Thursday, October 27, 2011

MENGENAL CARA BUDIDAYA IKAN BAWAL AIR TAWAR (Colossoma Macropomum)

October 27, 2011 Posted by Media Penyuluhan Perikanan Pati No comments


Usaha pembesaran ikan Bawal dilakukan dengan maksud untuk memperoleh ikan ukuran konsumsi atau ukuran yang disenangi oleh konsumen. Pembesaran ikan bawal dapat dilakukan di kolam tanah maupun kolam permanen, baik secara monokultur maupun polikultur. Bawal air tawar saat ini banyak diminati sebagai ikan konsumsi dan cocok untuk dibudidayakan sebagai bahan persediaan untuk para pemancing, yang sangat senang dengan ikan bawal.
Dilihat asal usulnya, bawal bukanlah ikan asli Indonesia, tetapi berasal dari negeri Samba, Brazil. Ikan ini dibawa ke Indonesia oleh para importir ikan hias dari Singapura dan Brazil pada tahun 1980. Selain ke Indonesia, ikan bawal pun sudah tersebar hampir ke seluruh penjuru dunia. Di setiap negara, ikan ini mempunyai nama yang berlainan. Di Indonesia ikan ini disebut bawal karena mirip dengan bawal laut; di Amerika dan Inggris disebut red bally pacu karena bagian perutnya berwarna kemerahan; di Peru disebut gamitama; dan di Venezuela disebutcachama. Di negara asalnya, ikan ini disebuttambaqui. Adapun nama ilmiahnya adalah Colossoma macropomum.
Selain pertumbuhannya cepat, kelebihan lain ikan bawal adalah cara memeliharanya yang tidak rumit. Ikan ini dapat dipelihara di kolam dengan tingkat kelangsungan hidup yang tinggi. Bawal yang dipelihara dalam kolam pendederan dan pembesaran kelangsungan hidupnya dapat mencapai 90 %. Persentase tersebut Iebih tinggi dibandingkan ikan nila dan ikan mas yang kelangsungan hidupnya paling tinggi 80 %. Selain itu, bawal dapat dipelihara dalam kepadatan tinggi. Walau cara memelihara bawal mudah, tetapi jangan sekali-kali dipelihara di jaring terapung karena ikan ini dapat merobek-robek jaring dan kabur lewat jarring yang robek tersebut.
Morfologi dan Biologi
Seorang ahli perikanan bernama Bryner mengemukakan silsilah (sistematika) ikan bawal air tawar sebagai berikut :
Filum        : Chordata
Subfilum     : Craniata
Kelas        : Pisces
Subkelas     : Neoptergii
Ordo         : Cypriniformes
Subordo      : Cyprinoidea
Famili       : Characidae
Genus        : Colossoma
Spesies      : Colossoma macropomum
Ketika silsilah ikan bawal sudah diketahui, hal kedua yang perlu diketahui adalah morfologi (bagian luar tubuh). Dari arah samping, tubuh bawal tampak membulat (oval) dengan perbandingan antara panjang dan tinggi 2 : 1.
Bila dipotong secara vertikal, bawal memiliki bentuk tubuh pipih(compresed) dengan perbandingan antara tinggi dan lebar tubuh 4 : 1. Bentuk tubuh  seperti ini menandakan gerakan ikan bawal tidak cepat seperti ikan  lele atau gross carp. Tetapi lambat seperti ikan gurame dan tambakan. Sisiknya kecil berbentuk ctenoid, di mana setengah bagian sisik belakang menutupi sisik bagian depan. Warna tubuh bagian atas abu-abu gelap, sedangkan bagian hawah berwarna putih. Pada bawal dewasa, bagian tepi sirip perut, sirip anus, dan bagian bawah sirip ekor berwarna merah. Warna merah ini merupakan dri khusus bawal sehingga oleh orang Inggris dan Amerika disebut red bally pacu.
Dibanding dengan badannya, bawal memiliki kepala kecil dengan mulut terletak di ujung kepala, tetapi agak sedikit ke atas. Matanya kecil dengan lingkaran berbentuk seperti cincin. Rahangnya pendek dan kuat serta memiliki gigi seri yang tajam. Bawal memiliki 5 buah sirip, yaitu sirip punggung, sirip dada, sirip perut, sirip anus, dan sirip ekor. Sirip punggung tinggi kecil dengan sehuah jari-jari agak keras, tetapi tidak tajam, sedangkan jari- jari lainnya lemah. Berbeda dengan sirip punggung bawal laut yang agak panjang, letak sirip ini pada bawal air tawar agak ke belakang. Sirip dada, sirip perut, dan sirip anus kecil dan jari-jarinya lemah. Demikian pula dengan sirip ekor, jari-jarinya lemah, tetapi berbentuk cagak.
Sama seperti ikan lain, bawal pun menghendaki lingkungan yang baik dan sesuai untuk hidupnya. Untuk mengetahuinya, dilakukan pengamatan di habitat aslinya. Di Brasil, bawal banyak ditemukan di sungai Amazon dan sering juga ditemukan di sungai Orinoco, Venezuela. Hidupnya bergerombol di daerah yang aliran sungainya deras tetapi ditemukan pula di daerah yang airnya tenang, terutama saat benih. Untuk menciptakan lingkungan yang baik bagi bawal ada banyak hal yang hams diperhatikan, terutama dalam memilih lahan usaha, di antaranya ketinggian tempat, jenis tanah, dan air.
Sarana dan Prasarana Budidaya
Hatchery atau bangsal benih merupakan suatu bangunan yang biasa digunakan untuk melakukan kegiatan pembenihan, terutama mulai dari pemijahan sampai menghasilkan larva. Bangunan im dapat dibuat secara permanen, semi permanen, atau secara sederhana yang penting diberi atap sebagai peneduh.
Setiap hatchery harus mempunyai fasilitas yang lengkap agar bisa berfungsi sebagaimana mestinya. Selain itu, tata letaknya harus diatur secara tepat. Fasilitas yang harus dibuat untuk hatchery ikan bawal yaitu :
a. Bak penampungan air bersih
Bak penampung air bersih merupakan tempat untuk menampung air agar air selalu tersedia, terlebih ketika dibutuhkan. Letak bak ini harus lebih rendah dari sumber air agar air mudah dialirkan, Bak penampungan air harus kuat dan kokoh sehingga dapat menampung air dalam volume yang besar. Oleh sebab itu, sebaiknya bak ini dibuat dari beton atau tembok. Bentuk bak bisa empat persegi panjang atau bujur sangkar, tergantung kondisi setempat. Ukurannya pun tergantung besarnya hatchery. Untuk hatchery skala kecil (produksinya 200.000 ekor benih), bak cukup dibuat dengan panjang 2 m, lebar 2 m, dan tinggi 1 m. Bak ini dihubungkan langsung ke sumber air dengan menggunakan paralon yang ukarannya disesuaikan dengan besarnya debit air. Selain itu, pada bagian lain dihubungkan ke masing-masing bagian hatchery. Bak ini harus dibuat juga lubang pengeluaran untuk mengeringkan atau menguras bila sudah lama digunakan.
b. Bak pemberokan
Bak pemberokan merupakan tempat untuk menyimpan induk-induk yang sudah matang gonad (dari bak pemeliharaan) sampai jelang induk tersebut dipijahkan. Bak ini dapat pula dikatakan sebagai tempat untuk mengadaptasikan induk-induk dari kolam yang lingkungannya lebih luas ke tempat pemijahan yang lebih sempit. Bentuk pemberokan ini bisa bermacam-macam tergantung dan keadaan tempatnya. Namun, bentuk yang paling balk adalah empat persegi panjang. Bak ini sebaiknya tidak terlalu luas sebab akan menyulitkan pada waktu menangkap induk yang akan dipijahkan Luas bak bisa berkisar antara 8 – 12 m2.
(2 m x 4 m atau 3 m x 4 m) dengan tinggi antara 1,25 – 1,5 m. Bak ini dapat diairi maksimal setengah bagiannya agar induk yang diberok tidak loncat keluar.
Bak pemberokan harus dilengkapi dengan pintu pemasukan dan pengeluaran air untuk memudahkan dalam mengisi maupun mengeringkan bak. Pintu-pintu ini dibuat di bagian tengah dari panjang atau lebar bak agar sirkulasi airnya baik. Pintu pemasukan air bias dibuat dari pipa peralon berdiameter 2 inci yang dilengkapi dengan keran untuk mengatur debit air yang masuk dalam bak. Pintu pengeluaran juga dibuat dari paralon yang berdiameter 4 inci. Ukuran paralon pengeluaran lebih besar tujuannya agar bak dapat dikeringkan dengan cepat. Pada pintu pengeluaran, umumnya dipasang keni sebagai tempat memasukan paralon pengatur tinggi air.
Hal lain yang paling penting pada bak pemberokan ini adalah kondisi airnya. Air yang masuk ke dalam bak pemberokan harus kontinyu dan bersih (tidak mengandung zat makanan).
c. Bak pemijahan
