-29
Amphiprion polymnus
4-14
Premnas biaculeatus
5-11
Pada zona 1, zona 2 dan zona 3 ditemukan Amphiprion clarkii, A. melanopus, A. ocellaris,  A. Polymnus, A. Sandaracinos, A. perideraion dan Premnas biaculeatus.  Pada Zona 4 yang merupakan zona terluar, hanya 5 jenis Amphiprioninae yang ditemukan tanpa A. sandaracinos dan A. melanopus.  Pola penyebaran yang tidak merata pada kelompok ikan kemungkinan besar disebabkan oleh kondisi lingkungan pulau, seperti gelombang, arus, kedalaman perairan dan kompleksitas terumbu karang pada masing-masing zona.  Pada zona 1, 2 dan 3, kontur kedalaman terumbu sekeliling pulau berupa reef flat yang dilanjutkan dengan reef slope.  Kompleksitas terumbu karang yang relatif bagus dan beragam jenisnya di hampir semua sisi pulau memungkinkan beragam anemon hidup yang pada akhirnya menyediakan tempat berlindung bagi ikan Amphiprioninae (Allen, 1998).  Zona-zona ini relatif berbeda dibandingkan dengan zona 4 dengan areal yang cenderung sempit, dan keberagaman kondisi terumbunya yang kurang.  Beberapa bagian pulau yang berupa drop off dengan kondisi arus yang cukup kuat kemungkinan besar menjadi kendala bagi anemon simbion ikan Amphiprioninae untuk hidup.
Keberadaan jenis anemon juga turut mempengaruhi sebaran ikan Amphiprioninae (Allen, 1972 dan Dunn, 1981).  Jenis dan jumlah anemon yang ditemukan di setiap pulau pada zona 1, 2 dan 3 cukup banyak bila dibandingkan dengan jenis dan jumlah anemon yang ditemukan di pulau-pulau yang mewakili zona 4.  Adanya beberapa jenis ikan Amphiprioninae yang anemon simbionnya spesifik seperti A. sandaracinos yang hanya berasosiasi dengan Stichodactyla mertensii dan Premnas biaculeatus dengan Entacmaea quadricolor (Allen,
1991), membuat penyebarannya tidak merata.A. clarkiiditemukan di setiap zona penelitian karena mampu menerima berbagai jenis anemon sebagai simbionnya.  Dengan kata lain, jenis ini tidak memiliki 'host' yang spesifik (Allen, 1991; Dunn, 1981).  
Jenis anemon yang berbeda mempunyai jenis toksin yang berbeda pula, sehingga beberapa anemon memiliki toksin yang lebih kuat daya racunnya dibandingkan dengan jenis yang lain (Mebs, 1994).  Di lokasi penelitian ditemukan A. clarkii yang mampu bersimbiosis dengan 5 (lima) jenis anemon yaitu Stichodactyla mertensii, S. gigantea, Heteractis crispa, H. aurora dan Entacmaea quadricolor.  Dari hasil analisis kimia lendir yang menyelimuti A. clarkii disimpulkan kalau jenis ini menghasilkan lendir sendiri yang spesifik yang menyebabkan nematocyst anemon tidak ditembakkan (Mebs, 2009).  Kemampuan ini menyebabkan A. clarkii dapat hidup di banyak jenis anemon.  A. clarkii dapat hidup di tujuh jenis anemon (Tabel 1, Fautin dan Allen, 1997), namun di lokasi penelitian, hanya ditemukan berasosiasi dengan lima jenis anemon saja (Tabel 2).  
Berbeda dengan A. clarkii, A. sandaracinos ditemukan hanya berasosiasi dengan anemon jenis Stichodactyla mertensii.  Anemon jenis ini ditemukan di semua pulau di zona 1, 2 dan 3, sedangkan di zona 4 hanya ditemukan di P. Langkai dengan ko-simbion A. clarkii.  Premnas biaculeatus dan A. melanopus di lokasi penelitian hanya ditemukan berasosiasi dengan anemon Entacmaea quadricolor.  Padahal menurut Allen (1991), A. melanopus juga ditemukan bersimbiosis dengan H. crispa dan H. magnifica.  Kedua jenis anemon ini juga dijumpai di lokasi penelitian.  Tidak dihuninya kedua jenis anemon ini oleh A. melanopus di lokasi penelitian membutuhkan penelitian lebih lanjut.  
H. crispa dan E. quadricolor masing-masing dapat bersimbiosis dengan 3 jenis Amphiprioninae (Tabel 2), namun H. crispa adalah jenis yang paling banyak ditemukan dan juga paling banyak dihuni oleh ikan Amphiprioninae.  Hal ini disebabkan karena H. crispa dapat hidup di semua habitat yang bisa di tempati anemon untuk hidup.
Berdasarkan pengamatan di lapangan, jenis ini umumnya menghuni habitat dengan kondisi pecahan karang hancur, pasir dan celah-celah karang.  Kondisi ekologi ini pula yang mendominasi lokasi penelitian.
Selain ikan     dari      subfamilia Amphiprioninae, di lokasi penelitian ditemukan beberapa jenis biota lain yang juga hidup berasosiasi dengan anemon.  Yang paling umum ditemukan adalah ikan damsel Dascyllus trimaculatus, kepiting Neopetrolisthes maculatus, dan udang Periclemenes tosaensis.  Namun jenis ini ditemukan tidak di semua jenis anemon.  Untuk Dascyllus trimaculatus hanya ditemukan di anemon jenis H. magnifica, S. mertensii, H. crispa, S. haddoni dan S. gigantea.  Neopetrolisthes maculatus hanya di anemon jenis S.  mertensii, E. quadricolor, S. haddoni dan S. gigantea. Udang Periclimenes tosaensis hanya ditemukan bersimbiosis dengan anemon H. crispa, H. magnifica dan S. haddoni banyak dihuni oleh ikan Amphiprioninae.  Hal ini disebabkan karena H. crispa dapat hidup di semua habitat yang bisa di tempati anemon untuk hidup.