Pembenihan bawal dapat dilakukan dengan dua cara, yaitu induced  breeding dan induced spawning. Pemijahan secara induced breeding artinya  dalam bak pemijahan diisi dengan induk-induk yang sudah disuntik hingga menjelang induk akan mengeluarkan telurnya. Adapun dalam pemijahan secara induced spawning, bak  pemijahan dapat diartikan sebagai tempat mempersatukan induk jantan dan induk betina yang sudah disuntik agar terjadi pemijahan. Kondisi bak pemijahan harus baik untuk mendukung terjadinya pemijahan.
Bentuk dan konstruksi bak pemijahan, termasuk pintu pemasukan dan pengeluarannya, sama dengan bak pemberokan. Ukuran bak pemijahan lebih luas dibanding bak pemberokan, yaitu 20 – 24 m2. (4 m x 5 m atau 4 X 6 m) dan tinggi 1,25 – 1,5 m. Bak pemijahan harus dipasang kawat dan paku di bagian atasnya untuk tempat mengikat tali hapa pemijahan. Bak ini juga dihubungkan ke bala penampungan air dengan paralon dan untuk mengatur debit air dipasang keran.
d. Tempat penetasan telur
Telur hasil pemijahan perlu ditampung di dalam suatu tempat yang dikenal dengan nama tempat penetasan telur. Ada tiga macam tempat penetasan yang dapat digunakan, yaitu corong dari kain terilin, akuarium, dan konikel.
Kolam pemeliharaan induk
Kolam pemeliharaan induk merupakan tempat yang digunakan untuk memelihara induk atau calon induk yang sudah matang kelamin sampai induk siap dipijahkan. Kolam pemeliharaan induk bisa pula disebut sebagai tempat pematangan gonad.
Jumlah kolam pemeliharan induk yang harus disediakan tergantung dari jumlah induk yang ada. Sebaiknya kolam pemeliharaan induk dibuat beberapa buah, minimal dua buah. Tujuannya untuk memudahkan seleksi induk yang akan dipijahkan dan induk yang sudah dipijahkan. Apabila lahan tidak memungkinkan, kolam ini bisa dibuat satu buah. Hal ini tidak akan mempengaruhi perkembangan gonad karena ikan bawal tidak akan mijah secara alami atau tidak akan mijah bila tidak disuntik terlebih dahulu. Namun, sebaiknya kolam tersebut disekat dengan pagar bambu.
Bentuk kolam pemeliharaan induk bisa bermacam-macam, tergantung keadaan lokasinya. Namun, sebaiknya kolam berbentuk empat persegi panjang sebab sirkulasi airnya lebih merata. Kolam ini sebaiknya tidak terlalu luas agar mudah dalam pengelolaannya. Luas kolam yang ideal antara 100 – 200 m . Dengan luas tersebut, akan memudahkan dalam pengeringan kolam maupun penangkapan induk yang akan diseleksi.
Kolam pemeliharaan induk juga harus memiliki sistem pengairan yang baik, Maksudnya, kolam mempunyai sistem sirkulasi air yang baik. Sistem pengairan yang baik adalah secara paralel. Dengan sistem ini, setiap kolam akan mendapat air baru dan bila dikeringkan tidak mengganggu kolam yang lainnya. Kolam ini juga harus dilengkapi dengan pintu pemasukan dan pengeluaran air agar memudahkan pada waktu pengeringan dan pengisian air kembali. Letak pintu-pintu berada di tengah-tengah pada lebar kolam dalam posisi sejajar. Pintu pemasukan bisa dibuat dari paralon 4 inci, sedangkan pintu pengeluaran sebaiknya dibuat secara permanent (tembok). Pintu pengeluaran seperri ini terkenal dengan istilah monik.
Kolam pendederan
Kolam pendederan bawal merupakan tempat untuk memelihara larva-larva sampai benih dengan ukuran yang siap dipelihara di tempat pembesaran. Biasanya, pendederan ikan bawal ini dilakukan dalam beberapa tahap, yakni pendederan pertama, dan pendederan kedua. Jadi, kolam pendederan ini harus dibuat beberapa buah atau tergantung dari jumlah dan ukuran induk yang dipijahkan. Bentuk kolam ini sama seperti kolam pemeliharaan, yakni empat persegi panjang. Pintu pemasukan airnya dibuat dari pipa paraIon ukuran 5 inci. Adapun pintu pengeluarannya dibuat dalam bentuk monik. Pintu pengeluaran air seperti ini akan mempercepat proses pengeringan kolam. Selain itu, kolam ini harus mernpunyai luas ideal agar mudah dalam pengelolaannya. Luasnya antara 500 – 1.000 m2.
Kolam pembesaran
Kolam pembesaran ikan bawal merupakan tempat untuk memelihara benih yang berasal dari kolam pendederan hingga benih menjadi ikan ukuran konsumsi atau calon induk. Bentuk kolam pembesaran sama dengan kolam pendederan, ukurannya antara 200 – 500 m. Namun, jumlah kolam harus lebih banyak dibandingkan dengan jumlah kolam pendederan. Kegiatan dalam pembesaran bawal biasanya akan memerlukan waktu yang lebih lama, minimal 4 – 5 bulan. Oleh sebab itu, kondisi kolam haras betul-betul baik.
Induk jantan dan induk betina
Sarana produksi pertama yang harus disediakan adalah induk jantan dan induk betina. Untuk saat ini, induk bawal memang sulit diperoleh karena masyarakat belum banyak yang membudidayakannya. Beberapa sumber yang dapat menyediakan bibit yaitu balai penelitian perikanan, balai benih ikan, dinas perikanan, atau petani pembenih di daerah tertentu.
Dengan dipilihnya induk yang berkualitas haik, diharapkan akan diperoleh  benih-benih yang berkualitas baik pula. Selain itu. induk yang berkualitas baik  akan menghasilkan telur-telur yang banyak jumlahnya. Apabila induk diperoleh dari hasil budi daya sendiri maka induk tersebut juga harus berkualitas baik. Ada beberapa cara yang dapat dilakukan untuk memperolah induk-induk.
4. Prospek
Berbeda dengan ikan mas dan lele yang hanya dijual di pasar dalam negeri, ikan bawal selain dapat dipasarkan di dalam negeri juga diekspor ke berbagai negara. Negara-negara yang sudah bisa menampung ikan bawal dari Indonesia di antaranya Hongkong dan Amerika Sebagian besar ikan bawal yang dikirim ke sana ukurannya atau sebagai ikan bias. Jumlah kebutuhan kedua Negara tersebut mencapai puluhan juta. Tetapi yang baru terpenuhi hanya 10 persen saja. Inilah peluang yang  sangat besar bagi para peternak bawal untuk mencari dolar (Khairuman 2002).
Di dalam negeri sendiri ikan bawal mulai digemari oleh berbagai kalangan masyarakat, terutama di Jawa Barat, Jakarta, Jawa Tengah dan jawa Timur. Dari keempat propinsi tersebut Jawa Barat boleh dibilang sebagai pelopor karena di propinsi inilah ikan bawal pertama kali dikembangkan. dalam satu musim tidak kurang 500 juta benih dijual ke berbagai propinsi di Indonesia dan angka tersebut berarti sudah ratusan juta rupiah telah diraih dan komoditas ini.
Pola Pengembangan
Untuk memenuhi kebutuhan benih dan ikan bawal sebagai ikan konsumsi, pola pengembangan bawal dapat dibagi dalam beberapa subsistem. Subsistem ini meliputi pembenihan, pendederan pembesaran, dan subsistem penunjang. Setiap pelaku dapat bergerak dalam masing-masing subsistem tergantung dari modal yang dimiliki dan prasarana budi daya yang tersedia. Dapat pula setiap pelaku bergerak mulai dari pembenihan sampai pembesaran.
1). Subsistem pembenihan
Pada subsistem pembenihan, pelaku mulai dari kegiatan memelihara induk sampai menghasilkan benih ukuran 2 inci atau seberat 3 gram seriap ekornya. Benih ukuran tersebut dilemparkan ke subsistem pendederan atau langsung di ekspor. Kegiatan ini biasanya dilakukan selama 6 minggu.
2). Subsistem pendederan
Pada subsistem pendederan, pelaku memulai dari kegiatan memelihara benih ukuran 2 inci sampai benih mencapai ukuran 4 inci atau seberat 25 gram per ekornya. Benih ukuran ini dilempar lagi ke subsistem pembesaran. Kegiatan ini biasanya dilakukan selama 6 minggu.
3). Subsistem pembesaran
Pada subsistem pembesaran, pelaku bertugas membesarkan benih dari hasil pendederan ukuran 4 inci (25 g) sampai menjadi ikan konsumsi. Kegiatan ini biasanya dilakukan selama 3 bulan. Di samping itu, subsistem ini bertugas pula dalam mencari pasar dalam dan luar negeri.
4). Subsistem penunjang
Pada subsistem penunjang, pelaku bertugas menyediakan sarana dan prasarana yang dibucuhkan oleh masing-masing subsistem, seperti menyediakan pakan tambahan, peralatan, dan sarana produksi lainnya. Adanya subsistem tersebut diharapkan kegiatan budi daya dapat berjalan lancar karena masing-masing subsistem mempunyai tugas yang berlainan dan akan terjalin suatu kerja sama yang sating menguntungkan.

Tuesday, October 25, 2011

TRANSPLANTASI TERUMBU KARANG TUJUAN DAN MANFAAT

October 25, 2011 Posted by Media Penyuluhan Perikanan Pati No comments
Waktu di dasar laut berkedalaman 5—6 m. Sebuah tang aluminium memotong-motong cabang Acropora kimbeensis. Hasil potongan dibawa ke daratan untuk ditumbuhkan di dalam mangkuk berisi semen. Tujuh bulan kemudian karang siap dipanen. Sebelum ditanam, potongan-potongan karang itu dibersihkan dari lendir dalam bak berukuran 10 m x 1 m x 50 cm. Selanjutnya setiap potongan ditancapkan di dalam mangkuk terbuat dari campuran semen dan pasir dengan perbandingan 1:4. Sebagai perekat dipakai semen. Karang yang akan ditumbuhkan itu didiamkan dalam bak air laut bersalinitas 33 ppt selama 2—3 hari. Selanjutnya mereka diletakkan di mangkuk-mangkuk berisi potongan karang dalam anjang-anjang yang terbuat dari kayu meranti. Agar kuat, tiap mangkuk dilekatkan ke tali senar yang terpasang di kanan kiri baris anjang-anjang. Proses itu belum berakhir. Anjang-anjang lantas dipindahkan ke laut dan diletakkan dalam meja persegi panjang berpondasi beton. Selama 30 hari karang-karang itu tampak stres. Itu terlihat dari lapisan kerak atau encrusting yang terbentuk setebal 1—2 cm di atas substrat. Namun, dari lapisan kerak itu bermunculan polip-polip yang akan membentuk cabang karang baru. Dalam waktu 7 bulan karang sudah membentuk lebih dari 4 cabang dan siap dipanen. Panen dilakukan dengan cara mengangkat anjang-anjang ke daratan, lalu ditaruh dalam bak 10 m x 1 m x 50 cm. Sebelum dikemas, substrat yang tertutup lumut dan alga digosok. Setelah bersih, dasar substrat diikatkan ke gabus agar mengapung saat dimasukkan ke dalam kantong plastik berisi air hasil aerasi dengan skimmer. Oksigen ditambahkan ke dalam kantong plastik agar karang dapat bertahan hingga 48 jam perjalanan. Setelah itu plastik diikat dan dimasukkan dalam boks berkapasitas 15 kantong yang diberi lubang di kanan-kirinya. Supaya tetap segar, di atas plastik diberi bongkahan es lalu ditutup selembar plastik. Boks styrofoam itu dimasukkan dalam boks karton berlapis plastik. Karang-karang hasil budidaya pun siap dikirim ke negara tujuan.

Berpolip kecil
Itulah proses transplantasi karang yang rutin dilakukan PT Purawisata Baruna, unit koral, Grup Pura, di Pulau Sambangan, Kepulauan Karimunjawa, sejak 2002. Sebanyak 42.000 karang hasil budidaya diekspor ke Eropa (Belanda, Jerman, Perancis, Italia, dan Spanyol), Amerika Serikat, dan Asia (Hongkong, China, Singapura, dan Arab). Jumlah  itu sesuai dengan izin ekspor yang tertuang dalam SK Dirjen PHKA nomor SK 53/IV/IV-KKH/2007 tentang Penetapan Pembagian Kuota Ekspor Tumbuhan dan Satwa Liar 2007.
Bukan tanpa alasan perusahaan yang dikomandoi Jacobus Busono itu giat melakukan transplantasi. “Keragaman karang di sini tak kalah dengan Kepulauan Seribu atau Rajaampat di Papua. Namun, bila terus diambil maka akan punah,” kata Dwi Murtono, ST, pimpinan unit. Adanya transplantasi membuat ketersediaan karang melimpah dan tidak habis meski diekspor. Dampaknya, kehidupan terumbu karang tetap berlangsung harmonis. Yang ditransplantasi adalah jenis small polyp stony (karang batu berpolip kecil, red), seperti genus acropora, montipora, pocillopora, dan hydnopora. “Hampir 90% jenis-jenis itu karena memang pertumbuhannya cepat, terutama yang berbentuk cabang dan foliosa (daun),” kata Dwi. Sisanya jenis large polyp stony yang kebanyakan berbentuk massive (keras) dan submassive. “Masih dalam percobaan,” tambahnya. Itu lantaran bentuk massive dan submassive bulat dan keras bak batu sehingga sulit dipecah. Ditambah lagi pertumbuhannya lambat. “Setahun hitungannya milimeter,” tutur Dwi.
Achantastrea
Tingkat keberhasilan pencangkokan karang jenis-jenis itu mencapai 80%. Keberhasilan itu berkat kerja sama dengan zoocanthellae yang hidup dalam polip karang. “Zooxanthellae membantu penyerapan matahari untuk proses fotosintesis,” ujar Wisnu Widjatmoko, MSc. Menurut lulusan Biologi Karang Universitas Ryukios, Jepang itu matahari dibutuhkan karang sebanyak 95% untuk menghasilkan energi. Dari 80% yang berhasil dicangkok, 20%-nya dikembalikan ke alam—reseeding. Tujuannya untuk pelestarian terumbu karang. Karang yang dilepas ke alam ditaruh di dalam beton berukuran 40 cm x 40 cm. Letaknya berdekatan dengan karang yang tumbuh di alam. Keberhasilan mencangkok bukan berarti tanpa kematian. Sebanyak 20% karang mati gara-gara hama dan sedimentasi yang menyerang saat dipindahkan ke laut. Hama yang kerap mengganggu adalah Achantastrea plantii. Keluarga karang yang memiliki ratusan kaki itu memakan jaringan karang di dekatnya. Achantastrea itu bermunculan ketika bahan organik dan populasi karang padat. “Saat jumlah achantastrea melimpah, dalam sehari semua karang yang ditransplansi mati,” ujar Dwi. Hama lain adalah pinthaster yang berbentuk seperti bola. Ia sama ganasnya dengan achantastrea yang memakan polip karang. Selain jenis karang lain yang menjadi predator, alga pun mengganggu kehidupan karang. Contohnya alga ulfa dan spadina yang muncul setiap Agustus -Oktober. Keduanya menempel di substrat lalu menjalar sampai ke polip. Akibatnya tubuh karang tertutup dan tak dapat menyerap matahari.
Sedimentasi

Peletakkan anjang-anjang yang salah menjadi ancaman serius keberhasilan tranplantasi. Garagara salah pemilihan tempat, PT Purawisata Baruna harus menanggung kematian transplantasi sebanyak 50%. Itu akibat kesalahan meletakkan 20 anjang-anjang. Di kedua tempat itu arus laut kurang sehingga alga yang menjadi makanan karang menjadi sedikit. Selain arus, sedimentasi menjadi ancaman lain ketika salah meletakkan anjang-anjang. Saat upwelling (arus dari dasar laut naik ke atas, red) materi lumpur dan pasir akan terseret ombak. Laut menjadi keruh, materi menutupi polip, dan sinar matahari tidak dapat diserap. Akibatnya biota mati. Kejadian itu pernah menimpa pantai utara Jawa. Dari muara sungai limbah pabrik terbawa ke laut saat banjir. Dalam kondisi itu transplantasi karang akan mengalami kegagalan. Kekeruhan air dapat diukur dengan memakai tutup kaleng yang dicat hitam atau putih. “Warna apa saja bisa asal kontras dengan warna laut,” kata Arif Budiwibowo SPi, kepala operasional PT Purawisata Baruna. Saat tutup kaleng sudah tidak terlihat pada kedalaman 30 cm tandanya air laut keruh. Artinya sinar matahari tidak dapat diserap zooxanthellae karena terhalang oleh materi-materi sedimentasi. Untuk mengatasinya Arif merelokasi anjanganjang ke belakang pulau yang berjarak 200 m dari bibir pantai. Lokasi itu dipilih karena berarus sedang, tidak terlalu deras atau lemah. Arus sedang cocok untuk karang-karang dangkal seperti jenis-jenis yang dibudidayakan perusahaan yang berpusat di Jepara itu. Tak hanya itu saja, lokasi harus datar agar anjanganjang kuat saat diterjang arus. Hal lain, tempat anjang-anjang harus terhindar dari terjangan angin barat atau timur.