Berdasarkan pengamatan di lapangan, jenis ini umumnya menghuni habitat dengan kondisi pecahan karang hancur, pasir dan celah-celah karang.  Kondisi ekologi ini pula yang mendominasi lokasi penelitian.
Selain ikan     dari      subfamilia Amphiprioninae, di lokasi penelitian ditemukan beberapa jenis biota lain yang juga hidup berasosiasi dengan anemon.  Yang paling umum ditemukan adalah ikan damsel Dascyllus trimaculatus, kepiting Neopetrolisthes maculatus, dan udang Periclemenes tosaensis.  Namun jenis ini ditemukan tidak di semua jenis anemon.  Untuk Dascyllus trimaculatus hanya ditemukan di anemon jenis H. magnifica, S. mertensii, H. crispa, S. haddoni dan S. gigantea.  Neopetrolisthes maculatus hanya di anemon jenis S.  mertensii, E. quadricolor, S. haddoni dan S. gigantea. Udang Periclimenes tosaensis hanya ditemukan bersimbiosis dengan anemon H. crispa, H. magnifica dan S. haddoni (Tabel 2).
Berdasarkan hasil uji statistik dengan analisis regresi menunjukan bahwa tidak ada pengaruh yang nyata antara besarnya koloni dengan ukuran anemon simbionnya (P>0,05).  Besar atau kecilnya koloni ikan simbionnya sepertinya lebih tergantung pada perilaku dari masing-masing jenis daripada ukuran anemon simbionnya.
Anemon dari jenis S. haddoni dengan diameter 51 cm bersimbiosis dengan A. polymnus dengan jumlah hingga 31 ekor.  Anemon jenis E. quadricolor yang umumnya berukuran besar, hanya dihuni oleh sepasang P. biaculeatus.  Hal ini kemungkinan besar disebabkan karena pola perilaku jenis yang beragam.  Sebagai contoh P. biaculeatus cenderung sangat agresif terhadap apapun yang mendekati anemon simbionnya termasuk peneliti sendiri.  Jenis ini juga terkait sangat dekat dengan anemonnya.  
.  Bila merasa terancam, koloni A. polymnus yang mendiami anemon cenderung meninggalkan anemone simbionya meskipun tidak terlalu jauh.  Tetapi dua ikan dari koloni tersebut yang berukuran paling besar akan berlindung dengan cara masuk ke dalam mulut anemon untuk kemudian keluar lagi bila sumber gangguan telah hilang.
 IV.      KESIMPULAN 
 Terdapat tujuh jenis dari dua genera Amphiprioninae yang ditemukan di Kepulauan Spermonde berdasarkan pembagian zona yaitu Amphiprion clarkii, A. melanopus, A. perideraion, A. polymnus, A. ocellaris, A. sandaracinos dan Premnas biaculeatus.  Ketujuh jenis Amphioprioninae yang ditemukan di lokasi penelitian berada pada zona 1, 2 dan 3, sedangkan di zona 4, hanya ditemukan lima jenis.  Terdapat tujuh jenis anemon yang hidup bersimbiosis dengan genera Amphiprioninae  di Kepulauan Spermode yaitu Heteractis aurora, H.crispa, H. magnifica, Stichodactyla mertensii, S. haddoni, S. gigantea dan Entacmaea quadricolor.

DAFTAR PUSTAKA
Allen, G. R. 1991. Damselfishes of the world. Germany, Hans A. Baensch.
Dunn, D. F. 1981. The clownfish sea anemones:       Stichodactylidae (Coelenterata: Actiniaria) and other sea anemones symbiotic with pomacentrid fishes. Transactions of the American Philosophical Society, 71:115.
Fautin, D. G. 1991. The anemonefish symbiosis: what is known and what is not. Symbiosis, 10:23-46.
Fautin, D.G. and G.R. Allen. 1992. Field guide to anemonefishes and their host sea anemones. Australia, Western Australian Museum.
Fautin, D.G. and G.R. Allen. 1997. Anemone fishes and their host sea anemones: a guide for aquarists and divers. Western Australian Museum.
Hoff, F.H. 1996. Conditioning, spawning and rearing of fish with emphasis on marine clownfish. Florida, Dade City, Aquaculture Consultants, Inc.
Kuiter R.H. and T. Tonozuka.  2001.  Pictorial guide to Indonesian reef fishes – Zoonetics- Australia
Mebs, D. 1994.  Anemonefish symbiosis: vulnerability and resistance of fish to the toxin of the sea anemone. Toxicon, 32:1059-1068.
Mebs, D.  2009. Chemical biology of the mutualistic relationships of sea anemones with fish and crustaceans, Toxicon,  doi:10.1016/ j.toxicon. 2009.02.027
Nybakken, J. W. and M. D. Bertness. 2004.             Marine             Biology:          An Ecological Approach.  
Randall, J. E dan D.G. Fautin.  2002.  Fishes other than anemonefishes that associate with sea anemones. 
Coral Reefs, 21:188–190 Wabnitz, C.; M. Taylor; E. Green and T. Razak.  2003.  From Ocean to Aquarium. Cambridge, UK, UNEPWCMC: 64.
Wood, E.M.  2001.  Collection of coral reef fish for aquaria: global trade, conservation issues and management strategies.  Marine Conservation Society, UK. 80pp.