Dalam akurium
Proses transplantasi dapat juga dilakukan dalam akuarium. Seperti uji coba yang dilakukan Dr Unggul Aktani dan Center for Coastal and Marine Resources Studies Institut Pertanian Bogor pada 2004. Saat itu 5 cabang A. yongei dilekatkan dalam substrat campuran pasir dan semen, kemudian ditata dalam anjang-anjang. Anjanganjang tidak perlu dibawa ke laut, melainkan tetap dalam akuarium. “Yang terpenting kualitas air,” ujar Unggul. Agar sesuai dengan kondisi di laut, air yang dipakai
bersalinitas 30—34 ppt. Ketika salinitas naik lantaran terjadi penguapan, air dalam akuraium perlu ditambah air tawar. “Sampai nilainya kembali normal,” tambahnya. Untuk mengukur salinitas dipakai salinometer. Selain kualitas air, ketersediaan pakan artemia dan udang kecil menentukan keberhasilan pertumbuhan karang. Pakan itu diberi setiap hari. Sisa pakan dan kotoran diatasi dengan filter mekanis memakai spon. “Kotoran akan tersedot secara otomatis. Namun, filter secara rutin harus dibersihkan,” tutur alumnus Ekologi Terumbu Karang Universitas Bremen Jerman itu. Serangkaian perlakukan itu meningkatkan keberhasilan transplantasi dalam akuarium mencapai 70%. Sisanya, 30%, mati. Penyebabnya kualitas air dan perubahan suhu yang tajam. Di Bogor—tempat percobaan—suhu malam hari turun. Suhu akuarium pun ikut turun menjadi 24°C. Perlakuan serupa juga diterapkan Daniel Knop, akuaris asal Jerman. Beragam jenis acropora ditransplantasinya dalam akuarium. Hasilnya dipakai sebagai ornamen akuarium laut. Itulah beragam cara transplantasi. Hasil transplantasi, selain dikembalikan ke alam sebagai wujud pelestarian terumbu karang juga dapat di ekspor ke mancanegara. Transplantasi untuk tujuan perdagangan karang hias, dilakukan dengan memindahkan potongan jenis-jenis karang hias yang diperdagangkan ke substrat buatan yang diletakkan di sekitar habitat terumbu karang alami, yang nantinya akan menjadi induk karang hias yang akan diperdagangkan, dengan mengikuti prosedur sebagai berikut:

    Transplantasi karang untuk tujuan perdagangan karang hias hanya boleh dilakukan olehÿpengusaha karang hias yang sudah mempunyai izin sebagai eksportir karang hias.

    Jenis-jenis karang hias yang dibiakkan adalah jenis-jenis karang hias yang diperdagangkan untuk pembuatan aquarium, dan tidak diperdagangkan sebagai karang mati.

    Jumlah bibit karang hias yang akan ditanam sebagai induk karang hias merupakan bagian dari kuota karang hias yang telah memperoleh persetujuan dari MA
    Sebelum pembiakan dilakukan, pengusaha harus melaporkan kepada MA tentang waktu kapan penanaman bibit karang hias itu dimulai, lokasi pembiakan, jumlah danjenis karang hias yang akan ditanam.
3. Transplantasi untuk tujuan perluasan terumbu karang
Perluasan terumbu karang dapat diartikan sebagai suatu usaha untuk membuat habitat terumbu karang baru, atau merubah habiat lain diluar habitat terumbu karang menjadi habitat terumbu karang. Di kawasan ekosistem terumbu karang sendiri, tidak semua dasar lautnya merupakan habitat terumbu karang. Bagian-bagian dasar laut yang bukan habitat terumbu karang itu, mungkin karena di tempat itu ombaknya terlalu besar, karena banyaknya endapan, karena arus yang terlalu kencang, karena kedalamannya yang melebihi batas kedalaman karang hidup, atau karena banyaknya kegiatan manusi..Maka trasplantasi karang untuk tujuan perluasan terumbu karang di ekosistem terumbu karang, perlu memperhatikan factor-faktor penyebab tidak adanya kehidupan karang di tempat tersebu, kemudian merencanakan suatu model substrat buatan yang dapat meniadakan pengaruh factor penyebab tersebut. Perluasan terumbu karang dapat dilakukan di rataan terumbu ( reef flat) yang pada waktu air surut rendah masih tergenang air setinggi 0.5 meter, di tempat-tempat yang berdekatan dengan desa pesisir untuk meningkatkan kepedulian akan status terumbu karang, meningkatkan rasa memiliki dan meningkatkan kesadaran untuk melindungi sumberdaya terumbu karang; dan di sekitar fasilitas wisata untuk meningkatkan daya tarik objek pariwisata. Sedangkan persyaratan teknik pengambilan bibit dan tempat pengambilan bibit sama dengan persyaratan pada bitir satu di atas.
4.Transplantasi karang untuk tujuan pariwisata.
Transplantasi karang untuk tujuan wisata, dibedakan dari transplantasi karang untuk tujuan perluasan terumbu karang, karena kawasan wisata tidak selalu merupakan kawasan ekosistem terumbu karang, tetapi biasanya mempunyai laut yang tenang dengan perairan jernih dan tidak membahayakan bagi wisatawan yang ingin mandi di laut. Tidak adanya terumbu karang di kawasan ini mungkin disebabkan oleh karena tidak adanya substrat dasar yang keras tempat menempel larva karang. Tujuan transplantasi karang disini adalah untuk membuat habitat terumbu karang yang kaya keaneka ragaman hayatinya. Atau membuat panorama yang indah didasar laut seperti halnya di ekosistem terumbu karang Untuk itu bibit karang yang akan dipindahkan di situ harus terdiri dari jenis-jenis karang yang beraneka ragam bentuk dan warnanya. Demikian pula substrat dasar buatan yang akan pakai harus menggambarkan bentuk dasar yang menarik dan tahan terhadap arus dan air laut. ( dibuat sepermanen mungkin).. Pemrakarsa transplantasi karang harus membuat peta lokasi trasplantasi karang menurut kelompok / jenis karang yang ditransplantasikan, beserta kedalamannya. ( Peta ini untuk menjelaskan karang jenis apa, dimana). Peta ini penting baik untuk wisatanya maupun untuk pemantauannya. Persyaratan tempat pengambilan bibit dan teknik pengambilan bibit sama dengan butir 1 diatas.

5.Transplantasi karang untuk tujuan meningkatkan kepedulian akan statusterumbu karang, meningkatkan rasa memiliki dan kesiapan untuk melindungi sumber daya terumbu karang.
Disini,transplantasi karang harus dilakukan oleh masyarakat nelayan yang sudah menyadari dampak negatif yang dideritanya akibat rusaknya terumbu karang di sekitarnya. Untuk dapat melaksanakan transplantasi sebaik -baiknya, mereka harus memperoleh latihan tentang teknik transplantasi karang secara lengkap, dengan pen- jelasan mengapa teknik tersebut harus dilakukan. ( termasuk cara penentuan lokasi pembibitan, cara pengambilan bibit dari induknya, cara pengangkutan bibit, cara penempelan bibit pada substratnya dan selanjutnya cara pemeliharaannya ). Untuk meningkatkan kepedulian masyarakat akan status terumbu karang, secara bertahap transplantasi karang perlu terus dilakukan sampai semua terumbu karang yang telah rusak itu pulih kembali.Dengan menjaga keutuhan hasil transplantasi karang itu, masyarakat nelayan akan dapat merasakan hasilnya. Karena dengan pulihnya kondisi terumbu karang, hewan laut termasuk ikannya juga akan bertambah banyak. Dengan melaksanakan semua kegiatan seperti tersebut diatas dan mendapatkan hasil yang diperolehnya dari kegiatan tersebut, akan meningkatkan kepedulian nelayan untuk melindungi sumber daya terumbu karangnya.
6.Transplantasi karang untuk tujuan pengelolaan perikanan.
Untuk meningkatkan produksi perikanan, transplantasi karang dapat dilakukan di lokasi yang miskin ikan, dengan harapan adanya transplantasi karang tersebut dapat mendatangkan banyak ikan, dapat merubah habitat yang bukan habitat terumbu karang menjadi habitat terumbu karang. Untuk itu diperlukan substrat dasar yang tahan lama, tidak tererosi air laut, dan dapat ditempeli larva karang. Konstruksi substrat dasar tersebut harus dibuat sedemikian rupa sehingga tersedia rongga-rongga yang dapat digunakan untuk berlindung ikan-ikan besar. Dengan konstruksi substrat dasar sperti itu, pertumbuhan karang hasil transplantasi akan menjadi lebih cepat karena hasil perkembang biakan karang secara generatif dapat langsung menempel pada substrat dasar tadi, diikuti penempelan biota laut lainnya. Transplantasi karang seperti ini dapat menjadi atraksi untuk wisatawan atau untuk daerah perikanan baru bagi masyarakat nelayan. Persyaratan tempat pengambilan bibit dan teknik pengambilan bibit tetap sama seperti pada butir1.
7.Terumbu karang buatan.
Istilah terumbu karang buatan yang sekarang ini berkembang di Indonesia , adalah murni "Fish Aggregation Device" (FAD), yaitu suatu cara yang digunakan untuk merubah suatu perairan yang sepi ikan menjadi perairan yang banyak ikan. Disini tidak dipersoalkan apakah konstruksi yang dibuat itu dapat ditumbuhi karang atau tidak. Yang penting dengan konstruksi yang diletakkan di dasar laut dapat menyebabkan berkumpulnya ikan di sekitar konstruksi tersebut. Terumbu karang buatan untuk meningkatkan produksi perikanan, banyak terbuat dari ban mobil bekas yang disusun demikian rupa sehingga dapat menjadi pelindung ikan-ikan yang biasa berlalu lalang di perairan tersebut. Terumbu karang buatan seperti itu, sudah jelas tidak untuk menumbuhkan karang, karena larva karang rupanya tidak dapat menempel pada ban mobil. Terumbu karang buatan seperti ini seharunya tidak diletakkan di kawasan terumbu karang; pertama karena di kawasan terumbu karang biasanya sudah kaya akan ikan, kedua karena dikhawatirkan bahan konstruksi terumbu karang buatan itu dapat mencemari ekosistem terumbu karang. Dimasukkannya terumbu karang buatan didalam pengelolaan ekosistem terumbu karang, adalah sebagai salah satu upaya meniadakan/ mengurangi penangkapan ikan di terumbu karang. Maka terumbu karang buatan dibangun di sekitar terumbu karang, sehingga nelayan tidak lagi menangkap ikan di terumbu karang, tetapi berpindah di terumbu karang buatan. Terumbu karang buatan itu dapat diletakkan di tengah-tengah jarak antara tempat tinggal nelayan dan terumbu karang, pada kedalaman tidak lebih dari 15 meter supaya mudah dipantau, sekaligus dapat berfungsi sebagai penghalang kapal pukat harimau yang sering menimbulkan konflik dengan nelayan tradisional.

8.Transplantasi karang untuk tujuan penelitian.
Transplantasi untuk tujuan penelitian, biasanya dilakukan oleh peneliti terumbu karang atau oleh mahasiswa dibawah bimbingan seorang peneliti senior yang sudah mempunyai pemahaman secara mendalam mengenai bagaimana melaksanakan transplantasi tanpa merusak lingkungan ekosistem terumbu karang, apapun tujuannya. Dibedakan dari persyaratan yang harus dilakukan oleh pelaksana keenam transplantasi diatas, transplantasi untuk tujuan penenitian ini diberbolehkan mengambil bibit di sekitar lokasi penelitian,, dengan teknik pemotongan cabang di tempat, tanpa memindahkan induknya. Karena transplantasi untuk tujuan penelitian biasanya tidak memerlukan banyak specimen, dan dengan biaya dan waktu sangat terbatas.
Kriteria penilaian keberhasilan transplantasi karang.
Secara umum transplantasi karang dapat dikatakan berhasil apabila transplantasi tersebut dapat mencapai tujuannya, dan tidak merusak habitat terumbu karang dan ekosistemnya. Maka criteria penilaian keberhasilan adalah sebagai berikut:
1.Prosedur transplantasi harus sesuai dengan prosedur yang telah ditetapkan oleh pihak MA.
2.Tidak merusak kondisi terumbu karang tempat pengambilan bibit (dapat dipantau),
3.Dapat mencapai tujuannya
4.Dapat dilaksanakan oleh masyarakat nelayan.

Sunday, October 23, 2011

BUDIDAYA UDANG VANAMAE INTESIF DAN RESIKO PENYAKITNYA

October 23, 2011 Posted by Media Penyuluhan Perikanan Pati No comments


Perkembangan sistem budidaya dari tradisional ke intensif pada mayoritas tambak udang vannamei memiliki potensi terhadap peningkatan pencemaran lingkungan. Kurang optimalnya pemanfaatan pakan yang berlebihan akan   menyebabkan penumpukan bahan organik. Penguraian bahan organik memerlukan oksigen dalam prosesnya,  sehingga ketersediaan oksigen bagi biota didalamnya menjadi berkurang. Jika hal ini terjadi secara terus menerus maka akan menyebabkan kematian bagi udang dan biota lainnya. Bahan pencemaran yang sulit untuk diuraikan oleh mikroorganisme juga menyebabkan penimbunan dan berakibat kerusakan bagi lingkungan yang secara langsung akan mengganggu organisme yang hidup di lingkungan tersebut. Bahan pencemaran organik yang berfungsi sebagai pupuk justru merugikan akibat blooming alga dan tanaman air yang menyebabkan terjadinya kompetisi oksigen di perairan. Faktor-faktor diatas merupakan penyebab menurunnya ketahanan tubuh organisme terhadap serangan penyakit karena kualitas lingkungan yang buruk, jika hal ini dibiarkan secara terus menerus maka kematian secara masal akan terjadi sehingga populasi akan menurun.
Akhir-akhir ini muncul beberapa penyakit yang menyerang udang. Telah diketahui adanya infeksi penyakit oleh virus atau virus-like pada komoditas udang di Indonesia, terutama oleh White Spot Baculo Virus (WSBV) dan Monodon Baculo Virus (MBV), yang saat ini sering disebut dengan  penyakit bercak putih atau White Spot Syndrome Virus (WSSV). Kematian udang pada usia satu sampai dua bulan di tambak sudah menjadi hal yang umum sebagai akibat serangan virus bercak putih, yang mengakibatkan ribuan hektar tambak tidak bisa berproduksi lagi. Hal ini berdampak terhadap kerugian negara yang diperkirakan mencapai 2,5 trilyun rupiah per-tahun (Ditjen Perikanan Budidaya, 2004). Pada tambak udang, virus ini bisa mengakibatkan total kematian 100% pada 2 sampai 10 hari penyerangan (Wang et al., 2007). Mekanisme penyerangan WSSV ke tubuh udang awalnya bersifat intrasitoplasmik masuk ke dalam sel inang, kemudian pada tingkat serangan yang lebih tinggi Deoxyribonucleic Acid (DNA) virus masuk ke dalam DNA inang dan mengambil alih proses transkripsi dan translasi sesuai proses dalam DNA virus. Pada tahap transkripsi dan translasi tersebut gen WSSV mengekspresikan suatu protein non struktural yang dinamakan protein ICP11, yang diduga sangat berperan pada infeksi WSSV (Wang et al., 1997). 
Pada penelitian ini biota yang diamati adalah udang vanname (Litapenaeus vannamei). Udang yang terus menerus terpapar oleh bahan pencemar, akan menyebabkan kondisinya melemah sehingga mudah terserang bibit penyakit misalnya yang paling sering dialami di lapang adalah serangan White Spot Syndrome Virus (WSSV). Jika proses ini tidak mampu diadaptasi oleh udang tersebut maka akan mengakibatkan kematian sehingga populasi udang akan menurun.
Permasalahan yang diajukan pada penelitian ini adalah bagaimanakah kualitas lingkungan dan prevalensi penyakit WSSV pada tambak udang vannamei dengan sistem  budidaya intensif .
KAJIAN LITERATUR DAN PENGEMBANGAN HIPOTESIS.
1. Pencemaran Perairan dan Penyakit Udang.
Pencemaran perairan terjadi akibat dari adanya pemasukan bahan organik maupun anorganik, dari substansi lingkungan yang kemudian dapat menimbulkan berbagai macam dampak. Sumber pencemaran dapat berupa logam berat, bahan beracun yang berasal dari sumber kimiawi, pestisida, tumpahan minyak, sampah, dan lain-lain. Organisme yang hidup di perairan tersebut akan merespon sehingga terjadi perubahan dari segi genetik dan populasinya (Wibowo, 2004).
Bahan pencemaran yang masuk ke dalam air dapat dikelompokkan atas limbah organik, logam berat dan minyak. Setiap kelompok ini sangat dipengaruhi oleh sumber limbah yang merupakan bahan pencemar yang paling banyak ditemukan diperairan tersebut. Limbah industri adalah semua jenis bahan buangan yang berasal dari hasil samping suatu proses perindustrian, kebanyakan dalam bentuk limbah cair. Limbah industri adalah semua jenis bahan sisa atau bahan buangan yang berasal dari hasil pembuangan suatu proses perindustrian, dapat menjadi limbah yang berbahaya bagi lingkungan hidup dan manusia (Palar , 1994).
Pemantauan suatu sistem perairan tidak cukup dengan mengukur secara fisikakimia airnya saja, tetapi harus melibatkan juga biota yang hidup di perairan tersebut. Hal ini berarti biota akuatik dapat dijadikan sebagai indikator biologi, karena memiliki sifat sensitif terhadap keadaan pencemaran tertentu sehingga dapat digunakan sebagai alat untuk menganalisis pencemaran air. Keuntungan yang didapat dari indikator biologi adalah dapat merefleksikan keseluruhan kualitas ekologi dan mengintegrasikan berbagai akibat yang berbeda, memberikan pengukuran yang akurat mengenai pengaruh komunitas biologi dan pengukuran fluktuasi lingkungan (Devi, 2002).
Kesehatan udang salah satunya dipengaruhi oleh kualitas air. Kualitas air yang baik mampu mendukung pertumbuhan secara optimal. Hal itu berhubungan dengan faktor stress udang akibat perubahan parameter kualitas air (Haliman dan Adijaya, 2006). Litopenaeus vannamei merupakan salah satu jenis udang yang mempunyai beberapa keunggulan dibandingkan dengan spesies budidaya lainnya. Rata-rata udang ini memiliki pertumbuhan yang tinggi, cocok untuk padat penebaran tinggi, toleransi suhu dan salinitas lebar, kebutuhan protein untuk pakan rendah, pemeliharaan mudah dan tingkat kelulushidupan larva tinggi (Rahman, 2007). Aspek-aspek inilah yang menyebabkan budidaya spesies ini menjadi pilihan utama untuk dibudidayakan di perairan Indonesia termasuk didalamnya wilayah Jawa Timur.
Pencemaran pada lingkungan tambak menyebabkan pertumbuhan udang terhambat, penurunan daya tahan terhadap penyakit dan kematian udang. Penyakit merupakan kendala utama dalam peningkatan produksi udang. Kategori kehidupan yang tidak sama dari udang menyebabkan udang mudah terinfeksi virus yang menyebabkan kematian, pertumbuhan lambat, dan perubahan bentuk. Penyakit pada udang jika ditinjau menurut penyebabnya dibedakan menjadi penyakit tanpa infeksi dan yang sudah terinfeksi dari asalnya. Penyakit viral merupakan pathogen paling utama dalam budidaya udang
(Lightner, 1996; Rahman, 2007).
Udang yang terserang penyakit termasuk WSSV, akan memberikan respon seluler yang bermacam-macam. Sel-sel udang yang terserang WSSV mengalami hipertropi atau pertumbuhan yang tidak normal pada inti sel. Hipertropi ini menyebabkan terjadinya lisis sel dan menimbulkan infeksi pada organ-organ yang diserang. Respon udang yang terserang WSSV bisa dilihat dari ekspresi gen yang memiliki hubungan dengan infeksinya, antara lain gen pengkode ketahanan dan kerentanannya (Kilawati, 2011).
Faktor pemicu munculnya penyakit pada udang tidak selalu disebabkan oleh munculnya organisme, faktor lingkungan seperti salinitas, kandungan O2, kadar amonia dan faktor kurangnya makanan juga menimbulkan stress pada udang (Amri, 2006). Faktor lingkungan ini mengakibatkan produksi antibodi berkurang sehingga imunitas atau kekebalan tubuh udang vannamei terhadap serangan penyakit menjadi berkurang (Soetomo, 2000).
Lingkungan memiliki kontribusi yang sangat besar bagi kondisi biota. Lingkungan yang tercemar akan mengakibatkan kondisi biota menurun  sehingga mudah terserang penyakit. Pada prinsipnya penyakit yang menyerang udang budidaya tidak datang begitu saja, melainkan melalui proses hubungan antara tiga faktor yaitu kondisi lingkungan (kualitas air), kondisi inang (udang), dan adanya jasad patogen (penyakit). Berdasarkan hal tersebut dapat dikatakan bahwa timbulnya serangan penyakit itu merupakan hasil interaksi yang tidak serasi antara lingkungan, inang, udang dan jasad organisme penyakit. Interaksi yang tidak seimbang ini menyebabkan stress pada udang, sehingga mekanisme pertahanan diri yang dimilikinya menjadi lemah akhirnya mudah diserang penyakit (Kordi, 2007).
2. Infeksi Virus ke DNA Udang.
Virus merupakan salah satu jenis patogen obligat murni dengan salah satu ciri utama organisme ini tidak dapat hidup secara bebas di alam. Untuk kehidupannya virus ini tergantung sepenuhnya pada inangnya. Sifat virus yang demikian menyebabkan organisme ini mempunyai daya serang yang cukup kuat. Penyakit viral merupakan masalah serius pada budidaya udang ditambak karena dalam waktu relativ singkat dapat menyebabkan kematian. Virus yang menyerang udang ditambak antara lain Monodon Baculo Virus (MBV), Hepatopancreatic Parvolike Virus (HPV), Yellow Head Baculovirus (YBH), Infection Hypodermal and Hematopoetic Necrosis Virus (IHHNV), Systemic Ectodermal and Mesodermal Baculovirus (SEMBV) dan White Spot Syndrome Virus (WSSV).
Kategori Morphogenesis WSSV telah dikarakteristikkan dan secara langsug berhubungan dengan perkembangan sel yang rusak. Escobedo et al. (2008) menjelaskan beberapa kategori morphogenesis WSSV antara lain: Kategori (1), Infeksi sel ditunjukkan dengan terjadinya sedikit hipertropi pada inti. Nukleosom virus mulai nampak sebelum terlihat susunan partikel virus lainnya. Protein tersusun atas serabut fragmen. Dalam sitoplasma, reticulum endoplasma (RE) membesar dengan ribosom yang melimpah. Kategori (2), dalam nukleus, serabut materi menyebabkan circular membran yang terisi dengan inti materi yang merupakan awal dari kumpulan virus. Pada kategori ini, inklusi Cowdry-A terlihat tembus cahaya diantara stroma virus dan elektron padat pada dinding kromatin. Inti menjadi hipertropi dan membulat. Kategori (3), dalam nukleus nukleokapsid yang masih terbuka terlihat dengan kepadatan elektron yang rendah dan berangsur-angsur tumbuh dari satu terhadap yang lain. Pusat inklusi dalam inti terlihat lebih kecil daripada dalam sel pada kategori (2). Dan kepadatan elektron lebih banyak karena adanya partikel virus yang melimpah. Dinding kromatin tidak terlihat, disebabkan membran inti terganggu dan menjadi tipis transparan, yang menyatu dengan sitoplasma. Kebanyakan organel menjadi abnormal, mengalami kehancuran atau perubahan struktur membran. Kategori (4), dalam nukleus, nukleokapsid telah lengkap dengan 12 – 14 unit protein yang tersusun seri (rangkaian). Masing-masing nukleokapsid mempunyai satu lingkaran dan satu persegi. Nukleokapsid yang telah lengkap tertutup selubung. Kategori (5), kategori morphogenesis virus yang baru, partikel menjadi lonjong dan ekor panjang mendapat proyeksi dari selubung yang terinfeksi. Materi inti dari ekor terpisah dari nukleokapsid. Kemudian, nekleokapsid menjadi pendek dan lebih banyak elektron padat karena terbungkus oleh virus DNA VP15 yang komplek. Kategori (6), fase akhir dari morphogenesis, virion yang telah dewasa berbentuk elips dengan selubung tertutup yang halus dan elektron padat nukleokapsid dengan ekor panjang terproyeksi pada akhir yang tertutup. Kadang-kadang kumpulan nukleokapsid komplit terjadi pemisah dari selubung dan yang belakang dibungkus oleh selubung. Pada akhir kategori ini infeksi mengakibatkan kerusakan dan gangguan yang berat. Ruang kosong yang terlihat dalam jaringan adalah sel yang hancur.
Model Morphogenesis White Spot Syndrome Virus (WSSV) pada sel inang seperti dijelaskan oleh Escobedo et al , 2008: Partikel WSSV yang menular, penularan virion WSSV menggunakan selubung protein dengan motif penyerangan sel. WSSV masuk kedalam sel. Selubung viron WSSV menyatu dengan endosome dan nukleokapsid telanjang yang terangkut dalam nukleus, seperti pada baculovirus, Nukleokapsid telanjang WSSV menyerang membran nukleus, dan genome WSSV dilepaskan dalam nucleus. Genome WSSV mulai mereplikasi, Dalam sitoplasma, mitokondria mulai mengalami kerusakan. Dalam nukleus stroma virus awalnya kelihatan seperti materi bebas yang berisi butir-butiran kecil. Sel kromatin terakumulasi dekat membran nukleus dan Retikulum Endoplasma Kasar
(REK) yang membesar dan aktif, Dinding kromatin terjadi perubahan dalam zona cincin yang tebal. Stroma virus dengan kepadatan rendah mulai membentuk gelembung yang akan terbentuk selubung virus. Gelembung mungkin terbentuk dengan membran materi yang dibentuk dalm zona cincin, seperti pada baculovirus, Partikel WSSV yang baru terkumpul dalam nukleus yang didalamnya ada elektron dense. Selubung yang kosong akan diisi dengan nukleus akan terganggu, Virion WSSV telah kompit bentuknya dan siap untuk lepas dari sel yang terinfeksi untuk memulai siklus dalam sel lain yang dapat diinfeksi. 
Udang yang terinfeksi WSSV akan mengalami perubahan tingkah laku yaitu menurunya aktivitas berenang, berenang tidak terarah, dan sering kali berenang pada salah satu sisinya saja. Selain itu udang cenderung bergerombol di tepi tambak dan berenang ke permukaan. Pada fase akut terdapat bercak-bercak putih pada karapas dengan diameter 0.5 – 3.0 mm, dan bercak putih ini pertama kali muncul pada cephalothorak, segmen ke 5 dan ke 6 dari abdominal dan terakhir menyebar keseluruh kutikula tubunya. Pada kasus WSSV adanya bintik atau spot putih pada bagian karapas sudah menjadi tanda umum, tetapi pada induk udang warnanya menjadi merah. Udang yang terserang penyakit ini dalam waktu singkat dapat mengalami kematian (DKP, 2004; Mahardika et al., 2004).
METODE PENELITIAN
Metode yang dipakai adalah diskriptif eksploratif, yang menggambarkan kejadian sosial dan mengeksplorasi data yang dapat menjelaskan fenomena tersebut. Hasil dari penelitian ini diharapkan memiliki kontribusi di bidang ilmu pengetahuan untuk menampilkan pola perubahan populasi dengan menampilkan data udang yang survive dan karakter gen udang vannamei yang sehat dan terinfeksi virus WSSV, sebagai dampak dari proses pencemaran terhadap lingkungan.
Pengumpulan data dilakukan dalam berbagai setting, berbagai sumber dan berbagai cara. Bila dilihat dari sumber datanya, maka pengumpulan data dapat menggunakan sumber primer dan sumber sekunder. Sumber primer adalah sumber data yang langsung memberikan data kepada pengumpul data, dan sumber sekunder merupakan sumber yang tidak langsung memberikan data kepada pengumpul data, misalnya lewat orang lain atau lewat dokumen (Sugiyono ,2005). Data primer yang diambil antara lain kualitas lingkungan  secara fisika dan kimia, morfologi udang sampel, karakter gen udang vannamei dalam kaitannya dengan serangan virus WSSV.
Proses pengolahan data untuk morfologi menggunakan  pemberian symbol berupa angka. Simbol angka ini kita sebut kode, pada kode tersebut sudah ditentukan. Dalam hal pemberian kode, perlu juga dicatat konteks mana istilah itu muncul. Kemudian dilakukan klasifikasi terhadap coding yang telah dilakukan. Klasifikasi dilakukan dengan melihat sejauh mana satuan makna berhubungan dengan tujuan penelitian.
Sampel udang vannamei yang sudah diidentifikasi morfologinya selanjutnya dilakukan analisa Polymerase Chain Reaction (PCR) untuk mengetahui karakter genetik dari hewan uji. Deteksi WSSV pada DNA udang dilakukan dengan PCR menggunakan primer spesifik WSV seluler primer. 
Salah satu tehnik untuk mengetahui variasi genetik suatu spesies dari suatu populasi atau lebih adalah melakukan analisis DNA dengan PCR menggunakan primer tertentu. Produk PCR kemudian dielektroforesis dan dilakukan pemotretan untuk memperoleh dokumentasinya. 
Sebelum penelitian telah dilakukan survei untuk memperoleh lokasi budidaya udang vannamei dengan metode intensif.
HASIL PENELITIAN
1. Kualitas Lingkungan.
Hasil pengamatan data rata-rata kualitas lingkungan setiap lokasi digambarkan dengan di tambak Gresik
Tabel 1. Data perbandingan kualitas air dengan SNI.
PARAMETER      MALANG      TL. AGUNG      GRESIK      SNI 01-7246-2006 
Suhu (0C)      29,89     28,37     29,8     28,5 – 31,5
Kecerahan (cm)  24,71     34     25,56     30 – 45 
pH         8,33     7,54     7,82     7,5 – 8,5 
DO
(mg/l)      4,35     4,04     4,4     >3,5 
Salinitas (ppt)      20,71     26,2     18,89     15 – 25 
Alkalinitas (ppm)      168,43     121,2     234,21     100 – 150 
Amonia (ppm)      0,06     1,25     0,01     <0 br="" nbsp="">Nitrit
(ppm)      0,02     0,51     0,24     <0 br="" nbsp="">TOM
(ppm)      69,1     94,64     101,46     <55 br="" nbsp="">di tambak Tulungagung. 
Kualitas air pada tambak di ketiga kota menunjukkan bahwa kualitas air pada masing-masing lokasi tambak termasuk dalam kategori kualitas air yang buruk dibandingkan dengan Standar Nasional Indonesia 01-7246-2006 untuk budidaya udang Vannamei. Kualitas air terendah terdapat pada tambak Tulungagung berdasarkan parameter Nitrit dan Ammonia. Selain itu alkalinitas pada tambak Tulungagung juga tergolong tinggi setelah tambak Gresik. 
Darti dan Iwan (2006) menyebutkan bahwa penyebab tingginya kadar nitrit antara lain kepadatan yang terlalu tinggi sehingga banyak pembusukan dari kotoran atau feses maupun sisa pakan. Kadar nitrit ini sebaiknya dijaga pada kisaran normal untuk mengantisipasi tingkat kematian udang akibat keracunan nitrit.
Konsentrasi ammonia di tambak yang melebihi 0,45 ppm, dapat menghambat pertumbuhan udang sampai 50%. Agar udang tumbuh cukup baik, amonia yang terdapat di dalam air tambak tidak boleh lebih dari 0,01 ppm. Mangampa (2010) menyatakan bahwa pengaruh langsung dari kadar amonia yang tinggi tapi belum mematikan adalah rusaknya jaringan insang.
Lembaran insang akan membengkak
(hiperplasia) sehingga fungsi insang sebagai alat pernapasan akan terganggu dalam hal pengikatan oksigen dari air. Level amonia yang tinggi di perairan juga dapat meningkatkan konsentrasi amonia dalam darah sehingga mengurangi aktifitas darah (hemocyanin) dalam mengikat oksigen. Selain itu tingginya kadar amonia juga dapat meningkatkan kerentanan udang terhadap penyakit.
Berdasarkan SNI 01-7246-2006, persyaratan nilai alkalinitas air untuk pemeliharaan udang vannamei berkisar antara 100 – 150 mg/l. Nilai alkalinitas di tambak 1 di Malang lebih besar dari tambak 2 di Tulungagung, dan nilai kisaran alkalinitas tersebut kurang optimal untuk udang (Gambar 4). Menurut Adiwidjaya et al. (2008), alkalinitas yang optimal untuk kegiatan budidaya udang vannamei berkisar antara 90-150 ppm. Apabila nilai alkalinitas di atas 150 ppm diperlukan pengenceran salinitas dan kepekatan plankton serta oksigenisasi yang cukup.
Alkalinitas tinggi inilah yang membantu dalam menyediakan unsur kalsium untuk kebutuhan osmoregulasi sel dalam tubuh udang. Alkalinitas atau yang lebih dikenal dengan total alkalinitas adalah konsentrasi total dari unsur-unsur basa yang terkandung dalam air atau setara dengan kalsium karbonat (CaCO3).
Menurut Rachmansyah (2004), pakan merupakan penyumbang bahan organik tertinggi sekitar (80%). Jumlah pakan yang tidak dikonsumsi atau terbuang di dasar perairan sekitar 30%. Menurut Komarawidjaja (2003), sumber kegagalan budidaya udang diduga berasal dari faktor internal lingkungan pertambakan. Faktor internal yang penting adalah perubahan kualitas air akibat penumpukan bahan organik berupa sisa pakan dan kotoran udang (feses) pada substrat dasar tambak. Bahan organik tersebut, bila terurai akan terbentuk amonia yang dapat terperangkap dilapisan substrat dasar tambak atau terlarut dalam air yang akan bersifat toksik terhadap udang.
Menurut Haliman dan Adijaya (2006), salinitas merupakan salah satu aspek kualitas air yang memegang peranan penting karena mempengaruhi pertumbuhan udang. Pada salinitas tinggi, pertumbuhan udang menjadi lambat karena proses osmoregulasi terganggu. Osmoregulasi merupakan proses pengaturan dan penyeimbangan tekanan osmosis antara didalam dan diluar tubuh udang. Apabila salinitas meningkat, maka pertumbuhan udang akan melambat karena energi lebih banyak terserap untuk proses osmoregulasi dibandingkan untuk pertumbuhan. Dengan kondisi lingkungan perairan yang buruk dapat mempengaruhi kondisi kesehatan udang yang sedang dibudidayakan.
Tabel 2.     Data rata-rata prevalensi WSSV.
Tambak      WSSV (rata-rata %) 
    Ciri 1      Ciri 2      Ciri 3 
Malang      85%     15%     0%
T.Agung      43%     57%     0%
Gresik      70%     30%     0%
Uji morfologi dan genetik pada udang menunjukkan adanya infeksi dari infeksi ringan hingga berat. Dibuktikan dengan tingginya jumlah udang yang terinfeksi berat dan didukung adanya amplifikasi yang kuat pada uji genetik gen ICP11. Hal ini menunjukkan adanya insersi DNA virus pada
di Gresik
Tambak Malang, Tulungagung dan Gresik terindikasi mengalami infeksi WSSV tingkat ringan hingga sedang secara morfologi.  Hal ini didukung oleh hasil analisa PCR yang menunjukkan adanya smear tipis pada 207 bp yaitu amplifikasi gen ICP11. 
Penelitian ini mengindikasikan bahwa kualitas air yang kurang baik dapat memicu munculnya virus patogenik terutama WSSV.
Nilai parameter kualitas air yang melebihi standard dan kombinasi antar parameter dapat mengakibatkan gangguan pada tubuh udang misalnya gangguan osmoregulasi. Kondisi udang yang lemah didukung dengan kondisi lingkungan yang buruk akan memicu pertumbuhan patogen dan meningkatkan patogenitasnya pada udang vannamei.

KESIMPULAN & SARAN
Kondisi perairan sangat berperan penting terhadap kondisi kesehatan hewan budidaya baik secara langsung maupun tidak langsung. Kondisi lingkungan yang buruk dapat meningkatkan prevalensi infeksi WSSV. Kondisi perairan harus secara ketat dikontrol untuk dapat menjaga kondisi kualtas air supaya mampu mendukung kehidupan dan kesehatan organisme budidaya.
DAFTAR PUSTAKA
Adiwijaya, D., Supito dan I. Sumantri. 2008.
Penerapan Teknologi Budidaya Udang Vanname (L. Vannamei) Semi Intensif Pada Lokasi Tambak salinitas Tinggi. Media Budidaya Air Payau Perekayasaan Vol. 7. Halaman 54 – 72. Balai Besar Pengembangan Budidaya Air Payau Jepara.
Albert, B.; Johnson, A.; Lewis, J.; Raff, M.; Robert, K.; Walter, P. 2002. Molecular Biology of the Cell. 4th edition. Garland Science. New York. ISBN 0815332181 (versi online di NCBI Bookshelf).
Amri, K. 2006. Budi Daya Udang Windu Secara Intensif. Cetakan. 6. Agro Media Pustaka. Jakarta. 98 hal.
Badjoeri, Muhammad dan T. Widiyanto. 2008. Penggunaan Bakteri Nitrifikasi Untuk Bioremediasi dan Pengaruhnya Terhadap Konsentrasi Amonia dan Nitrit di Tambak Udang. Jurnal Oseanologi dan Limnologi di Indonesia Volume 34 (2) : 261 – 278. ISSN 0125 – 9830. LIPI. Jakarta.
Darti dan Iwan, D. 2006. Penebar Swadaya. http://terdalam.com/2009/01/penya kit-ikan-hias-akibat-lingkungan.html Diakses pada tanggal 10 Juni 2014 pukul 10.58 WIB.
Devi, I.A. 2002. Perifiton sebagai Indikator Biologi Kualitas Air di Sungai Citarum Hulu. Skripsi. Jurusan Biologi Fakultas MIPA UNPAD Jatinangor.
Direktorat Jenderal Perikanan Budidaya. 2006. Uji Teknologi Budidaya Udang Bebas Penyakit Bercak Putih. Mina Bahari, 3 (02): 16-17.
Effendi, H. 2003. Telaah Kualitas Air Bagi Pengelolaan Sumber Daya dan Lingkungan Perairan. Kanisius. Yogyakarta.
Escobedo, Bonilla, S. Alday, M. Wille, P, Sorgeloos, M.B Pensaert and H.J. Nauwynck. 2008. A Review on The
Morphology,     Moleculer
Characteterization, Morphogenesis and Pathogenesis of White spot Syndrome Virus. Centro de
Investigation Biologicas del Noroeste, S.C. Unidad Sonora, Centenario Norte no. 53, Colombia Prados del
Centenario, Hermosillo, Sonora 82360. Mexico. Jurnal of Fish Diesase, 31, 1 – 18.
Fatchiyah. 2006. Analisa Biologi Molekuler (Isolasi DNA, PCR dan RFLP, SDSPAGE, Immunobloting dan Isoenzym). Tim Lab Biologi Molekuler dan Seluler JBUB Universitas Brawijaya Malang.
Haliman, R.W., Adijaya D. 2006. Budidaya Udang Vannamei. Penebar Swadaya.
Jakarta. 74 hal.
Hartl, D. 1980. Principles of Population Genetiks.     Sinauer     Associates     Inc. Publisher. Sunderland. Massacushetts.
Kilawati, Y. 2011a. Ekspresi Gen Ketahanan dan Kerentanan Pada Udang Vannamei (Litopenaeus vannamei) Sebagai Respon Terhadap Serangan White Spot Syndrome Virus (WSSV). Artikel. Universitas Airlangga. Surabaya.
--------------. 2011b. Pengaruh Serangan WSSV Terhadap Morfologi, Tingkah Laku dan Kelulushidupan SPF Udang Vannamei Indonesia Yang Dipelihara Dalam Lingkungan Terkontrol. Journal of Biological Researchers. ISSN : 0852 – 6834 No. 7F. Universitas Brawijaya. Malang.
--------------------. dan W. Darmanto. 2009. Karakter Protein ICP11 Pada DNA
Udang Vannamei (Penaeus vannamei) yang Terinfeksi White Spot Syndrome Virus (WSSV). Journal of Biological Researchers. ISSN : 0852 – 6834 Vol. 15 (21 – 24). Universitas Brawijaya, Malang.
Kimball, J.W. 1994. Biologi Jilid I. Alih Bahasa: Siti Sutarmi, Nawangsari Sugiri Penerbit Erlangga, Jakarta.
Komarawidjaja Wage. 2006. Pengaruh Perbedaan Dosis Oksigen terlarut
(DO) Pada Degradasi Amonium Kolam Kajian Budidaya Udang. Jurnal Hidrosfer Vol. 1 No. 1 Hal. 32-37 ISSN 1704-1043, Jakarta.
Kordi, M.G.H. dan A.B.Tancung. 2007. Pengelolaan Kualitas Air Dalam Budi Daya Perairan. Rineka Cipta. Jakarta.
Lightner, D. V. 1996. A Handbook of Shrimp
Pathonology     and     Diagnostic
Procedures for Diaseses of Cultured penaeid Shrimp. The World Aquaculture Society. Baton Rouge, Louisiana, 70803.USA.
Mahardika, K., Zafran dan I. Koesharyani. 2004. Deteksi White Spot Syndrome Virus (WSSV) Pada Udang Windu (Penaeus monodon) di Bali dan Jawa Timur Menggunakan Metode
Polymerase Chain Reaction (PCR). Jurnal Penelitian Perikanan Indonesia, 10 (1): 55-60.
Murphy, R.W., Sites Jr, J.w., Buth, D.g., and Haufler, C.H. 1990 Protein I, Isozyme Electrophorensis. In Moleculer Systematic (Eds. D.M. Hilliis and C. Moritz), Sinaeur Associates. Inc, Sunderland, Massachussets, USA. PP 45-126.
Na’im, Rachman. 1996. Teknik Pengembangan Uji Diagnostik Melalui Teknik Molekuler. Jurusan Penyakit dan Kesehatan Hewan Masyarakat Veteriner Fakultas Kedokteran Hewan Institut Pertanian Bogor.
Palar, H. 1994. Pencemaran dan Toksikologi Logam Berat. PT. Rineka Cipta. Jakarta.
Priatni D, M. Alifuddin dan  D. Djokosetiyanto. 2006. Pengaruh Pemanasan pada Temperatur
Berbeda Selama 30 Menit terhadap Patogenitas White Spot Syndrome Virus (WSSV) pada Udang Windu (Penaeus monodon Fabr.). Jurnal Akuakultur Indonesia 5 (1), 5-12
(2006). 
Rahman, M, M. 2007. Differences In Virulance Between White Spot Syndrome Virus (WSSV) Isolates And Testing Of Some Control Strategis In ESSV Infected Shrimp. Laboratory of Virology, Department or Virology, Parasitology and Immunology Faculty of Veterinery Medicine Ghent
University, India. 177 hal.
Rustidja. 1996. Pola Warna dan Genetik Ikan     Nila.     Fakultas     Perikanan
Universitas Brawijaya. Malang
Saiki, R 1998. A Practcal Approac. In Genomic Analisis (ed. KF. Davies) IRL Press at oxford United of Kingdom.
Soetomo, M. H. A. 2000. Teknik Budidaya Udang Windu. Sinar Baru Algensindo. Bandung.
Toha. Abdul Hamid A. 2001, Deoxybo Nucleac Acid. Keanekaragaman, Ekspresi dan Efek Pemanfaatannya. Seri Belajar Biokimia. Alfabeta, Bandung.
Trobos. 2009. Budidaya Udang Vannamei di Air     Tawar
http://www.trobos.com?show_article .php?rid=17&aid=1899 . Diakses pada tanggal 09 Mei 2014 pukul 17.56 WIB.
Wang, C. S., Y. J. Tsai, G. H. Kou and S. N. Chen. 1997. Detection of White Spot Syndrome Disease Virus Infection in Wild Caught Greasyback Shrimp, Metapenaeus ensis (deHaan) in
Taiwan. Fish Pathology, 32 (1): 35-41.
Wibowo. 2004. Kinetika Bioakumulasi
Logam Berat Cadmium oleh Fitoplankton chlorella sp Lingkungan Perairan laut. Fakultas Farmasi. Universitas Muhammadiyah, Surakarta.
Yudiati, E., Z. Arifin dan I. Riniatsih. 2010. Pengaruh Aplikasi Probiotik Terhadap Laju Sintasan dan Pertumbuhan Tokolan Udang Vanamei (Litopeneus vannamei), Populasi Bakteri Vibrio serta Kandungan Amoniak dan Bahan Organik Media Budidaya. Jurnal Ilmu Kelautan Volume 15 (3) 153 -158. ISSN 0853 – 7291. Universitas Diponegoro. Semarang.
Yuwono, T. 2006. Teori dan Aplikasi Polymerase Chain Reaction (PCR).
Penerbit Andioffset. Yogyakarta.